BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tayangan 86 merupakan sebuah program televisi dengan genre reality show yang tayang di NET TV setiap hari pukul 22.00 WIB. Tayangan ini menampilkan aksi dari pihak kepolisian dalam menjalankan tugas kesehariannya. Tayangan 86 diproduksi melalui hasil kerja sama antara Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI) dengan NET TV dan nama program 86 itu sendiri berasal dari kata sandi kepolisian yang artinya dimengerti. Dalam tayangan ini tidak hanya menampilkan pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya, namun kita juga dapat melihat sedikit sisi lain dari kehiudupan sebuah pribadi polisi sebagai manusia biasa dan kedekatan mereka dengan keluarganya. Kegiatan kepolisian yang ditayangankan dalam 86 ini mulai dari melakukan penertiban lalu lintas, penggerebekan, razio narkoba hingga aksi mencegah aksi tawuran. Dalam tayangan tersebut, polisi wanita (polwan) juga ikut ditampilkan saat sedang menjalankan tugasnya. Polwan sering ditampilkan saat sedang menjalankan tugas sebagai penertib lalu lintas, membantu polisi laki-laki untuk melakukan razia dan sebagainya. Polwan di Indonesia lahir pada 1 September 1948. Ketika itu, pemerintah darurat Republik Indonesia di Kota Bukittinggi harus menangani arus pengungsian besar-besaran akibat agresi militer Belanda. Polisi wanita atau polwan Indonesia memiliki sejarah panjang sejak awal kemerdekaan
1
2
republik ini. Keberadaan polwan dipicu perlunya penanganan khusus untuk kasus yang berkaitan dengan perempuan dan anak-anak (tempo.com). Dalam beberapa segmen tayangan 86, Polwan seperti mempunyai perannya sendiri dalam menjalankan tugasnya seperti contoh dalam segmen penggerebekan klub malam, razia narkoba, hingga aksi pencegahan aksi tawuran polwan cenderung ditampilkan sebagai pihak yang menjadi pembantu polisi laki-laki. Sedangkan jika sedang menjalankan tugas sebagai penertib lalu lintas, polwan terkadang menjadi pihak utama yang melakukan pekerjaan tersebut walaupun tetap ada polisi laki-laki yang ikut dalam menertibkan lalu lintas. Penulis
melihat
terdapat
sebuah
fenomena
mengenai
perempuan dalam tayangan 86, penggambaran perempuan dalam tayangan tersebut cenderung ditampilkan sebagai karakter lemah lembut, sabar, dan menjadi pendamping laki-laki sehingga pihak perempuan terlihat lemah, dan secara tidak sadar hal itu sudah menjadi hal yang biasa oleh masyarakat. Hal itu bisa dianggap biasa oleh masyarakat karena penggambaran perempuan yang terjadi merupakan hasil dari sebuah konstruksi di masyarakat. Hal itu juga didukung oleh Fakih (1996:8) yang mengatakan didalam masyarakat ada sebuah konstruksi mengenai sifat perempuan yang dikenal dengan lemah lembut, sabar penampilan cantik dan sebagainya. Proses konstruksi gender dimasyarakat sudah terjadi pada lingkup yang paling kecil yaitu keluarga, bahkan sejak kecil laki-laki dan perempuan menerima perlakuan yang berbeda. Anak wanita diberika boneka, alat-alat untuk memasak, diajarkan untuk duduk dengan rapi, diperbolehkan menangis, dan sebagainya. Sedangkan
3
laki-laki
diberi
permainan
mobil-mobilan,
pistol,
tidak
diperbolehkan menangis, atau kesakitan (Widyaastuti, 1996:4). Setelah terjadinya proses konstruksi, akan muncul sebuah stereotip tertentu mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan. Menurut Nugroho (2008:42) yang mengatakan stereotip adalah penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, akibat dari stereotip ini biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Konstruksi yang ada dimasyarakat membuat pihak media ikut serta untuk menampilkan perempuan yang sudah sesuai dengan hasil konstruksi tersebut. Media secara tidak sadar memberikan contoh mengenai perempuan dari bagaimana penggambaran perempuan dalam konten media. Hal itu juga didukung Sobur (2012:88) yang mengatakan bahwa pada hakikatnya pekerjaan media adalah mengkonstruksikan realitas, dan juga isi media merupakan dari hasil konstruksi realitas yang ada. Media
televisi
mampu
memberikan
konten
kepada
masyarakat secara gambar dan suara secara bersamaan, dan juga terkadang memberikan konten yang berisi seolah-olah adalah cerminan kehidupan realitas kehidupan. Televisi mempunyai kecenderungan menampilkan perempuan sesuai dengan konstruksi yang ada dimasyarakat. Hal itu juga didukung oleh Widyatama (2006:28) mengatakan pada umumnya perempuan ditampilkan harus menawan, cantik, lemah lembut, pasif, lemah, dan sub-ordinatif dihadapan laki-laki. Tayangan “Katakan Putus” bisa dikatakan sebuah tayangan yang mampu untuk menarik banyak perhatian dari masyarakat. “Katakan Putus” adalah sebuar program televisi yang menceritakan mengenai kehidupan pasangan, dimana salah satu pihaknya berniat
4
untuk memutuskan hubungannya, tayangan ini mulai disiarkan pada 4 Mei 2015 dan disiarkan oleh TransTV. Dalam tayangan tersebut dipandu oleh sepasang host laki-laki dan perempuan, dan dalam setiap episodnya akan adalah selalu seseorang tamu yang meminta bantuan kepada tim “Katakan Putus” untuk memutuskan hubungannya. Tayangna tersebut, tamu yang datang ke tim “Katakan Putus” didominasi oleh perempuan, tamu perempuan dalam tayangan tersebut diperlihatkan sangat mudah emosional.
Gambar 1.1 Scene Tayangan “Katakan Putus” Sumber : Youtube Scene diatas merupakan contoh salah scene adegan dari tayangan “Katakan Putus”, dimana ada seorang tamu yang sedang meminta bantuan kepada tim untuk memutuskan hubungan miliknya. Dalam tayangan tersebut perempuan itu digambarkan sangat emosional, bahkan sangat mudah untuk menangis. Hal itu dikarenakan perempuan dipandang oleh masyarakat adalah mahluk yang emosional dan juga menangis adalah hal yang biasa untuk perempuan. Hal itu didukung oleh Fakih (1996:8) yang mengatakan perempuan adalah sosok yang emosinal, dan Widyaastusi (1996:4) anak perempuan sejak kecil diperbolehkan untuk menangis, berbeda dengan laki-laki yang tidak diperbolehkan.
5
Berangkat dari situ, menurut penulis penggambaran yang terjadi di dalam tayangan reality show 86 berbeda jika dibandingkan dengan tayangan reality show lainnya karena dalam tayangan tersebut perempuan digambarkan mampu untuk menjadi sama dengan laki-laki. Menjadi sama yang dimaksud adalah dalam hal menjalankan tugas kepolisian. Tetapi tetap saja dalam penggambaran perempuan di tayangan tersebut masih sesuai dengan hasil konstruksi dimasyarakat.
Gambar 1.2 Scene Tayangan “86” Sumber : Youtube Dalam scene tersebut terdapat seorang polwan yang sedang memberikan nasihat kepada anak-anak tersebut setelah melakukan aksi tilang. Hal ini menunjukan bahwa seorang perempuan merupakan sosok yang sabar dan lemah lembut.
Gambar 1.2 Scene Tayangan “86” Sumber : Youtube
6
Dalam scene diatas sedang terjadi koordinasi antar polisi yang akan melakukan proses penggerebekan pencurian motor. Ada seorang polwan yang ikut serta dalam kegiatan itu (lingkaran kuning), polwan tersebut sedang mendengarkan instruksi yang diberika oleh pemimpin pelaksana. Hal itu menunjukan bahwa perempuan tidak cocok untuk menjadi seorang pemimpin.
Gambar 1.2 Scene Tayangan “86” Sumber : Youtube Dalam scene diatas seorang polisi wanita sedang melakukan intograsi terhadap salah seorang yang terduga terkena kasus kepemilikan barang terlarang narkoba yang diperoleh dalam proses penggerebakan pada sebelumnya yang sudah dilakukan oleh tim Jaguar. Hal itu menunjukan perempuan mempunyai kesabaran, lemah lembut sehingga diberikan tugas untuk melakukan intograsi daripada melakukan proses penggerebekan. Tayangan 86 dinilai menarik oleh penulis, karena penulis melihat dalam tayangan tersebut polisi laki-laki dan polisi wanita sama-sama menjalankan tugas sebagai polisi namun nampak ada perbedaan mengenai penggambaran polisi wanita dalam tayangan 86 itu sendiri. Selain itu, penulis melihat dari genre dari tayangan 86 adalah reality show, dimana reality show adalah sebuah program televisi yang diproduksi berdasarkan fakta apa adanya, tanpa arahan,
7
dan tanpa skenario dari produser (Utut, 2015:24). Sehingga penulis melihat tayangan ini merupakan sebuah cerminan asli yang ada dimasyarakat saat ini. Terlebih tayangan “86” saat ini adalah satu-satunya tayangan jenis reality show yang berhungan dengan tugas kepolisian. Untuk membantu penulis dalam melakukan penelitian tentang penggambaran polisi wanita dalam tayangan reality show 86, maka penulis akan menggunakan metode semiotika karena dalam proses penelitian akan mempelajari mengenai makna lebih dalam yang terkandung dalam penggambaran polisi wanita dalam tayangan reality show 86. Menurut Wibowo (2006:7) secara etimologi itu sendiri, istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu Semeion, yang artinya Tanda. Tanda itu sendiri adalah sesuatu hal yang kita sepakati sebagai mewakili suatu hal yang berbentuk benda atau hal lainnya. Semiotika juga digunakan untuk merasakans sesuatu yang aneh, yang perlu dipertanyakan ketika melihat suatu wacana atau teks. Menggunakan metode semiotika, penulis akan dibantu untuk memahami makna yang tersembunyi mengenai penggambaran perempuan dalam tayangan 86. Sekiranya apa yang nampak oleh masyarakat dan dianggap sebagai suatu hal yang normal, ternyata mempunyai makna tersembunyi. Penulis juga menggunakan metode semiotika milik Charles Saunders Pierce, hal itu dikarenakan penulis hanya ingin berfokus pada pengkajian lamba dan makna dalam tayangan 86.
8
I.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang ada diatas, makan rumusan masalah yang didapat adalah : Bagaimana penggambaran polisi wanita dalam tayangan reality show 86 di NET TV? I.3 Tujuan Penelitian Tujuan
penelitian
kali
ini
adalah
untuk
mengetahui
penggambaran polisi wanita dalam tayangan reality show 86. I.4 Batasan Masalah Batasan yang digunakan untuk penelitian ini adalah tayangan reality show 86 dalam episode 1 tahun terakhir. I.5 Manfaat Penelitian I.5.1 Manfaat Akademis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
pengetahuan dan wawasan bagi pengembang, khususnya ilmu komunikasi dibidang kajian media. I.5.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi pemberi manfaat bagi kebutuhan praktisi media dalam penelitian semiotika.