1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Seorang anak memiliki arti yang sangat penting dalam sebuah kehidupan rumah tangga, karena tujuan sebuah perkawinan selain untuk membangun mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, juga untuk mempersatukan keluarga dan meneruskan keturunan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga tidak heran jika banyak pasangan suami istri yang baru melangsungkan perkawinan begitu mendambakan kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangganya. Anak merupakan pemberian Tuhan yang paling berharga bagi kedua orang tuanya, serta akan memberikan kesempurnaan ikatan cinta dan kasih sayang di antara mereka. Pada umumnya orang tua berharap kelak seorang anak akan mampu mewujudkan harapan dan cita-citanya yang belum tercapai, sedangkan di sisi lain anak juga akan menjadi pewaris dari harta dan kekayaan yang ditinggalkan orang tuanya ketika ia meninggal dunia. Setiap keluarga (pasangan suami-istri) pasti menginginkan adanya pelanjut keturunannya (dalam hal ini memiliki anak). Hal tersebut wajar dan manusiawi, mengingat salah satu tujuan hidup manusia adalah melanjutkan keturunannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu keluarga disamping terdiri dari suami dan istri juga terdapat anak-anak didalamnya.
1
2
Melanjutkan keturunan merupakan hak asasi setiap manusia sebagai pemenuhan atas fungsi pranata keluarga. Hak ini diatur antara lain pada Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI), Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 23 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 10 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), Pasal 2 piagam HAM Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Dengan demikian, negara wajib menjamin warga negaranya untuk melanjutkan keturunan dan membentuk keluarga sebagai perlindungan terhadap hak asasi manusia.1 Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Tapi pada kenyataannya, kehadiran anak yang didambakan itu ada yang tidak terwujud. Hal ini disebabkan karena pasangan suami istri tersebut mengalami infertilitas. Infertilitas adalah suatu kondisi dimana pasangan suami-istri belum mampu memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali seminggu dalam kurun waktu 1 tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun.2 Selain itu ada banyak lagi masalah kesehatan yang menyebabkan seseorang tidak bisa memiliki keturunan secara alami diantaranya: 1. Masalah saluran telur yaitu saluran telur tidak berfungsi dengan baik, atau tidak memungkinkan terjadinya pertemuan antara sel 1
Sista Noor Elvina, 2014, “Perlindungan Hukum Hak Untuk Melanjutkan Keturunan Dalam Surrogate Mother”, Jurnal Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal. 3. 2 Tono Djuantono, et. al., 2008, Panduan Medis Tepat dan Terpercaya untuk Mengatasi Kemandulan Hanya 7 Hari, Memahami Infertilitas, Refika Aditama, Bandung, hal.1.
3
telur dengan sperma, sehingga pembuahan tidak terjadi, walaupun pembuahan bisa terjadi, kemungkinan embrio tidak masuk ke rongga rahim, sehingga terjadi kehamilan di luar kandungan. 2. Masalah sperma yaitu a. jumlah sperma sangat sedikit (<10 juta/cc), sebagian besar sperma tidak bergerak (30%), b. serakan sperma sangat lambat (Astenozoospermia), c. sperma tidak keluar bersama air mani (Azoospermia). 3. Endometriosis berat adalah Kondisi dimana kelenjar dinding rahim tumbuh abnormal, pada endometriosis berat, kecil kemungkinan bisa terjadi kehamilan alami. 4. Unexplained infertility adalah ketidak suburan yang tidak diketahui penyebabnya, pembuahan normal sebenarnya bisa dilakukan, tapi tidak kunjung berhasil karena tidak bisa diketahui apakah sperma dapat bertemu dengan sel telur, atau sperma dapat menembus sel telur untuk melakukan pembuahan. 5. Antibodi Antisperma yaitu adanya antibodi terhadap sperma suami pada istri, atau adanya antibodi pada sperma itu sendiri (sperma seperti memakai “helm”, sehingga tidak bisa menembus sel telur),
sehingga menghambat
terjadinya pembuahan.3 Masalah kesehatan reproduksi yang terjadi terkadang menjadi permasalahan dalam rumah tangga. Apalagi terhadap masyarakat yang adat
istiadatnya
kaku
mengharuskan
memiliki
anak
sebagai
pelanjut
keturunannya. Menghadapi hal tersebut hukum memberikan peluang untuk melakukan pengangkatan anak (adopsi) anak orang lain sehingga dianggap sebagai anaknya sendiri. Namun tidak sedikit pasangan suami istri yang menginginkan anak dari
3
Rosana Dwi Rianti, 2013, “Alasan dan Dampak Mengikuti Bayi Tabung”, URL: https://keperawatanreligionrosanadwirianti.wordpress.com/2013/06/04/alasan-dan-dampak mengikuti-bayi-tabung/, diakses tanggal 17 Januari 2016.
4
benihnya sendiri (anak kandung) padahal pasangan tersebut tidak dapat memperoleh keturunan secara alamiah. Perkembangan bioteknologi reproduksi memberikan solusi bagi pasangan suami istri yang mengalami permasalahan reproduksi.
Perkembangan
bioteknologi
reproduksi
melahirkan
metode
penyimpanan sprema yang dilanjuti cara kehamilan diluar rahim yang dikenal dengan nama program bayi tabung (in vitro fertization). Salah satu metode program bayi tabung yang mana sang istri tidak bisa mengandung, tetapi sel telurnya masih baik, maka ada satu solusi yang ditawarkan oleh teknologi kedokteran terkini yaitu dengan cara pembuahan luar rahim pasangan suami-istri tersebut ditanam ke rahim wanita lain, dengan suatu perjanjian yang mana wanita tersebut harus mau mengandung, melahirkan dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi. Hal inilah yang disebut sebagai Surrogate Mother atau sewa rahim (gestational agreement).4 Proses sewa menyewa rahim ibu tumpang cukup menjanjikan terhadap penanggulangan beberapa kasus pasangan suami istri yang tidak mempunyai keturunan. Sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti (Surrogate Mother) banyak dilakukan oleh negara-negara yang sistem hukumnya memperbolehkan terjadinya donasi sel gamet, yaitu sel sperma dan sel ovum. Beberapa negara yang memungkinkan terjadinya perikatan Surrogate Mother, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Austria, Jerman, Denmark, Finlandia, Prancis,
4
Desriza Ratman, 2012, Seri Hukum Kesehatan Surrogate mother dalam Perspektif Etika dan Hukum : Bolehkah Sewa rahim di Indonesia ?, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. viiviii.
5
Israel, Jepang, Norwegia, Singapura (donasi sel sperma) sedangkan negara donasi sel ovum diantaranya Amerika Serikat, Inggris, Austria, Israel.5 Pelaksanaan sewa menyewa rahim ibu pengganti dapat memberikan solusi bagi pasangan suami istri yang menginginkan keturunan dari benihnya sendiri, namun dibalik fungsinya dan pelaksanaannya yang memiliki manfaat terdapat juga kendala dalam pelaksanaannya, dimana adanya pro dan kontra pelaksanaan sewa menyewa rahim ibu pengganti dalam masyarakat, khususya bagi kalangan tokoh agama menolak pelaksanaan tersebut dikarenakan bertentangan dengan ajaran agama, disamping itu juga pelaksanaan sewa menyewa rahim dengan mempergunakan
ibu
pengganti
lebih
banyak
bermuatan
ekonomisnya
dibandingkan dengan kepentingan urgensi pelanjutan keturunannya. Ditambah pula pelaksanaan sewa menyewa dengan menggunakan rahim ibu pengganti belum memiliki landasan hukum yang kuat dalam pelaksanaannya. Hukum positif Indonesia belum mengatur (masih kosong norma) berkenaan dengan pelaksanaan sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesahatan dan Peraturan Menteri Kesahatan belum jelas mengatur perihal tentang perjanjian sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti. Oleh karena itu mendorong keinginan penulis untuk melakukan penelitian hukum berkenaan dengan pengaturan tentang perjanjian sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti serta
5
Fred Ameln, 1991, Kapita Selekta hukum Kedokteral, Grafikatama Jaya, Jakarta, hal.124.
6
status hukum anak yang dilahirkan dari proses sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti dan kemudian menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul “PERJANJIAN SEWA MENYEWA RAHIM DENGAN MEMPERGUNAKAN IBU PENGGANTI DARI PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”
1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapatlah diajukan beberapa permasalahan yang merupakan pokok bahasan dalam tulisan ini. Permasalahan-permasalahan tersebut apabila dirumuskan adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah pengaturan tentang perjanjian sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti ?
2.
Bagaimankah status hukum anak yang dilahirkan dari proses sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat diangkat, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas nanti. Adapun permasalahan pertama dibatasi hanya pada bagaimanakah pengaturan tentang perjanjian sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti sedangkan permasalahan kedua membahas mengenai bagaimanakah
7
status hukum anak yang dilahirkan dari proses sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti.
1.4. Orisinalitas Penelitian Dengan ini penulis menyatakan bahwa tulisan yang berjudul Perjanjian Sewa Menyewa Rahim Dengan Mempergunakan Ibu Pengganti Dari Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah sepenuhnya hasil dari pemikiran dan tulisan yang ditulis oleh penulis sendiri dengan menggunakan 2 (dua) skripsi sebagai referensi. Beberapa penelitian yang ditelusuri berkaitan dengan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
No
1
Judul Skripsi
Penulis
Status Hukum Anak Bayi Anas Tabung
dan
Kewarisannya Hukum Islam
Ibnu 1. Bagaimana Status hukum
Hak Safaruddin dalam
Rumusan Masalah
anak bayi tabung dengan melalui donor (sperma atau
ovum
dan
sewa
Rahim) ? 2. Bagaimana hak kewarisan anak bayi tabung dengan melalui
donor
kewarisan islam ?
dalam
8
2
Perlindungan
Hukum L
Niken 1. Bagaimana
Substansi
terhadap pasien sebagai Rosari
materi yang diatur di
konsumen jasa dibidang
dalam
pelayanan
medis
berkaitan
dengan
berdasarkan
Kitab
perlindungan
hukum
KUHPerdata
Undang-Undang Hukum
terhadap pasien sebagai
Perdata
konsumen jasa dibidang pelayanan medis ? 2. Bagaimana perlindungan
bentuk terhadap
pasien sebagai konsumen jasa dibidang pelayanan medis ?
1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum 1. Untuk memenuhi persyaratan akademis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana; 2. Untuk melatih diri dalam menyampaikan pikiran ilmiah secara tertulis; 3. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian; 4. Untuk penyelesaian studi dibidang ilmu hukum.
9
1.5.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui tentang pengaturan perjanjian sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti. 2. Untuk mengetahui status hukum anak yang dilahirkan dari proses sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti.
1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian atau bahan penelitian lebih lanjut, serta menambah informasi mengenai aspek hukum sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti dalam perspektif KUHPerdata.
1.6.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan memberikan
informasi
kepada
pihak-pihak
yang
terlibat
dalam
pengimplementasi hukum kesehatan khususnya mengenai pengaturan parjanjian sewa menyewa rahim ibu pengganti dan juga status hukum anak yang dilahirkan dari perjanjian tersebut dalam KUHPerdata sehingga diharapkan dalam pelaksanaanya tersebut terdapat penjelasan hukum yang jelas sehingga tidak menimbulkan konflik dalam penerapan hukumnya.
10
1.7. Landasan Teoritis a.
Teori Hukum Perjanjian Teori Perjanjian digunakan untuk membahas kedudukan perjanjian
sewa menyewa rahim dengan menggunakan ibu pengganti menurut KUHPerdata. Teori hukum perjanjian pertama kali dicetuskan oleh John Locke yaitu ketika John Locke menerangkan terbentuknya sebuah negara didasari adanya perjanjian dari masyarakat yang menginginkan berdirinya negara tersebut. Dengan demikian, tujuan berdirinya negara untuk menjamin dan melindungi milik pribadi setiap warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Selain itu kuasa dalam perjanjian ini adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat yang berasal dari Tuhan.6 Pasal 1313 KUHPerdata menjelaskan perjanjian sebagai
suatu
perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Doktrin Teori Lama perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Adapun unsurunsur perjanjian menurut teori lama adalah adanya perbuatan hukum, penyesuaian kehendak dari beberapa orang, persesuaian kehendak harus dinyatakan, perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang
6
Samuel Cibro, 2015, “Konsekuensi Hukum Gugatan Perjanjian Sewa Rumah Tanpa Jangka Waktu Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Pemukiman”, Tesis, Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal.23-24.
11
atau lebih pernyataan kehendak yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain, kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum, akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik, dan persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan.7 Sedangkan Doktrin Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru ini tidak hanya memandang perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori ini yaitu tahap prakontraktual, ialah adanya penawaran dan penerimaan, tahap kontraktual, ialah adanya pesesuaian pernyataan kehendak antara para pihak dan tahap post kontraktual ialah pelaksanaan perjanjian.8 Dalam membuat suatu perjanjian harus memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: “(1) Sepakat, (2) Cakap, (3) Hal tertentu dan (4) Sebab yang halal.” Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dijelaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang dibuat oleh para pihak ditentukan isinya oleh para pihak dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, ketentuan ini memiliki suatu kekuatan mengikat karena perjanjian yang dibuat memiliki kekuatan mengikat layaknya sebagai suatu undang-undang 7
Salim H.S. 2008, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS I), hal. 25 8 Ibid, hal.26.
12
bagi para pihak yang membuatnya. Itikad baik dalam suatu perjanjian sangat penting sebab dengan adanya itikad baik maka para pihak akan melaksanakan perjanjian sebagaimana yang telah disepakati hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
a.
Teori Kepastian Hukum Menurut Utrecht, hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum
(rechhtszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu terdapat 2 (dua) tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum bertugas polisionil (politionele taak van het recht) yang berarti hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri.9 Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah, karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.10 Menurut Tatiek Sri Djatmiati kepastian hukum dijabarkan menjadi beberapa unsur sebagai berikut:
9
Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 23. 10
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I), hal. 158.
13
1. 2.
3. 4.
5.
Adanya suatu aturan yang konsisten yang ditetapkan oleh Negara dan dapat diterapkan; Aparat pemerintah harus menerapkan hukum tersebut secara konsisten dengan tetap berpegangan dan berdasarkan aturan tersebut; Rakyat pada dasarnya harus tunduk pada ketentuan hukum; Adanya hakim yang idependen atau bebas dalam artian tidak memihak dan secara konsisten menerapkan aturan hukum tersebut; Putusan hukum dilaksanakan secara nyata.11
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa kepastian hukum berarti hukum harus memberikan kejelasan atas tindakan pemerintah dan masyarakat, sehingga memberikan kepastian hukum, dan tidak menimbulkan multitafsir atas aturan hukum tersebut. Selain itu antara satu aturan dengan aturan lain haruslah terjalin harmonisasi sehingga aturan tersebut tidak kontradiktif antara satu aturan dengan aturan lain. Dengan penelitian ini diharapkan mampu memberikan kepastian hukum tentang pelaksanaan kegiatan sewa menyewa rahim ibu pengganti bagi para pasangan suami istri yang menginginkan adanya keturunan secara langsung berdasarkan benih dari diri mereka.
1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten.12 Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan
11
Tatiek Sri Djatmiati, 2002, “Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 18. 12 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 42.
14
penulisan skripsi ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. Data sekunder yaitu data-data yang bersumber dari data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan hukum. Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari kosongnya norma hukum berkaitan permasalahan penelitian, sehingga didalam mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dimana belum adanya pengaturan (kosong) dalam produk perundang-undangan baik dalam KUHPerdata, UU Perkawinan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesahatan dan Peraturan Menteri Kesahatan berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian sewa menyewa rahim dengan mempergunakan ibu pengganti tersebut.
1.8.2. Jenis Pendekatan Penelitian ini mempergunakan Pendekatan Undang-Undang (The State Approach) dan Pendekatan konsep (The Conseptual Approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kedudukan hukum perjanjiansewa menyewa rahim ibu pengganti serta status hukum berkenaan dengan anak yang dilahirkan dari perjanjian sewa menyewa rahim ibu pengganti tersebut. Sedangkan pendekatan konseptual dilakukan untuk menelusuri mengenai kedudukan hukum perjanjian sewa menyewa
15
rahim ibu pengganti serta status hukum berkenaan dengan anak yang dilahirkan dari perjanjian sewa menyewa rahim ibu pengganti berdasarkan hukum positif di Indonesia, pada dasarnya pendekatan konseptual merupakan pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dari pandanganpandangan ataupun doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi penulis untuk membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
1.8.3. Bahan Hukum Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat, yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; e. Peraturan Pemerintah Repulik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi; f. Peraturan Menteri Kesahatan
16
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, jurnal, makalah, skripsi, tesis, desertasi dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian,13 disamping itu, juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengcopy (download) bahan hukum yang diperlukan. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus, yang terdiri dari : a.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta;
b.
Black’s Law Dictionoary;
c.
Kamus Hukum.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumentasi. Bahan hukum yang diperolehnya, diinfentarisasi dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Tujuan dari tehnik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 13
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, cet. IV, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II), hal.141.
17
Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data berdasarkan pada benda-benda berbentuk tulisan, dilakukan dengan cara mencari, membaca, mempelajari dan memahami data-data sekunder yang berhubungan dengan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam bentuk buku-buku, majalah, literatur, dokumen, peraturan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti.
1.8.5. Teknik Analisis Penulisan dengan metode normatif menggunakan teknik analisis deskripsi, interpretasi, silogisme, kontruksi, evaluasi, argumentasi dan sistematisasi dengan menggunakan pola pikir induktif. Silogisme dengan teknik analisis induksi yaitu proses analisis bermula dari penarikan kesimpulan dan permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan khusus yang diteliti. Penulisan hukum ini juga menggunakan interpretasi berdasarkan Undang-Undang, interpretasi berdasarkan Undang-Undang yaitu merupakan suatu interpretasi berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam Undang-Undang. Interpretasi ini dapat dilakukan dengan singkat, padat, serta akurat mengenai makna yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut nantinya tidak mengandung multitafsir atau arti yang bermacammacam.14
14
Ibid, hal. 112.