15
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “UU Perkawinan) adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Iman Jauhari mengemukakan bahwa “Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak”.1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu. 2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan. 3. Perkawinan berasas monogami. 4. Calon suami istri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan.
1
Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Penerbit Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003. hal. 3
1
Universitas Sumatera Utara
16
5. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun. 6. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan. 7. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang. Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara calon suami isteri yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak keluarga dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak-anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Dengan demikian, lahirnya anak dalam perkawinan menimbulkan kewajiban orang tua, antara lain tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka dewasa dan mandiri. Meskipun demikian tidak setiap perkawinan dapat mencapai tujuan tersebut
dengan
baik.
Ada
perkawinan
yang
mengalami
masalah
yang
sangat besar sehingga perkawinan tersebut terpaksa diputuskan dengan perceraian. Dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah. Dibolehkan bercerai mengingat apabila dengan mempertahankan perkawinan itu akan lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya. Bagi orang Islam perceraian dilakukan dengan mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan Agama, sedangkan bagi orang non Islam mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan Negeri. Dalam memutuskan apakah akan
Universitas Sumatera Utara
17
mengabulkan permohonan cerai atau tidak, Pengadilan akan mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya agar keputusan yang diambil benar-benar yang terbaik. Perceraian akan membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu anak harus memilih untuk ikut ayah atau ikut ibunya dan hal ini merupakan pilihan sulit dan memberatkan, karena seorang anak membutuhkan kedua orang tuanya. Meskipun demikian karena konsekuensi perceraian menimbulkan hal yang dilematis, maka anak tetap harus memilih untuk ikut salah satu orang tuanya. Kehadiran anak itu sendiri dalam perkawinan menimbulkan hubungan hukum antara anak dan orangtua. Hubungan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban antara orangtua dan anak. Kewajiban orangtua ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan: 1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya. 2. Kewajiban orangtua dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan orangtua putus. Selanjutnya Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan: 1. Anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik 2. Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya orangtua dan keluarga garis lurus ka atas bila mereka memerlukan bantuannya. Dari kedua pasal-pasal tersebut dapat dilihat bahwa ada hubungan timbal balik yang erat yaitu adanya hak dan kewajiban antara orang tau dan anaknya yang tidak akan berakhir walaupun orang tuanya bercerai. Kewajiban dan tanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
18
keluarga dan orangtua diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 26 disebutkan: 1. Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya; dan c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. 2. Dalam hal orangtua tidak ada atau karena suatu kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak, yang terpenting kemampuan orang tua untuk mengasuh dan memelihara anak. Anak (yang masih di bawah umur) dalam sistem hukum dan praktek hukum di Indonesia, tatkala kedua orang tuanya berperkara di pengadilan (gugat cerai atau permohonan talak), tidak pernah dimintakan pendapatnya oleh kedua orang tuanya. Hakim yang mengadili perkara itu tidak pula meminta pendapat anak, atau mendalami bagaimana kehendak anak. Padahal, “dalam UU No. 23 Tahun 2002, dan Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) dikenal prinsip penghargaan pendapat anak (respect view of the child)”.2 Bagi orang tua yang diberi hak untuk memelihara anak, harus memelihara anak dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan
anak bukan
hanya meliputi
memberi nafkah lahir saja, tetapi juga meliputi nafkah batin seperti pendidikan formal
2
Darwan Prints, Hak Asasi Anak: Perlindungan Hukum Atas Anak, Lembaga Advokasi Hak Anak Indonesia, Medan,1999, hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
19
dan pendidikan informal. Dalam hal ini siapapun yang diberikan hak pemeliharaan anak, menurut Pasal 41 UU Perkawinan, ayah tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 tahun. Bagi salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya tersebut menurut Pasal 49 UU Perkawinan dapat dicabut kekuasaannya atas permintaan orang tua yang lain. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi pasangan suami isteri yang beragama non muslim. Proses perceraian antar insan non-muslim yang berbeda agama memiliki sedikit perbedaan dari sisi prosedural dibandingkan dengan proses perceraian sesama muslim. Perbedaannya adalah bagi pasangan muslim perceraian dilakukan melalui Pengadilan Agama dengan dasar hukumnya UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan bagi yang beragama non muslim dan beda agama dilakukan melalui Pengadilan Negeri sedangkan dasar hukumnya tetap digunakan ketentuan UU Perkawinan. Dalam hal terjadinya suatu proses perceraian dan akibat hukum terhadap pengasuhan anak, Sugiri Permana mengatakan bahwa “Mengenai hak pengasuhan anak kembali muncul menjadi perhatian publik dengan berbagai latar belakang pemikiran, baik berdasarkan join custodian yang muncul pada akhir tahun 2007 maupun yang didasarkan pada jurigenic effect yang (salah satunya) menjadi bahan pemberitaan di berbagai media”.3
3
Sugiri Permana, Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama, PA Mempawah, Departemen Agama, Kalbar , 2008, hal 1.
Universitas Sumatera Utara
20
Kedua pembahasan mengenai pengasuhan anak tersebut lebih mengedepankan fakta yang terjadi pada peradilan di dunia Barat yang tidak terpaku lagi untuk menetapkan pengasuhan seorang anak atas dasar peraturan perundang-undangan. “Join custodian lebih mengedepankan hubungan baik antara mantan pasangan suami isteri, sedangkan jurigenic effect mengedepankan pada realitas psikologis anak saat akan ditetapkan oleh majelis hakim”.4 Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu kajian terhadap hukum materiil yang menjadi pedoman dalam pengasuhan anak di lingkungan Pengadilan agama dan Pengadilan Negeri, dengan sentuhan pemahaman dari berbagai sudut pandang keilmuan. Dalam perselisihan perkawinan yang berakibat pada putusnya perkawinan, prosedur yang harus dilalui antara lain : 1. Suami atau isteri yang akan mengajukan perceraian harus memahami bahwa gugatan yang diajukan telah memenuhi syarat-syarat alasan perceraian sesuai ketentuan undang-undang; 2. Suami atau isteri yang akan mengajukan gugatan perceraian dapat mewakili dirinya sendiri di pengadilan atau mewakilkan kepada advokat atau kuasa hukum, dan gugatan dapat dibuat sendiri, jika tidak mengetahui format gugatan dapat meminta contoh gugatan perceraian kepada kepaniteraan pengadilan, pengadilan agama dan lembaga bantuan hukum yang ada; 3. Suami atau isteri yang akan mengajukan perceraian dapat mempersiapkan gugatan perceraian dengan alasan-alasan yang jelas secara hukum (serta dapat juga memasukan tuntutan pengasuhan anak dan harta gono gini), 4. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal tergugat; 5. Bila tempat tinggal tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat tinggal tetap, gugatan diajukan ke pengadilan di daerah tempat tinggal penggugat, dan bila tergugat di luar negeri gugatan diajukan ke pengadilan di daerah tempat tinggal penggugat melalui perwakilan RI setempat; 4
Ibid., hal 1.
Universitas Sumatera Utara
21
6. Gugatan yang telah dibuat, ditandatangani di atas materai dan dibuat rangkap lima (tiga rangkap untuk hakim, satu rangkap untuk tergugat dan satu rangkap untuk berkas di kepaniteraan); 7. Gugatan tersebut didaftarkan di kepaniteraan perdata Pengadilan Negeri yang berkompeten; 8. Saat mendaftarkan gugatan diharuskan membayar biaya perkara; dan 9. Setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan, maka harus segera mengurus akta cerai di kantor catatan sipil tempat perkawinan dicatat.5 Lamanya proses perceraian tidak dapat diprediksi secara pasti, karena sejak panggilan untuk sidang pertama yang selambat-lambatnya dilakukan 30 (tiga puluh) hari setelah pendaftaran gugatan, kemudian dilanjutkan dengan acara dalam persidangan yang memuat pembacaan gugatan, jawaban tergugat, Replik (jawaban balasan penggugat atas jawaban tergugat), Duplik (jawaban tergugat atas replik penggugat), pembuktian (bukti tertulis ataupun bukti saksi), kesimpulan (terbukti atau tidaknya gugatan) dan yang terakhir adalah putusan atau hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang terjadi pada kasus yang dijadikan objek
penelitian
ini
yaitu
putusan
Pengadian
Negeri
Medan
No.
101/Pdt.G/2009/PN/MDN, yang dalam putusannya memberikan hak pemeliharaan anak kepada pihak mantan isteri sedangkan tanggung jawab terhadap biaya dibebankan kepada pihak mantan suami. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut tentang penyelesaian kasus sengketa pemeliharaan anak setelah terjadinya
5
Annonimous, Prosedur Perceraian Pasangan Non http://www.tanyahukum. com/keluarga-dan-waris/24/ Diakses Oktober 2009
Muslim,
Universitas Sumatera Utara
22
perceraian. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “KAJIAN YURIDIS HAK PEMELIHARAAN ANAK SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus Terhadap Putusan Perdata No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan
uraian
latar
belakang
di
atas,
yang
menjadi
pokok
permasalahannya setelah dilakukan studi kasus pada putusan Pengadilan Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah faktor penyebab terjadinya perceraian dan akibat hukumnya terhadap anak ? 2. Bagaimanakah upaya yang ditempuh para pihak untuk memperoleh hak pemeliharaan (hak asuh) anak ? 3. Bagaimanakah dasar pertimbangan hukum yang diambil hakim dalam penetapan hak pemeliharaan (hak asuh) anak ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perceraian dan akibat hukumnya terhadap
anak
dalam
putusan
Pengadian
Negeri
Medan
No.
101/Pdt.G/2009/PN/MDN.
Universitas Sumatera Utara
23
2. Untuk mengetahui upaya yang ditempuh para pihak untuk memperoleh hak pemeliharaan (hak asuh) anak terhadap putusan Pengadian Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN 3. Untuk mengetahui
dasar pertimbangan hukum yang diambi hakim dalam
penetapan hak pemeliharaan (hak asuh) anak dalam putusan Pengadian Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN. D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perkawinan pada khususnya, terutama mengenai masalah faktor penyebab perceraian dan akibat hukum terhadap anak serta hak dan kewajiban dalam pemeliharaan anak. Di samping itu, juga dapat menjadi tambahan literatur dalam memperkaya khazanah dan kepustakaan serta perkembangan ilmu
hukum bidang keperdataan dan kenotariatan di Perguruan
Tinggi. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya kepada pasangan suami isteri maupun calon suami isteri, agar lebih
Universitas Sumatera Utara
24
mengetahui tentang hak dan kewajibannya dalam melangsungkan perkawinan, perceraian dan akibat hukum bagi anak dan keturunannya sekaligus pula memberi masukan kepada praktisi hukum yang terlibat dalam penyelesaian sengketa perkawinan dan proses perceraian. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui terdapat sebuah hasil penelitian dengan judul Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kelas I Medan) oleh Fransisca M.U.Bangun/037011028 dengan permasalahan yang dibahas, antara lain : 1) Bagaimana putusan pengadilan negeri menentukan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah terjadinya perceraian. 2) Upaya apakah yang dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi kewajiban terhadap anak sesuai putusan pengadilan 3) Apakah
yang
menyebabkan
kesulitan
dalam
menjalankan
putusan
pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian. Dari ketiga permasalahan tersebut terlihat bahwa ketiganya berbeda dengan permasalahan yang dijadikan rumusan masalah dalam penelitian ini. Dengan
Universitas Sumatera Utara
25
demikian, penelitian tentang “KAJIAN YURIDIS HAK PEMELIHARAAN ANAK SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANGUNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus Terhadap Putusan Perdata No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN)”
memang pernah
dilakukan namun dengan kasus yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya, artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena walaupun telah pernah dilakukan, namun dalam kasus yang berbeda dengan judul penelitian ini. F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”.6 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya”.7 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka 6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal . 6. J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, hal 203. 7
Universitas Sumatera Utara
26
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum. Apabila
dikaitkan
dengan
permasalahan
yang
menjadi
pokok
masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan isteri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang menimbulkan
hak dan
kewajiban bagi kedua pihak, seperti kewajiban untuk bertempat tinggal bersama, saling setia, kewajiban memberi nafkah lahir dan batin, hak waris dan lain sebagainya. Adanya suatu perkawinan tidak terlepas dari adanya aturan hukum dan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. “Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan”.8 Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah ”mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid),
kepastian
hukum
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 79
Remaja
8
kemanfaatan
(rechtsutiliteit)
dan
Universitas Sumatera Utara
27
(rechtszekerheid).”9 “Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada Tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice)”.10 Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of justice is to secure from injury).11 Menurut Satjipto Raharjo, Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.12 Kesemua
teori
yang
dipaparkan
di
atas
dijadikan
sebagai
pisau
analisis untuk mengkaji dan memahami lebih jauh tentang hak pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian dengan mengambil contoh satu putusan pengadilan. Kemudian memahami dalam objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 9 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 85 10 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244 11 Ibid., hal 244. 12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke – V, Bandung, 2000, hal. 53
Universitas Sumatera Utara
28
“Nikah
(kawin)
menurut
arti
asli
ialah
hubungan
seksual
tetapi
menurut majazi atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita”.13 Sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat tertentu disebut Perkawinan. Suatu kepercayaan yang diyakini oleh sebagian besar manusia di dunia, bahwa lahir, kawin dan mati adalah kodrat manusia. Perkawinan selalu membawa harapan akan kebahagiaan bagi para pihak yang terikat di dalam perkawinan dan tidak seorang pun di dunia ini mengharapkan perkawinan akan membawa petaka dalam hidupnya. Namun dapat saja terjadi keadaan yakni harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Ahmad Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan arti dari Q.S Yaasiin ayat 36 dan arti Q.S. al-Mu’minun ayat 27, bahwa “perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rahasia yang diberikan kepada lawan jenisnya”.14
13
Musfir Husain Aj-Jahrani, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, Gema Insani Press, Jakarta, Tahun 1996, hal. 13 14 Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Amzah, Jakarta, Tahun 2001, hal. 54
Universitas Sumatera Utara
29
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa, “perkawinan adalah merupakah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di bumi”.15 Menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam “perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah”.16 Apabila pengertian tersebut dibandingkan dengan yang tercantum dalam Pasal 1 UU Perkawinan, tidak terdapat perbedaan prinsipil, sebab pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan ialah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Salah satu asas yang dianut oleh Hukum Perkawinan Nasional adalah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini adalah sejalan dengan ajaran agama (khususnya agama Islam), karena kalau terjadi perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan yang dicita-citakan yaitu membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Berlainan halnya dengan putusnya perkawinan karena kematian salah satu pasangan suami isteri, sebab hal ini merupakan takdir dari Allah SWT, yang tidak dapat dielakkan. 15
Abdul Azis Dahlan, (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiyar Baru van Hoeve, Jakarta, Tahun 2006, hal. 156 16 Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, Tahun 2005, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
30
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya perkawinan lebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari
hidup
bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam suatu negara, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami istri. Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya itu tetap utuh sepanjang masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit perkawinan yang dibina dengan susah payah itu berakhir dengan suatu perceraian. Tidak selalu perkawinan yang dilaksanakan itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya secara baik tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih untuk membubarkan perkawinannya. Mengenai definisi perceraian, UU Perkawinan tidak memberikan perumusan tentang perceraian, namun tidaklah berarti bahwa undang-undang tersebut tidak memberikan kemungkinan akan terjadinya perceraian. Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Happy Marpaung memberikan perumusan perceraian sebagai suatu bentuk “pembubaran perkawinan ketika pihak-pihak masih hidup dengan alasan yang benar dan ditetapkan
Universitas Sumatera Utara
31
dengan suatu putusan pengadilan”.17 Abdul Manan mengutip dari H.A. Fuad Said yang menyatakan “perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami istri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau suami”.18 Berdasarkan
uraian
di
atas,
dapat
diketahui
bahwa
perceraian
merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh seorang suami atau istri dengan tujuan mengakhiri hubungan perkawinan ketika kedua suami istri masih hidup. Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa ketentuan hukum, baik
yang
tercantum dalam Undang-undang Perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) karakteristik, yaitu sebagai berikut : 1. Akibat Cerai Talak Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan Pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut : Pasal 149 KHI Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a) memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul;
17
Happy Marpaung, Masalah Perceraian, Toni, Bandung, 1993, hal. 15. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media Jakarta, 2005. hal. 443. 18
Universitas Sumatera Utara
32
b) memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau musyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c) melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla aldukhul; d) memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.19) 2. Akibat Gugat Cerai Gugat Cerai, yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami). Gugat cerai didasarkan hadis Nabi Muhammad Saw : “Wahai Rasulullah Saw. Saya yang mengandung anak ini, air susuku yang diminumnya, dan bersamaku tempat kumpulnya, ayahnya telah menceraikanku dan ia ingin memisahkannya dariku”, maka Rasulullah Saw bersabda: “Kamu lebih berhak (memeliharanya, selama kamu tidak menikah”. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim mensahihkannya).20) Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut : a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh : 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah; 19
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
20
Ibid., hal. 88.
hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
33
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6. wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya. c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula. d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d). f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Dari ketentuan undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa memelihara dan mendidik anak menjadi kewajiban bersama antara ibu dan bapak, berlaku sampai
Universitas Sumatera Utara
34
anak telah kawin atau dapat berdiri sendiri, meskipun akhirnya bapak ibu bersangkutan mengalami perceraian. Undang-undang tidak menegaskan tentang siapa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak. Dalam hal ini dapat dikembalikan kepada ketentuan undang-undang Pasal 31 ayat (3) yang menegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga, dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Undang-undang menentukan juga bahwa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak adalah suami (bapak anak). Dari sini dapat dilihat adanya persesuaian antara ketentuan undang-undang dengan ketentuan hukum Islam dalam hal nafkah anak. Kewajiban orang tua terhadap anak ini tidak terputus walaupun perkawinan yang dibina oleh kedua orang tua putus akibat perceraian. Dengan kata lain walaupun telah terjadi peceraian kewajiban dalam pemeliharaan anak tersebut tetap menjadi kewajiban kedua orang tua. 2. Konsepsi “Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian
yang
menjelaskan
hal-hal
yang
berkaitan
dengan
konsep
yang
digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
Universitas Sumatera Utara
35
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional”.21 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut : a) Sengketa adalah perselisihan yang timbul antara mantan suami isteri setelah terjadinya perceraian khususnya mengenai hak dan kewajiban pemeliharaan anak. b) Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami istri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau suami. c) Anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. d) Pemeliharaan anak adalah upaya yang dilakukan orang tua atau bagian dari keluarga untuk memberi kesempatan bagi anak untuk tumbuh dan berkembang serta belajar tingkah laku untuk perkembangannya
21
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Radja Grafindo Persada, Jakarta 1998,
hal 3.
Universitas Sumatera Utara
36
e) Hak pemeliharaan anak (Hadhanah) adalah jangka waktu (masa/term) untuk pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) yang timbul setelah kedua orang tua bercerai. f) Putusan Perdata No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN adalah salah satu putusan Pengadilan Negeri Medan yang memuat tentang penetapan hak pemeliharaan anak. G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian
deskriptif
analitis,
di
mana
melalui
penelitian
ini
akan
digambarkan, ditelaah dan dijelaskan serta dianalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hak pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian. Selanjutnya juga menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang proses terjadinya perceraian dan akibat hukumnya, pertimbangan hakim dalam menetapkan hak pemeliharaan anak dengan segala akibat hukumnya. “Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya”.22 Menggambarkan
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
37
masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah tersebut, sehingga dapat ditarik kesimpulan. Metode pendekatan yang dilakukan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum melalui studi kepustakaan yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang tumbuh dan hidup di masyarakat. Selain
itu,
dalam
penelitian
ini
juga
dilakukan
pendekatan
perundang-undangan dengan meneliti keberlakukan hukum antara satu aturan dengan aturan lainnya terutama dari segi hirarkhisnya maupun asas hukum yang berlaku terkait dengan, perkawinan, perceraian dan pemeliharaan anak. 2. TeknikPengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya 3. Bahan Penelitian Adapun bahan penelitian yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari ;
Universitas Sumatera Utara
38
1) norma atau kaidah dasar 2) peraturan dasar 3) peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hokum perkawinan 4) Putusan Pengadilan Negeri Medan b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan narasumber, yakni hakim yang mengadili perkara dan pihak yang mendapat hak pemeliharaan anak. 4. Alat Pengumpulan Data a. Studi dokumen, yaitu suatu alat pengumpulan data penelitian dengan melakukan analisa terhadap bahan kepustakaan.
Universitas Sumatera Utara
39
b. Pedoman wawancara adalah susunan daftar pertanyaan yang dijadikan pedoman dalam mewawancarai nara sumber. 5. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan secara analisis kualitatif. Terhadap data yang sudah terkumpul dapat dilakukan analisis kualitatif, dimana setelah data primer diperoleh dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya. Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan, dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Atas dasar pembahasan dan analisis ini diperoleh suatu kesimpulan terhadap penelitian yang dilakukan. Kesimpulan ini merupakan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara