BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Pengertian Sepakbola Sebelas lawan sebelas. Satu bola. Satu tujuan. Sepakbola adalah bentuk olahraga yang dimainkan oleh dua tim yang terdiri dari sebelas orang masing-masing. Olahraga ini dimainkan dengan cara menendang bola dengan kaki, bertujuan untuk mencetak gol ke gawang lawan. Meski ada beberapa variasi jumlah pemain dalam sepakbola (terkadang 5 lawan 5, atau 7 lawan 7), versi yang paling terkenal tetaplah 11 lawan 11, dimana sepakbola dimainkan oleh lebih dari 250 juta orang di 200 negara seantero Bumi.
1
Permainan ini dimainkan di berbagai level, mulai dari sekumpulan anak-anak 2
dengan jumlah seadanya , sampai dengan permainan dengan peraturan ketat berkelas internasional yang biasa disaksikan di televisi. Dalam permainan ini, satu-satunya yang diperbolehkan menyentuh bola dengan tangan adalah seorang kiper, penjaga gawang (kecuali bola keluar dari permainan, sehingga pemain outfield diharuskan untuk memulai permainan kembali dengan melakukan lemparan ke dalam), sementara pemain outfield hanya diperbolehkan menyentuh bola dengan kaki, beberapa bagian badan, dan kepala. Pemenang permainan ini ditentukan oleh besarnya skor yang dicetak ke gawang lawan dalam 90 menit. Apabila skor masih seimbang selama 90 menit, pertandingan akan dilanjutkan dengan extra time, atau adu penalti, tergantung format kompetisi yang diikuti. Semua peraturan sepakbola sedetailnya, bisa dilihat dalam buku Laws of the Game. Meski permainan ini banyak dimainkan sebagai ajang rekreasi dan berolahraga oleh banyak orang, sepakbola secara professional diatur oleh FIFA, (International Federation
of
Association
Football.
Atau
dalam
bahasa
Perancis: Fédération
Internationale de Football Association badan yang juga menyelenggarakan Piala Dunia setiap 4 tahun sekali.
1
Data ini diambil dari Wikipedia, “Overview of Soccer” Encyclopedia Britannica, 15 Maret 2013. Bagaimanapun, dalam suatu waktu kecil anda, pasti pernah memainkan sepakbola dalam bentuk yang paling amatir, di gang-gang, jalanan, lahan-lahan kosong, dengan bola dan tiang gawang seadanya: sandal jepit, atau batu. 2
1
I.1.2. Sejarah Perkembangan Sepakbola Dalam sejarahnya, permainan dimana di dalamnya terdapat unsur menendang bola telah dimainkan di beberapa negara, seperti Woggabaliri di Australia, Harpastum di zaman Kekaisaran Roma, dan Cuju, sebutan untuk olahraga menendang-nendang bola kulit oleh orang Cina masa lampau. Sementara dasar untuk permainan sepakbola modern muncul pada pertengahan abad 19 di Inggris, dimana saat itu diciptakan sebuah peraturan untuk standarisasi permainan sepakbola untuk sekolah-sekolah di seluruh Inggris Raya. Karena itulah, warga Inggris sekarang mengklaim negaraya sebagai Home of Football.
3
The Cambridge Rules, yang pertama kali dibuat dan digunakan di Universitas Cambridge, adalah dasar peraturan sepakbola yang nantinya akan menjadi sepakbola modern, seperti yang kita lihat dan mainkan saat ini. Nantinya, hal ini akan berkontribusi besar dalam pembentukan The FA (The Football Association), asosiasi sepakbola pertama di dunia, pada 26 Oktober 1863. Saat pembentukannya, olahraga sepakbola yang ada saat itu akhirnya terbagi dua, karena penghapusan peraturan yang memperbolehkan pemain menggiring bola dengan tangan, menendang tulang kering lawan, serta menarik lawan sebagai salah satu upaya merebut bola dari lawan. Akhirnya, pihak yang tidak setuju dengan penghapusan peraturan tersebut membentuk asosiasi lain bernama Rugby Football Union. Lalu, pada tahun 1904, FIFA dibentuk di Paris, dengan kesepakatan menggunakan Laws of the Game
yang
dibuat
oleh
FA
sebagai
dasar
peraturan
mereka,meski
dalam
perkembangannya, ada beberapa peraturan yang direvisi sesuai keadaan yang terjadi (yang paling baru adalah penggunaan teknologi garis gawang, yang baru saja diuji tahun 2012). Kepopuleran olahraga ini pun meningkat dengan sangat pesat. Sekarang, tiap minggunya jutaan orang berbondong-bondong datang ke stadion untuk mendukung tim kesayangannya, sementara milyaran lainnya duduk di rumah, mengikuti timnya melalui televisi. Sepakbola adalah olahraga global dengan jumlah penonton terbanyak di seluruh dunia.
4
I.1.3. Perkembangan Sepakbola di Indonesia Sepakbola diperkenalkan oleh warga Belanda tahun 1920, dimana pada awalnya dikenal dengan sebutan voetbal. Sejarah sepakbola di Indonesia bisa dibilang bermula di 3
Kata-kata ‘Football’s Coming Home’ digunakan sebagai slogan Piala Dunia 1966, dimana saat itu Inggris mampu menjadi juara dunia untuk pertama kali, dan satu-satunya, paling tidak sampai tulisan ini ditulis. 4
FIFA.com, berita tanggal 6 Februari 2007. Dikutip 15 Maret 2013.
2
tahun 1930, dimana asosiasi sepakbola kita pertama didirikan di Yogyakarta, tanggal 19 April. Lalu, pada kongres di Solo, organisasi itu akhirnya disebut dengan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), dengan Soeratin Sosrosoegondo sebagai pimpinannya. Semenjak itu, roda persepakbolaan kita mulai bergerak, dengan PSSI sebagai motornya, di daerah Yogyakarta dan Solo, kegiatan sepakbola mulai sering dimainkan, sehingga banyak rakyat yang mulai terbawa untuk bermain di jalanan dan alun-alun. Beberapa kompetisi akhirnya dirintis, dan sebagai dukungan terhadap kebangkitan sepakbola, Paku Buwono X mendirikan Stadion Sriwedari sebagai tempat berkompetisi dan berekreasi. Sepakbola Indonesia tumbuh makin besar. Pada 1938 Indonesia sempat lolos ke Piala Dunia. Meskipun pengiriman kesebelasan Indonesia (saat itu, masih menggunakan nama Hindia Belanda) sempat mengalami hambatan. NIVU atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta bersitegang dengan PSSI. Konflik yang terjadi adalah NIVU ingin pemainnya yang terdiri dari pemain non pribumi berangkat mewakili Hindia-Belanda, sedangkan PSSI, ingin pemain pribumi 5
yang berangkat mewakili Indonesia. Pada akhirnya, NIVU menyertakan pemainnya, karena saat itu mereka sudah diakui oleh FIFA. PSSI bergabung dengan FIFA tahun 1952, dan setelah itu, pada era sebelum tahun 70-an, banyak pemain Indonesia yang bisa bersaing di tingkat internasional, sebut saja era Ramang dan Tan Liong Houw, kemudian era Sucipto Suntoro dan belakangan era Ronny Pattinasarani. Dalam perkembangannya PSSI telah memperluas jenis kompetisi dan pertandingan yang dinaunginya, mulai dari level professional, sampai kompetisi wanita dan kelompok umur tertentu, meski format kompetisinya sering berubah-ubah. I.1.4.Permasalahan Umum Berkembangnya sepakbola menjadi olahraga terpopuler di Indonesia ternyata tidak berjalan lurus dengan prestasi sepakbola Indonesia. Dimana sepakbola yang telah menjamah seluruh lapisan masyarakat, dewasa-muda, kaya-miskin, belum menjamin akan berkembangnya prestasi sepakbola Indonesia. Kabar yang sering terdengar justru konflik kepengurusan organisasi PSSI, yang seharusnya menjadi pemersatu sepakbola tanah air. Prestasi Timnas Indonesia justru semakin menurun, pada tahun 2012 lalu, Indonesia sempat menduduki peringkat FIFA terburuk sepanjang sejarah, yaitu di 5
Dualisme, hal yang ironis adalah: mengapa hal ini kembali terjadi di zaman sekarang? Selain dualisme kepengurusan dalam pemilihan pemain timnas (BTN dan PSSI), kompetisi level teratas juga terbelah (LPI dan ISL). Masa lalu lebih baik dari masa sekarang?
3
peringkat 170. Ini berbanding terbalik dengan kepopuleran sepakbola di Indonesia, dimana tiap tahunnya, Indonesia selalu kedatangan tim-tim besar benua lain yang mengadakan tur pramusim. Beberapa diantaranya yang pernah berkunjung ke Indonesia adalah LA Galaxy (Amerika), Inter Milan dan AC Milan (Italia), Everton (Inggris), serta Bayern
Muenchen
(Jerman).
Timnas
Uruguay
juga
pernah
sekali
melakukan
pertandingan persahabatan dengan Timnas Indonesia. 50
75
100
125
vietnam THAILAND 150
SINGAPORE MALAYSIA
175
INDONESIA 2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
Fluktuasi Peringkat FIFA 5 Besar ASEAN 2002-2012
Gambar 1. 1 Fluktuasi peringkat FIFA 5 besar negara di Asia Tenggara. Sumber: Analisa penulis.
Minimnya visi pengembangan sepakbola tanah air, ditambahnya tercampurnya kepentingan bisnis dan politik masuk ke dalam lembaga persepakbolaan membuat sepakbola dijadikan sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan yang lain, di luar sepakbola. Beberapa pihak yang merasa harus ada sebuah perubahan besar, membuat kompetisi tandingan ISL milik PSSI, yaitu LPI (Liga Primer Indonesia), dimana nantinya malah membuat pemain bingung atas dualisme kompetisi yang ada. Sampai tulisan ini ditulis, ada wacana yang menganjurkan kedua liga ini disatukan, demi kompetisi yang jelas, tapi, sampai sekarang kedua belah pihak masih belum menemukan titik temu.
4
Gambar 1. 2 Prestasi yang menurun, sementara fanatisme supporter terus menanjak. Sumber: Ilustrasi penulis, dari berbagai sumber.
Disisi lain, pengembangan akar rumput yang seharusnya menjadi pondasi persepakbolaan Indonesia tidak mendapatkan sorotan berarti. Koran-koran dan majalah sepakbola menjadi menyerupai majalah gosip, dimana pokok bahasannya adalah kisruh organisasi, kasus korupsi, dan puja-puji terhadap prestasi timnas negara lain. Indonesia tidak memiliki visi yang jelas terhadap arah pengembangan pemain sepakbola, Sebagai perbandingan, Jepang telah memiliki visi pengembangan pemain mereka untuk 100 tahun ke depan, dan mereka bisa dikatakan telah berhasil melakukannya. Semenjak pertama kali lolos ke putaran final Piala Dunia 1998 di Prancis, Jepang selalu berhasil lolos ke putaran final, yang terakhir adalah sampai Piala Dunia di Afrika Selatan, 2010 lalu. PSSI bukannya tidak punya sumber daya untuk melakukannya, sebagai contoh, tahun 2012 lalu, PSSI merencanakan untuk mengirim 23 pemain U-23 ke Barcelona untuk berlatih selama selama setahun, dengan estimasi biaya yang dihabiskan sekitar 30 miliar Rupiah. Ini adalah proyek ambisius yang dilakukan dengan terburu-buru, karena mengincar medali emas di Myanmar 2013. Padahal, dengan jumlah dana sedemikian besar, PSSI bisa menganggarkan dana itu dengan perhitungan jangka panjang yang matang dan lebih baik. Ketidakseriusan PSSI dalam pengembangan pemain muda makin terlihat setelah Timo Scheunemann mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Direktur Pengembangan
5
6
Pemain Muda PSSI karena alasan finansial. Padahal sebenarnya, Timo Scheunemann mengundurkan diri setelah menyelesaikan Kurikulum Sekolah Sepakbola Nasional: sebuah dokumen pdf yang bisa diunduh secara gratis, berisi program latihan lengkap, mulai umur 5 tahun sampai dengan 20 tahun, sehingga program latihan setiap sekolah sepakbola di seluruh penjuru tanah air bisa disetarakan, dengan program dan porsi latihan yang memiliki standar yang baik. Timo Scheunemann, yang juga berkewarganegaraan Jerman, juga telah mencanangkan program yang bertajuk Akademi Nusantara, yang rencananya akan digunakan sebagai tempat membina pemain-pemain berbakat dari seluruh Indonesia, di 6 titik yang tersebar di seluruh tanah air. Nantinya, Akademi ini akan menyeleksi ratusan calon pemain untuk dibina, tanpa mengesampingkan pendidikan formal. Ini adalah kelemahan sekolah sepakbola Indonesia sejak lama, mendidik pemain sepakbola berteknik, tapi tidak pintar. Hal ini sering dibahas secara khusus dalam artikel di majalah FourFourTwo Indonesia, dimana ternyata pemain yang dibina di Diklat Salatiga ternyata memiliki rapor akademis yang jeblok. Ini dikarenakan karena memang kurikulum Sekolah Sepak Bola (SSB) yang ada sekarang memang terkesan mengesampingkan pendidikan akademik di sekolah. Ini adalah salah satu alasan yang membuat orangtua ragu memasukkan anaknya ke sebuah sekolah sepakbola, mengingat karir pesepakbola 7
professional yang pendek. Ini seolah-olah tidak ada masa depan untuk pemain paska karir di dunia sepakbola. Di Indonesia sendiri, ada 3 masalah utama yang menghambat perkembangan sepakbola sebagai olahraga populer. Yang pertama adalah visi pengembangan pemain muda yang minim. Berbeda dengan negara-negara di Eropa, yang mewajibkan setiap klub professional memiliki akademi pemain muda sendiri, di Indonesia belum ada klub lokal yang memiliki akademi sepakbolanya sendiri. Di sini, ada sebuah kesenjangan, dimana banyak Sekolah Sepak Bola (SSB) yang tidak memiliki lapangan sendiri, tapi di sisi lain, banyak klub profesional level tertinggi yang rajin mengoleksi pemain mahal berusia matang. Ini mengakibatkan tidak adanya hubungan yang saling menguntungkan seperti di Eropa, dimana pemain muda bisa berlatih di akademi yang dibiayai oleh klub professional, dan klub bisa merekrut pemain muda bagus dengan biaya murah. Sekolah sepakbola terkenal di Indonesia, yaitu Diklat Salatiga, memiliki masalah serupa. Karena
6
Diperkirakan karena masalah penunggakan gaji, dan ketidak sepahaman PSSI dalam program pembinaan pemain muda di Indonesia, meski gosip yang beredar begitu, Coach Timo tidak mau mengutarakan alasan sebenarnya demi menghormati kontrak. 7 Biasanya, memasuki usia kepala 3, porsi bermain sudah berkurang, dan jarang ada pemain yang beruntung, bebas cedera dan selalu menjadi pilihan pertama pada medio 30. Umur 33-35 adalah usia pensiun pemain sepakbola normal.
6
akademi ini tidak berafiliasi dengan klub professional manapun, akademi ini berlatih dengan fasilitas seadanya, dimana pemain harus berlatih di lapangan pinjaman dan tinggal di asrama seadanya, padahal, akademi ini telah konsisten menembuskan pemainnya ke Timnas Indonesia. Kedua, masalah fasilitas yang didapatkan pemain juga sangat minim. Contoh yang diambil adalah pusat pelatihan sepakbola yang cukup besar di Indonesia, yaitu Diklat Ragunan dan Salatiga. Diklat Ragunan dan Salatiga, anehnya selalu mampu 8
menelurkan atlet sepakbola yang handal meski dengan fasilitas yang pas-pasan. Diklat Ragunan misalnya, tempat ini menampung hanya 24 atlet level SMA, dan
memiliki
fasilitas berupa 3 lapangan sepakbola, kolam renang, asrama pemain, dan sebuah gymnasium. Jeleknya, dari 3 lapangan yang tersedia, yang bisa digunakan hanya satu lapangan, karena 2 lapangan lain disewakan untuk kepentingan lain. Berbeda dengan di Ragunan, di Salatiga, tidak ada kolam renang untuk pemain. Pusat kebugaran memang ada, tetapi kondisinya sudah tidak representatif. Asrama yang disediakan juga jauh dari kata ideal. Dalam asrama yang disediakan, satu kamar akan diisi 4-5 pemain. Padahal, fungsi kamar minimal bisa menjadi tempat istirahat yang layak bagi atlet setelah menempa diri dengan latihan kelas di pagi dan sore hari. Yang ketiga, edukasi yang diberikan kepada pemain selama ini masih lebih menitik beratkan ke hal-hal teknis. Pemain yang berada di akademi seperti Diklat Salatiga, memiliki jam belajar formal yang kurang ideal. Pemain Diklat Salatiga, secara tiap hari rutin bangun pukul 04.30 pagi untuk latihan pagi yang dilanjutkan hingga pukul 07.00, pemain setelah latihan langsung melakukan persiapan untuk berangkat sekolah, yang berlangsung normal sampai jam 13.00, setelah istirahat dan makan siang, pemain akan melahap porsi latihan sore, setiap hari. Ini mengakibatkan jadwal pemain menjadi terlalu intens, dan membuat pemain tidak memiliki waktu belajar yang cukup karena terlalu lelah latihan. Seandainya pemain mengalami cedera serius dan gagal menjadi pemain sepakbola, pemain dikahwatirkan akan sulit menjalani kehidupan normal, seperti mencari tempat kuliah yang bagus untuk nantinya bisa bekerja secara normal, bukan sebagai pemain sepakbola. Idealnya, sebuah akademi sepakbola yang bagus, selain memiliki fasilitas latihan dan penunjang yang bagus, juga harus membantu pemain mengembangkan bakat dan kreativitasnya di luar sepakbola. Pendidikan formal dan mental yang bagus, tidak akan merugikan pemain, melainkan akan memberi pemain satu keuntungan yang bisa 8
Andritany Ardhiyasa, Abdul Rahman, Gunawan Dwi Cahyo, adalah pemain yang berhasil menembus timnas dari Diklat Ragunan dan Salatiga, informasi ini diambil dari majalah FFT Indonesia edisi 38, Maret 2012.
7
dimanfaatkan saat sudah berhenti menjadi bermain sepakbola. Akademi Nusantara akan menjadi sebuah prototype yang bagus tentang bagaimana sekolah sepakbola seharusnya berjalan. I.1.5 Permasalahan Desain 1. Indonesia perlu akademi sepakbola yang memiliki kelengkapan dan kualitas yang bagus, yang bisa mengembangkan fisik dan teknik sejak pemain usia dini. 2. Sebuah akademi sepakbola harus mampu menyeimbangkan pengembangan kemampuan akademik pemain di sekolah dengan teknik dan fisik di lapangan. 3. Sebuah akademi sepakbola harus mampu membentuk atribut mental dan psikologi pemain, sehingga menjadi manusia yang baik, di dalam dan luar lapangan. I.2 Tujuan 1. Mempelajari dan mendefinisikan kebutuhan fungsi dan ruang dari sebuah fasilitas olahraga, dalam hal ini adalah sepakbola. 2. Mempelajari standar-standar yang berlaku dalam sebuah fasilitas olahraga sepakbola, dengan segala kelengkapan pendukung kegiatan berolahraganya, maupun fasilitas pendukung lainnya. 3. Mempelajari standar keruangan dan fasilitas yang beragam, berdasarkan usia pengguna, dalam hal ini dari usia tingkat pemula (5-8 tahun), sampai dengan tingkat senior (15-20 tahun). I.3 Sasaran 1. Mempelajari kurikulum Pembinaan Pemain Muda Seluruh Indonesia. 2. Mempelajari kebutuhan ruang sebuah akademi sepakbola. 3. Menganalisis contoh preseden-preseden akademi sepakbola. 4. Mempelajari pendekatan desain akademi sepakbola melalui psikologi ruang. 5. Menganalisa alternative dan menentukan site. 6. Mneyusun konsep yang cocok diterapkan dalam sebuah akademi sepakbola. I.4 Lingkup Penulisan Lingkup peulisan dibatasi pada permasalahan arsitektural menyangkut fungsi, hubungan dan fleksibilitas ruang dalam sebuah fasilitas olahraga sepakbola, serta masalah lain yang dianggap dapat mendukung permasalahan dalam topik penulisan,
8
misalkan masalah keseimbangan pendidikan formal-teknik, serta aspek psikologis pemain. I.5 Metode Penulisan 1. Metode Deskriptif Penjelasan data dan informasi yang berkaitan dengan latar belakang, permasalahan, dan tujuan penulisan, dalam hal ini fasilitas latihan sepakbola dan pendekatan yang akan dicapai nantinya. 2. Metode Analisis Berupa pembahasan yang lebih mendalam tentang permasalahan dan kebutuhan ruang yang akan diselesaikan, melalui studi-studi literature dari buku maupun digital. 3. Metode Studi Kasus/Preseden Melakukan stdui dari contoh-contoh fasilitas yang serupa, bisa dari segi tipologi bangunannya, atapun dari segi pendekatan desainnya, meski dengan tipologi bangunan yang berbeda, sehingga menghasilkan output berupa poin-poin positif maupun negative dari objek yang dipelajari. I.6 Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan: membahas latar belakang,permasalahan umum, permasalahan desain, tujuan dan sasaran penulisan, metode analisa, lingkup dan kerangka penulisan. BAB II Tipologi Bangunan: membahas segala bentuk fasilitas berlatih sepakbola, apapun pendekatan desainnya, dalam bab ini juga dibahas pengertian fasilitas dan ruang-ruang yang diperlukan oleh sebuah akademi secara lebih mendalam. BAB III Pendekatan: dalam bab ini, akan dibahas lebih lanjut tentang pendekatan desain yang akan digunakan, beserta analisa beberapa bangunan tipologi apapun yang menggunakan pendekatan desain yang mirip. BAB IV Konsep: merupakan bab terakhir yang membahas perumusan konsep, dan analisa pemilihan site secara makro dan mikro. Sehingga menjadi dasar untuk pengembangan desain Akademi Nusantara dalam tahapan Transformasi Desain nantinya. I.7 Keaslian Penulisan Seluruh hasil karya dalam pra tugas akhir berupa Landasan Konseptual Perancangan Arsitektur ini merupakan karya asli yang ditulis oleh penulis dan
9
sepenuhnya hasil pekerjaan penulis, dan dalam karya ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diakui dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka, sesuai dengan tata cara dan etika akademik. Dalam pembuatannya, penulis menemukan beberapa karya tugas akhir dengan tema yang hampir sama namun, dengan pendekatan atau tipologi yang berbeda, yaitu:
1. Pusat Pelatihan Sepakbola Dengan Tema Green Architecture Di Sleman, Rahmad Hidayat, 02/157258/TK/27278. Disini, hal yang ditekankan adalah bagaimana membuat sebuah fasilitas berlatih yang bagus dengan pendekatan Green Architecture, sebagai sarana berlatih klub professional di Sleman, Yogyakarta. 2. PSPS Pekanbaru Football Center, Pusat Pelatihan Sepakbola PSPS Pekanbaru dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual terhadap Bangunan Melayu, Gun Faisal, 06/192111/TK/31445. Judul di atas membahas bagaimana sebuah fasilitas berlatih sepakbola mampu dikawinkan dengan unsur budaya lokal, dalam hal ini, unsur-unsur arsitektur Melayu. Tujuan fasilitas ini, bukan untuk pemain usia dini, namun dikhususkan untuk pemain senior dan profesional. 3. Akademi Musik Yogyakarta, Perancangan Lingkungan Belajar Yang Mendukung Pengembangan Kreativitas. Dyah Kurnia Sekar Sari, 05/184735/30660. Terdapat persamaan kata kunci „akademi‟, meski ada perbedaan antara akademi sepakbola dan musik. Fokus bahasan judul tersebut adalah menciptakan sekolah music yang mampu mengembangkan kreativitas muridnya.
10
I.8 Kerangka Pemikiran
Gambar 1. 3. Kerangka pemikiran Akademi Nusantara. Sumber: Analisis Penulis.
11