BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada garis besarnya pada masyarakat hukum adat terdapat 2 (dua) jenis hak atas tanah yaitu hak perseorangan dan hak persekutuan hukum atas tanah. Para anggota persekutuan hukum berhak untuk mengambil hasil tumbuhtumbuhan dan binatang liar dari tanah persekutuan hukum tersebut. Selain itu mereka berhak mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah serta semua isi yang ada di atas tanah persekutuan hukum sebagai obyek. Hukum tanah adat yang murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong royong dan kekeluargaan yang diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok teritorial atau genealogis. Dalam pandangan masyarakat hukum adat, tanah mempunyai makna yang sangat penting, yakni antara lain sebagai tempat tinggal, mempertahankan kehidupan dan alat pengikat masyarakat dalam suatu persekutuan serta sebagai modal (aset produksi) utama dalam suatu persekutuan. Hukum tanah adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat - pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah. Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak-hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.1
1
B. Ter Haar Bzn., 1981, Asas – asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 71.
1
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, karena tanah mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai Social Asset dan Capital Asset. Sebagai Social Asset, tanah di kalangan masyarakat Indonesia merupakan sarana pengikat kesatuan sosial untuk hidup dan berkehidupan, sedang sebagai Capital Asset, tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan.2 Dalam kehidupan manusia tanah mempunyai arti penting, karena tanah merupakan bagian dari hidupnya. Paling sedikit ada tiga kebutuhan manusia yang pemenuhannya berkaitan dengan tanah. Pertama manusia membutuhkan tanah untuk memperoleh mata pencaharian sehari-hari; kedua manusia membutuhkan tanah untuk papan (rumah) sebagai tempat tinggalnya; ketiga manusia membutuhkan tanah untuk makamnya setelah meninggal dunia.3 Selain sebagai sumber kehidupan juga tempat tinggal, bahkan sampai
matipun
manusia
masih
membutuhkan
tanah
sebagai
tempat
pemakamannya. Pada masa pemerintahan Sultan, di Buton Sulawesi Tenggara, tanah dalam kompleks benteng Keraton Buton ditetapkan sebagai tanah Sultan yaitu tanah yang penguasaannya berada di bawah kekuasaan kesultanan. Sejalan dengan penetapan Konstitusi Kerajaan Kesultanan Buton yang diumumkan dan disumpahkan dalam sebuah rumah rapat raksasa yang dihadiri oleh semua aliran masyarakat Buton dalam zaman Sultan Buton Dajanu Ihsanuddin tahun 1688 maka ditetapkan pula peraturan dan hak-hak rakyat akan tanah swapraja Buton. Pada garis besarnya dalam penetapan itu ditentukan bahwa tanah swapraja Buton dibagi atas 72 Kadie, Kadie merupakan bagian-bagian dari wilayah Kesultanan 2
Herma Ulis, 2001, Aspek-Aspek Hukum Pakai Tanah Negara Sebagai Objek Jaminan, Hukum Bisnis, Vol. 10, Jakarta, hlm. 49 3 L. Sutrisno, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 62-63
2
Buton yang berotonomi. Dari 72 Kadie itu dua diantaranya tidak mempunyai daerah tanah, dan hanyalah 70 Kadie yang telah ditentukan mempunyai lingkungan tanah yang telah diberi batas-batas tertentu, dimana Kalijol dalam tiap-tiap Kadie berhak mengurus, mengawasi dan mengolah tanah dalam Kadie masing-masing. Kalijol merupakan orang-orang yang menerima Kadie. Dua golongan Kadie yang disebutkan di atas adalah golongan yang disebut Kaomo dan Walaka. Kedua golongan ini tidak mempunyai daerah tanah, akan tetapi telah diumumkan dan ditetapkan bahwa mereka dapat membuka tanah dalam tiap-tiap Kadie yang 70 itu, dan terlebih dahulu menyatakan keinginan mereka kepada Sjara (pemerintah kerajaan) dalam tiap-tiap Negeri dari tiap Kadie itu. Apabila tanah yang dimilikinya itu telah ditinggalkannya, maka wajar tanah itu jatuh kembali kepada pengawasan Kadie yang bersangkutan.4 Harta peninggalan bekas Kesultanan Buton yang paling dikenal terdapat di Kabupaten Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu Benteng dan Mesjid Agung Keraton yang bernilai religius tinggi. Benteng yang mengelilingi pusat pemerintahan Kesultanan Buton dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton III, La Sangaji (Sultan Kaimuddin). Selain berfungsi sebagai pembatas pusat lingkungan Keraton, tumpakan batu tersebut berfungsi sebagai perlindungan dari serangan musuh. Pada masa pemerintahan Sultan Buton IV, La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin), tumpukan batu tersebut dibangun menjadi sebuah benteng. Cerita unik seputar pendirian benteng yang beredar di tengah masyarakat mirip
4
Abdul Mulku Zahari, 1957, Hak Kaula Swapraja Atas Tanah Dalam Kerajaan Buton, Data Naskah Arsip Nasional, Baadia, hlm. 01
3
dengan kisah pendirian Candi Borobudur.Konon, tumpukan batu kapur tersebut direkatkan dengan menggunakan putih telur.5 Dahulu pada masa pemerintahan Kesultanan Buton, tanah benteng Keraton Buton disebut sebagai tanah Sultan, akan tetapi, setelah berlakunya UndangUndang Pokok Agraria tanah-tanah seperti tanah peninggalan kerajaan atau Kesultanan dikenal dengan sebutan tanah swapraja. Tanah swapraja setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960 atau yang lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Pokok Agraria dijelaskan dalam ketentuan keempat yaitu bahwa hak-hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-Undang ini hapus dan beralih kepada Negara. Pada prakteknya 70 (tujuh puluh) Kadie yang berada di luar benteng Keraton Buton diberikan untuk rakyat dan 2 (dua)Kadie lainnya untuk golongan Bangsawan dan Bonto berada di wilayah Keraton Buton. Para warga masyarakat yang bermukim di dalam komplek benteng Keraton Buton pada umumnya adalah para keturunan dari golongan Bangsawan (Sultan) dan golongan Bonto. Kedua golongan tersebut menguasai tanah tersebut dengan staus hak pakai atau dalam bahasa Buton adalah tanah “turakia”. Tanah ini adalah tanah yang paling terkenal dalam masyarakat Buton. Tanah turakia merupakan tanah yang dibebani hak pakai dalam masyarakat adat Buton. Hak pakai (turakia) mulanya diserahkan oleh Sjara setempat kepada seseorang untuk diolah, tempat mendirikan rumah, dan 5
Muhammad Yusri, 2007, Menelusuri Benteng Keraton http://www.butonnews.blogspot.com, diakses pada tanggal 20 Oktober 2014
Buton,
4
lain-lain, kemudian tanah ini dimiliki oleh anak cucunya turun temurun atau ahli warisnya terdekat. Sjara merupakan dewan adat dalam masyarakat adat Buton. Tanah Kesultanan Buton yang terdiri dari 70 Kadie tersebut sebagian besar sudah banyak yang dimiliki oleh masyarakat Buton. Kadie yang berada di dalam kompleks Keraton Buton sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria belum diserahkan kepemillikannya kepada warga. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir tanah di luar Kompleks Benteng Keraton Buton yang dulunya belum bisa disertipikatkan yaitu Kelurahan Baadia yang berada tepat di luar benteng sekarang oleh Kantor Pertanahan sudah disertipikatkan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai elemen masyarakat khususnya penulis karena dengan diterbitkannya sertipikat kepemilikan tanah tersebut, warga bisa saja menjual tanah tersebut kepada orang lain. Menurut Mujazi yang merupakan anak bungsu dari Abdul Mulku Zahari yang dulunya pernah menjabat sebagai asisten pribadi dari Sultan Falihi yang memerintah Buton dari tahun 1937-1960, dan Sultan Falihi merupakan sultan terakhir dari Kesultanan Buton. Disampaikan bahwa masyarakat Buton khususnya masyarakat hukum adat Buton, banyak dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, dan hukum, yaitu dengan berdirinya kerajaan Buton di mana masyarakat hukum adat di Buton berada di bawah Pemerintahan Kesultanan Buton berikut hakhaknya, serta setelah berdirinya Negara Republik Indonesia berikut hak-haknya. Hal tersebut tentunya berhubungan langsung dengan hak-hak masyarakat Buton atas tanah. Pada masa Kesultanan Buton terdapat 6 jenis tanah pada masyarakat
5
Buton, yaitu tanah turakia, tanah katampai, tanah perkuburan, tanah dalam kawasan benteng, tanah swapraja bebas dan hutan kaombo.6 Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya disingkat menjadi UUPA) maka hak atas tanah berdasarkan aturan swapraja tersebut tidak bisa lagi diberlakukan, untuk penyederhanaan maka UUPA mengatur hak-hak atas tanah yang dapat dikonversi menjadi hak atas tanah yang berdasarkan UUPA, dasar hukum konversi hak atas tanah tersebut terdapat di dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 7 UUPA. Berbagai jenis hak atas tanah tersebut kemudian dikonversi menjadi hak atas tanah yang baru, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.7 Sebagian besar tanah di bekas Kesultanan Buton, utamanya tanah katampai, kemudian sebagian besar tanah turakia sudah dikonversi, sementara untuk tanah dalam kawasan banteng Keraton belum dikonversi, pemberian hak atas tanah turakia dan tanah dalam kawasan keraton memerlukan perhatian khusus karena hal ini berhubungan dengan kearifan lokal dalam masyarakat Buton. B. Rumusan Masalah 1. Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi pensertipikatan atas tanah turakia di bekas Kesultanan Buton?
6
Hasil wawancara pra penelitian dengan Mujazi, selaku Tokoh Masyarakat, pada tanggal 15 Oktober 2014, via telepon 7 Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 1, Prestasi Pustaka, Jakarta, hlm. 80
6
2. Bagaimanakah status hukum kepemilikan dan perlindungan hukum terhadap tanah turakia dan tanah dalam kawasan benteng di bekas Kesultanan Buton? C. Keaslian Penelitian Sebagai sebuah studi mengenai hukum pada Magister Kenotariatan yang mengkaji mengenai status hukum dan kepemilikan atas tanah turakia, penelitian ini tentunya bukan saja suatu penelitian yang baru sama sekali, karena sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya. Sepengetahuan penulis dan melalui penelusuran, cukup banyak penelitian yang berkaitan dengan status hukum dan kepemilikan atas tanah swapraja. Beberapa yang cukup relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh: 1. Lego Karjoko tahun 2005 tentang Budaya Hukum Keraton Surakarta Dalam Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya. Ada dua permasalahan dalam penelitian tersebut. Pertama, Bagaimana pengaturan tanah Baluwarti sebagai kawasan cagar budaya yang didasarkan atas pengintegrasian budaya hukum keraton Surakarta dan budaya hukum kekeluargaan. Kedua, Bagaimana pengaturan tanah Baluwarti sebagai kawasan cagar budaya yang dihasilkan dari pengintegrasian pendapat pemerintah kota Surakarta, masyarakat Baluwarti dan kerabat keraton Surakarta mengenai makna keraton Surakarta dan hak atas tanah Baluwarti.8 2. Gra. Koes Isbandiyahtahun 2008 tentang Kebijakan Karaton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan Tanah Dan Bangunan Setelah Keputusan 8
Lego Karjoko, “Budaya Hukum Keraton Surakarta Dalam Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2005.
7
Presiden Nomor 23 Tahun 1988 Tentang Status Dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta Di Kelurahan Baluwarti Kota Surakarta. Ada dua permasalahan dalam penelitian tersebut. Pertama, Apa kebijakan Karaton Surakarta Hadiningrat dalam pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta. Kedua, Hambatan-hambatan apa saja dan bagaimana solusinya dalam pelaksanaan kebijakan Karaton Surakarta Hadiningrat dalam pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasultanan Surakarta. 9 Penelitian
tersebut
di
atas,
sepengetahuan
penulis,
berdasarkan
penelusuran kepustakaan yang dilakukan sebelumnya, berkaitan dengan pengaturan kebijakan dan pengelolaan tanah swapraja di Surakarta dalam hal ini adalah Tanah Baluwarti, penulis belum menemukan penelitian yang sama dengan penelitian penulis. Penelitian yang akan dilakukan lebih menekankan kepada status hukum dan kepemilikan atas tanah turakia di bekas Kesultanan Buton, yang berlokasi di Buton, Sulawesi Tenggara, dan fokus kepada tanah Turakia dan tanah dalam kawasan benteng keraton Buton. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis lebih lanjut mengenai: 9
Gra Koes Isbandiyah, “Kebijakan Karaton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan Tanah Dan Bangunan Setelah Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 Tentang Status Dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta Di Kelurahan Baluwarti Kota Surakarta”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008.
8
a. Faktor-faktor yang melatarbelakangi pensertipikatan atas tanah turakia di bekas Kesultanan Buton. b. Status hukum kepemilikan dan perlindungan hukum terhadap tanah turakia dan tanah dalam kawasan benteng di bekas Kesultanan Buton. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian tentang “Status Hukum Kepemilikan Atas Tanah Turakia Di Bekas Kesultanan Buton” ini diharapkan dapat memiliki kegunaan bagi ilmu pengetahuan maupun pembangunan/masyarakat luas pada umumnya dan Notaris pada khususnya. Dengan kata lain, penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan akademik maupun kegunaan praktis. a. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Badan Pertanahan Nasional yang ideal sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan dalam menetapkan dan merumuskan status hukum dan kepemilikan atas tanah Turakia di bekas kesultanan Buton yang ideal. b. Manfaat Akademik Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
bahan-bahan
informasi
kepustakaan dan bahan ajar di bidang hukum pada umumnya dan hukum kenotariatan pada khususnya yang berkaitan dengan status hukum dan kepemilikan atas tanah turakia di Indonesia.
9