BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia atau masyarakat suatu bangsa. Ini berarti bahwa pembangunan senantiasa beranjak dari suatu keadaan atau kondisi kehidupan yang kurang baik menuju suatu kehidupan yang lebih baik dalam rangka mencapai tujuan nasional suatu bangsa. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembangunan nasional yang membawa perubahan di sektor pembangunan ekonomi, di mana tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat secara terus menerus selama lebih-kurang 32 tahun di masa pemerintahan Orde Baru belum mampu membangun basis ekonomi rakyat yang tangguh. Perlu pula disadari bahwa proses percepatan pembangunan yang terlalu menitik-beratkan pada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa dimbangi dengan pemerataan pendapatan untuk membangun ekonomi rakyat, maka misi pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat akan terabaikan sehingga basis ekonomi rakyat (nasional) mengalami kegoncangan bahkan rapuh. Kerapuhan basis ekonomi rakyat mulai nampak di Indonesia pada awal 1997 ditandai dengan munculnya krisis multi-dimensional, yang diawali dengan krisis ekonomi dan moneter sekaligus menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dimulai dengan memasuki Era Reformasi.
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya krisis ekonomi dan moneter, maka terjadi kelumpuhan ekonomi nasional terutama di sektor riel yang berakibat terjadinya PHK besarbesaran dari perusahan-perusahan swasta nasional. Hal ini berujung pada munculnya pengangguran di kota-kota besar, termasuk Kota Medan sebagai obyek penelitian ini. Sebagaimana di kota-kota besar lainnya, kota Medan merupakan kota perdagangan adalah wajar apabila para pengangguran melakukan kompensasi positif dengan memilih bekerja di sektor informal. Salah satu sektor informal yang banyak diminati para pengangguran (selain yang sudah lama bekerja di sektor ini) yaitu Pedagang Kaki Lima. Kelompok pedagang kaki lima sebagai bagian dari kelompok usaha kecil adalah kelompok usaha yang tak terpisahkan dari aset pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan, jelas merupakan bagian integral dunia usaha nasional yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat strategis dalam turut mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya. Pedagang Kaki Lima sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Sejalan dengan uraian di atas, dalam penjelasan UU. No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa Usaha kecil (termasuk pedagang kaki lima) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan
Universitas Sumatera Utara
dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Bahkan pedagang kaki lima, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagai salah satu jenis usaha di sektor informal, pedagang kaki lima berfungsi sebagai katup pengaman masalah ketenaga kerjaan yang dapat meredam ledakan sosial akibat meningkatnya angka pencari kerja. Alasannya, usaha ini tidak memerlukan tingkat pendidikan formal yang terlalu tinggi dan modal yang diperlukan untuk membuka usaha relatif kecil. Bahkan ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia tahun 1997 silam, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia terkena imbasnya. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar tersebut mengurangi jumlah pekerjanya melalui Pemutusan Hubungan Kerja bahkan ada yang tutup. Tetapi para Pedagang Kaki Lima ini mampu bertahan, tanpa mengharapkan bantuan modal atau fasilitas lain dari pemerintah, pedagang kaki lima tetap bertahan. Sampai saat ini fenomena pedagang kaki lima masih memendam banyak persoalan dalam pembangunan perkotaan di Indonesia. Pedagang kaki lima
Universitas Sumatera Utara
(PKL), kini telah menjadi fenomena sosial di setiap kota besar. Sebagai bentuk usaha informal, pedagang kaki lima merupakan sandaran hidup bagi sebagian masyarakat Indonesia yang tak terserap dalam dunia kerja formal. Dengan harganya yang terjangkau serta tempat berjualan yang flexible dan dekat dengan konsumennya, pedagang kaki lima menjadi pilihan praktis berbelanja bagi masyarakat perkotaan. Oleh sebagian pihak, kehadiran pedagang kaki lima di tengah-tengah kota dianggap sebagai pengganggu ketertiban, keamanan dan keindahan kota. Sehingga pedagang kaki lima sering diberi predikat sebagai salah satu penyebab munculnya berbagai permasalahan seperti kemacetan lalu-lintas, merusak keindahan kota dan kerawanan sosial. Dengan alasan inilah yang sering melatar belakangi para petugas satuan polisi Pamong Praja untuk melakukan penertiban terhadap pedagang kaki lima. Seringkali kita mendengar di media cetak maupun elektronik terjadinya kerusuhan antara pedagang kaki lima dengan petugas. Dengan alasan menjalankan peraturan petugas dengan tegasnya melakukan tugasnya walaupun kekerasan menjadi jalan utamanya. Persoalan pedagang kaki lima di berbagai kota ini menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah kota bertanggung jawab atas warganya dalam persoalan kesejahteraan. Di sisi lain, Pemerintah Kota membutuhkan wajah kota yang indah, bersih, dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat. Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut, Pemerintah Kota sering lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni
Universitas Sumatera Utara
pentingngnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata pedagang kaki lima.
1.2 Perumusan Masalah Agar penelitian ini lebih memiliki arah yang jelas dan memberikan kemudahan dalam menampilkan fakta dan data ke dalam penulsan skripsi, maka diperlukan perumusan masalah yang jelas. Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada latar belakang masalah, maka penulis merumuskan suatu masalah pokok dalam penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimana persepsi masyarakat Kelurahan Tegal Sari I terhadap Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Pasar Sukaramai ”
1.3 Pembatasan Masalah Pembahasan mengenai program tata ruang kota dan pelaksanaannya, termasuk kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima merupakan topic yang kompleks. Maka, agar lebih fokus kepada permasalahan yang akan diteliti maka penulis memberikan batasan dalam perumusan masalah bagaimana persepsi masyarakat.
1.4 Tujuan Penelitian Sebagai sebuah kajian ilmiah dan sesuai dengan prinsip penelitian, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk : 1. Untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah kota dalam upaya penataan pedagang kaki lima. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima.
1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagi penulis, penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta kemampuan berpikir dalam melihat dan menganalisa gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat. Dan juga dapat menjadi masukan bagi penulis akan pengetahuan tentang persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima di kota Medan. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan. 2. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi empirik terhadap studi Administrasi Pembangunan di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara mengenai persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima. 3. Secara Praktis, diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah kota Medan agar dapat menyempurnakan kebijakan-kebijakan pada masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
1.6 Kerangka Teori 1.6.1 Persepsi masyarakat Dalam siklus hidupnya manusia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Sejak manusia dilahirkan, individu secara langsung berhubungan dengan dunia sekitarnya. Mulai saat itu pula manusia secara langsung menerima rangsang dari luar dirinya dan hal ini berkaitan dengan persepsi. Persepsi merupakan hasil hubungan antara manusia dengan lingkungan kemudian diproses dalam kesadaran (kondisi) yang mempengaruhi memori ingatan tentang pengalaman, minat, sikap, intelegensi di mana hasil penelitian terhadap apa yag di inderakan akan mempengaruhi tingkah laku (Wirawan, 1992:37). Jadi menurut Wirawan dalam pengertian persepsi tidak saja memuat pandangan seseorang terhadap sesuatu, tetapi juga terdapat hubungan antara manusia dengan lingkungan dalam proses kognisi yang kemudian mempengaruhi memori seseorang. Pendapat ini didukung pula oleh Thoha (1998 : 23) persepsi merupakan proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pandangan, pengahayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap suatu situasi. Yang dimaksud dengan proses kognitif di atas adalah proses kegiatan mental yang sadar seperti : berpikir, mengetahui, memahami dan kegiatan konsepsi mental seperti : sikap, kepercayaan dan pengharapan yang kesemuanya merupakan faktor yang
Universitas Sumatera Utara
menentukan perilaku. Sesuatu yang menyebabkan seseorang berpersepsi adalah apabila muncul sesuatu yang berbeda menurutnya pada lingkungannya, sesuatu yang memilii stimulus yang mengakibatkan rangsangan baik secara fisik maupun mental. Mengenai defenisi masyarakat ada beberapa yang dikemukakan para ahli seperti yang disebutkan oleh Paul B Horton (Soekanto, 2002 : 24) bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tertentu. Sedangkan menurut Ralph Linton (Soekanto, 2002:24) masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa masyarakat adalah kumpulan dari individu yang hidup dan tinggal bersama dalam suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu menyadari bahwa mereka adalah suatu kesatuan dan memiliki norma-norma tertentu yangtelah disepakati bersama dan kebudayaan tersendiri. Bila dikombinasikan antara persepsi dan masyarakat maka penulis memberikan defenisi bahwa masyarakat adalah sebuah proses dimana sekelompok individu yang hidup dan tinggal bersama dalam wilayah tertentu, memberikan tanggapan terhadap hal-hal atau obyek tertentu yang dianggap menarik dari lingkungan tempat tinggal mereka.
Universitas Sumatera Utara
Ada sebuah teori tentang persepsi yang sering disebut teori “SOR”. SOR adalah singkatan dari Stimulate – Organism – Response. Menurut teori ini, pengaruh yang terjadi pada pihak penerima pada dasarnya merupakan suatu reaksi tertentu dari stimulus (rangsang) tertentu. Dengan demikian besar kecil dan bentuk pengaruh dan persepsi (respon) tergantung pada stimulus. Bila kita sesuaikan antara teori ini dengan penelitian yang penulis lakukan maka ada 3 elemen penting dalam penelitian ini, yaitu : 1. Stimulate: Hasil implementasi kebijakan penataan pedagang kaki lima Kota Medan. 2. Organism: Masyarakat pembeli, penjual dan pengguna jalan di Pasar Sukaramai Kecamatan Medan Denai. 3. Response: Bagaimana persepsi masyarakat pasar Sukaramai tehadap kebijakan penataan pedagang kaki lima. Maka bila dihubungkan antara persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima adalah pandangan masyarakat kelurahan Tegal Sari I kecamatan Medan Area terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima di Pasar Sukaramai. 1.6.2 Implementasi kebijakan. Dalam setiap rumusan kebijakan apakah yang menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti. Dalam hal ini, seperti yang dikemukakan oleh Wahab (1990:51) menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang
Universitas Sumatera Utara
penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan. Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan yaitu : a. Membangun persepsi di kalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai suatu masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh suatu kelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan dianggap masalah. b. Membuat batasan masalah. c. Memobolilsasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Memobolisasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat dan kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media massa dan sebagainya. Menurut Charles O. Jones (dalam Tangkilisin, 2003 : 3) Kebijakan adalah keputusan-keputusan pemerintah untuk
memecahkan masalah-masalah yang
diutarakan atau dapat juga kebijakan diartikan sebagai suatu keputusan untuk mengakhiri atau menjawab pertanyaan yang diajukan kepada kita. Penekanan aktifitas birokrasi pemerintah pada proses kebijakan publik lebih pada tahapan implementasi dengan menginterprestasikan kebijaksanaan menjadi program, proyek dan aktivitas.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Program akan menunjang implementasi, karena dalam program tersebut dimuat berbagai aspek antara lain yaitu : a. Adanya tujuan yang ingin dicapai. b. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan tersebut. c. Adanya aturan-aturan yang dipegang dan prosedur yang harus dilalui d. Adanya strategi dalam pelaksanaan. Selanjutnya Jones (1991:296) memberikan pengertian program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan. Unsur kedua yang harus dipenuhi dalam proses implementasi program adalah adanya kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program sehingga masyarakat tersebut merasa ikut dilibatkan dan membawa hasil dari program yang dijalankann dan adanya perubahan dan peningkatan dalam kehidupannya. Tanpa memberikan manfaat kepada masyarakat maka boleh dikatakan program tersebut telah gagal dilaksanakan. Kemudian yang menjadi unsur ketiga dalam implementasi program adalah unsur pelaksana yang meliputi organisasi maupun pengawasan dalam proses implementasi. William N. Dunn (dalam Tangkilisan, 2003:21) mengatakan bahwa kebijkan publik adalah serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor yan mempengaruhi kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi yaitu : a. Standard dan sasaran kebijakan. b. Komunikasi anatara organisasi dan pengukuran aktifitas. c. Kondisi sosial, ekonomi dan politik. d. Sumber daya. e. Sikap pelaksanaan. Selain itu Rippley dan Franklin ( dalam Tangkilisan, 2003:21) menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari tiga faktor yaitu : a. Prespektif kepatuhan ( compliance ) yang mengukur implementasi dari kepatuhan terhadap kebijakan. b. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan. c. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan. Peters ( dalam Tangkilisan, 2003:22) mengatakan implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor : a. Informasi Kekurangan informasi dengan mudah megakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada
para
pelaksana
dari
isi
kebijakan
yang
akan
dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
Universitas Sumatera Utara
b. Isi kebijakan Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidak tepatan atau ketidak tegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu. c. Dukungan Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut. d. Pembagian potensi Hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para kator implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang. Sebagai suatu ringkasan untuk mempermudah pemahaman kerangka pemikiran dapat tersaji dalam bagian sebagai berikut. Proses implementasi
kebijakan
hendaknyanya
melalui
alur
seperti
dikemukakan oleh Dye (dalam Tangkilisan, 2003:22) sebagai berikut :
................................................... .................................................. Berdasarkan
bagan/kerangka
pemikiran
dihubungkan
dengan
permasalahan yang diteliti sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a) Public Policy Merupakan rangakaian pilihan yang harus lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak ) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah, diformulasikan di dalam bidang-bidang isu. Pada salah satu bidan isu tersebut terdapat banyak isu kebijakan, yaitu serangkaian arah tindakan pemerintah yang aktual ataupun yang potensial yang mengandung konflik diantara segmen-segmen yang ada dalam masyarakat. b) Policy Stakeholder Yaitu para individu dan atau kelompok individu yang mempunyai andil di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Pelaku kebijakan misalnya kelompok warga negara, perserikatan birokrasi, partai politik, agen-agen pemerintah dan para analis kebijakan sering menangkap secara berbeda informasi yang sama mengenai lingkungan kebijakan. c) Policy Environment Yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuatan kebijakan dan kebijakan publik. Oleh karena itu sistem sistem kebijakan berisi proses yang bersifat dialektis, yang berarti bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari pembuatan kebijakan tidak terpisahkan di dalam prakteknya. Menurut Heclo (dalam Hesel, 2003 : 3 ) menggunakan istilah kebijakan itu secara luas yakni sebagai rangkaian tindakan pemerintah atau tidak bertindaknya
Universitas Sumatera Utara
pemerintah atas sesuatu masalah. Jadi lebih luas dari tindakan atau keputusan yang bersifat khusus. Menurut James A. Anderson (dalam Tangkilisan, 2003 : 19) merumuskan kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan – perubahan jadi kebijakan memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan apa yang dimaksud dan hal ini membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pikiran diantara berbagai alternatif. Guna mencapai tujuan implementasi program secara efektif, pemerintah harus melakukan aksi atau tindakan yang berupa penghimpunan sumber dana dan pengelolaan sumber daya alam dan manusia. Dengan demikian secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Lebih lanjut Wibawa (dalam Tangkilisan, 2003:20) menyatakan bahwa keseluruhan proses kebijakan baru dapat dimulai apabila tujuan dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program telah dirancang dan juga sejumlah dana telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu atau pejabatpejabat terhadap suatu objek/sasaran yang diarahkan untuk mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
1.6.3 Kebijakan penataan pedagang kaki lima Untuk menciptakan suatu kota metropolitan, maka Pemerintah Kota Medan telah menetapkan suatu Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tahun 2001-2025 yang akan digunakan sebagai acuan dalam merencanakan kegiatan pembangunan. Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 1 Tahun 2002. Kemudian, untuk pelaksanaan Perda
No. 1 Tahun 2002 tersebut telah ditetapkan suatu
Keputusan Walikota Medan Nomor 188.342/070/K2002 tertanggal 20 Maret 2002. Pasal 2 Perda No. 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa pola dasar pembangunan Kota Medan tahun 2001-2025 merupakan pedoman dalam menetapkan peruntukan dan pemanfaatan tanah atau perencanaan kota bagi segenap
aparatur
Pemerintah
Kota
Medan,
DPRD,
Lembaga
Sosial
Kemasyarakatan (LSM), organisasi profesi, perguruan tinggi, dunia usaha, tokoh masyarakat, dan seluruh unsur dalam lapisan masyarakat lainnya di Kota Medan. Sehubungan dengan itu ada 9 (sembilan) arah kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam bidang ekonomi yakni : 1. mengembangkan
sistem
ekonomi
kerakyatan
yang
bertumpu
pada
produktivitas tenaga kerja yang tinggi dengan prinsip persaingan sehat; 2. mengembangkan perekonomian daerah yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan terutama membangun keunggulan kompetitif di samping keunggulan komparatif; 3. memberdayakan usaha kecil, menengah, dan koperasi (PKMK) agar lebih
Universitas Sumatera Utara
efisien, produktif, berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif, dan peluang usaha yang seluas-luasnya; 4. mengembangkan industri kecil kerajinan dan rumah tangga; 5. membangun sistem informasi pasar yang tangguh dan lembaga penelitian serta pengembangan produk daerah sebagai bagian integral dari sistem ekonomi masyarakat; 6. menata Badan Usaha Milik Daerah seperti PD. Pembangunan, PD. Pasar, PD. Rumah Potong Hewan secara efisien, transparan, dan profesional sehingga dapat diandalkan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan memberikan kontribusi yang semakin besar pada pendapatan daerah; 7. mengembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, usaha swasta menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi kota; 8. mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan terpadu terutama pada sektor informal yang diarahkan pada peningkatan kemandirian tenaga kerja; 9. mempercepat penyelamatan dan pemulihan ekonomi guna membangkitkan sektor riil terutama bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi (PKMK). Sehubungan dengan butir ke 8 dari kebijakan bidang ekonomi yang terdapat pada Pola Dasar Pembangunan tahun 2001-2025, ada beberapa kegiatan yang dilakukan Pemerintah Kota Medan yang terkait dengan PKL yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Bahwa dalam pengelolaan jajanan malam telah ada suatu bentuk kerjasama
Universitas Sumatera Utara
antara Pemerintah Kota Medan dengan pihak swasta (PT. Star Indonesia Medan). Kerjasama tersebut dituangkan dalam Surat Perjanjian No. 510/15724, tertanggal 26-08-2002, tentang surat perjanjian pelaksanaan pengelolaan pusat jajanan malam Kawasan Kesawan Medan; 2. Adanya keinginan Pemerintah Kota Medan untuk menampung akibat penggusuran terhadap pedagang buku Eks Titi Gantung, Jalan Irian Barat, Jalan Jawa, Jalan Veteran dan Jalan Sutomo Medan yang kemudian menempatkan para pedagang tersebut di Jalan Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan. Penempatan para pedagang di lapangan Merdeka didasarkan pada Keputusan Walikota Medan Nomor 510/1034/K/2003 tanggal 18 Juli 2003, tentang Penetapan Lokasi Jalan Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan menjadi Lokasi Tempat Berjualan/Kios-Kios Pedagang Buku Eks Titi Gantung, Jalan Irian Barat, Jalan Jawa, Jalan Veteran dan Jalan Sutomo Medan. Sebagai konsekuensi bersedianya pihak pedagang meninggalkan lokasi penggusuran ke lokasi yang telah ditentukan di lapangan Merdeka maka sesuai Pasal 2 ayat (1) Surat Perjanjian Nomor 511.3/5755.B bahwa pihak ke Pertama (dalam hal ini Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan) membebaskan pihak kedua (dalam hal ini pedagang), dari pembayaran kios tempat berjualan. Di samping itu ada jenis pelayanan lainnya yakni membebaskan pedagang dari pemakaian listrik, kebersihan, dan keamanan selama 1 (satu) tahun; 3. Bahwa dalam perkembangannya telah ada suatu kerjasama antara pihak PKL dengan pihak swasta yang difasilitasi oleh Pemko Medan, DPRD dan PD.
Universitas Sumatera Utara
Pasar serta Koperasi Maju Jaya, dalam penataan lokasi PKL sebagai solusi terjadinya suatu konflik antara PKL dengan pedagang formal. Adapun bentuk penyelesaiannya adalah bahwa para pedagang akan ditempatkan di Basement (lantai dasar) Pasar Pringgan Medan yang diperkirakan dapat menampung sebanyak 154 pedagang; Dalam rangka mengantisipasi perubahan tatanan politik, pemerintahan terutama
berkaitan
dengan
kebijakan
penyelenggaraan
otonomi
daerah
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, kebutuhan serta aspirasi masyarakat yang berkembang, maka Pemerintah Kota Medan di bawah kepemimpinan Bapak Drs. H. Abdillah, Ak.MBA telah melakukan penyempurnaan pada beberapa substansi penyelenggaraan pemerintahan, antara lain : 1. Instruksi Walikota Medan No. 141/079/Ins Tanggal 9 Februari 2001 tentang Tugas
dan
Tanggung
Jawab
Kepala
Kelurahan
Dalam
Rangka
Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan. Substansi dari instruksi tersebut adalah kewajiban Lurah untuk meningkatkan sistem penyelenggaraan dan pengembangan partisipasi amsyarakat, khususnya pada bidang kebersihan, keamanan, ketertiban dan pelayanan masyarakat. 2. Instruksi Walikota Medan No. 141/1417/Inst Tanggal 24 Juli 2001 tentang Tugas dan Tanggung Jawab Camat dalam Membina dan Mengawsi Program Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan. Instruksi memuat antara lain : a. Melaksanakan pembinaan langsung ke lapangan untuk membenahi, menertibkan, kekurangan dan kelemahan yang ada, baik kondisi fisik
Universitas Sumatera Utara
kebersihan, ketertiban dan keamanan maupun pelayanan masyarakat serta disiplin perangkat Kecamatan dan Kelurahan. b. Melaksanakan pengawasan (cek dan ricek) tentang kondisi dan hasil pembinaan yang dilakukan baik dari segi kwalitas, kwantitas dan objektivitas hasil kerja terutama : -
Di bidang kebersihan, ketertiban dan keamanan, sesuai Instruksi Walikota No. 141/079/Ins/2001 tanggal 9 Februari 2001.
-
Menyelesaikan masalah secara tuntas.
c. Melaksanakan koordinasi langsung, dengan instansi terkait untuk menuntaskan permasalahan kebersihan, ketertiban dan keamanan di Kecamatan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Camat berkewajiban untuk melakukan penyelenggaraan pembinaan, penataran, penertiban di samping melaksanakan SK Walikota Medan No. 54/SK/1983 tanggal 22 Januari 1983 tentang Larangan untuk berjualan dengan mempergunakan bangunan kios yang menjorok ke depan tanpa izin bangunan dari Pemda Tk. II Medan, termasuk menempatkan barang-barang, mengerjakan pekerjaan dan memarkir/mereperasi kendaraan bermotor di atas semua trotoir pada jalan umum dan Peraturan Daerah Tk. II Medan Nomor 31 Tahun 1993 tanggal 13 Juli 1993 tentang Pemakaian tempat berjualan serta Instruksi Walikota Medan No. 141/1417/Inst tanggal 24 Juli 2001 tentang Tugas dan tanggung jawab Camat dalam membina dan mengawasi
program
pemberdataan
kelurahan
di
Kota
Medan
dengan
Universitas Sumatera Utara
berkoordinasi dengan instansi lain seperti Satuan Polisi, Pamong Praja, Muspika, Tokoh Masyarakat dan lain-lain. Program kebersihan, keamanan dan ketertiban adalah merupakan harapan seluruh masyarakat untuk menjadikan Medan Kota BESTARI (Bersih, Sehat, Tertib, Aman, Rapi dan Indah) untuk mencapai sasaran pembangunan di segala bidang, dengan berpedoman kepada motto Kota Medan “Bekerjasama dan samasama bekerja untuk kemajuan dan kemakmuran Medan Kota Metropolitan”. Dalam rangka memberhasilkan program pemberdayaan Kelurahan yang dicanangkan oleh Pemko sejak tahun 2001 khususnya dalam pelaksanaan kebersihan, keamanan, ketertiban dan pelayanan masyarakat, Pemerintah Kota Medan telah mengadakan penataan organisasi, mekanisme pembinaan, rencana, pengawasan/ evaluasi serta dukungan dana yang cukup signifikan Penataan pedagang kaki lima artinyaa proses mengatur, merapikan dan sebagainya untuk menjadi tertib. Pemerintah kota Medan melakukan penataan terhadap pedagang kaki lima artinya tindakan terhadap pedagang kaki lima itu, kios-kios di sepanjang jalan dibongkar dan dipindahkan ke tempat usaha yang baru. Yang dimaksud dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah kota adalah cara bertindak aparatur pemerintah dalam melaksanakan penataan pedagang kaki lima di kota Medan. 1.6.4 Pedagang kaki lima Pengertian pedagang sektor informal sangat terkait dengan ekonomi informal. Kebanyakan usaha informal terdiri dari aktivitas ekonomi yang sah dengan kelembagaan dan organisasi yang lemah, sektor informal terdiri dari
Universitas Sumatera Utara
kegiatan komersil yang sah seperti supir taxi, penjual pakaian di jalanan dan lainnya dengan tanpa persyaratan legal, seperti harus mempunyai ijin dan membayar pajak. Namun demikian, telah diakui bahwa kegiatan sektor informal telah memainkan peranan yang penting dalam perekonomian di negara berkembang. Sektor informal bukanlah suatu fenomena yang esklusif dalam ekonomi transisi atau ekonomi berkembang (developing economies) seperti yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. PKL sebagai suatu jenis kegiatan ekonomi pada sektor infomal telah menunjukkan eksistensinya dalam wilayah perkotaan. Untuk lebih jelasnya, kegiatan PKL dalam sektor ekonomi yang dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal; 2. pada umumnya unit usaha tidak memiliki ijin usaha; 3. pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerjanya; 4. pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak menyentuh ke sektor tersebut; 5. unit usaha mudah masuk dari sub sektor ke sub sektor lain; 6. teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional; 7. modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga relatif kecil;
Universitas Sumatera Utara
8. pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak membutuhkan pendidikan khusus; 9. pada umumnya unit usaha termasuk “one man enterprises”, dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga; 10. sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga tidak resmi; 11. hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi untuk masyarakat golongan berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga menengah. Oleh sebab itu, PKL dapat dianggap sebagai kegiatan ekonomi masyarakat bawah. Memang secara defacto PKL adalah sebagai pelaku ekonomi di pinggiran jalan. PKL dalam melakukan aktivitasnya di mana barang dagangannya diangkut dengan gerobak dorong, bersifat sementara, dengan alas tikar dan atau tanpa meja serta memakai atau tanpa tempat gantungan untuk memajang barang-barang jualannya, dan atau tanpa tenda, dan kebanyakan jarak tempat usaha antara mereka tidak dibatasi oleh batas-batas yang jelas. Para PKL ini tidak mempunyai kepastian hak atas tempat usahanya Menurut Tri Kurniadi dan Hassel (2003 : 5) bahwa secara kasat mata perkembangan pedagang kaki lima tidak pernah terhentinya timbul seiring dengan pertumbuhan penduduk. Hal ini membawa akibat positif dan negatif. Positifnya perdagangan terlihat dari fungsinya sebagai alternatif dalam mengurangi jumlah pengangguran serta dapat melayani kebutuhan masyarakat ekonomi masyarakat menengah
kebawah.
Negatifnya
dapat
menimbulkan
masalah
dalam
pengembangan tata ruang kota seperti mengganggu ketertiban umum dan
Universitas Sumatera Utara
timbulnya kesan penyimpangan terhadap peraturan akibat sulitnya mengendalikan perkembangan sektor informal ini Menurut Lili N. Schock dalam bukunya menyebutkan istilah “kaki lima” sudah lama dikenal di tepi jalan. Istilah tersebut berasal dari zaman antara tahun 1811-1816, saat Napoleon menguasai benua Eropa dan daerah-daerah koloni Belanda di Asia berada di bawah kekuasaaan administrasi Inggris. Pada masa Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur jenderal di Indonesia yang menginstruksikan sistem lalu lintas di sebelah kiri di jalan-jalan raya dan sekaligus mengeluarkan suatu peraturan bahwa di tepi-tepi jalan harus dibuat trotoar untuk pejalan kaki yang akhirnya disebut sebagai kaki lima. Sampai sekarang sistem lalu lintas di sebelah kiri masih berlaku, sedangkan trotoar untuk pejalan kaki tidak banyak bertambah. Pada tempat yang sempit inilah para pedagang tepi jalan melakukan usahanya. Jadi, kaki lima adalah trotoar, yaitu tepi jalan yang ditinggikan yang biasanya mengitari rumah, bangunan-bangunan. Maksud sebenarnya kaki lima adalah untuk tempat bagi mereka yang berbelanja standar pasar, tetapi biasanya tempat ini menjadi terlalu sempit dan penuh sesak dengan manusia yang saling mendorong karena dari kaki lima biasanya tempatnya tidak terlalu lebar. Penyebab menjamurnya pedagang kaki lima terutama lima tahun belakangan ini seiring dengan adanya krisis moneter yang sudah begitu akut, adalah ciri-ciri yang khas dari sektor informal, yaitu: a. Mudah dimasuki, b. Fleksibel (waktu dan tempat beroperasinya),
Universitas Sumatera Utara
c. Bergantung pada sumber daya lokal, d. Skala operasinya yang kecil. Sehingga ada kemungkinan para pedagang makanan atau pedagang komoditi lainnya pada saat diperlukan misalnya pada bulan Puasa banting stir dan berdagang bahan-bahan untuk keperluan Lebaran. Keberadaan pedagang sektor informal ini kadang-kadang terlupakan, sehingga pada setiap kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan ekonomi praktis, sektor informal sering terlupakan. Sebetulnya pedagang sektor informal terutama pedagang kaki lima ini bisa dipakai sebagai penarik wisatawan dari manca negara, seperti misalnya Yogya dengan jalan Malioboronya, Tokyo-Jepang dengan Naka Okachi - Machi dan Harajukunya, Bangkok dengan jalan Petchburi dan jalan Pratunamnya, Singapura dengan Bugis street, Arab street dan Change alley-nya. Pedagang kaki lima (PKL) merupakan suatu kelengkapan kota-kota diseluruh dunia dari masa dahulu. Sebagai suatu kelengkapan, PKL tidak mungkin dihindari atau ditiadakan. Karena itu kalau ada suatu pemerintahan kota ingin meniadakan PKL akan menjadi kebijaksanaan atau tindakan yang sia-sia. Pedagang kaki lima (PKL) bagi sebuah kota tidak hanya mempunyai fungsi ekonomi, tetapi juga fungsi sosial budaya. Sebagai suatu fungsi ekonomi, PKL tidak pula semestinya hanya dilihat sebagai tempat pertemuan penjual dan pembeli secara mudah. Tidak pula hanya dilihat sebagai lapangan kerja tanpa membutuhkan syarat tertentu. Tidak pula dilihat sebagai alternatif lapangan kerja
Universitas Sumatera Utara
informal yang mudah terjangkau akibat suatu keadaan ekonomi yang sedang merosot. Pedagang kaki lima (PKL) haruslah dilihat sebagai pusat-pusat konsentrasi kapital, sebagai pusaran kuat yang menentukan proses produksi dan distribusi yang sangat menentukan tingkat kegiatan ekonomi masyarakat dan negara. Sebagai sebuah fungsi sosial, PKL tidak semestinya hanya dilihat sebagai pedagang yang serba lemah, tidak teratur, berada ditempat yang tidak dapat ditentukan, mengganggu kenyamanan dan keindahan, sehingga harus selalu ditertipkan oleh petugas. Sebagai suatu gejala sosial, PKL menjalankan fungsi sosial yang sanagat besar. Mereka lah yang menghidupkan dan membuat kota selalu semarak tidak sepi dan dinamis. Dalam pola-pola dan sistem tertentu PKL merupakan daya tarik tersendiri bagi sebuah kota. Demikian
pula
dari
sudut
budaya,
PKL
menjadi
pengemban
perkembangan budaya bahkan menjadi modal budaya tertentu. Melalui PKL karya-karya budaya diperkenalkan kepada masyarakat. Selain itu, PKL sendiri merupakan gejala budaya bagi sebuah kota dan menciptakan berbagai corak budaya tersendiri pula. Pemerintah Kota Medan pun sebetulnya bisa meniru hal ini dengan menata suatu daerah untuk dijadikan daerah khusus untuk pedagang kaki lima dengan beberapa syarat yaitu setiap pedagang diharuskan mempunyai bentuk kios yang seragam, kebersihan yang harus selalu terjaga yang dikelola oleh mereka sendiri dan pelaksanaannya diperiksa oleh aparat pemda yang jika dilanggar lahannya akan disita dan tidak diperbolehkan lagi berjualan. Dihindarinya praktek jual beli
Universitas Sumatera Utara
lapak yang biasanya terjadi baik itu yang dilakukan pemkot maupun oleh organisasi kepemudaan, dihilangkannya pungutan liar atau uang jago yang biasanya ada. Karena kedua hal yang terakhir disebutkan masih ada maka biasanya pedagang akan bertindak seenaknya karena merasa mereka telah membeli lapak, dan mempunyai penjamin yang menghalalkan mereka untuk bertindak semaunya. Keberadan Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak jarang menimbulkan konflik dengan Pemerintah Kota, yang cenderung menganggap mereka sebagai pengganggu kelancaran aktivitas dan ”ketertiban” kota, sehingga perlu disingkirkan. Kemudian tempat-tempat penampungan pedagang kaki lima ini jika ingin menarik perhatian masyarakat atau turis asing, maka harus dibuat spesifik dengan menjual barang-barang khusus yang laku tidak hanya oleh masyarakat kota juga laku sebagai buah tangan untuk wisatawan asing atau mancanegara. Dan dari segi lokasi harus mudah dijangkau dari segala arah, mempunyai sarana parkir cukup, dan tidak menimbulkan kemacetan yang bisa membebani kota di kemudian hari. 1.7 Hipotesis Menurut Sugiono (2006:70) hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian. Berdasarkan masalah penelitian diatas maka penulis merumuskan hipotesis terhadap penelitian ini adalah : Ho
: Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kebijakan penataan pedagang kaki lima pasar sukaramai terhadap persepsi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Ha
: Tidak terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kebijakan penataanpedagang kaki lima pasar sukaramai terhadap persepsi masyarakat.
1.8 Defenisi Konsep Definisi konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik, kejadian, keadaan, kelompok atau
individu tertentu (Singarimbun, 1989:34). Untuk
lebih
memberikan pengertian yang jelas mengenai konsep- konsep yang digunakan maka peneliti memberi konsep yang digunakan sebagai berikut : 1. Persepsi Persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pandangan, pengahayatan, perasaan dan penciuman. 2. Implemntasi Kebijakan Implementasi Kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat terhadap suatu objek/sasaran yang diarahkan
untuk
mencapai
tujuan-tujuan
yang
telah
ditetapkan
sebelumnya. Dalam hal ini adalah implementasi kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL). 3. Pedagang Kaki Lima Pedagang kaki lima adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang
Universitas Sumatera Utara
ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). 1.9 Defenisi Operasional Didalam defenisi operasional disajikan indikator-indikator dari masalah yang akan diteliti, dalam hal ini akan mempermudah pemahaman akan masalah yang diteliti. Dalam peneltian ini menggunakan dua variabel yaitu : a. A
B. Variabel Terikat (Y) Yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL). Indikator-indikator yang terdapat dalam variabel terikat ini adalah : 1. Tujuan − Pelaksanaan tata ruang kota − Peningkatan kesadaran masyarakat 2. Sasaran − Pedagang Kaki Lima 3. Tahapan-tahapan − Sosialisasi − pelaksanaan 1.10 Sistematika Penulisan
Universitas Sumatera Utara
Penulisan ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I. Pendahuluan Bab ini teriri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan konseptual, defenisi konsep, defenisi operasional dan sistematika penulisan. Bab II. Metodologi Penelitian Bab ini terdiri jenis penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data. Bab III. Deskripsi lokasi penelitian. Bab ini berisi ganbarab umum mengenai lokasi penelitian. Bab IV. Penyajian Data. Bab ini berisi data-data yang diperoleh dari lapangan, kemudian mentabulasinya. Bab V. Penutup Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.
BAB II METODE PENELITIAN
2.1 Bentuk Penelitian
Universitas Sumatera Utara