BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masyarakat selalu berubah. Perubahan ini dipengaruhi oleh manusia-
manusia yang melakukan praktik-praktik sosial yang terjadi di sepanjang ruang dan waktu. Hal ini yang mendasari pemikiran Anthony Giddens dalam mengembangkan teori Strukturasi. Menurut Giddens, Aktivitas-aktivitas sosial manusia, seperti halnya benda-benda alam yang berkembang biak sendiri, saling terkait satu sama lain. Aktivitasaktivitas sosial itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terusmenerus diciptakan oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor (2010a: 3). Dari kutipan diatas, dapat dilihat pendapat Giddens tentang masyarakat. Masyarakat adalah sebuah sistem sosial yang diciptakan oleh para aktor yang ada di dalamnya, yaitu manusia. Masyarakat diciptakan oleh sekumpulan manusia secara berkesinambungan melalui interaksi-interaksi sosial yang mereka lakukan. Maka dapat dikatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak lepas dari peran serta manusia yang terlibat di dalamnya. Giddens juga menyatakan bahwa baik masyarakat sebagai sistem sosial tempat manusia mewujudkan struktur yang dimilikinya maupun manusia sebagai agen memiliki kedudukan yang sama penting dalam proses sosial. Keduanya merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi. Hal ini tidak seperti dalam teori-teori strukturalisme dan fungsionalisme yang mengutamakan struktur daripada tindakan yang dilakukan manusia, atau teori-teori sosiologi interpretatif
1
2
yang lebih mengutamakan tindakan dan makna daripada struktur. Untuk menjembatani pemikiran yang berkembang dari kedua sisi teori tersebut, maka Giddens mengembangkan sebuah teori yang disebutnya sebagai teori Strukturasi. Dalam teori Strukturasi, Giddens mengungkapkan bahwa struktur dan agen merupakan dua komponen yang saling berkaitan. Konsep yang disebut dengan dualitas struktur ini mengandung arti bahwa masyarakat merupakan tempat terjadinya interaksi sosial, dan pada saat yang sama, juga menjadi sebuah hasil dari praktik-praktik sosial yang terjadi secara berulang-ulang dan terus menerus. Hal ini dapat berarti bahwa manusia sebagai agen dapat membentuk masyarakat, tetapi pada saat yang sama pula masyarakat sedang dibentuk oleh manusia yang hidup di dalamnya melalui tindakan-tindakan yang berulang. Salah satu gagasan dalam dualitas struktur ini adalah bahwa masyarakat sebagai sistem sosial memiliki kemampuan membatasi tetapi pada saat yang sama juga memiliki kemampuan membolehkan (Giddens, 2010a: 40-41). Dengan kondisi ini, maka perubahan dalam masyarakat dimungkinkan terjadi. Terjadinya perubahan di masyarakat memiliki beberapa dampak, baik yang mengarah kepada perbaikan maupun yang justru menimbulkan perpecahan atau konflik. Baik perubahan yang mengarah kepada perbaikan maupun perubahan yang menimbulkan perpecahan atau konflik akan menjadi suatu masalah bagi masyarakat. Salah satu sebab perubahan yang menimbulkan konflik adalah perbedaan cara pandang atau nilai-nilai dalam sistem sosial di masyarakat. Adanya sebagian anggota masyarakat yang menerima dan sebagian lain yang menolak merupakan sebab perpecahan yang ada dalam masyarakat. Ini
3
merupakan hal yang sangat wajar terjadi dalam sudut pandang teori Strukturasi, karena adanya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sebagian agen yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dipahami oleh agen lain dalam sebuah sistem. Salah satu perubahan yang menimbulkan masalah di masyarakat adalah perubahan yang berkaitan dengan masalah ras. Perbedaan dalam cara pandang antar ras ini menimbulkan rasisme dalam masyarakat. Dalam bukunya yang berjudul Sociology, Anthony Giddens menyatakan bahwa rasisme adalah “prejudice based on socially significant physical distinctions”(2006: 493). Rasisme merupakan sebuah permasalahan sosial yang masih dapat ditemui dimanapun. Diakui atau tidak, hampir di seluruh belahan dunia masih terdapat rasisme, baik dalam skala kecil maupun besar. Bahkan di negara besar seperti Amerika Serikat, rasisme belum dapat dihapuskan. Fakta bahwa presiden Amerika Serikat berasal dari keturunan Afrika tidak berarti menghapuskan rasisme di negara tersebut. Rasisme di Amerika telah terjadi sejak beberapa abad yang lalu. Hal ini karena adanya doktrin tentang supremasi kulit putih para leluhur mereka. Gagasan utama dari doktrin tersebut berbunyi sebagai berikut, “…all members of the white race are superior to or ‘better than’ all the members of the nonwhite races” (McLemore, 1983: 83). Gagasan ini yang mendasari tindakan-tindakan superioritas ras kulit putih di Amerika terhadap ras lain yang dianggap sebagai kaum minoritas. Adapun diantara yang termasuk dalam kategori minoritas adalah ras atau suku bangsa selain kulit putih yang berasal dari bangsawan Inggris dan Prancis, yaitu suku bangsa Indian yang merupakan penduduk asli benua Amerika,
4
imigran dari negara-negara koloni, imigran dari Asia, dan imigran yang berkulit hitam dari benua Afrika. Rasisme yang terlihat paling menonjol ialah antara kulit putih dan kulit hitam. Sejak jaman perbudakan, prasangka ras diantara kedua kelompok ini terjadi sangat kuat. Kelompok kulit hitam yang diangkut dari Afrika sebagai budak menjadi kaum yang inferior dan dianggap sebagai properti yang dimiliki oleh warga kulit putih. Perbedaan cara pandang antara kelompok kulit putih dan kelompok kulit hitam dalam menjalankan aktivitas sehari-hari (day to day life) merupakan salah satu alasan terjadinya prasangka ras diantara kedua kelompok. Menurut tatanan kehidupan kelompok kulit putih, apa yang dilakukan oleh kelompok kulit hitam tersebut dianggap tidak beradab dan tidak pantas dilakukan oleh manusia, sehingga mereka berusaha untuk ‘membantu’ kelompok kulit hitam untuk hidup dengan layak. Pada tanggal 1 Januari 1863, presiden Lincoln menyerukan sebuah Emancipation Proclamation, yang menyerukan pembebasan para budak, khususnya di daerah Selatan.
Namun, hal ini mendapatkan tentangan dari
kelompok kulit putih. Seiring dengan berjalannya waktu, pertentangan antara kelompok yang setuju dengan pembebasan budak dan yang tidak setuju semakin meluas sehingga menimbulkan perpecahan di Amerika. Perbedaan pendapat ini bahkan menjadi salah satu sebab terjadinya perang saudara di Amerika Serikat (Civil War).Beberapa wilayah di daerah Selatan bahkan membentuk kelompokkelompok yang menentang pembebasan kelompok kulit hitam. Salah satu kelompok yang terbesar adalah Ku Klux Klan. Mereka melakukan tindakan-
5
tindakan yang radikal untuk menentang pembebasan budak tersebut. Berbagai tindakan teror mereka lakukan terhadap warga kulit hitam untuk menghalangui mereka mendapatkan haknya, termasuk pembunuhan terhadap warga kulit hitam. Dalam buku yang berjudul The United States Since 1865 disebutkan bahwa “The Ku Klux Klan was the foremost organization developed to keep the Negroes ‘in their place’ and convince them that they would be wiser not to try to exercise their newly won right to vote” (Dulles, 1959: 26-27). Setelah Perang Saudara berakhir, banyak keturunan Afrika di Amerika yang terbebaskan dari perbudakan. Dengan pembebasan ini maka mereka berusaha untuk mendapatkan kondisi hidup yang lebih baik. Mereka mulai mencari pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. Hal ini direspon oleh kelompok kulit putih dengan mengadakan pemisahan dalam hampir semua aspek kehidupan mereka. Mulai dari pekerjaan, tempat tinggal, hingga fasilitas umum. Pemisahan semacam ini disebut sebagai segregasi. Kondisi tersebut dituangkan dalam sebuah undang-undang yang membatasi hak-hak warga kulit hitam yang disebut sebagai Jim Crow Laws. Dalam kondisi tersegregasi seperti yang telah disebutkan diatas, terdapat beberapa kejadian yang timbul dalam hubungan antara kulit putih dan kulit hitam. Beberapa diantaranya adalah kemungkinan seorang kulit hitam untuk memiliki usaha sendiri, bekerja di wilayah pemerintahan dan pernikahan antara kulit putih dan kulit hitam (miscegenation). Fenomena yang terjadi di tahun 1920an ini ditangkap oleh Eugene O’Neill. Ia menuangkannya ke dalam drama-drama yang ditulisnya.
6
Eugene O’Neill adalah seorang penulis drama Amerika berkulit putih keturunan Irlandia. Ia dilahirkan di New York pada tanggal 16 Oktober 1888 di sebuah kamar hotel. Ayahnya, James O’Neill, adalah seorang pemain teater yang terkenal dengan perannya dalam sebuah melodrama yang berjudul The Count of Monte Christo. Dengan profesi orang tuanya di dunia teater, maka O’Neill harus berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Amerika bersama keluarganya. Kehidupan yang berpindah-pindah ini membuat O’Neil dapat melihat dan mengalami perbedaan yang terjadi di wilayah Amerika yang dikunjunginya. Lingkungan teater kemudian membuat O’Neill memutuskan untuk menjadi seorang penulis drama dan mengambil sebuah kursus penulisan drama di Harvard (Fisher, 2007: 235). O’Neill menulis lebih dari lima puluh drama sejak tahun 1913 hingga tahun 1943. Seluruh karya Eugene O’Neill dikumpulkan oleh Travis Bogard dan dibagi menjadi tiga volume. Volume pertama yaitu Eugene O’Neill: Complete Plays 1913–1920, yang terdiri dari karya-karya awal O’Neill. Volume ini memuat drama-drama satu babak (one act play) yang ditulis oleh O’Neill dengan tema yang berkisar antara kehidupan para pelaut. Volume kedua adalah Eugene O’Neill: Complete Plays 1920–1931, yang didominasi oleh eksperimen O’Neill dengan bahasa dan tata panggung yang mendukung tema dalam dramanya. Volume terakhir adalah Eugene O’Neill: Complete Plays 1932–1943 yang memuat karya-karya terakhir O’Neill yang belum pernah dipentaskan. Dari sekian banyak karya yang dihasilkannya, O’Neill hanya menulis satu drama komedi yang diberi judul Ah! Wilderness yang ditulis pada tahun 1932.
7
Selama karirnya, Eugene O’Neill pernah mendapatkan empat penghargaan Pulitzer Prize. Melalui www.pulitzer.org, dapat dilihat empat penghargaan yang diterima oleh O’Neill. Penghargaan pertama diterimanya untuk drama yang berjudul Beyond the Horizon yang dipentaskan pada tahun 1920. Drama ini merupakan drama pertama O’Neill yang dipentaskan di Broadway dan berkisah tentang perjalanan seorang laki-laki muda yang meninggalkan rumah dan berkelana untuk mendapatkan pengalaman hidup. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1922, O’Neill kembali menerima penghargaan yang sama untuk drama Anna Christie. Drama ini berkisah tentang seorang pelacur yang kemudian jatuh cinta dan ingin mengubah hidupnya tetapi selalu menemui kesulitan dalam usahanya. Penghargaan Pulitzer yang ketiga diterima O’Neill pada tahun 1928 untuk Strange Interlude yang bercerita tentang kehidupan seorang wanita yang kehilangan tunangannya yang gugur pada Perang Dunia I. Pulitzer keempat diterima O’Neill untuk Long Day’s Journey into Night pada tahun 1957. Drama ini disebut-sebut sebagai sebuah drama semi-biografi atas kehidupan O’Neil sendiri yang menunjukkan kehidupan sebuah keluarga dimana ayah dan dua anak laki-lakinya merupakan pecandu alcohol dan seorang ibu yang mempunyai ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang (Drabble, 2000: 742). Selain empat penghargaan Pulitzer tersebut, penghargaan Nobel juga diterima oleh O’Neill pada tahun 1936 untuk bidang sastra. Ia mendapatkan penghargaan ini "for the power, honesty and deep-felt emotions of his dramatic works,
which
embody
an
original
concept
of
tragedy"(http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/1936/). Para
8
kritikus di era tersebut beranggapan bahwa O’Neill telah dapat merepresentasikan konsep tragedi dalam drama-dramanya. Salah satu karyanya yang memotret kehidupan antara kulit putih dan kulit hitam di Amerika adalah dramanya yang berjudul All God’s Chillun Got Wings. Dalam karya ini, O’Neill mengisahkan tentang kehidupan di sebuah kota yang terdiri dari satu sisi daerah yang ditinggali oleh orang-orang kulit hitam dan satu sisi lain yang ditinggali oleh orang-orang kulit putih. Meskipun demikian, pemisahan daerah yang sangat jelas ini menyisakan satu sudut kecil tempat bertemunya anak-anak dari kedua sisi untuk bermain bersama. Seiring dengan berjalannya waktu, anak-anak dari kedua sisi kota ini mulai mengikuti pemisahan yang dibuat oleh masyarakat kota tersebut. Hal ini dapat diamati dari interaksi yang terjadi diantara para tokoh dalam drama ini mulai usia kanak-kanak hingga mereka beranjak remaja. Di awal drama digambarkan interaksi para tokoh semasa mereka masih kanak-kanak, seperti kutipan berikut “On the sidewalk are eight children, four boys and four girls. Two of each sex are white, two black. They are playing marbles” (O’Neill, 1970: 193). Dari kutipan tersebut nampak bahwa anak-anak tersebut dapat berinteraksi dengan baik. Mereka dapat bermain bersama tanpa memperdulikan perbedaan fisik diantara mereka. Anak-anak tersebut belum terpengaruh oleh pemisahan yang ada di lingkungan mereka. Namun, interaksi ini berubah ketika mereka beranjak remaja. MICKEY: […] She hates de sight of a coon. JIM [in agony]: I—I know—but once she didn’t mind—we were kids together— MICKEY: Aw, ferget dat! Dis is now! (O’Neill, 1970: 201)
9
Kutipan diatas menunjukkan bagaimana Mickey menekankan bahwa hubungan pertemanan mereka dimasa kecil tidak memiliki arti apa-apa baginya sekarang. Bagi Mickey, Jim yang berkulit hitam bukanlah teman berinteraksi seperti ketika mereka masih kanak-kanak. Perubahan sikap Mickey tersebut dipengaruhi oleh lingkungan yang membentuknya. Konflik selanjutnya timbul ketika Jim yang berkulit hitam menikahi Ella, teman masa kecilnya yang berkulit putih. Hal ini membuat kehidupan keduanya berubah. Untuk menghindari tekanan-tekanan yang berasal dari lingkungan tempat tinggal mereka, Jim dan Ella memutuskan untuk meninggalkan Amerika dan tinggal di Prancis, yang pada saat itu dianggap sebagai tempat yang dapat menerima keberadaan mereka sebagai pasangan berbeda ras. Namun kondisi di Prancis justru memicu ketakutan-ketakutan pada Ella yang menganggap bahwa dibalik keramahan orang-orang yang mereka temui di sana, mereka sebenarnya tetap tidak dapat menerima perbedaan ras antara Jim dan Ella. Dengan adanya tekanan-tekanan tersebut, pasangan ini memutuskan untuk kembali ke Amerika dan menghadapi masalah perbedaan yang ada pada diri mereka. Mereka menyadari bahwa meninggalkan Amerika merupakan sebuah kesalahan. Sekuat apapun mereka bertahan untuk bersama, selalu ada kecemasankecemasan yang muncul pada pasangan ini. Hal ini disebabkan oleh sistem sosial masyarakat tempat mereka berada. Mereka memiliki struktur yang telah tertanam dalam diri mereka sejak kecil bahwa apapun yang mereka katakan dan lakukan untuk menyamakan diri, mereka tetap berbeda. Perbedaan tersebut tidak dapat
10
diterima baik oleh mereka sendiri maupun oleh lingkungan tempat mereka tinggal. Drama yang berkisah tentang pernikahan campuran ini telah memicu kontroversi bahkan sebelum dipentaskan. Drama ini dapat memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat Amerika di tahun 1920an. Kondisi masyarakat yang tersegregasi dan dampak-dampak yang timbul terhadap masing-masing kelompok masyarakat dapat ditemui dalam drama ini. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para agen dalam struktur semacam ini sangat menarik untuk diteliti, karena persoalan segregasi seperti yang dituangkan O’Neill dalam kisah ini masih banyak terjadi di kehidupan masyarakat, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Drama ini menunjukkan bagaimana sebuah struktur sangat berperan besar dalam menentukan kehidupan seorang individu. Sebaliknya, individu yang tinggal dalam sebuah sistem sosial tertentu berpotensi untuk mengubah struktur itu sendiri. Oleh karena itu, telaah terhadap drama All God’s Chillun Got Wings karya Eugene O’Neill ini dalam perspektif Strukturasi Giddens dianggap perlu dilakukan untuk mendapatkan hubungan tentang kondisi masyarakat yang melatarbelakangi penulisan karya oleh pengarang dan bagaimana tindakantindakan yang dilakukan oleh agen-agen di dalam struktur tersebut untuk menghadapinya.
11
1.2
Rumusan Masalah Dalam setiap kehidupan sosial, terdapat perubahan-perubahan yang dapat
diterima dengan baik oleh para pelaku sosial. Namun seringkali perubahanperubahan tersebut justru mengarah kepada konflik. Hal ini karena komponen struktur dalam sistem sosial di masyarakat tidak sejalan dengan tindakan yang dilakukan oleh agen atau individu di dalam masyarakat tersebut. Konflik yang terjadi sebagai akibat dari perubahan struktur yang dilakukan agen dalam sistem sosial ini dapat diteliti dalam drama yang berjudul All God’s Chillun Got Wings karya Eugene O’Neill. Dengan melihat uraian diatas, ada beberapa hal yang dapat diteliti, yaitu: 1.
Bagaimana sistem sosial masyarakat yang membentuk struktur O’Neill dan bagaimana peran dualitas struktur O’Neill sebagai agen (pengarang) di masyarakat pada masanya?
2.
Bagaimana kesadaran dan tindakan agen (tokoh) dalam All God’s Chillun Got Wings karya O’Neill untuk mengubah struktur dapat mencerminkan masyarakat pada masa itu?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yang pertama adalah untuk
mengetahui sistem sosial masyarakat yang membentuk struktur Eugene O’Neill dan peran dualitas struktur O’Neill melalui drama All God’s Chillun Got Wingsdi masyarakat pada masanya dengan sudut pandang teori Strukturasi Anthony Giddens. Tujuan kedua adalah untuk menjelaskan bagaimana tindakan tokoh
12
untuk mengubah struktur dapat mencerminkan masyarakat pada masa itu seperti yang ditampilkan oleh Eugene O’Neill dalam drama All God’s Chillun Got Wings dengan sudut pandang teori Strukturasi.
1.4
Tinjauan Pustaka Berdasarkan penelusuran terhadap beberapa penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya, belum dapat ditemukan penggunaan teori Strukturasi Anthony Giddens untuk menganalisis karya sastra. Sedangkan, beberapa karya Eugene O’Neill telah dijadikan penelitian tesis pada program Pengkajian Amerika Universitas Gadjah Mada. Penelitian yang pertama dilakukan terhadap drama O’Neill yang berjudul Desire Under the Elms pada tahun 1995. Penelitian yang berjudul “Puritanism in America as Reflected in Eugene O’Neill Desire Under the Elms” yang dilakukan oleh Tri Retno Pudyastuti ini membahas tentang Puritanisme di Amerika seperti yang dituangkan O’Neill dalam dramanya. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Linus Rumapea dengan judul “Troubled Americans in the 1920’s: A Study on Eugene O’Neill’s The Hairy Ape.” Penelitian yang dilakukan pada tahun 1996 ini bertujuan untuk menjelaskan masalah sosial yang dihadapi oleh warga Amerika di tahun 1920an. Dengan menggunakan pendekatan interdisipliner, penelitian ini mengulas pandangan O’Neill tentang kehidupan sosial di masa itu yang tertuang melalui dramanya. Mourning Becomes Electra merupakan karya O’Neill berikutnya yang menjadi objek material dalam penelitian. Analisis strukturalisme genetik Goldmann dilakukan untuk mengungkap struktur imajiner antara estetika dan
13
sejarah. Penelitian oleh Fajar Setiawan Roekminto yang berjudul “Human Beings’ Cruelty and Constricting Society as seen in a Greek-Freudian Trilogy: Mourning Becomes Electra by Eugene O’Neill” ini juga meneliti bagaimana Eugene O'Neill menciptakan tokoh-tokoh tragis di akhir cerita MBE yang mempunyai relasi dengan kemunduran dan kejatuhan masyarakat Puritan. Tesis terakhir yang dapat ditemukan dengan objek material karya O’Neill berjudul “The Icemen Cometh: A Piece of American Experience of the Aged and Retired People” yang ditulis oleh Diah Eko Hapsari pada tahun 2006. Dalam penelitian ini, analisis diarahkan pada masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh kaum lanjut usia dan pensiunan di Amerika seperti yang tergambarkan dalam drama The Icemen Cometh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Amerika dalam menangani kaum lanjut usia dan pensiunan di negaranya. Pendekatan interdisipliner dengan penekanan pada aspek sosiologi, psikologi dan sastra digunakan dengan mempertimbangkan alur kronologis untuk mendapatkan analisa yang menyeluruh. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kaum lanjut usia dan pensiunan di Amerika berada pada posisi marjinal karena adanya pandangan yang buruk dari masyarakat. Hal ini dapat diatasi oleh pemerintah Amerika dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masalah kaum lanjut usia dan pensiunan. Masalah rasisme dan segregasi dalam masyarakat ditulis oleh Muhd. AlHafizh dalam tesisnya yang berjudul “Rasisme Pascakolonial di Amerika: Sebuah Kajian Novel The Secret Life of Bees karya Sue Monk Kidd.” Tesis ini membahas
14
jejak-jejak kolonial dalam bentuk rasisme pascakolonial di Amerika dalam novel The Secret Life of Bees dengan perspektif teori poskolonial dan pembacaan dekonstruksi. Penelitian ini mendapatkan refleksi rasisme dalam tiga aspek, yaitu pengakuan dan rasionalisasi supremasi ras kulit putih, diskriminasi dan segregasi rasial yang dikonstruksi kulit putih untuk menempatkan kulit hitam dalam posisi marjinal, dan resistensi kulit hitam terhadap marjinalitas yang dikonstruksi oleh kulit putih. Selain beberapa tesis tersebut, ditemukan sebuah penelitian
yang
membahas tentang drama O’Neill. Penelitian yang berjudul ‘O’Neill’s Treatment of Racism in All God’s Chillun Got Wings and TheEmperor Jones’ dimuat pada Current Research Journal of Social Sciences 3(4) pada tahun 2011. Tulisan Asim Karim ini membahas rasisme yang ditampilkan oleh O’Neill dalam dua dramanya dan regresi personaliti yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam kedua cerita tersebut. Penelitian ini mengungkap perubahan psikologis yang dialami oleh para tokoh yang diakibatkan rasisme yang berkembang dalam masyarakat. Kesimpulan yang didapat oleh Karim adalah bahwa tokoh-tokoh yang diciptakan oleh O’Neill dalam drama yang bernuansa rasisme tersebut mengalami masalah psikologis yang sama dengan tokoh-tokoh dalam drama O’Neill yang lain yang tidak bernuansa rasisme. Dalam penelitian tersebut tidak disebutkan bagaimana rasisme berkembang dalam masyarakat. Dengan melihat beberapa penelitian di atas, maka dapat diamati bahwa permasalahan rasisme, khususnya yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat yang tersegregasi dalam perspektif Strukturasi Giddens belum pernah
15
dilakukan. Sedangkan penelitian tentang rasisme dalam All God’s Chillun Got Wings masih perlu dilakukan untuk memahami bagaimana perbedaan tersebut tumbuh dan berkembang di masyarakat. Maka, penelitian ini dianggap perlu dilakukan sebagai penelitian awal terhadap drama All God’s Chillun Got Wings dengan menggunakan teori Strukturasi.
1.5
Landasan Teori Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam permasalahan
digunakan teori Strukturasi. Teori Giddens ini mengetengahkan proses timbal balik antara tindakan manusia dan institusi sosial. Ia mengungkapkan bahwa tindakan manusia merupakan pembentuk institusi, sebaliknya, institusi juga mengikat tindakan manusia. Proses inilah yang menghasilkan praktik-praktik sosial (1982: 8). Untuk meneliti tindakan manusia dan hubungannya dengan institusi tersebut, Giddens mengemukakan beberapa konsep seperti dalam pemaparan berikut. 1.5.1
Sistem Sosial, Dualitas Struktur dan Agen Menurut Giddens, “semua masyarakat merupakan sistem sosial sekaligus
pada saat yang sama dibentuk oleh persilangan di antara berbagai sistem sosial” (2010a: 252). Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa dalam masyarakat, terdapat beberapa sistem sosial yang saling bersilangan. Masyarakat yang dimaksud disini bukanlah masyarakat dengan batas-batas yang jelas, seperti sebuah negara, tetapi lebih merupakan sebuah sistem yang memiliki prinsipprinsip struktural yang terbentuk melalui persilangan antara berbagai sistem
16
sosial. Unsur-unsur masyarakat yang dimaksud terbentuk melalui interaksi antar individu yang terus berulang dan terbentuk sepanjang ruang dan waktu. Menurut Giddens, “seluruh sistem sosial, betapapun besar atau luasnya, mengekspresikan dan terekspresikan dalam rutinitas kehidupan sosial sehari-hari, menengahi antara kelengkapan-kelengkapan fisik dan indrawi dari tubuh manusia” (2010a: 57). Rutinitas kehidupan yang dimaksud disini merupakan interaksi yang berulang yang dilakukan oleh setiap individu dalam ruang yang sama. Interaksi berulang tersebut adalah praktik-praktik sosial yang dilakukan oleh individu dalam jangka waktu tertentu. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa dalam teori Strukturasi, ruang dan waktu memiliki posisi yang sangat penting. Yang dimaksud dengan ruang dalam teori Strukturasi adalah lokal, merujuk istilah yang digunakan oleh Giddens, dimana individu tersebut melakukan praktik sosialnya. Giddens memilih untuk menggunakan ‘lokal’ karena istilah tersebut tidak hanya merujuk pada sebuah posisi ruang, seperti yang melekat pada ‘tempat.’ Pada istilah lokal terkandung makna yang terhubung dengan agen-agen yang melakukan interaksi pada sebuah kejadian atau lebih. Lokal-lokal bisa berkisar dari sebuah ruangan rumah, pojok jalan, lantai toko sebuah pabrik, kota-kota besar dan kecil, hingga ke kawasankawasan perbatasan negara-bangsa.[…] Salah satu alasan penggunaan istilah ‘lokal (locale)’, bukannya ‘tempat (place)’ adalah, bahwa kelengkapan-kelengkapan dari latar-latar dipakai secara terus-menerus oleh para agen dalam pembentukan perjumpaan-perjumpaan di sepanjang ruang dan waktu (Giddens, 2010: 183). Terkait dengan konsep struktur, Giddens mengungkapkan pendapatnya yang berbeda dengan konsep struktur yang dipahami secara umum. Dengan
17
menganalogikan struktur dengan bahasa, Giddens mengemukakan tiga hal. Pertama, bahwa struktur tidak hanya bersifat mengekang (constraining), pada saat yang sama juga bersifat membolehkan (enabling). Kedua, bahwa struktur merupakan sarana (medium) sekaligus hasil (outcome) dari tindakan. Ketiga, bahwa struktur bukanlah sebuah konsepsi yang tetap dan mekanik melainkan sebuah proses yang mengalir dan meleburkan dikotomi antara statis dan dinamis. Pada perkembangannya, Giddens menyebutkan bahwa struktur merujuk pada seperangkat aturan-aturan dan sumber daya, bukan pada hubungan interaksi yang membentuk sebuah organisasi atau kolektivitas seperti pada pengertian struktur yang dipahami selama ini. Structure, as recursively organized sets of rules and resources, is out of time and space, save in its instantiations and co-ordination as memory traces, and is marked by an 'absence of the subject'. The social systems in which structure is recursively implicated, on the contrary, comprise the situated activities of human agents, reproduced across time and space (Giddens, 1984: 25). Struktur merupakan kumpulan aturan-aturan yang tersimpan di dalam ingatan agen. Struktur ini didapatkan oleh agen melalui interaksi yang terjadi di dalam sistem sosial yang diproduksi melalui ruang dan waktu. Selanjutnya, Giddens dalam bukunya Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat (terjemahan Maufur dan Daryatno), memberikan penjelasan tentang perbedaaan struktur dan sistem dalam teori Strukturasi seperti dalam bagan berikut
18
Struktur Sistem Aturan dan sumber daya, Relasi-relasi yang atau seperangkat relasi diproduksi diantara para transformasi, aktor atau kolektivitas, terorganisasi sebagai terorganisasi sebagai kelengkapanpraktik-praktik sosial kelengkapan dari sistem- regular sistem sosial Bagan 1. Struktur, Sistem dan Strukturasi Sumber: Giddens (2010a: 40)
Strukturasi Kondisi-kondisi yang mengatur keterulangan dan transformasi struktur-struktur, dan karenanya reproduksi sistem-sistem sosial itu sendiri
Dari bagan diatas dapat dilihat bahwa struktur merupakan aturan dan sumber daya sebagai kelengkapan dari sistem sosial, atau dengan kata lain merupakan pedoman seorang agen dalam melakukan tindakan. Sistem merupakan relasi yang terorganisasi sebagai praktik sosial, dimana interaksi antar agen yang satu dengan agen yang lain terjadi. Sedangkan Strukturasi adalah kondisi dimana sistem sosial direproduksi oleh agen dan struktur bertransformasi karena perubahan yang dilakukan oleh agen tersebut. Gagasan bahwa “kelengkapan-kelengkapan struktural dari sistem-sistem sosial adalah sarana sekaligus hasil dari praktik-praktik yang terorganisasi secara rutin” (Giddens, 2010a: 40) merupakan inti dari dualitas struktur. Hal ini berarti bahwa agen dan struktur tidak dapat dilepaskan, karena stuktur merupakan sarana dan hasil dari praktik-praktik sosial yang dilakukan oleh para agen yang melakukannya secara rutin dan terus menerus. Ini juga berarti bahwa struktur tidak hanya menjadi pedoman seorang agen melakukan tindakan, tetapi juga sebagai hasil dari praktik sosial yang dilakukan oleh agen. Perubahan pada struktur dan sistem sosial seperti yang disebutkan diatas merupakan sebuah proses yang terjadi melalui interaksi antar individu di dalam masyarakat. Dengan sifat struktur yang mengekang, struktur seringkali diartikan
19
sebagai hambatan bagi agen. Namun, pada saat yang sama, struktur pada dasarnya merupakan sebuah sarana untuk memberdayakan agen. Merujuk pada pendapat Giddens bahwa struktur merupakan seperangkat aturan dan sumber daya, maka hal ini dapat dijelaskan. Dengan aturan-aturan yang dihasilkan melalui praktikpraktik sosial para individu dalam masyarakat, maka hal ini akan menjadi hambatan bagi sebagian individu yang lain dalam masyarakat tersebut. Disebut sebagai hambatan karena menurut kesadaran praktis mereka aturan-aturan tersebut harus diikuti jika mereka ingin bertahan di dalam masyarakat, sementara kondisi mereka tidak sesuai dengan aturan-aturan tersebut. Maka hal ini akan menghambat mereka dalam melakukan praktik-praktik sosial di dalam masyarakat. Penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh para individu dalam kondisi memiliki hambatan tersebut mewakili gagasan bahwa struktur memberdayakan. Konsep agen dan struktur tidak dapat dipisahkan dalam teori Strukturasi, karena keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain. untuk mengetahui keterkaitan tersebut, maka perlu dilakukan pemahaman terhadap keduanya. Konsep agen dalam teori Strukturasi merujuk pada manusia. Agen memiliki kuasa yang disebut sebagai agensi. Agen merupakan subjek yang melakukan tindakan. Jika agen adalah subjek, maka agensi adalah kemampuan subjek untuk melakukan tindakan. Berikut ini adalah pernyataan Giddens tentang konsep agensi. Agensi tidak mengacu pada maksud-maksud yang dimiliki orang ketika melakukan sesuatu, melainkan terutama pada kemampuannya dalam melakukan sesuatu itu (yang karena itu juga kenapa agensi mengandung kuasa: bandingkan dengan definisi agen menurut the Oxford English Dictionary yang diartikan sebagai ‘orang yang menggunakan kuasa atau menghasilkan dampak’). (2010a: 14)
20
Kekuasaan yang dimiliki oleh agensi merupakan modal penting dalam pembentukan struktur. Hal ini karena menurut Giddens, “mampu ‘bertindak lain’ berarti mampu mengintervensi dunia, atau menjaga diri dari intervensi semacam itu, dengan dampak mempengaruhi suatu proses atau keadaan khusus dari urusanurusan” (2010a: 22). Dalam konsep agen dan agensi, tindakan merupakan faktor yang sangat penting, karena kuasa yang dimiliki oleh agen hanya dapat dilihat melalui tindakan. Tindakan yang berpengaruh pada perubahan sistem sosial dalam masyarakat merupakan tindakan yang dilakukan secara berulang, tidak hanya oleh satu individu, namun oleh individu-individu lain di dalam masyarakat bersangkutan. Individu-individu yang terlibat dalam tindakan ini berfungsi untuk saling memonitor satu sama lain dalam segala aspek. Dalam pengantar untuk edisi kedua bukunya yang berjudul
Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru
(terjemahan Eka Adinugraha & Wahmuji), Giddens juga menyatakan bahwa “tindakan bukanlah sekedar kualitas individu, tetapi demikian pula, dalam tingkatan yang sebanding, merupakan bagian utama dalam organisasi sosial dan kehidupan kolektif” (2010b: xv). 1.5.2
Kesadaran dan Tindakan Terkait dengan agensi dan kekuasaan, hal yang paling utama untuk
diketahui adalah tindakan dan bentuk-bentuk kesadaran. Pada bagian ini, bentukbentuk kesadaran akan dijelaskan terlebih dahulu sebelum penjelasan tentang tindakan. Setelah itu, penjelasan terhadap hubungan antara tindakan dan kesadaran akan dipaparkan. Bentuk-bentuk kesadaran yang dimaksud adalah
21
kesadaran diskursif (discursive consciousness), kesadaran praktis (practical consciousness) dan ketaksadaran (unconsciousness). Giddens menawarkan konsep kesadaran agen ini sebagai pengganti untuk konsep psikoanalisis Freud, yaitu id, ego, dan superego (Giddens, 2010a: 11). Ketiga bentuk kesadaran ini sangat penting dalam teori Strukturasi karena ketiganya merupakan dasar dari tindakan yang dilakukan oleh agen dalam praktik sosial. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa kesadaran diskursif adalah kemampuan agen dalam menjelaskan pengetahuannya, atau dengan kata lain merupakan sebuah “kemampuan membahasakan sesuatu” (Giddens, 2010a: 69). Kesadaran praktis adalah “karakter agen atau subjek manusia yang terutama luput dari perhatian strukturalisme” (Giddens, 2010a: 10). Hal ini karena agen tidak mampu mengungkapkan apa yang dilakukannya secara verbal. Steven Loyal dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Anthony Giddens menjelaskan kesadaran praktis yang dimaksud oleh Giddens sebagai berikut “practical consciousness represents tacit or ‘mutual’ knowledge, which is employed in the enactment of courses of conduct providing agents with the ability to ‘go on’, in terms of rule-following in social life” (2003: 52). Kutipan tersebut menjelaskan bahwa kesadaran praktis merupakan kesadaran akan pengetahuan yang dimiliki oleh agen yang membuatnya dapat mengikuti aturan-aturan sosial yang ada namun tidak dapat dijelaskan oleh agen tersebut. Giddens juga menyatakan bahwa “pembagian antara kedua jenis kesadaran itu bisa saja berubah oleh banyak aspek sosialisasi dan pengalaman belajar si agen” (2010a: 10).
22
Bentuk kesadaran yang ketiga adalah ketaksadaran. Bentuk ini berbeda dari dua bentuk kesadaran yang sebelumnya. Kesadaran diskursif dan kesadaran praktis diketahui oleh seorang agen, meskipun memiliki perbedaan pada keterungkapan secara verbal. Sedangkan pada kondisi ketaksadaran terdapat komponen-komponen motivasi dan ingatan agen yang tidak diketahui oleh agen itu sendiri. Ketiga strata kesadaran tersebut saling berhubungan erat. Meskipun terdapat penghalang antara kondisi ketaksadaran dengan kondisi praktis dan kondisi diskursif, kondisi ketaksadaran merupakan penggerak tindakan agen. Sedangkan pemisah antara kondisi praktis dan kondisi diskursif bukanlah pembatas yang tidak dapat ditembus, karena masih dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu, bergantung pada aspek sosial agen. Hal ini dapat dilihat pada bagan berikut. Kesadaran diskursif Kesadaran praktis Motif-motif ketaksadaran/kognisi Bagan 2. Strata Kesadaran Giddens Sumber: Giddens (2010a: 10) Ketiga kondisi kesadaran tersebut akan bermakna ketika seorang individu melakukan perjumpaan sosial. Maksudnya bahwa hanya dalam interaksi dengan individu yang lainlah maka ketiga kondisi tersebut dapat terjadi dan diamati. Interaksi antar individu seperti yang dimaksud diatas dapat diamati melalui tindakan yang dilakukan oleh individu. Giddens mendeskripsikan tindakan sebagai “aliran intervensi sebab-akibat makhluk badaniah yang aktual dan direnungkan dalam proses berjalan dari rangkaian-peristiwa-dunia” (2010b: 94).
23
Dengan deskripsi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa seorang agen melakukan tindakan dengan dipengaruhi oleh kesadaran yang dimilikinya. Hubungan antara tindakan agen dan ketiga strata kesadaran secara garis besar dapat dilihat melalui monitoring refleksif tindakan, rasionalisasi tindakan dan motivasi tindakan. Monitoring refleksif tindakan adalah sebuah proses dimana individu memonitor tindakan sehari-harinya secara berkelanjutan. Proses ini diasosiasikan dengan kesadaran diskursif. Tindakan yang dapat dimonitor sebagaimana yang dimaksud diantaranya adalah tindakan purposif. Untuk menganalisis tujuan yang dimiliki oleh seorang agen dalam melakukan tindakan semacam ini berarti harus dilakukan pengungkapan terhadap peran serta agen di dalam rangkaian kejadian (Giddens, 2010b: 106). Selanjutnya, Giddens juga menyebut tentang tindakan komunikatif. “Tindakan komunikatif adalah tempat tujuan-tujuan aktor, atau salah satu tujuan aktor, ditautkan pada pencapaian menyampaikan informasi kepada orang lain” (2010b: 114). Tindakan purposif dan tindakan komunikatif tersebut merupakan bentuk tindakan yang melibatkan agen lain dalam interaksi, sehingga monitoring tindakan dapat dilakukan oleh sesama agen dalam rangkaian kejadian. Rasionalisasi tindakan adalah sebuah proses dimana agen “secara rutin dan kebanyakan tanpa perdebatan—mempertahankan suatu ‘pemahaman teoretis’ yang terus menerus tentang landasan-landasan aktivitas mereka” (Giddens, 2010a: 8). Proses ini berkaitan dengan kesadaran praktis agen. Jika kesadaran diskursif berhubungan dengan tujuan tindakan, maka kesadaran praktis dikaitkan dengan alasan atau latar belakang tindakan. Dengan demikian, maka Giddens menyatakan, menganalisis rasionalisasi tindakan “adalah menyelidiki (1)
24
hubungan logis antara beragam bentuk tindakan, atau proyek purposif, dan (2) ‘landasan teknis’ dari pengetahuan yang diterapkan sebagai ‘alat’ dalam tindakan purposif untuk mengamankan hasil tertentu” (Giddens, 2010b: 107). Kondisi ketaksadaran diasosiasikan dengan motivasi tindakan. Agen sebagai pelaku tindakan biasanya dapat menjelaskan tujuan tindakan secara diskursif sehingga dapat diketahui alasan tindakannya, tetapi motif apa yang mendasari tindakan agen secara keseluruhan biasanya tetap tidak dapat disampaikan. “Jika alasan-alasan merujuk pada dasar-dasar tindakan, motif mengacu pada keinginan-keinginan yang mendorongnya” (Giddens, 2010a: 9). Pada beberapa tindakan, keinginan yang mendorong agen untuk melakukan tindakan tersebut dipengaruhi oleh kepentingan agen. “Konsep tentang kepentingan berdiri sangat erat hubungannya dengan motif, ‘kepentingan’ secara sederhana dapat diartikan sebagai hasil atau kejadian yang memudahkan pemenuhan keinginan-keinginan agen” (Giddens, 2010b: 112). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam melakukan sebuah tindakan, agen dipengaruhi oleh kepentingan yang dimilikinya. Meskipun demikian, maksud atau tujuan agen tidak selalu searah dengan kepentingan yang dimilikinya. Sebagai pengganti konsep id yang digagas Freud, kondisi ketaksadaran adalah kondisi dimana agen tidak dapat mengakses ingatannya karena “adanya sejenis ‘penghalang’ yang merintangi ketergabungan langsungnya dengan introspeksi dan mawas diri, dan terlebih lagi dengan kesadaran diskursif” (Giddens, 2010a: 76). Penghalang ini muncul karena dua hal, pertama, karena pengalaman-pengalaman agen yang sudah terbentuk sejak awal kehidupannya
25
yang menimbulkan rasa aman dan berada diluar jangkauan kesadaran diskursif; kedua, kondisi ketaksadaran ini sendiri merupakan sebuah tekanan bagi pembentukan diskursif (Giddens, 2010a: 76). Untuk menjelaskan penghalang yang pertama, Giddens merujuk pada pendapat Erikson tentang rasa aman ontologis (ontological security) yang berasal dari sistem rasa aman mendasar (basic security system) yang didapatkan dengan cara mengikuti konvensi-konvensi dan rutinitas yang berlaku serta menghindari perubahan yang radikal. Dalam penelitiannya, Erikson membedakan urutan polaritas yang berhubungan dengan transformasi tubuh ke dalam instrument bertindak di dunia (Giddens, 2010a: 82). Polaritas pertama adalah ‘rasa percaya mendasar’ (trust) versus ‘rasa tidak percaya mendasar’(mistrust). Fase ini terjadi dalam tahap awal kehidupan manusia, yaitu pada masa bayi. Interaksi awal antara ibu dan bayi menimbulkan ‘rasa percaya’ si bayi terhadap ibunya. Ketika si bayi dapat menerima bahwa ia ditinggalkan oleh ibunya dan tidak merasa cemas, marah, atau merasa diabaikan, maka dapat dikatakan ia telah melakukan pencapaian sosialnya yang pertama. Pada perkembangannya, polaritas ‘rasa percaya mendasar’ dan ‘rasa tidak percaya mendasar’ ini merupakan sarana untuk polaritas antara otonomi versus keraguan atau rasa malu. Pada fase kanak-kanak, hal ini diekspresikan melalui ‘menahan’ (holding) dan ‘melepaskan’ (let go). Fase kedua adalah ‘otonomi’ versus ‘rasa malu, ragu’. Rasa malu dapat dihubungkan dengan sikap tubuh dan daerah ‘depan’ (front) dan ‘belakang’ (back) tubuh. Pada saat merasa malu, manusia akan cenderung untuk menyembunyikan daerah ‘depan’ dan menampilkan daerah ‘belakang’. Hal ini terjadi karena
26
“mempertahankan
‘muka’
dalam
kehidupan
sosial
berarti
menghindari
kecemasan-kecemasan yang ditimbulkan oleh rasa malu, dan kehilangan muka pastinya mengantarkan pada rasa malu atau keadaan memalukan” (Giddens, 2010a: 86). Fase ketiga adalah fase ‘inisiatif’ versus ‘rasa bersalah’. Fase ini disebut juga sebagai fase transisi Oedipal, dimana seorang anak mulai beralih dari interaksi keluarga menuju hubungan-hubungan dengan teman sebaya (peer relations). Pencapaian pada tahap ketiga ini “diperoleh dengan konsekuensi berupa pengekangan, yang bagi sejumlah individu dan keadaan, dapat memberikan dampak-dampak buruk dalam bentuk rasa cemas yang bermula dari rasa bersalah” (Giddens, 2010a: 87). Untuk menghindarkan agen dari kondisi rasa cemas dan rasa bersalah tersebut, diperlukan rutinitas. Giddens menyatakan, “kajian terhadap rutinisasi, menurut saya, menjadi kunci utama bagi kita dalam menjelaskan bentuk-bentuk relasi khas antara sistem rasa aman utama di satu sisi dan proses-proses terbentuknya kesadaran dalam episode perjumpaan di sisi lain” (2010a: 93). Hal ini karena rutinitas merupakan sebuah proses yang tidak dapat dipisahkan dari agen ketika ia melakukan kegiatan sehari-hari dan berinteraksi dalam sistem sosial. Dengan demikian, maka individu akan mendapatkan rasa aman, karena ia sudah merasa terbiasa dengan kondisi tersebut. Selanjutnya, mengutip pendapat Loyal, bagi Giddens, agen adalah makhluk yang bertujuan dan rasional yang bertindak berdasarkan apa yang diketahui atau dipercaya akan menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkannya. Meski demikian, tindakan yang bertujuan terkadang menghasilkan akibat-akibat
27
yang tidak diperkirakan. Konsekuensi tak dikehendaki ini berubah menjadi kondisi tindakan tak dikenali dalam tindakan di masa depan (2003: 56). Kondisi-kondisi tindakan tak dikenali
Monitoring refleksif terhadap tindakan
Konsekuensikonsekuensi tindakan tak dikehendaki
Rasionalisasi tindakan Motivasi tindakan Bagan 3. Tindakan agen Sumber: Giddens (2010a:8) Bagan di atas digunakan untuk menganalisis tindakan agen dan konsekuensikonsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakannya. Yang dimaksud dengan konsekuensi tindakan tak dikenali adalah akibat yang ditimbulkan oleh tindakan agen yang tidak dimaksudkan sebelumnya tetapi membawa dampak pada perubahan struktur yang ada. Dengan merujuk pada konsep-konsep yang telah dijelaskan diatas, maka dalam hubungan masyarakat, pengarang dan karya sastra, agen merujuk pada pengarang. Pengarang sebagai individu merupakan subjek yang memiliki kuasa. Dengan kuasa yang dimilikinya, pengarang dapat mempengaruhi dunia atau menjaga dirinya dari pengaruh dunia. Kuasa yang dimiliki pengarang tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan. Salah satu wujud tindakan yang dapat dilakukan oleh seorang pengarang adalah dengan menghasilkan sebuah karya sastra. Melalui karya sastra, seorang pengarang melakukan proses komunikasi. Karya sastra dapat mengungkapkan pandangan pengarang terhadap apa yang sedang berlangsung di sekitarnya. Sebuah artikel yang berjudul ‘The Novel
28
as Literary Form and as Social Institution’ dalam buku Sociology of Literature and Drama menyatakan sebagai berikut “the novel is directly concerned with the nature of our situation in history, and with the direction in which that situation is to move” (Zeraffa dalam Burns, 1973: 38). Sebuah karya sastra diciptakan sesuai dengan kondisi pada jamannya dan bergerak sesuai dengan kondisi yang dialami oleh pengarangnya. Dengan demikian, seorang pengarang akan merepresentasikan situasi dan kondisi yang dialaminya ke dalam karya-karyanya. Situasi dan kondisi ini merupakan sebuah cerminan struktur yang dimiliki oleh pengarang. Dalam hubungannya dengan pengarang, struktur yang dimaksud adalah pengalaman hidup pengarang, yang diperolehnya dari masyarakat dimana pengarang tersebut hidup dan berinteraksi dengan individu lainnya. Dalam teori Strukturasi, masyarakat yang dimaksud dapat disejajarkan dengan sistem, dimana norma-norma dan aturan-aturan diproduksi dan ditaati. Sebuah masyarakat terbentuk dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia. Pada saat yang sama, manusia-manusia yang hidup di dalam masyarakat itu juga dibentuk oleh struktur yang mereka miliki. Untuk mengubah suatu struktur yang ada, diperlukan sebuah tindakan yang dapat diterima oleh manusia-manusia yang lain di dalam masyarakat tersebut. Struktur yang dimiliki oleh pengarang akan dituangkan ke dalam karya sastra dengan menggunakan kesadaran praktis dan kesadaran diskursif. Kemampuan pengarang untuk menuangkan kejadian yang ada di sekitarnya kedalam sebuah karya dipengaruhi oleh kesadaran diskursif karena ia dapat mendeskripsikan secara verbal kejadian tersebut. Sedangkan kesadaran praktis
29
pengarang dapat diungkap dengan menginterpretasi karyanya. Melalui karya sastra yang dihasilkannya, seorang pengarang menunjukkan struktur yang dimilikinya. Pada saat yang sama, pengarang melakukan tindakan untuk mempertahankan struktur atau mengubah struktur. Maka, struktur yang mempengaruhi dan akan dipengaruhi oleh pengarang dapat diamati melalui karyakaryanya.
1.6
Metode Penelitian Dalam melakukan sebuah penelitian dibutuhkan sebuah metode yang
berfungsi untuk menjaga keruntutan penelitian. Metode Penelitian dibagi menjadi dua yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data 1.6.1
Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data bagi penelitian ini, maka pengambilan data
dilakukan melalui studi pustaka. Untuk bab 2, data primer didapatkan dari data sosial yang diperoleh dari artikel, makalah, buku, dan ensiklopedia tentang kehidupan masyarakat Amerika di akhir abad 19 dan awal abad 20, khususnya yang berhubungan dengan kehidupan warga kulit hitam. Sedangkan untuk bab 3, data-data primer diambil dari drama karya Eugene O’Neill yang berjudul All God’s Chillun Got Wings. Yang dimaksud dengan data dalam penelitian ini adalah dialog-dialog dan kalimat-kalimat yang berasal dari sumber-sumber yang telah disebutkan diatas. Pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama yaitu mengumpulkan sumber data. Tahap berikutnya adalah tahap
30
seleksi. Pada tahap ini, seleksi dilakukan terhadap sumber data untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan agen dan struktur yang dimaksud dalam teori Strukturasi Giddens. Untuk memperoleh data-data ini maka dilakukan pembacaan terhadap sumber-sumber data dengan seksama. 1.6.2
Metode Analisis Data Dalam sebuah penelitian, selain metode pengumpulan data diperlukan juga
sebuah metode untuk menganalisis data. Metode analisis data diperoleh dari teori yang
digunakan.
Penelitian
ini
menggunakan
teori
Strukturasi
yang
dikembangkan oleh Anthony Giddens. Menurut Giddens, ada empat tingkat penelitian yang dapat dilakukan. Pertama, penjabaran hermeneutika atas kerangka makna, yang memberi alasan atas kerangka makna yang tidak dipahami. Kedua, penyelidikan konteks dan bentuk kesadaran praktis (alam tak sadar), yaitu menjelaskan secara verbal landasan tindakan yang sudah diketahui oleh pelaku namun tidak dapat diungkapkannya. Ketiga, identifikasi batas-batas tingkat pengetahuan, dimana ketiga penelitian lain harus dilibatkan untuk memperoleh sebuah hasil penelitian yang utuh. Yang terakhir adalah pemerincian urutan institusional, yang mencoba menjabarkan komponen-komponen institusional melalui interaksi-interaksi yang ditampilkan oleh objek (2010a: 513-515). Penelitian yang pertama dan kedua lebih sering digunakan pada penelitian kualitatif, sedangkan penelitian ketiga dan keempat lebih mengarah kepada penelitian kuantitatif. Keempat penelitian tersebut dapat dilakukan secara terpisah maupun dikombinasikan. Namun, penelitian dengan menggabungkan beberapa komponen tersebut akan menghasilkan hasil yang lebih menyeluruh. Penelitian
31
ketiga dan keempat dapat dilakukan ketika individu yang menjadi objek penelitian berjumlah banyak dan memiliki variasi interaksi yang banyak, sedangkan untuk jumlah objek individu yang sedikit, penelitian yang dapat dilakukan adalah penelitian yang pertama dan kedua. Pada penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian pertama dan kedua dari tingkat penelitian yang disebutkan oleh Giddens karena agen yang dikaji sebagai objek hanya berjumalah sedikit. Penelitian dilakukan dengan melakukan analisis terhadap konteks dan tindakan agen dengan bantuan hermeneutika untuk mengungkap makna. Secara umum hermeneutika merupakan sebuah cara untuk mengungkap makna bahasa. Pengungkapan makna atau interpretasi terhadap karya sastra dilakukan untuk memahami maksud pengarang, baik yang disengaja maupun tidak. Mengenai makna, Paul Ricoeur mengatakan bahwa makna yang dimaksudkan oleh pengarang dapat berbeda dengan yang diinterpretasikan oleh pembaca. Hal ini disebabkan oleh teks yang bersifat bisu. Oleh karena itu, pembaca “harus menebak makna teks, dikarenakan maksud yang diinginkan pengarangnya diluar jangkauan kita” (2012: 157). Menebak disini berarti melakukan interpretasi terhadap makna teks berdasarkan konteksnya. Merujuk pada pendapat Ricoeur, maka langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan unit analisis dengan cara mengelompokkan dialog-dialog dan kalimat-kalimat dari sumber data yang sesuai dengan kategori-kategori yang telah ditetapkan. Setelah diperoleh unit-unit analisis, maka dilakukan interpretasi makna terhadap unit-unit analisis ini. Interpretasi dilakukan dengan menghubungkan unit analisis dengan teori yang
32
digunakan dan disertai dengan argumen-argumen yang kuat dan berdasar sehingga dapat diterima keabsahannya.
1.7
Sistematika Penulisan Penelitian ini akan terbagi menjadi empat bab. Bab I adalah pendahuluan
yang berisi tentang latar belakang, masalah, tujuan, landasan teori, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika peulisan. Bab II merupakan penjabaran tentang hubungan antara masyarakat, pengarang dan karya sastra. Dalam bagian ini akan digambarkan suatu kondisi dimana pengarang hidup. Kondisi inilah yang diperkirakan mengilhami pengarang untuk menciptakan sebuah karya sebagai agensi (kuasa) yang dimilikinya untuk mempengaruhi struktur. Bab III dari penelitian ini adalah bagian analisis karya sastra. Pada bagian ini dapat diketahui usaha-usaha yang dilakukan oleh pengarang untuk mengubah struktur melalui tokoh-tokoh yang diciptakannya. Sedangkan bagian terakhir atau Bab IV dalam penelitian ini adalah kesimpulan hasil penelitian dari ketiga bagian sebelumnya. Dalam bab ini juga terdapat saran-saran untuk penelitian lebih lanjut.