BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Terjadinya krisis moneter yang diikuti dengan krisis ekonomi dan politik pada pertengahan tahun 1997 menyebabkan dampak yang signifikan terhadap perkembangan dunia bisnis di Indonesia. Perekonomian mengalami keterpurukan, sehingga banyak perusahaan yang gulung tikar tidak bisa meneruskan usahanya (Arma, 2013). Tidak hanya perusahaan kecil yang mengalami pailit, namun perusahaan besar juga tidak sedikit yang akhirnya gulung tikar. Kelangsungan hidup usaha selalu dihubungkan dengan kemampuan manajemen dalam mengelola perusahaan. Gambaran tersebut mengandung arti bahwa secara tidak langsung membuat manajemen bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup entitas. Namun tanggung jawab tersebut juga berpotensi melebar ke auditor. Auditor memiliki suatu tanggung jawab untuk mengevaluasi status kelangsungan hidup perusahaan dalam setiap pekerjaan auditnya (Fanny dan Saputra, 2005). Oleh karena itu auditor harus mempertimbangkan secara cermat adanya gangguan atas kelangsungan hidup suatu entitas (going concern) untuk suatu periode, sehingga opini yang dihasilkan menjadi berkualitas sebagai produk utama akuntan publik. Going concern atau kelangsungan hidup suatu entitas merupakan asumsi dalam pelaporan keuangan suatu entitas. Jika suatu entitas mengalami kondisi yang berlawanan dengan asumsi kelangsungan usaha, maka entitas tersebut
1
2
menjadi bermasalah (Petronela, 2004). Asumsi going concern berarti suatu badan usaha dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu panjang dan tidak akan dilikuidasi dalam jangka waktu pendek (Hani dkk., 2003). Standar Audit (SA) 570 (IAPI, 2014) menyebutkan bahwa tanggung jawab auditor adalah untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat tentang ketepatan penggunaan asumsi kelangsungan usaha oleh manajemen dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan, dan untuk menyimpulkan apakah terdapat suatu ketidakpastian material tentang kemampuan entitas untuk mempertahankan kelangsungan usahanya. Masalah yang sering timbul adalah sulit untuk memprediksi kelangsungan hidup perusahaan, sehingga menyebabkan auditor mengalami dilema antara moral dan etika dalam memberikan opini going concern. Hal ini disebabkan adanya hipotesis selffulfilling prophecy yang menyatakan bahwa jika auditor memberikan opini going concern, maka perusahaan akan menjadi lebih cepat bangkrut karena akan menyebabkan investor membatalkan investasinya atau kreditur menarik dananya (Venuti, 2007). Oleh karena itu, Altman dan McGough (1974) menyarankan penggunaan model prediksi kebangkrutan sebagai alat bantu auditor untuk memutuskan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Basri (1998) dalam Fanny dan Saputra (2005) menemukan sekitar 80% dari lebih 280 perusahaan yang sudah go public bisa dikategorikan sudah bangkrut sebab nilai aset perusahaan-perusahaan tersebut saat ini jauh di bawah angka nominal utang atau pinjaman luar negerinya. Berdasarkan fakta ini, beberapa
3
penelitian terdahulu mencoba untuk melihat sejauh mana kebangkrutan tersebut dapat diprediksikan beberapa waktu sebelum kebangkrutan tersebut benar-benar terjadi. Altman dan McGough (1974) mencoba untuk menganalisis tingkat keakuratan prediksi kebangkrutan dengan menggunakan opini auditor dan model prediksi kebangkrutan, yang menghasilkan bahwa tingkat akurasi dengan menggunakan model prediksi kebangkrutan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan menggunakan opini audit, yaitu sebesar 82%. Fanny dan Saputra (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan tiga model prediksi kebangkrutan yaitu model Altman, model Zmijeweski, dan model Springate. Dari hasil penelitian tersebut, mereka menemukan bahwa model prediksi Altman merupakan model prediksi terbaik diantara ketiga model yang digunakan dalam mempengaruhi ketepatan pemberian opini audit. Oleh karena itu, model prediksi kebangkrutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model prediksi Altman. Penelitian terdahulu yang menguji pengaruh model prediksi kebangkrutan dengan menggunakan model Altman terhadap pemberian opini going concern menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Fanny dan Saputra (2005), Supardi dan Mastuti (2003), serta Hadi dkk. (2015) menyimpulkan bahwa model prediksi kebangkrutan Altman berpengaruh secara signifikan terhadap pemberian opini going concern. Namun hasil yang berbeda ditemukan oleh Fadilah (2013) yang menunjukkan bahwa model prediksi kebangkrutan Altman tidak berpengaruh terhadap pemberian opini going concern. Penelitian Ardiani (2012) dan Susarni (2012) juga menemukan bukti bahwa kondisi keuangan yang diukur dengan
4
model prediksi kebangkrutan Altman tidak berpengaruh terhadap pemberian opini going concern. Faktor-faktor kontekstual yang menjadi pertimbangan auditor dalam pemberian opini going concern adalah prior opinion dan pertumbuhan perusahaan. Mutchler (1984) melakukan wawancara dengan praktisi auditor yang menyatakan bahwa perusahaan yang menerima opini going concern pada tahun sebelumnya (prior opinion) lebih cenderung untuk menerima opini yang sama pada tahun berjalan. Hal ini terjadi karena kegiatan usaha suatu perusahaan untuk tahun tertentu tidak terlepas dari keadaan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Aryantika dan Rasmini (2015) dan Cahyono (2014) membuktikan bahwa prior opinion berpengaruh positif pada pemberian opini going concern. Penelitian lainnya mengenai hubungan prior opinion dengan opini going concern juga dilakukan oleh Carcello dan Neal (2000), Rahmadhany (2004), serta Wibisono (2013) yang menemukan bukti bahwa terdapat hubungan positif antara prior opinion dengan pemberian opini going concern tahun berjalan. Apabila pada tahun sebelumnya auditor telah menerbitkan opini going concern, maka akan semakin besar kemungkinan auditor untuk menerbitkan kembali opini going concern pada tahun berikutnya. Pertumbuhan perusahaan juga mengindikasikan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Pertumbuhan perusahaan ini dapat diukur dengan menggunakan rasio pertumbuhan penjualan. Perusahaan yang mengalami pertumbuhan mampu meningkatkan volume penjualan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Penjualan yang meningkat
5
tersebut menunjukkan aktivitas operasional perusahaan berjalan dengan semestinya. Sehingga sebuah perusahaan dengan pertumbuhan penjualan yang positif mempunyai kecenderungan untuk dapat mempertahankan kelangsungan usahanya (Eko dkk., 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Kristiana (2012) dan Arma (2013) membuktikan bahwa pertumbuhan perusahaan secara signifikan berpengaruh terhadap opini going concern. Ini berarti bahwa perusahaan yang cenderung mengalami pertumbuhan perusahaan negatif maka semakin besar probabilitas mendapatkan opini going concern. Penelitian-penelitian
sebelumnya
banyak
yang
hanya
menganalisis
pengaruh model prediksi kebangkrutan pada pemberian opini going concern oleh akuntan publik. Peneliti melihat fenomena kalau akuntan dalam mengambil keputusan untuk memberikan opini khususnya opini going concern ini tentu akan melihat atau mempertimbangkan histori perusahaan, seperti prior opinion serta perkembangan omzetnya atau tingkat pertumbuhannya. Oleh sebab itu peneliti memandang analisis prediksi kebangkrutan pada pemberian opini going concern dipengaruhi oleh gambaran opini sebelumnya serta pertumbuhan perusahaan yang dapat bersifat positif maupun negatif. Berdasarkan alasan tersebut dalam penelitian ini peneliti menempatkan prior opinion dan pertumbuhan perusahaan sebagai pemoderasi yang mempengaruhi pengaruh model prediksi kebangkrutan pada pemberian opini going concern dengan menggunakan data yang lebih besar dari penelitian sebelumnya yaitu dari tahun 2007-2014. Pada tahun 2008 terjadi krisis keuangan global yang mempengaruhi kondisi perekonomian dunia termasuk Indonesia. Krisis tersebut berawal dari jatuhnya Lehman Brothers yang
6
merupakan sebuah perusahaan jasa keuangan global di Amerika Serikat. Krisis tersebut
berdampak
buruk
terhadap
kemampuan
perusahaan
dalam
mempertahankan kelangsungan hidup usahanya (Hadi dkk., 2015).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian adalah sebagai berikut: 1) Apakah terdapat moderasi prior opinion terhadap pengaruh model prediksi kebangkrutan pada pemberian opini going concern? 2) Apakah terdapat moderasi pertumbuhan perusahaan terhadap pengaruh model prediksi kebangkrutan pada pemberian opini going concern?
1.3 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mendapatkan bukti empiris moderasi prior opinion terhadap pengaruh model prediksi kebangkrutan pada pemberian opini going concern. 2) Untuk mendapatkan bukti empiris moderasi pertumbuhan perusahaan terhadap pengaruh model prediksi kebangkrutan pada pemberian opini going concern.
7
1.4 Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, yaitu sebagai berikut: 1) Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi, wawasan, dan pengetahuan bagi pembaca dalam arti hasil penelitian ini dapat menambah dan memperkaya bahan pustaka yang sudah ada dan teori-teori dalam akuntansi yang mendukung seperti teori kontijensi dan teori harapan, serta dapat dijadikan referensi bagi peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan prior opinion dan pertumbuhan perusahaan yang secara konseptual dapat mempengaruhi hubungan antara model prediksi kebangkrutan dan pemberian opini going concern. 2) Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberi informasi dan sebagai bahan pertimbangan mengenai going concern (kelangsungan usaha suatu perusahaan) sehingga para investor dan calon investor dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan investasi. b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pedoman, bahan pertimbangan, dan bahan referensi bagi auditor dalam melaksanakan proses auditnya terutama dalam pemberian opini audit terhadap klien yang menyangkut masalah pemberian opini going concern. c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk memperketat aturan pelaksanaan audit dalam hal penilaian kelangsungan hidup perusahaan,
8
karena dalam Standar Audit (SA) 570 (IAPI, 2014) menyatakan bahwa keragu-raguan
yang
besar
tentang
kemampuan
satuan
usaha
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya merupakan keadaan yang mengharuskan auditor menambahkan paragraf penjelasan (atau bahasa
penjelasan
lain)
dalam
laporan
audit,
meskipun
tidak
mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian yang dinyatakan oleh audito