BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dewasa ini mata dunia cukup cermat mengarahkan perhatiannya pada kehancuran ekosistem dunia, lenyapnya plasma nuftah, degenerasi habitat hutan, kebakaran hutan lindung dan berbagai kerusakan hutan lainnya. Sehingga masalah kerusakan ekosistem hutan saat ini sudah menjadi issu global. Satu pihak di persoalkan masalah konservasi sumber daya alam, namun di pihak lain kepentingan
ekonomi masih saja terus di tingkatkan, sehingga
konservasi cenderung hanya berada pada tingkat teoritis saja. Artinya praktek perusakan pada sumber daya alam masih terus berlangsung dari berbagai pihak demi peningkatan pendapatan dan devisa bagi negara. Pemanfaatan fungsi ekonomi hutan secara berlebihan oleh manusia (ekploitasi hutan) tanpa memperdulikan keseimbangan ekologis dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Untuk itu memerlukan biaya (cost) ekonomi sosial yang jauh lebih besar dibanding hasil ekonomi yang telah diperoleh. Masyarakat yang tinggal dan bermatapencarian di sekitar hutan, di satu sisi sering kali dituding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan, tetapi di sisi lain seringkali diharapkan sebagai pelaku utama bagi upaya perlindungan hutan itu sendiri. Harapan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, sebagai pelaku utama bagi perlindungan hutan merupakan yang wajar, karena dalam kehidupan kesehariannya mereka berinteraksi langsung dengan hutan dan merupakan orang yang pertama yang menerima dampak dari kerusakan hutan, seperti bencana alam berupa banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan. Orang-orang setempat merupakan pelestari alam yang baik dan karena itu akan menjadi manajer yang baik dari areal pelestarian alam. Karena itu sangatlah penting untuk mempelajari cara-cara mereka.
Universitas Sumatera Utara
Perlidungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan dimana mereka bertempat tinggal umumnya dilakukan melalui seperangkat nilai budaya, pengetahuan aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam pengolahan hutan. Cara perlindungan seperti itu dikenal dengan istilah kearifan lokal. Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan (rohani dan jasmani) yang memberikan daya tahan dan daya tumbuh bagi komunitas tersebut (Saini KM, 2005 ). Soemarwoto (1982) mengartikan kearifan tradisional sebagai ilmu pengetahuan yang mampu menghadapi kondisi suatu lingkungan. Kerifan tradisional mencakup seluruh peralatan/benda, metode, cara serta pengorganisasian yang diciptakan oleh elemen manusia berdasarkan keterampilan dan ilmu pengetahuan (knowledge) yang dimilikinya. Oleh karena itu kearifan tradisional preferensinya lebih ke arah pengetahuan (knowledge), bukan sekedar sains (science) karena adanya aspek “pengalaman” dan “keterampilan” 1. Pengetahuan masyarakat tersebut bersumber antara lain melalui mitos 2. Dalam keseimbangan logis dapat dilihat dari studi yang dilakukan Shefold(1980) terhadap orang Mentawai di Siberut, dimana kepercayaan tradisional mengenai keseimbangan lingkungan alamiah, dan keinginan untuk melindunginya melalui ketaatan tentang pantang memburu telah menghasilkan keseimbangan ekologis. Kearifan tradisional dapat berfungsi sebagai perlindungan hutan, seperti contoh pantang (tabu) untuk menebang pohon tertentu karena dianggap memiliki kekuatan gaib yang hidup dalam suatu masyarakat di daerah itu sendiri. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat (kearifan lokal) ternyata memiliki arti yang positif bagi upaya konservasi hutan. Ironisnya, pengetahuanpengetahuan (kearifan tradisional) tersebut dewasa ini, karena berbagai faktor telah melemah,
1
Lihat Mutia Ramadhani (LOMBA TULIS YPHL : Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Sebagai "Teknologi Baru" Dalam Pelestarian Hutan 2008 2 Selalu berhubungan dengan yang sakral, bisa di dapat jawaban yang bisa diterima akal. Sebab kejadiankejadian empiris selalu berkaitan dengan peristiwa metaempiris (Minsarwati,2002:2)
Universitas Sumatera Utara
bahkan telah banyak ditinggalkan atau tidak dipatuhi lagi oleh masyarakat komunitas di mana kearifan tradisional tersebut sebelumnya hidup dan diimplementasikan. Di Sumatera Utara hanya tujuh kabupaten sebagai penghasil kemenyan, yakni Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Pakpak Bharat, Tapanuli Selatan, Dairi dan Tapanuli Tengah.Budidaya haminjon bertujuan meningkatkan sekaligus produksi, mutu dan pemasaran. Budidaya bermakna penanaman bibit haminjon di konsesi TobaPulp, tetapi di luar petak-petak HTI eucalyptus. Dengan demikian kemenyan budidaya tidak akan ditebang untuk selamanya agar masyarakat dapat memanen hasilnya.Untuk tahap awal, setiap kelompok petani haminjon terdidik akan membuka kebun percontohan (demplot) seluas 1 hektar di desa Hutagalung (kecamatan Harian, Samosir) dibawah supervisi penuh BPK. Dengan jarak tanam 4x4 meter 1 hektar dapat ditanami 625 batang dan pada usia 7 tahun mulai dapat ditakik untuk memperoleh getahnya sebanyak 0,5 ons. Secara bertahap produktivitasnya naik menjadi 0,5 kg per sekali panen (6 bulan) pada usia 15 tahun dan menjadi 1 kg pada usia 20 tahun. Artinya, pada usia 15 tahun setiap hektar dapat menghasilkan 625 kg dan menjadi dua kali lipat (1.250 kg) pada usia 20 tahun. Kawasan sekitar Toba diperkirakan masih memiliki lahan sedikitnya 100 ribu hektar untuk budidaya haminjon, artinya berpotensi menghasilkan tambahan produksi sebanyak 125 ribu ton pertahun. Kabupaten Pakpak Bharat khususnya Kecamatan Si Empat Rube merupakan salah satu daerah di Sumatera Utara yang memiliki hutan kemenyan yang cukup berpotensi dan beberapa wilayahnya merupakan daerah yang termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Etnik pakpak merupakan etnik mayoritas dan penduduk asli di Kecamatan Si Empat Rube. Masyarakat Pakpak memiliki kearifan tradisional seperti yang dikemukakan Pelly (1987), bahwa masyarakat Pakpak sangat menghargai alam dengan adanya tabu-tabu yang selalu dipatuhi: (Zuraida, dkk. 1992) yang menyatakan bahwa orang lebih lanjut bagaimana
Universitas Sumatera Utara
pandangan (persepsi) masyarakat di Kecamatan Si Empat Rube tentang perlindungan hutan, kiranya perlu dilakukan penelitian yang berjudul “Kearifan Tradisional Terhadap Perlindungan Hutan di Kecamatan Si Empat Rube Kabupaten Pakpak Bharat.
1.2. Perumusan Masalah Dari latar belakang sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka masalah dalam penelitian adalah bagai mana bentuk-bentuk kearifan masyarakat di Kec. Siempat Rube dalam mengatur pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan yang terkait dengan pengelolaan hutan kemenyan dengan rician: 1. Nilai-nilai dan aturan-aturan yang terkait dengan pengelolaan hutan kemenyan 2. Kepercayaan dan upacara-upacara adat yang terkait dengan pengelolaan hutan kemenyan 3. Kaitan antara pengelolaan dengan konservasi alam
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dikemukakan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran sejauh mana peranan masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan, serta bagaimana interaksi masyarakat dengan hutan, dalam hal ini masyarakat yang tinggal di dekat hutan. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan : 1. Peranan masyarakat di Kecamatan Si Empat Rube dalam menjaga kelestarian hutan. 2. Menggali bentuk-bentuk kearifan masyarakat lokal dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan di Si Empat Rube.
Manfaat Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Dari penelitian ini diharapkan akan memperole gambaran yang akurat mengenai pengelolaan hutan kemenyan. Sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam memperkaya kajian penelitian ilmu-ilmu yang ingin mengkaji perlindungan hutan kemenyan berdasrkan pengetahuan lokal (lokal knwlege). Peran pengetahuan lokal (local knowledge) masyarakat terhadap keberadaan dan perlindungan hutan dapat bermanfaat sebagai acuan bagi pemerintah atau masyarakat luas dalam pengambilan kebijakan perlindungan hutan berbasis pada komunitas lokal (local Community) dengan pengetahuan lokal masyarakat itu sendiri. Sedangkan pengetahuan tentang potensi kearifan tradisional (Indigenous knowledge) yang dimiliki oleh masyarakat lokal dalam perlindungan hutan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pembuatan kebijakan perlindungan hutan dengan memanfaatkan secara maksimal kearifan tradisional tersebut, dan bila perlu dapat dilakukan rekayasa sosial (social enginering). Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Menghasilkan informasi dan data dari kajian tentang kearifan masyarakat lokal di Si Empat Rube dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber daya hutan. 2. Memberi masukan tentang pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan di Si Empat Rube yang dapat menjamin kelestarian alam dan keberlangsungan hidup manusia.
1.4. Tinjauan Pustaka Masyarakat dan Hutan Keterkaitan masyarakat (manusia) dengan hutan tanpak dalam pengetahuan manusia dalam mengelola hutannya. Cara yang dilakukan oleh manusia (masyarakat) dalam mengelola hutan, antara lain yaitu: merubah hutan menjadi lahan pertanian (kebun dan
Universitas Sumatera Utara
ladang), baik dengan cara perladangan berpindah (tebas bera) maupun dengan cara perladang menetap. Pengetahuan masyarakat tentang hutan merefleksikan bagaimana hutan tersebut dilihat dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengetahuan masyarakat tentang hutan berimplikasi penting dalam manajemen pemeliharaan hutan, karena pengetahuan masyarakat (kearifan lokal) mengandung nilai-nilai ekologi, yaitu adanya fokus perhatian pengaturan penempatan dalam hal letak lahan dan perhatian topografi setempat untuk penanaman, serta penggunaan petak kecil dan garis petak yang hati-hati dapat membantu mengurangi erosi pada lereng curam (Lawrence, 1995). Implikasi penting dalam pemeliharaan hutan dengan pengetahuan lokal menurut Dove (1985 : 289) meliputi: ideologi, ekonomi, dan ekologi. Ideologi menekankan tradisional, baik sebagai agama tradisional maupun sistem upacara. Penelitian Minsarwati (2002) mengenai kepercayaan tradisional terhadap gunung berapi di Jawa menunjukkan bahwa semua kepercayaan tersebut memilik hubungan yang empiris dan nyata, seperti menggunakan petunjuk-petunjuk alam di sekitar mereka untuk meramalkan kapan gunung akan meletus. Penelitian Daeng dalam Dove (1985) tentang Ngadha di pulau Flores, di mana pesta gaya persaingan yang merupakan kebiasaan yang kelihatannya bersifat pemborosan ternyata berfungsi untuk membagi penyerahan bagian-bagian tanah yang diperebutkan kepada sukusuku yang
menyembelih jumlah hewan yang paling banyak. Pembuktian menunjukkan
bahwa keseimbangan populasi manusia, ternak, dan tanah. Dari segi ekonomi diketahui bahwa ekonomi tradisional masyarakat di sekitar hutan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga sistem, yaitu perladangan berpindah, pengumpulan sagu, serta berburu dan meramu. Suatu hal yang menarik dari perladangan berpindah ditemukan pada orang Mentawai oleh Schefold (1980). Menurut Schefold, orang Mentawai membudidayakan pisang, umbi-umbian, dan membuka perkebunan talas dan buah-buahan.
Universitas Sumatera Utara
Mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan ladang berpindah dengan tidak membakar hutan. Di samping itu, orang Mentawai juga mengekploitasi pohon-pohon sagu yang tumbuh secara alamiah karena beberapa hal, pertama, sagu relatif melimpah dan merupakan tanaman yang tumbuh secara alamiah. Kedua, sagu dapat dibudidayakan dan diekploitasi tanpa modal apapun. Ketiga, merupakan tanaman potensial untuk tujuan komersial dn dieksploitasi untuk kebutuhan sub-sistensi, dan keempat, sagu hanya dieksploitasi oleh kelompok masyarakat terbelakang, dan belum maju. Pembudidayaan sagu ini tidak mendapat penghargaan dari pelaksana pembangunan. Selanjutnya, implikasi ekologis, terlihat dari sistem pemanfaatan lingkungan oleh orang di pedesaan, terdapat azas-azas tradisional mengenal pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan yang dapat diterima akal. Hasil penelitian Schefold(1980) di Mentawai menemukan bahwa pengaruh manusia terhadap lingkungan mendapat perhatian yang utama, tegas, dan diatur secara seksama dalam tata upacara-upacara keagamaan. Hasil penelitian Laksono dalam Dove (1985) juga menunjukan adanya kaitan kepercayaan tradisional dengan keseimbangan ekologi. Laksono melihat bahwa upacara keagamaan mempunyai peranan dalam menafsirkan dan menyesuaikan diri dengan bencana gunung merapi. Peranan upacara keagamaan dalam mengatur suatu penyimpangan, merupakan ciriciri kebudayaan tradisional. Ketentuan-ketentuan dan pantangan-pantangan keagamaan yang mengatur hubungan tersebut melambangkan pengetahuan empiris yang penting terhadap lingkungan. Implikasi-implikasi penting (ideologi, ekonomi dan ekologis) dalam perlindungan (pemeliharaan) hutan yang dilakukan oleh masyarakat, menunjukan bahwa pengetahuan ekologi masyarakat di dalam berbagai aktivitas dalam pengelolaan lingkungan dan pelestarianya sesuai dengan budaya yang mereka miliki perlu diapresiasikan.
Pengertian Mitos
Universitas Sumatera Utara
Mitos merupakan suatu kata yang sudah akrab di telinga kita. Namun seringkali kita belum mengetahui secara benar apa sebenarnya makna dari kata mitos tersebut. Meskipun diakui sulit untuk merumuskan defenisi mitos secara pasti, namun demikian, mitos dapat dipahami dalam batas-batas yang lazim digunakan dalam defenisinya. Pemahaman terhadap konsep mitos secara benar diperlukan dalam konteks penelitian ini, karena pengetahuan lokal (kearifan tradisional) tentang perlindungan dan pelestarian hutan dapat diketahui dari mitosmitos yang hidup dalam masyarakat setempat. Kata mitos berasal dari bahasa Inggris “myth” yang berarti dongeng atau cerita yang direkayasa. Dalam bahasa Yunani disebut dengan “Muthos” yang berarti cerita tentang Tuhan dan Supra human Being, Dewa-dewa. Mitos juga dipahami sebagai realitas kultur yang sangat kompleks. Lebih lanjut Eliade, menyebutkan secara terminologis dapat diartikan sebagai kiasan atau cerita sakral yang berhubungan dengan acara pada waktu permulaan yang mengacu pada asal-usul segala sesuatu dan dewa-dewa sebagai objeknya, cerita atau laporan suci tentang kejadian yang berpangkal pada asal usul segala sesuatu dan permulaan terjadinya dunia. Menurut Hadiwiyono dalam Minsarwati (2002), mitos dikatakan sebagai suatu kejadian-kejadian pada zaman bahari yang mengungkapkan atau memberi arti kepada hidup dan yang menentukan nasib di hari depan. Pemaknaan mitos yang seperti ini akan membawa pengaruh pada perilaku manusia dalam segala segi kehidupan, baik dari segi sosial, ekonomi, budaya dan ekologisnya. Pemaknaan mitos yang seperti itu juga menjadi acuan dan aturan seseorang (masyarakat) dalam melakukan berbagai interaksinya, termasuk interaksinya dengan hutan. Pada kenyataannya, keberadaan mitos sampai pada saat ini terus terjadi dan masih dipraktikkan, ini terbukti dengan adanya kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib atau supranatural yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, maupun peristiwa-peristiwa
Universitas Sumatera Utara
yang berada di luar jangkauan pikiran manusia untuk menjawabnya seperti adanya proses kelahiran, kematian, perjalanan dalam mimpi, perputaran musim dan adanya bencana alam. Mitos juga punya daya kekuatan. Menurut anggapan-anggapan kuno (primitif), menyediakan persembahan dan melakukan upacara-upacara keagamaan atau melakukan tarian-tarian dengan sesuatu yang dimitoskan berarti menjaga ketertiban kosmik dan dunia. Menurut Daeng (2000:81), melalui mitos manusia dibantu untuk dapat menghayati kekuatan gaib tersebut sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya. Mitos memberi jaminan masa kini, dalam arti dalam mementaskan atau menghadirkan kembali suatu peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, maka usaha serupa dijamin terjadi sekarang. J.van Baal (1987:44) mengatakan bahwa mitos dikatakan sebagai cerita di dalam kerangka sistem suatu religi di masa lalu atau masa kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan. Ilmu pengetahuan tentang mitos atau mitologi adalah suatu cara untuk mengungkapkan, menghadirkan yang kudus, yang ilahi, melalui konsep serta bahasa simbolis. Melalui mitologi diperoleh suatu kerangka acuan yang memungkinkan manusia memberi tempat kepada beragam kesan pengalaman yang telah diperoleh selama hidup. Berkat kerangka acuan yang disediakan mitos, manusia dapat berorientasi dalam kehidupan ini. Ia tahu dari mana ia pergi; asal-usul dan tujuan hidupnya dibeberkan baginya dalam mitos. Van Peursen (1967:37-42), mengatakan bahwa mitos adalah sebuah cerita pemberi pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu berintikan lambing-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia. Mitos pemberi arah kepada kelakuan manusia, dan merupakan semacam pedoman bagi manusia untuk bertindak lebih bijaksana. Mitos menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-kekuatan gaib. Melalui mitos manusia dibantu untuk menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam
Universitas Sumatera Utara
dan kehidupan. Mitos memberi jaminan masa kini dalam arti mementaskan atau menghadirkan kembali suatu peristiwa yang pernah terjadi dahulu, maka usaha serupa dijamin terjadi sekarang. Mitos juga berfungsi sebagai pengantar antara manusia dan daya kekuatan alam, mitos memberi pengetahuan tentang dunia. Lewat mitos manusia primitif memperoleh keterangan-keterangan. Dalam melakukan interaksinya dengan hutan, terutama yang berkaitan dengan aspek ekonomi, seperti berburu, berladang, mencari hasil hutan, dan sebagainya, praktek- praktek mitos masih banyak dilakukan hingga saat ini. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan hutan yang terangkum dalam buku “Kebudayaan dan Pelestarian Alam” penelitian interdisipliner di pedalaman Kalimantan Selatan yang disunting oleh Eghenter dan BernardSellato (1999), menunjukan bahwa peraktek mitos masih hidup dalam masyarakat, baik ketika seseorang (masyarakat) akan bercocok tanam, berburu, maupun ketika pergi mencari hasil hutan seperti rotan dan gaharu. Praktek mitos tersebut dilakukan melalui serangkaian upacara-upacara persembahan hingga pantangan-pantangan yang harus dipatuhi oleh setiap orang. Ada kepercayaan tradisional, bila upacara persembahan dan pantangan tersebut dilanggar maka pekerjaan (aktivitas) yang dilakukan tidak akan berhasil dengan baik. Bahkan dapat mendatangkan malapetaka. Praktek-praktek mitos tersebut didasarkan atas adanya kepercayaan tradisional pada masyarakat setempat bahwa hutan yang mereka usahakan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan gaib di jaga dewa-dewa atau roh leluhur mereka. Untuk itu mereka wajib melakukan upacara-upacara persembahan yang ditujukan kepada dewa-dewa dan roh leluhur tersebut sehingga para dewa dan roh leluhur yang menguasai hutan tersebut bersikap bersahabat dan melindungi mereka. Demikian juga dengan beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh seseorang (masyarakat) dalam melakukan berbagai aktivitasnya merupakan perwujudan dari praktek mitos yang dilakukan masyarakat demi terciptanya keseimbangan alam .
Universitas Sumatera Utara
Sasongko (1991), menyebutkan bahwa dalam masyarakat Jawa, gunung merapi dipercayai oleh penduduk setempat sebagai keraton mahluk halus dan tempat tinggal para roh leluhur. Merapi juga dianggap sebagai surga pangratunan atau tempat penantian bagi roh yang selama ini hidupnya banyak berbuat kebaikan. Sistem kepercayaan terhadap merapi erat kaitannya dengan alam kodrati. Merapi digunakan penduduk setempat sebagai kerangka landasan untuk beradaptasi, berinteraksi, dan mendayagunakan sumber merapi. Kepercayaan ini diyakini juga oleh Keraton Yogyakarta yang diwujudkan dalam bentuk upacara Labuhan Gunung Merapi. Modernisasi yang lebih mengutamakan logika dan rasionalitas seringkali dibenturkan dengan pengetahuan lokal (kearifan tradisional) yang mengemas segala mitos hanyalah persoalan mistis belaka. Maka atas nama kemajuan, peradaban manusia yang merupakan kearifan teradisional, lalu menjadi diabaikan. Padahal seringkali kearifan teradisional tersebut membawa dampak positif bagi kelestarian dan keseimbangan alam, seperti telah diuraikan di atas. Karena itu eksplorasi terhadap potensi kearifan teradisional dalam setiap komunitas masih tetap perlu dilakukan.
Kearifan Tradisional (Indigeneus Knowladge) dan perlindungan Hutan Di Indonesia berbagai bentuk pengelolaan sumber daya alam tradisional dapat ditemukan. Masing-masing bentuk pengelolaan sumber daya alam tradisional ini memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap tempat yang belum tentu dapat di duplikasikan di tempat lain. Di Kalimantan Timur misalnya, diketahui adanya bentuk pengelolaan sumber daya hutan yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Simpukng Munan”. Di Krui, Lampung Barat, dikenal dengan istilah ” Repong Damar”. Di Sisade Rube, Dairi, salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam tradisional yang dikenal oleh masyarakat terwujud
Universitas Sumatera Utara
dalam ” Upacara menanda tahun”. Dan di lokasi penelitian salah satunya terwujud dalam ”Kenduri Uleelung”. Secara ekonomis bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya alam tradisional ini ternyata mampu memberikan kontribusi untuk pendapatan keluarga dan secara ekologis dapat melestarikan sumber daya. Simpukng Munan adalah merupakan salah satu wujud dari ungkapan perladangan pada suku dayak Benuag di Kalimantan Timur, yang merupakan kearifan tradisional dalam hal menata, memelihara, dan melestarikan sumber daya hutan. Simpung Munan merupakan salah satu bukti kerifan tradisional suku Dayak yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan berkenaan dengan model pmanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan. Kearifan tradisional melalui Simpukng Munan mematahkan mitos tentang peranan orang Dayak dalam merusak lingkungan. Suatu hal yang sering diabaikan oleh banyak orang adalah adanya anggapan bahwah sistem perekonomian masyarakat tradisional adalah sistem ekonomi yang berorientasi pada kebutuhan subsisten dan mempunyai kebudayaan sederhana, sehingga dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Persepsi yang keliru ini sayangnya juga dimiliki oleh pemerintah. Berdasarkan persepsi yang keliru ini, kebijakan yang berlaku sekarang ini adalah dengan mengeluarkan mereka dari hutan, memberi mereka pemukiman dan memaksa mereka untuk tinggal menetap, dan menjadikan mereka petani menetap melalui program resetelmen penduduk. Adalah benar bahwa perladangan padi dan tanaman non padi tertentu merupakan aspek penting dalam perekonomian rakyat yang bertipikal subsisten. Namun aktifitas lainnya pada suku Dayak, seperti berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, juga berternak merupakan aspek penting dalam perekonomian masrakat dayak. Bagi orang Dayak ekosistem hutan sebagai satu lingkungan fisik, dipandang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan peranan manusia. Oleh sebab itu wajar jika orang Dayak
Universitas Sumatera Utara
memperlakukan hutan sebagai sebuah ekosistem yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi mereka. Hutan telah memberikan kehidupan kepada mereka, mulai dari persediaan pangan, sampai pada kebutuhan keluarga, sebagai mata pencaharian keluarga dengan memungut hasil hutan non kayu. Dari persentuhan yang intens antara orang Dayak dengan hutan telah melahirkan sebuah sistem perladangan, yang merupakan sebuah model kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya hutan(Dove, 1988). Dalam penelitian Lister Berutu tentang ” Upacara Menanda Tahun dan Implikasinya bagi Pelestarian Lingkungan” di Sisada Rube, menunjukkan bahwa upacara ritual juga memainkan peranan penting dalam upaya pelestarian lingkungan (Lister Berutu, 2004). Upacara Menanda Tahun adalah salah satu upacara ritual yang dikenal pada masyarakat Pakpak di Sisada Rube. Upacara ini dilakukan pada saat pembukaan ladang, dengan tujuan agar tidak menyalahi apa yang di percayai sebagai ketentuan-ketentuan penguasa alam gaib bagi kelestarian ekosistem, sehingga usaha-usaha pertanian dan perladangan mendapatkan ijin dari alam gaib. Masyarat Pakpak percaya bahwa akan muncul bencana jika perladangan dilakukan tanpa Upacara Menana Tahun. Dalam pelaksanaan upacara ini ternyata ada kata-kata wejangan dan aturan-aturan lain. Kata-kata wejangan dalam upacara ini biasanya selalu menekankan pentingnya memelihara hutan, mentaati tabu-tabu, dan aturan-aturan dalam membuka hutan, misalnya tabu membakar hutan, tabu menebang atau membuka hutan dengan sembarang waktu dan tempat. Sistem perladangan itu juga beragam bentuknya. Mulai dari level yang paling sederhana, yaitu perladangan dengan mendasarkan diri pada sistem ekonomi subsisten, sampai perladangan yang sudah berorientasi pada pasar, yang dilakukan dengan atau tanpa rotasi. Keragaman tersebut tentunya mempunyai pengaruh yang berbeda bagi pelestarian
Universitas Sumatera Utara
sumber daya alam. Itulah sebabnya tidak semua bentuk perladangan berpindah dapat digeneralisasi sebagai perusak lingkungan hutan. Artinya, bahwa banyak di antara mereka yang sebenarnya cukup paham perlunya pelestarian, karena mereka menyadari bahwa seluruh hidupnya tergantung pada belas kasihan hutan. Dengan daur perladangan yang cukup, sebenarnya kerusakan akibat perladangan dapat pulih. Namun karena faktor pertambahan penduduk yang tinggi memicu pada pemenuhan kebutuhan ekonomi, menyebabkan masa bera semakin singkat dan lahan hutan semakin sempit, sehingga penduduk lokal menjadi tidak adaptif
dan merusak hutan.
Menyusutnya luas perladangan yang tersedia untuk perladangan dan pembatasan gerak pada peladang memperpendek daur perladangan. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah ekonomi pasar yang semakin luas pengaruhnya pada masyarakat. Makin banyak peladang yang menjual hasil perladangannya untuk mendapatkan uang, semakin besar pengaruhnya dan makin besar luas lahan yang mereka butuhkan. Di samping itu di tanam juga komoditi yang merusak lingkungan oleh peladang. Kerusakan hutan juga di perparah dengan datangnya para migran untuk mencari pekerjaan, yang banyak di antara mereka menjadi peladang tanpa mengetahui teknologi perladangan. Menurut Bulmer (1982:66) pengetahuan masyarakat, baik yang masih hidup maupun yang sudah ditinggalkan namun telah hidup dalam jangka waktu yang lama dan menjadi pandangan hidup tradisional adalah penting karena dua alas an. Pertama, penelitian-penelitian ilmiah tentang tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang dapat dipercepat jika menggunakan orang-orang lokal yang mengetahui hal tersebut. Kedua, suatu kehormatan bagi pengetahuan dan konteks kebudayaannya yang memungkinkan digunakan pengetahuan tersebut bagi upaya konservasi. Kedua alasan yang dikemukakan Blumer tersebut menunjukan bahwa kearifan tradisional yang berisi antara lain pengetahuan-pengetahuan lokal yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang diperlukan dalam rangka percepatan penelitian dan pemanfaatan mereka sendiri dalam upaya perlindungan hutan. Alasan tersebut juga didasarkan pada pemikiran bahwa orang setempat yang sudah berinteraksi cukup lama dengan lingkungan dimana dia hidup dan mencari nafkah tentu memiliki banyak pengetahuan berkenaan dengan lingkungan di mana mereka berladang dan mencari nafkah. Kearifan tradisional yang dimiliki suatu komunitas seringkali merupakan aturanaturan yang sangat berguna bagi upaya konservasi atau perlindungan Hutan. Seperti yang dikemukakan
Alcom dan Molnar (1990), bahwa pada dasarnya masyarakat pedesaan telah
sejak lama melakukan tindakan konservasi secara tradisional. Hasil penelitian Konradus (1999) di Kalimantan membuktikan hal tersebut, di mana menurutnya pengelolaan hutan umumnya, dan pengelolaan gaharu khususnya, yang berlaku dikalangan masyarakat Kenyah merupakan suatu tindakan dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan hutan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat memanfaatkan lingkungannya sesuai perangkat pengetahuan lokal tentang sumberdaya hutan yang ada, dan juga mengatur pengelolaam hutan dengan mengacu pada adaptasi tradisi dan sistem kepercayaan setempat. Hasil peneitian Ngindra(1999:61-67), menemukan bahwa masyarakat suku Kenyah Bakung memiliki pengetahuan tradisional dalam melakukan kegiatan perladangan yang secara langsung tidak langsung berhubungan dengan kelestarian alam (hutan). Mereka memiliki aturan-aturan dan upacara-upacara tertentu yang harus dipatuhi apabila mereka akan melakukan kegiatan perladangan. Aturan-aturan tersebut telah ditentukan sejak mereka memilih lokasi tempat berladang hingga panen hasil pertanian mereka. Ada sejumlah pantang (tabu) yang harus dihindari, karena dipercaya apabila pantang (tabu) tersebut dilanggar maka akan muncul malapetaka atau panen mereka tidak akan berhasil dengan baik. Seringkali pantang (tabu) itu ternyata berkaitan dengan pelestarian (keseimbangan) ekologis. Dalam masyarakat suku Kenyah Bakung misalnya, menurut Ngindra (1999), memiliki beberapa
Universitas Sumatera Utara
tahapan dalam persiapan kegiatan perladangan setelah lokasi lahan perladangan yang cocok ditemukan, yaitu: menebas (midik); menebang (menepeng); memotong dahan (pegang); membakar lading (nutung); membakar sisa (mekup) menanam padi (menugan); merumput (mabau); dan memanen (majau). Dalam setiap tahapan kegiatan tersebut maka ada aturanaturan yang harus dipatuhi, ada upacara-upacara adat, dan ada juga pantangan (tabu). Dari semua tahapan tersebut harus dipatuhi kalau ingin panen berhasil. Dalam kehidupan religius masyarakat tradisional Batak, khususnya Batak Toba (Tapanuli Utara), diyakini adanya kekuatan dan kekuasaan yang menciptakan dan menguasai alam, yang disebut Debata Mula Jadi Na Bolon. Di samping Debata Mula Jadi na Bolon, masyarakat Batak juga percaya dengan adanya kuasa-kuasa alami yang menjelma sebagai Boraspati ni Tano dan Boru Saniang Naga. Boraspati ni Tano adalah Dewa yang hidup di dalam tanah (penguasa tanah), sedangkan Boru Saniang Naga merupakan Dewi yang hidup di dalam air (penguasa air). Kepercayaan lainya adalah kepercayaan terhadap kekuatan roh-roh orang yang telah meninggal dan roh-roh alam. Roh-roh tersebut tinggal di batu besar, mata air, jurang yang dalam, puncak gunung, hutan, pohon besar dan tua, tempat-tempat tertentu di Danau Toba, serta tempat lain yang sulit dikunjungi. Berbagai pantangan dan kewajiban masyarakat untuk menghormati kuasa-kuasa alami, diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat yang menaati hal mistis tersebut secara tidak langsung telah menjaga kelestarian alam sekitarnya. Bukti ekologis bagi dampak positif kegiatan manusia secara tradisional di beberapa areal membenarkan partisipasi masyarakat setempat dalam perlindungan, pengelolaan dan pemulihan lingkungan (Walters, 1997). Mereka memiliki pengetahuan yang sangat kaya tentang lingkungan alam mereka, yang dapat dipakai untuk mendesain strategi-strategi pengelolaan pelestarian alam yang sangat efektif, yang cenderung mengikutsertakan masyarakat lokal di dalamnya. Pandangan umum proyek pelestarian alam dan pembangunan
Universitas Sumatera Utara
terpadu (ICDP), secara sepesifik berasumsi bahwa pengelolaan yang efektif dari sumber daya alam dan penggunaannya yang berkelanjutan seharusnya memasukan praktek-praktek pengelolaan tradisional, dan mengikutsertakan orang setempat mulai dari tahap perencanaan (Eghenter danBernard Sellato,1999).
1.5. Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah metode deskriptif dengan meggunakan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sebagaimana adanya yang diikuti oleh interpretasi rasional. Dalam hal ini, deskripsi dilakukan berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan perlindungan hutan, serta mendeskripsikan pula kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat (nilai, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, dan upacara tertentu) dalam rangka perlindungan hutan. 1.5.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah merupakan salah satu Kecamatan yang memiliki potensi hutan dan tergolong dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) yaitu Kecamatan Si empat Rube Kab. Pakpak Bharat . Dimana penduduk memiliki kearifan tradisional dalam pelestarian hutan yang perlu digali dalam pelestarian hutan kemenyan.
1.5.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam pengupulan data yang menjadi alat pengait utama adalah teknik wawancara dan observasi. Wawancara digunakan untuk mendapatkan data dan memperoleh informasi yang diharapkan tentang permasalahan yang diteliti. Wawancara yang dilakukan adalah wawanara mendalam dan berfokus pada informan kunci, yaitu para petani yang masih aktif melakuakan aktitas mengelolah hutan .
Universitas Sumatera Utara
Wawancara mendalam yang penulis lakukan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) secara mendalam dengan para informan kunci. Informan kunci dalam penelelitian ini adalah petani yang terlibat langsung dengan hutan kemenyan. Informan pangkal dalam penelitian ini antara lain terdiri dari kepala desa, dan tokoh masyarakat yang telah lanjut usia. Dipilihnya tokoh masyarakat yang berusia lanjut didasarkan pada pengetahuan bahwa yang berusia lanjut lebih mengetahui kebiasaan-kebiasaan dan mitosmitos masa lalu dan dapat membandingkannya dengan situasi dan keadaan saat ini. Selain metode wawancara pengumpulan data dilakukan dengan berbagai alat bantu untuk mendukung penelitian, seperti pedoman wawancara (interviw guide) yang dibuat sebelum turun kelapangan yang dipergunakan apabila wawancara dilakuakan dengan terencana. Tape rekorder, digunakan untuk membantu mengingat kembali informasi yang mungkin terlewatkan atau tidak sempat ditulis oleh penulis. Sedangkan kamera digunakan untuk mengabadiakan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan apa yang diteliti.
Observasi Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi kadangkala. Dalam hal ini, peneliti mengadakan pengamatan langsung di lapangan dan ikut terlibat ketika pengumpulan data sangat diperlukan. Maksudnya, peneliti ikut pada saat peneliti ingin mengetahui bagai mana aktifitas peteni pada saat berada di dalam hutan dan apa yang dilakuakan petani untuk menjaga hutannya. Peneliti tidak terlibat atau pasif ketika waktu yang digunkan petani bereda di hutan lebih dari 1 minggu. Adapun yang di observasi adalah (1). Melihat cara petani melekukan upacara yang terkait dengan pengelolaan kemenyan. (2). Mengamati petani menjaga larangan-larangan agar tidak dilanggar,
dan
melihat aktifitas petani ketika berada di hutan. Hasil dari pengamatan di tuangkan dalam
Universitas Sumatera Utara
catatan lapangan, hal ini untuk mempermudah peneliti untuk mengingat dan membaca informasi yang telah diperoleh dari informan ketika di lapangan.
1.5.3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah analisis data kualitatif pertama-tama, peneliti akan mengumpulkan dan mengorganisasilkan, mengurutkan data-data hasil observasi dan wawancara yang diproleh dari lapangan kedalam kategori-kategori. Proses mengorganisasikan data dan mengurutkan data kedalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema. Setelah data terkumpul, selanjutnya akan dibandingkan dan dicari hubungannya. Kemudian data tersebut akan diperkuat dengan data kepustakaan dan artikel-artikel. Dengan cara ini diharapkan akan ditemukan konsep dan kesimpulan yang menjelaskan laporan atau hasil penelitian yang disusun secara sistematis. Analisis data akan dialakukan mulai dari penyusunan proposal sampai penelitian ini selesai.
Bab II Gambaran Umum Lokasi Penelitian
2.1. SEJARAH SINGKAT KECAMATAN SIEMPAT RUBE Dalam rangka mengoptimalkan pelayanan Pemerintah kecamatan kepada masyarakat di desa yang semakin berkembang baik ekonomi, politik, dan sosial budaya maka dipandang perlu memadatkan dan meningkatkan frekuensi pelayanan aparatur pemerintah di kecamatan. Seiring dengan hal ini maka dipandang perlu melakukan penataan wilayah kecamatan dengan pendekatan pemekaran kecamatan.
Universitas Sumatera Utara