BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah
membawa dampak yang sangat besar terhadap kondisi perekonomian Indonesia, khususnya terhadap perkembangan dunia usaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor dunia usaha inilah yang paling merasakan dampak negatif dari krisis tersebut. Krisis moneter ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, akan tetapi juga terjadi di beberapa negara di kawasan Asia seperti: Jepang, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Pada awal terjadinya krisis, negara-negara tersebut mengalami kesulitan yang sama dengan yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi negara-negara tersebut dapat segera bangkit dan memulihkan kondisi perekonomiannya. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain: negara-negara tersebut memiliki dasar perekonomian yang kuat serta didukung oleh kondisi politik dalam negeri yang relatif stabil. Di Indonesia sendiri, program pemulihan ekonomi yang direncanakan oleh pemerintah, yang salah satunya adalah dengan mereformasi peraturan hukum ekonomi dan bisnis di segala bidang, dengan tujuan agar pengusaha, bank, dan investor asing dapat tumbuh kembali, hingga saat ini belum menunjukkan suatu hasil yang menggembirakan.
2
Tercatat ada empat penyebab utama terjadinya krisis moneter di Indonesia pada pertengahan tahun 1997.1 Pertama adalah stok hutang luar negeri pihak swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek. Hal tersebut menyebabkan ketidakstabilan bagi perekonomian negara pada saat itu. Kedua adalah adanya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistem perbankan tersebut, masalah hutang luar negeri swasta langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ketiga adalah semakin tidak jelasnya arah perubahan politik yang secara otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi. Keempat adalah kegagalan pemerintah mengembalikan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Akibat keempat faktor tersebut menyebabkan merosotnya kepercayaan masyarakat di dalam dan di luar negeri terhadap pemerintah pada saat itu. Merosotnya kepercayaan tersebut mengakibatkan melemahnya nilai-nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Akibat dari melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing ini adalah banyaknya pelaku usaha/debitor yang tidak sanggup membayar utang-utangnya kepada lembaga pembiayaan/kreditor di luar maupun di dalam negeri sehingga pelaku usaha/debitor yaitu perusahaan swasta terancam gulung tikar/pailit. Kepailitan itu sendiri berawal dari suatu peristiwa ekonomi, yang berakhir menjadi peristiwa hukum. Oleh karena itu, di dalam kepailitan memuat dua aspek, yaitu aspek ekonomi dan juga aspek hukum. Dewasa ini 1
Ricky Sebastian, “Merancang strategi ekonomi nasional dengan meningkatkan usaha mikro sebagai penopang ekonomi bangsa”, http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/12/18/merancang-strategi-ekonomi-nasional-denganmeningkatkan-usaha-mikro-sebagai-penopang-ekonomi-bangsa-423053.html, diakses pada tanggal 14 Juli 2013.
3
hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan di dalam hukumnya. Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada bahkan sudah ada Undang-Undang Khusus
sejak
tahun
1905
dengan
diberlakukannya
Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348.2 Sebagai satu-satunya Undang-Undang Kepailitan pada saat itu, materi peraturan yang dimuat di dalamnya dianggap belum memadai untuk dipakai menangani berbagai kasus-kasus kebangkrutan dan kredit macet yang terjadi di Indonesia. Selain itu, dalam rangka mengantisipasi kecenderungan tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka sebagai salah satu sarana hukum untuk penyelesaian utang-piutang, pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang signifikan terhadap Undang-Undang Kepailitan yaitu Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Di samping itu, Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348 juga tidak mengatur tentang adanya suatu lembaga yang khusus yang melakukan penyelesaian masalah utang piutang tersebut, sehingga muncul tuntutan dari pelaku ekonomi dan dari kalangan praktisi hukum agar penyelesaian masalah utang piutang tersebut dilakukan oleh suatu lembaga yang khusus (peradilan khusus)
2
Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3.
4
yang dibentuk di dalam lingkungan peradilan umum. Oleh sebab itu jelaslah betapa kuatnya tuntutan untuk adanya suatu pengadilan niaga.3 Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka pada tanggal 22 April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan ini merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, karena peraturan tersebut dirasa banyak memiliki kekurangan dalam menyelesaikan masalah utang piutang tersebut, misalnya prosedur yang cukup lama, seperti perkara pailit PT Arafat yang putusannya baru jatuh setelah lebih kurang lima bulan dan pemberesan mencapai waktu 12 tahun setelah empat kali ganti hakim pengawas.4 Pada hakikatnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan ini tidak menggantikan peraturan kepailitan yang lama, yaitu Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan tersebut hanya “mengubah” dan “menambah” Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348
3
Zainal Asikin, 2001, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 21. 4 Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 1.
5
tersebut karena secara yuridis formal, peraturan kepailitan yang lama tersebut masih tetap berlaku. Hanya saja, karena pasal-pasal diubah (termasuk diganti) dan ditambah tersebut sedemikian banyaknya, maka sungguhpun secara formil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan hanya “mengubah” peraturan yang lama, tetapi secara materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Kepailitan tersebut telah “mengganti” peraturan yang lama tersebut.5 Selanjutnya pada tanggal 9 September 1998 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang ini hanya terdiri dari dua pasal, dimana di Pasal 1 pada dasarnya menegaskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan Pasal 2 menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 5
Ibid, hlm. 6.
6
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang mulai berlaku sejak di undangkan.6 Akhirnya pada tanggal 18 Oktober 2004 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang ini direvisi kembali menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Beberapa pokok materi baru dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini antara lain:7 1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran, dalam UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu. 2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan
permohonan
penundaan
kewajiban
pembayaran
utang
termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 6
Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Benny K. Harman, 2000, Analisa Kritis PutusanPutusan Pengadilan Niaga, CINLES-Center For Information & Law-Economic Studies, Jakarta, hlm. 6 dan 7. 7 Rahayu Hartini, 2008, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, hlm. 14.
7
3. Pengaturan dalam hal permohonan Kepailitan telah diatur lebih tegas, seperti mengenai Pengajuan Permohonan dalam hal pengadilan niaga mana yang berwenang untuk memeriksa perkara ini. Banyaknya revisi yang dilakukan terhadap Undang-Undang Kepailitan tersebut sebagai upaya pemerintah untuk memulihkan kondisi ekonomi dalam penyelesaian masalah utang piutang melalui pengadilan bagi pihak kreditor dengan debitor. Dengan adanya Undang-Undang Kepailitan yang baru ini diharapkan dapat secara efektif digunakan dalam menyelesaikan masalah utang piutang tersebut.8 Dari seluruh Undang-Undang Kepailitan yang ada dan yang pernah ada di Indonesia, mulai dari Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang hingga Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8
Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 2.
8
4 Tahun 1998 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang lah yang menjadi masterpiece Undang-Undang Kepailitan di Indonesia karena dengan adanya UndangUndang tersebut memicu terbentuknya suatu lembaga yang khusus (pengadilan khusus) yang dibentuk di dalam lingkungan peradilan umum yang bernama pengadilan niaga. Keberadaan pengadilan niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya.9 Sehubungan dengan itu, pengadilan niaga diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.10 Salah satu pengadilan niaga yang ada di Indonesia adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang terletak di ibukota negara Indonesia sekaligus pusat perekonomian negara yaitu DKI Jakarta. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat adalah pengadilan niaga yang pertama kali dibentuk di Indonesia. 11 Sebagai pengadilan niaga yang ada di pusat perekonomian negara, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sudah tentu banyak menerima dan menyelesaikan perkara 9
Diani Sadiawati, “Eksistensi Pengadilan Niaga Dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi”, http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/11308/231/, diakses pada tanggal 12 Juli 2013. 10 Lihat Pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. 11 Lihat Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang.
9
kepailitan dibandingkan dengan pengadilan niaga lain di Indonesia. Oleh sebab itu, menarik bila mencermati berapa banyak perkara kepailitan yang diselesaikan melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dari awal berdirinya sampai dengan saat ini dan bagaimana eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai salah satu pengadilan niaga di Indonesia dari awal berdirinya yaitu pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2013 serta apa kendala Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan. Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas, penulis berminat untuk meneliti tentang bagaimana eksistensi pengadilan niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan khususnya yang ada di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan apa kendala pengadilan niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan khususnya Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Untuk itu, penulis melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengambil judul penulisan hukum Eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan? 2. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan?
10
C.
Tujuan Penelitian Penulisan hukum ini mempunyai dua tujuan, yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan. b. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk memperoleh data yang akurat yang dipergunakan dalam penyusunan penulisan hukum sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum di Universitas Gadjah Mada. b. Untuk menambah pengetahuan dalam bidang Hukum Acara terutama Hukum Acara Peradilan Niaga dengan harapan bermanfaat di kemudian hari.
D.
Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran yang telah Penulis
lakukan, belum ada penulisan hukum yang membahas Eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan. Sebagai perbandingan, penulis menemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian yang penulis lakukan yaitu, antara lain:
11
1. Penulisan hukum yang berjudul Pelaksanaan Tugas Dan Tanggung Jawab Kurator Perseorangan Dalam Proses Kepailitan yang ditulis oleh Nyoman Desy Rianthi pada tahun 2012, Program Sarjana Universitas Gadjah Mada.12 Penelitian berbentuk skripsi ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta kekayaan debitor pailit oleh kurator perseorangan, setelah adanya pernyataan putusan kepailitan? b. Hal-hal apa saja yang menjadi hambatan bagi kurator perseorangan dalam melaksanakan tugasnya dan bagaimana cara kurator perseorangan mengatasi hambatan tersebut? c. Bagaimanakah pertanggungjawaban dari kurator perseorangan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku kurator di bidang kepailitan? Dalam penelitian tersebut Nyoman Desy Rianthi menarik kesimpulan sebagai berikut : a. Pelaksanaan pengurusan dan pemberasan harta kekayaan debitor pailit oleh kurator perseorangan setelah adanya pernyataan putusan kepailitan sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. Oleh karena itu, dalam
12
Nyoman Desy Rianthi, 2012, “Pelaksanaan Tugas Dan Tanggung Jawab Kurator Perseorangan Dalam Proses Kepailitan”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
pelaksanaan tugas pengurusan dan atau pemberesan harta kekayaan debitor pailit oleh kurator perseorangan tidak ditemukan lagi adanya hambatan teknis karena peraturan perundang-undangan yang ada telah mengatur mengenai tugas dari kurator perseorangan secara jelas dan lengkap. b. Hambatan yang ada dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kurator perseorangan ini lebih bersifat non teknis, yaitu pertama, terkait koordinasi dengan kreditor atau para kreditor. Kedua, apabila debitor tidak jujur atau debitor tidak kooperatif. Ketiga, apabila pembukuan mengenai harta debitor tidak lengkap. Keempat, pada saat pemberesan harta pailit dalam hal ketika mencari pembeli harta pailit debitor sampai dengan penyerahan asset pailit kepada pembeli. Terkait hambatan tersebut upaya yang dilakukan guna mengatasi hambatan adalah pertama tetap menjalankan koordinasi sekalipun itu sulit ditambah dengan bukti surat. Kedua, mengenai pemberasan harta pailit, kurator perseorangan dapat meminta pihak-pihak lain
yang
terkait
untuk
mendukung
dan
melakukan
pembicaraan dengan kreditor dan pihak-pihak yang menduduki asset pailit. c. Mengenai pertanggungjawaban dari kurator perseorangan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, kurator perseorangan wajib memberikan pertanggungjawaban kepada
13
hakim pengawas dan apabila terjadi kesalahan ataupun kelalaian, maka kurator perseorangan harus bertanggung jawab. Setelah berakhir kepailitan kurator perseorangan wajib memberikan laporan pertanggungjawaban kepada hakim pengawas. 2. Penulisan hukum yang berjudul Perlindungan Hukum Bagi Debitor Dalam Persyaratan Pengajuan Permohonan Pailit (Studi Perbandingan Hukum Kepailitan Indonesia Dengan Belanda), yang ditulis oleh Anindita Hapsari pada tahun 2012, Program Sarjana Universitas Gadjah Mada.13 Penelitian berbentuk skripsi ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut : a. Apa saja perbedaan dalam persyaratan pengajuan permohonan pailit antara peraturan kepailitan Indonesia, yaitu UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan peraturan kepailitan Belanda, yaitu DBA? b. Persyaratan pengajuan permohonan pailit manakah di antara kedua peraturan tersebut yang lebih baik dilihat dari kepentingan debitor? Dalam
penelitian
tersebut
Anindita
Hapsari
menarik
kesimpulan sebagai berikut :
13
Anindita Hapsari, 2012, “Perlindungan Hukum Bagi Debitor Dalam Persyaratan Pengajuan Permohonan Pailit (Studi Perbandingan Hukum Kepailitan Indonesia Dengan Belanda)”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14
a. Redaksional syarat pengajuan permohonan pailit di antara kedua peraturan kepailitan tersebut tidak terlihat adanya perbedaan.
Perbedaan
tersebut
terdapat
pada,
pertama,
peraturan kepailitan di Belanda sangat mengedepankan adanya bukti awal bagi tiap-tiap pihak yang ingin mengajukan permohonan pailit. Ketentuan ini tidak ditemukan secara tertulis di dalam peraturan kepailitan Indonesia, bukti-bukti tersebut baru disertakan ketika sudah memasuki tahap persidangan. Kedua, peraturan kepailitan di Belanda sudah membedakan perlakuan di antara debitor individual dengan badan hukum, karena kedua debitor tersebut memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dalam hal kepailitan, hal tersebut tidak terdapat di dalam peraturan kepailitan di Indonesia, karena di Indonesia tidak diberikan perbedaan dalam hal penerapan kepailitan bagi debitor individual dan badan hukum. Ketiga, dalam hal yang dapat mengajukan permohonan pailit. Peraturan kepailitan Indonesia mengakomodir Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan untuk dapat mengajukan permohonan pailit, sedangkan peraturan kepailitan Belanda hanya diakui tiga pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu debitor, kreditor, dan kejaksaan. b. Antara peraturan kepailitan di Indonesia dengan peraturan kepailitan di Belanda, yang lebih baik dilihat dari kepentingan
15
debitor adalah peraturan kepalitan Belanda karena peraturan kepailitan Belanda menawarkan perlindungan hukum yang cukup baik dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu, peraturan kepailitan Belanda juga diperkuat upaya antisipasi bagi debitor yang mengalami masalah keungan sebelum sampai pada tahap kepailitan. Kedua penelitian tersebut memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Perbedaan tersebut antara lain : 1. Perbedaan mengenai masalah yang diteliti. Penelitian ini membahas tentang eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan. Pada penelitian yang pertama menitikberatkan pada pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kurator perseorangan dalam proses kepailitan serta hambatan yang dihadapi, sedangkan penelitian yang kedua menitikberatkan pada perbandingan peraturan kepailitan di Indonesia dengan di Belanda serta peraturan kepailitan manakah yang lebih baik dilihat dari kepentingan debitor. 2. Perbedaan mengenai metode penelitian yang digunakan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif–empiris yaitu penelitian dengan memadukan antara data sekunder dengan melakukan studi pustaka dengan menelaah buku-buku, laporan penelitian, jurnal, artikel, dan peraturan perundang-undangan sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data
16
primer atau data lapangan dengan melakukan penelitian ke lapangan melalui wawancara dan pengamatan langsung terhadap kondisi lokasi yang diteliti. Pada penelitian pertama dan kedua, keduanya menggunakan metode penelitian normatif saja, sehingga hanya melakukan studi pustaka dengan menelaah buku-buku, laporan penelitian, jurnal, artikel, dan peraturan perundangundangan. Berdasarkan uraian diatas, belum ada penulisan hukum dengan topik bahasan Eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan dan Penulis berkesimpulan bahwa penulisan hukum yang akan dibuat oleh Penulis bukanlah hasil dari proses plagiarisme dan memenuhi kriteria sebagai penulisan hukum yang orisinal.
E.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara akademis
maupun praktis. Adapun kegunaannya sebagai berikut: 1. Kegunaan akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan hukum dalam bidang Hukum Acara, terutama Hukum Acara Peradilan Niaga khususnya mengenai eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan.
17
2. Kegunaan praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan/atau panduan bagi masyarakat tentang adanya pengadilan niaga sebagai pengadilan yang berfungsi menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat dan juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Selain itu, dari hasil penelitian ini diharapkan diketahui kendala-kendala yang dihadapi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan sehingga diharapkan dapat menjadi panduan bagi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar kendala yang ada dapat diselesaikan.
F.
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penyusunan penulisan hukum ini penulis menggunakan metode atau cara yang menggabungkan antara penelitian hukum normatif (jenis penelitian yang dilakukan dengan meneliti data sekunder)14 dengan penelitian hukum empiris (jenis penelitian untuk mendapatkan data primer)15 sehingga penelitian yang penulis lakukan dapat disebut dengan penelitian hukum normatif-empiris.
14
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13-14. 15 Ibid, hlm. 14.
18
Penelitian hukum normatif-empiris16 merupakan penelitian dengan memadukan antara data sekunder dengan melakukan studi pustaka dengan menelaah buku-buku, laporan penelitian, jurnal, artikel, dan peraturan perundang-undangan sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan dengan melakukan penelitian ke lapangan melalui wawancara dan pengamatan langsung terhadap kondisi lokasi yang diteliti. 2. Bahan Penelitian Bahan penelitian hukum ini terdiri dari: 1) Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian. 2) Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan
seperti:
literatur,
laporan
penelitian
dan
perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Data sekunder dibedakan menjadi tiga macam yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat serta berhubungan dengan penulisan hukum ini. Bahan hukum primer tersebut antara lain: c. Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348; 16
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 52.
19
d. Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Kepailitan e. Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
1998
tentang
Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi UndangUndang f. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang g. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman h. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman i. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman j. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
20
k. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum l. Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Semarang m. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.09-HT.05.10 Tahun 1998 Tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Bagi Kurator Dan Pengurus n. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus o. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas p. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan q. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan r. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata s. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
21
t. Herzien Indonesis Reglement u. Reglement of de Rechtsvordering v. Rechtsreglement Buitengewesten 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan atau penjabaran lebih lanjut dari halhal yang diterangkan oleh bahan hukum primer. Hal ini disebabkan karena hal-hal yang tercantum dalam bahan hukum primer masih memerlukan penafsiran lebih lanjut. Bahan hukum sekunder tersebut antara lain: a. Buku-buku mengenai hukum kepailitan; b. Buku-buku mengenai pengadilan niaga; c. Buku-buku mengenai hukum dagang; d. Artikel-artikel/jurnal mengenai hukum kepailitan; e. Artikel-artikel/jurnal mengenai pengadilan niaga; f. Artikel-artikel/jurnal mengenai hukum dagang. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan
hukum
tersier
adalah
bahan
hukum
yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari Black’s Law Dictionary, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan Kamus Bahasa Inggris-Indonesia.
22
3. Lokasi dan Subjek Penelitian a. Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian ini diadakan di Jakarta yaitu: 1) Pengadilan Niaga Jakarta Pusat; Alasan pemilihan instansi tersebut sebagai lokasi penelitan karena instansi tersebut mampu memenuhi kebutuhan
data
yang
diperlukan
penulis
dalam
menyusun penulisan hukum ini. Dalam penulisan hukum yang berjudul eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan, data yang dibutuhkan penulis antara lain statistik perkara kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Selain itu, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dapat menyediakan
narasumber
yang
dapat
penulis
wawancarai guna menyusun penulisan hukum ini. b. Subjek Penelitian Subjek penelitian yang penulis pilih adalah narasumber. Narasumber merupakan seseorang yang dipandang memiliki pengetahuan yang lebih terhadap objek penelitian ini, orang yang mengetahui secara jelas mengenai objek penelitian ini atau yang menjadi sumber informasi (informan) dalam
23
penelitian ini17 yaitu mengenai Eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan. Dalam penelitian yang penulis lakukan, narasumbernya adalah sebagai berikut: 1) Nawawi Pamolango, S.H. (Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekaligus menjabat sebagai Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) 2) Ravitalina, S.H., M.H. (Koordinator Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekaligus menjadi Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) 3) Agus Subroto, S.H., M.Hum. (Mantan Hakim Niaga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang saat ini menjabat Kepala
Pusat
Pendidikan
dan
Pelatihan
Teknis
Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia) 4. Cara dan Alat Pengumpulan Data Penelitian a. Cara Pengumpulan Data 1) Penelitian Kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, buku-buku, literatur, tulisan ahli, yang berkaitan dengan objek yang diteliti.
17
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan”, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 16 Juli 2013.
24
2) Penelitian Lapangan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan turun langsung ke dalam masyarakat atau komunitas tertentu guna memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. b. Alat Pengumpul Data Pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview.18 Dalam penelitian ini, untuk mengumpulkan data sebagai sumber informasi dan bahan-bahan penelitian digunakan dua jenis alat pengumpul data. Dalam hal pengumpulan data primer, penulis menggunakan cara wawancara yang dilakukan langsung kepada subjek penelitian. Wawancara yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab langsung maupun tertulis kepada narasumber dan responden dengan tujuan mendapatkan data
akurat,
langsung,
dan
benar.
Berdasarkan
cara
pengumpulan data tersebut diperlukan alat pengumpulan data dengan pedoman wawancara. Pedoman wawancara yang dimaksud adalah daftar pertanyaan yang terstruktur yang berkaitan langsung dengan materi penulisan hukum ini.
18
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hlm 21.
25
Adapun dalam pengumpulan data sekunder, penulis mempergunakan studi dokumen atau studi pustaka (library research). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpul data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan content analysis,19 mengumpulkan data dengan mempelajari kepustakaan dan peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan objek penelitian. 5. Analisis Data a. Kualitatif, yaitu pemilihan terhadap data-data yang diperoleh dari penelitian berdasarkan mutu atau kualitasnya sehingga dihasilkan suatu uraian yang relevan yang dapat menjawab pertanyaan dalam permasalahan-permasalahan yang ada, dengan jelas dan lengkap berdasarkan penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan kemudian disusun secara sistematis sehingga diperoleh kesimpulan. b. Deskriptif, yaitu suatu penjabaran atau gambaran kenyataan yang berlaku dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti khususnya untuk mengetahui eksistensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan.
19
Ibid.
26
G.
Sistematika Penulisan Penulisan hukum yang telah dibuat mempunyai bab dan sub bab
dengan harapan lebih dimengerti oleh para pembaca. Adapun perincian dari bab-bab tersebut adalah sebagai berikut : 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, keaslian penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. 2. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEPAILITAN DAN PENGADILAN NIAGA Bab ini membahas tentang kepailitan mulai dari sejarah, pengertian, asas-asas, tujuan, syarat-syarat pailit, akibat-akibat dari kepailitan, berakhirnya kepailitan serta dasar hukum berlakunya kepailitan. Selain itu, bab ini juga membahas tentang pengadilan niaga mulai dari sejarah dan latar belakang, kedudukannya dalam peradilan umum, pembagian daerah hukum, hakim yang ada di pengadilan niaga, prosedur penyelesaian perkara kepailitan di pengadilan niaga, serta hukum acara yang digunakan. Namun semua bahasan tersebut hanya dikhususkan pada kepailitannya saja.
27
3. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini membahas hasil penelitian berupa peranan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan, statistik perkara kepailitan per tahun di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan kendala-kendala yang dihadapi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan. 4. BAB IV PENUTUP Bab ini diambil kesimpulan dan saran yang berasal dari hasil penelitian di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.