BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa negara
berkewajiban mewujudkan
ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Sejarah telah menunjukkan bahwa masalah pemenuhan pangan erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional secara keseluruhan.
Kelemahan dalam
mewujudkan ketahanan pangan akan menggoyahkan sendi-sendi ketahanan nasional. Oleh karena itu, pembangunan sistem ketahanan pangan nasional yang mantap menjadi syarat mutlak bagi pembangunan nasional. Di Indonesia, masalah pangan dan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari komoditas beras, mengingat beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi konsumsi beras yang tinggi yaitu sebesar 100% (Ariani dan Ashari, 2003), yang berarti bahwa hampir seluruh rumah tangga mengkonsumsi beras.
1
2
Menyadari bahwa untuk mencukupi kebutuhan pangan utama merupakan langkah awal yang strategis bagi pembangunan bangsa, maka sejak awal kemerdekaan telah dicanangkan berbagai program dan kebijakan mengenai perberasan nasional.
Pada awal kemerdekaan, beras serta tanaman pangan
umumnya berperan dominan dalam perekonomian, baik dari segi produksi maupun konsumsi atau pengeluaran rumah tangga.
Sudah lebih dari tiga
dasawarsa beras ditempatkan sebagai komoditas utama dalam perekonomian Indonesia. Kekurangan beras misalnya masih dianggap sebagai ancaman terhadap kestabilan ekonomi dan politik (Baharsyah et al., 1998). Selanjutnya, Timmer (1996) menyatakan perekonomian beras merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1960.
Kasryno dan Pasandaran
(2004) menyatakan bahwa kebijakan pembangunan pertanian selalu didominasi oleh kebijakan perberasan. Di Indonesia, padi diusahakan oleh sekitar 18 juta petani dan menyumbang 66% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tanaman pangan.
Selain itu,
usahatani padi memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga dengan sumbangan pendapatan sebesar 25% sd 35% (Departemen Pertanian, 2005). Sawit (2000) menyatakan bahwa beras sebaiknya dipandang sebagai barang yang tidak saja berfungsi sebagai barang privat tetapi juga barang publik karena banyak kepentingan publik dihasilkan oleh beras, oleh sebab itu beras tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, sehingga menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian ke depan.
3
Masyarakat yang mempunyai pola konsumsi pangan pokok yang beragam lebih mudah menyesuaikan atau menerima pola makan baru dibandingkan dengan masyarakat yang pangan pokoknya hanya beras. Menurut Wirakartakusumah dan Soeharjo (? , dalam Kasryno dan Pasandaran , 2004) kondisi lingkungan terutama sosial budaya mempunyai pengaruh besar terhadap pola makan. Erwidodo et al. (1996) menunjukkan terdapat hubungan substitusi antara beras dan ubikayu. Namun karena beras merupakan sumber karbohidrat utama, maka daya subsitusi beras terhadap ubi kayu, jagung, dan mi lebih tinggi daripada daya subsitusi jagung, ubi kayu, dan mi terhadap beras. Siahaan (2006) menyatakan secara sosial budaya bagi masyarakat Indonesia “orang belum merasa telah makan” kalau belum menyentuh nasi (beras) begitupula secara politik. Pada jaman orde baru “politik beras” dijadikan kriteria keberhasilan pembangunan. Suatu wilayah atau daerah tertentu dikatakan sudah tersentuh pembangunan apabila masyarakatnya sudah mengkonsumsi beras. Arifin (2001) menegaskan hingga saat ini secara nutrisi, ekonomi, social, dan budaya beras tetap merupakan pangan terpenting bagi masyarakat Indonesia. Permasalahan dalam mewujudkan ketersediaan beras terkait dengan adanya pertumbuhan permintaan beras yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan beras meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera.
Dinamika dari sisi
permintaan ini menyebabkan kebutuhan beras secara nasional meningkat dalam jumlah, mutu, dan keragaman. Sementara itu, kapasitas produksi beras nasional pertumbuhannya lambat atau dapat dikatakan stagnan. Apabila persoalan ini tidak
4
dapat diatasi, maka kebutuhan akan impor beras akan membesar, yang apabila berlanjut dapat mengakibatkan ketergantungan pada beras impor yang tinggi sehingga menguras devisa negara. Tekanan kepada sumberdaya alam tanpa diikuti perubahan struktur ekonomi yang memadai, akan menjadi ancaman terhadap ketersediaan beras, baik pada tingkat mikro maupun makro. Pada tingkat mikro, degradasi lahan dan air akan menyebabkan keterbatasan kemampuan pemanfaatan sumberdaya alam secara maksimal. Hal ini akan mengakibatkan produktivitas usahatani padi menurun dan secara makro akan semakin bertambahnya penduduk miskin atau adanya kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah ataupun yang tidak mempunyai akses atas pangan (beras), sehingga mereka mengalami kerawanan pangan. Pada sisi lain, kemiskinan akan menimbulkan tekanan yang semakin besar terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali. Keadaan lingkaran ini perlu diputus agar ketersediaan beras dapat diwujudkan secara mantap dan berkelanjutan di masa depan, oleh karena itu kebijakan pangan Indonesia masih harus menempatkan kebijakan perberasan (rice policy) sebagai salah satu pilar utamanya. Sejak tahun 1997 politik perberasan Indonesia telah menganut mekanisme pasar. Sebetulnya terlalu riskan untuk menggantungkan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia yang jumlahnya sekitar 230 juta jiwa lebih sepenuhnya pada mekanisme pasar, yang secara empiris menunjukkan adanya fluktuasi harga akibat dari permintaan dan penawaran.
5
Kebutuhan beras secara nasional sekitar 37,8 juta ton beras/tahun yang hampir mencapai 84,39% dari beras yang diperdagangkan di pasar dunia (BPS, 2011).
Walaupun pemerintah memiliki cadangan dana, belum tentu dapat
menjamin terciptanya ketahanan pangan karena ada kemungkinan beras tidak tersedia di pasar, baik dari segi jumlah maupun ketepatan saat diperlukan. Hal ini ditegaskan oleh Nainggolan (2006) yaitu : (1) bahwa resiko besar bila urusan pangan (beras) diserahkan pada mekanisme pasar karena gejolak harga internasional akan mudah ditransmisikan ke dalam negeri melalui variabel kurs mengambang yang sampai saat ini fluktuatif yang akan mengakibatkan petani menghadapi resiko ketidakpastian harga dan
(2) untuk negara besar seperti
Indonesia sebaiknya tidak tergantung pada pasar beras Internasional karena pasar beras Internasional sangat tipis, volume beras yang diperdagangkan di pasar beras global hanya lima persen dari total produksi global. Pemenuhan kebutuhan beras nasional diharapkan dapat dipenuhi dari dalam negeri. Terpenuhinya kebutuhan beras dihadapkan pula penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya alam, seperti sumberdaya lahan dan air. Produksi beras di Bali pada tahun 2010 sebesar 869.160 ton beras dengan rata-rata produksi 57,11 ku/ha (BPS Bali, 2011). Sebelum tahun 2005, luas lahan sawah beririgasi teknis 87.850 ha, tetapi tahun 2011 hanya seluas 82.664 ha, menyusut seluas 5.186 ha. Konversi penggunaan lahan dari lahan pertanian ke industri pariwisata dan perumahan juga akan diikuti oleh penurunan kualitas lahan dan air akibat pola pemanfaatan lahan dan perkembangan sektor non pertanian yang sering kurang memperhatikan aspek lingkungan.
6
Jumlah penduduk Bali tahun 2011 sebesar 3,89 juta jiwa dan terus bertambah dengan pertumbuhan sebesar 2,15% per tahun mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pangan pokok yaitu beras merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh Bali.
Apalagi dalam MP3EI (masterplan percepatan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia) (2010), disebutkan Bali sebagai koridor Bali-Nusa Tenggara menjadi Pintu Gerbang Pariwisata Nasional dan Pendukung Pangan Nasional. Tekanan penduduk akan menuntut kebutuhan beras dan kebutuhan aktivitas ekonomi yang mampu memberikan kesempatan kerja, serta menuntut kebutuhan akan lahan untuk industri, perumahan, jalan,
dan
kebutuhan fasilitas umum, sehingga tekanan penduduk ini akan meningkatkan kompetisi pemanfaatan sumberdaya terutama lahan dan air. Terpenuhinya kebutuhan beras di masa datang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dalam penyediaan dan permintaan beras, baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor tersebut. Karena beras merupakan produk yang bersifat strategis, tingkah laku penyediaan, konsumsi beras, dan ketersediaan beras sangat perlu diketahui untuk keperluan perencanaan.
Informasi ini diharapkan dapat dipakai oleh perencana atau
pengambil keputusan dalam melakukan prioritas pelaksanaan peningkatan program ketahanan pangan, khususnya pangan pokok yaitu beras.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa masalah penelitian di bawah ini.
7
1.
Bagaimanakah model sistem dinamik ketersediaan beras di Provinsi Bali dilihat dari sektor produksi dan konsumsi?
2.
Bagaimanakah gambaran perkembangan produksi dan konsumsi beras di Provinsi Bali?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan model sistem dinamik ketersediaan beras di Provinsi Bali yang dapat dipergunakan sebagai salah satu alat bantu pengambilan keputusan untuk keperluan pengendalian sistem maupun antisipasi terhadap perubahan berbagai kebijakan yang mempengaruhi sektor produksi maupun konsumsi perberasan di Provinsi Bali.
1.3.2. Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut. 1. Membangun model sistem dinamik ketersediaan beras di Bali, 2. Mensimulasi seluruh model subsistem secara simultan menggunakan berbagai nilai awal parameter dan variabel yang mempengaruhi sektor produksi maupun
konsumsi
tahun 2015 sd 2030.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis
perberasan
di
Provinsi
Bali
untuk
periode
8
Manfaat paktis penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Alat penunjang pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan dalam menjamin ketersediaan beras di Provinsi Bali. 2. Alat penunjang pengambilan keputusan operasional bagi pelaku usaha (stakeholders) yang bergerak dalam perberasan di Provinsi Bali (petani, penggilingan, importir, distributor, dan pedagang).
1.4.2 Manfaat teoritik/akademik Manfaat teoritik/akademik dari penelitian ini adalah 1. Menghasilkan kontribusi pemikiran untuk aplikasi penelitian sistem untuk perumusan strategi dan alternatif kebijakan perberasan daerah. 2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan berupa penerapan model dinamik pada sistem perberasan di Provinsi Bali.