1
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Leasing merupakan hal yang tergolong telah lama dikenal di Indonesia yaitu
tepatnya pada tahun 1973 dan telah diatur sejak tahun 1974 hingga kini pranata leasing telah berkembang semakin pesat mengikuti perkembangan perekonomian, karena leasing sangat menguntungkan dan dari leasing kita dapat melihat suatu metode baru perekonomian masa kini yaitu metode untuk memperoleh capital equipment dan untuk menambah modal kerja. Leasing sangat berguna untuk meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan investasi sehingga investasi mempunyai peranan yang sangat penting. Mengenai investasi ini berkaitan erat dengan ketersediaan dana yang memadai untuk investasi tersebut. Ketersediaan dana untuk investasi tersebut secara formal dapat disalurkan oleh lembaga keuangan (lembaga fianansial), baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank lainnya. Di Indonesia, lembaga keuangan tersebut terdiri dari tiga bagian,1 adalah : 1. Bank 2. Lembaga Keuangan Non-Bank 3. Perusahaan Pembiayaan Menururt
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
125/KMK/08/1988, ketiga kelompok perantara finansial tersebut dapat bergerak sebagai lembaga pembiayaan yang boleh melakukan kegiatan yang meliputi bidang usaha : 1. Sewa Guna Usaha (Leasing) 2. Perdagangan Surat Berharga 1
Sri Suyatmi dan J. Sadiarto, Problematika Leasing di Indonesia, (Jakarta: Arikha Media Cipta, 1993), hlm. 17 – 18.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
2
3. Anjak Piutang 4. Usaha Kartu Kredit 5. Pembiayaan Leasing berasal dari bahasa Inggris ”lease”, dan bisa juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesianya dengan istilah Sewa Guna Usaha yang merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu tertentu. Leasing ini ada dua kategori global yaitu : operating lease dan financial lease. Operating lease merupakan suatu proses menyewa suatu barang untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetap merupakan milik bagi pihak pemberi sewa. Adapun financial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang tersebut berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milik pemberi sewa (perusahaan leasing). Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya, maka barang tersebut menjadi milik penyewa. Dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus yaitu : Sewa sekaligus beli. Dari sini dapat terlihat bahwa leasing adalah salah satu lembaga pembiayaan yang telah berkembang menjadi industri pembiayaan alternatif selain bank dan lembaga keuangan lainnya. Leasing dapat juga dikatakan sebagai salah satu bentuk metode pembelanjaan yang sangat penting di dalam dunia usaha, karena barangbarang modal ataupun alat-alat produksi dapat kita peroleh atau kita gunakan tanpa harus membeli atau memilikinya sendiri. Selain itu bagi perusahaan-perusahaan yang kekurangan modal ataupun yang hendak menghemat pemakain dana dapat menggunakan alternatif leasing. Selain itu manfaat dari leasing dalam dunia bisnis ataupun dalam pembangunan ekonomi ini adalah sebagai salah satu upaya ataupun cara pemupukan dana yang terdapat di dalam masyarakat.2
2
Komar Andasasmita, Serba-serbi Tentang Leasing (Teori dan Praktek), (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia, 1989), hlm. 2.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
3
Walaupun telah berkembang cukup pesat, tetapi sampai sekarang belum ada ketentuan yang khusus untuk perjanjian leasing ini, sehingga dirasakan belum adanya kepastian hukum dalam industri leasing. Sampai saat ini para pengusaha leasing melakukan perjanjian mereka dengan bersandarkan pada Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. KEP 122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, dan No. 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Pebruari 1974 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 Nopember 1991 beserta berbagai surat-surat keputusan dan surat-surat Edaran Menteri dan ketentuan perjanjian yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai perjanjian pada umumnya. Sebagaimana diketahui bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya yang mengenai hukum perjanjian menganut ”Sistem Terbuka atau Open System”, yang berarti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan, untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.3 Sendi ini terkenal sebagai Asas Kebebasan Berkontrak yang terdapat pada Pasal 1338 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.4 Tetapi walaupun demikian, perjanjian yang mereka buat itu tetap harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam Bab I dan Bab II Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hal ini seperti yang telah disebutkan dalam pasal 1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang mengatur bahwa : Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal
3 Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis dalam Leasing, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 2-3. 4
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. XXVIII, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1996), Ps. 1338.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
4
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu. Semakin berkembangnya perusahaan-perusahaan leasing ini maka berkembang pula cara yang dipakai dalam perkembangan usahanya sehari-hari, seperti setiap kendaraan-kendaraan yang akan dileasingkan, maka sebelumnya kendaraan tersebut telah di daftarkan dengan cara Fidusia. Hal ini untuk menjaga apabila Debitor melakukan wanprestasi maka Kreditor bisa langsung menarik kendaraan tersebut tanpa melalui pengadilan. Apabila telah dilaksanakannya eksekusi atas objek Fidusia dan kemudian hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, maka Penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan sisanya kepada Pemberi Fidusia. Sebaliknya jika hasil eksekusi tidak mencukupi untuk melunasi hutang , maka Debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.5 Timbulnya lembaga Jaminan Fidusia atau dahulu dikenal dalam bentuk Fiduciare Eigendors Overdraecht atau FEO (pengalihan
hak milik secara
kepercayaan) di negara Belanda dan di negara Indonesia pada awalnya muncul berkenaan dengan adanya ketentuan mengenai gadai dalam Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai. Larangan tersebut mengakibatkan bahwa pemberi gadai tidak dapat mempergunakan benda yang digadaikan untuk keperluan usahanya. Hambatan tersebut diatasi dengan mempergunakan lembaga FEO yang kemudian diakui oleh Jurisprudensi Belanda dalam Arrest Hoge Raad tanggal 25 Januari 1929 dengan nama ”Bierbrouwerij – arrest”. Di Indonesia lembaga FEO tersebut diakui oleh jurisprudensi berdasarkan Arrest Hooggerchtshof tanggal 18 Agustus 1932. Sejak tanggal 30 September 1999 undang-undang yang mengatur tentang jaminan fidusia telah diundangkan, yaitu Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999. Dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur Jaminan Fidusia secara 5
Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Jaminan Fidusia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1999), hal. 35–36.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
5
komprehensif, memberikan kejelasan dan kepastian karena selam ini lembaga Jaminan Fidusia tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan tetapi hidup dan dipraktekan dalam masyarakat melalui yurisprudensi. Fidusia lahir setelah dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum melalui asas publisitas, sekaligus mencegah terjadinya Fidusia ulang tanpa sepengetahuan Kreditor. Denga demikian maka Pendaftaran Fidusia memberikan jaminan bagi Penerima Fidusia bahwa objek yang dijadikan Jaminan Fidusia tersebut tidak akan dipindahtangankan kepada pihak lain ataupun dijadikan lagi sebagai jaminan atas hutang yang lain. Di dalam sertipikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, artinya bahwa sertipikat Jaminan Fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Fidusia); artinya eksekusi langsung dapat dilakukan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final, serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Demikian pula apabila Debitor cidera janji, maka Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri (Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Fidusia).6 Eksekusi Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara7 : a. pelaksanaan titel eksekutorial b. penjualan benda yang menjadi objek jaminan atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan c. penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia, jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tinggi yang menguntungkan para pihak.
6
Bertha, “Leasing dan Pendaftaran Fidusia dalam Praktek,” (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2002), hlm. 6. 7
Ibid.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
6
Di Indonesia lelang masuk secara resmi sejak tahun 1908 sejalan dengan adanya Undang-undang Lelang yaitu Vendu Reglement dalam Staatblad tahun 1908 Nomor 189, yang sampai saat ini masih berlaku berdasarkan Pasal 11 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 dan Vendu Instructie atau instruksi lelang yang diumumkan dalam staatblad tahun 1908 Nomor 190. Peraturan-peraturan dasar lelang ini masih berlaku sampai saat ini dan menjadi dasar hukum penyelenggaraan lelang di Indonesia.8 Pada zaman globalisasi ini istilah lelang sudah mulai banyak diketahui dan dimengerti oleh masyarakat, dan ini terbukti dari banyaknya badan lelang swasta sehingga sangatlah mudah apabila ada seseorang yang ingin melakukan lelang dengan cara orang tersebut mendatangi ke badan lelang untuk mencari informasi bagaimana prosedur untuk melakukan lelang. Cara penjualan lelang itu dikenal sejak dahulu kala. Konsep itu merupakan konsep dari negara-negara barat, kemudian dibawa oleh orang Eropa ke Indonesia, dan cara penjualan lelang telah berkembang di Indonesia meskipun tergolong lama di negara lain. Di Indonesia perkembangan lelang itu sendiri sangat lamban, terbukti dengan masih digunakannya undang-undang lelang yang lama. Penjualan umum atau lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha mengumpulkan para peminat/peserta lelang. Penjualan umum atau lelang tersebut harus dilakukan oleh atau dihadapan seorang pejabat lelang. Jual beli melalui lelang kesepakatan harga terbentuk pada saat lelang, yaitu pada saat pejabat lelang untuk kepentingan penjual menunjuk penawar yang tertinggi dan mencapai harga limit sebagai pembeli lelang. Jadi jual beli lelang tidak murni terjadi antara pihak penjual dan pembeli, namun terdapat intervensi pejabat lelang berupa kewenangan pejabat lelang menunjuk pembeli lelang.9 8
Ida Murtamsa Salim, “Lelang Sebagai Sarana Penjualan Harta Pailit, Teori dan Praktek, Permasalahan dan Penyelesaian,” (Tesis Magister Kenotarian Universitas Indonesia, Depok, 2002), hlm. 3. 9
Purnama Tiora Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 5.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
7
Dalam prakteknya sistem lelang yang ada lebih maju dari pada peraturan yang ada, karena proses lelang mudah dan gampang, menyebabkan dapat diperolehnya suatu harga yang tinggi. Penjualan umum (lelang) atau auction pada dasarnya dirumuskan sebagai an auction is a system of selling to the public. Jadi cukup jelas di sini diisyaratkan sebagai perbuatan penjualan umum yang sekaligus wajib memenuhi rasa keadilan guna tercapainya keseimbangan mengenai harga, nilai dan kepastian kepemilikan dari suatu barang. Di sini dapat dipastikan bahwa faktor believe (mempercayai) but not to make believe (berpura-pura) dan prudent (hati-hati) juga dituntut keberadaannya dalam pekerjaan vendu/auction lelang.10 Mekanisme tersebut di atas kemudian merangsang terjadinya deregulasi di bidang
lelang
dengan
lahirnya
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
47/KMK.01/1996 tertanggal 25 Januari 1996 dan Keputusan Kepala Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara Nomor Kep-01/PN/1996 tanggal 25 Januari 1996 tentang Balai Lelang.11 Maka ketentuan tersebut di atas telah melahirkan balai lelang yaitu badan usaha yang dapat menjualbelikan barang milik orang lain dengan prosedur lelang. Dengan adanya balai lelang tersebut maka pelayanan lelang dapat dipisahkan antara lelang dengan sukarela dan lelang yang tidak bersifat sukarela. Jika lelang diselenggarakan atas kesepakatan pemohon dan termohon eksekusi, maka ini masuk artian lelang sukarela dan dapat diselenggarakan oleh balai lelang itu. Jika tidak ada kesepakatan atara pemohon dan termohon eksekusi maka lelang dilakukan lelang yang bersifat sukarela yang langsung ditanggung oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang .12
10
Widhyadharma, Op. Cit., hlm. 38.
11
Ibid.
12
Ibid.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
8
Pemilihan cara penawaran lelang yang tepat menentukan keberhasilan lelang. Cara penawaran terbuka (secara lisan) dengan harga naik-naik kiranya merupakan cara yang dapat mendukung transparansi dan lebih dapat dipertanggung jawabkan. Barang yang akan dilelang seringkali kurang dipersiapkan dengan baik. Akibatnya animo peminat berkurang dan pada akhirnya lelang menjadi kurang optimal. Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, lelang digolongkan sebagai suatu bentuk jual beli yang khusus, oleh karena cara penjualan lelang tersebut diatur dalam undang-undang tersendiri yang sifatnya Lex Specialis. Kekhususan lelang ini antara lain tampak pada sifatnya yang transparan dengan cara pembentukan harga yang kompetitif dan adanya ketentuan yang mengharuskan pelaksanaan lelang itu dipimpin oleh seorang pejabat umum, yaitu pejabat lelang yang independen dan profesional. Berdasarkan
latar
belakang
tersebut,
dilakukan
penelitian
mengenai
PERMASALAHAN HUKUM DALAM LELANG TERHADAP BARANG JAMINAN FUDISIA KENDARAAN BERMOTOR PADA PERUSAHAAN LEASING. Dasar inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menyusun tesis ini.
B.
POKOK PERMASALAHAN Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang permasalahan maka,
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah permasalahan hukum yang timbul apabila perusahaan leasing tersebut menjual barang jaminan fidusia secara langsung tanpa melalui lelang ? 2. Bagaimanakah cara perusahaan leasing mengatasi suatu masalah apabila ada Debitor yang kendaraannya akan ditarik untuk dilelang telah melakukan kecurangan seperti mengganti onderdil dari kendaraan yang akan dilelang tersebut ?
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
9
C.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, oleh karena itu akan diteliti
data sekunder yang dilakukan terhadap Peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada saat ini, kemudian secara deduktif diinterpretasikan untuk menjawab kasuskasus yang disajikan. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Data primer dalam penelitian ini terutama diperoleh melalui penelitian dari sumber-sumber yang terkait dibidang lelang terhadap Jaminan Fidusia dengan mengadakan wawancara telah dilakukan terhadap Bapak Rahmat Hidayat sebagai staf penarikan motor dan Ibu Aulia Cahyati sebagai Head Collection di perusahaan PT. Tunas Financindo Sarana - Lampung dan Bapak Derry Martha sebagai Kepala Cabang di perusahaan PT. Batavia Prosperindo Finance - Lampung, sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan terhadap peraturan perundangundangan dan literatur mengenai lelang terhadap Jaminan Fidusia. Setelah data primer dan sekunder terkumpul dilakukan terlebih dahulu inventarisasi hukum, selanjutnya diseleksi (identifikasi) permasalahan dan kendalakendala serta kelemahan-kelemahan dalam proses lelang terhadap barang Jaminan Fidusia. Hasil identifikasi permasalahan dan kendala-kendala serta kelemahankelemahan tersebut dicarikan pemecahan permasalahan yang ada tersebut. Dalam penelitian yuridis normatif tersebut, maka akan mencakup : 1. penelitian terhadap asas-asas hukum; 2. penelitian terhadap sistematika hukum; 3. penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal; 4. perbandingan hukum; 5. sejarah hukum.13
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjaun Singkat, Cet. 5, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 14.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
10
Sehingga dalam penelitian ini unsur-unsurnya terdiri dari : 1. Sifat dan Jenis penelitian Penelitian ini bersifat prespriktif, dimana penelitian ini bertujuan memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan dalam lelang terhadap barang jaminan fidusia. Serta penelitian ini bersifat evaluatif, dimana penulis memberikan penilaian atas kegiatan atau program yang telah dilaksanakan. 2. Pendekatan Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang ditujukan pada teori dan produk hukum. 3. Penelitian Penelitian bertujuan untuk menemukan permasalahan dan upaya-upaya penyelesaian permasalahan tersebut. 4. Analisa Data Digunakan daftar pustaka sebagai sumber utama, meliputi : a) Bahan hukum primer, antara lain Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, Vendu Reglement (Peraturan Lelang, Stb. 1908 – 189), Vendu Instructie (Instruksi Lelang, Stb. 1908 – 190), Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksana lainnya. b) Bahan Hukum Sekunder, antara lain berupa hasil penelitian ilmiah, karya para ahli hukum dan c) Sumber Hukum Primer yaitu peraturan lelang atau Vendu Reglement, instruksi lelang atau Vendu Instructie dan Undangundang Jaminan Fidusia. d) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum. 5. Sumber Pengumpul Data : a) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indinonesia, Kampus Depok;
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
11
b) Undang-undang Jaminan Fidusia dan Peraturan Lelang; c) Peraturan
Pemerintah,
Peraturan
Menteri
dan
peraturan
perundangan yang dikeluarkan oleh instansi-instansi terkait yang relevan dengan penulisan ini. Berdasarkan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan tersebut, kemudian disusunlah tesis ini.
D.
SISTEMATIKA PENULISAN Untuk memberikan gambaran secara umum mengenai materi dalam
keseluruhan tesis ini dan guna mempermudah pengkajian dan pemahaman hasil penulisan yang dilakukan, maka secara garis besarnya penulisan tesis ini dilakukan dengan sistematika sebagai berikut : BAB I
: Pendahuluan Terdiri dari latar belakang masalah, pokok permasalahan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: Lelang terhadap Barang Jaminan Fidusia pada Perusahaan Leasing Terdiri dari tinjauan umum sekilas mengenai arti leasing, arti jaminan fidusia, lelang barang jamina fidusia, dasar hukum yang berlaku, serta prosedur dalam pelelangan hingga selesai. Dan dibahas pula mengenai analisa dari pokok permasalahan, yaitu permasalahan hukum yang timbul apabila perusahaan leasing tersebut menjual barang jaminan fidusia secara langsung tanpa melalui lelang, bagaimanakah cara perusahaan leasing mengatasi suatu masalah apabila ada Debitor yang kendaraannya akan ditarik untuk dilelang telah melakukan kecurangan seperti mengganti onderdil
dari
kendaraan
yang
akan
dilelang
tersebut
dan
bagaimanakah peranan lelang sebagai sarana penjualan barang jaminan fidusia pada perusahaan leasing.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
12
BAB III
: Simpulan dan Saran Dalam bab ini terdiri dari simpulan dan saran. Simpulan berisi inti dari pada seluruh pokok permasalahan yang ada. Saran berisi anjuran bagaimana mengatasi permasalahan.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010