BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kalimat sebagai salah satu satuan bahasa dapat digunakan untuk menyatakan ide atau pengalaman kita tentang proses, orang, objek, kualitas keadaan, dan hubungan manusia dan dunia sekitarnya (Sudaryanto, 1990:65 via Hidayati, 2004:1). Kalimat adalah konstruksi gramatikal yang terdiri atas satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu, dan dapat berdiri sendiri sebagai satu satuan (Krisdalaksana, 1993: 92). Sedangkan kalimat menurut klausa pembentuknya dapat dibagi menjadi kalimat tunggal, yaitu kalimat yang terdiri dari satu klausa bebas dan kalimat majemuk, yaitu kalimat yang terjadi dari beberapa klausa (Kridalaksana, 1993:94-95). Karakteristik kalimat ditentukan oleh konstruksi gramatikal berupa tata urutan segmen-segmen tuturan. Secara umum tata urutan segmen tuturan tersebut dapat dibagi menjadi susunan OV (objek-verba) dan VO (verba-objek) (Verhaar, 1999: 261). Bahasa Jepang termasuk ke dalam bahasa yang berkonstruksi gramatikal OV dan karenanya bahasa Jepang mempunyai karakteristik sendiri dalam pembentukan kalimatnya. Kalimat dalam bahasa Jepang (bun) juga terdiri dari kalimat tunggal (tanbun) dan kalimat majemuk (fukubun). Istilah fukubun yang berarti kalimat majemuk bahasa Jepang ini digunakan oleh Teramura Hideo, Tamura Fumio, dan
1
2
lain-lain. Secara umum fukubun terbagi menjadi tiga yaitu juubun, goubun, dan juuzokubun. Juubun adalah kalimat majemuk yang terdiri atas dua kalimat yang setara. Goubun adalah kalimat majemuk yang anak kalimatnya merupakan klausa kondisional, konsesif, dan kausal (Ogawa & Hayashi, 1989:160 via Yusuf, 2003:11). Sedangkan juuzokubun adalah anak kalimat yang berisi klausa relatif, waktu, syarat, tujuan / maksud, derajat, perlawanan dan sebagainya (Masuoka & Takubou, 1993:189). Di dalam kalimat majemuk bahasa Jepang terdapat banyak predikat dalam klausa anak yang bentuk awalnya adalah verba yang dinegasikan seperti: -o sezu, -o tabezu, -o towazu, dan -mo kamawazu. Dalam lingkup verba yang dinegasikan tersebut, terdapat empat bentuk yang memiliki makna yang sama, yaitu setsuzokugo klausa mukankei. Mukankei yang penulis maksud adalah klausa anak tidak memiliki keterkaitan secara langsung terhadap verba yang dilakukan oleh subjek di dalam klausa inti pada suatu kalimat majemuk. Setsuzokugo yang menunjukkan mukankei atau ketidakterkaitan adalah -o towazu, -ni kakawarazu, -mo kamawazu, dan -o monotomosezu (ni) yang menjadi predikat di klausa anak. Kalimat yang menyatakan ketidakterkaitan tersebut dapat dilihat sebagai berikut: 1 kono atari wa wakamono ni ninki ga aru machi de sekitar sini remaja terkenal kota sekitar sini adalah kota yang terkenal di kalangan chuuya o towazu itsumo nigawatteiru tak menghiraukan siang malam selalu ramai anak muda dan selalu ramai tanpa mengenal siang malam
3
(DDNH: 106) 2 kono depaato wa youbi ni kakawarazu itsumo kondeiru departement store ini tanpa mengenal hari selalu ramai department store ini selalu ramai tanpa mengenal hari libur (DDNH:106) 3 saikin wa densha no naka de hitome mo kamawazu akhir-akhir ini di dalam kereta tanpa menghiraukan pandangan orang akhir-akhir ini sering melihat wanita yang berdandan di dalam kereta kesshou shiteiru onna no hito o yoku mikakemasu berdandan perempuan sering melihat tanpa menghiraukan pandangan umum (DDNH:107) 4 yamada senshu wa hiza no kega o monotomosezu atlet yamada cedera lutut tanpa mempedulikan tanpa mempedulikan luka di lututnya, atlet Yamada kesshousen ni demashita pertandingan final keluar bermain di pertandingan final (DDNH:108) Kata -o towazu, -ni kakawarazu, -mo kamawazu, dan -o monotomosezu (ni) di atas dapat diartikan menjadi tanpa mengenal, tanpa mempedulikan, dan tanpa menghiraukan. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan masing-masing setsuzokugo, penulis mensubstitusi penanda satu dengan penanda lain dan meminta bantuan seorang mahasiswa Jepang untuk mengecek kegramatikalan masing-masing kalimat. Dan hasilnya, ada setsuzokugo yang dapat menggantikan posisi setsuzokugo lain dan setsuzokugo yang tidak dapat menggantikan setsuzokugo lain seperti pada contoh di bawah ini.
4
(1a) Kono atari wa wakamono ni ninki ga aru machi de, chuuya ni kakawarazu itsumo nigiwatteiru. (1b) *Kono atari wa wakamono ni ninki ga aru machi de, chuuya mo kamawazu itsumo nigiwatteiru. (1c) *Kono atari wa wakamono ni ninki ga aru machi de, chuuya o monotomosezu itsumo nigiwatteiru. (2a) Kono depaato wa youbi o towazu, itsumo konde iru. (2b) *Kono depaato wa youbi mo kamawazu, itsumo konde iru. (2c) *Kono depaato wa youbi o monotomozesu, itsumo konde iru. (3a) Saikin wa densha no naka de hitome o towazu kesshou shite iru onna no hito o yoku mikakemasu. (3b) *Saikin wa densha no naka de hitome ni kakawarazu kesshou shite iru onna no hito o yoku mikakemasu. (3c) ?Saikin wa densha no naka de hitome o monotomosezu kesshou shite iru onna no hito o yoku mikakemasu. (4a) *Yamada senshu wa hiza no kega o towazu kesshousen ni demashita. (4b) Yamada senshu wa hiza no kega ni kakawarazu kesshousen ni demashita. (4c) *Yamada senshu wa hiza no kega mo kamawazu kesshousen ni demashita.
Contoh di atas membuat penulis berasumsi bahwa walaupun setsuzokugo tersebut memiliki arti yang hampir sama, ada beberapa kata yang dapat saling menggantikan, ada pula kata yang tidak bisa digantikan oleh kata yang lain. Misal pada kalimat (1a) -o towazu dapat digantikan oleh -ni kakawarazu sedangkan (1b) menunjukkan bahwa -o towazu tidak dapat digantikan oleh -mo kamawazu. Adanya
5
kata yang tidak bisa digantikan oleh kata lain ini menunjukkan adanya perbedaan pada setiap kata. Hal ini sejalan dengan anggapan dasar bahwa setiap bentuk (lingual) yang berbeda senantiasa menggambarkan perbedaan (sekalipun perbedaan itu hanya nuansa semata) (Tadjudin, 2002:86 via Hidayati, 2004:6). Kemudian, meskipun bersinonim, hanya pada konteks tertentu saja, karena tidak ada sinonim yang semuanya sama persis, dalam konteks tertentu pasti akan ditemukan suatu perbedaan meskipun kecil (Sutedi, 2003:115).
1.2 Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang yang ada, masalah pokok yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana hubungan setsuzokugo yang menerangkan ketidakterkaitan atau ketidakhubungan yang dinyatakan oleh -o towazu, -ni kakawarazu, -mo kamawazu, dan -o monotomosezu (ni) ditinjau dari syarat pembentukan
kalimatnya
dan
bagaimana
syarat
substitusi
masing-masing
setsuzokugo.
1.3 Tujuan Penulisan Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan sampai sejauh mana kesamaan dan ketidaksamaan atau hubungan setsuzokugo yang menerangkan ketidakterkaitan atau ketidakhubungan, yaitu:
-o towazu, -ni kakawarazu, -mo
6
kamawazu, dan -o monotomosezu (ni). Kesamaan dan ketidaksamaan tersebut kemudian penulis paparkan menjadi syarat pembentukan dan syarat substitusi. Hasil analisis ini diharapkan dapat membantu pembelajaran bahasa Jepang khususnya yang berkaitan dengan klausa yang menerangkan ketidakterkaitan atau ketidakhubungan.
1.4 Ruang Lingkup Dalam penulisan skripsi ini penulis mengaji secara semantis sintaksis konjungsi -o towazu, -ni kakawarazu, -mo kamawazu, dan -o monotomosezu (ni) khususnya syarat pembentukan kalimat dengan menggunakan masing-masing setsuzokugo ditinjau dari subjek dan predikat. Pembatasan ini dimaksudkan agar penelitian lebih fokus sehingga penjelasan dapat disampaikan secara sistematis.
1.5 Metodologi Penelitian Untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, terdapat tiga upaya strategis yang berurutan: penyediaan data, penganalisaan data yang telah disediakan itu, dan penyajian hasil analisis data yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:5). Penyediaan data dilakukan dengan metode pengumpulan data dan metode simak atau penyimakan. Data yang dikumpulkan adalah kalimat majemuk bertingkat yang menggunakan kata -o towazu, -ni kakawarazu, -mo kamawazu, dan -o
7
monotomosezu (ni) sebagai setsuzokugo-nya. Data dikumpulkan dari buku-buku referensi dan artikel koran. Setelah data terkumpul, kemudian diklasifikasikan dan dianalisis. Analisis data dilakukan metode agih. Metode agih adalah metode analisis bahasa yang alat penentunya ada di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang dianalisis (Sudaryanto, 1993:15). Kemudian, dari metode agih, teknik yang digunakan untuk menganalisis hubungan kata -o towazu, -ni kakawarazu, -mo kamawazu, dan -o monotomosezu (ni) adalah teknik substitusi atau teknik ganti. Teknik substitusi adalah teknik penggantian unsur satuan lingual data (Sudaryanto, 1993:48). Substitusi dilakukan untuk mengetahui kegramatikalan dari masing-masing bentuk yaitu -o towazu, -ni kakawarazu, -mo kamawazu, dan -o monotomosezu (ni). Kemudian, dilanjutkan dengan menganalisis substitusi syarat pembentukan ditinjau dari subjek, predikat, dan kata yang melekat sebelum masing-masing setsuzokugo.
1.6 Landasan Teori Pada penelitian kali ini yang meneliti mengenai setsuzokugo klausa mukankei atau ketidakterkaitan dalam majemuk bertingkat, teori fukubun atau kalimat majemuk dan teori semantik dan sintaksis dijadikan landasan dalam penelitian ini. Fukubun atau kalimat majemuk adalah kalimat yang tersusun dari beberapa predikat (Masuoka & Takubou, 1993:4).
8
Selain itu penelitian ini juga menggunakan teori semantik dan sintaksis untuk mencari hubungan kesamaan dan ketidaksamaan dan syarat pembentukan kalimat dari masing-masing konjungsi ditinjau dari subjek dan predikatnya. Semantik adalah cabang linguistk yang membahas arti atau makna (Verhaar, 2010: 385). Sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan antar-kata dalam tuturan (Verhaar, 2010:161).
1.7 Tinjauan Pustaka Pembahasan mengenai -o towazu, -ni kakawarazu / -ni kakawarinaku, -mo kamawazu, -o monotomisezu ni sebelumnya pernah dilakukan oleh Etsuko Tomomatsu, Jun Miyamoto dan Masaoka Wakuri dalam buku Donna Toki Dou Tsukau Nihongo Hyougen Bunpou. Buku tersebut menjelaskan masing-masing arti -o towazu, -ni kakawarazu / -ni kakawarinaku, -mo kamawazu, -o monotomosezu ni secara garis besar dan belum ada analisis langsung mengenai empat satuan lingual tersebut secara terperinci. Mereka menyebutkan bahwa -o towazu dan -ni kakawarazu memiliki arti yang sama yaitu -ni kankeinaku atau tidak ada hubungannya dengandan menyatakan bahwa kedua bentuk tersebut dapat digunakan dengan arti yang sama dan keduanya pun banyak diikuti kata yang menunjukkan hubungan biner seperti
chuuya
(siang
malam).
Kemudian
-mo
kamawazu
berarti
tanpa
mempedulikan- dan -o monotomosezu (ni) berarti bangkit tanpa menyerah pada(Tomomatsu, Miyamoto & Wakuri, 1996:106-109).
9
Kemudian, di dalam Kyoushi to Ryuugakusha no tame no Nihongo Bunkei Jiten tertulis bahwa towazu menunjukkan arti: (i) tidak berhubungan dengan hal itu; (ii) tanpa mempermasalahkan hal itu, kakawarazu menunjukkan arti tidak peduli dengan perbedaan itu; tanpa mempermasalahkan perbedaan itu, dan banyak mengikuti kata benda yang mengandung keberagaman seperti tenkou (cuaca), seibetsu (jenis kelamin), nenrei (usia), kemudian mo kamawazu menunjukkan arti tanpa menghiraukan atau tanpa mengkhawatirkan, sedangkan -o monotomosezu berarti bangkit tanpa menghiraukan kondisi yang keras. Walaupun di dalamnya tertulis arti dari masing-masing setsuzokugo dengan lebih detil, belum ada analisis atau perbandingan secara langsung keempat setsuzokugo tersebut. Penilitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena pada penelitian ini, keempat setsuzokugo tersebut akan dianalisis secara langsung dan dibandingkan satu dengan yang lainnya untuk mengetahui sejauh mana kesamaan dan seperti apakah syarat pembentukan dan syarat substitusi keempat setsuzokugo tersebut.
1.8 Sistematika Penyajian Dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi empat bab yang terdiri dari: Bab I pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penyajian. Bab II landasan teori terdiri atas kalimat majemuk bahasa Jepang, teori analisis semantik,
10
sintaksis, dan sinonimi. Bab III pembahasan berisi analisis semantis dan sintaksis -o towazu, -ni kakawarazu, -mo kamawazu, dan -o monotomosezu. Bab IV penutup yang terdiri dari kesimpulan yang diikuti daftar pustaka dan lampiran-lampiran.