BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Linguistik memiliki berbagai cabang disiplin ilmu. Cabang-cabang tersebut diantaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik dan sebagainya. Berbeda dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang mempelajari bahasa dari sudut pandang internal, pragmatik adalah salah satu cabang ilmu bahasa tersebut yang mengalami perkembangan pesat. Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa linguistik yang mempelajari bahasa secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan bahasa tersebut digunakan dalam berkomunikasi (Wijana, 1996:1). Selain itu, ada beberapa dari definisi mengenai pragmatik, yang hampir semuanya bermuara pada pendapat bahwa pragmatik mengkaji bahasa sebagaimana digunakan dalam konteks tertentu.
Meneliti dengan kajian pragmatik di dalam sebuah karya sastra adalah suatu hal yang patut untuk dilakukan, termasuk juga meneliti sebuah film. Menurut KBBI (1989:242), film dapat diartikan dalam dua pengertian. Yang pertama, film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Yang kedua, film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup. Dalam konteks khusus, film diartikan sebagai lakon hidup atau gambar gerak yang biasanya juga disimpan dalam media seluloid
1
2
tipis dalam bentuk gambar negatif. Meskipun kini film bukan hanya dapat disimpan dalam media selaput seluloid saja. Film dapat juga disimpan dan diputar kembali dalam media digital.
Film menyajikan cerita dengan menggunakan gambar yang bergerak. Film menjadi media yang sangat berpengaruh, melebihi media-media yang lain, karena secara audio dan visual, film bekerja sama dengan baik dalam membuat penontonnya tidak bosan dan lebih mudah mengingat. Film mempunyai tokohtokoh. Tokoh-tokoh saling berdialog atau mengadakan percakapan. Percakapan antara mereka sering mengundang rasa ingin tahu penonton, misalnya “Apa maksud tokoh A dengan mengatakan ini?”, “Kenapa tokoh A mengatakan ini?”, “Kenapa tokoh A tidak menjawab pertanyaan tokoh B?”, “Kenapa tokoh A kesal setelah mendengarjawaban tokoh B?”, dan sebagainya. Dengan kajian ilmu pragmatik, tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab. Seringkali dalam memahami cerita sebuah film, kita diharuskan menggabungkan antara konteks atau situasi dengan tuturan yang ada di film tersebut.
Sama halnya dengan naskah drama, novel atau roman, naskah film (skenario) menggunakan bahasa sebagai perantaranya serta memiliki sifat yang imajinatif (fiktif). Naskah inilah yang kemudian ditampilkan melalui sederetan gambar, suara, dialog, dan ilustrasi musik. Di dalam film, terdapat dialog-dialog yang terkadang dituturkan secara tidak langsung menurut konteksnya, tetapi lawan tutur selalu bisa mengerti apa yang dimaksud dari tuturan tersebut.
3
Naskah yang berupa percakapan atau dialog pada sebuah film turut menentukan jalannya cerita di dalam film tersebut. Percakapan-percakapan antar tokoh akan turut
menentukan kapan konflik-konflik terjadi,
kemudian
menentukan klimaks beserta antiklimaks dari jalan cerita film tersebut. Karena itu, kedudukan tuturan di dalam sebuah film sangatlah penting. Skripsi yang berjudul “Wacana Dialog Dalam Film Dalyeora Jajeongeo : Analisis Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesopanan” ini mendeskrispsikan pematuhan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan beserta pelanggaranpelanggarannya di dalam tuturan yang diujarkan para tokoh di dalam film Dalyeora Jajeongeo. Film Dalyeora Jajeongeo menceritakan tentang sebuah keluarga yang dulunya kaya, namun karena beberapa kejadian akhirnya jatuh miskin, kemudian keluarga tersebut berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang di dalam perjalanannya terus bermunculan konflik-konflik baru. Alasan dijadikannya film ini sebagai obyek penelitian adalah karena film ini menceritakan tentang kisah percintaan diantara kehidupan yang penuh penderitaan dan konflik. Dalam dialog-dialog pada film ini diduga terdapat banyak fenomena tindak tutur, khususnya prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan. Dengan meneliti prinsip-prinsip tersebut, dapat diketahui makna dan maksud dibalik suatu percakapan menurut konteks yang berkembang di dalamnya. Terkadang penggunaan
prinsip-prinsip
pragmatik
tersebut
dapat
bermanfaat
untuk
memunculkan suatu konflik, dimana konflik tersebut merupakan bagian penting dari alur sebuah film.
4
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah : (a) Bagaimanakah wujud pematuhan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan dalam dialog film Dalyeora Jajeongeo? (b) Bagaimanakah wujud pelanggaran prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan dalam dialog film Dalyeora Jajeongeo? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : (a) Mendeskripsikan wujud pematuhan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan dalam dialog film Dalyeora Jajeongeo. (b) Mendeskripsikan wujud pelanggaran prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan dalam dialog film Dalyeora Jajeongeo.
1.4
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: (1)
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai prinsip-prinsip pragmatik di dalam percakapan. Penelitian ini juga memberikan kontribusi terhadap penelitian selanjutnya yang memiliki kesamaan topik sebagai bahan referensi.
5
(2)
Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di dalam
studi kekoreaan, khususnya yang berhubungan dengan bidang pragmatik.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis pematuhan dan pelanggaran prinsip-prinsip percakapan, yaitu prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan dalam film Dalyeora Jajeongeo. Film tersebut dipilih karena menceritakan tentang kisah percintaan diantara kehidupan yang penuh penderitaan dan konflik. Dalam dialog-dialog pada film ini diduga terdapat banyak fenomena tindak tutur, khususnya prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan. Selanjutnya data penelitian berupa dialogdialog antar tokoh dalam film Dalyeora Jajeongeo.
1.6
Tinjauan Pustaka Sejauh pengamatan penulis, ada beberapa penelitian yang menggunakan
tinjauan aspek pragmatik. Aspek pragmatik yang dimaksud termasuk juga prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan. Beberapa penelitian tersebut antara lain analisis mengenai wacana dialog yang pernah dilakukan oleh Timothy Nugroho Adi (1998) dalam skripsi yang berjudul Analisis Wacana Drama La Sauvage. Skripsi ini membahas tentang pemahaman wacana drama terutama dalam pemahaman makna tuturan yang terdapat dalam dialog diantara tokoh-tokohnya. Atika Suri Fanani (2004) dalam skripsinya yang berjudul Penyimpangan Aspek Pragmatik dalam Wacana Humor Kartun Prancis yang membahas penyimpangan aspek pragmatik
6
dalam wacana humor kartun bahasa Prancis. Kemudian skripsi karya Sarnisah Hasmi Lubis (2005) yang berjudul Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesopanan dalam Wacana Au Bonheur Des Ogres membahas mengenai pematuhan dan pelanggaran terhadap prinsip pragmatik di dalam sebuah buku. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, tidak ditemukan penelitian yang menggunakan objek penelitian berupa dialog-dialog di dalam film. Hal tersebut mendorong penulis untuk menggunakan dialog-dialog di dalam film berbahasa Korea sebagai objek penelitian, karena analisis serupa belum pernah dilakukan sebelumnya. 1.7
Landasan Teori
1.7.1
Wacana Istilah wacana mulai populer di Indonesia pada tahun 1970-an. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wacana dideskripsikan sebagai : 1) ucapan, perkataan, tutur; 2) keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan; 3) satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan utuh seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya (KBBI, 1990:1005).
Dalam ilmu linguistik, yang dimaksud dengan wacana adalah suatu
rangkaian sinambung bahasa (khususnya lisan) yang lebih luas daripada kalimat (Crystal dalam Wijana & Rohmadi, 2009:66). Sementara itu, Hawthorn (dalam Wijana & Rohmadi, 2009:68) mengatakan bahwa wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
7
1.7.2 Analisis Wacana Analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat, menggunakan
metode
yang
menginterpretasikan
ujaran
yang
sama
menghubungkannya dengan konteks tempat terjadinya ujaran, orang-orang yang terlibat interaksi, pengetahuan umum mereka, kebiasaaan dan adat istiadat yang berlaku di tempat itu (Kartomihardjo dalam Wijana & Rohmadi 2009:66). Bentuk wacana berupa wacana lisan dan wacana tertulis. Wacana tulis disebut teks sedangkan wacana lisan bila dianalisis harus ditranskripsi dalam bentuk tulisan terlebih dahulu. Analisis wacana pada dasarnya membahas dan menginterpretasi pesan atau makna yang dimaksud pesapa dan penyapa. Kegiatan merekonstruksi teks sebagai produk ujaran atau tulisan dalam proses menulis memudahkan pemahaman konteks yang mendukung wacana, baik saat diujarkan maupun ditulis. Analisis wacana dapat mengaplikasikan semua unsur kebahasaan. Namun demikian, analisis wacana teks tidak dapat meninggalkan analisis konteks. Konteks memiliki peran penting untuk mengungkap makna yang ada di dalam teks. Oleh karena itu, analisis wacana perlu ada pendeskripsian yang jelas antara teks dan konteks dalam penjelasan data-data yang dianalisis (Putu Wijana & Rohmadi, 2009:71). Menurut Mulyana (2005:21), konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan
8
dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
1.7.3 Wacana Dialog Wacana dibedakan bergantung pada aspek dan sudut pandang yang digunakan. Jika dilihat dari jumlah penuturnya, wacana terbagi menjadi tiga, yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog (Di dalam penelitian ini, fokus analisisnya terletak pada analisis wacana dialog). Wacana dialog adalah wacana yang terbentuk apabila peserta dalam komunikasi ada dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar atau sebaliknya). Dalam kajian wacana ini, penutur atau orang pertama terkadang disebut pula sebagai penyapa, pembicara dan penulis (pada wacana tulis). Sedangkan petutur atau orang kedua, sering disamakan dengan sebutan pesapa, mitra bicara, lawan bicara, pasangan bicara, pendengar, pembaca (pada wacana tulis) (Mulyana, 2005:53).
1.7.4. Prinsip Kerjasama Grice mengemukakan bahwa dalam melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner) (Grice, Parker, Wardaugh, Sperber & Wilson dalam Wijana & Rohmadi, 2009: 41-42).
9
1.7.4.1 Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Untuk lebih jelasnya perhatikan wacana di bawah ini:
(1) A B A B
: „Siapa nama adikmu?‟ : „Tomi.‟ : „Sekarang kelas berapa?‟ : „Sudah kelas 5 SD.‟
(2) A B
: „Siapa nama adikmu?‟ : „Namanya Tomi, sekarang kelas 5 SD Semester Genap.‟
Bila kedua wacana tersebut dibandingkan, terlihat (B) dalam wacana (1) lebih kooperatif, karena (B) memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai, atau mencukupi pada setiap tahapan komunikasi. Sedangkan (B) dalam wacana (2) tidak kooperatif karena memberikan kontribusi yang berlebihan secara kuantitas, informasi tentang kelas dan semester belum dibutuhkan oleh (A) pada tahap itu.
1.7.4.2 Maksim Kualitas
Maksim percakapan ini menghendaki setiap peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Tuturan (3) berikut bersifat kooperatif atau memenuhi maksim kualitas, sedangkan tuturan (4) tidak kooperatif atau menyimpang dari maksim kualitas. (3) Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di Pulau Jawa. (4) JK adalah singkatan dari Jalan Kaliurang.
10
Tuturan (3) disebut mematuhi pematuhan maksim kualitas karena penutur meyakini bahwa hal yang dituturkan tersebut merupakan suatu kebenaran dan faktanya memang DIY terletak di Pulau Jawa. Sedangkan tuturan (4) menyimpang dari maksim kualitas karena tuturannya tidak benar. Seperti yang sudah diketahui pada umumnya, bahwa singkatan untuk Jalan Kaliurang bukanlah JK, melainkan Jakal.
1.7.4.3 Maksim Relevansi Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah yang dibicarakan. Untuk lebih jelasnya perhatikan wacana (5) berikut ini : (5)
A B
: „Ani, ada telepon untuk kamu.‟ : „Saya lagi di belakang, Bu.‟
Jawaban (B) pada percakapan di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila dicermati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban (B) pada wacana di atas mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu secara langsung. Fenomena tersebut mengisyaratkan bahwa kontribusi peserta tindak tutur relevansinya tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada apa yang diimplikasikan ujaran itu.
1.7.4.4 Maksim Pelaksanaan atau Maksim Cara Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak paksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.
11
Dalam kaitannya dengan prinsip ini Parker (1986:23) memberi contoh wacana (6) berikut : : „Cepatlah pergi ke kantor pos!‟
(6) A
Penutur di dalam tuturan (6) menuturkan kalimat yang wajar, jelas, dan tidak rancu. Baik dari segi ucapan maupun dari segi maksud tuturan. Dalam maksim ini seorang penutur juga diharuskan menafsirkan kata-kata yang digunakan oleh lawan bicaranya secara taksa (ambigu) berdasarkan kontekskonteks pemakaiannya. Hal ini didasari prinsip bahwa ketaksaan (ambiguitas) tidak akan muncul bila kerja sama antara peserta tutur selalu dilandasi oleh pengamatan yang seksama terhadap kriteria-kriteria pragmatik yang digariskan oleh Leech dengan konsep situasi tuturnya. Ketertiban dan keteraturan juga merupakan prinsip dari maksim ini. Sehingga, jika seorang penutur mampu memenuhi prinsip maksim ini, tidak akan ditemui tuturan dengan struktur yang tumpang-tindih. Sebagai contoh, dapat dilihat di dalam tuturan (7) berikut : (7) A
: „Di sana kami berjalan-jalan menikmati pemandangan, saya, ayah, ibu, dan adik pergi ke pemandangan, pada hari minggu.‟
1.7.5 Prinsip Kesopanan
Prinsip kebijaksanaan,
kesopanan maksim
memiliki
kemurahan
sejumlah hati,
maksim,
maksim
yaitu
maksim
penghargaan,
maksim
kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan
12
orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga adalah yang dibicarakan penutur dan lawan tutur.
1.7.5.1 Maksim Kebijaksanaan
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesopanan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. (8) Tuan rumah Tamu
: „Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.‟ : „Wah, saya jadi tidak enak, Bu.‟
Di dalam tuturan (8) tersebut, tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan sang tamu. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara langsung. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah.
13
1.7.5.2 Maksim Penghargaan
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Pelaksanaan maksim penghargaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. (9) (10)
A : „Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.‟ B : „Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu bagus sekali.‟
Tuturan (9) yang disampaikan A terhadap rekan dosennya pada contoh di atas ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian berupa tuturan (10) dari B.
1.7.5.3 Maksim Kemurahan Hati
Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. (11)
A : „Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok yang kotor.‟ B : „Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.‟
14
Dari tuturan (11) tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B.
1.7.5.4 Maksim Kerendahan Hati Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Ibu A (12)
Ibu B
: „Nanti ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma ya.‟ : „Waduh..nanti grogi aku.‟
Dalam contoh di atas ibu B tidak menjawab dengan: “Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan saya.” Ibu B mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatakan tuturan (12).
1.7.5.5 Maksim Kecocokan Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun.
15
Pelaksanaan maksim pemufakatan atau kecocokan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
(13) (14)
Guru A : „Ruangannya gelap ya, Bu.‟ Guru B : „He‟eh. Saklarnya mana ya?‟
Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara Guru A dan B bahwa ruangan tersebut gelap. Melalui tuturan (14), Guru B mengiyakan pernyataan Guru A (13) bahwa ruangan gelap dan kemudian mencari saklar yang memberi makna perlu menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang.
1.7.5.6 Maksim Kesimpatian
Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur sedang mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan, maka penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur sedang susah, maka penutur wajib member ucapan berduka cita dan mengungkapkan bela sungkawa atas keadaan yang dialami lawan tutur. (15)
A : „Aku akan wisuda minggu depan, Sam.‟ B : „Selamat, ya!‟
Tokoh B didalam wacana (15) dianggap sopan karena penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada orang lain yang sedang mendapat kebahagiaan, dan memaksimalkan rasa simpati berupa bela sungkawa kepada orang lain yang sedang tertimpa musibah. Berbeda dengan wacana di bawah ini yang memaksimalkan rasa antipasti terhadap lawan tuturnya. (16)
A : „Aku gagal ujian masuk perusahaan itu.‟ B : „Wah, selamat ya!‟
16
Tokoh B di dalam wacana (16) tidak sopan karena (B) tidak mematuhi maksim kesimpatian dengan memaksimalkan rasa antipati terhadap lawan tuturnya.
1.8
Metode Penelitian Data penelitian berupa dialog yang terjadi diantara tokoh-tokoh di dalam
film Dalyeora Jajeongeo. Penelitian ini dilakukan dengan cara menonton, mendengar, dan menyimak film secara langsung. Penulisan skripsi akan dibantu dengan studi pustaka yaitu sumber-sumber tertulis maupun literatur yang berhubungan dengan topik.
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data hasil analisis. Langkah-langkah dalam melakukan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Menentukan topik penelitian, yaitu percakapan di dalam film Dalyeora Jajeongeo. 2. Mengumpulkan referensi kepustakaan dan mengumpulkan data penelitian berupa teori-teori yang berhubungan dengan penelitian. 3. Mengumpulkan data penelitian berupa dialog dengan cara mendengar dan menyimak dialog film. 4. Mengklasifikasikan data penelitian yang berhubungan dengan topik. 5. Menganalisis tindak tutur di dalam dialog berdasarkan teori. 6. Membuat tabel rekapitulasi hasil analisis data. 7. Menarik kesimpulan. 8. Menuliskan ke dalam bentuk skripsi.
17
1.9
Sistematika Penyajian Data
Skripsi ini terdiri dari empat bab dan akan disusun seperti berikut : Bab I, menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II, membahas pematuhan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan. Bab III membahas pelanggaran prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan. Terakhir Bab IV menyajikan kesimpulan.