BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seni dan kesenian sebagai sebuah hasil karya manusia merupakan ekspresi dari proses kehidupan manusia dengan konteks dan lingkungan sekitarnya. Joost Smiers (dalam Sutiyono, 2009) mengungkapkan bahwa kita cenderung menghargai gagasan bahwa seni menyajikan masa-masa terbaik dalam hidup, menyenangkan, menghibur, ataupun momen-momen yang menawarkan kesempatan unik untuk melakukan refleksi. Seni dipandang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya, karena melegakan, menghibur, mendukung aktivitas keseharian, melegitimasi acara, dan membuat romantis manusia. 1 Umar Kayam dalam tiga bukunya Seni Tradisi Masyarakat (1981), Tifa Budaya (1984), Perjalanan Budaya (1994) di antaranya mengulas seorang seniman seni lukis Nyoman Mandra dari Desa Sanging, Kamasan, Bali. Seniman tersebut benar-benar memberikan kesejukan bagi komunitas Banjar Sanging. Setelah sang seniman merampungkan satu episode lukisannya, masyarakat di sekitarnya selalu meluangkan waktunya untuk melihat lukisan sejenak dengan menganggukkan kepala sambil mengucapkan beh, beh, beh. Ucapan ini biasa dilakukan masyarakat yang merasa komunitasnya telah dipentaskan dalam satu periode lukisan yang tidak kontra, tetapi justru menjadi 1
Sutiyono, 2009. Eksistensi Seni Tradisi Di Era Global. Yogyakarta
1
2
bagian dari kehidupan masyarakat yang menyayangi kebudayaannya. Itulah gambaran bahwa kehadiran kebudayaan adalah mendukung kesejukan kehidupan manusia sehari-hari, dan bukan menjadi momok dari kehidupan manusia. Apa yang dilakukan masyarakat Bali dalam hal ini masyarakat Kamasan adalah mengapresiasi atau menghormat sekaligus menikmati estetika budaya yang menopang bagian dari kehidupannya. 2
Gambar 1. Penampilan jathil di perempatan lalu lintas.
2
Op.cit
3
Keberadaan reog Ponorogo secara historis tidak dapat dipisahkan dengan budaya gemblak. Gemblak adalah penari jathilan laki-laki dalam kesenian reog. Dahulu kehadiran gemblak dalam kesenian reog Ponorogo sebagai penari jathilan adalah untuk menarik minat masyarakat penontonnya. Seiring dengan perkembangan zaman penari jathilan yang dilakukan oleh penari laki-laki semakin lama semakin berkurang. Dalam perkembangannya tari jathilan yang dahulu hanya dipertunjukkan bersama dengan kesenian reog, sekarang sudah banyak kita jumpai tari jathilan ditarikan di luar rangkaian pementasan kesenian reog Ponorogo. Seorang penari jathilan sebagai media utama dalam pengungkapan gerak adalah tubuh. Gerak tari jathilan dapat digali dari gerak tari yang sudah ada, disesuaikan dengan gerakan dan iringannya. Busana yang dipergunakan oleh penari jathilan, menunjukkan busana seorang prajurit. Sementara itu secara struktur busana tari Jathilan antara lain: celana kepanjen, kain parang barong warna putih, bara-bara samir, sampur, epek, stagen cinde, baju hem lengan panjang, gulon ter, kalung kace, srempang, cakep, iket, binggel. Properti yang digunakan oleh penari jathilan adalah Eblek atau Jaranan yang dikenakan penari sebagai alat bantu waktu menari. Bentuk tata rias tari jathilan memakai tata rias wajah putra alus lanyap sesuai dengan peran prajurit, serta bentuk alisnya adalah alis gagah, memakai godheg (athi-athi) prajurit. Bentuk iringan tari jathilan hanya menggunakan iringan gendhing obyog dengan iringan pembuka gendhing panaragan, namun seiring perkembangan saat ini tari
4
jathilan menggunakan tiga macam gendhing, yaitu gendhing sampak dan gendhing obyog dengan iringan pembuka gendhing panaragan3. Di sekitarnya, pria dengan cemeti selalu mengawasi segala tindakan para kuda. Mereka digambarkan sebagai tokoh yang lebih sedikit jumlahnya, tidak urakan, dan memiliki otoritas. Kesan arogan dan datar tanpa basa basi dimunculkan oleh dominasi warna merah menyala dan hitam pada riasan wajah dan pakaiannya. Tokoh ini bergerak memutar mengelilingi penari kuda di tengah arena yang “keasyikan” mengikuti musik. Sesekali melecutkan cemeti untuk memperingatkan penari kuda jika mereka bertindak “kebablasan”. Sebagai cerminan bahwa kesenian ini berasal dan berkembang di kalangan bawah, kesan minimal juga terpancar dari kelompok musik pengiringnya. Jika diperhatikan, bunyi-bunyian yang dihasilkan terasa datar dan monoton. Namun itu bukan tanpa maksud. Selain ingin menghadirkan kesan magis, hal itu melambangkan keseharian kaum pekerja kelas bawah yang dipenuhi rutinitas. Jenis seni kuda lumping banyak sekali dijumpai di daerah Jawa Tengah dan DIY. Selain Jathilan terdapat nama-nama lain seperti Incling di Kulonprogo, Ogleg di Bantul, Reog di Blora, Ebeg di Kebumen, Jaranann Pitik walik di Magelang, Jelantur di Boyolali, dan sebagainya. Semua jenis kesenian kudalumping ini pada klimaks pertunjukannya terjadi in trance (ndadi, kesurupan). Pada peristiwa ini, para penari kemasukan roh, sehingga gerak tarinya mengalami kekuatan yang luar biasa, sampai pada akhirnya penari tidak sadarkan 3
Op. cit, Bouvier, Helene. 2002
5
diri, dan akhirnya terhuyung-huyung jatuh ke tanah dalam keadaan pingsan. Ketika dalam keadaan ndadi, para penari jathilan sering diberi makan padi, rumput, air tawar dalam ember. Jenis makanan ini mirip dengan makanan kuda. Selain itu caranya makan para penari juga meniru seperti layaknya kuda sedang makan. Penari dalam hal ini bertingkah laku seperti binatang kuda. Masyarakat sering mengatakan bahwa penari jathilan tersebut sedang kerasukan roh kuda. Hal ini tidak berbeda dengan Sanghyang Jaran di Bali, sebuah pertunjukan rakyat yang penarinya juga kemasukan roh kuda. Memperhatikan dua fenomena pertunjukan rakyat yang hampir sama, dapat disinyalir bahwa keduanya (Sanghyang Jaran dan Jathilan) kemungkinan besar memiliki fungsi seni yang sama, yakni sebagai tari upacara dalam rangka mengundang binatang totem untuk melindungi masyarakat, dengan demikian seni tradisional ini memiliki nilai magis. Seperti dalam pertunjukan jathilan para pemain juga mengalami kondisi in trances (kesurupan/ndadi). Kondisi ini akan kembali normal bila dibacakan mantra-mantra yang telah menjadi syariatnya yang dibacakan oleh pawang atau dukunnya.4 Masyarakat pendukung budaya seni jathilan tersebut dalam pandangan Peursen merupakan kelompok masyarakat mitis, yaitu masyarakat yang dalam kehidupannya masih dikuasai oleh kekuatan supranatural di sekitarnya. Kelompok 4
Soedarsono, RM. 1985. “Pola Kehidupan Seni Pertunjukan Masyarakat Pedesaan” dalam Surjo, Djoko (et. al.). Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan SosialEkonomi dan Budaya. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
6
masyarakat mitis ini juga mengingatkan kita pada kelompok mayarakat abangan di daerah pedesaan, seperti ditandaskan Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java.5 Saat melakukan penelitian, penulis sempat ikut dalam kelompok jathil di perempatan Kentungan. Peneliti mendengar suara cetar ceter, sekilas mirip petasan banting. Beberapa saat kemudian, muncul seorang laki-laki berpakaian serba hitam dengan ikat kepala hitam, membawa cambuk di tangan kanannya. Ia berjalan menghampiri pengendara motor yang berhenti saat lampu merah di perempatan Kentungan menyala. Setelah melecutkan cambuk, dia menyodorkan keranjang plastik ke para pengendara motor. Para pengendara motor yang melihat atraksi jathil tersebut memberikan uang pecahan 500 rupiah dari kantong bajunya, namun sempat bergumam, "tidak main kok minta receh!" Tanpa menghiraukan keluhan si pemberi receh, laki-laki itu pun berlalu. Di seberang jalan, terlihat seorang anak laki-laki usia belasan tahun berpakaian hitam dan berikat kepala, menaiki kuda lumping, diiringi dua orang pemuda berpakaian serupa, yang membawa pengeras suara yang disetel musik pengiring kuda lumping. Anak kecil itu, juga membawa keranjang dan menyodorkannya kepada para pengendara motor lainnya. Biasanya, kelompok kesenian kuda lumping terdiri atas banyak orang, seringkali lebih dari sepuluh. Mereka membawa peralatan gamelan seperti gong, kenong, kendang dan 5
Peursen, Van CV. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
7
slompret. Berbagai atraksi mengiringi pentas kuda lumping (jathil), dan yang paling ditunggu, tentu saja, saat para penari jathil berjoget. Tidak ketinggalan, suara lecutan cambuk rotan panjang yang menambah semangat para penari jathil. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang jathil di perempatan lampu lalu lintas. Penulis memilih penelitian di perempatan lampu merah Kentungan, karena di perempatan tersebut merupakan perempatan yang banyak pengendara motor. Hal tersebut didukung karena lokasi Kentungan merupakan kawasan kota yang banyak terdapat kampus, salah satunya kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, minat penulis lebih ke arah perspektif pemain jathil di suatu perempatan terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi, dan interaksi yang terjadi di dalam komunitas6 tersebut. Pertanyaan mendasar dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana terjadinya transformasi budaya jathilan menjadi di jalanan? 2. Mengapa perempatan Kentungan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi arena atraksi jathilan?
6
Komunitas berarti kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di suatu daerah tertentu: masyarakat (KBBI, 1990:454); sedangkan Koentjaraningrat lebih menekankan aspek lokasi hidup dan wilayah (1990:160).
8
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara khusus bertujuan mengungkapkan persepsi para pejathil tentang dunianya di perempatan lampu lalu lintas terhadap pemenuhan kebutuhan hidup secara ekonomi, sehingga diperoleh pengertian mendalam akan hal itu. Tujuan berikutnya, penelitian ini berusaha mendeskripsikan interaksi yang terjadi pada perempatan tersebut.
D. Kerangka Berpikir Aktivitas budaya yang dikerjakan oleh kelompok seni kuda lumping di daerah perengan Merapi Yogyakarta, yang sering dikenal dengan seni Jathilan. Ketika ia dipentaskan masyarakat dengan berbagai perhelatan, maka masyarakat di sekitarnya juga ikut larut menikmati pentas jathilan. Masyarakat merasa ada yang kurang atau tidak mantab dalam hatinya, ketika mendengar musik jathilan dari kejauhan tidak segera datang ke tempat pentas. Meskipun hanya melihat beberapa saat, orang desa merasa lega dan tersenyum simpul menandakan bahwa kepemilikannya (kagungan) masih memberikan seteguk kesejukan bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Apa yang dilakukan masyarakat tersebut adalah konfirmasi solidaritas (istilah Umar Kayam, 1984). Masyarakat merasa handarbeni (memiliki) untuk berkumpul bersama menengok kesenian yang menyangga kebudayaan masyarakat. Mereka seolah olah ingin mengecek, apakah terjadi perubahan dalam kesenian itu. Jika terdapat perubahan tentu akan mengganggu kehidupan mereka. Tetapi apabila masih
9
memberikan kontribusi bagi mereka, maka masyarakat meng-ya-kan dengan mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda setuju atas penampilan yang dilihatnya. Dengan demikian kehadiran kesenian itu karena didukung oleh masyarakat di sekitarnya, karena memberikan kontribusi kepada mereka. Itulah yang dimaksud bahwa kebudayaan masih menyatu dengan kehidupan manusia.7 Dukungan masyarakat terhadap sebuah sosok kesenian itu juga bersifat menyeluruh. Misalnya masyarakat juga ikut mendukung kelestariannya dengan menyediakan anggota keluarga ikut berpartisipasi termasuk regenerasi kesenian. Di wilayah pedesaan, usaha untuk mewariskan pengetahuan tentang seni tradisional berdasarkan unsur yang amat penting adalah membiasakan orang sejak kecil menghadiri segala bentuk aktivitas kesenian. Menonton atau mendengarkan kesenian pasti akan menimbulkan peniruan, yang berakibat pada penggalakan dan penyempurnaan. Tidak hanya sejak kecil saja, dalam melakukan penghayatan tanpa disengaja, tidak sadar, tidak permanen, dan tidak selektif itu tidak membedakan usia, jenis kelamin, dan status sosial.8 Pertunjukan jathilan merupakan pertunjukan rakyat yang mengambarkan kelompok orang pria atau wanita sedang naik kuda dengan membawa senjata yang dipergunakan untuk latihan atau gladi perang para prajurit. kuda yang dinaiki adalah kuda tiruan yang terbuat dari bambu, disebut jaran kepang atau kuda 7
Radar Tanjung Bauna. 2009. “Melacak Kontinum Kebijakan Kebudayaan di Indonesia”. Makalah Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Kebudayaan dan Studium General Sekolah Aktivis di Auditorium UNY, 4 Juni. 8 Bouvier, Helene. 2002. Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
10
lumping. Jumlah penari jathilan seluruhnya bisa mencapai 30-an orang, meliputi tokoh raja, prajurit, raksasa, hanoman, penthul, dan barongan. Khusus penari utama yang membawa kuda lumping sekitar 10 orang atau 5 pasangan.9 Bentuk pertunjukan jathilan diekspresikan melalui gerak tari disertai dengan properti kuda kepang dengan diiringi oleh musik gamelan sederhana seperti bendhe, gong, dan kendhang. Jenis kesenian ini telah disebut-sebut oleh sarjana Belanda pecinta kebudayan Jawa yang berhasil mendeskripsikan seni pertunjukan rakyat Jawa tahun 1938, yaitu Th. Pigeaud dalam bukunya Javaanse Volksvertoningen. Dalam bukunya setebal 545 halaman itu di antaranya memberikan berita tentang bentuk-bentuk seni pertunjukan rakyat yang sangat lengkap, antara lain yang cukup banyak dibahas adalah seni kuda lumping.10 Pada awal perkembangannya, satu kelompok penari jathilan terdiri dari dua peran, yaitu penari kuda dan pria dengan cemeti. Meski begitu, seni jathilan yang dimainkan dalam berbagai pertunjukan resmi saat ini sudah mengadopsi beberapa perubahan mendasar pada kostum, jumlah penari, maupun detil gerakannya. Jalan cerita utama dalam seni jathilan merefleksikan berbagai problematika yang timbul dalam hubungan antara masyarakat kelas atas dan kaum pekerja. Pada klimaks pertunjukan ini, tidak jarang mereka terlihat kerasukan. Inilah fase yang ditunggu-tunggu para penonton. Saat inilah para penari kuda 9
Sutiyono, 2009. Eksistensi Seni Tradisi Di Era Global. Yogyakarta Op.Cit
10
11
mempertunjukkan atraksi ala Debus Banten. Mereka seperti diluar kesadaran saat makan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi mereka, memecahkan tempurungnya dengan dahi, lalu meminum airnya. Tak jarang, mereka juga makan bunga-bunga persembahan dan minum air mentah dari ember seperti layaknya seekor kuda. Di akhir pertunjukan, alunan gamelan kembali ke tempo semula seiring sang pria bercemeti memainkan fungsinya sebagai penyembuh. Dia mendekap orang yang kesurupan, membaca mantra-mantra, dan menyemburnya dengan air. Seketika si penari kesurupan mengejang, lalu kembali sadar seolah tidak tahu kegilaan apa yang dia lakukan sebelumnya. Perempatan sebagai pertemuan empat arah diatur dengan lampu pengatur lalu lintas, sehingga pengendara akan berhenti ketika lampu merah menyala. Kesempatan ini digunakan oleh jathil untuk beraksi, hal ini juga dilakukan oleh berbagai profesi yang ada di perempatan tersebut. Para pelaku profesi pun mendekati kendaraan yang berhenti dan sekedar menawarkan dagangan atau meminta uang dari pengendara. Perempatan menjadi ruang interaksi antar manusia. Jathil di suatu perempatan tidak mungkin mengacuhkan jathil lain yang juga mencari penghasilan di sana. Selain itu, interaksi juga diperlukan untuk membina hubungan yang harmoni dengan profesi lain di suatu perempatan. Adapun faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam krisis ekonomi adalah banyaknya pengangguran dan sulitnya mencari pekerjaan. Seseorang bebas
12
memperoleh rezeki sebanyak-banyaknya tanpa diikat oleh suatu peraturan. Termasuk dalam mengeksploitasi kesenian budaya jathil. Helbroner (1991: 28) mengungkapkan, kekayaan merupakan hak sosial yang tidak terpisahkan dari kekuasaan. Pada sisi lain, industrialisme kesenian telah banyak mendorong meningkatkan usaha dengan melestarikan budaya yang dianggap dapat memperbaiki kehidupan masyarakat. Meningkatnya industrialisasi berarti dianggap meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Dalam kesenian, hanya produk-produk seni yang biasanya berorientasi profit (laku dijual) yang dapat diukur berdasarkan kategori ekonomis, dan dalam bentuk kelompok seni.
E. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di perempatan Kentungan, Sleman, Yogyakarta. Peneliti memilih penelitian di perempatatan lampu merah Kentungan, karena di perempatan tersebut merupakan perempatan yang banyak pengendara motor. Hal tersebut terdukung karena lokasi Kentungan merupakan kawasan kota yang strategis, serta merupakan jalur utara menuju ke bagian utara kota. 2.
Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di mulai bulan Oktober 2011 sampai
dengan bulan Agustus 2012 pada waktu siang hari dari mulai jam 11.00 WIB
13
sampai dengan Jam 15.00 WIB. Peneliti memilih pada jam tersebut dikarenakan pada jam tersebut para pemain jathil beratraksi di perempatan Kentungan dalam kondisi yang sangat padat kendaraan bermotor. 3. Informan Menurut Malinowski (1922) tentang pentingnya melihat dunia dari sudut pandang pelakunya (dalam Eriksen, 2004:75), maka jika peneliti ingin memahami suatu hal, akan lebih baik untuk mengetahuinya dari sudut pandang orang yang melakukan suatu kegiatan. Hal ini, tentu saja seorang jathil yang menjadi fokus utama peneliti untuk menjadi informan primer dalam penelitian ini adalah kelompok jathil Pak Paijo, sedangkan profesi lain yang ada di sana tetap menjadi narasumber peneliti, untuk memahami perempatan dan mengungkapkan interaksi atau “pergaulan”11 antara mereka di suatu perempatan. Informan seperti mereka dapat digolongkan sebagai informan sekunder dalam penelitian ini. Kedua kelompok ini sama pentingnya dalam sebuah penelitian. Pengumpulan data diperoleh peneliti melalui observasi partisipasi dan wawancara mendalam dengan informan yang terlibat dalam kelompok jathilan tersebut. Peneliti awalnya hanya menyaksikan mereka tampil di perempatan, lalu untuk mengetahui penjelasan yang lebih banyak mengenai cara kerja mereka di sana, peneliti mengajukan pertanyaan saat kelompok jathilan sedang beristirahat pada siang hari untuk makan dan sholat. 11
Op. Cit., hal. 161
14
Kesulitan juga dirasakan oleh peneliti dalam mencari informasi, maka untuk memperoleh data yang lebih mendalam dicari dengan jalan melakukan aktivitas seperti yang dilakukan oleh para informan. Aktivitas yang dilakukan adalah ikut mementaskan kesenian jathilan, dengan penulis bertugas sebagai penabuh bendi atau pengumpul uang dari pengendara di perempatan tersebut. Pengelompokan antara primer dan sekunder dalam informan penelitian, terjadi juga di kelompok data yang telah ditemukan di lokasi penelitian. Data yang didapat berupa data etnografis, “percakapan” sms serta beberapa pendapat dengan orang lain mengenai topik penelitian ini. Data primer dari penelitian ini yang berupa data etnografis tersebut, diperoleh melalui observasi, partisipasi observasi dan wawancara mendalam. Pendapat dengan narasumber lain dan diskusi dengan dosen, termasuk juga dengan mahasiswa, digolongkan sebagai data sekunder. Pengelompokan ini terjadi karena mempertimbangkan bahwa yang bertindak sebagai ego ialah jathil, maka data yang didapatkan langsung dari
mereka dikelompokan pada data
primer, sedangkan yang lain dikelompokan penulis sebagai data sekunder.