BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Era globalisasi menjadikan batas-batas antar negara semakin dekat. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara warga negara semakin cepat dan mudah dilakukan. Konsekuensi dari semakin cepat, mudah dan dekat dalam berinteraksi ada yang membawa konsekuensi hukum dan ada yang tidak membawa konsekuensi hukum. Manakala interaksi hubungan tersebut merupakan hubungan hukum, jelas akan membawa konsekuensi hukum bagi para pihak. Secara katagorikal hubungan hukum diklasifikasi menjadi hubungan hukum yang berdimensi publik dan hubungan hukum yang berdimensi private (perdata). Hubungan keperdataan antara subyek hukum yang mengandung unsur asing merupakan ranah hukum perdata internasional. Namun demikian hukum perdata internasional Indonesia adalah sistem hukum nasional dan tidak bersifat supra nasional. Terminologi internasional dalam hukum perdata internasional hanya menunjukkan hubungan-hubungan internasional, karena adanya unsur asing tersebut menjadikan hubungan-hubungan tersebut menjadi internasional. Kehadiran orang asing di Kabupaten Badung Provinsi Bali tidak semata-mata untuk tujuan wisata untuk melihat keindahan alam Bali berupa sumber daya yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam
1
hayati, sumber daya alam non hayati dan sumber daya buatan akan tetapi banyak yang bertujuan untuk melakukan investasi. Sumber daya tersebut menjadi modal dan menjadi daya tarik tersendiri bagi orang asing untuk datang ke Kabupaten Badung Provinsi Bali melalui penyelenggaraan kepariwisataan. Implikasi orang asing datang ke Kabupaten Badung sebagai salah satu daerah pariwisata di Bali telah melahirkan salah satu hubungan hukum keperdataan antara orang asing dengan penduduk warga negara Indonesia setempat yakni berupa perkawinan. Secara teoritik perkawinan antara orangorang yang melintasi wilayah negara disebut perkawinan campuran internasional. Hal ihwal tentang perkawinan campuran menurut undangundang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatur dalam pasal 57 sampai dengan pasal 62. Perkawinan campuran menurut undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 57 UUP). Secara normatif dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang selanjutnya disebut UUP disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Makna daripada kalimat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang
2
maha esa, yaitu: (1) perkawinan itu berlangsung seumur hidup, (2) cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-istri saling membantu dalam menegakkan keutuhan dan memperoleh kebahagiaan keluarga (rumah tangga). Suatu keluarga secara normatif dikatakan bahagia dalam membina rumah tangganya apabila terpenuhi dua (2) kebutuhan pokok yaitu: kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Undang-undang perkawinan (UUP) mengatur juga mengenai harta benda dalam perkawinan, yakni diatur dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37. Harta benda dalam perkawinan yang dimiliki oleh pasangan suami istri kerap sekali memunculkan persoalan hukum yang berkepanjangan manakala perkawinan suami istri itu putus dipertengahan jalan dengan putusan cerai. Masing-masing suami atau istri merasa yang paling berhak atas harta yang dihasilkan dalam perkawinannya. Permasalahan harta benda dalam perkawinan dihadapi pula oleh pasangan perkawinan campuran khususnya harta berupa tanah dengan status hak milik. Pasangan perkawinan campuran yang dalam perkawinannya tidak membuat perjanjian kawin tentang perjanjian pemisahan harta, menemui permasalahan hukum dalam melepaskan hak milik atas tanah yang telah dikuasainya, sementara pada saat memperoleh melalui jual beli dihadapan notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) terhadap hak milik atas tanah tidak ada masalah. Proses dan mekanisme yang dilakukan oleh suami istri pasangan perkawinan campuran yang berkewarganegaraan Indonesia hadir dihadapan notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) menyampaikan kehendaknya untuk
3
membeli tanah, dan notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) langsung membuat akta jual beli yang dikehendaki itu dan melakukan permohonan peralihan hak di kantor pertanahan setempat ke atas nama suami istri pasangan perkawinan campuran yang berkewarganegaraan Indonesia. Kesulitan bagi suami istri yang berkewarganegaraan Indonesia dalam perkawinan campuran dalam melakukan perbuatan hukum pelepasan hak milik atas tanah yang diperoleh selama perkawinan tanpa perjanjian kawin tentang perjanjian pemisahan harta, melahirkan cara-cara pelepasan hak atas tanah dengan melakukan kolaborasi dengan notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undangundang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris juncto undang-undang nomor 2 tahun 2014 tentang jabatan notaris, sedangkan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Perbuatan hukum mengenai pelepasan hak atas tanah, pejabat pembuat akta tanah (PPAT) berpedoman pada peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang pejabat pembuat akta tanah dan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah serta peraturan pelaksanaan
4
lainnya. Sebelum pembahasan ditujukan tentang pelepasan hak atas tanah hendaknya perlu diketahui jenis-jenis hak atas tanah yang ada menurut undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang dikenal dengan UUPA. Jenis-jenis hak atas tanah diatur dalam pasal 16 UUPA, yakni: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 53 UUPA. Hak atas tanah yang diatur dalam pasal 16 UUPA, hak milik adalah jenis hak atas
tanah yang terkuat,
terpenuh dan turun temurun sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (1) UUPA. Hak milik atas tanah dikatakan paling kuat karena hak milik tidak dibatasi oleh jangka waktu, hak ini akan berlangsung selamanya kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan hapusnya hak milik sebagaimana ditentukan dalam pasal 27 UUPA. Hak milik atas tanah dikatakan paling penuh, karena di atas tanah hak milik itu dapat dibebani hak tanggungan dan hak-hak atas tanah lainnya dalam UUPA. Pasal 21 UUPA lebih lanjut mengatur mengenai subyek hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia yaitu: Ayat (1) hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik; Ayat (2) oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya; Ayat (3) orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
5
warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung; Ayat (4) selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini.
Hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh subyek hukum orang warga negara Indonesia. Subyek hukum orang warga negara asing tidak boleh menjadi subyek hukum untuk memiliki tanah dengan status hak milik. Peraturan dalam UUPA yang hanya subyek hukum orang warga negara Indonesia boleh menjadi subyek hukum hak milik atas tanah adalah tidak terlepas
dengan
prinsip
nasionalitas
yang
dianut
UUPA
sebagai
implementasi dari asas kebangsaan. Dalam tataran praktik pelaksanaan (empiris) ketentuan Pasal 21 Ayat (3) UUPA menemukan banyak kendala dan pada akhirnya diperoleh ragam interprestasi (penafsiran) yang dikemukakan oleh para praktisi. Ragam interprestasi (penafsiran) yang dimaksud dalam tulisan ini adalah manakala pasal 21 Ayat (3) UUPA itu dikaitkan dengan subyek hukum orang warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dan didalam perkawinan itu tidak ada perjanjian kawin tentang perjanjian pemisahan harta dalam memperoleh dan melepaskan hak milik atas tanah. Ragam interprestasi (penafsiran) bermunculan mungkin karena rumusan norma
6
yang terkandung dalam pasal 21 ayat (3) bersifat kabur (blanket norm). Kondisi ini memunculkan praktik-praktik kolaborasi illegal antara notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dengan masyarakat pasangan perkawinan campuran yang tinggal di Kabupaten Badung Provinsi Bali khususnya dalam melepaskan hak milik atas tanah yang telah dikuasai oleh pasangan perkawinan campuran agar proses pelepasan hak milik atas tanahnya dapat diselesaikan. Praktik-praktik kolaborasi ilegal itu tentulah menyimpan konflik hukum yang sangat rawan. Untuk menghidari agar praktik kolaborasi ilegal ini tidak terus marak
berlanjut
dilakukan
oleh
pasangan
perkawinan
campuran
berkolaborasi dengan notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) di Kabupaten Badung tentulah harus ada pemikiran yang konstruktif dan solutif melalui kajian dan penelitian agar dapat memberikan jawaban atas permasalahan tersebut. Penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji permasalahan “Pelepasan Hak Milik Atas Tanah Yang Diperoleh Suami Istri Dalam Perkawinan Campuran Di Kabupaten Badung Provinsi Bali”.
B.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan dua permasalahan, yakni: 1. Dalam hal-hal apakah warga negara asing (suami/istri) dalam perkawinan campuran dapat memperoleh hak milik atas tanah ditinjau dari ketentuan pasal 21 ayat (3) UUPA di Kabupaten Badung Provinsi Bali?
7
2. Bagaimana cara pelepasan hak milik atas tanah yang diperoleh suami istri dalam perkawinan campuran di Kabupaten Badung Provinsi Bali?
C.
TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan pada pokok permasalahan yang diteliti, maka adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui keadaan-keadaan yang memungkinkan warga negara asing
(WNA)
(suami/istri)
dalam
perkawinan
campuran
dapat
memperoleh hak milik atas tanah ditinjau dari ketentuan pasal 21 ayat (3) UUPA di Kabupaten Badung Provinsi Bali. 2. Untuk mengetahui, meneliti, dan mengkaji cara pelepasan hak milik atas tanah yang diperoleh suami istri dalam perkawinan campuran di Kabupaten Badung Provinsi Bali.
D.
KEGUNAAN PENELITIAN 1. KEGUNAAN TEORITIS Kegunaan teoritis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetehauan khususnya pada bidang ilmu hukum perkawinan (perkawinan campuran) dan ilmu hukum pertanahan. Bidang hukum pertanahan yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan pelaksanaan pasal 21 ayat (3) UUPA bagi pasangan perkawinan campuran di Kabupaten Badung Provinsi Bali. Bidang hukum perkawinan yang
8
dimaksudkan adalah bidang hukum perkawinan campuran yang berkaitan dengan harta benda dalam perkawinan yaitu harta benda berupa tanah dengan status hak milik yang diperoleh oleh pasangan perkawinan campuran yang didalam perkawinannya tidak membuat perjanjian kawin tentang perjanjian pemisahan harta di Kabupaten Badung Provinsi Bali.
2. KEGUNAAN PRAKTIS Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan kepada pasangan perkawinan campuran, praktisi hukum khususnya Notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT), pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berupa: a. Informasi yang jelas tentang pelaksanaan ketentuan pasal 21 ayat (3) UUPA bagi
pasangan
perkawinan
campuran
yang didalam
perkawinannya tidak membuat perjanjian kawin tentang perjanjian pemisahan harta di Kabupaten Badung Provinsi Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk memperoleh hak milik atas tanah. b. Informasi mengenai cara pelepasan hak milik atas tanah yang diperoleh suami istri dalam perkawinan campuran yang didalam perkawinannya tidak membuat perjanjian kawin tentang perjanjian pemisahan harta di Kabupaten Badung Provinsi Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya.
9
E.
KEASLIAN PENELITIAN Persoalan upaya pelepasan hak milik atas tanah yang diperoleh suami istri dalam perkawinan campuran di Kabupaten Badung Provinsi Bali merupakan konsekuensi dari perkembangan kepariwisataan dan rasa kenyamanan interaksi warga negara asing di Indonesia, khususnya di Kabupaten Badung Provinsi Bali. Cara pelepasan hak milik atas tanah yang diperoleh suami istri dalam perkawinan campuran di Kabupaten Badung Provinsi Bali merupakan persoalan yang baru berkembang sehingga belum banyak penelitian yang mengkaji persoalan penguasaan tanah oleh pasangan perkawinan campuran. Undang-undang pokok agraria (UUPA) yang diundangkan pada tahun 1960 dan sampai saat ini masih tetap berlaku mengedepankan prinsip nasionalitas tentang kepemilikan tanah. Hak milik hanya diberikan kepada subyek hukum orang warga negara Indonesia, dan subyek hukum orang warga negara asing tertutup peluangnya mempunyai tanah dengan status hak milik di Indonesia. Kelangkaan penelitian persoalan penguasaan tanah oleh suami istri dalam perkawinan campuran di Kabupaten Badung Provinsi Bali ditunjukkan juga dari penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum baik berkaitan dengan berbagai karya tulis berupa skripsi, tesis, disertasi maupun buku ilmiah melalui media cetak dan elektronik yang ada di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Udayana. Hasil penelusuran menemukan halhal sebagai berikut :
10
Pertama, tesis atas nama I Ketut Arjana1 mahasiswa program pasca sarjana universitas tujuh belas agustus surabaya dengan judul Hak-Hak Atas Tanah Yang Dapat Dimiliki Oleh Warga Negara Asing di Kota Denpasar Provinsi Bali, dengan permasalahannya: hak-hak atas tanah apa saja dan bagaimana mekanisme perolehan hak atas tanah bagi warga negara asing di Kota Denpasar”, dalam kesimpulannya disebutkan bahwa : (1) warga negara asing dapat mempunyai tanah di Indonesia dengan hak pakai dan hak sewa dan ternyata di Kota Denpasar warga negara asing memiliki tanah dengan hak pakai dan (2) di Kota Denpasar seorang warga negara asing mempunyai tanah dengan hak pakai dengan mekanisme yang telah ditentukan oleh undang-undang yaitu dengan cara membeli dan mekanismenya adalah melalui pelepasan hak yang dibuat dihadapan notaris dilanjutkan dengan permohonan hak kepada negara. I Ketut Arjana dalam penulisannya menitik beratkan tentang hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh orang asing di Kota Denpasar, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis ini menitik beratkan tentang perolehan dan pelepasan hak milik atas tanah bagi pasangan perkawinan campuran di Kabupaten Badung Provinsi Bali. Kedua, Yohanes I Wayan Suryadi2, mahasiswa program studi magister kenotariatan Universitas Gadjah Mada dengan judul Tinjauan Kekuatan Akta Pengakuan Utang Yang Dibuat Dihadapan Notaris Sebagai Dasar 1
Arjana I Ketut, 2004, Hak-Hak Atas Tanah Yang Dapat Dimiliki Oleh Warga Negara Asing di Kota Denpasar Provinsi Bali, Tesis, Universitas Tujuh Belas Agustus, Surabaya. 2 Yohanes I Wayan Suryadi, 2006, Tinjauan Kekuatan Akta Pengakuan Utang Yang Dibuat Dihadapan Notaris Sebagai Dasar Pengalihan Hak Atas Tanah, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
11
Pengalihan Hak Atas Tanah, dengan permasalahannya: dapatkah akta pengakuan utang yang dibuat dihadapan notaris sebagai dasar pengalihan hak milik atas tanah, dalam kesimpulannya disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang berhak menguasai tanah dengan hak milik karena UUPA menganut prinsip nasionalitas sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA. Akta pengakuan utang yang dibuat dihadapan notaris memenuhi unsur pengakuan hak sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat (2) UUPA, sehingga pemindahan hak milik kepada subyek hukum orang warga negara asing akan mengakibatkan kebatalan karena segala perbuatan hukum yang dilakukannya merupakan pelanggaran hukum. Yohanes I Wayan Suryadi dalam penulisannya menitik beratkan tentang kekuatan akta pengakuan utang yang dibuat dihadapan notaris sebagai dasar pengalihan hak milik atas tanah oleh orang warga negara asing, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis ini menitik beratkan tentang perolehan dan pelepasan hak milik atas tanah bagi pasangan perkawinan campuran di Kabupaten Badung Provinsi Bali. Ketiga, tesis atas nama I Nyoman Sumardika3 dengan judul Penguasaan Tanah oleh Warga Negara Asing di Kabupaten Badung dengan permasalahannya yaitu: (1) bentuk perbuatan hukum apa saja yang dilakukan oleh warga negara asing untuk mengikat warga negara Indonesia dalam menguasai tanah di Kabupaten Badung.
3
Sumardika I Nyoman, 2007, Penguasaan Tanah oleh Warga Negara Asing di Kabupaten Badung, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
12
I Nyoman Sumardika dalam penulisannya menitik beratkan tentang perbuatan hukum apa saja yang dilakukan oleh warga negara asing untuk mengikat warga negara Indonesia dalam menguasai tanah di Kabupaten Badung, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis ini menitik beratkan tentang perolehan dan pelepasan hak milik atas tanah bagi pasangan perkawinan campuran di Kabupaten Badung Provinsi Bali Keempat, hasil penelusuran kepustakaan berbahasa Indonesia yang melakukan pembahasan terkait dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing hanya dapat dijumpai pada buku Maria SW. Sumardjono yang berjudul : (1). Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi4 dalam sub bahasan tentang Penguasaan Tanah oleh warga negara asing di bawah sub judul Bab VI tentang Hak Atas Tanah Orang Asing dan (2). Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimak bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu.
4
Maria S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm. 170.
13