1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhlukNya yang paling mulia bila dibandingkan dengan makhluk yang lain, hal ini ditunjukkan dengan disertakannya akal pikiran dalam setiap diri manusia. Selain itu manusia juga ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang selalu saling membutuhkan satu sama lainnya. Semua aktifitas yang kita jalankan sebagai manusia tak akan pernah terlepas dari adanya hubungan – hubungan yang terjalin bersama makhluk yang lain. Di dunia ini manusia pun dituntut untuk bisa memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup mereka. Kebutuhan dalam hal ini bisa dibagi dalam kebutuhan primer; sekunder dan tersier. Dan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia melakukan berbagai macam usaha yang dianggap mampu memberikan hasil guna menopang kebutuhan hidup sehari – hari. Aktifitas yang dijalankan bisa dalam bidang jasa maupun non jasa (perdagangan). Seiring dengan berjalannya aktifitas baik dalam bidang jasa maupun non jasa tersebut, berbagai permasalahan pun muncul yang sering kali menimbulkan perselisihan diantara para pelakunya. Dalam hal ini agama Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamîn mempunyai berbagai macam konsep yang mampu mengcover berbagai
2
permasalahan tersebut sehingga bisa didapatkan jalan keluar yang terbaik bagi semua pihak. Salah satu konsepnya adalah keharusan adanya kerelaan dari semua pihak yang berakad (‘an tarâdin minkum) tanpa ada pihak lain yang merasa dirugikan. Hal ini senada dengan bunyi firman Allah SWT dalam surat Al-Nisa ayat 29:
,- رة012 ن452 أن7 إ9:0;<0= >5?@= >5<ا4Bا أ4CآE2 7 ا4?B ءا,GH< ا0IGأ0G 1
(29 : ء0L?< )ا...>5?B اضK2
Artinya: “Hai orang – orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian…” Pernyataan pada ayat di atas yang berbunyi “cara yang salah (bi albâtil)” berhubungan dengan praktek-praktek yang bertentangan dengan sharî’ah dan secara moral tidak halal. Di dalam ajarannya, agama Islam juga memberikan suatu sinar cerah bagi setiap umat di dunia ini untuk dapat meraih kebahagiaan dan ketentraman hidup, baik di kehidupan dunia maupun di kehidupan akhirat. Dalam
mewujudkan
bentuk
kesejahteraan
dan
untuk
mengatasi
permasalahan yang dihadapi umat manusia di bidang ekonomi, fiqh merumuskan suatu sistem ekonomi yang berbeda dengan sistem ekonomi yang berlaku saat ini, yaitu: 1. Mempunyai akar dalam sharî’ah yang menjadi sumber pandangan dunia sekaligus tujuan – tujuan dan strateginya, 1
Depag RI, AlQur’an dan Terjemahnya, 4:29.
3
2. Tujuan – tujuan Islam (maqâsid al–sharî’ah) 2 adalah bukan semata – mata bersifat materi, melainkan didasarkan pada konsep mengenai kesejahteraan manusia (falâh) 3 dan kehidupan yang baik (hayât tayyibah) yang memberi nilai – nilai yang amat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio – ekonomi dan menuntut suatu kepuasan yang seimbang, baik dalam kebutuhan – kebutuhan materi maupun ruhani dari seluruh umat manusia. 4 Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, berbagai macam usaha dijalankan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia, salah satu yang paling banyak dijalankan masyarakat saat ini adalah aktifitas di bidang perdagangan. Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan 5. Yang disebut dengan perdagangan merupakan sebuah proses dimana terjadinya pertukaran kepentingan sebagai keuntungan tanpa melakukan penekanan yang tidak dihalalkan atau tindakan penipuan terhadap kelompok lain. Tidak boleh ada suap atau riba dalam perdagangan. Sedangkan jual beli dalam fiqh diartikan sebagai pertukaran harta atas dasar saling rela; atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
2
Maqâsid al – Sharî’ah (selanjutnya disebut maqâsid) meliputi segala sesuatu yang diperlukan untuk mewujudkan falâh dan hayât tayyibah dalam batasan – batasan sharî’ah. Lihat M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta: Gema Insani, 2000), 9 3 Kata falâh (sejahtera) digunakan dalam al Qur’an setidaknya empat puluh kali dalam bentuk bentuk konjungsi yang berbeda yang menyangkut konsep yang bersifat dunia dan akhirat. Kata falâh juga sering diseru oleh para muadhin. Adhan dan iqomah selalu dikumandangkan setidaknya sepuluh kali dalam sehari, jadi seorang muslim diseru untuk mencapai falâh tak kurang dari sepuluh kali. 4 M. umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, 8 5 Abdullah al Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta: Dâr al-Haq, 2004), 89
4
dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang sah) 6. Sebagaimana akad ekonomi yang lainnya, jual beli juga mempunyai rukun dan syarat - syarat yang harus dipenuhi agar akad yang dilakukan sah dan memperoleh rida dari Allah SWT. Sejumlah petunjuk dalam al-Qur’an mendorong umat Islam untuk terlibat aktif dalam perdagangan dan komersial pada tingkat yang luas dan halal:
...ِunC<ِ ا9ْqَf ْ,ِB ا4ُvَkْ= َرْ ضِ وَاEْ< اdِf ُواKِi َkْm0َf ُة0َC no <ِ اp َ@ِq ُr ِذَاt َf 7
(10 :wxy1<)ا
Artinya: “Apabila kamu telah menunaikan shalat, bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah…”
َُونKَ{ِ وَءَاunC<ِ ا9 ْq َf ْ,ِB َن4ُvَkْ; َG َِرْضEْ< اdِf َن4ُ= ِKْq َG َُو نKَ{وَءَا... 8
... ِunC<ِ ا9@ِ;َ} dِf َن4ُCِ20 َ|ُG
Artinya: “…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah dan orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah…” Dalam perdagangan Allah selalu memerintahkan umatnya untuk berbuat jujur dan menegakkan kebenaran (hak) dengan adil. Dan tiap orang dituntut untuk mencari nafkah dengan cara yang benar. Sesungguhnya
6 7 8
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 128. Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, 62:10. Ibid., 73: 20.
5
setiap harta yang disedekahkan dari hasil yang tidak baik tidak akan pernah diterima oleh Allah SWT. Kebutuhan hidup manusia sebagai objek dari ekonomi memang tidak akan pernah berhenti. Seiring berkembangnya zaman, kebutuhan hidup manusia pun juga bertambah banyak dan beraneka ragam. Hal ini ditangkap oleh mereka – mereka yang mempunyai jiwa bisnis sebagai suatu peluang emas yang dapat memberikan keuntungan yang sangat besar. Mereka yang berjiwa bisnis ini pun berusaha mengambil peluang emas yang ada dengan menciptakan berbagai bentuk usaha yang inovatif, salah satunya adalah alternatif dalam usaha perdagangan yang mampu menarik serta menawarkan banyak kemudahan dan tentunya dapat melayani apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan masyarakat luas.
Contoh
bentuk alternatif perdagangan yang sangat marak saat ini adalah pasar modern atau sering disebut juga pasar swalayan (supermarket). Perbedaan antara pasar modern dengan pasar tradisional dapat dilihat dari cara transaksinya, pada pasar modern tidak bisa melakukan tawarmenawar sedangkan di pasar tradisional masih bisa dilakukan tawarmenawar. Sedangkan fasilitas tidak dapat menjadi sebuah ukuran untuk menentukan tradisional atau modernnya suatu pasar. Artinya bila sebuah pasar dengan fasilitas yang serba modern tetapi masih terdapat tawarmenawar
maka
pasar
tersebut
masih
dikategorikan
sebagai
pasar
tradisional 9.
9
Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 145.
6
Pasar swalayan memang dianggap oleh masyarakat luas sebagai salah satu pilihan tempat belanja yang menarik sekaligus menawarkan berbagai kemudahan serta fasilitas yang nyaman dibandingkan dengan tempat belanja yang lain, diantaranya tempat yang bersih; ruangan ber AC; pilihan barang yang lengkap dan beraneka ragam; cara pembayaran yang mudah; dan lain – lain. Antusiasme masyarakat untuk berbelanja di pasar swalayan ternyata sangat besar, tak salah bila saat ini keberadaan pasar swalayan seperti jamur di musim hujan. Kita bisa lihat di kota Ponorogo sendiri, dalam rentang waktu yang tidak begitu lama banyak sekali bermunculan pasar swalayan yang menawarkan berbagai promo dan kemudahan. Hal ini tentunya mendapat sambutan yang baik oleh masyarakat Ponorogo yang mempunyai sifat konsumtif yang cukup tinggi, mereka kini lebih merasa dimanjakan saat berbelanja. Di lain pihak, munculnya pasar-pasar modern sebagai tempat alternatif baru dalam berbelanja juga memberikan hal - hal baru yang terjadi dalam
transaksinya.
Hal
baru
yang
muncul
ini
terkadang
masih
menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat karena dianggap berbeda dari kegiatan jual beli yang biasanya dilakukan oleh masyarakat di pasar tradisional. Praktek-praktek baru dalam kegiatan jual beli tersebut juga terlihat kurang sesuai dengan kaidah – kaidah akad jual beli yang ada dalam sharî’ah Islam.
7
Praktek – praktek baru dalam jual beli tersebut diantaranya adalah dalam praktek pengembalian uang sisa pembelian. Sering kali saat kita berbelanja di pasar swalayan kita mendapatkan jumlah uang kembalian yang kita terima tidak sesuai dengan jumlah yang tertera pada struk belanja, hal tersebut terjadi karena pihak penjual menggenapkan uang kembalian yang kita terima 10. Misalnya kita harus membayar Rp. 1.000,- walaupun sebenarnya jumlah yang tertera di struk Rp. 950,- atau terkadang kita diminta untuk hanya membayar Rp. 500,- meski seharusnya kita membayar Rp. 550,-.
Sehingga kadang kita akan membayar lebih mahal atau juga
terkadang malah membayar lebih murah dari jumlah sebenarnya yang tertera pada struk belanja. Selain
uang
kembalian
yang
digenapkan,
kita
juga
sering
mendapatkan permen sebagai pengganti dari uang kembalian meskipun kita sebenarnya tidak menginginkan permen tersebut. Permen yang biasanya diberikan dinilai dengan harga Rp. 50,- sampai Rp. 100,- untuk tiap bijinya. Sesuai kaidah sebab-akibat, praktek-praktek tersebut terjadi bukan tanpa suatu sebab. Saat ini kita sedikit kesulitan untuk mendapatkan uang receh, terutama untuk pecahan Rp. 50,- dan Rp. 100,-, sehingga menyebabkan pengelola pasar swalayan kesulitan untuk menyediakan uang pecahan kecil sebagai uang kembalian dan pada akhirnya pengelola terpaksa menggenapkan uang kembalian atau mengganti uang kembalian dengan permen. 10
Meskipun penggenapan uang kembalian tersebut tidak dalam jumlah yang besar, namun bila jumlah yang sedikit tersebut dikumpulkan dalam jangka waktu lama serta kuantitas yang banyak maka jumlahnya akan menjadi cukup besar.
8
Dengan seiring berjalannya waktu, ternyata praktek – praktek yang disebutkan di atas tidak hanya terjadi dan berlaku di pasar swalayan saja, di warung – warung; kios dan toko kelontong hal ini pun sering dan biasa terjadi. Masyarakat pun perlahan kini telah mulai memaklumi keberadaan hal – hal tersebut. Masyarakat menyadari bahwa praktek penggenapan uang kembalian dan penggantian uang sisa pembelian dengan permen tersebut terjadi bukan karena disengaja melainkan adanya situasi yang mendorong sehingga praktek tersebut terpaksa dilakukan. Hampir semua pasar swalayan di kota Ponorogo melakukan penggenapan uang kembalian dan penggantian uang sisa pembelian dengan permen, termasuk swalayan Surya Ponorogo. Swalayan Surya merupakan satu-satunya pasar swalayan yang bernuansa Islami yang ada di kecamatan Ponorogo. Dengan motto “murah, ramah dan Islami”, swalayan Surya berusaha untuk menjalankan setiap kegiatan perdagangannya sesuai dengan sharî’ah Islam. Berangkat dari hal - hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji; membahas; dan menganalisa lebih lanjut tentang praktek – praktek baru dalam hal pengembalian uang sisa, khususnya dalam penggenapan uang sisa pembelian dan penggantian uang sisa pembelian dengan permen. Dan dengan landasan fiqh akan dicari tahu apakah hal – hal tersebut dapat dibenarkan atau tidak?. Dalam melakukan kegiatan ilmiah ini penulis memilih Swalayan Surya Ponorogo sebagai lokasi penelitian karena penulis menganggap lokasi
9
tersebut menarik untuk diteliti. Maka dalam kegiatan ilmiah ini penulis mengambil judul: ANALISA FIQH TERHADAP PRAKTEK PENGEMBALIAN UANG SISA PEMBELIAN (Studi Kasus di Swalayan Surya Ponorogo). Dari penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan sedikit sumbangan fikiran untuk mendapatkan jawaban yang seobyektif mungkin dari problem – problem yang terjadi dalam pengembalian uang sisa. B. Penegasan Istilah Dalam judul yang akan dibahas ini, ada beberapa istilah yang perlu penulis tegaskan, diantaranya: 1. Fiqh
: adalah ilmu tentang hukum shar’iah yang berkaitan dengan
perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah. Hukum akidah dan akhlak tidak termasuk fiqh, karena fiqh adalah hukum shara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari proses istidlal atau istimbât (penyimpulan) dari hukum – hukum yang benar. 11 2. Uang sisa
: adalah uang yang merupakan sisa dari pembayaran
atas harga pembelian terhadap suatu barang yang harus diberikan kembali oleh penjual kepada pembeli. 3. Swalayan
: adalah pelayanan sendiri oleh pembeli karena
perusahaan tidak menyediakan pramuniaga. 12
11 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), 334 12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 1113
10
C. Rumusan Masalah Agar lebih terarah dan praktis dari segi operasional maupun sitematika penulisan skripsi ini, maka inti permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana analisa fiqh terhadap penggenapan uang sisa pembelian di Swalayan Surya Ponorogo? 2. Bagaimana analisa fiqh terhadap penggantian uang sisa pembelian dengan permen di Swalayan Surya Ponorogo? D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang penulis harapkan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui secara jelas analisa fiqh terhadap penggenapan uang sisa pembelian di Swalayan Surya Ponorogo.
2. Untuk mengetahui secara jelas analisa fiqh terhadap penggantian uang sisa pembelian dengan permen di Swalayan Surya Ponorogo. E. Kegunaan Penelitian Besar harapan dari penulis kiranya dalam penyusunan skripsi ini sekurang – kurangnya dapat berguna, diantaranya: 1 Bagi kepentingan ilmiah, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sarana yang tepat untuk mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai transaksi – transaksi yang terjadi di Swalayan Surya. Dan juga
11
diharapkan nantinya akan berguna sebagai bahan kajian untuk menyusun hipotesis bagi penelitian yang selanjutnya. 2 Bagi
kepentingan
terapan,
diharapkan
dari
skripsi
ini
mampu
memberikan sumbangan pikiran kepada semua pihak yang terkait dan yang
membutuhkan, khususnya
bagi
diri pribadi penulis
dalam
pengembangan wawasan dan keilmuan. F. Metode Penelitian Penelitian yang penulis lakukan termasuk dalam penelitian lapangan (field research). Dan dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Lokasi Penelitian Sesuai dengan tema yang ingin penulis angkat, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian ini di Swalayan Surya Ponorogo. 2. Data-data Dalam penyusunan skripsi ini untuk memecahkan masalah yang menjadi bahasan pokok, penulis membutuhkan data-data antara lain: a. Data mengenai pelaksanaan praktek penggenapan uang sisa pembelian di Swalayan Surya Ponorogo. b. Data mengenai pelaksanaan praktek penggantian uang sisa pembelian dengan permen di Swalayan Surya Ponorogo. 3. Sumber Data Adapun sumber data yang penulis ambil dalam penelitian lapangan ini adalah sebagai berikut:
12
a. Responden, yaitu terdiri dari orang-orang yang merupakan pegawai dan staf dari Swalayan Surya Ponorogo yang mempunyai kapasitas dalam hal praktek pengembalian uang sisa pembelian. Beberapa responden yang penulis wawancarai di antaranya adalah Ibu Achsani Imama (administrasi umum), Bapak Zeni Nur Fahrudin (koord. lantai), dan Herlina (kasir). b. Informan, yaitu pihak lain yang mengerti dan memahami tentang praktek pengembalian uang sisa di Swalayan Surya Ponorogo. Informan yang penulis wawancarai adalah terdiri dari para pembeli di Swalayan Surya Ponorogo, mereka di antaranya Dian, Ibu Sri, Ibu Tuti, Kurnia, dan Ana. c. Pengamatan secara langsung terhadap pelaksanaan dari praktek pengembalian uang sisa pembelian di Swalayan Surya Ponorogo. d. Dokumen-dokumen yang berkenaan dengan praktek pengembalian uang sisa pembelian. 4. Metode Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data – data, penulis menggunakan metode sebagai berikut: a. Interview (wawancara) Yaitu
merupakan
mengonstruksi
proses
mengenai
percakapan orang,
dengan
kejadian,
maksud
kegiatan,
untuk
organisasi,
motivasi, perasaan dan sebagainya yang dilakukan oleh dua pihak
13
yaitu pewawancara (interviewer) yang dalam hal ini adalah penulis sendiri dengan orang yang diwawancarai (interviewee) 13. b. Observasi (pengamatan) Observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematis atas fenomena – fenomena yang diteliti 14. Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis 15. c. Dokumentasi Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti barang – barang tertulis 16. Dan dalam melaksanakan penelitian ini yang perlu diselidiki yaitu benda – benda tertulis, seperti buku – buku; majalah; brosur; dokumen; peraturan peraturan; dan lain – lain. 5. Teknik Pengolahan Data Teknik
pengolahan
data
yang
digunakan
penulis
dalam
penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Editing Yakni pemerikasaan kembali data secara cermat dari kelengkapan, keterbacaan, kejelasan makna, keserasian satu sama lain, relevansi dan keseragaman.
13
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 143. 14 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004), 151. 15 Ibid, 152. 16 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), 149.
14
b. Organising Yakni mengatur dan menyusun data sedemikian rupa, sehingga menghasilkan bahan – bahan untuk menyusun skripsi. c. Pengolahan hasil data Dilakukan dengan cara menganalisa lebih lanjut terhadap hasil pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah, teori, dalil – dalil serta hukum mengenai jual beli. Sehingga nantinya akan diperoleh kesimpulan sebagai pemecahan dari masalah yang telah dirumuskan. G. Metode Pembahasan Sehubungan dengan permasalahan yang telah penulis kemukakan sebelumnya, maka agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dalam penulisan
atau
penyusunannya,
penulis
sengaja
memakai
metode
pembahasan sebagai berikut: 1. Metode Induktif: diawali dengan menggunakan kenyataan yang bersifat khusus kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang bersifat umum. 2. Metode Deduktif: diawali dengan mengemukakan teori yang bersifat umum untuk selanjutnya dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus 17. H. Telaah Pustaka Dari pengetahuan penulis masih jarang ditemukan karya ilmiah yang mengangkat permasalahan mengenai uang kembalian. Hal ini mungkin dikarenakan masalah ini merupakan masalah baru sehingga masih sedikit 17
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar – Dasar Penelitian Kualitatif (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), 166 – 167.
15
sekali yang mengangkatnya menjadi tema dari sebuah karya ilmiah. Satu – satunya karya ilmiah yang penulis ketahui adalah karya tulis dari Suwandi seorang mahasiswa STAIN Ponorogo yang mengambil judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Transaksi Dan Kepemilikan Sisa Uang Penelepon Oleh Pengelola Wartel (Studi Kasus di Wartel Zam-Zam Ds. Cekok Kec. Babadan Kab. Ponorogo)”. Karya tulis tersebut mengambil dua rumusan masalah yaitu: yang pertama mengenai akad antara pihak wartel dengan pihak penelepon dan yang kedua mengenai hukum dari pembulatan tarif pulsa. Dua rumusan masalah tersebut dianalisa dengan menggunakan teori ijârah, dan dari analisa tersebut dihasilkan dua kesimpulan bahwa akad antara pihak wartel dan pihak penelepon termasuk dalam akad ijârah dan hukum dari pembulatan pulsa dianggap sah karena telah menjadi ‘urf dari masyarakat setempat. 18 Berdasarkan hasil bahtsul masa’il, disebutkan bahwa hukum perbuatan penjual yang mengganti uang kembalian dengan permen adalah diperbolehkan.
Dan
dengan
mengikuti
qoulnya
ulama
yang
memperbolehkan bay’ mu’âtâh atau istibdal ‘anid dain dengan tanpa sigat. Untuk sahnya akad jual beli, dalam buku tersebut disebutkan bahwa keterpaksaan (nggrundelnya hati) dari musytari (pembeli) yang kurang puas terhadap penggantian dengan permen tersebut tidak bisa merusak sahnya
18
Suwandi, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Transaksi dan Kepemilikan Uang Sisa Penelepon oleh Pengelola Wartel (Studi Kasus di Wartel Zam-Zam Ds. Cekok Kec. Babadan Kab. Ponorogo),” (Skripsi, STAIN Ponorogo, Ponorogo, 2006).
16
akad, sebab musytari masih bisa khiyar (memilih atau meminta apa yang disenangi) sebagai pengganti uang kembalian. 19 I. Sistematika Pembahasan Untuk
mempermudah
dalam
penyusunan
skripsi
ini,
maka
pembahasannya dikelompokkan menjadi lima bab. Untuk lebih jelasnya, maka sistematika dalam pembuatan skripsi ini disusun sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran untuk memberikan pola dasar pemikiran bagi keseluruhan isi yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, metode pembahasan, telaah pustaka, dan sistematika pembahasan. BAB II
: JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF FIQH
Bab ini merupakan landasan teori yang nantinya akan digunakan sebagai alat untuk menganalisa permasalahan yang diangkat. Isi dari bab ini meliputi: pengertian jual beli, dasar hukum jual beli, rukun serta syarat jual beli, macam-macam serta bentuk jual beli, bay’ al-mu’âtâh, khiyâr, dan al-mashaqqah (kesukaran) dalam jual beli. BAB III
:
PRAKTEK
PENGEMBALIAN
UANG
SISA
PEMBELIAN DI SWALAYAN SURYA PONOROGO Bab ini memaparkan data – data yang merujuk pada himpunan data observasi
yang
telah
penulis
kumpulkan
serta
yang
telah
dikodifikasikan. Isi dari bab ini meliputi: latar belakang objek 19
Team Majlis Musyawarah Ponpes Langitan, Kumpulan Bahtsul Masa’il Fiqh Bisnis (Lajnah Ta’lif wan Nasyr Pondok Pesantren Langitan, 2007), 16-17.
17
penelitian yang terdiri dari sejarah berdirinya dan perkembangan Swalayan
Surya
Ponorogo;
susunan
kepengurusan;
SDM
dan
pembagian kerja; pemasaran ; serta macam-macam produk yang diperjual-belikan, praktek penggenapan uang sisa pembelian di Swalayan Surya Ponorogo, dan praktek pengembalian uang sisa pembelian dengan permen di Swalayan Surya Ponorogo. BAB IV
:
ANALISA
FIQH
TERHADAP
PRAKTEK
PENGEMBALIAN UANG SISA PEMBELIAN DI SWALAYAN SURYA PONOROGO Bab ini merupakan pokok pembahasan dalam skripsi ini yang meliputi: analisa fiqh terhadap penggenapan uang sisa pembelian di Swalayan Surya Ponorogo dan analisa fiqh terhadap penggantian uang sisa pembelian dengan permen di Swalayan Surya Ponorogo. BAB V
: PENUTUP
Bab ini merupakan bab yang paling akhir dari pembahasan skripsi ini, yang
berisi
tentang
kesimpulan
permasalahan serta saran – saran.
sebagai
jawaban
dari
pokok
18
BAB II JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF FIQH
1. Pengertian Jual Beli Dalam fiqh terdapat enam aqad usaha, yaitu: jual beli, riba, pesanan (salam), sewa menyewa, perkongsian dan bagi laba. 20Jual beli sebagai salah satu bentuk aqad usaha yang secara bahasa berarti al-Bay’, al-Tijârah dan al-Mubadalah 21, sebagaimana Allah SWT. berfirman: 22
(29 : K:0f) َ ر4ُ;َ2 ْ,َ< ًرَة0َ1ِ2 َن4ُْKَG ...
Artinya: “…mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan merugi.” Sedangkan pengertian al-bay’sendiri menurut bahasa adalah menukar atau menjual (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata al-bay’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata al-shirâ’ (beli). Dengan demikian, maka kata al-bay’ berarti “jual,” tetapi sekaligus juga berarti “beli.” 23 Perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak lain membeli. Maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli. 24
20
Imam al-Ghazali, Terjemah Ihyâ ‘Ulumiddîn III, terj. Moh. Zuhri (Semarang: CV. AsySyifa’, 1992), 217. 21 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 67. 22 Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, 35:29. 23 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam vol. 3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), 827. 24 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 128.
19
Pengertian jual beli menurut shara’ ialah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. 25 Selain itu terdapat beberapa pengertian dari jual beli yang dikemukakan
oleh
para
ulama
madhhab.
Ulama
madhhab
Hanafi
mengungkapkan dua definisi dari jual beli, pertama, “saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu”, dan kedua, “tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.” Di dalam kedua definisi tersebut mengandung pengertian bahwa cara khusus (tertentu) yang dimaksudkan ulama madhhab Hanafi adalah melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (pernyataan menjual dari penjual), atau juga bisa melalui saling memberikan barang dan harga antara penjual dan pembeli. Disamping itu, harta yang diperjual belikan juga harus bermanfaat bagi manusia. Ulama madhhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memberikan definisi lain. Menurut mereka, jual beli adalah “saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.” Dalam hal ini mereka lebih melakukan penekanan pada kata “milik dan pemilikan,” karena ada juga tukar menukar harta tersebut yang sifatnya bukan pemilikan, seperti sewa menyewa (ijârah).26
25
Sayyid Sabiq, Terjemah Fikih Sunnah 12, Terj. Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: Al Ma’arif, 1996), 48. 26 Dahlan, Ensiklopedi, 827.
20
2. Dasar Hukum Jual Beli Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat di dalam al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw. dan juga dalam ijma’. 1. Al-Qur’an 27
( 275 :ةK|;< ) ا...0َ=K< مَ اnKََُ ا<ْ;َ@ْ َ وu nC< اn9ََوَ أ...
Artinya: “…dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
28
( 198 :ةK|;< )ا... ْ>ُ5 =َْ ر, ِB 0ًCْqَf ا4ُvَkْ;َ2 ْحٌ أَن0َ?ُ ْ> ُ5 ْ@ َCَ- َْ@َ<
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”
2. Al-Sunnah
@ ا<ريx}0= أpxy} : ل0r u@= أ,- , dmy<< ا0 ,= داوودd= أ,29
(u0B ,= ) روا إ. ٍا ضK2 ,- ُ @;< ا0yّm إ. م.ل ا ص4}ل ر0r : ل4|G
Artinya: Dari Abî Dâwûd ibn Sâlih al Madanî dari ayahnya, dia berkata: Aku mendengar Abâ Sa’îd al Khudrî berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka (rela).”
27
Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, 2:275 Ibid., 2:198. 29 Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al Qazwinî, Sunan ibn Mâjah jilid I (Beirut: Dâr al Fikr, 1995), 687. 28
21
9y- :ل0r ؟ @: أ L5< أي ا:9} . م. أن ا; صf را,= w-0f ر,30
( >آ0¢< اu¢¢ ) روا ا<;¡ار و.ورK;B @= ّ9 وآ,@= 9K<ا
Artinya: Dari Rifâ’ah ibn râfi’, sesungguhnya Nabi saw. ditanya apa perolehan yang baik? Beliau menjawab: “bekerja dengan tangan sendiri dan tiap jual beli yang mabrur.” Maksud dari kata mabrur di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain. 31 3. Ijma’ Ulama’ sepakat mengenai kebolehan berjual beli (berdagang), sebagai perkara yang dipraktekkan sejak zaman Nabi Muhammad saw. hingga masa kini. 32Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jual beli adalah mubah (boleh), namun hal ini dapat berkembang menjadi makruh; haram ;dan dilarang. Hal ini tergantung pada cara yang dilakukan atau motivasi dari jual beli itu sendiri serta terpenuhinya aturan dan tata cara jual beli menurut hukum Islam. Pada situasi tertentu hukum jual beli bisa berubah menjadi wajib. Al-Shatibi memberi contoh ketika terjadinya praktek ihtikâr (penimbunan barang sehingga stok hilang di pasar dan harga melonjak naik), dalam hal ini pedagang wajib menjual barangnya. Hal ini sesuai dengan prinsip
30 31 32
Ibid., 673. Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 76. Sabiq, Terjemah Fikih Sunnah, 48.
22
Imam al-Shatibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total maka hukumnya bisa menjadi wajib. 33 Ulama sepakat memperbolehkan jual beli dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan tersebut haruslah diganti dengan barang lainnya yang sesuai. 34 Seperti ibadah lainnya, mu’amalah juga mempunyai prinsip – prinsip sebagai dasar pelaksanaannya: 35 a. Pada dasarnya segala bentuk mu’amalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, b. Mu’amalah dilakukan atas dasar rela tanpa mengandung unsur paksaan, c. Mu’amalah
dilakukan
atas
dasar
pertimbangan
manfaat
dan
menghindarkan madharat dalam hidup masyarakat, dan d. Mu’amalah
dilaksanakan
menghindarkan
unsur
–
dengan unsur
memelihara
nilai
keadilan;
penganiayaan;
unsur
–
unsur
pengambilan kesempatan dalam kesempitan. 3. Rukun dan Syarat Jual Beli Jual beli merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada
33 34 35
Dahlan, Ensiklopedi, 828. Syafe’i, Fiqh, 75. Ahmad Azhar Basyir, Azas – azas Hukum Mu’amalah (Yogyakarta: FH UII, 1996), 78.
23
pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan jual beli ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnya jual beli. 1. Rukun Jual beli Dalam menetapkan syarat jual beli, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama madhhab Hanafi, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan 36. Hal ini berbeda dengan pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu: 37 a. Orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli), b. Sigat (ijab dan qabul), c. Ada barang yang dibeli, dan d. Ada nilai tukar pengganti barang. 2. Syarat Jual beli Secara umum tujuan adanya semua syarat dalam jual beli antara lain adalah untuk menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang melakukan akad, serta untuk menghindari jual beli gharâr (terdapat unsur penipuan), dan lain-lain. Berikut ini merupakan syarat-syarat jual beli yang dikemukakan oleh jumhur ulama sesuai dengan rukun jual beli di atas: 38
36 37 38
Syafe’i, Fiqih, 75-76. H. Nasroen Haroen, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 115. Ibid., 115-119.
24
a. Syarat orang yang berakad 1. Berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, menurut ulama Hanafiyah, apabila akad yang dilakukannya membawa keuntungan bagi dirinya maka akadnya sah. Sebaliknya, apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya, maka tindakan hukumnya ini tidak boleh dilaksanakan. Jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus telah baligh dan berakal. 2. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. d. Syarat yang terkait dengan ijab qabul 1. Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal. 2. Qabul sesuai dengan ijab. 3. Ijab dan Qabul dilakukan dalam satu majelis. e. Syarat barang yang dijualbelikan 1. Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. 2. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. 3. Milik seseorang.
25
4. Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung. f. Syarat nilai tukar (harga barang) 1. Harga yang disepakati kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya. 2. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. 3. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan shara’. Disamping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli di atas, para ulama fiqh juga mengemukakan beberapa syarat lainnya, yaitu: 39 a. Syarat sah jual beli. Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu jual beli baru dianggap sah apabila: 1) Jual beli itu terhindar dari cacat, 2) Apabila barang yang diperjual belikan itu benda bergerak, maka barang itu boleh langsung dikuasai pembeli. Sedangkan barang yang tidak bergerak, boleh dikuasai pembeli setelah surat menyuratnya diselesaikan, sesuai dengan ‘urf setempat. b. Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli. Jual beli baru boleh dilaksanakan apabila yang berakad mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.
39
Ibid., 119-120.
26
c. Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa suatu jual beli baru bersifat mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiyâr. 2. Bentuk dan Macam Jual Beli 1. Bentuk jual beli Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua bentuk, yaitu jual beli sahih dan jual beli yang tidak sah. Jual beli sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan shara’, baik rukun maupun syaratnya. Sedangkan jual beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama. 40 Adapun ulama Hanafiyah membagi jual beli menjadi tiga bentuk, yaitu jual beli sahih, jual beli batal, dan jual beli yang fasid. Jual beli dapat dikatakan sebagai suatu transaksi jual beli yang sahih apabila jual beli tersebut dishari’atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan; bukan milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyâr lagi. Jual beli yang batal adalah jual beli yang apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak dishari’atkan, seperti jual beli yang dilakukan anak-anak,
40
Syafe’i, Fiqh, 91-92.
27
orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang diharamkan oleh shara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamr. 41 Jual beli fasid adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan shara’ pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan sharî’at pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan. 42 Ulama Hanafiyah ysng membedakan jual beli fasid dengan jual beli yang batal. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang
yang
diperjualbelikan,
maka
hukumnya
batal,
seperti
memperjualbelikan barang-barang haram. Apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli itu dinamakan fasid. 2. Macam-macam jual beli Dalam praktek kehidupan sehari-hari terdapat dua macam jual beli, yaitu jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang dilarang oleh sharî’at Islam. 43 a. Jual beli yang diperbolehkan oleh sharî’at Islam 1. Berdasarkan pertukarannya, dibagi empat macam: 1. Jual beli salam (pesanan) Jual beli salam adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya akan diterima belakangan. 41 42 43
Haroen, Fiqh, 121-122. Syafe’i, Fiqih, 93 Ibid., 101-102.
28
2. Jual beli muqayyadah (barter) Jual beli muqayyadah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang. 3. Jual beli mutlaq Jual beli mutlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukarannya, seperti uang. 4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya. 2. Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi empat macam, yaitu: 1. Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah). 2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tayliyah). 3. Jual beli rugi (al-khasarah). 4. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang berakad saling meridhai. g. Jual beli yang dilarang oleh sharî’at Islam Dalam beberapa disebutkan macam-macam jual beli, berikut ini adalah macam-macam jual beli yang dilarang dan batal hukumnya, yaitu 44:
44
Suhendi, Fiqh, 78-81
29
1) Jual beli barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai, dan khamr. 2) Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh keturunan. 3) Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. 4) Jual beli dengan muhaqallah, maksud muhaqallah di sini adalah menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah. 5) Jual beli dengan mukhadarah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen. 6) Jual beli dengan muammasah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh. 7) Jual beli dengan munabadhah, yaitu jual beli secara lempar melempar. 8) Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering. 9) Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan. 10) Jual beli dengan syarat (‘iwad mahjul), jual beli ini hampir sama dengan jual beli dengan menentukan dua harga. 11) Jual beli gharâr, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadinya penipuan. 12) Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual. 13) Larangan menjual makanan hingga dua kali takar.
30
Selain itu ada juga macam-macam jual beli yang dilarang oleh agama tetapi sah hukumnya. Jual beli tersebut antara lain: 1) Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli
barang
dagangannya
dengan
harga
yang
semurah-
murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran, untuk kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya. 2) Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain. 3) Jual beli dengan Najasyi. 4) Menjual di atas penjualan orang lain. E. Bay’ al-Mu’âtâh 1. Pengertian Jual beli mu’âtâh merupakan jual beli yang telah disepakati oleh pihak yang berakad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab qabul. Dapat dikatakan ijab qabul diwujudkan dalam bentuk tindakan tanpa ada ucapan. Akad jual beli al-mu’âtâh ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab dan qabul), sebagaimana seorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai pembayaran45. Bentuk dari bay’ al-mu’âtâh sering terjadi di zaman sekarang ini. Kita dapat melihat para pembeli mengambil barang dan kemudian membayar uang, serta tindakan penjual menerima uang dan menyerahkan 45
Ibid., 74.
31
barang tanpa ada ucapan apapun dari kedua pihak yang berakad yang menunjukkan ijab dan qabul. Misalnya jual beli di pasar swalayan. 2. Hukum bay’ al-mu’âtâh Dalam kasus perwujudan ijab qabul melalui tindakan seperti ini terdapat
perbedaan
pendapat
di
kalangan
ulama
fiqh
mengenai
hukumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh, apabila hal tersebut sudah merupakan kebiasaan suatu masyarakat di dalam suatu negeri. Karena hal tersebut telah menunjukkan unsur rida dari kedua belah pihak. Menurut jumhur ulama, di antara unsur terpenting dalam transaksi jual beli adalah suka sama suka. Perilaku mengambil barang dan membayar harga barang oleh pembali telah menunjukkan ijab dan qabul dan telah mengandung unsur kerelaan. Tetapi ulama madhhab Syafi’i berpendapat bahwa transaksi jual beli harus dilakukan dengan ucapan yang jelas atau sindiran, melalui kalimat ijab dan qabul. Oleh sebab itu, menurut mereka bay’ al-mu’âtâh hukumnya tidak sah, baik jual beli itu dalam partai besar maupun dalam partai kecil. Alasan mereka, unsur utama jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Unsur kerelaan adalah masalah yang amat tersembunyi di dalam hati. Karena itu, kerelaan perlu diungkapkan dengan kata-kata ijab dan qabul. Namun demikian, sebagian ulama madhhab Syafi’i yang muncul belakangan seperti Imam Nawawi dan al-Bagawi menyatakan bahwa jual
32
beli mu’âtâh tersebut adalah sah, apabila sudah merupakan kebiasaan suatu masyarakat di daerah tertentu. Sebagian ulama madhhab Syafi’i lainnya membedakan antara jual beli dalam partai besar dan partai kecil. Menurut mereka, apabila yang diperjual belikan itu dalam partai besar, maka jual beli mu’âtâh itu tidak sah, tetapi apabila jual beli dalam partai kecil, maka jual beli mu’âtâh tersebut hukumnya sah. 46 F. Khiyâr Dalam jual beli, menurut sharî’at Islam dibolehkan untuk memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya. Dalam akad jual beli yang sempurna haruslah terhindar dari adanya khiyâr, yang memungkinkan aqid membatalkannya. Pembahasan al-khiyâr dikemukakan dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khusus transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud. Hak khiyâr ditetapkan sharî’at Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya 47. Kata al-khiyâr dalam bahasa Arab berarti pilihan. Pengertian khiyâr adalah
46 47
mencari
kebaikan
Dahlan, Ensiklopedi, 830. Haroen, Fiqh, 129.
dari
dua
perkara,
melangsungkan
atau
33
membatalkan 48. Secara terminologis para ulama fiqh mendefinisikan khiyâr sebagai hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi (akad) 49. Karena terjadinya oleh sesuatu hal, maka khiyâr dibagi menjadi lima macam berikut ini: 1. Khiyâr majelis Khiyâr majelis artinya, antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis), khiyâr majelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli. Namun bila keduanya telah berpisah dari tempat akad tersebut, maka khiyâr majelis tidak berlaku lagi, batal 50. Rasulullah saw. bersabda: 51
.( >CLBرى و0;< )روا ا0rّK£kG ْ><0B ر0@<0= ِن0x@;<ا
Artinya: “penjual dan pembeli boleh khiyâr selama belum berpisah.” 2. Khiyâr syarat Yang dimaksud khiyâr syarat hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan. Menurut jumhur ulama fiqh, tenggang waktu 48 49 50 51
Sabiq, Terjemah Fikih Sunnah, 100. Haroen, Fiqh,129. Suhendi, Fiqh, 83. Imâm al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî jilid 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), 15.
34
dalam khiyâr syarat harus jelas. Apabila tenggang waktu khiyâr tidak jelas atau bersifat selamanya, maka khiyâr tidak sah. Abu Hanifah, Zufar ibn Huzail, dan Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa masa khiyâr tidak boleh lebih dari tiga hari. 52 3. Khiyâr ‘aib Khiyar ‘aib artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli 53. Apabila ada cacat pada objek jual beli dan cacat tersebut tidak diketahui oleh pemiliknya ketika akad berlangsung, maka kedua belah pihak berhak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli. 4. Khiyar ta’yin Yang dimaksud khiyâr ta’yin adalah hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli 54. 5. Khiyâr Ru’yah Khiyâr ru’yah ialah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia dilakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung 55. G. Al-Mashaqqah (Kesukaran) Dalam Jual Beli Allah SWT. sebagai Musharri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak 52 53 54 55
Haroen, Fiqh, 133. Suhendi, Fiqh, 84. Haroen, Fiqh., 131. Ibid., 137.
35
terjadi kekeliruan, maka Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai sharî’ah demi kemaslahatan manusia sendiri. Sharî’ah tersebut mencakup semua aspek hidup manusia, termasuk dalam hal mu’amalah khususnya jual beli. Dan setiap sharî’ah tersebut tentunya juga disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki masing-masing orang. Namun terkadang di dalam menjalankan sharî’ah terutama yang berkenaan dengan akad jual beli, manusia harus menghadapi kesukaran di luar dari kebiasannya. Dalam keadaan seperti ini fiqh memberikan sebuah kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan, yaitu:
“ K@L@k< ا C12 w|iy<“ ا
(Kesukaran itu mendatangkan kemudahan). Mashaqqah, ialah kesukaran yang hasil dari mengerjakan sesuatu perbuatan, di luar dari kebiasaan. Mashaqqah ini menimbulkan hukum rukhsah, yang merupakan sesuatu yang dishari’atkan Allah dari pada hukum-hukum sebagai keringanan bagi mukallaf dalam keadaan-keadaan khusus yang menghendaki keringanan ini 56. Allah SWT. berfirman: 57
( 28 :ء0L?< ) ا0ً£@ِx َ¥ ُن0َLْmِtْ< ِ ¦َ اCُ{َُ >ْ و5ْ?َ- َ§£ َُG ُْ أَ نunC< ُ اGِKُG
Artinya: “Allah menghendaki keringanan pada kalian dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”
56 57
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 83. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 4: 28.
36
58
( 185 :ةK|;<َ… ) اK ْL ُxْ<ُ>ُ ا5ِ= ُGِKُG 0َ< ََ وKْLُ@ ْ<ُ >ُ ا5ِ= ُunC<ُ اGِK ُG …
Artinya: “…Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian...” Dengan
kaidah
ini
dimaksudkan
agar
sharî’at
Islam
dapat
dilaksanakan oleh hamba/mukallaf kapan dan di mana saja, yakni dengan memberitahukan kelonggaran atau keringanan di saat seorang hamba menjumpai kesukaran dan kesempitan. Dr. Wahbah al-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan itu dalam dua kategori, yaitu: 59 1. Kesulitan Mu’tadah, yaitu kesulitan yang alami, di mana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. 2. Kesulitan Ghairu Mu’tadah, yakni kesulitan yang tidak pada kebiasaan, di mana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika ia melakukannya
niscaya
akan
merusak
diri
dan
memberatkan
kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, sharî’ah sendiri serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan yang seperti inilah yang diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhsah).
58
Ibid., 2:185. H. Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 126-127.
59
37
Dr. Wahbah al-Zuhaili juga membagi kesulitan ke dalam tiga tingkatan, yaitu: 60 1. Kesulitan Adhimah, yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad manusia. Kesulitan ini diharuskan adanya rukhsah secara pasti bagi manusia, karena memelihara jiwa dan anggota badan merupakan upaya untuk kemaslahatan dunia akhirat
yang lebih
dipentingkan dari ibadah. 2. Kesulitan Khafifah, yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan menggunakan muza jika merasa sangat dingin menyentuh air. 3. Kesulitan Mutawasitah, yaitu kesulitan yang berada di tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan. Berat ringannya kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak diwajibkan memilih rukhsah dan juga tidak dilarang memilihnya. Ada tujuh sebab yang menyebabkan kesulitan sehingga dapat menimbulkan keringanan pada seseorang, sebab-sebab tersebut diantaranya yaitu: 61
60 61
Ibid., 127-128. Ibid.,128-130.
38
1. Karena al-safar (bepergian) Misalnya kebolehan mengqashar shalat, meninggalkan shalat jum’at, boleh berbuka puasa, boleh memakai muza lebih dari sehari semalam, boleh memakan bangkai, shalat jamak, kebolehan bertayamum. 2. Karena al-marad (sakit) Misalnya kebolehan bertayamum, duduk ketika shalat dan khutbah yang semuladiwajibkan berdiri, menjamak dua rakaat, meninggalkan shalat jum’at, berobat dengan benda najis, kebolehan melihat auratnya. 3. Karena al-ikrâh (terpaksa atau dipaksa) Misalnya boleh memakan bangkai atau makanan haram. 4. Karena al-nisyân (lupa) Bila seseorang lupa, maka ia terbebas dari dosa, misalnya makan minum waktu puasa ramadhan, lupa berbicara dalam shalat padahal belum melakukan salam. 5. Karena al-jahl (bodoh) Misalnya memakan bangkai tetapi tidak mengerti bahwa bangkai itu diharamkan. Termasuk juga tergolong orang yang idiot.
39
6. Karena usrun dan’ umûmul balwa (kesulitan) Misalnya kebolehan istinja’ dengan batu, jual beli dengan akad salam, adanya khiyar dalam jual beli. 7. Karena al-naqsh (kekurangan) Misalnya wanita yang kadang-kadang haid dalam setiap bulannya maka diperingankan
untuk
tidak
mengikuti
jum’at,
karena
jum’at
membutuhkan waktu yang lama dan dikhawatirkan dalam kondisi jum’at itu datang bulan. Batas-batas mashaqqah yang dapat menyebabkan keringanan tidak dapat dipastikan. Dalam ketentuan shara’, keringanan terbagi menjadi enam macam, yaitu: 62 1. Takhfif isqath (keringanan pengguguran) Misalnya kebolehan menggugurkan kewajiban beribadah haji karena adanya uzur. 2. Takhfif tanqish (keringanan pengurangan) Misalnya kebolehan mengqashar shalat bagi orang yang bepergian yang telah mencukupi syarat.
62
Moh. Adib Bisri, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah (t.t: Menara Kudus, t.t), 19.
40
3. Takhfif ibdal (keringanan penggantian) Misalnya
adalah
kebolehan
mengganti
wudhu
dengan
tayamum
dikarenakan adanya halangan. 4. Takhfif taqdim (keringanan mendahulukan) Misalnya kebolehan untuk melakukan shalat ‘Ashar di waktu Dhuhur bagi orang yang sedang bepergian. 5. Takhfif takkhir (keringanan mengakhirkan) Misalnya adalah kebolehan mengerjakan shalat Dhuhur di waktu ‘Ashar. 6. Takhfif tarkhish (keringanan kemurahan) Misalnya adalah kebolehan makan atau minum sesuatu yang diharamkan, kebolehan berobat menggunakan benda najis. Mashaqqah berbeda dengan darurat. Bila mashaqqah merupakan suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. 63
63
Muchlis, Kaidah, 132-133.
41
BAB III PRAKTEK PENGEMBALIAN UANG SISA PEMBELIAN DI SWALAYAN SURYA PONOROGO
A. Latar Belakang Objek Penelitian 1. Sejarah Berdiri serta Perkembangan Usaha Swalayan Surya Ponorogo Menjamurnya pusat perbelanjaan yang kemudian diiringi oleh bermunculnya supermarket yang sebelumnya hanya dapat dijumpai di kota-kota besar saja. Secara perlahan-lahan menggusur perana ekonomi masyarakat kebanyakan, termasuk masyarakat Ponorogo. Atas inisiatif dari para pengurus tinggi organisasi masyarakat Muhammadiyah wilayah Ponorogo, yang merasa tergugah untuk membangkitkan kembali ekonomi perdagangan
khususnya
masyarakat
pribumi
yang
kini
semakin
terkalahkan oleh monopoli usaha yang dilakukan oleh non-pribumi, dan akhirnya didirikanlah Swalayan Surya Ponorogo. Swalayan Surya berlokasi di Jl. Soekarno Hatta 41 Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo, didirikan pada awal tahun 1999 dan merupakan brand merk usaha pertama dari PT. Daya Surya Sejahtera (PT.DSS) yang menjadi induk perusahaan dari Surya grup (Surya Supermarket, Surya Grosir, Surya Distributor, dan Surya Waralaba atau
42
SURYAmart). PT. Daya Surya Sejahtera yang terletak di Jl. Bhatoro Katong 239 Ponorogo. 64 PT. Daya Surya Sejahtera didirikan pada tahun 1999 oleh notaris Sutomo, SH. No. 10 tanggal 10 November 1999. PT. DSS telah mendapat pengesahan
dari
Menteri
Hukum
dan
Perundang-undangan
(Menkumdang) pada tanggal 10 Maret 2000 dengan No. C-6120 HT .01.01 th. 2000, dan juga telah diumumkan dalam Berita Negara No. 101 Tahun 2001 dan No. 8315 Tahun 2001. 65 Menurut Ibu Ima, modal awal pendirian diperoleh dari penjualan saham kepada para anggota dan simpatisan ormas Muhammadiyah. Dan saat ini Swalayan Surya masih menjadi satu-satunya usaha ritail yang berbentuk pasar swalayan yang dimiliki oleh ormas Muhammadiyah di Indonesia. 66 Meskipun saat ini telah banyak bermunculan unit usaha yang sama di kawasan Ponorogo, Swalayan Surya dapat membuktikan bahwa mereka dapat tetap bertahan di tengah persaingan yang sangat ketat. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa jumlah pelanggan saat ini memang cukup berkurang, yang pada awalnya hampir 90% masyarakat Ponorogo memilih untuk berbelanja di Swalayan Surya saat ini hanya tinggal sekitar 70% saja. Namun ternyata semua itu malah menjadi suatu acuan untuk lebih kreatif dan inovatif 67
64 65 66 67
Hasil wawancara dengan Ibu. Achsani Imama, kode wawancara 01/W/20-VIII/2008. Dokumen milik PT. Daya Surya Sejahtera Kode wawancara 01/W/20-VIII/2008. Hasil wawancara dengan Ibu. Achsani Imama , kode wawancara 02/W/21-VIII/2008.
43
Dengan kualitas SDM yang baik serta koordinasi yang tetap terjaga telah mampu membuat Swalayan Surya bertahan hingga saat ini. Swalayan Surya juga telah mengepakkan sayap usahanya ke beberapa outlet cabang yang ada di wilayah Kab. Ponorogo maupun di luar Ponorogo. Saat ini Swalayan Surya telah berkembang menjadi 15 buah outlet yang kesemuanya masih berada dibawah naungan PT.DSS. 2. Susunan Kepengurusan Sebagaimana disebutkan dalam sub-bab sebelumnya, bahwa Swalayan Surya Ponorogo berada di bawah kepengurusan PT. Daya Surya Sejahtera (PT.DSS). Dimana susunan pengurus dari PT.DSS adalah sebagai berikut: 68 Komisaris
: Drs. H. Daroban Ridho, M.A.
Direktur Utama
: H. Totok Hariyanto
Direktur Operasional
: Muryono, SE.
Direktur Keu. Dan HRD
: Calazar Nusantara, SE.
Dalam kepengurusan PT. Daya Surya Sejahtera, terdapat empat divisi usaha yang berada di bawahnya, yaitu: a. Divisi Ritel atau Swalayan, b. Divisi Pusat Perkulakan Grosir, c. Divisi Distributor (pengelola waralaba grosir), dan d. Divisi Franshisor SURYAmart (pengelola waralaba Swalayan Surya).
68
Dokumen PT. Daya Surya Sejahtera.
44
PT. Daya Surya Sejahtera yang semakin berkembang dari waktu ke waktu dengan kesuksesannya mengelola usaha retail, grosir, distributor, dan waralaba telah mampu mengantarnya mewujudkan sebuah Perseroan yang dipercaya banyak kalangan untuk menjadi Konsultan Manajemen pada usaha yang baru dirintisnya baik di bidang operasional, keuangan, administrasi, maupun sumber daya manusia. 3. Sumber Daya Manusia (SDM) dan Job Discription (pembagian kerja) Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan salah satu unsur penting dalam menjalankan suatu usaha disamping unsur-unsur lain, seperti modal, peluang pasar, teknik marketing, dan lain-lain. Sumber
daya
manusia
yang
berkualitas
adalah
penunjang
keberhasilan suatu usaha. Usaha yang maju tidak hanya berdasarkan besarnya modal yang dimiliki atau peluang pasar yang luas. Meskipun seorang pengusaha mempunyai modal yang besar tetapi dia tidak mempunyai kualitas SDM yang mumpuni, maka sulit baginya untuk bisa menjalankan modal yang dimilikinya dalam bidang usaha. Tak terkecuali, Swalayan Surya sebagai suatu unit usaha yang telah berkembang di Ponorogo juga selalu berusaha untuk memilih sumber daya manusia yang berkualitas serta beretos kerja tinggi. Di dalam menjalankan usaha, Swalayan Surya memiliki 28 orang pegawai yang terdiri dari 9 orang pegawai laki-laki dan 19 orang
45
pegawai perempuan. Dan kesemuanya dibagi dalam 12 posisi tugas yang berbeda-beda 69. a. Kepala unit
: Tutut Widodo
b. Koordinator lantai
: Zeni Nur Fahrudin
c. Bendahara
: Nurhana Fatmarida
d. Accuonting
: Siti Nursamsih
e. Purchase
: Novitta Budiarti
f. Retur
: Puguh P.
g. Inti data
: Tutik P.
h. Pemenuhan barang
: Moh. Hasan Muhtadi
i. Gudang
: Hutner Karim
j. Pramuniaga
:- Dyah Mustika - Era Sulistyani - Elyana Sulistyowati - Endang Subyarti - Gigih Swari - Supriyanto - Afivda E. - Miftahul Jannah - Herlina Puji A. - Sulis M. Laily
69
Hasil wawancara dengan Ibu. Achsani Imama, kode wawancara 08/27-VIII/2008.
46
k. Kasir
:- Sunarti - Herlina Puspitasari - Santi Dwi L. - Asri H. - Rini Andriana - Wahyuni - Choiruli M.
l. Satpam Dalam
: Suliyanto operasionalnya,
Swalayan
Surya
juga
memberikan
pembagian kerja (job discription) kepada para pegawainya sesuai posisi masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar di dalam menjalankan tugas, pegawai tidak kebingungan akan kewajiban apa yang dia lakukan sekaligus upaya untuk mencegah saling tertukarnya posisi tugas. Berikut sekilas mengenai pembagian kerja (job discription) yang diterapkan oleh Swalayan Surya kepada para pegawainya 70. a. Prosedur operasional kepala unit dan koordinator lantai 1) Memberikan briefing kepada para karyawan, sekaligus melakukan pengecekan tenaga kerja, kasir, dan pramuniaga. 2) Mengecek ketersediaan barang-barang dagangan. 3) Mengecek daftar harga. 4) Mengecek transaksi grosir. 5) Melakukan pengawasan terhadap kinerja para pegawai.
70
Dokumen PT. Daya Surya Sejahtera.
47
6) Menerima laporan dari kasir. 7) Menerima laporan cek stok dari para pramuniaga. 8) Mengecek
pembukuan
staf
administrasi
keuangan
unit
dan
melakukan pengawasan pengeluaran anggaran. 9) Menandatangani setiap pengeluaran barang. b. Prosedur operasional administrasi dan keuangan unit 1) Mengambil nota kredit yang telah dicek oleh atasan. 2) Melakukan revisi catatan transaksi jika terjadi koreksi dari atasan. 3) Melayani transaksi pembayaran tagihan dari suplayer. 4) Menerima uang hasil penjualan dari kasir. 5) Membuat laporan keuangan unit. 6) Mencatat dan mengarsipkan izin karyawan pada unit yang bersangkutan. c. Prosedur operasional pramuniaga 1) Mengecek label harga pada shaving. 2) Menata barang. 3) Mempromosikan program-program yang sedang berlangsung. 4) Menjawab dan menerangkan setiap kali ada pertanyaan dari pengunjung. 5) Membenahi barang-barang. d. Prosedur operasional kasir 1) Menyesuaikan data dan harga barang terkini.
48
2) Memasukkan data barang-barang yang dibeli konsumen ke mesin hitung/komputer. 3) Menyampaikan total biaya yang harus dibayar oleh konsumen, sambil membungkus barang belanjaan. 4) Memberikan uang kembalian bila konsumen tidak memberikan uang pas. 5) Meminta persetujuan pada konsumen jika sebagian uang kembalian diberikan berupa permen atau bukan barang. 6) Mengucapkan terima kasih dan tersenyum sambil menyerahkan barang belanjaan dan uang kembali. 4. Pemasaran (Marketing) Pemasaran barang merupakan suatu upaya awal untuk menjual produk kita ke masyarakat luas. Yaitu dengan cara memperkenalkan produk usaha kepada masyarakat sekaligus menjualnya atau memasarkan produk tersebut ke masyarakat luas, sehingga dapat menarik banyak konsumen dan pada akhirnya akan mendatangkan keuntungan yang lebih banyak. Dengan sistem pemasaran yang baik, maka produk kita akan lebih dikenal oleh banyak masyarakat yang kemudian merasa ingin untuk mencobanya. Sebagaimana usaha-usaha lainnya, Swalayan Surya Ponorogo juga melakukan suatu strategi pemasaran dalam menjual barang-barang
49
dagangannya ke masyarakat. Strategi pemasarannya adalah diantaranya dengan cara: 71 a. Pemberian harga. Dalam memberikan harga barang kepada konsumennya, Swalayan Surya membedakannya dalam dua jenis, yaitu: 1) Harga reguler, adalah harga yang diberikan kepada para konsumen yang membeli dalam jumlah sedikit. Harga ini diterapkan dalam transaksi yang terjadi di dalam pasar swalayan dan harga ini akan berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi pasar. 2) Harga grosir, harga ini adalah harga yang diberikan kepada para konsumen yang membeli dalam jumlah banyak. Harga grosir merupakan harga discount, sehingga harganya lebih murah bila dibandingkan dengan harga reguler. b. Promosi. Selain pemberian harga, Swalayan Surya juga melakukan promosi-promosi. Promosi tersebut dapat berupa selebaran dan iklaniklan radio. 5. Macam-Macam Produk yang Diperjualbelikan Swalayan Surya sebagai salah satu pusat perbelanjaan di kota Ponorogo selalu berusaha memenuhi apa saja barang-barang yang menjadi kebutuhan masyarakat.
71
Kode wawancara 08/W/27-VIII/2008.
50
Saat ini Swalayan Surya telah menyediakan berbagai macam barang dari berbagai jenis dan merk, beberapa jenis barang-barang tersebut di antaranya: 72 a. Produk fashion, berupa pakaian; jilbab; handuk; underwear; kaos; dll. b. Kosmetik, tersedia berbagai merk di antaranya Sari Ayu; Ranee; Wardhah; Pixy; Mustika Ratu; dll. c. Makanan dan minuman, baik yang berupa instan maupun non-instan. d. Perlengkapan bayi, barang yang tersedia berupa perlengkapan makan dan minum bayi; pakaian bayi; perlengkapan mandi bayi; dll e. Kebutuhan rumah tangga, berupa bahan-bahan pokok; bahan-bahan kebutuhan rumah tangga; dll. f. Alat-alat
rumah
tangga,
berupa
berbagai
perlengkapan
yang
diperlukan dalam rumah tangga. B. Praktek Penggenapan Uang Sisa Pembelian di Swalayan Surya Ponorogo Masyarakat saat ini memang lebih banyak memilih untuk berbelanja di pasar-pasar swalayan yang kini telah banyak dijumpai di berbagai tempat. Mereka merasa lebih nyaman dan lebih praktis bila berbelanja di pasar swalayan, tidak perlu susah-susah menawar, dan tidak harus merasakan pengapnya udara pasar.
72
Hasil wawancara dengan Dyah Mustika., kode wawancara 04/W/23-VIII/2008.
51
Tetapi dengan memilih untuk berbelanja di pasar swalayan berarti masyarakat harus sedikit membayar lebih mahal dari pada harga di pasar tradisional. Harga barang-barang di pasar swalayan memang terlihat lebih mahal, namun semua itu seimbang dengan fasilitas dan pelayanan yang diberikan.
Dan
kenyataannya,
harga
yang
mahal
bukanlah
suatu
penghalang, karena masyarakat kebanyakan ternyata saat ini lebih mengutamakan fasilitas dan kenyamanan dari pada harga. Sebagaimana yang dikatakan oleh ibu Tuti yang lebih memilih untuk berbelanja di pasar swalayan dari pada di pasar tradisional meski harga di pasar swalayan lebih mahal. “Biarlah tidak apa-apa lebih mahal, asalkan nyaman dan komplit.” 73 Pasar swalayan seakan telah menjadi magnet yang mempunyai daya tarik kuat pada masyarakat. Hal ini tentunya mendatangkan banyak keuntungan yang besar bagi pihak pengelola pasar swalayan, namun bukan berarti dengan begitu pihak pengelola pasar swalayan tidak menemui kendala apapun dalam menjalankan usahanya. Berbagai persoalan harus dihadapi oleh pengelola pasar swalayan, mulai dari masalah persaingan usaha, pemasaran produk sampai dengan masalah penyediaan uang kembalian. Saat ini penyediaan uang receh memang menjadi suatu masalah yang klasik bagi para pedagang. Masalah tersebut muncul seiring dengan perkembangan perekonomian saat ini. Uang receh seakan menjadi barang
73
Hasil wawancara dengan Ibu. Tuti, kode wawancara 09/W/24-VIII/2008.
52
yang sulit untuk diperoleh. Jumlah yang beredar di masyarakat semakin sedikit, sehingga keberadaannya pun semakin langka. Dan kelangkaan ini menyebabkan banyak para pedangang ritel kesulitan di saat harus menyediakan uang receh untuk diberikan kepada pembelinya yang memiliki uang sisa pembelian. Hal ini yang memaksa para pedagang ritel khususnya pengelola pasar swalayan melakukan praktek penggenapan uang sisa pembelian. Dengan menggenapkan sebagian uang sisa pembelian, pengelola pasar swalayan akan sedikit dimudahkan dalam mengembalikan uang sisa pembelian milik konsumennya. Dan praktek penggenapan seperti ini telah banyak dijumpai di berbagai pasar swalayan, tak terkecuali di swalayan Surya Ponorogo. Menurut Bpk. Zeni, di Swalayan Surya saat ini juga melakukan hal sama sebagaimana yang dilakukan oleh swalayan-swalayan lainnya. Hal tersebut dengan terpaksa dilakukan dikarenakan semakin langkanya uang pecahan kecil Rp. 50,- dan Rp. 100,-, bahkan saat ini uang pecahan Rp. 500,- pun sudah mulai sulit untuk didapatkan. Selain itu, penggenapan juga dimaksudkan sebagai salah satu strategi pemasaran agar harga dari barang yang dijual tidak terlalu mahal 74. Dalam menghadapi kelangkaan uang pecahan kecil ini, sebenarnya Swalayan Surya Ponorogo juga telah melakukan berbagai macam usaha untuk bisa mendapatkan uang pecahan kecil tersebut. Sehingga nantinya tidak perlu lagi ada penggenapan uang sisa pembelian.
74
Hasil wawancara dengan Bpk. Zeni, kode wawancara 03/W/22-VIII/2008.
53
Menurut Ibu Achsani Imama, untuk mendapatkan uang pecahan kecil Swalayan Surya Ponorogo juga telah melakukan beberapa usaha, antara lain menukarkan uang di bank; menerima penukaran dari pengamen, pengemis, tukang parkir, pedagang asongan; dan swalayan juga memperolehnya dari penukaran dengan pengelola kotak amal. Tetapi meskipun telah melakukan berbagai usaha, terkadang uang pecahan kecil tetap sulit untuk didapatkan. Hal seperti ini biasa terjadi dan dialami oleh Swalayan Surya Ponorogo pada saat menjelang datangnya bulan Ramadhan sampai Idul Fitri 75. Pada waktu tersebut, uang pecahan kecil seakan menghilang dari peredaran, sehingga sangat sulit untuk didapatkan. Dalam
menggenapkan
uang
sisa,
Swalayan
Surya
hanya
menggenapkan uang sisa pembelian yang mempunyai nominal Rp. 50,-, misalnya bila menunjukkan Rp. 1.950,- maka kasir akan meminta pembeli untuk membayar Rp. 2.000,-. Terkadang bila belanjaan pembeli Rp. 1.550,maka kasir hanya akan meminta Rp. 1.500,- saja. Dan apabila memang masih ada persediaan uang receh, maka pembeli tetap akan menerima uang kembalian sesuai yang tertera pada struk belanja tanpa ada penggenapan 76. Pada prosedur operasional kasir terdapat poin yang mengatur staf kasir untuk selalu meminta persetujuan terlebih dahulu kepada konsumen, tetapi dari hasil pengamatan penulis dalam menggenapkan uang sisa pembelian, 75 76
staf
kasir
tidak
pernah
memberitahukan
atau
meminta
Hasil wawancara dengan Ibu Achsani Imama, kode wawancara 12/W/20-XII/2008. Hasil wawancara dengan Herlina, kode wawancara 07/W/26-VIII/2008.
54
persetujuan terlebih dahulu kepada pembeli. Sehingga terkadang pembeli merasa bingung saat menerima uang sisa pembelian yang diterimanya tidak sesuai dengan jumlah yang ada pada struk belanja. Salah satu contohnya dialami oleh Ana. Saat berbelanja di Swalayan Surya Ponorogo, ia membayar total belanjaan Rp. 20.450,- dengan uang Rp. 25.000,-. Dan kemudian ia hanya menerima uang kembalian sebesar Rp. 4. 500,- meski seharusnya yang diterimanya adalah Rp. 4. 550,-. Meskipun pada awalanya sempat merasa bingung, tetapi lama-kelamaan ia menganggap semua itu tidak apa-apa. 77 Senada dengan Ana,Ibu Kurnia mengatakan bahwa penggenapan tersebut masih dalam batas kewajaran dan tidak sampai menimbulkan kerugian yang besar pada pembeli. Seakan hal tersebut telah menjadi resiko bagi kita bila berbelanja di pasar swalayan 78. Meski
kebanyakan
masyarakat
telah
memaklumi
praktek
penggenapan uang sisa ini, namun tidak dapat dipungkiri ada sebagian masyarakat yang merasa kurang puas dengan hal ini. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Dian, salah satu pembeli di Swalayan Surya Ponorogo. Menurutnya terkadang ia merasa kurang marem saat uang kembaliannya digenapkan, dan ia akan merasa lebih puas bila uang kembalian tersebut diberikan secara utuh tanpa ada penggenapan. 79 Dan sekarang ini ternyata praktek penggenapan uang sisa telah menjadi suatu kebiasan masyarakat, tidak hanya di pasar-pasar swalayan 77 78 79
Hasil wawancara dengan Ana, kode wawancara 12/W/04-XI/2008. Hasil wawancara dengan Ibu. Kurnia, kode wawancara 05/W/24-VIII/2008. Hasil wawancara dengan Dian, kode wawancara 06/W/24-VIII/2008.
55
saja praktek semacam ini terjadi, di kios-kios, di warung-warung hal ini juga kerap terjadi. Tetapi kiranya hal ini tidak begitu saja dijadikan sebuah kebiasaan dalam masyarakat. Meskipun mayoritas masyarakat telah menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar terjadi, tetapi ternyata masih ada sebagian kecil masyarakat yang merasa kurang puas dan tidak setuju jika praktek penggenapan tersebut dilakukan. C. Praktek Penggantian Uang Kembalian Dengan Permen di Swalayan Surya Ponorogo Semakin langka dan sulitnya mendapatkan uang pecahan kecil atau uang receh telah menimbulkan berbagai dampak bagi kegiatan perdagangan. Uang receh memang sangat diperlukan untuk digunakan sebagai uang kembalian. Terlebih lagi bila saat hari raya seperti Idul Fitri tiba, seakanakan uang pecahan kecil mulai yang bernilai Rp.50,- sampai yang bernilai Rp. 1000,- menghilang dari perputaran uang. Hal – hal tersebut memaksa para pedagang untuk melakukan suatu tindakan khusus, bagaimana caranya agar masyarakat tetap membeli barang dagangannya sekaligus bisa mendapatkan uang sisa pembelian mereka secara penuh tanpa ada pengurangan, sehingga pedagang juga tetap bisa menjual barang dagangannya dan sekaligus dapat memberikan kembali uang sisa pembelian kepada konsumennya. Kondisi inilah yang membuat para pedagang mencari cara agar mereka bisa mengembalikan uang sisa pembelian milik konsumennya. Salah
56
satu cara yang telah banyak dilakukan para pedagang saat ini adalah mengganti uang sisa pembelian dengan memberikan permen. Permen dianggap sebagai suatu barang yang tepat dan praktis untuk dijadikan sebagai ganti dari uang sisa pembelian. Harganya yang rata-rata bernilai seratus rupiah, telah memberikan banyak kemudahan bagi pedagang untuk dapat menjadikannya sebagai pengganti uang receh. Sehingga para pedagang pun tidak perlu kesulitan lagi untuk mencari uang recehan yang saat ini semakin sulit untuk diperoleh. Seperti yang lainnya, Swalayan Surya Ponorogo juga menggunakan permen sebagai ganti dari pengembalian uang sisa pembelian. Hal ini juga terpaksa dilakukan oleh pengelola, lagi-lagi karena semakin sulitnya mendapatkan uang receh. Dan untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan salah satu pihak, maka permen dijadikan sebagai alternatif pengganti uang receh. Menurut Herlina, penggantian permen ini diberikan misalnya kepada pembeli yang mempunyai uang sisa pembelian Rp. 2.200,-, maka pembeli tersebut akan menerima uang kembalian Rp. 2.000,- ditambah dengan dua butir permen. 80 Hal ini sama seperti yang dialami oleh Ibu Sri, uang sisa pembelian yang seharusnya diberikan berjumlah Rp. 800,- pada kenyataannya Ibu Sri hanya menerima Rp. 500,- ditambah dengan tiga buah permen kopiko. 81
80 81
Kode wawancara 07/W/26-VIII/2008. Hasil wawancara dengan Ibu Sri, kode wawancara 10/W/04-XI/2008.
57
Di Swalayan Surya, penggantian uang sisa pembelian dengan permen adalah merupakan alternatif untuk pengganti uang kembalian yang bernilai ratusan, Swalayan Surya Ponorogo tidak menyediakan permen yang seharga dengan uang Rp. 50,-. 82 Bila dihitung dari harga permen per pack dibagi jumlah permen, ratarata harga sebutir permen adalahkurang dari seratus rupiah. Dari sini berarti pihak Swalayan Surya Ponorogo mendapat laba tambahan. Dan jika dilihat, dari segi akadnya, jual beli di Swalayan Surya Ponorogo tersebut terjadi dua kali. Yang pertama adalah jual beli barang-barang yang dipilih konsumen di dalam swalayan dan yang kedua adalah transaksi jual beli permen. Dan dari kedua akad jual beli tersebut pihak swalayan juga sama-sama memperoleh keuntungan. Dalam prosedur operasinal kasir, kasir ditugaskan untuk selalu meminta persetujuan kepada pembeli apakah bersedia bila uang sisa pembeliannya diganti dengan permen. Namun, menurut pengamatan penulis, ternyata kasir tidak pernah menanyakan persetujuan dari pembeli sebelum memberikan penggantian uang sisa pembelian.
83
Maka tidak salah bila ada masyarakat yang merasa kurang puas saat menerima permen sebagai pengganti uang sisa pembelian miliknya. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Dian, yang merasa kurang marem saat menerima permen sebagai pengganti uang kembaliannya dan terlebih lagi
82
Kode wawancara 03/W/22-VIII/2008. Hasil pengamatan penulis di Swalayan Surya Ponorogo pada tanggal 20-22 Agustus 2008.
83
58
permen yang dia dapat lebih sering diberikan kepada orang lain atau bahkan pada akhirnya terbuang sia-sia. 84 Meskipun praktek-praktek dalam pengembalian uang sisa pembelian ternyata telah banyak dilakukan di berbagai tempat dan masyarakat pun telah memaklumi hal tersebut, namun kiranya juga ada sedikit pertimbangan yang lebih terutama bagi mereka yang masih merasa kurang puas terhadap adanya praktek-praktek tersebut.
84
Kode wawancara 06/W/24-VIII/2008.
59
BAB IV ANALISA FIQH TERHADAP PRAKTEK PENGEMBALIAN UANG SISA PEMBELIAN DI SWALAYAN SURYA PONOROGO
A. Analisa Fiqh Terhadap Penggenapan Uang Sisa Pembelian di Swalayan Surya Ponorogo Keberadaan pasar swalayan saat ini telah banyak dijumpai di berbagai tempat terutama di kota Ponorogo. Dalam hukum Islam, akad jual beli yang terjadi di pasar swalayan biasa disebut dengan bay’ al-mu’âtâh. Jual beli mu’âtâh merupakan transaksi jual beli yang tidak disertai dengan ijab dan qabul serta dalam transaksinya tidak dijumpai adanya proses tawarmenawar, sehingga si penjual bisa menjual barang dagangannya dengan harga yang sesuai keinginannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli mu’âtâh hukumnya adalah sah bila hal tersebut telah menjadi kebiasaan masyarakat dan hal tersebut tidak merugikan pihak lain. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa saat ini banyak swalayan yang menggenapkan uang sisa pembelian, termasuk juga di Swalayan Surya Ponorogo. Uang sisa pembelian yang diberikan kepada pembeli
di Swalayan Surya Ponorogo terpaksa
digenapkan bukan karena maksud kesengajaan tetapi memang karena adanya situasi dan kondisi yang menyulitkan bagi pengelola Swalayan Surya untuk menyediakan uang pecahan kecil yang digunakan sebagai uang
60
kembalian. Pihak pengelola swalayan tidak mempunyai
maksud ingin
melanggar hak milik dari pembeli, tetapi memang karena ketidak adanya persediaan
uang
pecahan
kecil
membuat
pihak
swalayan
terpaksa
melakukan hal tersebut. Terlebih lagi bila memasuki masa-masa di mana uang pecahan kecil tidak bisa lagi didapatkan, seperti di saat bulan Ramadhan sampai Idul Fitri.
Uang sisa pembelian merupakan uang sisa dari pembayaran atas total biaya belanja. Kita akan selalu memperoleh uang sisa pembelian apabila kita membayar total biaya belanjaan dengan uang yang lebih atau tidak pas. Uang sisa pembelian ini merupakan hak milik dari pembeli yang harus diberikan oleh pihak penjual. Hak milik merupakan hak yang tidak terlarang dan tidak terbatasi oleh apapun terhadap sebuah obyek benda, untuk menggunakan atau menghancurkan sesuai dengan keinginan pemiliknya. Sehingga dapat dikatakan
uang
kembalian
merupakan
suatu
benda
yang
hak
pemanfaatannya dimiliki secara penuh oleh pembeli. Dalam agama Islam, setiap aspek kehidupan manusia telah diatur dalam bentuk aturan-aturan khusus yang disebut sebagai sharî’ah, dimana shari’ah tersebut harus dijalankan oleh setiap mukallaf. Tetapi kemampuan dan potensi yang dimiliki manusia dalam memikul hukum itu berbeda-beda. Sehingga perlu diadakan jalan untuk menghindari kesukaran dengan
61
mengadakan pengecualian hukum. Hal inilah yang kemudian memunculkan satu kaidah yang berbunyi K@L@k< ا C12 w|iy<( اkesukaran itu bisa membawa pada kemudahan). Mashaqqah ini kemudian menimbulkan hukum rukhsah yang merupakan keringanan yang diberikan bagi mukallaf dalam keadaan-kadaan tertentu. Allah SWT.telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 185:
( 185 :ةK|;<َ… ) اK ْL ُxْ<ُ>ُ ا5ِ= ُGِKُG 0َ< ََ وKْLُ@ ْ<ُ >ُ ا5ِ= ُunC<ُ اGِK ُG … Artinya: “…Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian...”
Dalam pengembalian uang sisa pembelian di Swalayan Surya Ponorogo, pihak pengelola pasar swalayan juga mengalami kesulitan, yaitu kesulitan dalam menyediakan uang pecahan kecil sehingga pihak swalayan pada akhirnya terpaksa menggenapkan uang sisa pembelian tersebut. Meskipun dalam hal ini pihak swalayan telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyediakan uang pecahan kecil, seperti menukarkan di bank, pengamen, pengemis, pedagang asongan, tukang parkir, pengelola kotak amal. Tetapi terkadang pihak swalayan juga tetap tidak bisa menyediakan uang
62
pecahan kecil secara penuh, sehingga penggenapan pun terpaksa dilakukan. Bila dilihat dari kaidah fiqh yang berkenaan dengan kondisi yang menyulitkan di atas, penggenapan uang sisa pembelian di Swalayan Surya Ponorogo dibolehkan dalam fiqh. Karena kondisi kelangkaan uang receh tersebut memang benar-benar kesulitan yang tidak pada kebiasaannya (ghairu mu’tadah), hal ini juga diperkuat meskipun telah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang kecil tetapi tetap tidak bisa mencukupi kebutuhan. Sehingga dalam keadaan tersebut pihak pengelola swalayan bisa diberikan dispensasi (rukhsah). Keadaan sulit yang dialami oleh Swalayan Surya tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kesulitan ghairu mu’tadah, yaitu kesulitan yang yang tidak pada kebiasaan di mana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu. Dan jika dilihat dari tingkatannya, kesulitan tersebut termasuk dalam tingkat kesulitan mutawasitah, yaitu kesulitan yang berada di tengahtengah antara yang berat dan yang ringan, di mana berat ringannya kesulitan tersebut tergantung pada persangkaan manusia. Sebagaimana telah disebut di atas tadi, bahwa praktek penggenapan ini biasa terjadi di mana-mana. Dan sebagian masyarakat juga telah menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan dapat dimaklumi. Tetapi di lain pihak, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sebagian orang yang merasa kurang puas dengan adanya penggenapan ini. Ketidak puasan
63
atau ketidak relaan pada salah satu pihak tersebut dapat menandakan tidak adanya unsur اضK2 ,- pada salah satu pihak yang berakad.
Rasulullah saw. bersabda:
ِن0xG0;ky<§ اCk{ إذا ا:ل4|G . م.ل ا ص4} رpxy} : ل0r د4xLB ,= إ, وwLy<نِ ) روا ا0 رآ0kkG ْ أوwxCL<ل رَ بّ ا4|2 0B ل4|<0f ,w?@= 0yI?@= @<و 85
( >آ0¢< اu¢¢
Artinya: Dari Ibn Mas’ud, ia berkata: saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila berselisihan dua orang yang berjual beli, sedang di antara mereka tidak ada keterangan, maka (yang teranggap) ialah perkataan yang empunya barang atau keduaduanya mundur.”
Dari hadith di atas dapat diketahui bahwa bila ada perselisihan di antara dua orang yang berjual beli atau dengan kata lain tidak ada ‘antarâdin diantara mereka, maka dapat memilih mengikuti apa yang dikatakan penjual atau membatalkan jual beli tersebut. Maka bila dalam penggenapan uang sisa pembelian ini ada pemebeli yang merasa kurang rela jika sebagian uang sisa pembeliannya digenapkan, ia dapat memilih untuk
85
Abî Dâwud Sulaimân, Sunan Abî Dâwud juz. 3 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), 269.
64
tetap mengikuti apa yang dikatakan penjual, ini berarti ia harus rela uang sisa pembeliannya digenapkan, atau membatalkan jual belinya tersebut. B. Analisa Fiqh Terhadap Penggantian Uang Sisa Pembelian Dengan Permen di Swalayan Surya Ponorogo
Pasar swalayan merupakan pilihan tempat yang nyaman dalam berbelanja. Selain lebih praktis, fasilitas yang tersedia pun lebih lengkap dan modern. Tak salah bila banyak masyarakat yang lebih memilih untuk berbelanja di pasar swalayan dari pada di pasar tradisional. Banyaknya konsumen yang berbelanja di sebuah pasar swalayan berarti banyak pula keuntungan yang akan diperoleh pasar swalayan tersebut. Di lain pihak, pasar swalayan juga harus tetap mampu memberikan pelayanan yang prima dan memuaskan kepada para pelanggannya. Ada beberapa jenis pelayanan konsumen yang harus dilakukan oleh suatu pasar swalayan, salah satunya adalah pelayanan dalam transaksi pembayaran. Bagi pasar swalayan yang telah menyediakan fasilitas pembayaran dengan kartu kredit maupun debit, hal ini bukanlah menjadi masalah. Tetapi berbeda bagi pasar swalayan yang masih memakai pembayaran cash. Hal ini menimbulkan masalah baru, karena pihak pasar swalayan harus mampu menyediakan uang pecahan kecil atau uang receh yang nantinya akan digunakan sebagai uang kembalian.
65
Sebagaimana yang dijelaskan pada BAB III, saat sekarang ini peredaran uang receh telah berkurang, sehingga sulit untuk didapatkan. Hal ini merupakan masalah klasik yang harus dihadapi oleh para pengusaha yang bergerak dalam bidang ritel, tak terkecuali di Swalayan Surya Ponorogo. Demi pelayanan yang baik kepada konsumennya terutama dalam hal uang
kembalian,
pihak
Swalayan
Surya
Ponorogo
tetap
berusaha
menyediakan uang receh yang digunakan dalam pengembalian uang sisa pembelian, meskipun dalam jumlah yang terbatas. Pihak pengelola Swalayan Surya Ponorogo ternyata tidak habis akal, di saat masa-masa sulit mencari uang pecahan kecil atau saat tidak mempunyai persediaan uang pecahan kecil, mereka memberikan permen sebagai alternatif pengganti uang sisa pembelian yang diberikan kepada para konsumennya. Seperti halnya yang terjadi pada penggenapan uang sisa pembelian, penggantian uang sisa pembelian
dengan permen ini juga terjadi
diakibatkan karena adanya kesulitan yang tidak dapat dihindari. Sehingga sesuai kaidah K@L@k< ا C12 w|iy< ا, pihak Swalayan Surya Ponorogo boleh mengambil rukhsah. Dan salah satu bentuk keringanan (rukhsah) ini adalah dengan mengganti uang sisa pembelian dengan permen. Sehingga dapat dikatakan bahwa penggantian uang sisa pembelian di Swalayan Surya Ponorogo tersebut diperbolehkan dalam fiqh.
66
Dan bila dicermati lagi dalam penggantian uang sisa pembelian dengan permen ini juga terdapat akad jual beli baru atau akad jual beli tambahan. Karena dengan mengganti uang sisa pembelian dengan permen berarti kita juga telah membeli permen tersebut, sehingga pada akad jual beli tersebut terjadi dua kali, yaitu yang pertama akad jual beli terhadap barang-barang yang memang diinginkan dan dipilih oleh pembeli serta yang kedua adalah akad jual beli terhadap permen. Hukum kedua akad jual beli yang tersebut di atas adalah diperbolehkan dalam fiqh. Kedua akad jual beli yang terjadi di Swalayan Surya Ponorogo tersebut termasuk dalam jual beli mu’âthâh yang diperbolehkan oleh jumhur ulama. Tetapi lagi-lagi masyarakat sebagai pembeli mempunyai reaksi yang berbeda-beda, sebagian ada yang memakluminya dan sebagian lagi merasa kurang puas bila uang sisa pembelian miliknya diganti dengan permen. Kekurang puasan pembeli ini tidak bisa merusak sahnya akad, sebab pembeli dalam hal ini masih bisa khiyâr (memilih atau meminta apa yang disenangi) sebagai pengganti uang sisa pembelian.
67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggenapan uang sisa pembelian di Swalayan Surya Ponorogo adalah diperbolehkan menurut fiqh, karena keberadaan hal tersebut berawal dari adanya kesulitan (mashaqqah) yang masuk dalam klasifikasi ghairu mu’tadah dan kesulitan tersebut juga ada pada tingkatan kesulitan mutawasitah,
sehingga
pihak
swalayan
diperbolehkan
mengambil
rukhsah. Penggantian uang sisa pembelian dengan permen yang ada di Swalayan Surya Ponorogo diperbolehkan menurut fiqh. Hal ini mempunyai akar masalah yang sama dengan penggenapan uang sisa pembelian, yaitu keadaan
yang
menyulitkan
(mashaqqah).
Penggantian
uang
sisa
pembelian dengan permen ini merupakan akad tambahan. Sehingga dalam jual beli tersebut terdapat dua akad sekaligus. Dengan mengikuti qaulnya jumhur ulama yang memperbolehkan jual beli mu’âthâh, maka hukum kedua akad tersebut diperbolehkan. Saran-saran
68
Pihak pengelola Swalayan Surya Ponorogo hendaknya tidak memasukkan pendapatan tambahan dari praktek penggenapan dan penggantian uang sisa pembelian dengan permen ke dalam kas laba penjualan. Pendapatan tambahan ini sebaiknya dialokasikan pada dana-dana sosial, seperti zakat, infak dan shadaqah. Baik dalam menggenapkan maupun mengganti uang sisa pembelian dengan permen hendaknya staf kasir benar-benar meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pembeli. Hal ini dimaksudkan agar dalam akad tersebut tercipta ‘antarâdin minkum di antara kedua belah pihak. Untuk menanggulangi kemungkinan adanya rasa bertanya-tanya pada masyarakat, lebih baik jika pihak Swalayan Surya Ponorogo secara teknis memberitahukan mengenai penggenapan dan penggantian uang sisa pembelian dengan permen ini kepada publik.
69
B. DAFTAR PUSTAKA
Al- Bukhârî, Imâm. Sahih al-Bukhârî jilid 2. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. Al-Ghazali, Imam. Terjemah Ihyâ’ ‘Ulumiddîn III, terj. Moh Zuhri. Semarang: CV.Asy-Syifa, 1992. Al-Mushlih, Abdullah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq, 2004. Arikunto, Prof.Dr. Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Basyir, Ahmad Azhar. Azas-Azas Hukum Muamalah. Yogyakarta: FH UII, 1996. Bisri, Moh. Adib. Terjemah al-Faraidul Bahiyyah. t.t: Menara Kudus, t.t. Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Chapra, M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani, 2000. Corbin, Anselm Strauss dan Jullet. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Surabaya: Bina Ilmu, 1997. Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve, 1999. Dâwud Sulaimân, Abî. Sunan Abî Dâwud juz 3. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Hadi, Prof.Dr. Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004 Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
70
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Muhammad. Dasar-Dasar Keuangan Islam. Yogyakarta: Ekonisia, 2004. Muhammad, Abû ‘Abdillâh. Sunan Ibn Mâjah jld I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. Mujahidin, Akhmad. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Musbikin, Imam. Qawa’id al-Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Rahman, Abdur. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Sabiq, Sayyid. Terjemahan Fiqh Sunnah 12, terj. Kamaludin A. Marzuki. Bandung: Al-Ma’arif, 1996. Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Suwandi. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Transaksi dan Kepemilikan Sisa Uang Penelepon Oleh Pengelola Wartel (Studi Kasus di Wartel Zam – zam Desa Cekok Kec. Babadan Kab. Ponorogo).” Skripsi. STAIN Ponorogo, 2006. Syafe’i, Rahmat. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001. Team Majlis Musyawarah Ponpes Langitan. Kumpulan Bahtsul Masa’il Fiqh Bisnis. Lajnah Ta’lif wan Nasyr Pondok Pesantren Langitan, 2007. Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.