BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial, sehingga tidak lepas untuk berhubungan dengan manusia lainnya. Dan media dalam berhubungan antar manusia satu dengan yang lainnya adalah komunikasi. Komunikasi ada dimana-mana; di rumah, di sekolah, di pasar, di masjid, di mana saja. Sebagian besar kehidupan manusia dihabiskan untuk berkomunikasi, dan bahkan komunikasi yang dilakukan menentukan kualitas kehidupan individu dan atau masyarakat. Komunikasi adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia membutuhkan komunikasi satu dengan lainnya untuk mempertahankan hidupnya dan mencapai kebutuhan tertentu. Oleh karena itu manusia disebut dengan makhluk sosial. Berkomunikasi
akan
membentuk
kesaling
pengertianan,
menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan dan pengalaman, dan bahkan membangun serta melestarikan sebuah peradaban. Dengan komunikasi yang dilakukan oleh seseorang (individu) atau masyarakat, akan mempunyai efek sangat besar bagi kekinian dan masa depan individu atau masyarakat tersebut. Salah satu pola komunikasi adalah komunikasi antar pribadi (Interpersonal) yang menekankan komunikasi dialog antar manusia. Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masing- masing
1
2
menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Komunikasi interpersonal memiliki keunggulan dibanding pola komunikasi lain yaitu memiliki keterkaitan emosional yang lebih mendalam antara komunikator dengan komunikannya. Proses komunikasi interpersonal juga memiliki peranan dalam proses pengaruh
dan
mepengaruhi
kepada
orang
lain.
Proses
pengaruh
mempengaruhi ini merupakan suatu proses bersifat psikologis dan karenanya juga merupakan permulaan dari ikatan psikologis antara manusiayang memiliki suatu pibadi dan memberikan peluang bakal terbentuknya suatu kebersamaan dalam kelompok yang tidak lain merupakan tanda adanya proses sosial. Komunikasi interpersonal dirasa lebih efektif karena pesan langsung diterima komunikannya saat proses interaksi berlangsung. Hal itu karena dalam berkomunikasi secara tatap muka isi atau kedalaman sebuah pesan dapat tersampaikan dengan jelas dan juga dipertegas dengan komunikasi non verbal dari komunikator yang dapat dilihat langsung. Terlebih peserta didik yang memiliki keterbatasan dan kebutuhan khusus tentunya memerlukan pendekatan khusus salah satunya penggunaan komunikasi interpersonal. Hal ini karena komunikasi interpersonal memiliki kemampuan dalam proses komunikasi dalam penyampaian yang efektif. Maka seringkali digunakan untuk melakukan pendekatan secara personal tidak terkecuali seperti yang dilakukan para guru didik di sekolah kepada peserta didiknya.
3
Sebelumnya akan dipaparkan mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK). Anak dengan hambatan perkembangan dan pertumbuhan baik dari segi fisik maupun mental ini sering disebut dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) atau anak luar biasa atau penyandang cacat. Yaitu setiap orang yang mempunyai kelainan atau penyimpangan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan sesuatu aktifitas selayaknya. Penyimpangan yang dimaksud dapat terletak pada aspek fisik / kondisi fisik, mental / kemampuan mental, dan emosi / sosial. Kelainan fisik yang ada pada penyandang cacat dapat meliputi (a) tunanetra, (b) tunarungu dan wicara,dan (c) tunadaksa. Sedangkan kelainan mental / kemampuan mental dapat bersifat (a) di atas normal, (b) di bawah normal, penyimpangan di atas normal terjadi pada mereka yang memiliki kemampuan yang luar biasa seperti mereka yang gifted, talented, dan superior, sementara penyimpangan mental yang bersifat di bawah normal ialah yang termasuk mereka yang memiliki kemampuan mental rendah.1 Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, memiliki cukup banyak jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK). Sensus penduduk BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk difabel di atas usia 10 tahun adalah 16.718 jiwa. Sumber lain dari Kementrian Sosial RI tahun 2009 menyatakan bahwa jumlah total penduduk Indonesia
1
Abdul Salim Choiri, dkk., Pendidikan Anak berkebutuhan khusus (ABK) Secara Inklusif, FKIP UNS, Surakarta, 2009, hlm. 38.
4
penyandang difabel sebanyak 1.541.942 jiwa.2 Sayangnya, Indonesia belum punya data yang akurat dan spesifik tentang berapa banyak jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK). Data dari Direktur Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia tercatat mencapai 1.544.184 anak, dengan 330.764 anak (21,42%) berada dalam rentang usia 5-18 tahun.3 Data tersebut diperkuat pula dengan data dari Dinas Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional yang mencatat bahwa terdapat 324.000 jiwa yang merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia.4 Pada tahun 2014, Biro Pusat Statistik menunjukkan jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia saat ini mencapai angka 1,5 juta anakatau mencapai 0,7% dari total jumlah penduduk Indonesia. Itu artinya, dalam1.000 penduduk terdapat 7 anak berkebutuhan khusus (ABK). BPS juga menyebutkan bahwa dari 1,5 juta anak itu terdapat 317.016 anak berkebutuhan khusus (ABK) yang dalam usia sekolah dan sebanyak 28.897
Diskominfo Prov.Kaltim, ”Pemenuhan Kebutuhan ABK Tanggung Jawab Bersama”, http://diskominfo.kaltimprov.go.id/berita-pemenuhan-kebutuhan-abk--tanggung-jawab-bersama.html, diunduh pada Sabtu 26 September 2015; 13.08 WIB. 3 Indra Akuntono, “Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Akan Dijamin”,http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/07/1503545/Pendidikan.Anak.Berkebutuhan.K husus.akan.Dijamin, diunduh pada Sabtu 26 September 2015; 14.38 WIB. 4 Haris, “PILIHAN Refleksi Sekolah Inklusi di Indonesia”,http://www.kompasiana.com/www.haris-berbagi.co.cc/refleksi-sekolah-inklusi-diindonesia_550e2868a33311ba2dba7f10, diunduh pada Sabtu 26 September 2015; 14.49 WIB. 2
5
anak berkebutuhan khusus (ABK) itu telahmemperoleh fasilitas pendidikan, baik di sekolah luar biasa maupun di sekolah inklusi.5 Seringnya, pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dianggap tidak penting bahkan diabaikan. Anak berkebutuhan khusus (ABK) ini membutuhkan penanganan yang berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Bukan hanya penanganan untuk mengatasi gangguan yang dimiliki namun juga penanganan dalam hal pendidikan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan, serta bakat anak. Sehingga apa yang ada pada anak dapat dikembangkan secara optimal untuk bekal anak dalam menghadapi kehidupan sosial secara mandiri. Pendidikan sebagai hak asasi inipun telah dipayungi badan hukum Internasional maupun nasional. Dokumen Pendidikan untuk Semua (Deklarasi Dunia Jomtien, 1990) ingin memastikan bahwa semua anak, tanpa kecuali, berhak memperoleh pendidikan dengan tidak memandang latar belakang kehidupan dan ketidaknormalan dari segi fisik maupun mental.6Selain itu salah satu kebijakan yang paling berpengaruh adalah Pernyataan
Salamanca,
dinyatakan
dalam
Kongres
Dunia
tentang
Pendidikan Khususdi Salamanca pada tahun 1994. Fokus utama dari Pernyataan ini digambarkan dalam konteks Pendidikan Untuk Semua (PUS) danpondasinya oleh asumsi pendidikan inklusif. Pernyataan mengasumsikan bahwa perbedaan manusia normal dan pembelajaran yang harus disesuaikan Loc.cit., Diskominfo Prov.Kaltim, ”Pemenuhan Kebutuhan ABK Tanggung Jawab Bersama”, diunduh pada Senin, 26 Oktober 2015; 13.10 WIB. 5
6
Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2013, hlm. 16.
6
dengan kebutuhan anak daripada anak yang disesuaikan dengan asumsi mengenai kecepatan dan sifat dari proses pembelajaran.7Dari badan hukum nasional yang menjamin hak dasar anak dalam memperoleh pendidikan seperti dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 juga menyatakan bahwa negara
bertujuan
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
yakni
dengan
menfasilitasi hak dasar untuk memperoleh pengajaran. Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Berdasarkan dari ayat tersebut, dijelaskan bahwa pemerintah memberikan kesempatan kepada setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dan UndangUndang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan termasuk warga negara yang memiliki kesulitan belajar, seperti
kesulitan membaca (diseleksia), menulis
(disgrafia), dan menghitung (diskalkulia) maupun penyandang ketunaan (tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras).8 Indonesia telah merumuskan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 3 dimana dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan 7
Sunardi, M. Yusuf, Gunarhadi, Priyono, and J. L. Yeager, The Implementation of Inclusive Education for Students with Special Needs in Indonesia, Journal of Excellence in Higher Education, Volume 2, Number 1, June 2011, pg. 2. 8 Ibid; hlm. 17.
7
bangsa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Terkait dengan peluang perolehan pendidikan, disebutkan pula dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 1 bahwa warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Sedangkan pada pasal 2 disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Selama ini, pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, hanya menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, yaitu SLB-A untuk sekolah anak tuna netra, SLB-B untuk sekolah anak tunarungu, SLB-C untuk sekolah anak tunagrahita, SLB-D untuk sekolah anak tunadaksa. Sementara pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun, sampai saat ini pendidikan terpadu baru menampung anak tunanetra saja. Persoalan lain yang sama merugikannya adalah akses pendidikan
8
bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) yang semakin tidak terjangkau karena lokasi sekolah yang tersedia tidak merata di berbagai daerah, apalagi di daerah pedesaan maupun daerah-daerah terpencil. Lokasi SLB biasanya hanya berada di ibukota kabupaten maupun kota saja, padahal anak berkebutuhan khusus (ABK) tersebar diseluruh daerah desa tidak hanya di ibukota saja. Akibatnya, banyak anak berkebutuhan khusus (ABK) terutama yang kondisi ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak sekolah karena lokasi SLB yang jauh dari rumah. Sementara kalau akan disekolahkan di sekolah terdekat, sekolah tersebut biasanya tidak akan bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya dengan maksimal. Pada akhirnya, anak berkebutuhan khusus (ABK) tersebut beresiko putus sekolah. Kenyataan bahwa putus sekolah adalah akhir dari harapan anak berkebutuhan khusus (ABK) sungguh memperihatinkan. Data tahun 2004/2005 menunjukkan jumlah anak berkebutuhan khusus yang sekolah di sekolah formal di seluruh Indonesia hanya 53.688 siswa9, sisanya terpaksa putus sekolah oleh karena beberapa masalah yang pada intinya berpusat pada keterbatasan ekonomi dan akses. Realita ini dipertegas pula oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.10Seperti yang Anies Baswedan katakan,
Jakarta Japan Network (J2net), “Situasi pendidikan anak penyandang disabilitas (anak-anak berkebutuhan khusus) di Indonesia”,https://www.facebook.com/j2netjapan/posts/379376238809405, diunduh pada Sabtu 7 November 2015; 21.59 WIB. 10 Aditia Maruli, “Menteri Anies : Pendidikan Inklusif Adalah Hak Anak Berkebutuhan Khusus”,http://www.antaranews.com/berita/464852/menteri-anies--pendidikan-inklusif-adalahhak-anak-berkebutuhan-khusus,diunduh pada Sabtu 7 November 2015; 22.08 WIB. 9
9
“...angka partisipasi murni anak berkebutuhan khusus masih sekitar 34,2 persen, dan data itu menunjukkan bahwa masih banyak anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum tersentuh layanan pendidikan.” Dari seluruh permasalahan mengenai pendidikan yang membelit anak berkebutuhan khusus (ABK) tersebut, muncul paradigma baru dalam bidang pendidikan yaitu pendidikan inklusif. Sejalan dengan UndangUndang RI Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang menjadi pacuan dari pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) yang berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif, yaitu sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.11 Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus (ABK) dididik bersama-sama dengan anak normal untuk mengoptimalkan segenap 11
Op. Cit., Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi, hlm. 26.
10
potensi dan bakat mereka. Sikap terbuka dan saling menghargai merupakan tujuan dari pendidikan inklusif yang mencerminkan perjuangan untuk membantu terpenuhinya hak-hak dasar anak berkebutuhan khusus (ABK) agar diterima sebagai masyarakat biasa seperti mereka yang normal. Pada kenyataannya, kendati kota Solo dicanangkan sebagai kota inklusi, namun hingga saat ini masih terjadi kasus kekerasan terhadap anak berkebutuhan khusus di kota Solo.12Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Program Perempuan dan Anak, Pusat Pengembangan Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (PPRBM) Solo Dyah Ningrum Roosmawati, “Empat bulan pertama di tahun 2015 ini sudah ada tiga kasus mulai jenjang TK, SD maupun SMP.” Dyah Ningrum Roosmawati mengaku, menerima laporan dari wali murid, namun belum berani melaporkan kepada pihak berwajib secara resmi. Mereka takut akan keberlangsungan pendidikan anaknya di sekolah.Kemudian DyahNingrum Roosmawati juga menambahkan bila hingga saat ini masih ada diskriminasi dari beberapa sekolah yang tidak menerima murid berkebutuhan khusus. Namun perlakuan seperti ini tidak dilaporkan oleh para orang tua. Untuk itu PPRBM menghimbau agar tidak ragu melaporkan pada yang berwenang jika anaknya mendapat kekerasan. 13 Sangat bertentangan dengan apa yang terjadi pada perkembangan pendidikan inklusi di kota Solo, pakar pendidikan inklusif Universitas Tyo Eka, “Solo Kota Inklusi Dipertanyakan”,http://www.timlo.net/baca/68719614651/solokota-inklusi-dipertanyakan/, diunduh pada Senin, 30 Mei 2016; 13.47 WIB. 12
13
Ibid; diunduh pada Senin, 30 Mei 2016; 13.47 WIB.
11
Sebelas Maret Surakarta, Munawir Yusuf pada acara Work Shop dan Sosialisasi Peraturan Bupati Nomor 54 Tahun 2012, tentang Pendikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, di Horison Villa Ngemplak Boyolali, Rabu 13 Maret 2013. mengatakan bahwa Kabupaten Boyolali memiliki sistem pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) (inklusif)
paling
maju
dan
dinamis
se-Indonesia.14Menurutnya,
perkembangan awal sejak rintisan sekolah inklusif di Boyolali 2004/2005 jumlahnya hanya sekitar 36 SD. Namun pada tahun 2012, sekolah bagi anak berkebutuhan khusus (ABK)sudah mencapai 80 Sekolah mulai dari SD, SMP hingga SMA maupun SMK.15Seperti yang Munawir Yusuf katakan, “Jumlah perkembangan sekolah anak berkebutuhan khusus (ABK) di wilayah Boyolali banyak dan terus berkembang dibandingkan dengan daerah-daerah lain, hal ini (terjadi karena) prestasi yang luar biasa dan patut diacungi jempol, karena belum ada kabupaten atau kota di seluruh Indonesia yang perkembangan sekolah Inklusifnya seperti di Boyolali.” Oleh karena itu, di Kabupaten Boyolali yang telah dicanangkan sebagai kabupaten pelopor pendidikan Inklusif di Indonesia, Pemkab setempat kemudian menyertakan Peraturan Bupati (Perbub) Nomor 54 Tahun 2012, yang mengatur pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Di Kabupaten Boyolali sendiri jumlah penduduk yang menjadi 14
Mukhlisun, “Pakar : Pendidikan Inklusif di Boyolali Paling Maju”,http://sumbar.antaranews.com/berita/29743/pakarpendidikan-inklusif-di-boyolali-palingmaju.html, diunduh pada Senin, 26 Oktober 2015; 13.51 WIB. 15
Septhia Ryanthie, "PENDIDIKAN INKLUSI Boyolali Miliki Perbub 54/2012 Sebagai Payung Hukum Pendidikan Inklusi”,http://www.solopos.com/2013/03/30/pendidikan-inklusi-boyolalimiliki-perbup-542012-sebagai-payung-hukum-pendidikan-inklusi-392349, diunduh pada Senin, 30 Mei 2016; 13.25 WIB.
12
penduduk penyandang difabel berada di angka 4.762 jiwa.16Dan hanya terdapat 2.052 jiwa yang berada di usia sekolah, yaitu 5-14 tahun dan masuk dalam anak berkebutuhan khusus (ABK) yang menjadi sasaran Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Boyolali dalam rangka meningkatkan pendidikan dan penanganan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di Kabupaten Boyolali sisanya terpaksa mengalami putus sekolah.17 Berikut adalah grafik banyaknya penderita tuna netra, tubuh, mental, dan tuna rungu di Kabupaten Boyolali tahun 2008 – 2013 : Tabel 1.1 Banyaknya Penderita Tuna Netra, Tubuh, Mental, Dan Tuna Rungu Di Kabupaten Boyolali Tahun 2013
Sumber : Kementrian Sosial Kabupaten Boyolali Tahun 2014.18
16
Bappeda, BPS, SKPD Kab. Boyolali, Boyolali Dalam Angka Tahun 2014, BPS Kab. Boyolali, Boyolali, 2014, hlm. 92. 17 Kelompok VIII Kelompok Observasi LapanganBadan Pendidikan Dan Pelatihan Diklatpim Tingkat IV Angkatan VIII, Rencana Kerja Peningkatan Kinerja Penanganan Anak berkebutuhan khusus (ABK) (Abk) Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Boyolali, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa YogyakartBadan Pendidikan Dan Pelatihan Diklatpim Tingkat IV Angkatan VIII, Yogyakarta, 2013, hlm. 18. 18 Ibid; hlm. 92.
13
Grafik 1.1 Banyaknya Penderita Tuna Netra, Tubuh, Mental, Dan Tuna Rungu Di Kabupaten Boyolali Tahun 2008 – 2013
Sumber : Kementrian Sosial Kabupaten Boyolali Tahun 2014.19 Akan tetapi menurut Ketua Forum Komunikasi Guru Pembimbing Khusus bagi ABK di Boyolali, Susilo Setiastuti, selama ini perkembangan sekolah bagi Anak berkebutuhan khusus (ABK) di Kabupaten Boyolali cukup baik.20 Seperti yang Susilo Setiastuti katakan, “Mereka dalam menempuh pendidikan bersama siswa sekolah reguler. Namun, siswa inklusif mendapatkan materi dari guru khusus yang ahli dalam pendidikan bagi ABK. Perkembangan sekolah tersebut cukup baik karena masyarakat, baik orang tua maupun siswa yang bukan berkebutuhan khusus atau siswa reguler bisa menerima eksistensi ABK. Masyarakat, sudah paham dan mengetahui bahwa pendidikan tersebut untuk semua bagi warga negara sesuai yang diamanatkan UUD 1945 pasal 31. Selain itu, Komitmen Pemkab Boyolali dalam pengembangan pendidikan inklusif juga cukup besar.” Sejak awal rintisan sekolah Inklusif di Boyolali pada tahun 2004-
19 20
Ibid; hlm. 93. Ibid; diunduh pada Senin, 26 Oktober 2015; 14.08 WIB.
14
2005, jumlahnya hanya sekitar 36 sekolah dasar (SD), tetapi pada 2012 sudah mencapai 80 sekolah. Jumlah itu mencakup mulai dari tingkat SD, SMP hingga SMA serta SMK. Kemudian pada tahun 2014-2015 sudah ada 100 sekolah yang merupakan sekolah inklusi di Kabupaten Boyolali. Jumlah tersebut mencakup 78 SD, 1 MI, 1 SMA, 1 SMK, 4 MTSN, dan sisanya adalah SMPN. Salah satunya, SD Negeri 1 Sukorame yang merupakan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di Kabupaten Boyolali. Hal ini yang menjadi strategi untuk mengembangkan SD Negeri 1 Sukorame menjadi sekolah yang unggul dan cukup menonjol di kabupaten Boyolali. Yaitu sebagai rintisan sekolah inklusi di Kabupaten Boyolali sejak Tahun Pelajaran 2004/2005. Sebagai sekolah inklusi, SD Negeri 1 Sukorame juga merupakan Juara I Harapan I Pentas Seni ABK Sekolah Inklusi se-Solo Raya oleh PLB-FKIP UNS tahun 2009. Dengan Adanya sekolah-sekolah inklusi adalah upaya Pemerintah Kabupaten Boyolali untuk mengurangi kesenjangan antara siswa difabel dengan
siswa
non-difabel
sehingga
siswa
difabel
tersebut
tidak
termarjinalkan dari masyarakat luas dan mereka akan merasa lebih percaya diri ketika berada ditengah-tengah masyarakat. Melalui sekolah inklusi ini mereka banyak melakukan komunikasi dalam interaksi sosial yang mereka jalin baik dengan siswa dan guru maupun dengan masyarakat luas. H. Bonner memberikan rumusan mengenai interaksi sosial, yaitu interaksi sosial adalah suatu hubungan antara 2 individu atau lebih, di mana
15
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.21 Interaksi sosial tidak akan terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat utama, yaitu adanya komunikasi dan kontak sosial. Penyandang cacat atau yang biasa disebut difabel ini, sering sekali terpinggirkan dari masyarakat luas. Mereka tidak bisa bergaul dan berinteraksi secara bebas dengan masyarakat karena kecacatan yang mereka alami. Dalam berinteraksi dengan masyarakat, mereka mengalami banyak hambatan baik dari diri sendiri, lingkungan, maupun masyarakat. Sehingga mereka menjadi sulit untuk berpartisipasi, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan masyarakat di sekitar mereka. Dalam proses belajar mengajar, guru menyampaikan informasi menggunakan komunikasi secara verbal dan non verbal, tapi terkadang sering terjadi hambatan dalam proses penerimaan pesan. Oleh karena itu, penyampaian informasi harus disertai dengan manajemen komunikasi dan kompetensi guru yang baik sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima oleh anak didiknya.Guru disini memiliki pengaruh besar dalam kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, pola komunikasi guru disini sangat mempengaruhi siswa dalam menerima materi pelajaran dalam kegiatan belajar mengajar dan juga untuk meningkatkan prestasi akademik peserta didiknya.
21
Abu Ahmadi, dkk, Psikologi Sosial (Edisi Revisi), Rineka Cipta, Semarang, 1990, hlm. 54.
16
Pada kenyataannya, tidak semua orang dapat melakukan komunikasi dengan baik, dan keterbatasan siswa dalam menerima pesan merupakan hambatan dalam komunikasi pendidikan. Hal ini terjadi pada anak berkebutuhan khusus (ABK) yang bermasalah dalam komunikasi. Dan masalah ini pula yang telah menjadi momok besar permasalahan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) yang seringnya mereka justru makin diasingkan dan disingkirkan. Seperti pada studi terbaru yang menunjukkan bahwa tidak semua guru siap untuk menerima ide inklusi dan bahwa mereka mengekspresikan sikap negatif dengan meningkatnya jumlah stres yang dikarenakan guru berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak dengan kebutuhan khusustersebut(Brackenreed, 2011; Fuchs, 2010; Hwang & Evans, 2011).Stres guru dapat menyebabkan hasil negatif di kelas bagi siswa. Stres guru telah dikaitkan dengan standar pengajaran yang lebih rendah dan peningkatan interaksi negatif guru dan siswa, sehingga pengalaman belajar dan akademik siswa akan memiliki kualitas yang rendah (Stevenson & Harper, 2006). Geoff (2000) juga menemukan bahwa stres menyebabkan interaksi yang negatifbagi guru dan siswa, yang kemudian memiliki dampak negatif pada guru self-efficacy.22 Selain itu, seperti pada umumnya, seringkali anak apalagi anak berkebutuhan khusus (ABK) sulit untuk dikendalikan sehingga diperlukan penanganan intensif. Disisi lain guru didik juga dituntut untuk mampu Marsha C. Barnes, Teachers’ Attitudes and Perceptions of Inclusion in Relation to Grade Level and Years of Experience, Electronic Journal for Inclusive Education, Vol. 3, No. 3, 2015, Art. 3, pg. 3. 22
17
menciptakan atmosfer yang kondusif dan menyenangkan saat suasana belajar mengajar. Untuk menangani kedua masalah tersebut diperlukan adanya komunikasi yang baik antara guru dengan peserta didiknya. Seorang guru yang mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) harus mampu menangkap respon verbal dan nonverbal dari para peserta didiknya. Kemampuan komunikasi guru juga tidak terbatas hanya pada keterampilan dalam berkomunikasi saja, melainkan juga harus mampu mnciptakan interaksi yang bermanfaat dan menyenangkan. Oleh karena itu, seorang guru, apalagi guru yang akan mendidik anak
berkebutuhan
khusus
(ABK)
haruslah
memiliki
kompetensi
Pedagogik. Kompetensi Pedagogik merupakan salah satu jenis kompetensi yang mutlak perlu dikuasai oleh guru.
Kompetensi Pedagogik pada
dasarnya adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi Pedagogik merupakan kompetensi khas, yang akan membedakan guru dengan profesi lainnya dan akan menentukan tingkat keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta didiknya. Kompetensi Pedagogik diperoleh melalui upaya belajar secara terus menerus dan sistematis, baik pada masa pra jabatan (pendidikan calon guru) maupun selama dalam jabatan, yang didukung oleh bakat, minat dan potensi keguruan lainnya dari masing-masing individu yang bersangkutan. Pola-pola dalam komunikasi Pedagogik inilah yang menarik untuk diteliti, terutama pola komunikasi antar siswa yang tergolong dalam anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan guru di sekolah inklusi dan
18
implikasinya terhadap prestasi belajar siswakhususnya di SD Negeri Sukorame 1 Boyolali. Penelitian ini menitik beratkan pada proses komunikasi yang membentuk suatu pola antara guru sebagai komunikator yang memberikan pesan-pesan yang mungkin akan kurang dimengerti dan dipahami oleh anak berkebutuhan khusus (ABK) sebagai komunikan.
1.2
Rumusan Masalah Bedasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana pola komunikasi Pedagogik antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) di SD Negeri Sukorame 1 Boyolali? 2. Apa saja implikasi dari komunikasi Pedagogik antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mempengaruhi prestasi belajar siswa di SD Negeri Sukorame 1 Boyolali?
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan juga menganalisis mengenai: 1. Pola komunikasi Pedagogik antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) di SD Negeri Sukorame 1 Boyolali. 2. Implikasi
dari
komunikasi
Pedagogik
antara
guru
dan
anak
berkebutuhan khusus (ABK) yang mempengaruhi prestasi belajar siswa di SD Negeri Sukorame 1 Boyolali.
19
1.4
Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Teoritis Penelitian
ini
memiliki
manfaat
teoritis
diantaranya,
penelitian ini sebagai bentuk upaya yang diharapkan mampu memberikan
sumbangan
berupa
kajian
ilmiah
terhadap
perkembangan dan pendalaman studi Ilmu Komunikasi, khususnya kajian mengenai pola komunikasi Pedagogik yang digunakan antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam implikasi terhadap prestasi belajar siswa di sekolah inklusi. 1.4.2
Manfaat Praktis Sedangkan secara praktis penelitian ini memiliki manfaat antara lain : A. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi pengalaman dan penerapan ilmu yang diperoleh selama studi yang diterima oleh peneliti secara teori maupun praktek. Khususnya
mengenai
pola
komunikasi
Pedagogik
yang
digunakan antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam implikasi terhadap prestasi belajar siswa di sekolah inklusi. B. Bagi Akademik Sedangkan bagi bidang akademik khususnya mahasiswa Universitas Sebelas Maret atau akademis lainnya, penelitian ini
20
diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya tentang komunikasi Pedagogik dalam implikasi prestasi belajar siswa di sekolah inklusi. C. Bagi Masyarakat Dan bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan, referensi, dan evaluasi tentang pola komunikasi Pedagogik yang digunakan antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam implikasi terhadap prestasi belajar siswa di sekolah inklusi.
1.5
Tinjauan Pustaka 1.5.1
Komunikasi Antar Pribadi Sebagai Kegiatan Dominan Manusia 1.5.1.1 Definisi Komunikasi Antar Pribadi Komunikasi antar pribadi dapat diartikan sebagai komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memungkinkan pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik verbal maupun nonverbal.23 Sementara menurut Devito menerangkan bahwa: “Interpersonal communication as the sending of message by one person and the receiving of the message by another person, of small group of persons with some effect and some immediate feedback”.24
23
Allo Liliweri, Komunikasi Antarpribadi,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 12. Riyono Pratikto, Berbagai Aspek Ilmu Komunikasi,Remadja Karya CV, Bandung, 1987, hlm. 41. 24
21
Berdasarkan pengertian tersebut, sedikitnya terdapat 5 hal yang harus diperhatikan dalam mencermati definisi komunikasi antarpribadi, yakni : 1.Komunikasi dilakukan oleh dua orang atau lebih. Misalnya percakapan antara dua orang. 2.Menggunakan media tertentu. Misalnya telepon maupun telepon seluler. 3.Bahasa yang digunakan biasanya bersifat informal (tidak baku). Misalnya bahasa daerah, bahasa gaul. 4.Tujuan yang ingin dicapai dapat bersifat personal atau pribadi. Misalnya curhat. 5.Terjadi proses pertukaran makna antar orang yang berkomunikasi. Yaitu upaya menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik dan akhirnya terjadi kesamaan pemahaman antar orang yang berkomunikasi. Untuk memahami definisi komunikasi antar pribadi terdapat tiga perspektif, yaitu :25 1.Perspektif Komponensial Dengan mengacu pada model komunikasi Harold Lasswell, komponen-komponen yang terdapat dalam komunikasi antarpribadi antara lain :
25
Riswandi, Ilmu Komunikasi, Graha Ilmu, Jakarta, 2008, hlm. 81.
22
a. Pengirim-penerima Komunikasi
antarpribadi
paling
tidak
melibatkan dua orang. Istilah ini digunakan untuk menekankan bahwa fungsi pengirim dan penerima dilakukan oleh setiap orang yang terlibat. b. Encoding-decoding Encoding adalah tindakan menghasilkan pesan. Artinya pesan yang akan disampaikan di”kode” terlebih dahulu dengan menggunakan kata, simbol, dan sebagainya. Decoding
adalah
tindakan
untuk
menginterpretasikan dan memahami pesan yang diterima. c. Pesan-pesan Pesan dalam komunikasi antarpribadi dapat berbentuk verbal maupun nonverbal, bahkan gabungan antara keduanya. d. Saluran Dalam
komunikasi
antarpribadi
lazimnya bertemu secara tatap muka.
pelaku
23
e. Gangguan (noise) Terdapat 3 gangguan yang mencakup dalam komunikasi antarpribadi, yaitu : 1. Gangguan fisik, seperti kegaduhan, interupsi. 2. Gangguan psikologis, seperti emosi, sikap, nilai, atau status peserta. 3. Gangguan semantik, seperti makna ganda dalam sebuah kata maupun simbol yang digunakan. f. Umpan balik Umpan balik memegang peran penting dalam komunikasi antarpribadi karena pengirim dan penerima pesan secara terus menerus dan secara bergantian memberikan umpan balik dalam berbagai cara, baik verbal (pertanyaan atau jawaban)
maupun
nonverbal
(senyuman,
anggukan, gelengan kepala). g. Konteks Terdapat 3 dimensi konterks dalam komunikasi antarpribadi, yaitu : 1. Dimensi
fisik,
yaitu
komunikasi berlangsung.
tempat
dimana
24
2. Dimensi sosial psikologis, mencakup status keakraban hubungan dari orang yang terlibat. 3. Dimensi temporal, adanya suatu pesan khusus
yang
sesuai
dengan
rangkaian
peristiwa komunikasi. h. Bidang pengalaman (field of experience) Komunikasi akan semakin efektif apabila para pelaku mampunyai bidang pengalaman yang sama. Sebaliknya komunikasi akan menjadi sulit jika para pelakunya mempunyai bidang pengalaman yang tidak sama. i. Efek Proses komunikasi dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, terlepas dari baik maupun buruk akibat yang timbul tersebut pada satu atau kedua pelakunya. 2.Perspektif Pengembangan Menurut perspektif ini, komunikasi antarpribadi adalah suatu proses yang berkembang, yaitu dari yang bersifat impersonal menjadi interpersonal atau intim. Artinya ada peningkatan antara para pelaku
yang
antarpribadi.
terlibat
dalam
komunikasi
25
3.Perspektif Relasional Dalam pandangan ini, komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai komunikasi yang terjadi diantara dua orang yang mempunyai hubungan yang terlihat jelas diantara mereka. 1.5.1.2 Tujuan Komunikasi Antar Pribadi Komunikasi antarpribadi dapat digunakan dalam berbagai tujuan. Akan tetapi yang harus diperhatikan dalam tujuan komunikasi antarpribadi bahwa komunikasi ini memberikan kesempatan bagi pelaku untuk membicarakan dirinya sendiri. Dengan membicarakan diri sendiri kepada orang lain, pelaku dapat memperoleh perspektif baru tentang dirinya sendiri dan memahami lebih mendalam tentang sikap dan perilakunya. Sedangkan tujuan komunikasi antarpribadi antara lain :26 1.Mengenal Diri Sendiri dan Orang Lain Komunikasi antarpribadi memberi kesempatan bagi pelaku untuk memperbincangkan dirinya sendiri. Melalui komunikasi antarpribadi pelaku juga belajar tentang bagaimana dan sejauhmana harus membuka diri pada orang lain. Selain itu, komunikasi antarpribadi juga akan membuat
26
Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, Graha Ilmu, Jakarta, 2008, hlm. 78-80.
26
pelaku mengetahui sikap, nilai dan perilaku orang lain. Pelaku dapat menanggapi dan memprediksi tindakan orang lain. 2.Mengetahui Dunia Luar Dengan komunikasi antarpribadi memungkinkan pelaku untuk memahami lingkungannya secara baik yakni tentang objek dan kejadian-kejadian orang lain. Dalam komunikasi antarpribadi, pelaku sering membicarakan kembali hal-hal yang telah disajikan
media
massa.
Namun,
pada
kenyataannya, nilai keyakinan, sikap dan perilaku pelaku lebih banyak dipengaruhi oleh komunikasi antarpribadi dibandingakan dengan media massa dan pendidikan formal. 3.Menciptakan dan Memelihara Hubungan Menjadi Bermakna Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung menciptakan dan memelihara hubungan dekat dengan orang lain. Hal ini didasari oleh rasa ingin merasakan dicintai dan mencintai, disayangi dan menyayangi orang lain, manusia tidak ingin hidup sendiri terisolasi. Oleh karena itu, manusia melakukan
komunikasi
antarpribadi
untuk
27
menciptakan dan memelihara hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan ini membantu mengurangi
kesepian
dan
ketegangan
serta
membuat manusia merasa lebih positif tentang dirinya sendiri. 4.Mengubah Sikap dan Perilaku Dalam komunikasi antarpribadi sering pelaku melakukannya sebagai upaya mengubah sikap dan perilaku orang lain, untuk mempersuasi orang lain. 5.Bermain dan Mencari Hiburan Tidak jarang bila seseorang melakukan komunikasi antarpribadi untuk menghilangkan kejenuhan dan ketegangan. 6.Membantu Dengan komunikasi antarpribadi seseorang dapat membantu dan memberikan saran-saran pada orang lain. Tujuan komunikasi antarpribadi dapat pula diuraikan antara lain sebagai berikut :27 1.Menyampaikan Informasi Ketika berkomunikasi dengan orang lain , tentu saja seseorang memiliki berbagai macam tujuan
27
Djoko Purwanto, Komunikasi Bisnis, Erlangga, Jakarta, 2006. hlm. 22.
28
dan harapan. Salah satu diantaranya adalah untuk menyampaikan informasi kepada orang lain agar orang lain tersebut dapat mengetahui informasi tersebut. 2.Berbagi Pengalaman Dengan komunikasi antarpribadi juga memiliki fungsi atau tujuan untuk berbagi pengalaman baik itu pengalaman yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. 3.Menumbuhkan Simpati Misalnya
ketika
permasalahan
seorang
yang
sedang
bercerita dihadapi
tentang kepada
sahabatnya, maka akan tumbuh rasa simpati dari sahabatnya kepadanya sehingga akan timbul rasa ingin
membantu
untuk
menyelesaikan
permasalahannya. 4.Melakukan Kerja Sama Tujuan komunikasi antarprbadi yang lainnya adalah
untuk
melakukan
kerjasama
antara
seseorang dengan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.
29
5.Menceritakan Kekecewaan atau Kekesalan Komunikasi antarpribadi juga dapat digunakan seseorang untuk menceritakan rasa kecewa atau kekesalan pada orang lain. Dengan pengungkapan rasa hati itu, sedikit banyak akan mengurangi beban pikiran. Kadang disebut dengan plong ketika telah bercerita apa yang selama ini dipendam. 6.Menumbuhkan Motivasi Melalui komunikasi antarpribadi seseorang dapat memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu yang baik dan positif. Motivasi adalah dorongan kuat dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Pada dasarnya, seseorang cenderung untuk melakukan sesuatu karena dimotivasi orang lain dengan cara-cara seperti pemberian insentif yang bersifat
finansial
maupun
non-finansial,
memberikan pengakuan atas kinerjanya ataupun memberikan penghargaan kepada karyawan yang berprestasi.
1.5.2
Pola Komunikasi Sebagai Cara Berinteraksi Pola dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah model, sistem, atau cara kerja. Yang dimaksud dengan model komunikasi
30
jika dikaitkan dengan ilmu komunikasi maka model-model komunikasi yang dilakukan
dalam aktifitas komunikasi
adalah
gambaran yang sederhana dari proses komunikasi dengan komponen lainnya.Penyajian
model
dimaksudkan
untuk
mempermudah
memahami proses komunikasi dan melihat komponen dasar yang perlu ada dalam suatu komunikasi. Dapat
diartikan
bahwa
pola
komunikasi
merupakan
penyampaian informasi yang dilakukan oleh komunikator dengan memberikan
tafsiran
pada
perilaku
orang
lain
(berwujud
pembicaraan, gerak badan, atau sikap dan perilaku), serta perasaan tentang apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentukbentuk fungsi, kategori ujaran dan sikap konsepsi tentang bahasa dan penutur. Komunikasi berpola menurut peran tertentu dan kelompok tertentu dalam suatu masyarakat, tingkat pendidikan, wilayah geografis, dan ciri-ciri organisasi sosial lainnya. Pada tingkat individu, komunikasi berpola pada tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian.28 Pola komunikasi juga dapat dikatakan sebagai cara seseorang atau kelompok berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang telah disepakati sebelumnya. Pola komunikasi adalah bagaimana kebiasaan dari suatu kelompok untuk berinteraksi, 28
Abd. Syukur Ibrahim, Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi, Usaha Nasional, Surabaya, 1994, hlm. 15.
31
bertukar informasi, pikiran dan pengetahuan. Pola komunikasi juga dapat dikatakan sebagai cara seseorang atau kelompok berinteraksi dengan
menggunakan
simbol-simbol
yang
telah
disepakati
sebelumnya dalam kurun waktu tertentu dan terjadi berulang-ulang. Blumer mencatat tindakan kelompok terdiri atas pola-pola yang stabil dan selalu berulang yang memiliki makna umum dan tetap bagi anggota mereka.29
1.5.3
Komunikasi Pendidikan Sebagai Komunikasi Pengajar Dan Pelajar Komunikasi merupakan disiplin ilmu yang cukup penting dalam perkembangan pendidikan. Bahkan komunikasi sangat besar peranannya dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang bersangkutan. Di dalam pelaksanaan pendidikan formal (pendidikan melalui sekolah), tampak jelas adanya peran komunikasi yang sangat menonjol terutama pada komunikasi instruksional. Komuikasi adalah proses penyampaian pesan dari komuniator (sumber) kepada komunikan (penerima) melalui media tertentu untuk menghasilakan efek atau tujuan tertentu dengan mengharapkan feedback.30 Umpan balik (feedback) merupakan bagian atau unsur integral dalam komunikasi yang memungkinkan pembicara memonitor proses dan
29
Little John, W. Stephen and Karen A. Foss, Theories Of Human Communication : Teori Komunikasi Edisi 9, terjemahan Mohammad Yusuf Hamdan, Salemba Humanika, Jakarta, 2009, hlm. 43. 30 Fathul Mujib, Super Power in Educating, DIVA Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 98.
32
menilai sukses usaha yang telah dilaksanakan dalam rangka mencapai respon yang diharapkan dari pihak penerima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, komunikasi pendidikan merupakan komunikasi yang terjadi dalam suasana pendidikan. Di sini komunikasi tidak lagi bebas, artinya komunikasi yang berlangsung dikendalikan dan dikondisikan untuk tujuan-tujuan pendidikan. Ditinjau dari prosesnya, pendidikan adalah komunikasi dalam arti kata bahwa dalam proses tersebut terlibat dua komponen yang terdiri atas manusia, yakni pengajar sebagai komunikator dan pelajar sebagai komunikan.31 Proses
pembelajaran
pada
hakikatnya
adalah
proses
komunikasi, penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan yang disampaikan berupa isi atau ajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol
komunikasi,
baik
verbal
(komunikasi
yang
menggunakan kata-kata secara lisan maupun tulisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia lain)32, maupun non verbal (komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata seperti komunikas dengan gerakan tubuh, sikap tubuh, kontak mata dan ekspresi wajah). Proses ini dinamakan encoding. Sedangkan penafsiran symbol-simbol komunikasi tersebut oleh siswa dinamakan decoding.
31 32
Op. Cit., Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hlm. 101. Op. Cit., Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, hlm. 110.
33
Perbedaan antara komunikasi dengan pendidikan terletak pada tujuannya atau efek yang diharapkan. Tujuan komunikasi bersifat umum, sedangkan tujuan pendidikan sifatnya khusus. Tujuan pendidikan
adalah
khas
atau
khusus,
yakni
meningkatkan
pengetahuan seseorang mengenai suatu hal sehingga orang tersebut menguasainya. Dan tujuan pendidikan tersebut akan tercapai jika prosesnya komunikatif. Jika proses belajar itu tidak komunikatif, bukan tidak mungkin bila tujuan pendidikan itu dapat tercapai. Salah satu tujuan pendidikan yang ada di dalam kelas adalah posisi ketika pengajar sebagai komunikator atau peserta didik sebagai komunikan atau sebaliknya, diharapkan terjadi proses penyampaian
pesan
yang
dapat
diterima
keduanya. Dengan
demikian, komunikasi yang terjadi di dalam proses pembelajaran adalah komunikasi yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan mempunyai tujuan akhir yaitu untuk meningkatkan kualitas diri murid, sedangkan komunikasi bertujuan untuk merubah sikap dan perilaku dalam hal ini melalui kegiatan belajar mengajar. Belajar merupakan sebuah aktivitas yang tidak sederhana yang dilihat dan dibanyangkan sebab ada keterkaitan dan hubungan antar faktor yang rumit dan kompleks.33
33
Naim Ngainun, Dasar-Dasar Komunikasi Pendidikan, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2011, hlm. 92.
34
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar. Pertama, faktor internal, yaitu faktor yang timbul dari dalam diri anak, misalnya kesehatan, kemampuan, minat. Kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang timbul dari luar diri anak, misalnya suasana sekolah, udara yang panas, lingkungan. Oleh karena itu guru harus melakukan berbagai usaha yang sistematis dan tepat, memiliki aspek yang mendasar untuk dijadikan landasan dengan memandang anak-anak dengan perspektif yang tepat untuk membangkitkan minat belajar anak.34 Komunikasi instruksional sangat erat kaitannya dengan komunikasi verbal dan non verbal yang digunakan oleh guru.35 Komunikasi non verbal artinya dengan kuat mengirimkan informasi kepada siswa. Jika tidak ada kesesuaian antara pernyataan verbal dan pernyataan non verbal atau gerakan tubuh dari guru, siswa akan selalu merespons informasi non verbal. Nada suara, cara menatap, posisi
tubuh
ketika
guru
memberikan
pengarahan,
semua
menunjukkan siswa tentang apa yang diharapkan oleh guru. Pujian yang diberikan oleh guru juga dapat dilakukan secara verbal dan non verbal. Seorang guru mungkin tersenyum saat siswa menjawab dengan benar atau mengangguk untuk menunjukkan bahwa siswa pada jalan yang benar.
34 35
Ibid; hlm. 93. Djiwandono, Psikologi Pendidikan, Grasindo, Jakarta, 2002, hlm. 285
35
Guru dapat menggunakan 3 kunci strategi manapun pada tingkat apapun untuk menghentikan tingkah laku, yaitu :36 1. Kedekatan fisik. Guru dapat berjalan mengelilingi siswa
selama mengajar dan selama siswa duduk mengerjakan tugas. 2. Kontak mata. Guru membutuhkan kontak mata dengan
seluruh siswa di kelas selama mengajar, jika siswa sedang mengerjakan tugas, guru dapat mendatangi siswa yang mempunyai pertanyaan daripada siswa yang menuju ke meja guru untuk bertanya. 3. Sikap diam. Kombinasi kontak mata dengan sikap diam
akan membiarkan guru untuk melihat siswa. Menurut Effendy, terdapat lima komponen komunikasi pendidikan, antara lain :37 1. Komunikator
(communicator),
adalah
sumber
atau
pembuat atau pengirim informasi. Yang berperan sebagai komunikator Dalam komunikator pada saat proses belajar mengajar bukan hanya guru tetapi juga siswa (komunikasi banyak arah).
36
Ibid; hlm. 286. Nurul Laily Indriyani, Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Pada Sub Materi Jajargenjang Di Kelas VII-A SMP N 1 Tanjung Bumi Bangkalan, Skripsi Sarjana Pendidikan, Unesa, Surabaya, 2011, hlm. 17. 37
36
2. Komunikan (communicant), adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber (komunikator). Sama seperti komunikator, maka komunikan pada komunikasi dalam proses belajar mengajar bukan hanya siswa tetapi juga guru (komunikasi banyak arah). 3. Pesan (message), dalam komunikasi yang dimaksud pesan adalah sesuatu yang disampaikan pengirim (komunikator) kepada penerima (komunikan). Dalam komunikasi pada proses belajar mengajar maka yang dimaksud pesan adalah materi pelajaran yang sedang dipelajari. 4. Media, adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber (komunikator) kepada penerima (komunikan). Media dalam komunikasi pada proses belajar mengajar adalah segala alat
yang di gunakan
untuk memindahkan pesan berupa materi pelajaran dari komunikator ke komunikan, baik berupa media lisan, tulisan maupun media yang lainnya. 5. Efek (effect) atau pengaruh, adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh penerima (kominikan) sebelum dan sesudah menerima pesan. Yang dimaksud efek disini adalah pengaruh yang terjadi pada komunikan setelah mendapatkan pesan (materi pelajaran) dari komunikator.
37
1.5.4
Pedagogik Sebagai Seni Mengajar Anak-Anak Interaksi antara guru dengan murid siswa sekolah dasar erat kaitannya dengan konsep pedagogik. Pedagogik adalah sebuah seni dan ilmu pengetahuan tentang bagaimana mengajar anak-anak.38 Pada konsep pedagogik tersebut, peserta didik masih bergantung kepada gurunya, biasanya masih menggunakan seragam sesuai tingkat usia dan kurikulum, dan pemberian pujian, hadiah, dan hukuman
sebagai
sumber
motivasi
belajar
mereka.
Proses
pendidikan berlangsung sejak anak lahir sampai anak mencapai dewasa. Pendidik dalam hal ini bisa orang tua dan/atau guru yang fungsinya sebagai pengganti orang tua, membimbing anak yang belum dewasa untuk mengantarkannya agar dapat hidup mandiri, agar dapat menjadi dirinya sendiri. Pedagogik berasal dari bahasa Yunani Paedagagos berasal dari kata “paid” yang artinya “anak” dan “agogos” yang artinya “memimpin atau membimbing”, atau paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak.
Darikata ini maka lahir istilah
paedagogi yang diartikan sebagai suatu ilmu dan seni dalam mengajar anak-anak. Pada jaman dahulu di Yunani, kata pedagogik biasanya diterapkan
pada
budak
yang
mengawasi
pendidikan
anak
majikannya. Termasuk didalamnya mengantarkan ke sekolah atau 38
MalcolmS. Knowles, The Modern Practice Of Adult Education Andragogy Versus Pedagogy, Association Press, New York, 1970, hlm. 37.
38
tempat latihan, mengasuhnya, dan membawakan perbekalannya (seperti membawakan alat musiknya).
Dalam perkembangan
selanjutnya istilah pedagogik berubah menjadi ilmu dan seni mengajar. Pedagogik juga merupakan kajian mengenai pengajaran, khususnya pengajaran dalam pendidikan formal. Dengan kata lain, pedagogik adalah sains dan seni mengenai cara mengajar di sekolah.Sebagai satu bidang kajian yang luas, pedagogikjuga melibatkkan kajian mengenai proses pengajaran dan pembelajaran, pengurusan
organisasi
sekolah
dan
juga
interaksi
guru-
pelajar.39Herbart suggests that pedagogy relates to having assumptions as an educator and a specific set of abilities with a deliberate end goal in mind.40 Secara umumnya pedagogik merupakan mata pelajaran yang wajib bagi mereka yang ingin menjadi guru di sekolah. Guru adalah orang yang sangat berpengaruh dalam proses belajar-mengajar. Oleh karena itu, guru harus benar-benar membawa siswa mereka untuk tujuan yang akan dicapai. Guru harus mampu mempengaruhi siswanya. Guru harus visioner dan berwibawa. Guru harus otoritatif, mereka harus memiliki ketulusan, kekuatan, dan sesuatu yang dapat
Ale Achmad, “Pengertian, Definisi, Sejarah, Dan Pedagogik”,http://aleachmad.blogspot.co.id/2013/09/pengertian-definisi-sejarah-dantujuan.html,diunduh pada Jumat, 6 November 2015; 21.37 WIB. 39
40
Tujuan
Karsten Kenklies, Educational Theory as Topological Rhetoric : The Concepts of Pedagogy of Johann Friedrich Herbart and Friedrich Schleiermacher, Studies in Philosophy and Education, Vol. 31, No. 3, 2012, pg. 265–273.
39
memberikan kesan dan pengaruh (Wijaya, et al, 1992).41 Oleh karena itu, seorang guru haruslah memiliki kompetensi yang harus dimiliki sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005tentang Standar
Nasional
Pendidikan,
yaitu
kompetensi
profesional,
kompetensi pedagogik, kompetensi pribadi, dan kompetensi sosial.42
1.5.5
Pola Komunikasi Pedagogik Sebagai Cara Berinteraksi Dalam Mengajar Anak-Anak Pola komunikasi dapat dikatakan sebagai cara seseorang atau kelompok berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang telah disepakati sebelumnya. Pola komunikasi juga memiliki konsep mengenai bagaimana kebiasaan dari suatu kelompok untuk berinteraksi, bertukar informasi, pikiran dan pengetahuan. Sedangakan pedagogi adalah ilmu dan seni dalam mengajar anak-anak. Oleh karena itu, pola komunikasi pedagogi dapat diartikan sebagai cara seorang guru untuk berinteraksi, bertukar informasi, pikiran dan pengetahuan dengan menggunakan simbolsimbol yang telah disepakati dalam mengajar peserta didiknya di dalam kelas. Bagaimana kebiasaan dari suatu kelas dalam
41
Akhyak, Mohamad Idrus, Yunus Abu Bakar, Implementation of Teachers Pedagogy Competence to Optimizing Learners Development in Public Primary School in Indonesia, International Journal of Education and Research, ijern.com, Vol. 1, No. 9, 2013, pg. 2. 42 Adnan Hakim, Contribution of Competence Teacher (Pedagogical, Personality, Professional Competence and Social) On the Performance of Learning, International Journal Of Engineering And Science, The IJES, Vol. 4, No. 2, 2015, pg. 2.
40
berhubungan antara guru dan peserta didik dalam proses kegiatan belajar mengajar. Dalam konteks komunikasi pendidikan, guru seharusnya memenuhi segala persyaratan komunikasi yang efektif untuk mencapai hasil yang maksimal. Karena persoalan akan muncul ketika hubungan komunikatif guru dan murid tidak berjalan dengan optimal. Aspek penting bagi guru yaitu bagaimana menjadi sosok yang disukai oleh murid-muridnya. Oleh sebab itu, dalam proses komunikasi guru dan murid perlu adanya keterbukaan pikiran dan perasaan.43 Sudjana, mengemukakan tiga pola komunikasi yang terjadi dalam kelas antara lain :44 1.
Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah Dalam komunikasi satu arah siswa cenderung pasif, guru berperan sebagai pemberi aksi yaitu sebagai sumber informasi sedangkan siswa hanya berperan sebagai penerima
aksi
yaitu
penerima
informasi.
Pola
komunikasi seperti ini, tidak melibatkan siswa aktif dalam pembelajaran karena pembelajaran lebih berpusat pada guru (teacher centre) dimana guru mendominasi proses pembelajaran yang berlangsung.
43
Op. Cit., Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, hlm. 112. Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algesindo Offset, Bandung, 2004, hlm. 44 44
41
2.
Komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah Dalam komunikasi dua arah, guru dan siswa mempunyai peran yang sama. Guru dan siswa dapat saling memberi dan menerima informasi. Kegiatan siswa dan guru relatif sama dalam pembelajaran.
3.
Komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah Dalam komunikasi banyak arah yang terlibat tidak hanya siswa dan guru. Tetapi juga antara siswa dan siswa. Melalui pembelajaran dengan pola komunikasi seperti ini melibatkan siswa aktif dalam proses pembelajaran, sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing dalam belajar atau fasilitator belajar.
Pola komunikasi di dalam kelas dapat dijelaskan pada gambar dibawah ini:45 Gambar 1. 1 Pola Komunikasi di Dalam Kelas
45
Nuri Agustin, Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Pada Pembelajaran Kooperatif DenganStrategi Think-Talk-Write (TTW), Skripsi Sarjana Pendidikan, Unesa, Surabaya, 2011, hlm. 14
42
Keterangan :
1.5.6
G
: Guru
S1
: Siswa 1
S2
: Siswa 2
Prestasi Belajar Sebagai Tolak Ukur Kemampuan Siswa Prestasi itu berupa perubahan perilaku pada individu di sekolah. Perubahan itu terjadi setelah individu yang bersangkutan mengalami proses belajar mengajar. Prestasi adalah buah cipta yang telah dicapai dalam suatu karya atau usaha yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang.46 Prestasi adalah kecakapan nyata yang dapat diatur secara langsung dengan menggunakan instrumen, yaitu tes. Dapat ditegaskan bahwa prestasi merupakan hasil usaha yang dicapai melalui proses dalam waktu tertentu. Prestasi dapat dicapai memerlukan
kemampuan,
pengetahuan,
ketrampilan,
minat,
motivasi, bakat, dan lingkungan. Prestasi itu dapat berupa nilai. Nilai 46
Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2008, hlm. 245.
43
bisa berbentuk angka/kuantitatif atau berupa huruf/ kualitatif. Istilah belajar merupakan istilah yang telah populer di dalam masyarakat sehingga pengertian belajar sudah dipahami, namum setelah dikaji lebih mendalam di dalam masyarakat tentang pengertian tentang belajar tidak sama dengan yang diharapkan.47 Prestasi belajar merupakan hasil yang ingin dicapai seorang siswa setelah proses pembelajaran. Prestasi belajar ini dalam proses belajar-mengajar merupakan hal yang berkaitan erat, karena prestasi belajar ini akan selalu digunakan sebagai tolok ukur setelah proses belajar-mengajar. Prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seorang siswa dalam melakukan kegiatan belajar sesuai dengan bobot yang dicapainya.48 Siswa akan merasa bangga dan senang apabila prestasi yang diraihnya baik. Hakekat penilaian belajar adalah menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan instruktual karena rumusan instruksuional menggambarkan hasil belajar yang harus dikuasai siswa setelah menerima pelajarannya.49 Dari segi alatnya, penilaian hasil belajar dapat dibedakan menjadi dua yaitu tes dan non tes.50 Di sekolah bentuk konkrit prestasi belajar adalah nilai rapor yang diberikan kepada siswa ketika akhir semester atau akhir
47
Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif, Tarsito, Bandung, 2008, hlm. 328. Agustina dan Hamdu, “Pengaruh Motivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar IPA di Sekolah Dasar (Studi Kasus terhadap Siswa Kelas IV SDN Tarumanegara Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya),” Jurnal Penelitian Pendidikan Vol.12 No. 1, 2011, hal. 92. 49 Nana Sudjana, Evaluasi Pembelajaran, IKIP, Bandung, 1995, hlm 34. 50 Ibid; hlm. 5. 48
44
programbelajar.
Rapor
merupakan
perumusan
terakhir
yang
diberikan oleh guru mengenai kemajuan atau hasil belajar siswa selama masa tertentu. Penilaian diwujudkan dalam angka atau huruf yang ada pada rapor.51
1.5.7
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 1.5.7.1 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan atau penyimpangan
(phisik,
mental-intelektual,
social,
emosional)dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan atau penyimpangan tertentu, tetapi kelainan atau penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus. James dan Lynch berpendapat bahwa anak-anak yang termasuk kategori berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa (anak berkekurangan dan atau anak berkemampuan luar biasa), anak yang tidak pernah sekolah, anak yang tidak 51
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 320.
45
teratur sekolah, anak yang drop out, anak yang sakit-sakitan, anak pekerja muda, anak yatim piatu, dan anak jalanan.52 Istilah dan konsep anak berkebutuhan khusus berkembang seiring dengan munculnya paradigma baru pendidikan
inklusif.
Menurut
Susanto,
istilah
anak
berkebutuhan khusus bukan berarti hendak menggantikan anak penyandang cacat atau anak luar biasa, melainkan memiliki pandangan yang lebih luas dan positif bagi anak dengan keberagaman yang berbeda.Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan yang lebih intens. Kebutuhan mungkin disebabkan oleh kelainan atau memang bawaan dari lahir atau karena masalah tekanan ekonomi, politik, sosial, emosi dan perilaku yang menyimpang. Disebut berkebutuhan khusus karena memiliki kelainan dan keberbedaan dengan anak normal pada umumnya.53 Anak berkebutuhan khusus juga dapat didefinisikan sebagai anak yang memiliki kelainan pada fisik, mental, tingkah laku, atau inderanya memiliki kelainan yang sedemikian
sehingga
untuk
mengembangkan
secara
maksimum kemampuannya membutuhkan pendidikan luar 52
Hargio Santoso, Cara Memahami Dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus, Gosyen Publishing, Yogyakarta, 2012, hlm. 1. 53 Op. Cit., Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi, hlm. 137-138.
46
biasa atau layanan yang berhubungan dengan pendidikan luar biasa.54 Penyebab umum yang memungkinkan terjadinya kelainan
pada
anak
berkebutuhan
khusus
dapat
dikelompokkan kedalam tiga bagian, yaitu :55 1.Pre Natal (Sebelum Kelahiran) Hal ini terjadi karena dua faktor, pertama, faktor internal yaitu faktor genetik atau keturunan. Kedua, faktor eksternal yang dapat berupa benturan pada kandungan ibu atau makanan maupun obat yang menciderai janin. 2.Natal (Saat Kelahiran) Penyebab kelainan pada anak bisa saja terjadi pada saat ibu melahirkan, misalnya kelahiran yang sulit, pertolongan
yang
salah,
atau
infeksi
pada
kesehatan ibu. 3.Post Natal Kelainan yang disebabkan oleh faktor ini dapat terjadi karena kecelakaan, bencana alam, sakit ataupun keracunan.
54 55
Op. Cit., Hargio Santoso, Cara Memahami Dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus, hlm. 4. Ibid; hlm. 6.
47
1.5.7.2 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, tetapi khusus untuk keperluan pendidikan inklusi, anak dengan kebutuhan khusus akan dikelompokkan menjadi 9 jenis. Berdasarkan berbagai studi, ke 9 jenis ini paling sering dijumpai di sekolah-sekolah reguler. Secara singkat masing-masing jenis kelainan dijelaskan sebagai berikut :56 1.Tunanetra. Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau
sebagian,
dan
walaupun
telah
diberi
pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. 2.Tunarungu. Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
56
Jakarta Home Schooling, "Anak Dengan Kebutuhan Khusus Identifikasinya”,https://jakartahomeschoolingmyblog.wordpress.com/perihal/anak-dengankebutuhan-khusus-dan-identifikasinya/, diunduh pada Jumat, 9 Oktober 2015; 10.35 WIB
Dan
48
3.Tunadaksa. Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga harus memerlukan pelayanan pendidikan khusus. 4.Berbakat. Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus. 5.Tunagrahita. Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan juga keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah
rata-rata
sedemikian
rupa
sehingga
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi
maupun
sosial,
dan
karenanya
memerlukan layanan pendidikan khusus. 6.Lamban Belajar (Slow Learner). Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah
49
normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa
hal
mengalami
hambatan
atau
keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat
menyelesaikan
tugas-tugas
akademik
maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus. 7.Kesulitan Belajar Spesifik. Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam halhal seperti kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena
faktor
disfungsi
neugologis,
bukan
disebabkan karena factor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang diatas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung
50
(diskalkulia),
sedangkan
mata
pelajaran
lain
mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan (berarti) 8.Autis. Anak yang hidup di dalam dunianya sendiri. Anak autis cenderung mengalami hambatan dalam interaksi, komunikasi, dan perilaku sosial. 9.Tunalaras. Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karena hal tersebut memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.
1.5.8
Pendidikan Inklusi Sebagai Pendidikan Anti Diskriminasi 1.5.8.1 Pengertian Pendidikan Inklusif Prinsip pendidikan inklusif pertama kali diadopsikan pada konferensi dunia di Salamanca tentang pendidikan kebutuhan khusus tahun 1994. Pernyataan Salamanca tersebut merupakan perluasan tujuan layanan pendidikan
51
untuk semua. Pada beberapa tahun terakhir ini, dunia pendidikan di Indonesia memperoleh pengayaan dengan munculnya konsep pendidikan inklusif. Khususnya bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Meskipun konsep tersebut pengenalannya dilakukan melalui pendidikan luar biasa, namun pada hakekatnya gagasan perubahan yang dikembangkan lebih luas daripada pendidikan luar biasa. Secara formal, pendidikan inklusif di Indonesia baru dilakukan dalam satu dasawarsa. Namun, diyakini bahwa secara alamiah pendidikan inklusif sudah berlangsung sejak lama. Di Indonesia, pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.57 Namun, dalam pandangan Staub dan Peck, pendidikan inklusifadalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Kelas reguler
57
Op. Cit., Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi, hlm. 26.
52
disini menunjukan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya daqn bagaimanapun gradasinya. Sapon-Shevin (O'Neil, 1994/1995) mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai
sistem
layanan
pendidikan
khusus
yang
membutuhkan bahwa semua anak berkebutuhan khusus dididik di sekolah reguler terdekat bersama dengan rekanrekan
mereka.
Sapon-Shevin
menekankanreorganisasi
sekolah reguler untuk menjadi komunitas yang mendukung kebutuhan khusus pemenuhan setiap siswa,kaya akan sumber daya dan dukungan dari semua guru dan siswa lainnya. Bahwa menurut Stainback(1990), sekolah inklusif adalah orang-orang yang mengakui semua jenis peserta didik di kelas yang sama. Sekolah-sekolah ini menawarkanprogram pendidikan yang tepat dan menantang untuk memenuhi kebutuhan khusus dan kemampuan setiap siswa dan dukungandari semua guru sehingga semua siswa berhasil. Definisi yang sama disediakan oleh Staub dan Peck (1994/1995),pendidikan inklusif adalah menempatkan anak berkebutuhan khusus ringan, sedang, atau berat, di kelas reguler. Kelas reguleradalah penempatan yang paling tepat dari semua jenis dan tingkat anak berkebutuhan khusus.58
58
Sunardi, Maryadi dan Sugini, The Effectiveness of a Two-day Inclusion Workshop on
53
Pengertian pendidikan inklusif bukan bermaksud memberikan
pelabelan
negatif
kepada
anak
yang
berkebutuhan khusus, melainkan lebih dari pada itu sebagai upaya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi mereka agar diterima di sekolah-sekolah umum atau pendidikan formal. Pendidikan inklusif tidak boleh terfokus pada kekurangan dan keterbatasan anak didik, tetapi harus mengacu pada kelebihan dan potensi anak didik agar lebih berkembang. Dari berbagai definisi dan penjelasan tentang konsep pendidikan inklusif, secara umum pendidikan inklusif dapat dideskripsikan sebagai berikut :59 1.Pendidikan
inklusif
adalah
sebuah
falsafah
pendidikan humanistik yang menempatkan semua anak sebagai bagian integral dari sistem pendidikan di sekolah. 2.Pendidikan inklusif adalah sebuah cara atau metodologi dalam mengatasi hambatan belajar dari semua anak untuk mencapai prestasi yang optimal. 3.Pendidikan
inklusif
adalah
sebuah
inovasi
pendidikan yang terus-menerus untuk menciptakan lingkungan sekolah yang ramah, kondusif dan aksesibel bagi semua anak untuk berpartisipasi 59
Munawir Yusuf, Manajemen Sekolah Berbasis Pendidikan Inklusif,Tiga Serangkai, Solo, 2014, hlm. 13.
54
secara penuh dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah. 4.Pendidikan inklusif adalah proses yang terusmenerus sebagai suatu cara mencapai tujuan, bukan akhir dari suatu proses. 5.Pendidikan
inklusif
menyediakan
adalah
sistem
pendidikan
pembelajaran
yang yang
mengakomodasikan semua kebutuhan anak. 6.Pendidikan inklusif disediakan untuk memperluas akses
pendidikan
dan
meningkatkan
mutu
pendidikan. Secara keseluruhan, dasar pendidikan inklusif adalah bahwa sekolah harusmenjadi tempat di mana semua anak, dengan dan tanpa kebutuhan pendidikan khusus, bisabebas bermain, belajar, melakukan, dan berinteraksi dengan cara yang konstruktif. Selain itu, diyakinibahwa anakanak harus diajarkan di lingkungan pendidikan yang memungkinkan mereka untuk sepenuhnyamengembangkan kompetensi
sosial-emosional
dan
akademik
mereka.
Pendidikan inklusifberfokus pada perubahan organisasi, struktur, dan budaya dalam konteks sekolah dankebijakan pendidikan
untuk
merespons
secara
efektif
terhadap
55
pengucilan muriddengan berbagai kesulitan (Ainscow et al., 2006).60 1.5.8.2 Latar Belakang Pendidikan Inklusif Pada dasarnya, kemunculan pendidikan inklusif diawali oleh ketidakpuasan sistem segregasi dan pendidikan khusus yang terlebih dahulu mengiringi perjalanan anak berkelainan dan ketunaan dalam memperoleh layanan pendidikan sesuai dengan tingkat kemampuan dan kebutuhan mereka.61 Pendidikan segregasi dan integrasi dianggap gagal dan
kurang
mampu
mengembangkan
potensi
dan
keterampilan anak didik. Terkadang sistem pendidikan seperti itu justru semakim membuat anak didik terkungkung oleh suatu keadaan yang mengharuskan mereka tidak bisa berbaur dengan teman-teman lain yang normal. Akibatnya, anak
berkelainan
kurang
mendapat
interaksi
dengan
komunitas lain yang berbeda sehingga hanya dapat berkumpul dan bersosialisasi dengan komunitasnya sendiri. Menurut David Smith, secara pedagogis, psikologis, dan filosofis, sistem pendidikan segregasi mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi 60
Kourkoutas, E., Toth, A. N., & Vitalaki, E., Limits and Perspectives for the Promotion of the Inclusive Culture and Paradigm within School Context: Theoretical Considerations and Empirical Findings from Greece and Hungary, Electronic Journal for Inclusive Education, Vol. 3, No. 3, 2015, Art. 5, pg. 7. 61 Op. Cit., Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi, hlm. 30.
56
individu penyandang cacat itu sendiri maupun masyarakat pada umumnya. Secara pedagogis, sistem pendidikan segregasi
lebih
menonjolkan
kecacatan
anak
dan
mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistic. Secara psikologis, sistem pendidikan segregasi kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individu, terdapat kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasar kecacatan yang disandangnya. Dan secara filosofis, sistem
pendidikan
segregasi
menciptakan
masyarakat
eksklusif normal dan tidak normal.62 Dengan banyaknya permasalahan dan kerugian dari sistem pendidikan segregasi inilah, muncul pandangan mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti bahwa pendidikan dipandang sebagai upaya memberdayakan individu yang memiliki keberagaman. Anak-anak tidak lagi dibedakan berdasarkan label atau karakteristik tertentu dan tidak ada lagi diskriminasi antara anak yang satu dengan yang lain karena semua anak berada dalam satu sistem pendidikan yang sama.
62
Op. Cit., Hargio Santoso, Cara Memahami Dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus, hlm. 16.
57
1.5.8.3 Tujuan Pendidikan Inklusif Beberapa hal
yang perlu dicermati lebih lanjut
tentang tujuan pendidikan inklusif, yaitu :63 1.Memberikan
kesempatan
yang
seluas-luasnya
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki kecerdasan dan/atau memiliki kecerdasan istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
kemampuannya; 2.Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman,
dan
tidak
diskriminatif bagi semua peserta didik. Pendidikan inklusif adalah hak asasi dan merupakan pendidikan yang baik untuk meningkatkan toleransi sosial. Terdapat beberapa hal yang mendasari tujuan pendidikan inklusif, antara lain :64 1.Semua anak memiliki hak untuk belajar secara bersama-sama, 2.Keberadaan
anak
jangan
dinapikan
atau
didiskriminasikan, dipisahkan, dikucilkan karena
63 64
Op. Cit., Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi, hlm. 39. Op. Cit., Hargio Santoso, Cara Memahami Dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus, hlm. 25.
58
kekurangmampuan
atau
mengalami
kesulitan
dalam pembelajaran, 3.Tidak ada satupun ketentuan untuk mengucilkan anak dalam pendidikan, 4.Tidak
ada
satupun
metode
dan
bantuan
pembelajaran di SLB yang tidak dapat dilakukan di sekolah inklusi. Dengan demikian maka tujuan pendidikan inklusif berarti pertama, menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas, menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan, menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas
yang
menghargai
perbedaan
yang
menyangkut
kemampuan, kondisi fisik, sosial, ekonomu, suku, agama, dan
sekaligus
mengakomodasikan
semua
anak
tanpa
memandang kondisi fisik, sosial, intelektual, bahasa dan kondisi lainnya. Kedua, memberikan kesempatan agar memperoleh pendidikan yang sama dan terbaik bagi semua anak dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan bagi yang memiliki kecerdasan tinggi; bagi yang secara fisik dan psikologis memperoleh hambatan dan kesulitan baik yang
59
permanen maupun yang sementara, dan bagi mereka yang terpisahkan dan termarjinalkan.65 1.5.8.4 Karakteristik Pendidikan Inklusif Karakter utama dalam penerapan pendidikan inklusif tidak bisa lepas dari keterbukaan tanpa batas dan lintas latar belakang yang memberikan kesempatan seluas-luasnyabagi setiap
anak
Indonesia
yang
membutuhkan
layanan
pendidikan antidiskriminasi. Menurut
Direktorat
Pendidikan
Luar
Biasa,
pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik makna, antara lain :66 1.Proses
yang
berjalan
terus
dalam
usahanya
menemukan cara-cara merespons keberagaman individu; 2.Memperdulikan
cara-cara
untuk
meruntuhkan
hambatan-hambatan anak dalam belajar; 3.Anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya; 4.Diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar. 65 66
Ibid; hlm. 26. Op. Cit., Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi, hlm. 44.
60
Secara lebih jelas, karakteristik pendidikan inklusif dapat dijabarkan sebagai berikut :67 1.Kurikulum yang Fleksibel Memerhatikan kurikulum yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak didik. Hal ini tidak harus terlebih dahulu menekankan pada materi pelajaran, tetapi yang paling penting adalah bagaimana memberikan perhatian penuh pada kebutuhan anak didik. 2.Pendekatan Pembelajaran yang Fleksibel Pendidikan inklusif harus mampu memberikan pendekatan yang tidak menyulitkan anak didik untuk memahami materi pelajaran sesuai dengan tingkat kemampuannya. 3.Sistem Evaluasi yang Fleksibel Penilaian harus disesuaikan dengan kebutuhan anak didik. Karena anak berkebutuhan khusus memiliki tingkat kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak normal pada umumnya sehingga memerlukan keseriusan dari seorang guru dalam melakukan penilaian.
67
Ibid; hlm. 45-47.
61
4.Pembelajaran yang Ramah Setting ramah anak pada pendidikan inklusif sangat membantu dan juga dapat mendorong kemajuan perkembangan penerapan pendidikan inklusi di sekolah. Pembelajaran yang ramah dapat membuat anak semakin termotivasi dan terdorong untuk terus mengembangkan potensi dan skill anak didik sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki. 1.5.8.5 Landasan Pendidikan Inklusif Landasan
pendidikan
inklusi
dapat
ditinjau
berdasarkan beberapa kategori landasan, antara lain :68 1.Landasan Yuridis Berdasarkan landasan yuridisnya, landasannya dapat berdasar dari beberapa landasan sebagai berikut : a. UUD 1945 Pasal 31 tentang hak setiap warga Negara untuk mendapat pendidikan. b. UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal 32 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan LayananKhusus. c. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
68
Op. Cit., Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi, hlm. 72-80.
62
d. Salamanca Statement and Framework for Action on Needs Education tahun 1994. e. Deklarasi Bukittinggi tahun 2005 Pendidikan kebutuhan khusus berasumsi bahwa perbedaan-perbedaan manusia itu normal adanya dan bahwa oleh karenanya pembelajaran itu harus disesuaikan dengan kebutuhan anak bukannya anak yang disesuaikan dengan kecepatan dan hakikat proses belajar. Prinsip mendasar dari sekolah inklusif adalah bahwa, selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa memandang kesulitan ataupun perbedan yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah inklusif harus mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari pada siswanya. 2.Landasan Filosofis Sedangkan, berdasarkan landasan filosofisnya, landasan pendidikan inklusif dapat berdasar dari beberapa hal, sebgai berikut : a. Bangsa
Indonesia
adalah
bangsa
yang
berbuadaya denga lambang negara Burung Garuda yang berarti “Bhineka Tunggal Ika”.
63
b. Pandangan Agama khususnya Islam, bahawa manusia
dilahirkan
dalam
keadaan
suci,
kemuliaan seseorang dihadapan Tuhan bukan karena fisiknya tetapi ketaqwaannya. c. Pandangan Universal Hak Azasi Manusia. d. Pendidikan inklusi merupakan implementasi pendidikan dengan wawasan multicultural yang dapat
membantu
peserta
didik
mengerti,
menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologi. Pada sekolah inklusi anak berkebutuhan khusus akan
berkembang
melalui
pengajaran
dan
dukungan dari teman sebayanya. Jadi pendidikan inklusi merupakan refleksi pandangan moral yang memberikan
penghargaan
atas
perbedaan.
Sehingga siswa dapat belajar satu sama lain karena hal itu akan mereka lakukan pada dunia nyata. 1.5.8.6 Sekolah Inklusi Sekolah inklusi adalah satuan pendidikan formal atau sekolah reguler yang menyelenggarakan pendidikan dengan mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus dan/atau yang mengalami
hambatan
dalam
akses
pendidikan
untuk
64
memperoleh
pendidikan
yang
bermutu
bersama-sama
denganpeserta didik lain pada umumnya sesuai dengan kebutuhan peserta didik.69 Sekolah inklusif menyediakan akses pembelajaran yang
memungkinkan
semua
anak,
termasuk
anak
berkebutuhan khusus, dapat belajar bersama-sama dengan anak
pada
umumnya.
Sekolah
inklusif
menyediakan
pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Sekolah tersebut menyediakan bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil dalam belajar sesuai dengan potensinya.
1.6
Kerangka Pemikiran Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana pola komunikasi Pedagogik yang digunakan antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam implikasi terhadap prestasi belajar siswa di sekolah inklusi. Oleh karena itu, diperlukan kerangka berpikir yang akan membawa pada kesimpulan. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini bermula dari tingginya jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang putus sekolah di Kabupaten Boyolali yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun.Sejalan dengan
69
Op. Cit., Munawir Yusuf, Manajemen Sekolah Berbasis Pendidikan Inklusif, hlm. 14.
65
Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan yang berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus (ABK) dididik bersamasama dengan anak normal untuk mengoptimalkan segenap potensi dan bakat mereka. Salah satunya, SD Negeri 1 Sukorame yang merupakan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di Kabupaten Boyolali yang juga merupakan rintisan sekolah inklusi di Kabupaten Boyolali sejak Tahun Pelajaran 2004/2005. Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah inklusi tercipta komunikasi interpersonal dengan berpacu dari kecakapan guru yang sering disebut dengan kompetensi pedagogik, komunikasi antara guru sebagai komunikator dan anak berkebutuhan khusus (ABK) sebagai komunikan. Dari komunikasi tersebut akan membentuk sebuah pola komunikasi pedagogik antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang akan berdampak sebagai faktor dalam penentuan hasil prestasi belajar siswa di sekolah inklusi yang pada penelitian ini adalah SD Negeri 1 Sukorame Boyolali.
66
Bagan 1.1 Skema Kerangka BerpikirPola Komunikasi Pedagogik Antara Guru dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan Implikasi Terhadap Prestasi Belajar Siswa Di Sekolah Inklusi
Kompetensi Pedagogik Guru
Metode Komunikasi Pedagogik :
Guru
1. 2. 3. 4. 5.
Metode Ceramah Metode TIK Metode Bernyanyi Metode Tanya Jawab Metode Bercerita
Materi Pelajaran
Anak Berkebutuhan Khusus
Respon
Hasil Prestasi Belajar Siswa
1.7
Metodologi 1.7.1 Tipe Penelitian Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yang lebih menekankan pada masalah proses dan makna, maka jenis penelitian dengan strategi yang terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif. Desain kualitatif deskriptif digunakan sebagai upaya peneliti untuk dapat menggambarkan fenomena yang ada dalam
67
masyarakat
secara
permasalahannya
langsung sebagai
dengan
mempelajari
wacana
yang
berbagai dapat
dipelajari.Penggambaran fenomena penelitian dalam kualitatif deskriptif akan memberikan keutuhan latar alami, sehingga lebih dapat menggambarakan mengenai fenomena anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam sekolah inklusi secara lebih natural. Desain penelitian kualitatif deskriptif dapat menjadi alat peneliti untuk lebih memahami penggambaran fenomena sosial mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam sekolah inklusi dan berbagai interaksi sosialnya dalam konteks yang lebih intim. Berbagai bentuk perilaku yang diamati dalam penelitian ini menjadi dasar untuk dapat memberikan gambaran nyata mengenai pola komunikasi Pedagogik antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mempengaruhi prestasi belajar siswa di SD Negeri Sukorame 1 Boyolali. Menurut Sugiyono ”Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi obyek alamiah”.70Penelitian kualitatif adalah suatu prosedur peneltian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah berupa data deskriptif yang berbentuk kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang diamati. Dalam penilitian kualitatif data deskriptif menjadi data utama. Dari kajian tentang beberapa definisi
70
Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis (Cetakan Keduabelas), Alfabeta, Bandung, 2008, hlm. 1
68
tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian meliputi perilaku, persepsi, tindakan yang sifatnya secara holistik dan naturalistik. Penafsiran kualitatif secara secara interpretatif atau pengalaman manusia dengan menggunakan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan metode yang sistematis. Penelitian
ini
mendeskripsikan
dan
menganalisispola
komunikasi Pedagogik antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) dan implikasinya yang mempengaruhi prestasi belajar siswa di SD Negeri Sukorame 1 Boyolali pada tahun ajaran 2015-2016. 1.7.2 Metode Penelitian Salah satu jenis penelitian adalah studi kasus. Menurut Sutopo “Ada dua kategori studi kasus yaitu studi kasus tunggal dan studi kasus ganda”.71Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal terpancang. Mengenai studi kasus Yin menjelaskan bahwa:72 “Studi kasus merupakan strategi penelitian yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan “how” atau “why”, bila peniliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bila mana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata.” Penelitian ini bersifat studi kasus yaitu penelitian yang 71
Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta, 2002, hlm. 112-113. Yin K. Robert, Studi Kasus Desain dan Metode (Edisi Revisi), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 1 72
69
memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan mendetail yang bertujuan mempelajari secara intensif latar belakang, status terakhir dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan social seperti individu, kelompok, lembaga atau komunitas pada keadaan sekarang.73Dalam penelitian ini peneliti menggunakan strategi penelitian studi kasus juga dengan pertimbangan fokus penelitian tentang pola komunikasi Pedagogik antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mempengaruhi prestasi belajar siswa di SD Negeri Sukorame 1 Boyolali dengan “how” sehingga untuk menjawabnya akan sesuai dengan strategi penelitian studi kasus. Dalam penelitian ini studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya. Menurut Sutopo menjelaskan bahwa studi kasus tunggal adalah:74 “Penelitian hanya dilakukan pada satu sasaran (satu lokasi studi atau satu subyek). Jumlah sasaran (lokasi studi) tidak menemukan suatu penelitian berupa studi kasus tunggal atau ganda meskipun penelitian ini dilakukan di beberapa lokasi (beberapa kelompok atau sejumlah pribadi). Kalau sasaran studi tersebut memiliki karakteristik yang sama atau seragam maka penelitian tersebut tetap merupakan studi kasus tunggal. Terpancang artinya terfokus, maksudnya adalah dalam penelitian ini memfokuskan pada suatu masalah yang sudah ditetapkan sebelum peneliti terjun ke tempat penelitian.” 73 74
Anwar Syarifudin, Metode Penelitian, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 63 Loc. Cit.,Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif,hlm.111-112.
70
Menurut Sutopo mengungkapkan “Aspek tunggal bisa dilakukan pada sasaran satu orang atau lebih, satu desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, negara, bangsa atau lebih, tergantung adanya kesamaan karakteristiknya atau adanya keseragaman”.75Aspek tunggal karakteristik dalam penelitian ini yaitu pola komunikasi Pedagogik antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mempengaruhi prestasi belajar siswa di SD Negeri Sukorame 1 Boyolali. 1.7.3 Teknik Pengambilan Sampel Informan
digunakan
peneliti
untuk
dapat
menjadi
narasumber yang memiliki keberagaman informasi penting yang sangat dibutuhkan bagi penelitian yang dilakukan terkait dengan keberadaannya yang memahami fenonema penelitian yang yang tengah peneliti pelajari. Dalam penelitian kualitatif, informan dipilih karena adanya penilaian-penilaian mengenai kedudukannya dalam fenomena penelitian yang benar-benar mengetahui secara baik permasalahan
dalam lingkungannya. Peneliti dapat menentukan
siapa informan yang digunakan, dan berapa jumlah informan yang digunakan dengan berdasarkan pada penilaian-penilaian tertentu yang ditetapkan peneliti. Adanya
kebebasan peneliti menentukan jumlah informan
berdasarkan penilaian-penilaian tertentu, merujuk pada adanya 75
Ibid; hlm. 112-113.
71
penentuan teknik penentuan informan melalui teknik purposif. Teknik penentuan informan secara purposif yaitu memilih orangorang tertentu karena dianggap berdasarkan penilaian tertentu dipilih karena teknik ini memilih informan
dengan berbagai penilaian
subjektif yang dirancang peneliti.76 Peneliti mengharapkan informan yang digunakan benar-benar memiliki keterlibatan dan memahami fenomena penelitian secara nyata. 1.7.4 Subyek Penelitian Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti menggunakan 13 orang informan. Berikut ini kriteria informan yang akan digunakan dalam penelitian ini : 1. 2 (dua)orang guru pendidikan khusus yang mengajar di SD Negeri 1 Sukorame. 2. 4 (empat)orang guru kelas yang mengajar di SD Negeri 1 Sukorame. 3. 4 (empat)siswa yang merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang masuk dalam kelas reguler di SD Negeri 1 Sukorame. 4. 3 (tiga)siswa yang merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang masuk dalam kelas khusus di SD Negeri 1 Sukorame. 1.7.5 Teknik Pengumpulan Data 76
Jalaludin Rakhmat, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 81.
72
Observasi dilakukan sebelum dan selama penelitian ini berlangsung yang meliputi gambaran umum berupa peristiwa, tempat dan lokasi serta benda-benda dan rekaman audio.Dilakukan secara
langsung
dan
menggunakan
komunikasi
interpersonal.Dikatakan secara langsung karena memiliki pengertian bahwa peneliti hadir dan mengamati kejadian-kejadian di lokasi. Oleh karena itu, observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi
berperan
aktif
(active
participant
observation),peneliti ikut aktif dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas regular maupun kelas khusus di SD Negeri 1 Sukorame dengan didampingi oleh guru kelas dan guru pembimbing khusus dan melakukan pengamatan. Akan tetapi, peneliti tidak menjadi bagian dari masyarakat yang diteliti. Penelitian ini menggunakan beberapa
teknik penumpulan
data yang dipilih dalam memberikan asupan informasi penelitian, antara lain: 1. Wawancara Mendalam (indepth interview) Wawancara merupakan bentuk usaha peneliti dalam menggali berbagai informasi mengenai fenomena yang ada secara langsung dari sumber yang memahami berbagai permasalahan yang ada di dalamnya. Peneliti pada praktek wawancara ini menggunakan teknik wawancara berstruktur
dengan berpegangan pada
73
pedoman wawancara. Wawancara dapat menjadi alat pembuktian terhadap informasi yang ada atau juga dapat digunakan sebagai media verifikasi pada sumber data lainnya. 2. Dokumentasi Teknik dokumentasi menurut Arikunto adalah mencari data mengenai hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.77 Dalam hal ini metode diperlukan guna melengkapi hal-hal yang dirasa belum cukup dalam data-data yang telah diperoleh melalui pengumpulan lewat dokumen/catatan yang ada dan dianggap relevan dengan masalah yang ditelitimengenai pola komunikasi Pedagogik antara guru dan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mempengaruhi prestasi belajar siswa di SD Negeri Sukorame 1 Boyolali. di dapatkan dari keterangan informan.
3. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan bentuk teknik pengumpulan data
77
yang berasal dari berbagai sumber literatur yang
Iskandar,Metodologi Penelitian Kualitatif, Gaung Persada Press, Jakarta, 2009, hlm. 134.
74
menjadi media referenai atas kepentingan keragaman informasi penelitian. Untuk itu studi pustaka yang akan digunakan dengan mengacu pada berbagai sumber seperti buku, jurnal, dan berbagai dokumen terkait ABK dalam sekolah inklusi. 4. Internet Searching Pencarian informasi memungkinkan untuk dilakukan secara online melalui jaringan internet. Informasi dari berbagai penjuru dunia yang berkaitan untuk penelitian dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan sumber yang memperkaya hasil penelitian. 1.7.6 Validitas Data Objektifitas pada penilaian keabsahan data kualitatif dicapai dengan proses pengumpulan data yang dapat diuji melalui proses triangulasi,
yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data
yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.78 Ada berbagai cara dalam menerapkan teknik triangulasi yang dapat dijadikan sebagai alternatif dalam menguji keabsahan data kualitatif. Teknik triangulasi yang digunakan peneliti yaitu teknik triangulasi teori dimana peneliti menggali data yang sama atau sejenis yang ditemukan dilapangan kemudian dibandingkan 78
Op. Cit., Lexy J. Moleong, “Metodologi Penelitian Kualitatif” (Edisi Revisi), hlm. 330.
75
dengan teori-teori yang sudah ada, apabila berbeda maka dimungkinkan peneliti dapat menemukan atau menciptakan suatu teori baru. Serta teknik triangulasi sumber yang memungkinkan peneliti untuk melakukan bentuk perbandingan data diantara sumber data yang ada. Penerapan triangulasi sumber dilakukan peneliti dengan melakukan perbandingan data hasil wawancara antar informan dengan sumber studi pustaka. Berbagai bentuk perbandingan antara sumber data tersebut dilakukan sebagai pengecekan silang informasi yang dilakukan sebagai alat verifikasi dan juga sebagai bentuk pengembangan informasi dari yang telah di dapatkan dari satu sumber data ke sumber data lainnya. Upaya peneliti dalam melakukan triangulasi sumber juga dilakukan sebagai upaya dalam memberikan hasil penelitian yang komprehensif dan mewakili fenomena secara utuh. 1.7.7 Teknik Analisis Data Adapun dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teknik interaktif yang dikemukakan Miles dan Huberman, reduksi data
sebagai
cara
analisis
data
yang
telah
didapatkan
sebelumnya.79Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatan peneliti 79
Sugiyono, Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2008, hlm. 338.
76
dilapangan. Selama pengumpulan data-data berlangsung, terjadi tahapan reduksi selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan penyempitan ringkasan data lainnya. Penyajian data digambarkan melalui rangkaian kalimat yang disusun secara logis dan sistematis agar mudah dipahami. Penyajian data ini merupakan serangkaian upaya peneliti dalam menyampaikan hasil-hasil temuan
dilapangan yang telah
melalui tahap reduksi data. Penarikan kesimpulan merupakan hasil akhir yang ingin disampaikan peneliti mengenai hal-hal yang menjadi perhatian peneliti. Berikut runtutan analisis data yang lebih spesifik setelah data terkumpul : 1. Hasil wawancara, dokumentasi, dan catatan lapangan akan dijabarkan secara sistematis dalam bentuk transkrip sehingga dapat lebih mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang lain. 2. Memilah data-data tersebut dalam kateori-kategori yang harus dapat diperbandingkan antara satu dengan yang lain. 3. Mencari hubungan antar kategori. 4. Menyederhanakan dan mengintregasikan data ke dalam struktur atau pola yang saling berkaitan secara logis. 5. Membandingkan antara data yang telah disederhanakan dan diintregrasikan tersebut.
77
6. Menarik kesimpulan dari data mengenai persepsi.
78