BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam Islam pernikahan memiliki makna dan tujuan yang sangat penting. Di samping untuk memperoleh keturunan yang sah juga sebagai pemenuhan biologis. Pernikahan dalam hukum Islam merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan dalam hubungan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dalam pembicaraan tentang pernikahan, ada kecenderungan al-Qur'an memperlakukan laki-laki sebagai pihak yang aktif, khususnya dalam memilih jodoh dan meminang, sementara perempuan diposisikan sebagai pihak yang pasif atau pihak yang menunggu untuk dikawini. Karena itu, hampir semua perintah dalam pembicaraan tentang perkawinan ditujukan kepada kaum laki-laki. Implikasinya dalam kehidupan sosial adalah bahwa pihak laki-laki selalu menjadi pihak pengambil inisiatif, pihak yang meminang atau melamar, sementara perempuan hanya menunggu dipinang. Seiring dengan perjalanan waktu, banyak hal yang berubah dalam tatanan masyarakat kita sesuai dengan tuntutan dinamika masyarakat dan sebagai akibat dari kemajuan di bidang teknologi dan informatika.2
1 UU. Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, Pasal 1 (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), 7. 2 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), 14-17.
1
Setiap pernikahan dalam dirinya mengandung serangkaian perjanjian di antara dua pihak, yakni suami dan istri. Kedamaian dan kebahagiaan suami istri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. Kemudian dalam al-Qur'an menyebut perkawinan sebagai mîtsâqan ghalîzhâ (perjanjian yang kokoh): $Zà‹Î=xî $¸)≈sV‹ÏiΒ Νà6ΖÏΒ šχõ‹yzr&uρ <Ù÷èt/ 4’n<Î) öΝà6àÒ÷èt/ 4|Óøùr& ô‰s%uρ …çµtΡρä‹è{ù's? y#ø‹x.uρ Artinya: Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (istriistrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. al-Nisâ': 21)3 Dja'far al-Shâdiq, mufassir terkemuka pada periode awal Islam, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan perjanjian yang kokoh dalam ayat tersebut adalah perjanjian antara Allah dengan para suami. Sebagaimana dalam al-Qur'an: 7∃ρã÷èoÿÏ3 £èδθãmÎh| ÷ρr& >∃ρá÷èoÿÏ3 ∅èδθä3Å¡øΒr'sù
Artinya: "Istri harus diperlakukan dengan baik, tetapi jika tidak hendaknya diceraikan dengan baik pula." (QS. al-Baqarah: 231) Ayat ini menegaskan bahwa hanya ada dua pilihan bagi suami, hidup bersama istri dan memperlakukannya dengan baik atau menceraikannya dengan cara yang baik
pula.
Karena
itu memilih hidup bersama
istri,
tetapi
menyengsarakannya tidak dikenal dalam Islam. Sebaliknya, Islam juga mengutuk suami yang menceraikan pasangannya tanpa alasan yang 3
Fahd Ibn 'Abdu al-'Azis al-Sa'ud, al-Qur'an al-Karîm wa tarjamatu ma'ânîhi ila al-Lughat al-Andunisiyyah (Madinah al-Munawwarah: Mujamma' al-Mâlik Fahd Li thibâ'at al-Mushhaf alSyarîf, 2005), 120.
2
dibenarkan syara'. Oleh karena hal tersebut, Dja'far al-Shâdiq menyatakan bahwa setiap calon suami seharusnya mengucapkan janji akan berlaku baik terhadap calon istrinya saat melangsungkan pernikahan.4 Selanjutnya dari uraian tersebut dengan alasan yang bermacam-macam seperti istri khawatir jika dia dipoligami maka dia cemburu buta, dari sini tidak menutup kemungkinan bagi istri dalam pernikahannya untuk mensyaratkan agar tidak dipoligami. Karena dalam hal ini Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis.5 Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat cemburu, iri hati dan suka mengeluh.6 Mengenai nikah yang mensyaratkan agar tidak dipoligami ini, seluruh ulama sepakat, ketika istri mengajukan syarat untuk tidak dipoligami, maka nikahnya adalah sah. Namun yang menjadi permasalahannya adalah wajib atau tidak bagi suami untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh istri atas suami tersebut. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat di kalangan ulama ini selain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di mana ulama tersebut hidup, juga disebabkan karena
4
Mulia, Islam, 18-19. Masyfuk Zuhdi, Masa'il Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: PT. Gita Karya, 1988), 12. 6 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), 131. 5
3
adanya perbedaan menggunakan dalil-dalil dan cara berijtihad diantara mereka, sehingga perbedaan dalam berijtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil ijtihad.7 Imam Al-Syâfi’î dalam kitabnya al-Umm menyatakan jika seseorang menikahi wanita dengan permintaannya dia boleh keluar rumah kapan saja, dia tidak ingin dimadu, tidak ingin dikeluarkan dari negaranya atau setiap syarat yang diajukan wanita ketika akad nikah baik itu untuk dikerjakan atau ditinggalkan, maka hukum nikah disini adalah boleh dan syarat tersebut batal. karena Rasulullah membatalkan setiap syarat yang tidak ada dalam kitab Allah atau syarat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, di mana seorang laki-laki boleh menikah sampai empat istri, maka istri tidak boleh melarang tentang sesuatu kebolehan atau keluasan yang diberikan untuk lakilaki.8 Pada dasarnya pendapat ini sama dengan pendapatnya Imam Abu Hanîfah dan Imam Mâlik, yakni jika seorang wanita mau dinikahi dengan syarat tidak dimadu (poligami) maka pernikahan tersebut adalah sah, tetapi syarat yang diajukan tidak wajib dipenuhi oleh suami, sebab syarat-syarat tersebut mengharamkan sesuatu yang halal.9 Mereka mengambil dalil-dalil untuk alasan-alasan dari Hadîts:
ًG َIَJ َمLMَJْ أَوQًRَاMَJ LTَJَ أQًUْMَVLGِْ إYِZِUُْوMُV \َ]َ^ َُ`ْنaِ]ْbُaْcَا 7
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar (Bandung: Orta Sakti, 1992), 102. Abî ‘Abdillah Ibn Idrîs al-Al-Syâfi’î, al-Umm, Jilid V (Beirut: Daar al-Kutub al-‘ilmiyyah, tt), 107-108. 9 Ach. Khudori Sholeh, Fiqh Kontekstual: (Perspektif Sufi Salafi), (Jakarta: PT. Pertja, 1999), 20. 8
4
Artinya: "orang-orang Islam itu pada syaratnya, kecuali syarat yang menghalalkan perkara haram dan mengharamkan perkara yang halal". Mengenai hadîts ini (kasus istri yang mensyaratkan untuk tidak dipoligami)
mereka
berpendapat
syarat
ini
termasuk
syarat
yang
mengharamkan perkara yang halal, di mana hukum menikah di sini adalah halal. Dalam hal ini Allah berfirman: yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. (QS. al-Nisa': 3) Kemudian dari sabda Rasullullah yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Imam Thabrâni:10
ٌTU ِ Qpَ `َ Zُ lَ o ِ با ِ Qmَ \ ِآlِ k َ jْ cَ ط ٍ ْMV َ T g ُآ Artinya: "Setiap syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, maka itu adalah hal yang batal" Mereka berpendapat bahwa syarat seperti ini tidak ada dalam kitab Allah, karena syarî'at Islam tidak menuntut untuk tidak boleh poligami.11 Dalam hadits di atas, ungkapan kitâbullah bukan berarti al-Qur'an saja, akan tetapi berbagai persoalan yang telah diwajibkan oleh Allah, baik yang tertera dalam al-Qur'an maupun hadîts Nabi SAW, yang kemudian dikenal dengan istilah Syarî'atullah. Sebaliknya yang dimaksud dengan penyimpangan dari kitâbullah adalah segala hal yang memuat penyelewengan dari dasar-dasar
10
Abdul Hâq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh Telaah kaidah fiqh Konseptual, buku dua, cet. II (Surabaya: Khalista, 2006), 242. 11 Sayyid Sabîq, Fiqh al-Sunnah, jilid.2 (Beirut: Daar Al-Fikr, 1992), 44.
5
syarî'at, baik al-Qur'an maupun hadîts.12 Penetapan syarat tidak boleh menikah lagi jelas merupakan bentuk mengharamkan sesuatu yang halal. Apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat di antaranya Ibnu Abbas bahwa mereka menetapkan sahnya aqad yang semisal itu. Adapun status syaratnya adalah gugur dan tidak harus dipenuhi. Ulama Hanafîyah berpendapat bahwasannya syarat yang diajukan istri untuk tidak dipoligami tersebut merupakan syarat yang tidak berfungsi apaapa (percuma), dan akad nikah yang dilakukan tersebut tetaplah sah. Sementara ulama Mâlikîyah memandang syarat tersebut adalah makruh sehingga tidak wajib dipenuhi oleh suami, namun bagi suami disunnahkan (dianjurkan) untuk memenuhi syarat yang diajukan istri tersebut. Ulama Syâfi'îyah berpendapat bahwa syarat tersebut merupakan syarat yang batal dan nikahnya tetaplah di hukumi sah walaupun tanpa adanya syarat tersebut.13 Menurut Wahbah al-Zuhaylî seluruh ulama sepakat terhadap sahnya syarat yang sesuai dengan tuntutan akad, dan batalnya syarat yang menafikan maksud dari tujuan pernikahan atau syarat tersebut bertentangan dengan syari'at agama. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai syarat yang tidak sesuai dengan tuntutan akad. Sebagaimana syarat yang diajukan istri ini, menurut Wahbah al-Zuhaylî syarat ini termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tuntutan dari akad nikah, tetapi tidak menafikan hukum dari hukumnya menikah, yakni manfaatnya kembali kapada salah satu dari suami
12
Muhammad Shidq bin Ahmad Al-Burnu, Al-Wajîz fi idlah Qawa'id al-Fiqh al-kullîyah, cet.1 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), 280. 13 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh, jilid,VI (Beirut: Daar al-Fikr, tt), 59.
6
atau istri.14 Lebih terperinci lagi kaitannya perkawinan, dalam Islam perkawinan merupakan suatu akad atau transaksi. Maka untuk akad nikah yang dikaitkan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan tujuan akad dan ada pula yang berlawanan dengan tujuan akad. Demikian juga ada syarat yang manfaatnya kembali kepada pihak perempuan, ada pula syarat yang dilarang syara'. Masing-masing syarat itu mempunyai konsekuensi hukum tersendiri.15 Dari beberapa pendapat tersebut imam Ibn Taymîyah berpendapat bagi suami wajib untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh istri tersebut. Ibn Taymîyah memandang bahwa syarat tersebut sah dan harus dipenuhi oleh suami selama pasangan tersebut tidak membatalkan persyaratan tersebut. Dalam kitab Majmû' al-Fatâwâ al-Kubrâ,16 beliau pernah ditanyai mengenai syarat dalam pernikahan, bahwasannya seorang istri mensyaratkan agar suami tidak boleh poligami atau tidak boleh mengeluarkan dari rumahnya atau negaranya, maka apabila suami disyaratkan seperti itu sebelum akad dan mereka berdua sepakat terhadap syarat tersebut, namun tidak disebutkan dalam akad nikah, apakah syarat tersebut sah dan wajib dipenuhi oleh suami? Dalam hal ini kemudian Ibn Taymîyah menjawab, bahwa syarat itu sah dan harus ditunaikan selama pasangan itu tidak membatalkan syarat tersebut 14
ibid, 60. Namun syarat disini menurut Sa'îd bin Abdullah bin Thâlib al-Hamdani, bahwa diantara perbedaan para ulama tersebut, Dia lebih condong kepada pendapat yang mewajibkan dipenuhinya syarat yang bermanfaat bagi perempuan, sebagai perlindungan bagi kaum perempuan. Dia juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa syarat tersebut mengharamkan yang halal, sebab syarat itu tidak mengharamkan yang halal, tetapi hanya memberikan pilihan bagi istri untuk menuntut fasakh apabila syarat itu tidak dipenuhi. Sa'îd bin Abdullah bin Thalib al-Hamdanî, Risalah al-Nikah, terj. Agus Salim, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 73. 16 Ibn Taymîyah, Majmû' min al-Fatawâ al-Kubrâ, juz.3 (Beirut: Dar Al-Fikr,1993), 316. 15
7
walaupun syarat itu disertakan lagi dalam akad nikah. Beliau telah menjelaskan dalil-dalil dalam permasalahan ini dari al-Qur'an, Hadits dan Ijma' salaf. Sebagaimana perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara Nabi SAW dan orang lain. Seperti akad bai'at yang terjadi antara beliau dengan orang-orang anshâr pada malam 'aqâbah, akad hudnah17 antara beliau dengan orang Quraisy18 pada tahun hudaibîyah dan lainnya. Mereka semua sepakat dengan syarat-syarat yang ada. Kemudian mereka berakad dengan lafadz yang mutlak. Demikian pula keumuman (lafadz ‘am) nash-nash al-Qur'an dan hadîts memerintahkan kepada manusia untuk menuaikan akad, perjanjian dan syarat serta melarang untuk menghianatinya. Akad, perjanjian, dan syarat adalah satu kesatuan. Ahli bahasa dan adat sepakat dengan penamaan tersebut dan makna secara terminologipun sesuai dengan hal tersebut.19 Pendapat ini berdasarkan dari al-Qur'an adalah dalam surat al-Maidah ayat satu. 4 ÏŠθà)ãèø9$$Î/ (#θèù÷ρr& (#þθãΨtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'‾≈tƒ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”20 Dan Surat al-Isra’ ayat 34:
17
Akad hudnah adalah perdamian yang dilakukan dua Negara yang berperang untuk menghentikan peperangan dalam jangka waktu tertentu, baik dengan konsesi ganti rugi atau tanpa ganti rugi. Dalam bahasa Indonesia disebut Gencatan Senjata. Perpusatakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 567. 18 Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan bahwa diantara tanda-tanda munâfîq adalah ketika berjanji, maka inkar. bahkan Rasullullah SAW memenuhi perjanjian dengan kaum musyrikin. Abu Abdillah Mushtafâ bin al 'Adawî, Ahkam Al-Nikah wa al-Zifâf, terj. Aris Munandar dan Eko Haryono, Tanya Jawab Masalah Nikah dari A Sampai Z (Yogyakarta: Media Hidayah, 2005), 229. 19 Taymîyah, Majmû', 316. 20 Aqad (perjanjian) mencakup janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Fahd Ibn 'Abdu al-'Azis al-Sa'ud, al-Qur'an al-Karîm wa tarjamatu ma'ânîhi ila al-Lughat al-Andunisiyyah (Madinah al-Munawwarah: Mujamma' alMâlik Fahd Li thibâ'at al-Mushhaf al-Syarîf, 2005), 156.
8
Zωθä↔ó¡tΒ šχ%x. y‰ôγyèø9$# ¨βÎ) ( ωôγyèø9$$Î/ (#θèù÷ρr&uρ 4 Artinya: “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”21 Kemudian hadîts Nabi:22
Qَ| Qً}lِ Qَ{Rُ ن َ Qَ آwِ jْ lِ ~ L ~ْ ُآRَ ٌpَ ْ َأر:ل َ Qَu Yَ ]Lv َ َوwِ jْ ]َ^ َ wُ ]Lc\ اL]x َ y َ zِ {َ cن ا L َأ \LmJ َ ق ِ Qَ{ِ c~ ا َ Rِ ٌ ]َ ْ | َ wِ jْ lِ ْ
َ Qَ~ آ L Zُ ْ{Rِ ٌ ]َ ْ | َ wِ jْ lِ ْ
َ Qَ~ْ آRَ َوQًcِ Yَ x َ Qَ| َ َر َوِإذَا َ َ َهQَ^ ب َوِإذَا َ َ ث َآ َ L َJ ن َوِإ َذا َ Qَ| ~ َ aِ ُ ْ ِإذَا اؤ: QَZ^ َ َ َ .ML َ lَ Artinya: “Empat hal yang apabila terkumpul dalam diri seseorang maka dia adalah seorang munâfiq sejati. Barang siapa yang terdapat dalam dirinya salah satu dari keempat hal tersebut maka berarti dia sedang berada dalam salah satu cabang kemunâfiqkan sampai dia meninggalkannya: Apabila diberi amanat dia khianat, apabila bicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari dan apabila berselisih dia akan bermusuhan.” Ayat dan hadîts ini jelas memerintahkan untuk memenuhi janji, aqad dan juga syarat serta apapun yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Termasuk dalam hal ini adalah syarat yang ditetapkan seorang istri kepada suaminya agar tidak memadunya.23 Dalam asas-asas perjanjian Islam, dianut apa yang disebut dalam ilmu hukum sebagai asas kebebasan berkontrak. Dalam asas kebebasan berkontrak, dimaksudkan kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian apapun dan berisi apa saja sesuai dengan kepentingannya dalam batas-batas kesusilaan
21
Ibid., 429. Abî Abdillah Muhammad Bin Ismâ'îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, cet I (Beirut: Daar Ihyâ al-Turâts al-Arabî, 2001), 31-32. 23 Abu Ishaq http://jacksite.wordpress.com/2007/08/02/istri-mensyaratkan-untuk-tidakdipoligami/ diakses pada tanggal 13 Juni 2009 pukul 15.06 WIB 22
9
dan ketertiban umum.24 Kompilasi Hukun Islam di Indomesia juga mengatur tentang perjanjian perkawinan, yang mana dalam hal ini diatur dalam Bab VII pasal 45, yang isinya adalah kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk ta’liq thalaq dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.25 Kebebasan berkontrak lebih nampak jelas dalam sabda Nabi SAW bahwa orang-orang Islam itu pada syaratnya, kecuali syarat yang menghalalkan perkara haram dan mengharamkan perkara yang halal. 26
ًG َIَJ َمLMَJْ أَوQًRَاMَJ LTَJَ أQًUْMَVLGِْ إYِZِUُْوMُV \َ]َ^ َُ`ْنaِ]ْbُaْcَا Di sini kaum muslimin dibenarkan memperjanjikan syarat-syarat dan
perjanjian itu mengikat untuk dipenuhi dalam batas ketentuan halal dan haram. Lafadz syurûth adalah bentuk jama' yang diidlâfahkan kepada kata ganti "mereka". Kasus ini menunjukkan bahwa dia termasuk lafadz umum, sehingga hal itu berarti bahwa kaum muslimin dapat mengisikan syarat apa saja ke dalam perjanjian mereka dalam batas-batas ketentuan halal dan haram, artinya dalam batas-batas ketentuan umum syara'.27 Para
ulama
dalam
kebebasan
berkontrak
khususnya
dalam
memperjanjikan syarat-syarat secara garis besar terbagi dalam dua kutub yang berlawanan. Yang paling tidak mengakui asas kebebasan berkontrak adalah
24
Subekti, Hukum Perjanjian, cet, ke-6. (Jakarta: PT. Intermasa, 1979), 13. Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi hukun Islam Di Indonesia (Departemen Agama R.I: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000),29. 26 Abu Îsâ Muhammad bin Îsâ bin Sûrah bin Mûsâ al-Tirmîdzî, al-Jâmi’ Sunan al-Tirmîdzî (Beirut: Daar Ihya al-Turats al-‘Arabî, 1999), 390. 27 Rahmani Timorita Yulianti, http://journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/viewFile/164/129. diakses pada tanggal 11 Agustus 2009 waktu 22.29 WIB. 25
10
ulama Zahiri, khususnya Ibn Hazm, menurutnya akad dan syarat itu haram dipenuhi kecuali yang diperintahkan oleh nash agar dipenuhi. Ibn Hazm berpendapat bahwa setiap syarat yang tidak ditegaskan keabsahannya oleh nash merupakan syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah. Dan yang paling luas mengakui kebebasan dalam perjanjian (asas kebebasan berkontrak) serta paling banyak mentashih syarat-syarat adalah ulama Hanâbilah, khususnya Ibn Taymîyah. Ibn Taymîyah yang mewakili madzhab Hanbalî telah membawa perkembangan madzhab dalam hal kebebasan dalam perjanjian yang sejajar atau hampir sejajar dengan hukum barat. Bagi Ibn Taymîyah tidak hanya sah dalam perjanjian-perjanjian kebendaan bahkan juga sah syarat-syarat dalam perjanjian pernikahan. Menurut Ibn Taymîyah syarat yang terdapat dalam kitab Allah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan kitab Allah sekalipun tidak disinggung oleh nash.28 Interprestasi antara pendapat kedua imam tersebut menjadi menarik ketika kita bawa pada kenyataan sekarang ini. Mayoritas masyarakat Islam Indonesia menganut madzhab syafi’iyah, otomatis dalam hal pernikahan yang berlaku adalah tata aturan menurut Imam al-Syâfi’î. Dalam situasi sekarang ini, banyak fenomena-fenomena menarik, di Pengadilan Agama seorang perempuan boleh menjabat sebagai seorang Hakim bahkan di Indonesia pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan. Dalam pernikahan boleh
28
Rahmani Timorita Yulianti, http://journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/viewFile/164/129. diakses pada tanggal 11 Agustus 2009 waktu 22.29 WIB.
11
mengadakan perjanjian perkawinan yang dalam hal ini dari pihak istri mengajukan syarat kepada suami sebelum pernikahan.29 Berangkat dari permasalahan ini, penulis mencoba membahas lebih mendalam dan mencoba mengungkapkan perbedaan-perbedaan dari pemikiran Imam Ibn Taymîyah dan Imam al-Syâfi’î mengenai syarat yang diajukan oleh istri yang tidak ingin dimadu. Untuk memudahkan dalam penelitian ini, maka akan penulis sajikan dalam bentuk skripsi dengan judul "SYARAT TIDAK DIMADU DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN PERSPEKTIF IBN TAYMÎYAH DAN IMAM AL-SYÂFI’Î". B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pendapat dan istinbath Ibn Taymîyah tentang istri yang mensyaratkan untuk tidak dimadu dalam perjanjian perkawinan? 2. Bagaimana pendapat dan istinbath Imam al-Syâfi’î tentang istri yang mensyaratkan untuk tidak dimadu dalam perjanjian perkawinan? 3. Apa persamaman dan perbedaan pendapat Ibn Taymîyah dan Imam alSyâfi’î mengenai istri yang mensyaratkan untuk tidak dimadu dalam perjanjian perkawinan? C. Penegasan Istilah Syarat
tidak
dimadu
dalam
perjanjian
perkawinan
yang
dimaksudkan adalah bahasan tentang syarat dalam perkawinan tidak sama dengan syarat perkawinan yang dibicarakan dalam semua kitab fiqh karena yang dibahas dalam syarat perkawinan itu adalah syarat-syarat untuk 29
Siti Qomariyah, Kedudukan dan Kriteria Wali Nikah Menurut Imam Hanafi dan Imam AlSyâfi’î (Skripsi, STAIN, Ponorogo, 2003), 4.
12
sahnya suatu perkawinan. Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian dalam perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian, dalam arti pihak-pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang ditentukan. D. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan pendapat dan istinbath hukum nikah dengan syarat tidak dipoligami menurut Ibn Taymîyah dan dasar hukumnya. 2. Untuk menjelaskan pendapat dan istinbath hukum nikah dengan syarat tidak dipoligami menurut Imam Al-Syâfi’î dan dasar hukumnya. 3. Untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan pendapat dan istinbath Ibn Taymîyah dan Imam Al-Syâfi’î. E. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini meliputi dua hal, yaitu kegunaan ilmiah dan kegunaan terapan. Adapun kegunaannya adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan kontribusi dalam memperkaya khazanah keilmuan dan berpartisipasi dalam penyumbangan pemikiran, khususnya dalam bidang hukum Islam. 2. Sebagai bahan kajian untuk dikembangkan lebih lanjut dalam penelitian berikutnya mengenai pemikiran Ibn Taymîyah dan Imam al-Syâfi’î. 3. Penelitian ini diharapkan menjadi wawasan bagi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Islam supaya mereka mengetahui hukum syarat tidak ingin dimadu yang diajukan oleh calon istri pada waktu akad nikah.
13
F. Telaah Pustaka Setelah penulis menelaah dari beberapa literatur-literatur yang penulis temukan, pembahasan mengenai syarat tidak dipoligami yang diajukan istri dari suami dalam pernikahan telah banyak dilakukan dalam kitab-kitab fiqh, seperti wahbah al-Zuhaylî dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh yang menjelaskan tentang beberapa madzhab para fuqoha mengenai syarat yang disyaratkan dalam pernikahan. Secara umum Wahbah membahas beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqoha mengenai syarat yang tidak termasuk tuntutan dari akad nikah, yang mana dalam syarat tersebut manfaatnya kembali pada salah satu pihak dari suami istri. Seperti syarat tidak boleh dipoligami, tidak boleh mengajaknya bepergian, tidak boleh mengeluarkan istri dari rumah atau negaranya.30 Dalam kitab Fiqh al-Sunnah, Sayyid Sâbiq menjelaskan shighat akad nikah yang disertakan dengan syarat. Dalam kitab ini Sayyid Sâbiq menguraikan permasalahan apabila akad nikah disertai dengan syarat maka syarat di sini, adakalanya syarat yang termasuk dari tuntutan akad nikah atau syarat yang bukan termasuk dari tuntutan akad. Syarat tersebut manfaatnya kembali kepada istri, atau syarat tersebut dilarang oleh syari'at. Dari pembagian tersebut, masing-masing mempunyai konsekuensi hukum sendirisendiri. Untuk syarat yang wajib dipenuhi oleh suami, yakni syarat yang termasuk tuntutan dari akad dan tujuan akad serta tidak mengandung syarat yang merubah hukum yang ditentukan Allah dan Rasullullah SAW, Seperti
30
Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islam, 59.
14
syarat untuk menggauli istri dengan baik. Syarat yang tidak wajib dipenuhi namun akad nikahnya tetap dipandang sah yakni, syarat yang bukan termasuk tuntutan akad nikah, seperti syarat untuk tidak dinafkahi, atau syarat tidak boleh disetubuhi. Syarat yang manfaat dan faedahnya kembali kepada istri seperti istri tidak boleh dipoligami, tidak boleh mengajaknya bepergian, tidak boleh mengeluarkan dari rumahnya atau negaranya, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama. Ulama syâfi'îyyah, Mâlikîyah, Hanafîyah dan banyak para ulama lagi menyatakan syarat tersebut tidak berfaedah apa-apa dan tidak wajib dipenuhi oleh suami. Kemudian kalangan Shahabat Umar Ibn Khatthab, Sa'ad Ibn Abi Waqâsh, Muawwîyah, Amr Ibn Ash, Umar Ibn 'Abdul 'Azis, Jabir Ibn Zaid, Thâwus, al-Auza'îy, Ishaq dan ulama Hanâbilah mewajibkan untuk dipenuhinya syarat yang diajukan oleh istri.31 Dalam kitab risalah nikah yang ditulis oleh ustadz Sa'id bin Abdullah bin Thalib al-Hamdâni yang diterjemahkan oleh Agus Salim, menjelaskan mengenai syarat tidak dipoligami yang diajukan istri sama persis dengan apa yang telah dipaparkan oleh Sayyid Sabîq, yakni akad nikah yang dikaitkan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan tujuan akad, ada pula yang berlawanan dengan tujuan akad. Ada syarat yang manfaatnya kembali kepada pihak perempuan, ada pula syarat yang dilarang syara'. Masing-masing syarat itu mempunyai hukum tersendiri.32
31 32
Sayyid Sabîq, Fiqh al-Sunnah, 43-44. Sa'îd bin Abdullah, Risalah Nikah, 70.
15
Dalam bentuk skripsi, penelitian tentang syarat dalam pernikahan telah dibahas oleh Sunarti dalam skripsinya yang berjudul "Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian". Dalam skripsi tersebut dia membahas Hukum perjanjian dalam perkawinan, akad perjanjian perkawinan, syarat-syarat perjanjian perkawinan dan akibat kukumnya. Ia menyinggung sedikit tentang pembagian syarat-syarat yang disebutkan dalam akad nikah, ia membagi tiga bagian, yakni syarat yang wajib dipenuhi, syarat yang tidak wajib dipenuhi dan syarat yang menguntungkan pihak istri, yang mana penjelasannya sama yang telah ada dalam kitab fiqh al-Sunnah. Kemudian ia hanya menyimpulkan bahwa perjanjian perkawinan termasuk kategori syarat yang wajib dipenuhi sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, karena sangat ketatnya dalam membuat surat perjanjian dalam pernikahan.33 Ibnu Mujahidin dalam skripsinya "Perbandingan Hak Ijbar Wali Nikah Perspektif Ibnu Taymîyah dan Imam al-Syâfi'î", di sana ia membahas pendapatnya Ibn Taymîyah mengenai hak ijbar wali nikah, yang mana Ibn Taymîyah memandang bahwa ayah tidak berhak memaksa anaknya untuk menikah dengan wanita pilihannya atau pilihannya sendiri serta faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan mereka, Baik dalam mengambil dasar Hukumnya ataupun sebab-sebab gugurnya hak ijbar wali nikah tersebut.34
33 Sunarti, Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian (Studi Terhadap Kompilasi Hukum Islam Pasal. 45 ayat 2), (Skripsi, STAIN, Ponorogo, 2003). 34 Ibnu Mujahidin, Hak Ijbar Wali Nikah Perspektif Ibn Taymîyah dan Imam al-Syafi'i, (Skripsi, STAIN, Ponorogo, 2007).
16
Dari kajian yang telah dipaparkan diatas, penyusun tidak menemukan kajian-kajian, baik dari kitab maupun literatur-literatur lain yang membahas syarat tidak dipoligami dalam pernikahan menurut Ibn Taymîyah dan Imam al-Syâfi’î, maka penulis memandang penelitian ini masih layak dilakukan. Dalam penelitian ini, penulis mencoba meneliti lebih lanjut mengenai syarat tidak dipoligami yang diajukan istri dengan mengkaji pendapat Ibn Taymîyah dan Imam Al-Syâfi’î, seperti yang telah kami paparkan pada latar belakang masalah. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang sering disebut dengan studi pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber pustaka.35 Semua sumber diambil dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan literatur lainnya. Skripsi ini bersifat deskriptif analitik, yaitu suatu usaha untuk menyusun dan mengumpulkan data, kemudian diusahakan adanya analisa dan interpretasi atau penafsiran terhadap datadata tersebut. 2. Data Penelitian Dalam penulisan ini literatur atau data yang akan diteliti meliputi pemikiran pemikiran Ibn Taymîyah dan Imam al-Syâfi’î dalam masalah
35
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Gajah Mada, 1980), 3.
17
nikah bersyarat untuk tidak dimadu, istinbâth Hukum Ibn Taymîyah dan Imam al-Syâfi’î serta literatur-literatur lain yang mendukung. Dalam Penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder: a. Sumber data primer36, adalah buku-buku yang dijadikan sumber data pertama, yaitu Majmû' al-Fatâwâ al-Kubrâ yang dikarang oleh Imam Ibn Taymîyah dan juga Kitab al-Umm yang di karang oleh Imam alSyâfi’î. Artinya, dalam menjawab rumusan masalah diatas penulis banyak mengacu pada kitab tersebut. b. Sumber data sekunder, adalah buku-buku karya orang lain yang membahas Ibn Taymîyah dan Imam al-Syâfi’î yang penulis rujuk untuk melengkapi data-data yang tersedia dalam sumber data primer. 3. Teknik Pengolahan Data Adapun teknik analisa yang digunakan untuk mengolah dalam skripsi ini yaitu: a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh dari segi keserasian dan keselarasan antara yang satu dengan yang lainnya serta realitanya dan keseragamannya kelompok data itu.37 Dalam hal ini, setelah penulis menemukan data-data mengenai masalah nikah dengan syarat tidak dipoligami, penulis memeriksa data itu, dan mengambil data yang sesuai guna menyelesaikan masalah-masalah diatas. 36
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, cet. 6 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), 83. Muhammad Teguh, Metodologi Penelitian Ekonomi "Teori dan Aplikasi" (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 173. 37
18
b. Organizing, yaitu menyusun data dari beberapa data yang diperoleh, mensistematiskan data-data yang diperoleh dalam rangka paparan yang sudah ada dan direncanakan sebelumnya yaitu sesuai dengan sistematika pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah, yaitu setelah penulis mengedit dari data-data yang ada, penulis lalu mensistematiskan atau menggolongkan data itu sesuai dengan rumusan masalah yang ada. c. Penemuan hasil, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data-data yang menggunakan kaidah-kaidah, teoriteori, dalil-dalil, dan sebagainya sehingga diperoleh kesimpulan tertentu. 4. Analisis Data Dalam menganalisa data-data tersebut, penulis menggunakan deduksi, yaitu suatu metode penelitian dengan pola pikir yang berangkat dari penalaran yang bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang bersifat khusus, metode tersebut digunakan untuk menganalisa dalildalil yang dipakai Ibn Taymîyah dan Imam al-Syâfi’î dalam menentukan hukum suami dalam memenuhi atau tidaknya syarat yang diajukan istri tersebut. 38 Kemudian data-data pustaka tersebut, diperlakukan sebagai sumber ide atau gagasan yang baru sebagai bahan dasar untuk melakukan deduksi dari pengetahuan yang telah ada, sehingga kerangka teori baru dapat
38
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004), 47.
19
dikembangkan atau sebagai dasar pemecahan masalah. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unitunit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan.39 Kemudian data-data tersebut akan penulis analisa dengan menggunakan teori ushûl fiqh agar bisa menemukan metode istinbath yang digunakan oleh kedua pendapat tersebut dan sesuai dengan teori ushûl fiqh. Metode analisa dengan ushûl fiqh ini akan penulis sajikan pada bab empat. Untuk mendapatkan kesimpulan yang valid dalam menganalisa data tersebut, penulis dalam penelitian ini menggunakan analisa komparatif, yaitu pola pikir dengan cara membandingkan pendapat yang satu dengan yang lain. Dalam penelitian ini penulis berusaha membandingkan pendapat Ibn Taymîyah dan Imam al-Syâfi’î mengenai istri yang mengajukan syarat tidak ingin dimadu dalam perjanjian perkawinan. H. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari bab dan sub bab sebagai berikut: BAB I :
Bab ini merupakan pendahuluan dari pada skripsi ini yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan pembaca kepada substansi penelitian ini.
39
Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo, Jurusan Syari’ah, Jurusan Tarbiyah, Jurusan Ushuluddin (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2008), 63.
20
BAB II : SYARAT TIDAK INGIN DIMADU YANG DIAJUKAN ISTRI DALAM
PERJANJIAN
PERKAWINAN
MENURUT
IBN
TAYMÎYAH Dalam bab ini penulis mengenalkan lebih dekat tentang obyek dari pada pembahasan ini. Dalam bab ini diuraikan tentang Biografi Ibn Taymîyah yang meliputi, kelahiran dan masa pertumbuhan, keilmuan dan kecerdasannya, kitab-kitab yang dikarang oleh Ibn Taymîyah, metode ijtihad Ibn Taymîyah, pendapat Ibn Taymîyah mengenai syarat tidak ingin dimadu yang diajukan istri dalam perjanjian perkawinan, dasar Hukum dari al-Qur’an, dasar Hukum dari al-Hadits. BAB III : SYARAT TIDAK INGIN DIMADU YANG DIAJUKAN ISTRI DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT IMAM ALSYÂFI’Î Dalam bab ini penulis mengenalkan lebih dekat tentang obyek dari pada pembahasan ini. Dalam bab ini diuraikan tentang Biografi Imam al-Syâfi’î yang meliputi, kelahiran dan masa pertumbuhan, keilmuan dan kecerdasannya, Kitab-kitab yang dikarang oleh Imam al-Syâfi’î, metode ijtihad Imam al-Syâfi’î, pendapat Imam al-Syâfi’î mengenai syarat tidak ingin dimadu yang diajukan istri dalam perjanjian perkawinan, dasar hukum dari al-Qur’an, dasar hukum dari al-Hadits.
21
BAB IV : ANALISIS TERHADAP SYARAT TIDAK INGIN DIMADU YANG
DIAJUKAN
ISTRI
DALAM
PERJANJIAN
PERKAWINAN Dalam
bab
ini
penulis
menganalisis
untuk
mendapatkan
kesimpulan yang valid. Analisa tersebut dilakukan terhadap pemikiran Ibn Taymîyah tentang syarat tidak ingin dimadu yang diajukan istri dalam perjanjian perkawinan menurut Ibn Taymîyah dan Imam al-Syâfi’î dan juga meliputi tentang analisa terhadap metode istinbâth hukum yang digunakan Ibn Taymîyah dan Imam al-Syâfi’î, analisis mengenai persamaan dan perbedaan pendapat Imam al-Syâfi’î dan Ibn Taymîyah. BAB V : PENUTUP Akhirnya kesimpulan dan saran dituangkan dalam bab ini yang sekaligus untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini.
22
BAB II SYARAT TIDAK DIMADU DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN PERSPEKTIF IBN TAYMÎYAH
A. Biografi Ibn Taymîyah 1. Latar Belakang Kelahiran dan masa Pertumbuhannya Nama lengkap Ibn Taymîyah adalah al-Imâm Syaîkh al-Islâm Taqiyu al-dîn Abû al-‘abbâs Ahmad Ibn ‘Abdu al-Halîm Ibn al-Imâm Majdu al-Dîn Abî al-Barakât ‘Abd al-Salâm Ibn abî Muhammad Ibn ‘Abdillâh Ibn Abî al-Qâsim Ibn Muhammad Ibn al-Khadhirî Ibn ‘Alî Ibn ‘Abdullah Ibn Taymîyah al-Harranî.40 Menurut Muhammad Bahjah alBaitar, Ibn Taymîyah berasal dari keluarga besar Taymiyah yang amat terpelajar dan sangat Islami serta dihormati dan disegani oleh masyarakat luas pada zamannya.41 Beliau dilahirkan di desa Harran, Mesopotamia utara dekat Damaskus,42 pada hari Senin, 10 Rabiu’ al-Awwal 661 Hijriyah yang bertepatan dengan 22 Januari 1263 Masehi. Kota Harran tempat kelahiran Ibn Taymiyyah terletak di tengah perjalanan menuju ke Mosul (Iraq), Syam dan Turki di antara sungai Dajlah dan sungai Furat. Ia 40
Ibn Taymîyah, Majmû’ al-Fatawâ al-Kubrâ, Juz.1, 5 Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 623-624. 42 Harran adalah nama sebuah dataran di Damaskus. Dataran ini bermukim orang-orang Dhaja’imah di dekat mata air Ghassan. Ketika orang-orang bani Jafnah datang ke dataran tersebut dan menetap di dekat mata air Ghassan, terjadi keributan antara orang-orang Dhaja’imah dengan Bani Jafnah, yang ternyata orang-orang Dhaja’imah dapat dikalahkan. Bani Jafnah yang menetap di Dataran itu kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama sesuai dengan nama mata air milik mereka,yaitu kerajaan Ghassinah. Pendduduk kota ini terkenal sebagai penyembah bintang. Kota inipun merupakan kota kelahiran Ibn Taymîyah, seorang Ulama terkemuka. Soekarno Karya, Dkk, Ensiklopedi Mini, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), 52-53. 41
23
merupakan pusat perkembangan pelbagai jenis ilmu dan tamadun. Selain itu, ia juga pernah menjadi pusat gerakan keagamaan dan keilmuan golongan Sabî’ah, sepertimana yang tersebut di dalam kitab-kitab Falsafah. Secara khusus beliau terkenal karena sering dikaitkan dengan ilmu Falsafah dan ilmu-ilmu Yunani. Selepas itu ia bertukar menjadi tempat berkembangnya mazhab Hanbalî hasil usaha yang dilakukan oleh nenek moyang Ibn Taymiyyah.43 Ayah Ibn Taymiyah adalah Shihâb al-Dîn Abd Halîm bin Abd alSalâm (627-682), beliau adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi serta dipercaya sebagai khatib dan imam besar sekaligus mu’allim bidang kajian tafsir dan hadith di masjid Agung Damaskus. Jabatan lain yang diembannya adalah sebagai direktur Madrasah Dar alHadith
al-Sukkariyyah
(Sebuah
lembaga
pendidikan
Islam
yang
bermadhab Hanbalî yang sangat maju dan bermutu saat itu dan disini pulalah dia mendidik putra kesayangannya Ibn Taymiyah).44 Kakek Ibn Taymîyah adalah Majd al-Dîn Abi al-Barakât Abd al-Salam bin Abdullah (590-652 H). Dalam penilaian al-Syawkani (1172-1250) ia dinyatakan sebagai seorang mujtahid mutlak, beliau adalah seorang alim termashur yang ahli tafsir, hadith, ahli ushul fiqh, fiqh dan nahwu. Sedangkan alKhatib Fakhr al-Dîn adalah pamannya yang merupakan seorang cendekiawan muslim populer dan pengarang yang produktif di masanya. Syaraf al-Dîn Abd Allah bin Abd al-Halîm (696-727 H) adalah adik laki43
http://aris.protajdid.com/?p=28 Diakses pada Hari Kamis Tanggal 22 Oktober 2009, pukul 10.18 WIB 44 Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Hukum Islam, 624-625.
24
lakinya yang dikenal sebagai ilmuwan muslim ahli bidang kewarisan Islam (farâid), ilmu hadith dan ilmu pasti (al-Riyadiyat).45 Nama Taymîyah itu sendiri adalah sebuah nama yang menurut kakeknya bermula pada saat ia melaksanakan ibadah haji. Adapun istrinya (nenek Ibn Taymîyah) sedang dalam kondisi hamil berada di rumah. Ketika berada di tengah perjalanan, tepatnya di Tayma’ (sebuah daerah dekat Tabuk) konon tiba-tiba ia melihat seorang gadis kecil cantik jelita yang muncul dari sebuah pintu gerbang. Ketika pulang dari Mekkah, ia diberitahu bahwa istrinya telah melahirkan anak perempuan yang kemudian dipanggilnya bayi itu dengan: Ya Taymîyah! Ya Taymîyah! Karena itu bayi yang kelak melahirkan Ibn Taymîyah itu dinisbahkan pada sosok gadis cantik yang pernah dilihat dan dikaguminya di Tayma’. Dalam riwayat lain, nama Taymîyah dinisbahkan kepada nenek moyang Ibn Taymîyah.46 Muhammad al-Jamal menyebutkan bahwa keluarga baik ini dikenal dengan sebutan Banî Taymîyah, sebab penamaan ini adalah karena ibu dari salah seorang kakek mereka yang bernama Taymîyah adalah seorang juru dakwah yang cukup terkenal, maka seluruh anggota keluarga ini dinisbatkan kepadanya yang kemudian dikenal dengan nama ini.47
45
Almakmun, http://almakmun.com/?p=85 Diakses pada Hari Kamis Tanggal 22 Oktober 2009, pukul 10.18 WIB 46 Ibid., 47 Muhammad al-Jamal, Hayatu al-Hayah, Terj.M. Khalid Muslih, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), 203.
25
Ibn Taymîyah menetap di Harran sampai umur tujuh tahun.48 Ibn Taymîyah dilahirkan sekitar lima tahun setelah tentara Mongol menjatuhkan kota Baghdad, Ibu kota Dinasti Abbasiyah. Dengan jatuhnya kota Baghdad, maka runtuhlah kerajaan Islam yang telah berkuasa lima abad dan telah berhasil mencapai kejayaannya baik dalam kemajuan fisik maupun kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pada pertengahan abad 667 Hijriyah (1270 Masehi), ketika beliau berumur kurang lebih enam tahun, desa Harran diserang oleh bangsa Tartar (Mongol). Kondisi semacam ini, mengharuskan keluarga besar Ibn Taymîyah memutuskan untuk hijrah ke Damaskus. Di kota inilah keluarganya menetap dan tumbuhnya Ibn Taymîyah.49 Di Kota itu beliau mendengar ada ulama-ulama yang alim dalam bidangnya masing-masing. Maka beliau memulai belajar bahasa Arab, Tafsîr, Hadits, Fiqh, dan Ushûl Fiqh. Dalam hal ini ternyata beliau adalah seorang yang luar biasa dalam segi hafalan dan cerdas. Sehingga dia dikagumi dalam ilmu ini dan dapat mengatasi temannya yang sama belajar dengan beliau, jauh meninggalkan mereka di belakang. Padahal ketika itu masih berumur sebelas tahun.50
Ayahnya merupakan salah seorang
pembesar ulama mazhab Hanbalî di kota itu. Ayahnya juga adalah orang
48
Ibn Taymîyah, Majmû’ al-Fatawâ, Juz.1, 6. Ibid., 50 Ibn Taymîyah, Iqtisdha shirâthal Mustaqîm, Mukhâlafah shâhibil Jahîm, Terj. Halimuddin, Jalan Lurus Menuju sorga (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 2. 49
26
yang ‘alim dalam ilmu hadits, oleh karenanya ayahnya ingin menjadikan Ibn Taymîyah bisa menguasai ilmu Hadits dan mempelajarinya.51 Sejak masih kecil Ibn Taymîyah sudah mulai menghafal al-Qur'an, yang ia lanjutkan dengan menghafal hadits serta riwayatnya, seperti Musnad Imam Ahmad, kutûb al-Sittah serta Dâr Quthni. Buku yang pertama kali ia hafal adalah al-Jam’u baina al-Shalîhaini karya alHumaidi.52 2. Pendidikan dan Kecerdasannya Damaskus merupakan kota untuk menimba ilmu dari sejumlah ulama terkemuka. Meskipun Damaskus merupakan kota yang tidak begitu aman, karena dibayang-bayangi oleh tentara Mongol, Ibn Taymiyah dapat belajar dengan tenang dan lebih mudah mengembangkan ilmunya dari pada hidup di Harran. Hal ini dikarenakan Damaskus selain dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam selain Mesir, juga merupakan pusat berkumpulnya para ulama besar dari berbagai madhab atau aliran yang ada pada saat itu. Awalnya
Ibn
Taymîyah
mencurahkan
perhatiannya
untuk
mempelajari al-Qur’an (umur tujuh tahun sudah hafal al-Qur’an dengan baik) dan hadith, kemudian bahasa Arab, ulum al-Qur’an, ulum alHadith, fiqh, usul fiqh, sejarah, kalam, mantiq, filsafat, tasawuf, ilmu jiwa, ilmu sastra, matematika dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Dengan perhatiannya yang besar terhadap dunia intelektual, ia digambarkan oleh 51 52
Ibn Taymîyah, Majmû’ al-Fatawâ, Juz.1, 5 Muhammad al-Jamal, Hayatu al-Hayah, 205.
27
al-Dzahabî sebagai sosok yang pantang terhadap makanan, pakaian dan seks, tetapi lebih tertarik untuk memperluas ilmu pengetahuan dan mendorong amal yang sesuai dengan ilmunya.53 Semenjak kecil Ibn Taymîyah rajin menuntut ilmu kepada bapaknya sendiri,54 mempelajari bahasa, ilmu hadits dan fiqh madzhab Hanbalî. Di antara guru-gurunya yang lain adalah Ibnu ‘Abduddayîn dan Ibnu Abî Yasîr, yang mengantarkannya menjadi ilmuan dan berhasil membersihkan Islam dari bid’ah dan kebohongan. Kesibukannya mengajar di Masjid Jami’ Umawi Besar dan di kediamannya membuat
halaqah kajian ilmiyah, serta
menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan karya tulis yang diabadikan oleh para penulis pada saat itu.55 Menurut al-Hafidz Abu ‘Abdillah Adzahaby (lahir 673 dan wafat pada tahun 848 H), beliau di asuh oleh Syaikh Taqiyuddin, di pelihara dengan baik, dijauhkan dari perbuatan dosa, dibiasakannya taat beribadah, sederhana dalam segi makanan dan berpakaian. Di waktu masih kecil beliau suka datang ke rumah guru belajar dengan tekun dan suka menghadiri pengajian-pengajian. Kemudian kebiasaan-kebiasaan di waktu kecil ini setelah besar menjadi terbiasa, yang sangat menarik
53 Almakmun, http://almakmun.com/?p=85 Di akses pada Hari Kamis Tanggal 22 Oktober 2009, pukul 10.18 WIB 54 Dalam riwayat yang lain Ibn Taymîyah belajar Ilmu Fiqh dari pamannya sendiri yakni, Fahru al-Dîn al-Khathîb kemudian pergi ke Baghdad pada usianya yang sudah dewasa dan sudah baligh dan beliau belajar dari Abî Ahmad bin Sukaynah dan Ibn Thabarzadz, Yusuf bin Kâmil, Dhiyâ’ bin al-Khuraif. Dan beliau mendengarkan para Ulama yang bermadzhab Hanbalî di tanah Harran, yang diantaranya adalah Abd al-Qâdir al-Hâfidh. Ibn Taymîyah belajar Qira’ah ‘Asyrah kepada Syaikh ‘Abd al-Wâhid bin Sulthân. Syamsu al-Dîn Muhammad bin Ahmad bin Utsmân alZahbî, Siyaru ‘A’lami al-Nubalâi, Jilid 16 (Beirut: Daar al-Fikr, 1997), 507. 55 Muhammad Sa’id Mursî,Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Terj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), 365.
28
perhatiannya ialah kecintaannya ilmu pengetahuan, ketika masih berusia 19 tahun. Waktunya sehari-hari dihabiskan untuk mempelajari bukubuku syari’at dan mencoba menyusun karangan-karangan. Setelah menguasai bermacam disiplin ilmu, Ibn Taymiyah yang telah menjadi mufti sejak umur dua puluh tahun, kemudian mengabdikan ilmunya demi kejayaan Islam dan kepentingan umat Islam.56 Setelah ayahnya meninggal dunia, ia menggantikan posisinya sebagai guru besar studi hadith dan fiqh madzhab Hanbalî di beberapa madrasah terkenal di Damaskus. Kuliah-kuliahnya mencakup semua aspek ajaran Islam, akan tetapi fokus utamanya adalah menghidupkan kembali semangat Nabi Muhammad Saw dan sahabat-sahabatnya, ketika Islam tercemari oleh ide-ide asing serta bid’ah dan khurafat. Setiap hari dia duduk di kursi membaca tafsir dan di hafalnya. Dia membuka mejlis pengajaran, dan dalam memberikan pengajaran di hadapan orang banyak, suaranya lantang dan fashîh. Berkat Rahmat Allah, Beliau merupakan pedang terhunus dalam berdebat. Merupakan pisau tajam yang mencukur habis orang-orang bid’ah yang berbuat hanya menurutkan hawa nafsunya belaka. Dia mengemukakan dalil-dalil yang benar, menjunjung tinggi agama Allah. Merupakan laut yang tidak pernah keruh dan berlumut. Tintanya mencerminkan auliya’-auliya’ dan orang-orang shaleh. Dia
56
Ibn Taymîyah, Iqtisdha, 4.
29
terkenal ke seluruh daerah dan masih diragukan adanya orang-orang yang dapat menyamainya pada setiap masa.57 Pendidikan yang diterima secara sistematik serta pengetahuannya yang sangat luas telah membentuk keperibadiannya di dalam pembaharu Islam, mengembalikan kembali keasliannya sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.58 Selain mempunyai pembacaan yang meluas, Ibn Taymiyyah juga di anugerahkan Allah dengan ingatan yang kuat. Beliau juga berkemampuan mengarang dengan cepat, hingga mencapai satu jilid. Untuk itu tidak heran ketika beliau mampu menulis sebanyak lima ratus buah karya sepanjang hidupnya. Al-Hafizh bin Ahmad bin Abdul Hadi menulis dalam bukunya yang berjudul, al-‘Aqduduriyah min manâqibi syaikhul Islam Ibn Taymîyah sebagai nerikut: penduduk Damsyik merasa kewalahan dari hal kecerdasab Ibn Taymîyah yang luar biasa itu, tentang ketajaman otaknya dan kekuatan daya hafalannya. Dari beberapa orang ulama Aleppo59 sepakat untuk mendatangi Damsyik, karena mereka mendengar bahwa di daerah Damsyik ada seorang anak yang kuat hafalannya.60 Di antara Ulama terkemuka yang menjadi gurunya adalah Syamsuddîn Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad al-Maqdisî (59757
Ibid., 4-5. http://aris.protajdid.com/?p=28 Diakses pada Hari Kamis Tanggal 22 Oktober 2009, pukul 10.18 WIB 59 Alab (Aleppo) Arsalan nama lengkapnya adalah Muhammad bin Daud Ja’farî Beik bin Mikhail bin Saljuk al-Turkiy, Julukannya adalah sultan yang berilmu, akan tetapi lebih terkenal dengan nama Alab (Aleppo) Arsalan. Wilayah kekuasaannya membentang luas dari wilayahwilayah disekitar sungai tigris sampai dearah-daerah pedalaman Syam. Kekuasaannya tetap berada di bawah Khalifah dari bani Abbasyiyah di Baghdad. Muhammad Sa’id Mursî,Tokoh-Tokoh Besar Islam, 213. 60 Ibn Taymîyah, Iqtisdha, 2-3. 58
30
682H), seorang faqîh ternama dan hakim agung pertama dari kalangan madzhab Hanbalî di Suriah setelah sultan Baybars (sultan mamluk ke-4; 1260-1277) melakukan pembaruan di bidang peradilan. Guru-gurunya yang lain adalah Muhammad bin Abdul Qawî bin Badran al-Maqdisi alMardawî (603-699H), ahli Hadits, ahli fiqh, ahli tata bahasa, mufti, pengarang. Muhammad bin Ismail bin Abi Sa’ad Asy-Syaibanî (687704H), ahli Hadits, ahli nahwu, ahli bahasa, sastrawan dan budayawan. Manja bin usman bin As’ad al-Tanawwukhî (631-695H), binti Makki alHarranî ahli ushul Fiqh, (594-688H), syaikh Syamsuddin Mahmud bin Abdurrahman al-Ashfâhanî (Faqîh dan Muhaddits, 674-749H), dan Abdurrahman bin Muhammad al-Baghdadî (ahli Fiqh Irak, 610-685H).61 3. Metode Pemikiran Ibn Taymîyah Landasan pokok dalam melakukan reformasinya adalah al-Qur’an dan hadits. Menurut Ibn Taymîyah agama adalah apa yang disyari’atkan oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, yang dijadikan pijakan adalah beribadah kepada Allah semata dan dilakukan menurut aturan-aturan yang telah disyari’atkan, tidak dengan bid’ah. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari ikrar dua kalimat syahadat. Dengan melakukan segala sesuatu hanya karena Allah dan mengikuti segala apa yang disampaikan dan diajarkan oleh Muhammad sebagai utusan-Nya. 62 Ibn Taymîyah mempunyai keyakinan yang mendalam bahwa alQur’an dan hadith telah mencukupi semua urusan keagamaan (umûr al61
Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Hukum Islam, 624. Almakmun, http://almakmun.com/?p=85 Diakses pada Hari Kamis Tanggal 22 Oktober 2009, pukul 10.18 WIB 62
31
Dîn) baik yang berhubungan dengan masalah aqidah, ibadah atau mu’amalah.63 Dasar hukumnya adalah di dalam surat al-Nisa’ ayat: 59 sebagai berikut:
Mِ Rْ َ اyِcل َوأُو َ `ُvML cُ`ا اjِU َوَأwَ ]Lcُ`ا اjِU{ُ`ا َأRَ ~ ءَا َ ِcL اQَZgَأQَ ن َ `ُ{Rِ ُْ ْYmُ {ْ ل ِإنْ ُآ ِ `ُvML c وَاwِ ]Lcَ\ اc ِإ ُ وgدMُ lَ ْ ٍءyV َ yِl ْYmُ ^ ْ َزQَ{َ ِْنlَ ْYُ {ْ Rِ I ً ْ ْ ِو¢َ ~ ُb َJ ْ ٌ َوَأMjْ | َ £ َ cِ َذMِ | ِ ْ`ْ ِم اjَ cْ وَاwِ ]LcQِp
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. Al-Nisa’: 59)64 Ibn Taymiyah dalam membangun sistem hukum berfikir mengenai segala aturan keagamaan, baik yang berhubungan dengan masalah aqidah, atau amaliyah berdasarkan al-Qur’an dan hadith. Pijakan tersebut kemudian dikembangkan dalam berbagai pemikiran yang tertuang dalam berbagai karyanya sebagai refleksi dari kondisi kehidupan keagamaan pada saat itu yang berupa berkembangnya taqlid, bid’ah, khurafat dan fitnah.65 Ibn Taymîyah banyak mengetahui masalah fiqh Islam dari berbagai madzhab yang ada. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pengetahuannya tentang fiqh berbagai madzhab lebih luas dan mendalam dari pada pengetahuan penganut-penganut madzhab itu sendiri. Ibn Taymîyah, sebagaimana ulama-ulama yang lainnya, menganggap sangat penting 63
Ibid. Fahd Ibn 'Abdu al-'Azis al-Sa'ud, al-Qur'an al-Karîm wa tarjamatu ma'ânîhi ila al-Lughat al-Andunisiyyah (Madinah al-Munawwarah: Mujamma' al-Mâlik Fahd Li thibâ'at al-Mushhaf alSyarîf, 2005), 128. 65 Almakmun, http://almakmun.com/?p=85 64
32
peranan fiqh dalam Islam. Ia menganggap tidak layak sebutan mutafaqqih fî al-Dîn (orang yang memahami agama) untuk orang yang tidak mengetahui hukum Islam. Memahami hukum Syari’at, menurut pendapatnya merupakan bagian tak terpisahkan dari perintah (kewajiban) untuk memahami agama. Di samping memiliki pemikiran Fiqh yang berbeda dengan pemikiran fuqaha pada umumnya, Ibn Taymîyah juga memiliki pemikiran di bidang ushul fiqh. Secara umum ushul fiqh (dalildalil hukum) Ibn Taymîyah sama dengan ushul fiqh Ahmad bin hanbal, yang mana dia adalah ahli fiqh dan ushul fiqh dari Mesir.66 Menurut penyelidikan para sarjana ushul, fatwa-fatwa Imam Ibn Taymîyah didasarkan atas dalil-dalil hukum yang meliputi; a.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan utama. Menurut Ibn Taymîyah kebutuhan umat Islam untuk memahami al-Qur'an sangat mendasar karena al-Qur'an merupakan tali (agama) Allah yang sangat kuat, peringatan yang bijak, dan jalan yang lurus. Dengan alQur'an hawa nafsu tidak akan menyimpang.67
b.
Hadits Rasulullah SAW sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur'an.
c.
Ijma’ sebagai sumber hukum Islam yang ketiga. Hal ini karena Ibn Taymîyah merujuk kepada beberapa atsar para shahabat Nabi Muhammad SAW, di antaranya ucapan Umar bin al-Khatthab (42 SH/581M-23H/644M) yang berkata; “Putuskanlah (perkara) itu
66 67
Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Hukum Islam, 625. Ibid., 626.
33
menurut Hukum yang ada dalam kitab Allah. Kalau tidak ada (dalam al-Qur'an), putuskanlah sesuai dengan hukum yang ada dalam sunah Rasulullah SAW, dan kalau tidak ada (dalam sunah RasulullahSAW), putuskanlah berdasarkan hukum yang telah disepakati oleh (umat) manusia”. d.
Qiyas (analogi) sebagai sumber hukum Islam yang ke empat. Ibn Taymîyah membagi Qiyas menjadi dua macam, yakni Qiyas Shahîh (analogi yang didasarkan pada persamaan illat yang jelas) dan Qiyas Ghairu Shahîh (analogi yang didasarkan pada illat yang dibuat-buat). Beliau
mentadabburi
ayat-ayat
al-Qur'an
dan
Hadits
lalu
membandingkannya dengan pemikiran yang lurus, sehingga kebenaran akan mucul dengan terang dan jelas. Untuk itu, Ibn Taymîyah bisa dikategorikan sebagai ulama yang paling memiliki kedalaman pemikiran, dan paling mampu menyimpulkan makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits, 4. Kitab-kitab yang dikarang Ibn Taymîyah Karya-karya Ibn Taymîyah meliputi berbagai bidang keilmuan, seperti tafsir, hadits, ilmu Hadits, fiqh, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, filsafat, politik, pemerintahan dan tauhid. Beberapa kitab yang dikarang oleh Ibn Taymîyah yang ditinggalkan terdiri dari Risalah Kecil, seperti; al-Risâlah al-Tadmiriyah, Ushûl al-Tafsîr, al-Washiyah al-Kubrâ, al-Washiyah alShugrâ, al-Wâsithah Baina al-Haq wa al-Khulq wa al-‘Ubûdiyah. Kitabkitab menengah di antaranya adalah; Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, al-
34
Îmân, al-Shârim al-Maslûl ‘alâ syâtimi al-Rasûl SAW. Kitab yang menerangkan keimanan seperti; al-Fatawâ al-Kubrâ yang terdiri dari tigapuluh jilid, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyah ada lima jilid, Talkhîsh al-Talbîs ‘alâ asâsi al-Taqdîs yang terdiri dari dua belas jilid.
B. Syarat Tidak Dimadu Dalam Perjanjian Perkawinan Perspektif Ibn Taymîyah 1. Syarat Dalam Pernikahan menurut Ibn Taymîyah Dalam pandangan Ibn Taymîyah syarat dalam pernikahan itu dibagi menjadi tiga macam:68 a. Syarat shahih, yaitu syarat yang sesuai dengan tuntutan akad atau tidak sesuai dengan tuntutan akad tetapi manfaatnya kembali kepada salah satu pelaksana akad nikah dan syari’at tidak melarang selama tidak menyalahi maksud dari tujuan akad. Hukumnya wajib untuk dipenuhi. Seperti syaratnya istri agar suami menafkahinya, menggaulinya dengan baik, atau suami tidak boleh memadunya. b. Sesuatu yang membatalkan syarat tetapi akad nikahnya tetaplah sah. Seperti laki-laki mensyaratkan untuk tidak memberi mahar bagi istrinya, atau suami tidak akan menafkahi padanya, atau istri mensyaratkan suami tidak boleh menyetubuhinya. Hal ini tidak sah dikarenakan syarat tersebut mengandung pengguguran hak-hak yang wajib sebab adanya akad sebelum akadnya, maka tidah sah.
68
al-Zuhaylî, al-Fiqh, 57-59
35
c. Syarat yang membatalkan perkawinan dari asalnya, seperti mensyaratkan pernikahannya dengan waktu yakni nikah mut’ah. 2. Syarat Tidak Dimadu Dalam Perjanjian Perkawinan Perspektif Ibn Taymîyah dalam kitab Majmû’ al-Fatâwâ al-Kubrâ Syaikhul Islam Ibn Taymîyah berpendapat wajibnya bagi suami untuk memenuhi syarat tidak dimadu yang diajukan oleh istri. Ibn Taymîyah memandang bahwa syarat tersebut sah dan harus dipenuhi oleh suami selama pasangan tersebut tidak membatalkan persyaratan tersebut. Dalam kitab Majmû' al-Fatâwâ al-Kubrâ,69 Ibn Taymîyah pernah ditanyai mengenai syarat dalam pernikahan, ketika seorang istri mensyaratkan agar suami tidak boleh memadunya atau tidak boleh mengeluarkan dari rumahnya atau negaranya, apabila suami disyaratkan seperti itu sebelum akad dan mereka berdua sepakat terhadap syarat tersebut, namun tidak disebutkan dalam akad nikah, apakah syarat tersebut sah dan wajib dipenuhi oleh suami? Dalam hal ini kemudian Ibn Taymîyah menjawab, bahwa syarat itu sah dan harus ditunaikan selama pasangan itu tidak membatalkan syarat tersebut walaupun syarat itu disertakan lagi dalam akad nikah. Beliau telah menetapkan dalil-dalil dalam permasalahan ini dari alQur'an, hadits dan ijma' salaf serta ushûl Syarî'at. Sebagaimana perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara Nabi SAW dan orang lain. Seperti akad bai'at yang terjadi antara beliau dengan orang-orang anshâr
69
Taymîyah, Majmû', juz.3, 316.
36
pada malam 'aqâbah, akad hudnah70 antara beliau dengan orang Quraisy71 pada tahun hudaibîyah72 dan lainnya. Mereka semua sepakat dengan syarat-syarat yang ada. Kemudian mereka berakad dengan lafadz yang mutlaq. Demikian pula keumuman (‘am) pada nash-nash al-Qur'an dan hadîts memerintahkan kepada manusia untuk menuaikan akad, perjanjian dan syarat serta melarang untuk menghianatinya. Akad, perjanjian, dan syarat adalah satu kesatuan. Ahli bahasa dan adat sepakat dengan penamaan tersebut dan makna secara terminologipun sesuai dengan hal tersebut.73 Pernyataan ini dapat kita lihat dalam kitab Majmu’ al-Fatawâ dalam fatwa Ibn Taymîyah tentang pernikahan:
G َ ¦ ِ َو َ ْ§وL c^]َ\ ا َ ج ُ وL §َ mَ ُ G َ wُ Lط َأ ِ ْMV َ ْ~Rِ ح ِ Qَ{ِّcط ا ِ ْوMُ V ُ ْylِ :ٌ cَQَbRَ ِ ¬ْ}َ cْ اT َ ¬ْzuَ ج ِ ْ§وL ¬c^]َ¬\ ا َ ْ
U َ Mِ ¬ُV َ¬ِذَاl ,Qََ] ِهpَ ْ َأوQَ~ْ دَا ِرهRِ QَZ¦ ُ Mُ « ْ َ ً ¬َR ِزG َ ً َ jْ ِ ¬َx ن ُ ْ`¬َُ ْT¬َ ه,Q¬َهMِ َ}ْ¬ ُ ^َ¬~ْ ِذ ْآcْ اI َ ¬َ| َوQ¬َZjْ ]َ^ َ Qَ}َ L وَا ً َ jْ ِ ¬x َ ن ُ ْ`¬ ُ َ ْY¬ َ َ o ِ ُ ¬ aْ َ cْ َ؟ اGْ َر َ ¬ ِ َأوQَ}aُ cْ Qَ آQ¬¬Zَ pِ T ُ ¬ aَ َ cْ ¯ ا ُ ¬ ِ َ .ِ }ْ َ cْ ^ ْ}ُا َ ْ
َ َرQَu ْ`cَ \LmJ َ QَهI َ ° ِ zْ ُ ْYcَ ً ِإذَاRَ ِزG َ Artinya: “Masalah: mengenai syarat dalam pernikahan, bahwasannya seorang istri mensyaratkan agar suami tidak boleh poligami
70
Akad hudnah adalah perdamian yang dilakukan dua Negara yang berperang untuk menghentikan peperangan dalam jangka waktu tertentu, baik dengan konsesi ganti rugi atau tanpa ganti rugi. Dalam bahasa Indonesia disebut Gencatan Senjata. Perpusatakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 567. 71 Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan bahwa diantara tanda-tanda munâfîq adalah ketika berjanji, maka inkar. bahkan Rasullullah SAW memenuhi perjanjian dengan kaum musyrikin. Abu Abdillah Mushtafâ bin al 'Adawî, Ahkam Al-Nikah wa al-Zifâf, terj. Aris Munandar dan Eko Haryono, Tanya Jawab Masalah Nikah dari A Sampai Z (Yogyakarta: Media Hidayah, 2005), 229. 72 Perjanjian Hudaibiyah, yaitu sebuah perjanjian yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan para pemuka kafir Quraisy pada tahun enam Hijriyah. Pada tahun itu Nabi beserta pengikutnya melaksanakan Haji ke Mekah tanpa membawa senjata. Mereka berkemah di mata air Hudaibiyah, namun Nabi beserta para sahabat dihalang-halangi oleh kafir Quraisy, tidak Membolehkan mereka ke Mekah. Akhirnya terjadilah perjanjian antara golongan kafir Quraisy dan Kaum Muslimin. Isi daripada perjanjian tersebut adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun, Nabi dan para pengikutnya baru di izinkan melaksanakan haji tahun tujuh Hijriyah. Soekarno Karya, Ensiklopedi Mini, 116-117. 73 Ibn Taymîyah, Majmû', 316.
37
atau tidak boleh mengeluarkan dari rumahnya atau negaranya, maka apabila suami disyaratkan seperti itu sebelum akad dan mereka berdua sepakat terhadap syarat tersebut, namun tidak disebutkan dalam akad nikah, apakah syarat tersebut sah dan wajib dipenuhi oleh suami? Jawab: segala puji bagi Allah, ya. Syarat tersebut sah dan wajib dipenuhi selama keduanya tidak membatalkannya walaupun disertakan lagi dalam akad nikah.” Ibn Taymîyah juga memperkuat pendapatnya dengan mengutip dari pendapatnya Umar bin al-Khaththab,74 dari sa’id bin Mansur telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih sampai Abdurrahman bin Ghanmindia bercerita bahwa dirinya pernah duduk bersama dengan Umar. Kemudian ada yang memberi informasi bahwa ia ia telah menikah dengan seorang perempuan dengan beberapa syarat. Kemudia Umar berkata “perempuan itu memang berhak mendapatkan apa yang di syaratkan”. Kemudian orang itu berkata “kalau begitu celakalah kaum lelaki, karena perempuan bila ingin menceraikan suaminya pasti akan menceraikannya”, kemudian Umar berkata:
ْYZِ ِ U ِ Qَ}Rَ َ {ْ ^ ِ ْYZِ U ِ ْوMُ V ُ \َ]^ َ ن َ ْ`aُ ]ِb ْ aُ cْ َا
Artinya: “Orang-orang Islam terikat dengan apa yang disyaratkan pada hal-hal yang terkait dengan hak-hak mereka”75 C. Dasar-dasar hukum Ibn Taymîyah Terhadap Syarat Tidak Dimadu
Ibn Taymîyah telah menjelaskan tentang syarat tidak dimadu yang diajukan istri dalam al-Qur'an, al-Sunnah dan ijma’.76 Pendapat Ibn Taymîyah yang didasarkan dari al-Qur'an adalah dalam surat al-Maidah ayat 1:
74
Ibid. Muhammad Abdul Azis al-Halawî, Fatawâ wa Aqdhyah Amiril Mukminin Umar Ibn alKhattab, Terj. Wasmukan, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqh (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 152. 76 Taymîyah, Majmû', 316. 75
38
4 ÏŠθà)ãèø9$$Î/ (#θèù÷ρr& (#þθãΨtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'‾≈tƒ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”77 Dan Surat al-Isra’ ayat 34:
Zωθä↔ó¡tΒ šχ%x. y‰ôγyèø9$# ¨βÎ) ( ωôγyèø9$$Î/ (#θèù÷ρr&uρ 4 Artinya: “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”78 Dasar Hukum dari al-Hadits79
Qَ| Qً}lِ Qَ{Rُ ن َ Qَ آwِ jْ lِ ~ L ~ْ ُآRَ ٌpَ ْ َأر:ل َ Qَu Yَ ]Lv َ َوwِ jْ ]َ^ َ wُ ]Lc\ اL]x َ y َ zِ {َ cن ا L َأ \LmJ َ ق ِ Qَ{ِ c~ ا َ Rِ ٌ ]َ ْ | َ wِ jْ lِ ْ
َ Qَ~ آ L Zُ {ْ Rِ ٌ ]َ ْ | َ wِ jْ lِ ْ
َ Qَ~ْ آRَ َوQًcِ Yَ x َ Qَ| َ َر َوِإذَا َ َ َهQَ^ ب َوِإذَا َ َ ث َآ َ L J َ ن َوِإذَا َ Qَ| ~ َ aِ ُ ْ ِإذَا اؤ: QَZ^ َ َ َ .ML َ lَ
Artinya: “Empat hal yang apabila terkumpul dalam diri seseorang maka dia adalah seorang munâfiq sejati. Barang siapa yang terdapat dalam dirinya salah satu dari keempat hal tersebut maka berarti dia sedang berada dalam salah satu cabang kemunâfiqkan sampai dia meninggalkannya: Apabila diberi amanat dia khianat, apabila bicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari dan apabila berselisih dia akan bermusuhan.” Dalam asas-asas perjanjian Islam, dianut apa yang disebut dalam ilmu hukum sebagai asas kebebasan berkontrak. Dalam asas kebebasan berkontrak, dimaksudkan kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian apapun dan
berisi apa saja sesuai dengan kepentingannya dalam batas-batas kesusilaan dan ketetentuan umum syari’at.80 Kebebasan berkontrak lebih nampak jelas dalam sabda Nabi SAW bahwa orang-orang Islam itu pada syaratnya, kecuali syarat yang menghalalkan perkara haram dan mengharamkan perkara yang halal. Nabi 77 Aqad (perjanjian) mencakup janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Fahd Ibn 'Abdu al-'Azis al-Sa'ud, al-Qur'an al-Karîm wa tarjamatu ma'ânîhi ila al-Lughat al-Andunisiyyah (Madinah al-Munawwarah: Mujamma' alMâlik Fahd Li thibâ'at al-Mushhaf al-Syarîf, 2005), 156. 78 Ibid., 429. 79 Abî Abdillah Muhammad Bin Ismâ'îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, cet I (Beirut: Daar Ihyâ al-Turâts al-Arabî, 2001), 31-32. 80 Subekti, Hukum Perjanjian, cet, ke-6. (Jakarta: PT. Intermasa, 1979), 13.
39
SAW bersabda dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzî dalam bab perdamaian antara manusia:81
.ًG َIَJ َ مLMَJْ أَوQًRَاMَJ LTَJَ أQًUْMَVLG ِْ إYِZِUُْوMُV \ َ]َ^ َُ`ْنaِ]ْb ُaْcَا ٌ±ْjَِx ٌ~َbَJ ٌ²َِْJ هَا:yَb ْjِ^ `ُpَلَ أQَuَو Artinya: "orang-orang Islam itu pada syaratnya, kecuali syarat yang menghalalkan perkara haram dan mengharamkan perkara yang halal". Abu Îsâ berkata: Ini adalah hadits hasan dan shahih. Di sini kaum muslimin dibenarkan memperjanjikan syarat-syarat dan perjanjian itu mengikat untuk dipenuhi dalam batas ketentuan halal dan haram. Lafadz syurûth adalah bentuk jama' yang diidlâfahkan kepada kata ganti "mereka". Kasus ini menunjukkan bahwa dia termasuk lafadz umum, sehingga hal itu berarti bahwa kaum muslimin dapat mengisikan syarat apa saja ke dalam perjanjian mereka dalam batas-batas ketentuan halal dan haram, artinya dalam batas-batas ketertiban umum syara'.82 Pendapat yang kuat menurut Ibn Taymîyah tentang penafsiran Hadits di atas adalah syarat yang menyelisihi al-Qur'an dan Hadits Rasulullah SAW. Sedangkan syarat yang berkenaan dengan perkara mubah seperti tersebut dalam permasalahan syarat tidak dimadu tetap harus dipenuhi.83 Ayat dan hadîts tersebut jelas memerintahkan untuk memenuhi janji, aqad dan juga syarat serta apapun yang sudah menjadi kesepakatan bersama.
81
Abu Îsâ Muhammad bin Îsâ bin Sûrah bin Mûsâ al-Tirmîdzî, al-Jâmi’ Sunan al-Tirmîdzî (Beirut: Daar Ihya al-Turats al-‘Arabî, 1999), 390. 82 Rahmani Timorita Yulianti, http://journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/viewFile/164/129. diakses pada tanggal 11 Agustus 2009 waktu 22.29 WIB. 83 al-'Adawi, Ahkam, terj. Aris, 228.
40
Termasuk dalam hal ini adalah syarat yang ditetapkan seorang istri kepada suaminya agar tidak memadunya.84 Hadîts Nabi:
ج َ ْوMُ ُ cْ اwِ pِ ْYmُ ]ْ ]َ ْ mَ v ْ ِإQRَ wِ pِ \lL `َ ُ ْط َأن ِ ْوMُ ´ g c ا³ gJ َ َأ Artinya: “Syarat yang paling utama untuk kalian penuhi adalah syarat yang dengannya kalian bisa halal berhubungan badan” 85 Hadîts ini tegas menyatakan bahwa setiap syarat yang bisa mengantarkan pada suatu pernikahan adalah harus ditunaikan, karena masalah nikah lebih mulia kedudukannya serta lebih berharga dari pada harta. Penetapan syarat dari istri agar suami tidak memadunya adalah termasuk ke dalam bagian ini serta masyru’ dan suami wajib memenuhinya. Persyaratan ini telah memenuhi apa yang dikatakan Nabi dan tidak terdapat larangan secara khusus untuk hal tersebut. Dalam pandangan al-Syaukanî alasan lebih layaknya memenuhi persyaratan yang berkenaan dengan perkawinan itu adalah karena urusan perkawinan itu sesuatu yang menuntut kehati-hatian dan pintu masuknya sangat sempit sehingga suami harus memenuhi syarat tersebut.86 Ibn Taymîyah mengambil hadits Nabi Saw. tentang akad perdamaian Beliau dengan orang-orang Quraisy.
~ ِ^ َ ق َ Qَv ْ ِإyِp^~ْ َأ َ ٍ jْ ِ v َ ~ ُ pْ ن ُ Qَjْ v ُ Qَ{µَ L J َ :`ْ ٍدZُ b ْ Rَ ~ ُ pْ َ\ اvْ`Rُ ل َ Qَuَو wِ jْ ]َ^ َ o ُ \ اL]x َ y g zِ {Lc ا± َ cَQَx :ل َ Qَu QَaZُ {ْ ^ َ o ُ اy َ¶ ِ ¯ َر ٍ ْ ِزQَ^ ~ ِ pْ ا ِءLMzَ cْ ا ~ َ Rِ ُ Qَ ~ْ َأRَ \َ]^ َ : َءQَjV ْ ِ َأµَ I َ µَ \َ]^ َ ِ jَ zِ ْ َ ُ cْ ~ َ`ْ َم ا َ jْ ِآMِ ´ ْ aُ cْ اYَ ]Lَv َو ْ^]َ\ َأن َ َو, ُ ْدوg Mُ َ ْYcَ ~ َ jْ aِ ]ِb ْ aُ cْ ~ ا َ Rِ ْY ُهQَ~ْ َأRَ َو,ْYZِ jْ cَ ِإ ُ دL ~ َر َ jْ ِآMِ ´ ْ aُ cْ ا 84
http://jacksite.wordpress.com/2007/08/02/istri-mensyaratkan-untuk-tidak-dipoligami/ diakses pada tanggal 13 Juni 2009 pukul 15.06 WIB 85 Imam al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, 482. 86 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2006), 146.
41
:ح ِI ّb ِ cن ا ِ QLz]ُ ُ pِ G L ِإQَZ]َ| ُ َْ G َ َو, ٍمQL َ َأµَ I َ µَ QَZpِ Yَ jْ }ِ ُ َو,T ٍ pِ Qَu ْ~Rِ QَZ]َ| ُ َْ ُ دL Mَ lَ , ِ `ْ ِدjُ uُ ْylِ T ُ ُ ْ َ ل ٍ َ {ْ ¦ َ ْ`pُ َء َأQَlَ . ِ `ِ ْ َ س َو ِ ْ`}َ cْ ¸ وَا ِ jْ b L cا 87 .ْYZِ jْ cَِإ
Artinya: Dari al-Barra' bin ‘Azib, dia berkata: "Nabi SAW mengadakan perdamaian dengan orang-orang musyrik di hari Hudaibiyah atas tiga syarat: sesungguhnya barangsiapa yang datang kepada nabi SAW dari orang-orang musyrik, maka beliau harus mengembalikannya kepada mereka. Barangsiapa yang datang kepada mereka dari kaum muslimin, maka mereka tidak perlu mengembalikannya kepada beliau. Beliau hanya boleh memasuki wilayah Hudaibiyah hanya selama tiga hari saja dan hanya boleh membawa sarung senjata pedang, panah dan sebagainya. Ketika Abu Jandal datang kepada nabi SAW maka beliau mengembalikannya kepada mereka."88 Melalui hadits ini Ibn Taymîyah melihat kemutlaqkan lafadz pada akad hudnah tersebut. Sehingga dengan begitu masuklah syarat tidak dimadu pada syarat yang harus dipenuhi oleh suami, karena melihat kemutlakan pada lafadz tersebut. Kemudian dari Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab keutamaan Fâthimah Binti Muhammad SAW.
`َ َو ُهMِ zَ {ْ aِ cْ ^]َ\ ا َ o ِ لا َ ْ`v ُ َ َرaِ v َ wُ L َ أwُ µَ L J َ َ Rَ Mَ « ْ Rَ ~ َ pْ `َا َرb ْ aِ cْ ن ا Lأ y L ]ِ^ َ ْYZُ mَ {َ pْ `ْا ا ُ َ {ْ َ ْ َأنyِ ْ`ُ َذ¢َmv ْ ِة اMَ jْ ¹ِ aُ cْ ~ ا ِ pْ ِمQَ´ ِهyِ{pَ ن L ِإ:ل ُ ْ`}ُ َ ْ َأنG L ِإ.ْYZُ cَ ن ُ َأ َذG َ YL µُ .ْYZُ cَ ن ُ َأ َذG َ YL µُ .ْYZُ cَ ن ُ َأ َذI َ lَ .¯ ِ cِQَU yِp~ َأ ِ pْ ا ٌ َ » ْ pَ yِm{َ pْ اQَaLِlَ .ْYZُ mَ {َ pْ ا± َ ِ {ْ َ َوyِm{َ pْ ا³ َ ]L° َ ُ ْ¯ َأن ِ cِQَU yِp~ َأ ُ pْ ¯ ا L ِ ُ yِّ ِإ:Mِ | َG َ وَا َ ِ اM¼ c اyِl َو.QََأذَاهQَR yِ{ْ َو ُْ ِذQَZpَ رَاQَR yِ{zُ ْ Mِ َ .yّ{ِ Rِ ل ِ ْ`v ُ
َر ُ {ْ pِ ُ aْ mَ ْ َ G َ o ِ ِ~ْ وَاcَ َوQًRَاMJ َ T gJ ِ َأG َ َوG ًI َJ َ ُمMُ J ْ
َأ ُ b ْ cَ 89 .ًاJ ِ وَاQًQَRَ o ِ ^ ُ ِّو ا َ
ُ {ْ pِ َوo ِ ا Dan dari Hadîts Nabi: sesungguhnya Miswar bin Mahramah bercerita, bahwasannya dia pernah mendengar dari Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Bani Hisyâm bin al-Mughirah telah datang meminta ijin untuk 87
al-Bukhârî, Shahîh, 478. http://ummulhadits.org/view_cari4.php?kode=SHBK&no=2575&page=1&key1=hudaibiyah Di akses 14 januari 2010. 10.00 WIB. 89 Imam Muslim, Shahîh Muslim bi Syarh al-Imam al-Nawawî, cet. Pertama, Jilid VIII (Beirut: Daar Ihya’ al-Thurats al-‘Arabî, 1999), 71. 88
42
menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka saya tidak mengijinkannya, saya tidak mengijinkannya dan tidak akan mengijinkannya. Sesungguhnya Fâthimah adalah bagaian dari diriku, sehingga akan menyakitiku apapun yang menyakitinya, sungguh saya tidak suka sekiranya mereka berbuat jelek terhadapnya. Kemudian dalam riwayat yang lain ditambahkan bahwa Rasulullah bersabda: Saya tidak sedang mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram. Hanya saja, Demi Allah, tidak akan pernah bersatu putri rasulullah dengan putri musuh Allah.” Jika dilihat dari latar belakang hadits ini, muncul ketika Ali bin Abî Thâlib meminang putri Abû Jahl kemudian Fâthimah mengetahuinya lalu datang kepada Nabi seraya mengatakan: “Kaum mu mengira kalau engkau tidak bisa marah demi membela putrimu, padahal Ali hendak menikahi putri Abû Jahl.” Mendengar penuturan Fâthimah ini Nabi segera bediri seraya mengatakan sebagaimana dalam hadits di atas. Latar belakang cerita ini juga diriwayatkan oleh Miswar bin Mahramah.90 Dari hadîts ini tampak bahwa Nabi menetapkan syarat kepada Ali agar tidak memadu Fâthimah serta tidak melakukan perbuatan yang bisa menyakiti hatinya. Sehingga ketika Ali berniat untuk menyelisihi syarat ini maka Nabi segera mengingatkannya dengan hal tersebut. Beliau mema’lumkan kepada manusia bahwa beliau tidak akan melepaskan syarat itu dan dengan sikapnya ini tidak berarti sedang mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram. Akan tetapi ini semua adalah berkaitan dengan apa yang Ali pilih dan wajib dia penuhi.91 Dalam hal syarat tidak dimadu yang di ajukan istri dalam perjanjian perkawinan ini merupakan syarat yang mengikat kemerdekaan suami. 90
Ibid., 72. Abu Ishaq As-Sundawy, http://salafyitb.wordpress.com/2006/12/15/seorang-istri-bolehmensyaratkan-untuk-tidak-dipoligami-1/ diakses pada tanggal 13 Juni 2009 pukul 14.57 WIB 91
43
Masalah ini dalam Ensiklopedi Ijmak bila istri memberikan syarat kepada suami untuk tidak mengeluarkan istri dari negerinya atau tidak boleh memadunya, maka suami itu harus memenuhi syarat tersebut, bila tidak mau memenuhi maka istri berhak memfasakh (membatalkan) nikahnya. Pendapat ini di ambil dari pendapatnya Umar, Mua’wiyah, Sa’ad bin Abi Waqash dan Amr bin al-‘Ash dari kalangan para sahabat dan tidak diketahui ada yang menentangnya pada zaman mereka, maka hal ini merupakan Ijmak.92 Menurut Sayyid Sâbiq sebenarnya syarat tidak dimadu tersebut mempunyai manfaat dan maksud tersendiri. Karena syarat tersebut tidak melarang tujuan dari pernikahan itu sendiri, maka syarat tersebut menjadi lazim dan harus dipenuhi sebagaimana istri yang mengajukan syarat pada suami agar menambahkan mahar untuk istri.93 Ibn Taymîyah mengatakan, syarat yang diajukan istri ini termasuk akad, dan yang dikehendaki tujuan akad adalah ketika syarat itu merupakan mashlahah bagi perempuan. Maka suami tidak boleh mundur dan dilarang mengkhianatinya. Karena syarat yang termasuk maslahah bagi orang yang melakukan akad, juga termasuk mashlahah untuk akad nikahnya.94 Dalam permasalahan ini Ibn Taymîyah mencontohkan seperti batas waktu pinjam meminjam barang yang harus dikembalikan tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian. Ibn Taymîyah menilai apabila syarat tersebut bermanfaat maka harus dipenuhi suami.
92 Ahmad Sahal Machfudz dan Musthafa Bisri, Persepakatan Ulama Dalam Hukum Islam: Ensiklopedi Ijmak, Cet. Kedua (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2003), 542. 93 Sayyid Sâbîq, Fiqh al-Sunnah, jilid.2 (Beirut: Daar Al-Fikr, 1992), 45. 94 Ibid.
44
Masalah ini diperkuat lagi dengan pendapatnya Ibn Qudamah. Beliau mengemukakan pendapatnya bahwa pendapat yang mewajibkan memenuhi syarat ini lebih unggul, dengan alasan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Hal ini ditegaskan lagi dengan adanya komentar Ibn Qudamah terhadap pendapat yang menggugurkan syarat tersebut. Diantaranya, Qaulnya shahabat Umar merupakan Ijma’, karena tidak diketahui adanya perbedaan pada masa Umar. Qaul shahabat ini merupakan dasar atau dalil disyari’atkan syarat yang diajukan istri tersebut. Pemahaman Ibn Qudamah seperti ini merupakan pemahaman dari hadits yang menyatakan bahwa setiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah adalah batil. Menurut Ibn Qudamah syarat yang dimaksud adalah syarat yang tidak terdapat dalam hukum Allah dan syari’at Allah, pada hal syarat seperti ini (perjanjian dalam perkawinan) adalah disyari’atkan, yakni dari Ijma’ shahabah.95 Ibn Rusyd mengatakan, yang menjadi penyebab terjadinya perkhilafan diantara para ulama adalah pertentangan antara hadits yang umum kepada yang khusus. Hadits yang umum adalah:
ط ٍ ْMV َ َ Àَ QِR ن َ Qَ`ْ آcٌَ َوTU ِ Qَp `َ Zُ lَ o ِ با ِ Qَmْ ِآylِ k َ jْ cَ ط ٍ ْMV َ T g ُآ Sedangkan hadits yang khusus adalah:
ج ُ ْوMُ ُ cْ اwِ pِ ْYmُ ]ْ ]َ ْ mَ v ْ ِإQRَ wِ pِ \lL `َ ُ ْط َأن ِ ْوMُ ´ g c ا³ gJ َ َأ Kedua hadits ini merupakan hadits shahih semua, yang diriwayatkan oleh Imam Muslin dan Imam Bukhârî. Menurut Ibn Rusyd yang sudah masyhûr dikalangan ulama ushûl adalah menghukumi dengan yang khusus 95
Ibid.
45
meninggalkan yang umum. Maka syarat tersebut menjadi lazim dan harus dipenuhi oleh suami.96
96
Ibid., 46.
46
BAB III SYARAT TIDAK DIMADU DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN PERSPEKTIF IMAM AL-SYÂFI'Î
D. Biografi Imam al-Syâfi'î 5. Latar Belakang Kelahiran dan masa Pertumbuhannya Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Al-Syâfi’î bin Sya’ib bin Ubaid bin Hisyâm bin Abdul Muthallib bin Abdu Manaf bin Qushaiy. Beliau dilahirkan di Syam pada Tahun 150 Hijriyah di hari wafatnya Imam Abu Hanifah. Hidup dalam kondisi yatim, dan ibunda mengajarinya ilmu.97 Muthalib ini adalah salah seorang dari anak-anak Abdul manaf yang empat, yaitu: Muthallib, Hasyim, Abdul Syams kakek golongan Amawiyah, dan Naufal dari kakek Zubair Ibn Muth’in. Muthallib inilah yang mendidik Abdul Muthallib anak saudaranya Hasyim, kakek Rasulullah SAW. Banu Muthallib dan Banu Hasyim merupakan satu rumpun dan selalu bertentangan dengan banu Abdul Syams di masa Jahiliyyah. Anak-anak Banu Muthallib memihak pada Nabi, kala nabi di boikot oleh kaum Quraisy, sedang Banu Abdul Syams memihak Quraiys. Sedangkan ibu Imam Al-Syâfi’î dari golongan al-Azd, bukan dari golongan Quraisy.98 Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan 97
Sa’id Mursî,Tokoh-Tokoh, 340. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, cet.Pertama (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997),480-481. 98
47
disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman. Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan.99 Pada saat itu Idris bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju kampung Gazah di Palestina, di mana saat itu umat islam sedang berperang membela negeri Islam di kota Asqalan, sebuah kota pesisir. Lalu mereka tinggal di kampung Ghazzah, yang sudah dekat dengan Asqalan. Pada waktu itu Fatimah (istri Idris bin Abbas) sedang mengandung, Idris gembira dengan hal ini, sampai dia berkeinginan, kalau saja anaknya nanti adalah putra maka akan dinamakan Muhammad dengan panggilan nama seorang kakeknya yaitu Syafi’i bin Syaib. Akhirnya Fatimah melahirkan di Ghazzah tersebut, dan terbuktilah apa yang di cita-citakan oleh ayahnya dinamai Muhammad dan dipanggil dengan nama al-Syafi’î.100 Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan. Makkah adalah tempat Imam Al99 100
Arif Syarifuddin, http://pustakaimamsyafii.com/pis/is/, 08 oktober 2009, Pukul 11.35 WIB. Muhammad al-Jamal, Hayatu al-Hayah, 60.
48
Syâfi’î dalam menghabiskan masa kanak-kanaknya dan tempat ini pulalah ia memulai kehidupan keilmuannya.101 Dalam riwayat yang lain ketika ibunya ingin membawanya kembali ke Mekkah agar dalam mendapatkan pendidikan yang layak tidak terhalangi. Maka ibunya memutuskan untuk membawa al-Syafi’i ke Mekkah dan tinggal di sebuah kampung dekat Masjidil Haram, yang disebut kampung al-Khaif. Al-Syafi’i dibesarkan dalam keadaan yatim dan fakir, hidup atas bantuan keluarganya dari kabilah Quraisy, namun bantuan yang dia dapatkan sangat minim, tidak cukup untuk membayar guru yang bisa mengajarkan tahfidz al-Qur'an serta dasar-dasar membaca dan menulis, namun karena sang guru melihat kecerdasan Imam AlSyâfi’î serta kecepatan hafalannya, ini menyebabkan dibebaskan dari bayaran.102 6. Pendidikan dan Kecerdasannya Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Di Makkah ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra.103 Dari Abu Nu’aim dengan sanad dari Abu Bakr bin Idris juru tulis Imam al-Humaidi, dari Imam al-syafi’i, dia berkata, “aku adalah seorang yatim di bawah asuhan ibuku. Ibuku tidak mempunyai dana guna membayar seorang
101 Abdul Mun’im Saleh, Madzhab Syafi’I Kajian Konsep al-Maslahah (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 7. 102 al-Jamal, Hayatu al-Hayah, 61. 103 http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi'i, 08 oktober 2009, Pukul 11.40 WIB.
49
guru untuk mengajariku. Namun, seorang guru telah mengizinkan diriku untuk belajar dengannya, ketika ia mengajar yang lain. Tatkala aku selesai mengkhatamkan al-Qur’an, aku lalu masuk masjid untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan para ulama. Dalam pengajian itu, aku hafalkan hadits dan permasalahan-permasalahan agama. Waktu itu aku masih tinggal di Makkah, di suku khif”.104 Pada usianya yang sembilan tahun, Imam Al-Syâfi’î telah menyelesaikan pelajaran baca tulis, bahkan telah mampu menghafal alQur’an sebanyak tigapuluh juz serta menguasai sejumlah hadits Nabi SAW. Beliau mempunyai minat yang tinggi dalam belajar bahasa Arab sehingga mendorong untuk meninggalkan ibunya pergi ke perkampungan Banî Hudzayl, (suatu kabilah yang masih murni berbahasa Arab) guna mendalami bahasa Arab. Barangkali karena hal inilah beliau dikenal mempunyai penguasaan sastra Arab yang tinggi.105 Setelah sepuluh tahun lamanya al-Syaf’î tinggal di Badiyah itu, kemudian al-Al-Syâfi’î mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam bidang syair yang digubah golongan Hudzail itu, amat indah susunan bahasanya. Disana pula ia belajar memanah sampai ia mahir dalam bermain panah dan juga belajar diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk kota.106 Al-Syafi’i dalam masa belajarnya, ia belajar bukan hanya pada satu tempat saja, ia sangat
104 105 106
Ibn Saruji, www.abualbinjy.wordpress.com, 08 Oktober 2009, Pukul 11.00 WIB. Mun’im, Madzhab, 8. Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok, 481.
50
suka berpetualang ke berbagai negeri untuk mencari ilmu dari para ulama, di samping untuk mendengarkan para sastrawan dan penyair.107 Dalam pengembaraannya Ia belajar di lima tempat, 108 yaitu: a. Belajar di Makkah Di Makkah, Imam Al-Syâfi’î berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khâlid al-Zanjî sehingga ia mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia lima belas tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqh dari para ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin Khâlid al-Zanjî yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.109 b.
Belajar di Madinah Kemudian sampailah khabar kepada Imam Al-Syâfi’î bahwa di Madinah ada seorang Ulama yang besar, yaitu Imam Mâlik, yang memang namanya pada masa itu terkenal kemana-mana dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan Hadits. Sebelum Imam Al-Syâfi’î belajar ke sana, ia lebih dahulu menghafal alMuwatha’, kitab susunan Imam Mâlik yang telah berkembang pada
107 108 109
Muhammad al-Jamal, Hayatu al-Hayah, 65. http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi'i, 08 oktober 2009, Pukul 11.40 WIB. Ibid.
51
masa itu. Kemudian ia berangkat ke Madinah dengan membawa surat dari gubernur Mekkah.110 Untuk melaksanakan keinginan belajar mendalami kitab Muwattha’ itu, al-Al-Syâfi’î sebelumnya menghadap kepada Wali (penguasa) Makkah dengan tujuan ingin mendapat surat pengantar yang ditujukan kepada wali Madinah dan Imam Mâlik bin Anas sebagai penguat untuk memperlancar keinginan tersebut. Pada awalnya wali Madinah merasa keberatan, karena orang yang di datangi adalah ulama besar dan berwibawa yang disegani masyarakat. Tetapi
setelah
didesak
akhirnya
mau
juga
beliau
untuk
mengantarkannya. Imam Mâlik bersedia menerima al-Syafi’i sebagai muridnya.111 Imam Mâlik kagum akan kecerdasan Imam Syafi'î. Dari Imam Mâlik, Imam Al-Syâfi’î mengambil ilmu tentang Sunnah, dan justru Imam Syafi'îlah yang memberikan perumusan sistematik dan tegas bahwa sunnah yang harus dipegang bukanlah setiap bentuk sunnah, tapi hanya yang berasal langsung dari Nabi SAW. Yakni dengan penyaringan mana yang benar-benar dari Nabi dan mana yang hanya diklaim sebagai dari Nabi.112 Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khâlid, Abdul Aziz al-Darâwardi. 110
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok, 481. Yusuf Muhammad al-Baqa’i, Diwan al-syafi’i, Terj. Abdul Ra’uf Jabir, Koleksi Syair Imam Syafi'î, 15-16. 112 Imam Syafi'î, Ar-Risalah Imam Syafi'î, terj. Ahmadie Thoha, cet. Ketiga (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), xv. 111
52
Setelah Imam Mâlik wafat Imam Al-Syâfi’î merasakan dirinya perlu berusaha untuk memperoleh penghidupan yang wajar, karena sampai saat itu ia tetap dalam keadaan fakir. Pada masa itu dengan perantara beberapa orang Quraisy, kemudian Imam Al-Syâfi’î dipakai Gubernur Yaman untuk menjadi pegawai Negara di Yaman.113 c.
Di Yaman Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet ulama-ulama Yaman yang pernah menjadi gurunya adalah Mutharraf Ibn Mazim, Hisyam Ibn Taymîyah Yusuf, Umar bin Abi Salamah, teman Auza’I dan Yahya Ibn Taymîyah Hasan teman al-Laits.114
d.
Di Baghdad, Iraq Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab AtsTsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.115 Muhammad bin Hassan pada masa itu adalah seorang hakim besar di Baghdad. Ia membaca kitab-kitab Muhammad bin Hassan. Dengan demikian berkumpullah padanya fiqh Iraqî dan fiqh Hijazî. Kemudian ia kembali lagi ke Makkah dengan membawa fiqh Iraqî yang banyak. Di Makkah ia mengadakan majlis ilmu dalam Masjid al-Haram dan ia
113 114 115
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok, 481. Ibid., 487. http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi'i, 08 oktober 2009, Pukul 11.40 WIB.
53
memulai menumbuhkan fiqh baru yaitu fiqh Madinah yang bercampur dengan fiqh Iraq, antara naql dan akal. Ia bermukim di Makkah selama Sembilan tahun. Kemudian datang lagi ke Baghdad setelah menemukan jalan baru dalam ilmu fiqh, yakni dengan membuat dasardasar istinbath yang berguna untuk mencari hukum yang apabila tidak diketemukan dalam al-Qur'an dan al-Sunnah dan membuat pedoman ijtihad dan batas-batas yang harus dijaga. Di sini ia menyusun kitabkitab dan risalah-risalah serta mendidik kader-kader fiqh yang terkenal.116 e.
Di Mesir Imam Al-Syâfi’î bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Makkah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqh, ushûl madzhab, penjelasan nasikh dan mansukh. Di Baghdad, Imam Al-Syâfi’î menulis madzhab lama (madzhab qodîm). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadîd). Di sana beliau wafat sebagai syuhadâul ‘ilm di akhir bulan Rajab 204H.117 Imam Al-Syâfi’î pernah mempelajari madzhab Imam al-Auza’i.
Kisah penelusurannya terhadap Madzhab al-Auza’i sempat terekam dalam kitab Imam Al-Syâfi’î di sebuah ensiklopedia fiqh yang terbit di Mesir, terdapat kitab riwayat hidup al-Auza’î. Kitab tersebut berisikan pandangan Imam 116 117
Al-Syâfi’î
terhadap
pendapat-pendapat
al-Auza’î.
Sebagian
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok, 482-483. http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi'i, 08 oktober 2009, Pukul 11.40 WIB.
54
pendapat Imam Al-Syâfi’î ada yang cocok dengan pendapat al-Auza’î dan sebagian yang lain Imam Al-Syâfi’î membantahnya. Imam Al-Syâfi’î juga pernah mempelajari madzhab Laits bin Sa’ad. Imam Al-Syâfi’î menganggap Imam Laits lebih unggul dalam bidang fiqh dibandingkan dengan Imam Mâlik.118 Wahbah al-Zuhailî menyatakan Imam Al-Syâfi’î adalah seorang Mujtahîd mustaqîl Mutlaq, Imam dalam bidang fiqh dan Hadits. Beliaulah yang mampu menggabungkan fiqh Ulama Hijaz dan fiqh Ulama Irak. Semua ahli fiqh, ushûl, Hadîts, ahli bahasa serta ulama lain telah sepakat bahwa Imam Al-Syâfi’î adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, wara’, bertaqwa, pemurah, reputasinya baik, serta mempunyai kedudukan yang mulia.119 7. Metode Pemikiran Imam Al-Syâfi’î Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir al-Sunnah wa al-Hadits.120
118
Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi'î: Hayatuhu wa ‘ashruhu wa fikruhu ara’uhu wa fiqhuhu, terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Imam Syafi'î: Biografi dan Pemikirannya dalam masalah akidah dan politik (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), 79. 119 Wahbah al-Zuhailî, Fiqh al-Islamî wa adillatuhu, Juz.I (Beirut: daar al-Fikr, tt), 36. 120 Arif Syarifuddin, http://pustakaimamsyafii.com/pis/is/ , 08 oktober 2009, Pukul 11.35
55
Imam Al-Syâfi’î mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan qaul al-Qadîm dan Qaul al-Jadîd. Qaul qadîm terdapat dalam kitabnya bernama al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak dan qaul Jadîdnya terdapat dalam kitabnya al-Umm, yang di cetuskan di Mesir.121 Menurut riwayat Ibnu Hajar yang bersumber dari Buwaihi dinyatakan bahwa ulama Irak pada suatu waktu berkumpul dengan Imam Al-Syâfi’î dan mereka meminta untuk menulis kitab sebagai reaksi terhadap aliran Ra’yu Hanafîyah. Imam Al-Syâfi’î menyatakan sebelum menyusun sebuah kitab, beliau terlebih dahulu akan mempelajari kitab Muhammad bin Hassan, setelah itu beliau menyusun kitab al-Hujjah.122 Dari sini dapat dilihat Qaul qadîm ditulis atas permintaan ulama Irak dan digunakan sebagai pedoman dasar untuk menangkis pemikiran yang rasionalis, maka qaul qadim ini lebih cenderung memihak pada aliran alHadits atau Tradisionalis. Sewaktu di Irak Imam Al-Syâfi’î juga menyusun kitab al-Risâlah yang berisi dasar-dasar beristinbath hukum yakni berpedoman kepada al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Pada tahun 198 H al-Al-Syâfi’î berangkat ke Mesir dalam rangka mengembangkan keilmuannya dan tinggal di sana. Saat berada di Mesir inilah beliau merevisi, mengembangkan Madzhabnya denga lisan dan tulisan. Fatwa-
121 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, cet. Ke-3 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), 124. 122 Ajat Sudrajat, Justicia Islamica: Pemikiran Imam Syafi'î Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Vol. 4/No. 2, Juli-Desember (Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo: tp, 2007), 22.
56
fatwa yang beliau keluarkan di Mesir ini kemudian dikenal dengan sebutan Qaul jadîd.123 Adapun pegangan Imam Al-Syâfi’î dalam menetapakan hukum adalah al-Qur'an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan Imam Al-Syâfi’î dalam kitabnya al-Risalah sebagai berikut: 124
Yِ ]ْ ِ cْ ِ اZَ ¦ ِ ْ~Rِ G L َم ِإMُ J َ ْ َأوT َّ J َ ْ ٍءyَV \lِ ًاpَ ل َأ َ ْ`}ُ َ ْ ٍ َأنJ َ َِ k َ jْ cَ .س ِ Qَj}ِ cْ ع وَا ِ Qَa¦ ْÂ ِ { ِ وَاLb ُ cب وَا ِ Qَmِ cْ ِ\ اl Mِ jْ « َ cْ ِ اZَ ¦ ِ َو Artinya: Tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya, ini batal, ini haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan ini adalah kitab suci al-Qur'an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Imam Al-Syâfi’î berpendapat bahwa ada lima tingkatan sumber hukum islam. Setiap tingkatan lebih tinggi derajatnya serta lebih wajib dijadikan hujjah dari tingkatan yang di bawahnya. Berikut ini adalah pernyataan Imam Syafi'î:125
YL µُ ,ُ {Lb g c
ْ اmَ zَ µَ { ُ ِإذَاLb g cب وَا ُ Qَmِ cْ َ\ اcْو ُ ا:\َmV َ ٌتQَ}zَ U َ Yُ cْ Qِcْ وَا ل َ ْ`}ُ َ ْ ُ َأنÄَ cِQLÄc َوا,ٌ {Lv ُ G َ بٌ َوQَm ِآwِ jْ lِ k َ jْ cَ Qَajْ lِ ع ُ Qَa¦ ْÂ ِ ُ اjَ ِ QLÄcا ُ َ pِ اLMc َوا,ْYZُ {ْ Rِ QًِcQَ«Rُ wُ cَ Yُ ]َْ َ G َ َوo ِ ل ا ِ ْ`v ُ ب َر ِ Qَx ْ َأÅ ِ ْ pَ ُ b َ Rِ Qَ«cْ ا,£ َ cِْ ذَاylِ Yَ ]Lv َ َوwِ jْ ]َ^ َ o ُ \ اL]x َ y ِّ zِ {L cب ا ِ Qَx ْ ف َأ ُ I َ mِ | ْ ِإ ب َو ِ Qَmِ cْ اMِ jْ َ ْ ٍءyV َ \َc ُر ِإQَُ G َ ت َو ِ Qَ}zَ ° L c اÅ ِ ْ pَ \َ]^ َ س ُ Qَj}ِ cْ ا .\َ]^ ْ ~ْ َأRِ Yُ ]ْ ِ cْ | ُ ا َ ُْ QَaL َوِإ,ن ِ ¦`ْدَا ُ ْ`Rَ Qَa{ ِ َو ُهLb ُ cا Artinya: Ilmu itu terbagi menjadi beberapa tingkatan: Pertama, al-Qur'an dan Sunnah yang Otentik. Kedua, Ijma’ ulama pada masalah yang tidak ada keterangannya secara tekstual di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Ketiga, Pendapat sebagian sahabat Nabi SAW yang tidak bisa diketahui adanya sahabat lain yang membantah 123 124 125
Ibid., 22-23. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar, 126. Abi Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, Juz, VII (Beirut: Daar al-Fikr, tt),
453.
57
pendapat tersebut. Keempat, Ikhtilaf para sahabat Nabi SAW. Dan Kelima, Qiyas berdasarkan sebagian tingkatan dalil-dalil di atas. Kita tidak boleh berpindah kepada selain al-Qur'an dan Hadits selama pemecahan masalah yang hendak kita carikan solusinya ditemukan didalam kedua sumber hukum ini. Sebab pengetahuan di ambil dari dalil yang lebih tinggi. Dari perkataan beliau tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa pokok-pokok pikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah: a. Al-Qur'an dan al-Sunnah Imam Al-Syâfi’î meletakkan sunnah Rasul SAW bersama alQur'an pada tingkatan yang sama, karena menurut beliau fungsi Sunnah itu memperjelas dan memerinci sesuatu yang tertera secara garis besar di dalam al-Qur'an. Nabi SAW tidak mungkin mengucapkan sesuatu yang bersumber dari hawa nafsunya. Beliau hanya akan mengemukakan sesuatu yang memang benar-benar di wahyukan oleh Allah kepadanya. Imam Al-Syâfi’î meletakkan Sunnah bersama al-Qur'an, dengan syarat apabila sunnah tersebut berderajat shahih. Hal ini di tegaskan meskipun pada kenyataannya hadits yang berderajat ahad tidaklah setingkat dengan al-Qur'an dan al-Qur'an tidak dapat ditentang oleh hadits, karena al-Qur'an sudah cukup dianggap sebagai hujjah, apabila keterangannya telah demikian jelas dan apabila penjelasan hadits tidak lagi diperlukan.126 Imam Al-Syâfi’î melihat kaitan Sunnah dengan al-Qur'an dari tiga segi: Pertama, kemiripan semantik, yaitu kemiripan yang didasarkan pada pengulangan terhadap wacana al-Qur'an. Kedua, 126
Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi'î, 311.
58
hubungan tafsir dan al-Bayan (penjelasan) sebagaimana kasus spesifikasi kalimat umum (takhsîsi al-‘am) dan perincian kalimat ambigu (tafsîl al-Mujmal). Ketiga, Sunnah berdiri sendiri sebagai teks tasyrî’, mekipun kehujjahan tekstualnya bersumber pada pemaknaanpemaknaan yang terdapat dalam kitab itu sendiri.127 Imam Al-Syâfi’î menetapkan bahwa al-Sunnah harus diikuti sebagaimana sebagaimana mengikuti al-Qur'an. b. Ijma’ Imam Al-Syâfi’î mengatakan, bahwa Ijma’ adalah Hujjah dan ia menempatkan Ijma’ ini sesudah al-Qur'an dan Hadits sebelum Qiyas. Imam Al-Syâfi’î menerima Ijma’ sebagai hujjah dalam masalahmasalah yang tidak diterangkan dalam al-Qur'an dan Hadits. Ijma’ menurut Imam Al-Syâfi’î adalah Ijma’ para ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan Ijma’ suatu negeri saja dan bukan pula Ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Al-Syâfi’î mengakui, bahwa Ijma’ para sahabat merupakan Ijma’ yang paling kuat. Disamping itu Imam Al-Syâfi’î berteori bahwa, tidak mungkin segenap masyarakat muslim bersepakat dalam hal yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadits.128 Oleh karena Ijma’ yang dapat diterima sebagai hujjah, maka Ijma’ itu harus semua Ulama dari segenap penjuru dunia Islam. Imam
127 Nasr Hamid Abu Zayd, al-Imam Syafi'î wa ta’sisi al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, terj. Khpiron Nahdliyyin, Imam Syafi'î: Moderatisme Eklektrisme Arabisme (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 1997), 28-29. 128 Huzaemah, Pengantar, 129-130.
59
Al-Syâfi’î berpendirian bahwa Ijma’ ulama Madinah tidak merupakan Ijma’ yang menjadi hujah.129 Imam Al-Syâfi’î hanya mengambil Ijma’ sharîh sebagai dalil hukum dan menolak Ijma’ sukutî menjadi dalil hukum. Karena Ijma’ sharîh kesepakatannya disandarkan kepada nash dan berasal dari mujtahid secara jelas dan tegas tidak mengandung keraguan, sedangkan Ijma’ sukutî tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid belum tentu menunjukkan setuju.130 c. Qiyas Imam Al-Syâfi’î menjadikan qiyas sebagai hujah dan dalil keempat setelah al-Qur'an, hadits dan Ijma’ dalam menetapkan hukum. Imam Al-Syâfi’î adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya, karena para mujtahid sebelumnya belum membuat rumusan dan asas-asasnya. Sebagai dalil penggunaan qiyas, Imam Al-Syâfi’î mendasarkan pada firman Allah dalam surat al-Nisa’, ayat 59: ÉΑθß™§9$#uρ «!$# ’n<Î) çνρ–Šãsù &óx« ’Îû ÷Λäôãt“≈uΖs? βÎ*sù
Artinya: kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur'an) dan kepada Rasul
129 130
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan, 255. Huzaemah, Pengantar, 130.
60
Imam
Al-Syâfi’î
menjelaskan
bahwa
yang
dimaksud
dengan
“kembalikan kepada Allah dan Rasul” adalah qiyaskanlah pada salah satu dari al-Qur'an atau Sunnah.131 8. Kitab-kitab yang dikarang Imam Al-Syâfi’î Kitab-kitab karya Imam Al-Syâfi’î dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian, kitab yang ditulis Imam Al-Syâfi’î sendiri, seperti al-Umm dan al-Risalah (riwayat dari muridnya yang bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Rabi’ Ibn Sulaiman) dan kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti mukhtashar oleh al-Muzany dan Mukhtashar oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan ikhtisar dari kitab Imam Syafi'î: al-Imla wa al-Amaly)132 Diantara Kitab-kitab yang dikarang oleh beliau, baik yang ditulisnya sendiri atau didektekan kepada murid-muridnya maupun dinisbahkan kepadanya antara lain adalah kitab al-Risalah al-Qadîmah (alHujah), al-Risalah al-Jadîdah, Ikhtilâf al-Hadîts, Ibthâlu al-Istihsân, Ahkâmu al-Qur'an, Bayâdhu al-Fardh, Shifah al-Amr wa al-Nahî, Ikhtilafu al-Mâlik wa al-Syafi'î, Ikhtilafu ‘Iraqiyain, Fadhâilu al-Quraisy, al-Umm133 E. Syarat Tidak Dimadu Dalam Perjanjian Perkawinan Perspektif Imam Al-Syâfi’î 1. Syarat Dalam Pernikahan menurut Imam Al-Syâfi’î 131
Ibid., 132. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, 134. 133 Imam Syafi'î Abu Abdillah Muhammad bin Idris, Mukhtashar kitab al-Umm fî al-Fiqhi, Terj. Muhammad Yasir Abd. Muthallib, Ringkasan Kitab al-Umm (Jakarta: Pustaka Azam, 2004), 9. 132
61
Wahbah al-Zuhaylî mendefinisikan Syarat dalam perkawinan adalah suatu perkara yang disyaratkan oleh salah satu dari suami atau istri kepada yang yang lain di mana dalam perkara tersebut mempunyai suatu tujuan. Yang dimaksudkan syarat di sini adalah syarat yang dibersamakan dengan îjab dan qabûl.134 Ketika îjab dan qabûl ini diiringi dengan syarat, maka ada kalanya syarat di sini termasuk syarat yang merupakan tuntutan dari akad tersebut atau sebaliknya, atau syarat tersebut ada manfaat yang kembali kepada istri, atau syarat tersebut merupakan syarat yang dilarang oleh syâri'.135 Menurut syafi’îyah, syarat dalam pernikahan ini ada dua:136 a. Syarat yang shahîh, yakni syarat yang sesuai dengan tuntutan dari akad nikah, seperti syarat untuk menafkahi dan membagi di antara para istri, atau syarat yang tidak sesuai dengan tuntutan nikah, sperti mensyaratkan tidak boleh memakan sesuatu kecuali makanan ini dan itu. Hukum syarat seperti tersebut sia-sia. Dalam arti syarat tersebut tidak mempengaruhi apa-apa karena tidak ada faedahnya (sudah merupakan kewajibannya suami untuk hal-hal tersebut). b. Syarat yang fâsid, yakni syarat yang menyalahi tuntutan akad nikah dan tidak melanggar dengan tujuan utama dari pernikahan, yakni wathi. Seperti suami tidak boleh memadunya. Hukum nikah tersebut sah karena tidak adanya pelanggaran maksud tujuan utama (wathi) pernikahan tetapi syaratnya batal karena menyalahi tuntutan akad, 134 135 136
al-Zuhaylî, al-Fiqh, 53. Sâbiq, Fiqh, 42. al-Zuhaylî, al-Fiqh, 56-57.
62
karena pada dasarnya menurut Imam Syafi'î syarat tersebut tidak ada maslahahnya. 2. Syarat tidak di madu dalam perjanjian perkawinan perspektif Imam AlSyâfi’î dalam kitab al-Umm Syarat tidak dimadu bukanlah salah satu dari syarat sahnya nikah. Sehingga dengan ketiadaannya syarat tidak dimadu ini tidak menyebabkan gagalnya masyrûth (pernikahan), tetapi hanya menjadikan kurang sempurna. Syarat yang demikian dinamakan syarat kamal. Berbeda dengan syarat sah, karena untuk menetapkan masyrûth, yakni jika tidak ada syarat maka masyrûth (pernikahan) tersebut tidak akan terwujud. menurut Imam Al-Syâfi’î syarat kamal pernikahan tersebut tetap dihukumi sah dengan tanpa memenuhi persyaratan tidak dimadu yang diajukan istri.137 Menurut Imam Al-Syâfi’î dalam kitabnya al-Umm dalam bab syurûth fî al-Nikah dalam pernikahan, menyatakan jika seseorang menikahi wanita atas izinnya dengan syarat wanita tersebut boleh keluar rumah kapan saja, dia tidak boleh dimadu, tidak boleh dikeluarkan dari negaranya atau setiap syarat yang diajukan wanita ketika akad nikah baik itu untuk dikerjakan atau ditinggalkan, maka hukum nikah di sini adalah boleh dan syarat tersebut batal. Pernyataan Imam Al-Syâfi’î ini bisa kita lihat dalam kitab al-Umm dalam bab syarat dalam perkawinan:138
137 Mukhtar Yahya dan Fathur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993), 148-149. 138 Abî ‘Abdillah Ibn Idrîs al-Syafi’î, al-Umm, Jilid V (Beirut: Daar al-Kutub al-‘ilmiyyah, tt), 107.
63
ْ~Rِ ْ َءتQَV \َmRَ ج َ Mِ « ْ ُ ْ َأنQَZcَ ن L ^]َ\ َأ َ QَهMِ Rْ ¢َpِ Qًzjِّ µَ ًْا َأوMْ pَ ± َ َ َ ْ`cَ QLaRِ wِ jْ ]َ^ َ wُ mْ U َ Mَ V َ QَR ط ِ ْMV َ ي g َأوْ َأQَZjْ ]َ^ َ ± َ ِ {ْ َ G َ ْ^]َ\ َأن َ َوwِ cِ§ِ {ْ Rَ ٌ§Àِ Qَ¦ ح ُ Qَ{ِّcQَl wُ {ِR QَZُ {َ aْ َ َوwُ ]ََ ْ َ ْح َأن َ Qَ{ِّ c ِإذَا ا ْ َ}َ َ اwُ cَ ن َ Qَآ .ٌTU ِ Qَp ط ُ ْM´ L cوَا Artinya: “Apabila seseorang menikahi gadis atau janda dengan perintahnya bahwasannya istrinya boleh keluar rumah kapan saja atau suaminya tidak boleh memadunya atau setiap syarat yang mempunyai tuntutan untuk dikerjakan atau ditinggalkan, maka nikahnya sah namun syarat tersebut batal.” Alasannya adalah karena Rasulullah membatalkan setiap syarat yang tidak ada dalam kitab Allah atau syarat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah. Kemudian dalam hal ini Imam Al-Syâfi’î pernah ditanya, kenapa suami tidak menanggung apa yang telah disyaratkan oleh istri sedangkan istri bisa menanggung apa yang disyaratkan oleh suami? Maka syarat keduanya di tolak karena mereka menafikan apa yang telah diberikan Allah untuk masing-masing. Nabi SAW bersabda:
ن َ QَآQRَ \؟cQََ o ِ با ِ Qَmْ ِآylِ ْ
b َ jْ cَ QًUْوMُ V ُ ن َ ْ`U ُ Mَ mَ ´ ْ َ ٌلQَ¦ل ِر َ Qَp QَR ُءQَ»uَ ,ط ٍ ْMV َ َ Àَ QِR ن َ Qَ`ْ آcٌَ َوTU ِ Qَp `َ Zُ lَ o ِ با ِ Qَmْ ِآylِ k َ jْ cَ ط ٍ ْMV َ ْ~Rِ ³ َ mَ ^ ْ ~ْ َأaَ cِ ُءG َ `َ cْ اQَaLِ lَ ٌ³µَ ْ َأوwُ U ُ ْMV َ َو³ ÈJ َ َأo ُ ا Artinya: Mengapa orang-orang mensyaratkan sesuatu yang tidak tercantum dalam al-Qur'an? semua syarat yang tidak sesuai dengan al-Qur'an adalah batal, meskipun berupa seratus syarat, ketetapan Allah itu sudah paling benar dan syaratnya juga paling kuat. Karena sesungguhnya wala’ itu hanya untuk mu’tîq.139 Hadits
ini
diriwayatkan
oleh
Imam
Mâlik
dalam
kitab
Muwatha’nya, yang dilatarbelakangi oleh peristiwa yang di alami sahabat
139
al-Syafi’î, al-Umm, 107-108.
64
Barirah yang sebelumnya pernah menjadi seorang hamba sahaya. Saat berstatus hamba sahaya, Barirah pernah melakukan transaksi kitâbah140 dengan mengkredit sejumlah uang pertahun kepada majikannya. Suatu ketika, ia bertemu dengan ‘Aisyah, istri Rasulullah, yang kemudian diminta membantu proses pelunasan akad kitâbahnya. ‘Aisyah memberi respon positif, bahkan menyanggupi untuk memerdekakan Barirah dari majikannya.141 Dengan demikian, hak waris atas harta peninggalan Barirah (warits wala’)142 menjadi milik ‘Aisyah. Namun, ketika Bararah mengutarakan rencana itu kepada majikannya, ia tidak menyetujuinya. Majikannya bersedia menjual Barirah dengan syarat bahwa hak waris wala’nya tetap ditangan majikannya. Hal ini kemudian dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Mendengar hal itu, Nabi SAW memerintahkan ‘Aisyah untuk tetap meminta pengalihan hak wala’, karena itu merupakan hak bagi orang yang membebaskan budak. Nabi SAW juga menambahkan bahwa syarat yang diajukan majikan Barirah tidak mempunyai legalitas syari’at dan secara otomatis batal, sebagaimana yang tertera dalam hadits di atas.143
140
Transaksi kitâbah adalah sebuah transaksi antara seorang budak dengan majikannya dalam upaya pembebasan diri dengan cara mencicil nilai jual dirinya kepada sang maijkan. 141 Terdapat tiga pendapat mengenai pembelian hamba sahaya yang berstatus mukatab ini; pertama, diperbolehkan dengan merujuk pada hadits di atas. Kedua, tidak diperbolehkan, kecuali ada faktor lain yang menjadi alasan, seperti ketidak mampuan hamba dalam melunasi kontraknya. Hadits di atas diarahkan ke alasan yang ini. Ketiga. Membagi sesuai dengan tujuannya. Dibolehkan jika tujuannya untuk dibebaskan dan tidak sah jika tujuannya untuk dijadikan sebagai pelayan. 142 Wala’ adalah hak waris yang dimiliki seorang majikan atas harta peninggalan budak yang telah dibebaskannya, jika mantan budaknya itu meninggal tanpa meninggalkan kerabat. Hak ini diberikan sebagai kompensasi atas kedermawanannya membantu proses pembebasan sang budak. 143 Abî ‘Abdillah Ibn Idrîs al-Syafi’î, al-Umm, jilid V, 108.
65
Dalam hadits di atas, ungkapan “kitâbullah” bukan berarti alQur'an saja, akan tetapi berbagai persoalan yang telah diwajibkan oleh Allah baik yang tertera dalam al-Qur'an ataupun hadits Nabi SAW yang kemudian dikenal dengan Syarî’atullah. Sebaliknya yang dimaksud dengan penyimpangan dari kitâbullah adalah segala hal yang memuat penyelewengan dari dasar-dasar syari’at, baik al-Qur'an maupun hadits.144 Dalam hadits tersebut secara dzahir menyebutkan bahwa semua syarat yang tidak sesuai dengan al-Qur'an adalah batal, sebagaimana pelarangan istri pada suami agar tidak memadunya. Jika ada pertanyaan, syarat apakah yang merugikan wanita dan menguntungkan laki-laki atau yang sebaliknya yang tidak sesuai dengan al-Qur'an, Hadits, Ijma’? Kemudian Imam Al-Syâfi’î menjawab, Insya Allah begini, Allah SWT telah menghalalkan bagi laki-laki untuk menikahi empat perempuan dan budak.145 Dalam hal ini Allah berfirman: yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. (QS. al-Nisa': 3) Dari sini dapat dirumuskan, bahwa legalitas poligami adalah sesuatu yang telah mujma’ ‘alaih (disepakati) ulama, dan tidak ada satupun ulama atau pendapat mu’tabar yang melarang poligami. Maka ketika ada istri yang mensyaratkan kepada suami agar tidak menikah lagi, istri sama artinya
144
Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idlah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, cet. I (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1983), 280. 145 Ibid., 108.
66
telah mencegah apa yang telah diluaskan Allah SWT untuk suami, pada hal Rasulullah Saw telah bersabda:
wِ ِ ِْذpِ G L ِهٌ ِإQَV QَZ¦ ُ ْ َو َزوQً^`g ° َ َ QًRْ`َ `ْ َم ُ َ َْْأ ِة َأنMaَ ]ْ cِ T g ِ َ G َ Artinya: Tidaklah halal bagi seorang perempuan berpuasa sunnah satu hari dan suaminya mengetahuinya kecuali dengan izin dari suaminya.146 Allah telah menetapkan bahwa tidak puasanya istri itu sebagai ibadah selama puasanya istri tersebut bukan puasa wajib, karena haknya suami atas istri itu lebih besar, Allah telah memberikan keutamaan kepada suami, dan tidak ada satu ulama pun yang khilaf bahwa suami boleh mengajak istri ke kota lain dan boleh mencegah istri untuk tidak keluar rumah. Maka kalau istri dalam akad mensyaratkan suami agar tidak mencegah istri ketika mau keluar rumah ataupun istri tidak mau dimadu maka istri telah merusak haknya suami. Kemudian jika dikatakan bahwa Syarat yang paling utama untuk di penuhi adalah syarat yang dengannya bisa halal berhubungan badan, maka hadits tersebut memang memerintahkan untuk memenuhi syarat sesuatu yang telah dijelaskan bahwa syarat tersebut diperbolehkan, dan Sunnah Rasulullah tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut tidak diperbolehkan. Rasulullah telah bersabda:
G ً I َJ َ َمML J َ ْ َأوQًRَاMJ َ T LJ َ َأQًUْMV َG L ْ ِإYِZU ِ ْوMُ V ُ \َ]^ َ ن َ ْ`aُ ]ِb ْ aُ cْ َا
Artinya: "orang-orang Islam itu pada syaratnya, kecuali syarat yang menghalalkan perkara haram dan mengharamkan perkara yang halal". Hadits ini menafsirkan tentang keumuman dari sesuatu (syarat) tersebut.147 Maka penetapan syarat tidak boleh menikah lagi jelas merupakan bentuk 146
Ibid., 109.
67
mengharamkan sesuatu yang halal, yakni menikah lagi dan hal ini adalah halal. Jadi meskipun syarat dan perjanjian itu harus dipenuhi, namun jika syarat tersebut bertentangan dengan hukum syara’ tidak wajib dipenuhi, sebagaimana dalam hadits tersebut. Dari kalangan Madzhab Imam Al-Syâfi’î mengatakan bahwa syarat tersebut bukanlah kemaslahatan dari akad dan bukan tuntutan akad nikah. Sehingga syarat tersebut sia-sia dan tidak wajib dipenuhi oleh suami.148 Pada dasarnya pendapat Imam Al-Syâfi’î ini juga mengikuti pendapatnya Umar bin Khatthab, dan di riwayatkan oleh Sa’id bin Mansur, bahwa ada seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan dengan syarat ia tidak akan membawa keluar istrinya, yang dalam hal ini juga termasuk mensyaratkan agar perempuan tersebut tidak ingin di madu. Kemudian Umar menggagalkan syarat tersebut. Mereka mengemukakan, bahwa akad nikahnya sah, tetapi syaratnya yang dibatalkan, sehingga suami tidak harus memenuhi syarat yang telah dijanjikan. Dengan alasan sebagaimana dalam hadits di atas. Lebih lanjut mereka mengemukakan, bahwa pra syarat dalam akad nikah dengan tidak mau dimadu dan menjadikan istri tidak bepergian bersama suami, seperti kasus di atas adalah syarat yang menghalalkan perkara yang halal.149 Pendapat Imam Al-Syâfi’î ini juga dikuatkan oleh Imam Nawawî, salah satu pengikut madzhab Imam Syafi'î, apabila istri mensyaratkan 147
Ibid., 109. Sayyid Sabîq, Fiqh al-Sunnah, jilid.2 (Beirut: Daar Al-Fikr, 1992), 45. 149 Muhammad Abdul Azis al-Halawî, Fatawâ wa Aqdhyah Amiril Mukminin Umar Ibn alKhattab, Terj. Wasmukan, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqh, 158-159. 148
68
tidak mau dimadu, maka syaratnya batal karena menyalahi tuntutan akad tapi akad nikahnya tidak batal karena istri tidak melarang suami untuk tetap bisa istimta’ (bersenang-senang). Imam Nawawî berpendapat jika perkawinan tersebut dengan mensyaratkan khiyar maka akadnya batal karena akad akan batal ketika terbatasi dengan waktu dan keadaan yang merubah. Oleh karena itu akad tersebut batal sebab khiyar yang batil sebagaimana dalam jual beli.150
150
Imam al-Nawawî, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, Jilid, XI (Beirut: Daar al-Fikr, tt), 250.
69
BAB IV ANALISA TERHADAP SYARAT TIDAK DI MADU DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN
A. Analisa terhadap pendapat dan istinbath Ibn Taymîyah tentang syarat tidak di madu dalam perjanjian perkawinan Kewajiban memenuhi persyaratan yang terdapat dalam perjanjian dan terikatnya dengan kelangsungan perkawinan tergantung kepada bentuk persyaratan yang ada dalam perjanjian. Di sini yang akan kita bahas adalah perjanjian yang berisi syarat tidak dimadu yang diajukan istri kepada suami. Pendapat yang benar menurut Ibn Taymîyah adalah suaminya harus memenuhinya dan tidak boleh menikah lagi. Ibn Taymîyah adalah orang yang paling luas mengakui kebebasan dalam perjanjian (asas kebebasan berkontrak) serta paling banyak mentashih syarat-syarat dari ulama Hanâbilah. Ibn Taymîyah yang mewakili madzhab Hanbalî telah membawa perkembangan madzhab dalam hal kebebasan dalam perjanjian yang sejajar atau hampir sejajar dengan hukum barat. Bagi Ibn Taymîyah tidak hanya sah dalam perjanjian-perjanjian kebendaan bahkan juga sah syarat-syarat dalam perjanjian pernikahan. Menurut Ibn Taymîyah syarat yang terdapat dalam kitab Allah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan kitab Allah sekalipun tidak disinggung oleh nash.151 Keumuman (lafadz ‘am) nash-nash al-Qur'an dan hadîts memerintahkan kepada manusia untuk menuaikan akad, 151
Rahmani Timorita Yulianti, http://journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/viewFile/164/129. diakses pada tanggal 11 Agustus 2009 waktu 22.29 WIB.
70
perjanjian dan syarat serta melarang untuk mengkhianatinya. Akad, perjanjian, dan syarat adalah satu kesatuan. Ahli bahasa dan adat sepakat dengan penamaan tersebut dan makna secara terminologipun sesuai dengan hal tersebut. Untuk menganalisa masalah ini, agar dapat bisa difahami dengan mudah maka penulis akan menganalisa pendapat sekaligus istinbath hukum Ibn Taymîyah dalam menetapkan hukum syarat tidak dimadu dalam perjanjian perkawinan. Dalam penganalisaan istinbath hukum Ibn Taymîyah penulis menggunakan teori ushûl fiqh, dimana Ibn Taymîyah melihat kemutlakan dalam perjanjian yang dilakukan oleh Rasul SAW, melihat lafadz ‘am dalam al-Qur'an dan menggunakan mashlahah yang kembali kepada pihak istri. Namun, menurut penulis ketika melihat akibat-akibat yang ditimbulkan ketika suami memadu istri akan berakibat buruk, maka tindakan yang paling baik menurut penulis adalah tidak memadu istri. Hal ini apabila memang sudah ada prasangka kuat (dzan) yang mengarah pada kerusakan. Sebagaimana dalam kaidah ushûl fiqh:
.± ِ cِQَaَ cْ ¯ ا ِ ]ْ ¦ َ \َ]^ َ ٌمL }َ Rُ ِ v ِ Qَaَ cْ َدرُْأ ا
Artinya: “menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan” Dalam hal ini ushûl fiqh menamakan sadd al-Dzara’i, yaitu sebuah upaya untuk menghalangi dan memblokade semua akses dan kemungkinan yang dapat mengantarkan pada segala jenis kerusakan dan kemadlaratan dalam segala variannya. Oleh karenanya sadd al-Dzara’i adalah salah satu dasar hukum islam yang berdiri sendiri. Maka selagi sebuah pekerjaan menjadi sarana (yang dalam kasus ini adalah poligami) bagi kerusakan yang diduga 71
kuat akan terjadi (sementara kerusakan adalah sesuatu yang tidak dikehendaki syari’at) maka tidak melakukan pekerjaan yang menjadi penyebab timbulnya kerusakan adalah suatu keharusan.152 Pertama yang akan kami analisa adalah pendapatnya Ibn Taymîyah tentang syarat tidak di madu dalam perjanjian perkawinan. Menurut penulis, pendapat Ibn Taymîyah sebenarnya mempunyai beberapa kosekuensi atau pengaruh terhadap pendapat yang dicetuskannya. Pendapat Ibn Taymîyah yang mewajibkan dipenuhinya syarat yang bermanfaat bagi perempuan, hal ini sebagai perlindungan bagi kaum perempuan.153 Nilai positif pendapat ini adalah, sangat relevan dengan usaha memperkecil terjadinya poligami yang tidak bertanggung jawab. Karena Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko daripada manfaatnya, karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar yang tinggi, jika hidup dalam keluarga yang poligamis. Dengan demikian dengan dimadunya istri ini menjadi konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak.154 Karena itu, hukum asal perkawinan menurut Islam adalah monogamy, sebab dengan monogami akan mudah mengatur sifat dan watak cemburu dan iri hati dalam kehidupan keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka terangsang
152
Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh Telaah kaidah fiqh Konseptual, buku dua, cet, II. (Surabaya: Khalista, 2006),257-258. 153 Sa'îd bin Abdullah bin Thalib al-Hamdanî, Risalah al-Nikah, terj. Agus Salim, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 73. 154
http://www.scribd.com/doc/14414806/Poligami-Sejarah-PembukuanKitab-Hadits di akses pada tanggal 11 Desember 2009, Pukul 09.00 WIB. 72
timbulnya perasaan cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Sehingga bisa mengganggu ketenangan dalam keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Tindakan yang dilakukan istri ini dalam rangka kehati-hatiannya dan menjaga kondisi rumah tangga agar terhindar dari berbagai masalah yang timbul akibat rasa cemburu. Karena sebegitu sulitnya untuk mengontrol rasa cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Dengan prinsipnya istri yang tidak ingin di madu ini, istri akan mudah menetralisir sifat/watak tersebut. Dengan memenuhi syarat istri tersebut, maka suami akan mudah dalam mengurusi rumah tangga dan menata rumah tangganya agar sakinah, mawaddah wa rahmah, yang menjadi dambaan semua orang. Dengan begitu suami tidak akan terlalu berat dalam hal nafkahnya yang tidak terlalu banyak. Menurut sebagian orang yang pernah merasakan hidup berpoligami, merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Karena kondisi tersebut sangat memprihatinkan bagi perempuan ketika istri pertama tidak menyangka suaminya mendua ke perempuam lain, mereka merasa dikhianati.155 Efek sosial yang terjadi dalam kehidupan keluarga yang berpoligami sangat banyak. Pada masa tua, ayah akan menjadi korban dari keluarga banyak istri yang dibentuknya. Polarisasi yang berpusat pada istri dan anak-anak dan keluarganya, kompetisi antar istri, dan anak yang menyalahkan sang ayah karena tidak memperhatikannya. pertengkaran dan ketidakpercayaan dalam keluarga. Dalam kasus yang lain seringkali poligami 155
Nancy Samola, http://umum.kompasiana.com/2009/04/07/aktivis-pologami-sakiti-hatiperempuan/
73
berakibat pada kemiskinan yang parah. Apabila terjadi pada seorang ayah yang kaya, konspirasi memperebutkan harta warisan menjadi isu utama. Nilai negatif yang mengambang dalam lingkungan keluarga, mengancam perkembangan anak, dan yang jelas sekali dalam sebuah keluarga seperti ini adalah adanya kecemburuan.156 Muhammad Abduh memberikan pandangannya mengenai poligami dalam Tafsîr al-Manar, monogami menjadi ajaran Islam yang sangat esensial, untuk tetap berlangsungnya ketentraman rumah tangga seutuhnya. Memang, praktek poligami di awal perkembangan Islam didukung oleh kepribadian dan sikap keimanan yang kokoh dalam rangka metode syiar Islam.157 Disamping itu, pendapat Ibn Taymîyah juga mempunyai beberapa kelemahan. Di antaranya adalah, suami akan terkekang kebebasannya untuk mendapatkan istri lebih dari satu, dimana hal tersebut merupakan keluasan yang diberikan laki-laki dari Allah. Hal ini juga mengurangi kemurahan (rukhshoh) yang diberikan kepada wanita. Karena dalam dunia ini, jumlah wanita lebih banyak dari pada laki-laki, kemudian untuk menolong jumlah wanita yang begitu banyaknya maka laki-laki diperbolehkan untuk menikahi empat wanita paling banyak. Kemudian satu kelemahannya lagi seandainya syarat tersebut harus di penuhi oleh suami, maka akan menimbulkan sakit hati bagi suami jika di kemudian hari setelah pernikahan suami menemukan bahwa istrinya tidak bisa memberikan keturunan, istrinya cacat yang tidak bisa disembuhkan atau ternyata istrinya tidak bisa melakukan tugasnya 156 157
http://ateisindonesia.wikidot.com/poligami http://www.pa-cilacapkab.go.id/data.php?tipe=artikel&tgl=20091028023921
74
sebagai istri yang baik. maka hal tersebut sangat disayangkan, mengingat Nabi SAW pernah melarang seseorang untuk menikahi wanita yang tidak subur (tidak bisa memberikan keturunan). Kemudian pemikiran Ibn Taymîyah tentang syarat tidak dimadu ini, yang dijadikan pedoman pertama kali adalah dari al-Qur'an surat al-Maidah ayat satu. Ibn Taymîyah dalam mengistinbathkan hukum pada permasalahan ini karena melihat keumuman nash-nash, sebagaimana dalam surat al-Maidah tersebut. Dalam dalil tersebut lafadz “uqûd” (alif dan lam ditambah dengan lafadz jama’ atau umum) berarti mencakup keseluruhan segala bentuk akad. Kemudian dalam surat al-Isra’ ayat 34.158 Dalam ayat tersebut memang tidak bisa terbantahkan bahwa Allah menyuruh untuk memenuhi akad-akad. Dalam hal ini Ibn Taymîyah sebagai Mujtahid yang paling luas mengakui kebebasan berkontrak (berjanji) menyamakan bahwa akad, perjanjian dan syarat adalah satu kesatuan yang sama. Hal ini juga disepakati oleh seluruh ahli bahasa dan adat. Kemudian dari hadits yang menyatakan bahwa seseorang akan menjadi munafik sejati jika tidak menepati janjinya, sehingga demi agar tidak dikatakan munafik maka harus memenuhi janjinya. Mengenai periwayatan dalam hadits tersebut adalah mencapai derajat yang shahih, sehingga bisa di jadikan sebagai hujjah yang kuat. Dari hadits yang mengharamkan perkara yang halal dan menghalalkan yang haram, Pendapat yang kuat menurut Ibn Taymîyah tentang penafsiran Hadits di atas adalah syarat yang menyelisihi al-Qur'an dan Hadits Rasulullah 158
Abu Ishaq Umar Munawwir, http://jacksite.wordpress.com/2007/08/02/istrimensyaratkan-untuk-tidak-dipoligami/ diakses pada tanggal 13 Juni 2009 pukul 15.06 WIB
75
SAW. Sedangkan syarat yang berkenaan dengan perkara mubah seperti tersebut dalam permasalahan syarat tidak dimadu tetap harus dipenuhi. Menurut penulis, dalam hadits ini sebenarnya tidak mengharamkan yang halal. Karena dengan adanya syarat dari istri tersebut memberikan pilihan bagi suami meneruskan pernikahan dengan memenuhi syarat atau memfasakh nikah apabila suami tidak mampu memenuhinya. Dari hadits yang menyatakan bahwa syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang bisa menghalalkan berhubungan badan, Syarat yang dimaksud, masuk didalamnya untuk semua persyaratan. Baik itu syarat yang mubah maupun syarat lain karena keumuman lafadz syurûth, namun di dalam hadits ini ada penambahan penekanan terhadap wajibnya penuaian syarat-syarat yang ditetapkan sebelum pernikahan. Menurut pemahaman penulis, Mengenai periwayatan dalam hadits tersebut juga mencapai derajat yang shahih karena diriwayatkan oleh Imam Bukhârî dan Muslim, sehingga bisa di jadikan sebagai hujjah yang kuat. Telah dikatakan bahwa pendapat ini juga mengikuti pendapatnya Umar bin Khatthab, namun pendapatnya Umar bin Khatthab itu sendiri mempunyai dua pendapat yang berbeda dan diriwayatkan oleh orang yang sama. Hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah marah katika Fâtimah akan dimadu oleh Alî dan Fatimah tidak mau. Dalam periwayatannya sudah tentu hadits ini shahih, karena diriwayatkan oleh Imam Muslim. Menurut penulis dalam hadits tersebut Rasulullah tidak mengharamkan segala apa
76
yang telah Allah halalkan (poligami). Perlu digaris bawahi, bahwa hadits ini pengecualian Nabi terhadap putrinya, Fâthimah. Karena Alî bin Abi Thâlib sebagai
istri
membolehkan
Fâthimah Alî untuk
terdesak
untuk
melakukan
poligami apabila dia
poligami.
Nabi
berkehendak
untuk
menceraikan Fathimah, setelah cerai, barulah ia menikah dengan anaknya Abu Jahal. Dalam kalimat terakhir Rasul juga memperingatkan bahwa “tidak akan berkumpul putri Rasulullah dan putri musuh Allah selama-lamanya”.159 Melihat dari dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar pemikiran untuk mencetuskan syarat tidak dimadu ini, dalam pendangan ushul fiqh pendapat Ibn Taymîyah ini sesuai dengan keumuman lafadz dalam nash-nash. Lafadz umum (‘am) ini menurut Uddah dari kalangan ulama Hanbalî adalah:
^ًا ِ Qَlَ ~ ِ jْ Êَ jْ V َ YL ^ َ QَR Artinya: “Suatu lafadz yang mengumumi dua hal atau lebih”160 Sebagaimana lafadz syurûth (dalam hadits) adalah bentuk jama' yang diidlâfahkan kepada kata ganti "mereka". Kasus ini menunjukkan bahwa dia termasuk lafadz umum, sehingga hal itu berarti bahwa kaum muslimin dapat mengisikan syarat apa saja ke dalam perjanjian mereka dalam batas-batas ketentuan halal dan haram, artinya dalam batas-batas ketertiban umum syara'. Kemudian dalam surat al-Maidah ayat satu juga terdapat lafadz yang umum. Yakni lafadz “al-uqûd”, lafadz tersebut merupakan jama’ yang menggunakan
159
http://www.scribd.com/doc/14414806/Poligami-Sejarah-PembukuanKitab-Hadits di akses pada tanggal 11 Desember 2009, Pukul 09.00 WIB. 160
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,Jilid Î (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 47.
77
alif dan lam yang menunjukkan jenis (jinsiyah), sehingga lafadz tersebut masuk kategori umum. Kemudian
Hadits
yang
dipakai
Ibn
Taymîyah
dalam
mengistinbathkan hukum syarat tidak dimadu adalah akad hudnah (perdamaian Nabi SAW dengan orang-orang Quraisy). Ibn Taymîyah melihat bahwa lafadz asyyâa pada hadits tersebut adalah lafadz mutlaq. Dalam ushûl fiqh, lafadz mutlaq adalah:
ٍ jِّuَ I َ pِ ِ jَ ِهQَacْ ^]َ\ ا َ ل g اLc اQَR ³ ُ ]َ° ْ aُ cْ ا Artinya: “Mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatutanpa ada ikatan apa-apa.” Dari segi cakupannya, juga dapat dikatakan mutlaq itu sama dengan nakirah yang disertai oleh tanda-tanda keumuman suatu lafadz, termasuk jama’ nakirah yang belum diberi qayîd (ikatan). Dengan demikian lafadz “asyyâa” masuk lafadz yang mutlaq.161 Konsekuensinya, jika merujuk pada hadits tersebut, maka syarat tersebut bersifat mutlak. Sehingga syarat tidak dimadu bisa dimasukkan dalam syarat yang harus dipenuhi. Ibn Taymîyah juga menyinggung bahwa syarat tersebut juga merupakan mashlahah kepada istri. Hal ini juga sesuai dengan ushûl fiqh bahwa maslahah menurut al-Syatibî adalah:
wِ jْ » ِ mَ }ْ َ QَR wِ ]ِjْ َ َوwِ mِ ´ َ jْ ^ َ ِمQَaَ نِ َوQَbْ Â ِ ِة اQَjJ َ ِمQَjuِ \َc¦ ُ ِإ ِ ْMَ QَR ق ِI َ U ْ Â^]َ\ ا َ ُ jL]ِ}ْ َ cْ ُ وَاjLِ `َاZْ ´ L c اwُ lُ Qَxَْأو 161
Amir, Ushul Fiqh, Jilid IÎ, 117.
78
Artinya: “Sesuatu yang kembali kepada tegaknya manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak.”162 Jadi, yang hendak dicapai dan tujuan istri mensyaratkan agar tidak dimadu tersebut adalah untuk mencapai maslahah dalam dirinya dan rumah tangganya. Karena mempertimbangkan jika seandainya dia dimadu tidak kuat dan sulit mengkondisikan rasa cemburu dan iri hati, maka jalan yang terbaik baginya adalah mengajukan syarat tersebut. Hal ini dilakukan juga dalam rangka kehati-hatiannya untuk melangkah kedepan. Wallâhu a’lamu bî alShawâb. B. Analisa terhadap pendapat dan istinbath Imam Al-Syâfi’î tentang syarat tidak di madu dalam perjanjian perkawinan Dalam literatur fiqih klasik tidak ditemukan bahasan khusus dengan nama perjanjian dalam perkawinan. Dalam bahasan fiqih dan diteruskan dalam sebagian kitab fiqih dengan maksud sama adalah persyaratan dalam perkawinan atau al-Syurûth fî al-Nikâh.163 Sebagaimana yang dibahas Imam Al-Syâfi’î dalam kitab al-Umm. Pendapat Imam Al-Syâfi’î dalam hal syarat tidak dimadu yang diajukan istri dalam perjanjian perkawinan adalah syarat tersebut batal dan tidak wajib dipenuhi. Dalam hal ini Imam Al-Syâfi’î itba’ kepada hadits Nabi SAW, dimana Rasul membatalkan syarat yang tidak ada dalam kitab Allah atau syarat yang bertentangan dengan hadits Rasul, yang pada dasarnya seorang laki-laki diperbolehkan untuk menikah sampai batas maksimal empat perempuan. 162
Ibid., 325. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2006), 145. 163
79
Untuk menganalisa masalah ini, agar dapat bisa dimengerti dengan mudah maka penulis akan menganalisa pendapat sekaligus istinbath hukum Imam Al-Syâfi’î
dalam menetapkan hukum syarat tidak dimadu dalam
perjanjian perkawinan. Dalam penganalisaan istinbath hukum Imam AlSyâfi’î penulis menggunakan teori ushûl fiqh, dimana Imam Al-Syâfi’î melihat syarat yang diajukan istri tersebut tidak terdapat dalam kitab Allah karena dzahirnya nash (hadits). Namun, menurut penulis ketika melihat ada mashlahahnya bagi perempuan, maka ijtihad itu berubah sesuai dengan mashlahah yang ada. Sebagaimana yang di ungkapkan Mahmud syalthuth: 164
ِ َ ]َ ْ aَ ]ْ cِ Qًzْ َ Mُ jL¹َ mَ َ ُدQَZmِ ¦ ْ Âأ
Karena pada dasarnya mashlahah itu dinilai oleh masing-masing individu.
َ ¦ َ َوQَ{~ْ ُهRِ ص َو ِ Qَ«V ْ َ َ َ{ ِ وَاRْ َ {َ ِ وَاRِ ْز َ اMُ jL¹َ mَ َ wِ jْ lِ ِ َ ]َ ْ aَ cْ ¸ ا ُ ]ِmَ « ْ َ ُدQَZmِ ¦ ْ Âا
Artinya: perbedaan pada suatu mashlahah dalam suatu produk hukum itu tergantung pada perubahan zaman, tempat dan individu. Dari sinilah timbulnya ijtihad. Dari pendapatnya Imam Al-Syâfi’î ini penulis memandang bahwa
pendapat ini mempunyai nilai positif bagi laki-laki dalam situasi yang mengkondisikan laki-laki untuk menikah lagi (memadu istrinya). Di antaranya adalah: 1. Jika seorang laki-laki mempunyai istri yang berusia lanjut dan tidak bisa melayaninya lagi, pada hal ia sangat memerlukan penerus dan faktanya ia bisa berbuat adil dan mampu mengurus anaknya. 2. Jika laki-laki mempunyai istri yang mandul dan secara dharurat istri memerlukan keturunan, maka maslahat baginya adalah manikah lagi. 164
Mahmud Syalthuth, al-Islam Aqidah wa Syari’ah (Kairo: dâr al-Syurûq, 1987), 496.
80
3. Jika seorang suami yang dorongan syahwatnya tinggi sementara pelayanan istri kurang maka lebih selamat ia berpoligami. 4. Jika di suatu Negara penduduknya lebih banyak perempuan, misalnya di akibatkan perang, maka demi mencegah perzinaan, sebaiknya seorang laki-laki menikah lagi. 5. Bisa lebih menekan merajalelanya prostitusi. Adapun hikmah daripada memadu istri itu sendiri adalah:165 1. Maslahah sosial, yaitu melonjaknya jumlah perempuan jauh di atas jumlah laki-laki. 2. Maslahah pribadi, yaitu untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul dan untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri dan suaminya punya keinginan untuk mempunyai banyak anak, dan ini merupakan fitrah manusia. syari’at
Islam
menganjurkannya
untuk
Dalam hal ini
memperbanyak
keturunan.
Berdasarkan hadits Nabi:
ِ Rَ Qَj}ِ cْ َ`ْ َم اYَ Rَ ُ اYُ ُ pِ ٍ QَzRُ ْyِِّ َl ُ]`ْاv َ Qَ{َ `ْا ُ َآQَ{َ Artinya: “kawinilah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena aku akan menyaingi umat-umat yang lain dengan bilangan kalian di hari Qiyamat nanti”.166 Dalam hal ini, hanya ada hanya ada dua pilihan, menceraikan istrinya atau menikah lagi. Tentunya pilihan terakhir akan lebih ringan bagi wanita.
165 Ahmad Zain An-Najah, http://ahmadzain.com di akses tanggal 09 Desember 2009 pada pukul 07.30 WIB. 166 Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz Antara Konsep dan Implementasi (Surabaya: Khalista, 2007), 20.
81
Jika istri tertimpa penyakit menahun yang menghalangi suami untuk bisa berhubungan. Jika suami banyak bepergian dalam berbagai urusan kenegaraan atau yang lainnya. Jika suami mempunyai kekuatan sex yang sangat tinggi. 3. Maslahah akhlaq, Pelarangan untuk berpoligami, akan mengakibatkan dampak yang sangat jelek terhadap akhlak. Karena perempuan-perempuan yang tidak mendapatkan suami, mereka akan bekerja mencari nafkah sendiri, dan karena kebutuhan sex yang tidak terpenuhi mengakibatkan kegoncangan jiwa, ketidak tenangan di dalam bersikap, kekecewaan, kegelisahan, mudah tersingung dan sebagainya. Karena tidak tersalurkan, sebagian mereka dengan terpaksa atau sukarela melampiaskannya dengan jalan yang haram, sehingga timbulah perzinaan dimana-mana sebagaimana kita lihat sekarang. Termasuk dampak pelarangan untuk memadu adalah membengkaknya jumlah anak yang lahir hasil perzinaan. Yang dibenarkan agama bagi istri adalah tidak menghalang-halangi suaminya menikah lagi dan bahkan mengizinkannya.167 Melarang poligami berarti hanya akan menelantarkan nasib sekian wanita dalam kesendirian dan kegelisahan, merampas mereka untuk berketurunan. Menolak poligami juga menentang hukum alam, karena mendekati kiyamat, akan semakin terjadi perbedaan ekstrim antara jumlah laki-laki dan wanita. Disamping mempunyai nilai yang positif, menurut penulis pendapat ini juga mempunyai nilai negatifnya. Diantaranya, kemungkinan jika suami 167
Ibn Baz, http://www.almanhaj.or.id/index/php?action=more&article_id=768&bagian=0 Diakses tanggal 09 Desember 2009 pada pukul 07.30 WIB.
82
menikah lagi bisa saja akan terjadi konflik dalam rumah tangga. Karena dalam kenyataannya suami tidak bisa adil dalam pembagian kepada istri. Pendapat ini juga bisa digunakan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab yang hanya ingin melampiaskan nafsunya saja, kemudian dia menikah lagi. Efek memadu istri semakin buruk apabila dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat, misalnya orang dengan penghasilan jauh dari mencukupi. Jangankan untuk dua istri, untuk istri dan anak yang ada pun tidak memadai. Maka jadilah istri dan anak-anaknya telantar.168 Kemudian kalau kita meneliti dasar pemikiran Imam Al-Syâfi’î dalam mencetuskan hukum syarat tidak dimadu ini, Imam Al-Syâfi’î mengambil hadits yang diriwatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwatha’. Hadits tersebut juga shahih dan bisa dijadikan sebagai hujjah karena diriwayatkan oleh Imam Bukhârî dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya dari Qutaibah bin Sa’id. Ditinjau
dari
segi
dasar
pemikirannya
kemudian
mengistinbathkannya, Imam al-Syâfi'î ini mengambil langsung dari pemahaman beliau tentang hadits secara zahir petunjuk nash dan dipahaminya menurut ketentuan-ketentuan bahasa arab. Hal ini memang sudah menjadi ciri khas khusus ushul fiqh Imam Al-Syâfi’î dalam menghadapi nash. Sebagaimana dalam perkataannya bahwa Allah akan memberitahukan kepada
168
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=107228 tanggal 09 Desember 2009 pada pukul 07.30 WIB.
83
Diakses
mereka bahwa segala hukumNya didasarkan kepada apa yang dzahir.169 Hal ini diperkuat ushul fiqh Imam Al-Syâfi’î dalam kitab al-Umm:
ت ِ ¢َ lَ Qََ َوِإذَاwِ pِ wِ pِ QَهG َ ْ َأو ُ Mُ ِهQَÌ QَZ{ْ Rِ wَ zَ V ْ َأQَalَ \ِQَaَ cْ اT َ aَ mَ J ْ وَِإذَا ا QَهG َ ْدًا َأوQَ{v ْ ِإQَZ gx َ ¢َlَ ² ُ ْ ِدQَJ َا Artinya: Apabila suatu hadits mengandung arti lebih dari pengertian, maka arti zahirlah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatanya, maka yang lebih shahihlah yang lebih utama.170 Imam Al-Syâfi’î jika tidak menemukan nash atau ijma’ mengambil pendapatnya shahabat. Jika pendapat para shahabat berselisih, maka mengambil mana yang terikat dengan al-Qur'an dan hadits. Beliau mengambil pendapatnya Umar karena pendapat inilah yang banyak diikuti masyarakat.171 Imam Al-Syâfi’î dalam mengikuti pendapat sahabat tidak memerlukan ada nash yang dipegang oleh para sahabat itu. Imam Al-Syâfi’î berkata:
Qَ{b ِ ُ ْ Í َِ Qَ{ِ ْ~ْ َرءRِ ٌMjْ | َ Qَ{cَ ْYZُ ُ رَأ Artinya: “Pendapat para sahabat lebih baik daripada pendapat kita sendiri”172 Imam Al-Syâfi’î mengambil hadits yang mengatakan bahwa tidaklah halal bagi seorang perempuan berpuasa sunnah satu hari dan suaminya mengetahuinya kecuali dengan izin dari suaminya, menurutnya, Allah telah menetapkan bahwa tidak puasanya istri itu (karena dilarang suami) sebagai ibadah selama puasanya istri tersebut bukan puasa wajib karena haknya suami 169
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, cet.Pertama (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997), 270. 170 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, cet. Ke-3 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), 124. 171 Ibid., 271. 172 Ibid., 271.
84
atas istri itu besar, maka kalau istri dalam akad mensyaratkan suami agar tidak mencegah istri ketika mau keluar rumah ataupun si istri tidak mau dimadu maka si istri telah merusak haknya suami. Karena dalam hal ini suami diberikan suatu keutamaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh istri. Menurut penulis kalau kita merujuk kepada hadits ini, tidaklah relevan jika dikaitkan dengan syarat yang diajukan istri. Karena dalam prakteknya ketika istri mensyaratkan tidak dimadu, hal ini terjadi sebelum dia menjadi istri. Sedangkan dalam hadits tersebut hak-hak suami lebih besar ketika sudah menjadi istri yang sah. Sehingga suami boleh melarang istri untuk tidak puasa sunnah. Menurut penulis syarat tersebut merupakan hak istri sebelum dia menjadi istrinya, sehingga dia boleh mengajukan syarat tersebut. Imam Al-Syâfi’î juga menggunakan takhshîsh al-Sunnah bi alSunnah.173 Apabila suatu hukum datang dalam bentuk ‘am, maka diamalkanlah hukum itu menurut keumumannya, kecuali bila ada dalil yang manunjukkan adanya takhshîsh. Dalil takhshîsh tersebut dinamakan mukhashish atau sesuatu yang mentakhshîshkan.174 Adapun hadits yang umum adalah:
ج ُ ْوMُ ُ cْ اwِ pِ ْYmُ ]ْ ]َ ْ mَ v ْ ِإQَR wِ pِ \Ll `َ ُ ْط َأن ِ ْوMُ ´ g c ا³ gJ َ َأ Sedangkan hadits tersebut dikhususkan dengan hadits:
G ً I َJ َ َمML J َ ْ َأوQًRَاMJ َ T LJ َ َأQًUْMV َG L ْ ِإYِZU ِ ْوMُ V ُ \َ]^ َ ن َ ْ`aُ ]ِb ْ aُ cْ َا
173
Abdu al-Hamîd Hakîm, Mabâdî awwaliyah fî ushûl al-Fiqh wa al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (Jakarta: Maktabah Sa’diyah Putra, tt), 11. 174 Amir, Ushul Fiqh, 87.
85
Dengan begitu, masuklah persyaratan tidak dimadu ini dalam perkara yang halal. Sehingga ketika istri mensyaratkan tidak dimadu maka sama artinya persyaratan tersebut mengharamkan yang halal. Wa Allâhu A’lamu bi alShawâb. C. Analisa terhadap persamaan dan perbedaan antara pendapat dan istinbath Ibn Taymîyah dan Imam Al-Syâfi’î tentang syarat tidak dimadu dalam perjanjian perkawinan Setelah penulis secara panjang lebar membahas tentang pendapatnya Ibn Taymîyah dan Imam Al-Syâfi’î dalam hal syarat tidak dimadu dalam perjanjian perkawinan, kemudian penulis akan berusaha mengungkap letak perbedaan dan persamaan diantara keduanya. Menurut hemat penulis, di antara kedua pendapat tersebut jika dilihat dari segi kesamaannya hampir tidak ada kesamaan yang begitu mencolok. Namun ada beberapa kesamaan yang cukup mendasar, diantaranya adalah: 1. Kedua pendapat tersebut sama-sama mengambil dari pendapatnya Umar bin Khaththab, namun pendapatnya Umar inipun masih terjadi perbedaan pendapat. 2. Keduanya sama-sama menggunakan dasar pemikirannya dari Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzî,175 yakni:
G ً I َJ َ َمML J َ ْ َأوQًRَاMJ َ T LJ َ َأQًUْMV َG L ْ ِإYِZU ِ ْوMُ V ُ \َ]^ َ ن َ ْ`aُ ]ِb ْ aُ cْ َا Dan juga dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî:176 175
Abu Îsâ Muhammad bin Îsâ bin Sûrah bin Mûsâ al-Tirmîdzî, al-Jâmi’ Sunan al-Tirmîdzî (Beirut: Daar Ihya al-Turats al-‘Arabî, 1999), 390.
86
ج ُ ْوMُ ُ cْ اwِ pِ ْYmُ ]ْ ]َ ْ mَ v ْ ِإQRَ wِ pِ \lL `َ ُ ْط َأن ِ ْوMُ ´ g c ا³ gJ َ َا 3. Dalil yang digunakan untuk mengistinbathkan hukum syarat tidak dimadu tersebut juga sama-sama kuat dan Shahih, sehingga akan menyulitkan untuk mengambil mana yang lebih akurat untuk difahami. 4. Akad nikahnya sama-sama sah. Kemudian jika dilihat dari letak perbedaannya, sudah tentu ada. Namun yang paling menarik adalah ketika dalam memahami sebuah hadits, dalam hal ini mereka berbeda pemahamannya, sehingga menimbulkan
konsekuensi
hukum
yang
berbeda
pula.
Diantara
perbedaannya yang dapat penulis analisa adalah: d. Ibn Taymîyah memandang bahwa syarat tidak dimadu tersebut harus dipenuhi oleh suaminya. Sedangkan Imam Al-Syâfi’î berpendapat bahwa syarat tersebut tidak harus dipenuhi suami, dan seandainya suami menikah lagi sah-sah saja. e. Ulama Syafî’iyah membagi syarat dalam pernikahan itu terbagi menjadi dua bagian. Syarat yang sahih, yakni syarat yang sesuai dengan tuntutan dari akad nikah dan Syarat yang fasid, yakni syarat yang menyalahi tuntutan akad nikah dan tidak melanggar dengan tujuan utama dari pernikahan, yakni wathi. Seperti suami tidak boleh memadunya. Sedangkan Ibn Taymîyah membaginya ada tiga bagian. Pertama, Syarat shahih, yaitu syarat yang sesuai dengan tuntutan akad atau tidak sesuai
176
Abî Abdillah Muhammad Bin Ismâ'îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, cet I (Beirut: Daar Ihyâ al-Turâts al-Arabî, 2001), 482.
87
dengan tuntutan akad tetapi manfaatnya kembali kepada salah satu pelaksana akad nikah dan syari’at tidak melarang selama tidak menyalahi maksud dari tujuan akad. Hukumnya wajib untuk dipenuhi. Kedua, Sesuatu yang membatalkan syarat tetapi akad nikahnya tetaplah sah. Ketiga, Syarat yang membatalkan perkawinan dari asalnya, seperti mensyaratkan pernikahannya dengan waktu yakni nikah mut’ah. f. Dalam mengambil pendapatnya Umar yang diriwayatkan oleh sa’id bin Mansur, pendapat pertama mengatakan bahwa pra syarat tersebut di anggap syarat yang cocok dan sesuai dengan ketentuan ada dalam akad nikah, sehingga syarat tidak dimadu tersebut harus dipenuhi. Pendapat ini yang diikuti oleh Ibn Taymîyah. Pendapat kedua mengatakan, pra syarat tersebut di anggap syarat yang tidak cocok dan tidak sesuai dengan ketentuan ada dalam akad nikah, sehingga syarat tidak dimadu tersebut tidak harus ditepati. g. Dalam memahami hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzî, Ibn Taymîyah berpendapat bahwa Hadîts ini secara tegas menyatakan bahwa setiap syarat yang bisa mengantarkan pada suatu pernikahan adalah harus ditunaikan, karena masalah nikah lebih mulia kedudukannya serta lebih berharga dari pada harta. Penetapan syarat dari istri agar suami tidak memadunya adalah termasuk ke dalam bagian ini serta masyru’ atas dasar Ijma’ shahabat dan suami wajib memenuhinya. Sedangkan Imam AlSyâfi’î menanggapi hadits tersebut memang memerintahkan untuk memenuhi syarat sesuatu yang telah dijelaskan bahwa syarat tersebut
88
diperbolehkan, dan Sunnah Rasulullah tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut tidak diperbolehkan. Dalam hal ini diterangkan dalam hadits lain, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhârî, yang menyatakan bahwa orang muslim itu tergantung apa yang disyaratkan, namun tidak boleh mengharamkan yang halal atau sebaliknya. Maka penetapan syarat tidak boleh menikah lagi jelas merupakan bentuk mengharamkan sesuatu yang halal. h. Terkait
hadits
yang
diriwayatkan
al-Turmudzî,
Ibn
Taymîyah
memahaminya secara terpisah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhârî.
Namun
Imam Al-Syâfi’î tidak demikian, hadits yang
diriwayatkan oleh al-Turmudzî tersebut dikhususkan atau dijelaskan dengan adanya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhârî. Sehingga fungsinya adalah menafsirkan dari hadits tersebut. i. Dalam hal ini Ibn Taymîyah lebih condong pada pemenuhan janji sebagaimana dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat satu. Karena melihat keumuman pada lafadz “al-uqûd”. Sedangkan Imam Al-Syâfi’î lebih melihat dan menekankan pada dzahîrnya Sunnah Rasulullah, dimana syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah adalah batal. Kemudian hal ini dibantah Ibn Taymîyah bahwa Hadits di atas adalah syarat yang menyelisihi al-Qur'an dan Hadits Rasulullah SAW. Sedangkan syarat yang berkenaan dengan perkara mubah seperti tersebut dalam permasalahan syarat tidak dimadu tetap harus dipenuhi.
89
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan, bahwa syarat tidak dimadu merupakan syarat mempunyai nilai positif dan nilai negatif baik dari laki-laki maupun perempuan. Maka yang dapat mengukur hal tersebut adalah bagi pelaksananya, karena melihat situasi dan kondisi masingmasing individu. Namun semuanya tetap bermuara dan kembali kepada alQur'an dan sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan kedua ulama di atas yang tidak diragukan lagi kredibilitas keilmuannya. Menurut penulis, yang menjadi pertimbangan kedua ulama ini adalah legalitas syari’at tentang kebsahan melakukan sebuah pekerjaan, tanpa harus berlarut-larut dalam perdebatan mengenai kemungkinan akibat yang akan timbul, yang belum pasti akan terjadi. Sehingga fokus yang ditekankan adalah sebuah perantara yang bisa membawa hasil akhir sebuah pekerjaan. Dalam kaidah ushul disebutkan:177
`ْ ُد ُ }ْ aَ cْ َ` اZُ lَ `ْ ُد ُ }ْ aَ cْ اwِ pِ Yَُ mِ َ G َ QَR Maksudnya, sebuah tujuan yang tidak bisa tercapai tanpa perantara, maka perantara tersebut juga merupakan tujuan. Kemudian jika diaplikasikan pada kasus syarat tidak dimadu ini, maka yang menjadi perantara dalam hal ini adalah ketika suami akan memadu istri. Kemudian tujuan dari pada memadu ini adalah maslahah sosial. Namun jika dalam prakteknya memadu istri tersebut akan membawa konflik bagi rumah tangga mereka, berarti hal ini mengalihkan tujuan utama memadunya kepada kerusakan. Sehingga tujuan yang asalnya adalah maslahah berubah menjadi 177
Abdul Haq, Formulasi, buku dua, 259.
90
kerusakan. Hal ini sama saja tujuan daripada memadu istri adalah untuk kerusakan. Syarat sah suatu pekerjaan adalah apabila diyakini tidak berakibat pada kerusakan. Apabila dalam suatu tempat atau waktu tertentu terdapat sebuah pekerjaan yang diyakini aman dari dampak negatif yang mungkin timbul, sementara dalam kondisi yang lain dapat berakibat pada kerusakan, maka pekerjaan itu hanya dilarang pada waktu atau tempat yang menimbulkan kerusakan.
91
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Menurut Ibn Taymîyah syarat tidak dimadu adalah sah dan harus ditunaikan selama pasangan itu tidak membatalkan syarat tersebut. Dasar pemikiran hukumnya adalah dari surat al-Maidah ayat: 1 dan dari hadits yang diriwayatkan Imam Bukhârî dan Muslim. Adapun istinbath hukum Ibn Taymîyah adalah keumuman lafadz (lafadz ‘am) dan mashlahah. 2. Menurut Imam Syafi'î hukum nikahnya sah, dan syarat tidak dimadu dalam pernikahan tersebut batal. Dasar pemikiran hukumnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhârî dan Muslim. Adapun metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Syafi'î adalah memahami hadits secara dzahirî nash dan aqwalu al-Shahabah. 3. Adapun letak persamaannya adalah kedua pendapat tersebut sama-sama mengambil
dari
pendapatnya
Umar
bin
Khatthab,
sama-sama
menggunakan dasar pemikirannya dari Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî. Kemudian perbedaannya adalah Ibn Taymîyah dalam menggunakan metode ijtihad adalah melihat keumuman lafadz (lafadz ‘am) dan mashlahah, sedangkan metode ijtihad yang digunakan Imam Syafi'î adalah pemahaman hadits secara dzahiri nash hadits, dan aqwâlu al-Shahabah.
92
B. Saran-saran Sesuai dengan tema yang dibahas dalam skripsi ini, penulis ingin memberikan saran bagi orang yang akan melaksanakan pekerjaan poligami dan
orang
yang
tidak
mau
dipoligami,
hendaknya
melihat
dan
mempertimbangkan situasi dan kondisinya agar tidak terjadi konflik yang tidak diinginkan. Jika dzan (asumsi) kuat mengarah pada kerusakan maka baginya adalah tidak melakukan pekerjaan tersebut.
93
DAFTAR PUSTAKA Abu Zayd, Nasr Hamid, al-Imam Syafi'î wa ta’sisi al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, terj. Khpiron Nahdliyyin, Imam Syafi'î: Moderatisme Eklektrisme Arabisme. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 1997. 'Adawi, Abu Abdillah Mushtafa, Ahkam An Nikah wa Az Zifaf, terj. Aris Munandar dan Eko Haryono, Tanya Jawab Masalah Nikah dari A Sampai Z. Yogyakarta: Media Hidayah, 2005. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar. Bandung: Orta Sakti, 1992. Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, cet.ke-6. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003. Azis al-Halawî, Muhammad Abdul, Fatawâ wa Aqdhyah Amiril Mukminin Umar Ibn al-Khattab, Terj. Wasmukan, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqh. Surabaya: Risalah Gusti, 1999. 'Azis al-Sa'ud, Fahd Ibn 'Abdu, al-Qur'an al-Karîm wa tarjamatu ma'ânîhi ila alLughat al-Andunisiyyah, Madinah al-Munawwarah: Mujamma' al-Mâlik Fahd Li thibâ'at al-Mushhaf al-Syarîf, 2005. Baqa’î, Yusuf Muhammad, Diwan al-syafi’i, Terj. Abdul Ra’uf Jabir, Koleksi Syair Imam Syafi'î, Jakarta: Puataka Amani, 1995. Bukhârî, Abî Abdillah Muhammad Bin Ismâ'îl, Shahîh al-Bukhârî, cet I. Beirut: Daar Ihyâ al-Turâts al-Arabî, 2001. Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad, Al-Wajiz fi idlah Qawaid Al-Fiqh Alkulliyah, cet.1. Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1983. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research. Yogyakarta: Gajah Mada, 1980. , Metodologi Research, Jilid I. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004. Hamdani, Sa'id bin Abdullah bin Thalib, Risalah Al-Nikah, terj. Agus Salim, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta: Pustaka Amani, 2002. Haq, Abdul dkk, Formulasi Nalar Fiqh Telaah kaidah fiqh Konseptual, buku dua, cet, II. Surabaya: Khalista, 2006. Ismail Ashr, Ibrahim, Manhaj Ibn Taymiyah. Jakarta: Darul Haq, 2003. Jamal, Muhammad, Hayatu al-Hayah, Terj.M. Khalid Muslih, Biografi 10 Imam Besar. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
94
Karya, Soekarno, Dkk, Ensiklopedi Mini, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996. Ma’mur Asmani, Jamal, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz Antara Konsep dan Implementasi, Surabaya: Khalista,2007. Muslim, Imam, Shahîh Muslim bi Syarh al-Imam al-Nawawî, cet. Pertama, Jilid VIII. Beirut: Daar Ihya’ al-Thurats al-‘Arabî, 1999. Muhammad bin Idris, Imam Syafi'î Abu Abdillah, Mukhtashar kitab al-Umm fî al-Fiqhi, Terj. Muhammad Yasir Abd. Muthallib, Ringkasan Kitab al-Umm. Jakarta: Pustaka Azam, 2004. Mun’im Saleh, Abdul, Madzhab Syafi’I Kajian Konsep al-Maslahah. Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001. Musdah Mulia, Siti, Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT. Gramedia Puataka Utama, 2004. Nawawî, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, Beirut: Daar al-Fikr, tt. Sabiq, Sayyid, Fiqh Al-Sunnah, jilid.2. Beirut: Daar Al-Fikr, 1992. Sa’id Mursî, Muhammad, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Terj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005. Sholeh, Ach. Khudori, Fiqh Kontekstual: (Perspektif Sufi Salafi), Jakarta: PT. Pertja, 1999. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, cet.Pertama. Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997. Subekti, hukum perjanjian, cet, ke-6. Jakarta: PT. Intermasa, 1979. Al-Syafi’î, Abî ‘Abdillah Ibn Idrîs, al-Umm, Jilid V Beirut: Daar al-Kutub al‘ilmiyyah, tt. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,1999. Teguh, Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi "Teori dan Aplikasi". Jakarta: PT. Rja Grafindo Persada, 2001. Taymîyah, Ibn, Iqtisdha shirâthal Mustaqîm, Mukhâlafah shâhibil Jahîm, Terj. Halimuddin, Jalan Lurus Menuju sorga. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992. , Ibn, Majmu' min Al-Fatawa Al-Kubro, juz.3. Beirut: Dar Al-Fikr,1993.
95
Tirmîdzî, Abu Îsâ Muhammad bin Îsâ bin Sûrah bin Mûsâ, al-Jâmi’ Sunan alTirmîdzî. Beirut: Daar Ihya al-Turats al-‘Arabî, 1999. Utsmân al-Zahbî, Syamsu al-Dîn Muhammad bin Ahmad bin, Siyaru ‘A’lami alNubalâi, Jilid 16. Beirut: Daar al-Fikr, 1997. Yahya, Mukhtar dan Rahman, Fathur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum FiqhIslam. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993. Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab, cet. Ke-3. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003. Zahrah, Muhammad Abu, Imam Syafi'î: Hayatuhu wa ‘ashruhu wa fikruhu ara’uhu wa fiqhuhu, terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Imam Syafi'î: Biografi dan Pemikirannya dalam masalah akidah dan politik. Jakarta: Penerbit Lentera, 2007. Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh, jilid,6. Beirut: Daar Al-Fikr, tt. Sudrajat, Ajat, “Justicia Islamica: Pemikiran Imam Syafi'î Qaul Qadim dan Qaul Jadid”, jurnal, Vol. 4/No. 2, Juli-Desember. Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo: tp, 2007. Perpusatakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Hukum Islam,. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. , Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi hukun Islam Di Indonesia. Departemen Agama R.I: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000. Abu Ishaq, http://jacksite.wordpress.com/2007/08/02/istri-mensyaratkan-untuktidak-dipoligami/ diakses pada tanggal 13 Juni 2009 pukul 15.06 WIB. Makmun, http://almakmun.com/?p=85 diakses pada tanggal 13 juni 2009 pukul 15.25 wib. Saruji, Ibn, www.abualbinjy.wordpress.com, 08 Oktober 2009, Pukul 11.00 WIB. Sundawy, Abu Ishaq, http://salafyitb.wordpress.com/2006/12/15/seorang-istriboleh-mensyaratkan-untuk-tidak-dipoligami-1/ di akses pada tanggal 13 Juni 2009 pukul 14.57 WIB Syarifuddin, Arif, http://pustakaimamsyafii.com/pis/is/, 08 oktober 2009, Pukul 11.35 WIB.
96
http://zuh86.multiply.com/reviews/item/21. Di akses pada tanggal 11 Agustus 2009 waktu 22.29 WIB. http://aris.protajdid.com/?p=28 Di akses pada Hari Kamis Tanggal 22 Oktober 2009, pukul 10.18 WIB. http://jacksite.wordpress.com/2007/08/02/istri-mensyaratkan-untuk-tidakdipoligami/ diakses pada tanggal 13 Juni 2009 pukul 15.06 WIB http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi'i, 08 oktober 2009, Pukul 11.40 WIB. http://ateisindonesia.wikidot.com/poligami http://www.pa-cilacapkab.go.id/data.php?tipe=artikel&tgl=20091028023921 Nancy Samola, http://umum.kompasiana.com/2009/04/07/aktivis-pologami-sakitihati-perempuan/ Yulianti, Rahmani Timorita, Error! Hyperlink reference not valid.. diakses pada tanggal 11 Agustus 2009 waktu 22.29 WIB. UU. Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, Pasal 1 Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986. Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo, Jurusan Syari;ah, Jurusan Tarbiyah, jurusan Ushuluddin, STAIN Ponorogo, 2008.
97
98