BAB I PENDAH ULUAN
A. Latar Belakang Undang – Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) merupakan salah satu kebijakan komunikasi yang terbentuk seiring dengan perkembangan teknologi dan media baru di Indonesia. Tujuan pembuatan undang – undang ini sendiri tercantum di dalam pasal 4 yaitu pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk : a) mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
informasi
dunia;
b)
mengembangkan
perdagangan
dan
perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; d) membuka kesempatan seluas – luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan e) memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi. Secara garis besar, UU ITE mengatur tentang semua inf ormasi elektronik serta transaksi elektronik yang terjadi pada media elektronik di Indonesia. Seperti tanda tangan elektronik, alat bukti elektronik, nama domain dan kekayaan hak intelektual, serta perbuatan yang dilarang. Pada intinya, pemerintah merasa perlu mengatur lalu lintas informasi yang terjadi di media baru sehingga cybercrime dapat dikontrol. UU ITE merupakan cyberlaw pertama di Indonesia yang mengatur secara khusus tentang informasi dan 1
transaksi elektronik . Ketentuan cybercrime dalam U U ITE mengacu kepada EU Convention on Cybercrime yang merupakan istrumen internasional yang 2
digunakan oleh banyak negara . 1
Josua Sitom pul.,
Cyberspace, cybercrim es, cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana (Jakarta:
Tatanusa, 2012), hlm.44. 2
Ibid.
1
Tetapi
kemudian
terjadi
permasalahan
yang
menyoroti
ketidaksempurnaan U U ITE ini. UU ITE, terutama pasal 27 ayat 3, dianggap telah membatasi hak masyarakat untuk berekspresi dan berpendapat. Karena membuat masyarakat kemudian merasa harus hati – hati dalam mengemukakan pendapatnya tentang berbagai hal. Padahal di dalam Undang – Undang Dasar sendiri ketentuan tentang kebebasan mengemukakan pen dapat telah diatur dalam pasal 28. Sebagai negara demokrasi, jaminan atas kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan sesuatu yang penting di Indonesia. M elihat UU ITE, terutama pada pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang pencemaran nama baik dan sanksi yang ditetapkan sesuai dengan pasal 45 ayat 1 membuat kita mempertanyakan kembali hak setiap warga negara dalam mengeluarkan pendapat di negara ini. M arilah kita melihat kasus Prita M ulyasari sebagai contohnya. Prita digugat karena dianggap mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Dasar hukum yang digunakan dalam pelaporan itu adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE serta sanksinya dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Protes datang dari berbagai kalangan, khususnya lembaga atau organisasi yang peduli dengan masalah hak asasi manusia. Tak lepas pula dari upaya advoksi yang dilakukan oleh 5 organisasi masyarakat sipil yang mengirimkan Amicus Curiae (K omentar Tertulis) ke Pengadilan Negeri Tangerang terkait dengan kasus Prita M ulyasari. Kelima OM S ini adalah Lembaga Studi d an Advokasi M asyarakat (Elsam), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan Lembaga Bantuan H ukum Indonesia (YLBHI) dan Indonesia M edia Defense 3
Litigation Network (IM DLN) . Adanya upaya advokasi kebijakan terkait dengan UU ITE terutama tentang pencemaran nama baik merupakan tindak lanjut dari kesadaran masyarakat bahwa pasal tersebut menimbulkan banyak masalah. M asyarakat menuntut untuk adanya perbaikan atau revisi UU ITE. Tekanan dari publik mem buat pemerintah akhirnya mengagendakan revisi UU ITE tersebut
3
Daftar nam a kelim a OMS didapat dari artikel yang ditulis oleh Firdaus Cahyadi - Campaigner Keadilan
Inform asi Yayasan Satudunia dalam situs http://www.satudunia.net/ (diunduh pada 03 Maret 2013 pukul 09.43)
2
yang
dijanjikan
akan
menjadi
prioritas
pada
tahun
2013
(menurut
4
Kemenkominfo ). Kesempatan untuk mengadvokasi revisi U U ITE ini tentu harus terus menerus dilakukan sampai benar – benar terw ujud. Berkaitan dengan kebebasan berpendapat, di negara Asia Tenggara lain pun sebetulnya perdebatan serupa tetap muncul dalam situasi politik yang terus bergolak. Perdebatan – perdebatan ini um umnya bersifat domestik. Namun ini tidak terlalu mengejutkan 5
karena semua perpolitikan pada dasarnya memang bersifat lokal . Sebelum adanya UU ITE, kasus pencemaran nama baik yang ada di Indonesia digugat dengan pasal 310 dan pasal 311 KUHP. Akan tetapi seiring dengan perkembangan teknologi, pasal tentang penghinaan ini tidak dapat menjerat kasus – kasus pada media baru. Permasalahan pasal pencemaran nama baik pada UU ITE menjadi penting untuk diteliti karena beberapa pasal dalam UU ITE ini telah menimbulkan banyak permasalahan seperti pada kasus Prita tahun 2009 lalu. Sebelum adanya UU ITE, permasalahan yang timbul adalah adanya cybercrime pada media baru. Seperti penyerangan terhadap situs – situs pemerintah dan sebagainya. UU ITE ini merupakan cyberlaw pertama di Indonesia yang diharapkan bisa mengendalikan cybercrime. Tetapi setelah adanya UU ITE, permasalah yang muncul salah satunya adalah terkait dengan pasal pencemaran nama baik yang juga terdapat dalam UU ITE tersebut. Bermula dari kasus Prita yang disusul oleh kasus – kasus lainnya membuat orang dengan mudah menuntut pihak lain dengan delik pengaduan kasus pencemaran nama baik. Banyak pihak yang mempermasalahkan hal tersebut, seperti media, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum. Advokasi disini memiliki peranan yang penting dalam usulan untuk merevisi UU ITE tersebut. Selain itu, penelitian tentang kebijakan komunikasi 4
Di dalam berita Kom pas.com dengan judul Kemenkominfo Prioritaskan Revisi UU ITE Tahun Ini.
Diunduh
dari
website
http://tekno.kompas.com /read/2013/01/16/11530420/Kemenkominfo.Prioritaskan.Revisi.UU.ITE.Tahu n.Ini pada 03 Maret 2013 pukul 12.34. 5
Artikel oleh Kevin Boyle & Cherian George berjudul Konsensus Kebebasan berp endapat Asia Tenggara
dalam situs http://www.com m ongroundnews.org/article.php?id=24719&lan=ba&sp=0 (diakses pada 28 April 2013 pukul 20.40)
3
terkait dengan advokasi juga belum banyak diteliti sehingga tingkat urgensi -nya lebih tinggi. Karena itulah penelitian ini berfokus pada upaya advokasi yang dilakukan oleh organisasi yang peduli pada terwujudnya revisi UU ITE. Diantara kelima OM S yang mengajukan komentar tertulis terkait dengan pasal pencemaran nama baik tersebut, ada satu yang paling intens dalam hal usaha – usaha advokasi serta gencar menyoroti kasus – kasus yang terkait dengan kebebasan berekspresi seperti pencemaran nama baik ini. Yaitu Lembaga Studi dan Advokasi M asyarakat (ELSAM ). Freedom of expression sudah menjadi salah satu program kerja mereka. Elsam juga mengajukan permohonan pengujian terhadap UU ITE.
B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang masalah di atas, penelitian ini akan menjawab rumusan masalah sebagai berikut ―Bagaimana advokasi kebijakan yang dilakukan oleh Organisasi M asyarakat Sipil (OM S) dalam revisi Undang Undang ITE pasal pencemaran nama baik?‖
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk : 1. M engetahui strategi advokasi Organisasi M asyarakat S ipil (OM S) dalam revisi UU ITE pasal pencemaran nama baik. 2. M enganalisis advokasi kebijakan yang dilakukan oleh Organisasi M asyarakat Sipil (OM S).
4
D. Manfaat Penelitian 1. M anfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih kepada ilmu komunikasi khususnya dalam bidang kajian kebijakan komunikasi, terlebih lagi berkaitan dengan pelaksanaan advokasi kebijakan . M ulai dari tahap perencanaan sampai pada tahap evaluasi advokasi dipandang dari pihak OM S sehingga dapat dilihat keberhasilan atau kegagalan dari sebuah advokasi. Dan semoga dapat memberikan masukan dan gambaran kepada masyarakat
luas
seperti
apa
jalannya
advokasi
dalam
usaha
menyempurnakan regulasi di negara ini. Hal ini dapat dilihat pada tingkat yang lebih tinggi yaitu pada para pembuat kebijakan.
2. M anfaat Praktis M anfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi organisasi masyarakat sipil lain, da lam menyusun strategi atau gerakan dalam upaya advokasi kebijakan atau regulasi di negara ini. Dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi sumber inspirasi untuk pelaksanaan advokasi oleh organisasi atau masyarakat, bukan hanya seputar masalah kebijakan komunikasi tetapi juga kebijakan secara umum. Serta dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian sejenis pada masa yang akan datang.
E. Penelitian Sebelumnya 1. Debat Pengaturan Kasus Pencemaran Nama Baik Kasus pencemaran nama baik menuai pro dan kontra di berbagai pihak. Pihak yang pro (mendukung) pengaturan tentang kasus pencemaran nama baik ini diantaranya adalah dari pihak pemerintah. Pemerintah dalam berbagai kesempatan re smi selalu mengemukakan bahwa UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diciptakan untuk melindugi para pengguna teknologi informasi, dan pemerintah selalu berargumen bahwa K UHP sudah tidak lagi m ampu untuk menanggulangi 5
kejahatan – kejahatan yang sesungguhnya telah diatur dalam KUHP namun 6
dilakukan dengan menggunakan medium teknologi informasi . Sementara pihak kontra mengatakan bahwa di dalam kasus pencemaran nama baik ada indikasi pelanggaran HAM . Komnas HAM melalui Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan, N ur Kholis menyatakan bahwa tidak boleh ada satu pihak pun yang boleh menghalang-halangi hak asasi seseorang untuk berekspresi dan berpendapat. Ia juga mengatakan, tidak layak bila seseorang yang menuliskan surat keluhan lalu mendapat ancaman hukuman 7
hingga enam tahun penjara . Dimana pada tahun 2009, dituturkan pula oleh Nezar Patria (Ketua Aliansi Jurnalis Independen) bahwa pemidanaan pencemaran nama baik merupakan ancaman terbesar bagi kebebasan 8
berekspresi di Indonesia . Berdasarkan review yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah merupakan pihak yang pro (mendukung) adanya pengaturan terhadap kasus pencemaran nama baik. Karena pengaturan tersebut bertujuan untuk melindungi para pengguna teknologi informasi. Sementara pihak kontra menganggap bahwa pengaturan terhadap kasus pencemaran nama baik ini menghalangi hak untuk berekspresi dan berpendapat. Pihak kontra sendiri diantaranya K omnas HAM , AJI, serta organisasi masyarakat sipil seperti ICJR (Institute for Criminal Justice Reform).
6
Lihat keterangan pem erintah di Ma hkamah Konstitusi pada perkara No 50/PUU‐VI/2008 dan No
2/PUU‐VII/2009. Dikutip dari Riset ICJR dengan judul “ Mengadili UU Inform asi dan Transaksi Elektronik: “Pem aparan Perkara - Perkara Penghinaan Terkait Dengan Penggunaan Teknologi Informasi”. Diakses tanggal
01
Juli
2013
pukul
09.00
pada
situs
http://icjrid.files.wordpress.com /2012/10/paper_defamasi.pdf 7
Dapat dilihat secara lebih rinci dalam Antara News Online “Indikasi Pelanggaran HAM Kasus Prita ”.
Diakses
tanggal
01
Juli
2013
pukul
08.00
pada
situs
http://www.antaranews.com /view/?i=1244013363&c= NAS&s=HUK 8
Dapat dilihat secara lebih rinci dalam Tem po Online “AJI Minta Semua Pasal Pencemaran Nama Baik
Dihapus”.
Diakses
tanggal
01
Juli
2013
pukul
08.26
pada
situs
http://www.tem po.co/read/news/2009/06/03/078179773/AJI-Minta-Semua-Pasal-Pencemaran-NamaBaik-Dihapus
6
2. Pengaturan Pencemaran Nama Baik di M edia B aru Pengaturan hukum tentang pencemaran nama baik di media baru Filipina diatur dalam Undang – Undang Pencegahan Kriminal Siber (Cybercrime Prevention Act) dimana pihak pemerintah mengungkapkan hukum tersebut dikeluarkan untuk mencegah kekerasan dan perilaku kriminal di dunia 9
maya . Di bawah hukum siber tersebut, orang yang terbukti bersalah karena memberikan komentar di dunia maya yang mampu mencemarkan, termasuk komentar di jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter atau blog, bisa dipenjara atau didenda. Sementara di Amerika terdapat Section 230 of the Communications Decency Act mengatur tentang pencemaran nama baik secara digital, yang justru memberikan kekebalan hukum bagi penyedia atau pengguna layanan komputer interaktif yang menyiarkan informasi y ang 10
disiarkan atau dibuat oleh pihak lain . Thailand juga memiliki peraturan mengenai pencemaran nama baik dalam media baru. Seperti diungkapkan dalam International Journal of Inform ation and Communication Technology Research, bahwa defam ation juga diatur dalam Computer Crime Act section 16
11
dimana berkaitan dengan pencemaran nama baik secara visual.
Hukuman dapat dijatuhkan pada mereka yang terbukti mempublikasikan gambar orang pihak ketiga, yang hal tersebut akan merusak reputasi orang pihak ketiga terseb ut. Berdasarkan pengalaman pengaturan media baru di beberapa negara tersebut, terlihat adanya perbedaan pengaturan pencemaran nama baik di media baru. Ada peraturan yang memberikan sanksi terhadap komentar – 9
Dapat dilihat secara lebih rinci dalam Republika Online “Filipina Tangguhkan UU Saiber”. Diakses
tanggal
01
Juli
2013
pukul
08.26
pada
situs
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/10/10/mbnmm2 -filipina-tangguhkan-uusaiber 10
Dapat dilihat secara lebih rinci dalam Digital Media Law Project “ Section 230 of the Communications
Decency Act”. Diakses tanggal 01 Juli 2013 pukul 10.00 pada situs http://www.dmlp.org/section -230 11
Danuvasin Charoen dalam International Journal of Information and Communication T echnology
Research “The Analysis of The Com puter Crime Act in Thailand”. Diakses pada 01 Juli 2013 pukul 12.00 pada situs http://esjournals.org/journaloftechnology/archive/vol2no6/vol2no6_7.pdf
7
komentar yang dianggap mencemarkan nama baik or ang lain sehingga dianggap mengekang kebebasan berpendapat, tetapi ada peraturan yang justru melindungi sehingga masyarakatnya lebih terbuka d an bebas memberikan opininya di media baru. 3. Gerakan Advokasi Pencemaran Nama Baik Gerakan advokasi yang dilakukan oleh IPI (International Press Institute) tentang kebebasan berpendapat di media baru dilakukan di Barbados pada 9 12
– 12 Juni 2012 . Disebutkan dalam reports tersebut, partisipan dari misi advokasi tersebut adalah IPI Executive D irector A lison Bethel M cKenzie; Association of Caribbean MediaW orkers President Wesley Gibbings; IPI Press Freedom Adviser for Latin America and the Caribbean M ariela Hoyer; IPI Executive Board Member Pavol M údry. Barbados memiliki peraturan dalam The Defamation Act tentang crim inal defam ation dan civil defam ation dimana seseorang yang mempublikasikan keseluruhan atau sebagian tuduhan menyangkut pencemaran nama baik orang lain akan dijerat oleh peraturan ini. IPI merekomendasikan kepada pemerintah supaya memprioritaskan amandemen The Defam ation Act dalam penghapusan hukuman pidana, memprioritaskan kebebasan informasi untuk disetujui dan dapat diimplementasikan secepatnya, mendorong keragaman media dengan pemberian lisensi pada saluran TV swasta, mengubah penyiar negara menjadi lembaga penyiaran publik, mengijinkan wartawan melaporkan secara bebas – tanpa gangguan atau intimidasi – pada semua topik. Rekomendasi untuk media adalah menginformasikan bagi publik Barbados dan wartawan tentang kekurangan peraturan pencemaran nama baik serta memberitahu manfaat dari pencabutannya, bekerja untuk konsolidasi kekuatan media komunitas yang dapat mengadvokasi hak pers, memberikan dukungan ke A sosiasi Wartawan Barbados di aktivitas pembangunan media,
12
Lihat di International Press Institute “Final Report on the IPI Advocacy Mission to End Criminal
Defam ation in the Caribbean”. Diakses pada 01 Juli 2013 pukul 23.50 pada situs http://www.freem edia.at/fileadm in/m edia/Documents/IPI_mission_reports/Caribbean_Mission_Report .pdf
8
membantu dalam hal pelatihan jurnalistik untuk meningkatkan kualitas pelaporan – khususnya laporan investigasi. 4. Gerakan Advokasi Pencemaran Nama Baik di Indonesia Gerakan advokasi terkait dengan pencemaran nama baik di Indonesia sendiri salah satunya adalah yang dilakukan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang dapat dilihat pada report hasil seminar internasional tentang pencemaran nama baik bertema ―M embangun Sebuah Platform 13
Advokasi Regional‖ tahun 2008 lalu . Berdasarkan report tersebut, rekomendasi untuk strategi advokasi AJI dibedakan menjadi dua yaitu secara litigasi dan non-litigasi. Secara litigasi, AJI merekomendasikan untuk mendorong Kapolri, Jaksa A gung, dan Pengadilan untuk mengadakan nota kesepahaman yang menyatakan bahwa semua kasus media harus melalui Dewan Pers untuk meminta pertimbangan sebelum proses lebih lanjut di pengadilan (daripada penggunaan KUHP); didukung oleh Dewan P ers, AJI, PWI, dan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia); Dewan Pers berkirim surat kepada M ahkamah A gung meminta agar anggota Dewan Pers dikenalkan sebagai mediator dalam semua kasus melibatkan media (lihat regulasi M A No.2 tahun 2003); M eminimalisir akibat dari UU saat ini dan beberapa
UU
yang
mengancam
kebebasan
pers
dan
kebe basan
berekspresi— seperti K UHP, ITE, dan KIP— dengan mengajukan judicial review pada M K; M emperkuat jaringan pengacara tingkat nasional, regional, dan tingkat kota dan menyediakan pengacara guna menangani kasus media bersama dengan dukungan dari perusahaan media. Secara non-litigasi, AJI merekomendasikan untuk M embuat sebuah jaringan kelom pok inti untuk berbagi informasi dan mengkoordinasikan kesemua kebutuhan yang mendesak dan aksi jangka panjang; M engadakan pertemuan rutin kelompok inti; M engembangkan perluasan jaringan para pendukung yang akan diberikan informasi mengena i perkembangan yang
13
Lihat di report hasil sem inar internasional oleh AJI dan ARTICLE 19 “Pencemaran Nama Baik di Asia
Tenggara”. Diakses pada 02 Juli 2013 pukul 06.30 pada situs http://jurnalis.files.wordpress.com/2011/07/defamation-indonesia.pdf
9
relevan dan
diundang dalam
poin-poin strategis untuk mendukung
kampanye; M engadakan konferensi internasional sebagai bagian kerja di atas; M empresentasikan perbaikan pencemaran nama baik sebagai dasar isu demokrasi yang tidak hanya untuk jurnalis tapi u ntuk melayani hak publik untuk
tahu;
M engembangkan
tujuan
kam panye
yang
jelas
dan
mempresentasikannya kepada pendukung potensial; M enjalankan rencana ke depan dan memberitahukan para pendukung di saat panggilan untuk melakukan aksi; Berpikir aktif dan kreatif tentang siapa yang mungkin menjadi pendukung (terkait dengan isu utama).
Persamaan beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu menjadikan OM S (Organ isasi M asyarakat Sipil) sebagai objek kajian, dan peranan OM S tersebut di dalamnya menjadi kajian yang hampir sama dengan penelitian ini. Selain itu, terdapat pula bahasan yang memang sama di dalam penelitian sebelumnya dengan penelitian ini yaitu tentang pencemaran nama baik serta advokasi oleh OM S yang men jadi acuan di dalam penelitian ini. Penelitian ini akan lebih berfokus kepada advokasi satu pasal pecemaran nama baik yang sampai sekarang masih menjadi masalah yaitu pasal 27 ayat 3 di dalam Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
F. Kerangka Pemikiran i.
Undang - Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Undang – Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan salah satu bentuk kebijakan komunikasi yang mengatur tentang media baru. Karena pemerintah melihat me dia baru yang berkembang semakin pesat, maka para pembuat kebijakan memutuskan untuk melakukan kontrol atas media baru melalui UU ITE ini. U ndang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sesungguhnya merupakan salah
10
14
satu kebijakan komunikasi . Secara lebih lanjut dijelaskan bahwa kebijakan komunikasi terdiri atas kebijakan komunikasi yang menggunakan media dan non-media. Sementara kebijakan komunikasi yang menggunakan media bisa dikelompokkan lagi menjadi kebijakan komunikasi menggunakan media sosial, m edia massa, dan media interaktif. Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik termasuk ke dalam kebijakan kom unikasi tentang media interaktif (media interaktif sering kali dialamatkan kepada semua sumber daya yang terdapat dalam internet). Secara garis besar, UU ITE ini mencakup dua hal yaitu Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik. Seperti dijelaskan dalam pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pasa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Secara historis, RUU ITE mulai dirancang pada M ar et 2003 oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (K ominfo). M elalui surat No. R./70/Pres/9/2005 tanggal 5 September 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan naskah RUU ITE secara resmi kepada DPR RI . M erespon surat tersebut DPR membentuk panitia khusus RUU ITE. Pansus tersebut menyelenggarakan 13 kali rapat dengar pendapat umum dengan berbagai pihak, antara lain operator telekomunikasi, perbankan, aparat penegak hukum dan kalangan akademisi dan Lembaga Sandi Negara. Dan
14
Ana Nadhya Abrar dalam Jurnal K omunikasi “Kebijakan Media Interaktif : Belum Melancarkan Sistem
Kom unikasi
Indonesia”
yang
diunduh
http://download.portalgaruda.org/article.php?article= 130764&val=5410& title=
dari pada
website tanggal
15
Agustus 2014
11
setelah beberapa kali rapat pleno oleh pansus RUU ITE, pada tanggal 18 M aret 2008 naskah akhir RUU ITE dibawa ke pengambilan keputusan tingkat II. Pada rapat paripurna DPR RI tanggal 25 M aret 2008, 10 Fraksi menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi U U. Selanjutnya Presiden menandatangani naskah UU
ITE
menjadi U ndang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2008 dan 15
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843 . Alasan pokok mengapa regulasi ITE sangat diperlukan yaitu
16
: karena
pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan dan harus tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat; globalisasi informasi menempatkan RI sebagai bagian dari M asyarakat Informasi Dun ia sehingga harus dibentuk pengaturan/pengelolaan ITE di tingkat nasional sehingga
pembangunan
merata/menyebar di
ITE
dapat
dilakukan
seluruh lapisan masyarakat
secara guna
optimal,
mencerdaskan
kehidupan bangsa; perkembangan TIK yang sangat pesat menyebab kan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk – bentuk perbuatan hukum baru; penggunaan dan pemanfaatan TI harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, memperkukuh persatuan dan kesa tuan nasional berdasarkan peraturan perundang – undangan demi kepentingan nasional; pemanfaatan TI berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat; pemerintah perlu mendukung pengembangan T I melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan TI dilakukan secara aman untuk
15
Dapat dilihat secara lebih rinci dalam Cakrawala Hukum “Perjalanan Panjang Undang – Undang No 11
Tahun 2008 tentang Inform asi dan Transaksi Elektronik”. Diakses tanggal 29 April 2013 pukul 12.56 pada situs
http://m.bi.go.id/NR/rdonlyres/66F88341-08DD-4676-BFD4-
2BF5E5CA4502/14418/cakrawala_hukum 1.pdf 16
Lihat lebih lanjut dalam buku Drs.Soem arno Partodihardjo, M.Si. 2008 “Tanya Jawab Sekitar Undang –
Undang no 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. hal. 70
12
mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai – nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Filipina juga salah satu negara tetangga yang menerapkan hukum cyber. Undang-Undang Pencegahan Krim inal Siber (Cybercrime Prevention Act) yang mulai berlaku pada tahun 2012. H ukum ini juga mengatur tentang pencemaran nama baik dan ditangguhkan oleh M ahkamah Agung terkait dengan masuknya 15 petisi yang mempertanyakan legalitas hukum siber 17
tersebut . Hukum ini mengatur pencemaran nama baik dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara. Para pemrotes mengatakan pemerintah dapat menyalahgunakan undang-undang tersebut untuk menekan kritik terhadap pemerintah dan menjegal kebebasan berpendapat. Padahal Filipina juga merupakan salah satu negara yang juga mengacu pada Convention on Cybercrime (CoC). CoC tidak hanya merupakan instrumen regional dalam lingkup Uni Eropa saja tetapi telah menjadi referensi utama yang dig unakan oleh negara – negara di luar Uni Eropa dan diadopsi juga oleh Indonesia dalam Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan 18
Transaksi Elektronik . Konvensi ini mengatur tiga bagian penting: (i) beberapa definisi yang digunakan dalam konvensi, (ii) hukum pidana materil 19
dan hukum pidana formil, serta (iii) kerja sama internasional . Sementara itu UU ITE di Indonesia membahas beberapa hal, pertama yaitu tentang informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik. Kedua, tentang penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik. Ketiga, tentang transaksi elektronik. Keempat, tentang nama domain, hak kekayaan intelektual, dan perlindungan hak pribadi. Kelima, tentang perbuatan yang dilarang. Hal ini menyangkut pada cyberlaw. Keenam adalah tentang penyelesaian sengketa. Ketujuh adalah tentang peran pemerintah dan peran 17
Dapat dilihat secara lebih rinci dalam AntaraNews Online “Filipina tangguhkan undang-undang siber”.
Diakses
tanggal
23
Juni
2013
pukul
00:28
pada
situs
http://www.antaranews.com /berita/337802/filipina -tangguhkan-undang-undang-siber 18
Josua Sitom pul., Cyberspace, cybercrim es, cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana (Jakarta:
Tatanusa, 2012), hlm.106. 19
Ibid, hlm .107.
13
masyarakat. Kedelapan, mengatur bagaimana penyidikan terhadap tindak pidana dalam Undang – U ndang ini. Terakhir, menjelaskan ketentuan pidana serta ketentuan – ketentuan lain diantaranya yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila terbukti melanggar Undang – Undang ini. Tetapi justru U U ITE ini kemudian membuat banyak permasalahan, terutama pembahasan tentang pasal pencemaran nama baik. Kembali lagi melihat pada contoh kasus yang dialami oleh Prita M ulyasari. Hal ini kemudian memunculkan banyak protes dari berbagai kalangan termasuk 20
media . Karena dianggap U U ITE tidak bersikap ―adil‖ dalam permasalahan Prita tersebut. Berikut adalah pasal – pasal ya ng dianggap bermasalah dan mem erlukan perbaikan : 1) Pasal 27 ayat (3) : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransm isikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pence maran nama baik. 2) Pasal 45 ayat (1) : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dua pasal tersebut menimbulkan permasalahan berkaitan dengan kebebasan mengeluarkan pendapat yang juga dijamin oleh Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi bahwa ― Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat‖. Secara universal, kita dapat melihat bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat juga terdapat di dalam Universal Declaration of H uman Rights tahun 1948 pada article 19 bahwa ―Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through 21
any media and regardless of frontiers‖ . 20
Dapat dilihat secara lebih rinci dalam Suara Pembaharuan Online dengan judul “Ancam an Pidana U U
ITE
Disam akan
dengan
KUHP”.
Diakses
tanggal
23
Juni
2013
pukul
01.39
pada
situs
http://www.suarapembaruan.com /hom e/ancaman -pidana-uu-ite-disamakan-dengan-kuhp/19439 21
Dapat dilihat secara lebih rinci The Universal Declaration of Human Rights. Diakses tanggal 23 Juni
2013 pukul 01.14 pada situs http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml#a19 . Dimana
14
Selain itu Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang mulai ada tahun 1976 juga mennyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berpendapat, termasuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apa pun baik melalui lisan, tulisan, cetakan, karya seni atau media 22
lain . ii.
Advokasi Kebijakan Komunikasi a. Definisi Advokasi Para ahli retorika, Foss & Foss et al
23
mendefinisikan advokasi sebagai
suatu upaya persuasi yang mencakup kegiatan – kegiatan penyedaran, rasionalisasi, argumentasi dan rekomendasi tindak lanjut mengenai sesuatu. Beberapa definisi Advokasi
24
di dalam buku Ritu R.Sharma
diantaranya adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atau program dari segala tipe institusi. Advokasi berbicara, menarik perhatian masyarakat tentang suatu masalah, dan mengarahkan pengambil keputusan mencari solusi. Yang lainnya mengatakan bahwa advokasi adalah memasukan suatu problem ke dalam agenda, mencarikan solusi mengenai problem tersebut dan membangun dukungan untuk bertindak menangani problem maupun solusi. Advokasi terdiri atas berbagai m acam strategi yang diarahkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pada tingkat organisasi, lokal, provinsi, nasional dan internasional.
dijelaskan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasa n berpendapat dan berekspresi, hak ini termasuk kebebasan m em iliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran m elalui m edia apa saja dan dengan tidak memandang batas -batas. 22
Lihat di tulisan kolom Serikat jurnalis untuk Keberagaman “Media dan Hak Asasi Manusia”. Diakses
pada 02 Juli 2013 pukul 06.50 pada situs http://sejuk.org/kolom/hak-asasi-manusia/60-media-dan-hakasasi-m anusia.htm l 23
Lihat lebih lanjut dalam presentasi Litbangkes untuk masukan kebijakan kesehatan pada website
http://www.jarlitbangkes.or.id/2014/wp -content/uploads/2014/05/PARK_Advokasi_SIMPLE_1.pdf 24
Ritu R. Sharm a., Pengantar A dvokasi : Pan duan Pelatihan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
hlm .7. Yang tercantum di atas adalah definisi dari advokasi yang berkaitan atau relevan dengan penelitian m engenai revisi UU ITE ini.
15
Berbagai definisi tersebut saling mendukung satu sama lain. Sehingga disini peneliti dapat melihat bahwa advokasi merupakan suatu tindakan mencari solusi atas masalah dengan membangun dukungan baik pada tingkat organisasi, lokal, provinsi, nasional, ataupun internasional yang tidak bisa lepas dari upaya – upaya persuasi dimana bertujuan untuk mengubah kebijakan.
b. Tujuan Advokasi Beberapa tujuan advokasi antara lain
25
:
1) Perbaikan substansi kebijakan Advokasi kebijakan dilakukan untuk mendesakkan perubahan atas nilai, ukuran dan kualitas kebijakan agar berpihak pada masy arakat sebagai obyek kebijakan. 2) Perbaikan proses penyusunan dan keputusan kebijakan Sebagai prasyarat agar kualitas kebijakan diatas berpihak pada rakyat, maka harus didesakan perubahan atas proses penyusunan dan pengambilan keputusan kebijakan yang melibatkan
partisipasi
masyarakat secara terbuka. 3) Perbaikan pelaksanaan dan pertanggungjawaban kebijakan Penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan dapat menyebabkan kerugian yang akan ditanggung oleh masyarakat. Karena itu, memantau pelaksanaan dan pertanggungjawaban kebijakan penting dilakukan sebagai bagian dari advokasi kebijakan. 4) Perubahan persepsi dan sikap masyarakat atas kebijakan Perubahan persepsi, pemahaman, penafsiran, reaksi dan tindakan masyarakat yang melihat bahwa kebijakan adalah milik para pejabat publik dan elit politik atau masyarakat saja. 5) Peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan
25
Isa W ahyudi, Luthfi J.Kurniawan, M.Anshoroel Churry, Eko Sasmito , Dedy Prihambudi, Anshori.,
Mem aham i Kebijakan Publik & Strategi Advokasi (Malang : In-TRANS Publishing, 2008), hlm.27.
16
Perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan sangat rawan dengan banyaknya berbagai kepentingan yang masuk di dalamnya. Karena itu, kewajiban bagi masyarakat untuk terlibat dalam monitoring proses perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Berdasarkan beberapa klasifikasi dari tujuan advokasi diatas, tujuan advokasi dalam penelitian ini lebih condong kepada perubahan substansi kebijakan. Dimana diharapkan perubahan kebijakan akan lebih memihak kepada masyarakat kecil dengan lebih adil. D iharapkan masyarakat dapat memiliki kebebasan dalam mengeluarkan pendapat.
c. Strategi Advokasi M enyusun strategi yang kuat dalam advokasi merupakan inti dari kegiatan advokasi. Karena itulah strategi sangat penting disusun secara matang dan diperhitungkan keberhasilannya. Banyak definisi untuk istilah strategi, tetapi disini dapat dirumuskan bahwa strategi sebagai rencana tindakan untuk mempengaruhi kebijakan, progr am, perilaku dan praktik publik.
26
Strategi advokasi untuk melakukan perubahan bisa berupa hukum
formal
(litigasi)
maupun
upaya
di
luar
hukum
formal
(nonlitigasi). U paya hukum formal (litigasi) menggunakan mekanisme formal institusi hukum dan struktural administratif yang ada, baik itu di kepolisian, kejaksaan, maupun peradilan. Sedangkan upaya di luar hukum formal (non-litigasi) memanfaatkan potensi kekuatan sosial dan politik yang tersedia, baik yang memiliki hubungan secara langsung maupun tidak langsung terhadap advokasi yang dilakukan.
27
Sedangkan menurut Covey (1992) bahwa strategi advokasi yang sering digunakan dapat diklasifikasikan menjadi kategori berikut : 26
Valerie Miller dan Jane Covey., Pedom an Advokasi : Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm .68. 27
Herm awanto tentang Advokasi dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta : YLHBI 2009. Hal
476.
17
kerjasama, edukasi, persuasi, litigasi (tuntutan hukum), dan kontestasi (perlawanan) . Kerjasama berarti kelompok boleh jadi bekerjasama dengan negara untuk menyebarkan inovasi setempat yang berhasil atau untuk memperbaiki layanan negara. Strategi pendidikan (edukasi) membina
kewaspadaan
kritis,
memperkuat
LSM
dan
kelompok
warganegara, dan juga memberi informasi, analisis dan kebijakan alternatif. S trategi persuasi menggunakan informasi, analisis, dan mobilisasi warga negara untuk mendesakkan perubahan. Litigasi berarti mempromosikan perubahan dengan menggunakan sistem peradilan. Strategi kontestasi menggunakan protes untuk menarik perhatian ke dampak – dampak negatif kebijakan dan memberi tekanan demi perubahan. Berdasarkan pemilahan oleh Hermawanto (2009) tersebut, maka strategi advokasi Covey dapat dikerucutkan kembali menjadi dua, litigasi dan nonlitigasi (kejasama, edukasi, persuasi, dan kontestasi).
Selain itu,
advokasi juga tidak bisa terlepas dari komunikasi. K omunikasi yang efektif membantu proses advokasi berjalan lancar. Hal ini yang membuat komunikasi menjadi bagian dari strategi di dalam advokasi. Dengan pendekatan yang baik antara pihak pelaku advokasi dengan target yang telah ditetapkan, komunikasi yang berjalan secara efektif membuat mereka berpikir untuk memberikan dukungannya kepada advokasi yang dilakukan.
c. Evaluasi Advokasi Evaluasi adalah masalah pembelajaran dari apa yang efektif dan apa yang tidak efektif, sehingga kita dapat menerapkan pembelajaran 28
untuk memperbaiki usaha kita di masa depan . Tetapi kadang menilai dampak secara nyata atas usaha advokasi yang telah dilakukan senantiasa 28
Valerie Miller dan Jane Covey., Pedom an Advokasi : Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm .111.
18
sulit. Indikator – indikator yang mencoba untuk mengukur kualitas tindakan advokasi seringkali kabur. M eskipun ada kesulitan, amatlah perlu mengembangkan cara – cara untuk mengevaluasi sehingga pada akhirnya terdapat pembelajaran dan memperbaikinya. Di dalam penelitian ini, advokasi masih terus berjalan sampai limitasi waktu yang ditetapkan oleh peneliti, yaitu bulan Februari 2014. Itu artinya evaluasi atas berhasil tidaknya advokasi dalam mencapai tujuan akhir belum bisa diketahui. Karena itulah evaluasi yang dilakukan baru pada tahapan evaluasi awal oleh Elsam secara internal. Bagan 1.1 Kerangka Konsep Pelaksanaan Advokasi
Tujuan Advokasi
Litigasi
Advokasi
Strategi Advokasi Non-litigasi
Evaluasi Advokasi
iii.
Isu Pencemaran Nama Baik dan Persoalan Hukum. M enurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai defam ation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik. Disebutkan oral defamation (fitnah secara lisan) sedangkan
libel adalah written defamation (fitnah secara tertulis).
Sementara dalam Pasal 310 ayat (1) KU HP, pencemaran nama baik diartikan 19
sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum. Tetapi di dalam UU ITE tidak disebutkan penjelasan apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik tersebut. Kontroversi atas UU ITE pasal pencemaran nama baik ini dimulai dari kasus Prita M ulyasari yang terjadi pada A gustus 2008 lalu. Dimana waktu itu email berisikan keluhan atas pelayanan RS Omni Internasional Bintaro Tangerang menyebar ke beberapa milis dan forum online. Hal ini menyebabkan RS Omni mengajukan gugatan kepada Prita karena dianggap telah mencemarkan nama baik rumah sakit terkait. G ugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Tangerang dengan pasal pencemaran nama baik (pasal 27 ayat 3) pada UU ITE. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang nomor 1269/PID.B/2009/PN.TN G memenangkan gugatan RS Omni. Prita harus membayar ganti rugi sebesar 161 juta rupiah serta pidana penjara selama 6 bulan. Tetapi kemudian pihak terdakwa mengajukan kasasi pada tingkat M ahkamah Agung, yang menghasilkan putusan peninjauan kembali (PK) oleh M A nomor 822 K / Pid .Sus / 2010 dimana membatalkan putusan PN Tangerang yang ada sebelumnya. Hal ini berarti membatalkan semua dakwaan serta memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Kasus Prita tersebut menyita banyak perhatian dari masyarakat serta organisasi – organisasi masyarakat sipil. M ereka merasa hukum tidak adil dalam menjatuhi hukuman bagi Prita. Karena melihat dari kasusnya, bahwa dia hanya melakukan komplain atas pelayanan tidak memuaskan yang diterimanya, dan dia malah dipenjara serta harus membayar denda. Hal ini pula
yang
kemudian
membuat
organisasi
masyarakat
sipil
merasa
berkewajiban untuk bergerak dan melakukan suatu aksi atas nama rakyat. Karena itulah para organisasi masyarakat sipil kemudian melakukan advokasi kepada pihak pembuat kebijakan supaya tidak ada lagi orang –
20
orang seperti Prita ini yang kemudian menjadi korban dari pasal pencemaran nama baik. Tak hanya kasus Prita, beberapa kasus kemudian muncul, misalnya saja kasus dokter Ira Simatupang
29
yang dijerat pasal pencemaran nama baik
karena menulis email ke atasan tempatnya bekerja bahwa dia mendapat perlakukan pelecehan seksual oleh atasannya langsu ng. Hal ini membuat Bambang Gunawan, atasan dokter Ira tidak terima dan mengganggap dokter Ira telah mencemarkan nama baiknya. Sehingga dokter Ira dipolisikan. Selain itu ada pula kasus Benny Handoko (Benhan) yang dijerat oleh pasal pencemaran nama baik UU ITE karena kicauannya di tw itter
30
yang
mengkritik M isbakhun. Kritikannya tersebut dianggap pencemaran nama baik oleh M isbakhun sehingga Benhan dilaporkan ke kepolisian. 4. Peran Organisasi M asyarakat Sipil (OM S) dalam Advokasi a. Pengertian Organisasi M asyarakat Sipil Organisasi M asyarakat Sipil memiliki berbagai penamaan di Indonesia. Pertama, OM S sering disebut sebagai organisasi non pemerintah (ornop). Penamaan ini didasarkan pada argumen bahwa kelompok ini pada dasarnya dimaksudkan untuk memajukan kepentingan publik dan melindunginya dari upaya – upaya pengebirian, pengabaian, 31
dan pengekangan . Kedua, Organisasi Sektor Ketiga (TSOs) yang pada dasarnya adalah organisasi masyarakat sipil juga. Penyebutan ini didasarkan pada argumen bahwa berbeda dengan sektor negara dan pasar atau dunia usaha, sektor ini mewakili watak non-profit dan digerakan
29
Dokter Ira adalah m antan dokter di RSUD Tangerang yang dilaporkan ke polisi atas kasus pencemaran
nam a
baik,
dan
divonis
5
bulan
penjara.
Lebih
lanjut
dapat
dilihat
pada
http://id.safenetvoice.org/category/updaterecent-case/indonesia/page/3/ diunduh pada 23 Desember 2013. 30
Lihat
“Kena
Voni
6
Bulan,
Benhan
:
Tak
Bebas
Lagi
Mengkritik
Pejabat
Publik”
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/05/kena -vonis-6-bulan-benhan-tak-bebas-lagim engkritik-pejabat-publik 31
Ridaya Laodengkowe., Mengatur Masyarakat Sipil (Depok : PIRAMEDIA, 2010), hlm.20.
21
32
oleh nilai – nilai kewargaan (civil values) . Istilah lain yang dipakai adalah masyarakat madani, yang diambil dari bahasa Arab ‗madaniyah‘ untuk menggambarkan suasana masyarakat yang ditopang oleh adanya 33
toleransi dalam keberagaman . Selain itu ada istilah Lembaga Swadaya M asyarakat (LSM ) yang secara esensial keswadayaan yang dimaksud tampaknya keswadayaan mengembangkan atau menumbuhkan kehendak (baik) tanpa mengikuti kebijakan resmi pemerintah (namun tidak berarti melawan atau bertentangan kebijakan pemerintah), dan bahwa kehendak itu tidak 34
memerlukan bantuan atau dukungan pemerintah . Penamaan yang lain adalah agen perantara (intermediary agencies), peran perantara disini dipahami sebagai penyambung relasi pengaruh dari masyarakat pemilih 35
dengan penyelenggara negara . Selain semua penamaan tersebut, dikenal juga kelompok – kelompok masyarakat (com munity groups) atau 36
kelompok – kelompok sipil (civil groups) . Berdasarkan semua definisi di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa yang dinamakan dengan organisasi masyarakat sipil adalah
organisasi
non-pemerintah
yang
bersifat
non-profit
dan
digerakkan oleh nilai – nilai kewargaan serta berperan sebagai perantara atau penyambung antara masyarakat dengan pemerintah.
b. Ciri Utama Organisasi M asyarakat Sipil Dalam perkembangannya para ahli mengidentifikasikan lima ciri utama dari OM S
37
:
32
Ibid., hlm.21.
33
Ibid.
34
Ridaya Laodengkowe., Mengatur Masyarakat Sipil (Depok : PIRAMEDIA, 2010), hlm.22.
35
Ibid.
36
Ibid., hlm.23.
37
Lestes M. Salam on dalam Abidin dkk 2006., Mengatur Masyarakat Sipil: Pengaturan Organisasi
Masyarakat Sipil di Indonesia (Depok : PIRAMEDIA,2010), hlm.12.
22
1) Organisasi, atau berbentuk organisasi yang ditandai dengan adanya institusi, struktur dan aturan main. 2) Privat, secara definitif terpisah dari institusi negara (non -pemerintah). Status sebagai lembaga ‗privat‘ atau ‗swasta‘ ini juga diartikan bahwa sektor ini tidak didirikan dan diorganisir oleh pemerintah atau negara. 3) Non profit, dibentuk atau didirikan tidak untuk mengejar laba atau keuangan, tidak membagikan keuntungan organisasi kepada para pengurus, pengelola maupun pendirinya. 4) M engatur diri sendiri, semua urusannya secara fundamental berada dalam kontrol organisasi tersebut. 5) Sukarela, keanggotaan didasarkan prinsip kesukarelaan, bukan adanya
kewajiban
hukum,
demikian
pula
dalam
upayanya
mengumpulkan dana didasarkan pada prinsip kesukarelaan. Selain ciri utama tersebut, OM S atau civil society organizations juga diklasifikasikan ke dalam 3 tipe. Yaitu civic group or forums (CG/CF), non-governmental organizations (NGO), dan community38
based organizations (CBO) .
c. Peran Organisasi M asyarakat Sipil Kelahiran OM S pada dasarnya didorong atau didasarkan pada maksud untuk memajukan kepentingan kelompok – kelompok marginal atau memajukan isu – isu tertentu secara kategoris ada domain publik 39
yang terabaikan . OM S banyak bergerak pada bidang – bidang yang 38
Although all types of these CSOs are established by community without government intervention,
they have different characteristics in accordance with their own group of founders. Person or groups, who have no bundle with a specific group, like religious body, professional and other types, usually initiate CSOs claim ing as NGOs. W hereas, CG is usually en couraged by 28.48% professional, 17.55% religious groups, 8.28% kinship, 19.21% students, 6.95% civil servants and workers unions. Ku-Hyun Jun; Mocham m ad Maksum ; Tae Kyu Park. Civil Society Response to Asian Crisis : Thailand, Indonesia, and Korea (Yonsei University Korea : Institute of East and W est Studies , 2003), hlm.180. 39
Ridaya Laodengkowe., Mengatur Masyarakat Sipil: Pengaturan Organisasi Masyarakat Sipil di
Indonesia (Depok : PIRAMEDIA 2010), hlm.24.
23
dianggap meresahkan atau masalah bagi publik tetapi tidak atau belum mendapat perhatian dari pemerintah. M isalnya saja masalah kekerasan pada perempuan, pelanggaran hak – hak anak, dan sebagainya. Dengan kata lain, OM S lahir karena makin dirasakannya keterbatasan kapasitas 40
negara dalam mengurus kepentingan publik yang makin berkembang . Peran organisasi masyarakat sipil ini dapat dilihat dari program – program mereka atau kegiatan yang menjadi program kerja mereka. Salah satunya adalah advokasi.
d. Advokasi oleh Organisasi M asyarakat Sipil Advokasi yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil dapa t bermacam – macam bentuknya. Seperti survey yang dilakukan oleh Jonathan A.O bar, Paul Zube, dan Clifford Lampe pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa kelompok grup advokasi di United S tates mengaku lebih efektif menggunakan media sosial untuk mendorong keterlibatan warga dan aksi – aksi kolektif. Jadi penyebaran isu – isu dalam advokasi dapat mereka lakukan melalui media sosial. Terkait dengan kebijakan pemerintah, LSM di Zimbabwe memperjuangkan kebijakan tentang kaum penyandang cacat. Para penyandang cacat di Zimbabwe merasa masih dipinggirkan dari kegiatan sosial, politik, dan ekonom i negara mereka. Dengan menggunakan strategi persuasi, edukasi, dan kolaborasi akhirnya terwujudlah UU Penyandang Cacat pada tahun 1992 di 41
Zimbabwe . Di Indonesia sendiri ketika ada permasalahan antara musisi jalanan dengan Pemkot Y ogyakarta, advokasi yang dilakukan adalah dengan memberikan ruang dialog antara keduanya. Sehingga akhirnya ditemuan kebijakan yang bersifat win win solution bagi kedua belah pihak.
40
Ridaya Laodengkowe., Mengatur Masyarakat Sipil: Pengaturan Organisasi Masyarakat Sipil di
Indonesia (Depok : PIRAMEDIA 2010), hlm.24. 41
Kasus lebih jelas dapat dilihat pada Valerie Miller dan Jane Covey., Pedom an Advokasi : Perencanaan,
Tindakan, dan Refleksi (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia , 2005), hlm.349.
24
M elihat dari penelitian – penelitian sebelumnya, penelitian mengenai advokasi oleh organisasi masyarakat sipil lebih berpusat kepada cara – cara advokasi yang dilakukan sehingga mencapai mencapai tujuan secara efektif. Cara – cara inilah yang kemudian disebut sebagai strategi advokasi. Disini, peneliti juga menekankan tentang strategi advokasi yang dilakukan oleh Elsam. Tetapi tentu saja strategi advokasi yang dilakukan oleh masing – masing organisasi masyarakat sipil berbeda – beda. M aka disinilah kita akan melihat strategi advokasi seperti apa yang dilakukan oleh Elsam.
G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan studi kasus evaluatif yang berada dibawah naungan metode kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan me tode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata -kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dan menurut Basrowi S udikin, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan – penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur – prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan M iller mendifinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya dan berhubungan dengan
orang-orang
tersebut
dalam
bahasanya
dan
dalam
peristilahannya.(M oleong, 2004 :3) M enurut Robert K. Yin, studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas – batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multisumber 42
bukti dimanfaatkan . Selain itu, studi kasus juga tak selalu harus mencakup
42
Definisi lebih jelas dapat dilihat pada Robert K. Yin., Studi Kasus : Desain & Metode (Jakarta : Rajawali
Pers, 2013), hlm .18.
25
observasi langsung dan rinci sebagai sumber buktinya. Peneliti menggunakan studi kasus karena penelitian ini berpusat pada satu latar atau satu tempat tertentu. Dimana Lembaga Studi dan A dvokasi M asyarakat (ELSAM ) sebagai tempat pengumpulan data. Selain itu studi kasus digunakan karena penelitian ini berusaha untuk mengkaji bagaimana advokasi kebijakan serta hasil analisis dari advokasi kebijakan tersebut. Untuk lebih jelasnya, peneliti menggunakan studi kasus evaluatif karena advokasi yang dilakukan oleh Elsam bukan hanya terjadi pada masa lalu, tetapi juga masih terus berlangsung sampai sekarang dan ke depan sampai revisi UU ITE tentang pasal pencemaran nama baik benar – benar terwujud. Proses evaluasi kebanyakan memerlukan deskripsi rinci tentang 43
berjalannya suatu program . Proses evaluasi itu berkembang, deskriptif, berkesinambungan, luwes, dan induktif. Dalam penelitian ini, evaluator berusaha menggali data berdasarkan proses – proses yang terjadi selama advokasi berlangsung dari sejak pertama sampai sekarang. Berangkat dari kata – kata terkenal Lasswell, who says waht in which channel to whom with what effect, membicarakan tentang advokasi berarti juga membicarakan tentang komunikasi. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa advokasi berada di ranah hukum atau politik karena terkait dengan berbag ai kebijakan yang ada di negara ini. Tetapi bahasa yang menyelimuti problem dan kebijakan
mempunyai
fungsi
strategis.
Harold
Lasswell
sendiri
juga
menganggap analisis bahasa, simbol, dan gaya dalam komunikasi politik sebagai aspek essensial dari studi politik, kekuasaan, dan untuk klarifikasi nilai 44
kebijakan . Dari sini muncul pemikiran bahwa studi kebijakan, dalam hal ini advokasi, tidak dapat lepas dari komunikasi. Sementara salah satu bentuk komunikasi paling mendasar adalah persuasi. Olson dan Zanna dalam buku Teori K omunikasi mengatakan bahwa persuasi didefinisikan sebagai perubahan sikap akibat paparan informasi dari 43
Lebih jelas dapat dilihat pada Michael Quinn Patton., Metode Evaluasi Kualitatif (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2009), hlm .31. 44
Harold Lasswell dalam buku Public Policy (Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. 2006),
hlm .180.
26
orang lain. D isini peneliti mencoba melihat poin penting dari advokasi, yaitu persuasi dengan menggunakan teori pemrosesan informasi oleh M cGuire. Dimana teori pemrosesan informasi M cGuire menyebutkan bahwa perubahan sikap terdiri dari enam tahap, yang masing – masing tahap merupakan kejadian penting yang menjadi patokan untuk tahap selanjutnya. Tahapan tersebut adalah: 1. Pesan persuasif harus dikomunikasikan. 2. Penerima akan memerhatikan pesan. 3. Penerima akan memahami pesan. 4. Penerima terpengaruh dan yakin dengan argumen – argumen yang disajikan. 5. Tercapai posisi adopsi baru. 6. Terjadi perilaku yang diinginkan. Berdasarkan tahapan – tahapan dalam teori pemrosesan informasi tersebut, tentu advokasi yang dilakukan oleh Elsam berharap bahwa pesan persuasif yang mereka sampaikan akan diterima oleh target audiens, mereka memahami dan yakin dengan argumen – argumen yang ditawarkan, kem udian muncul pemikiran baru sehingga akhirnya mereka melakukan perilaku sesuai yang diharapkan oleh Elsam. Tetapi kembali lagi kepada pemilahan target audien di dalam advokasi, maka sasaran dari teori pemrosesan informasi ini pun berbeda – beda.
2. Pengumpulan Data Penelitian kualitatif berupaya untuk memperoleh data sebanyak – banyaknya demi memastikan kualitas dari data yang diperoleh. Jadi bukan hanya mengumpulkan data untuk mencapai kuantitas tertentu tetapi untuk mencapai kualitas tertentu untuk menjelaskan apa yang sedang diteliti. Untuk itulah maka dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Wawancara mendalam Untuk mendapatkan data yang memadai dilakukan wawancara mendalam terhadap informan. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan 27
pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada panduan pertanyaan ( interview guide) yang disusun. M elalui teknik ini memungkinkan diperoleh informasiinformasi memadai dari narasumber atau informan yang berkompeten. Wawancara mendalam dilakukan pada setiap informan dengan pedoman pertanyaan penelitian yang kurang lebih sama. Jawaban dari masing – masing informan tersebut kemudian menjadi acuan peneliti dalam mengolah dan menyajikan data penelitian sesuai dengan fakta yang ada dan yang sebenar – benarnya. Wawancara dilakukan oleh peneliti pada pihak internal ELSAM terutama yang ikut serta dalam proses advokasi U U ITE pasal pencemara n nama baik. b. Observasi langsung Dengan membuat kunjungan lapangan. Observasi adalah teknik dimana peneliti mengamati secara langsung objek yang diteliti. Data yang dikumpulkan melalui observasi ada dua bentuk, yaitu interaksi dan percakapan. O bservasi yang dilakukan peneliti merupakan observasi nonpartisipan, agar peneliti dapat melakukan penelitian secara objektif. Observasi dilakukan oleh peneliti dengan mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan ad vokasi, yaitu diskusi publik. c. Studi kepustakaan Studi kepustakaan didapat dari literatur cetak atau elektronik yang berkaitan dengan masalah penelitian beserta aspek yang terkait didalamnya. Selain itu, studi pustaka dilakukan juga dengan mencari data -data intern dan media informasi lainnya yang berhubungan dengan fenomena penelitian. Dalam hal ini studi kepustakaan di dapat pemberitaan dari media cetak maupun elektronik dan data – data internal dari organisasi masyarakat sipil.
28
3. Analisis D ata Teknik analisis data dalam penelitian ini mengacu pada analisis data studi kasus di dalam modul perkuliahan metode penelitian kom unikasi kualitatif
45
:
a. Penjodohan Pola M emperbandingkan suatu pola yang didasarkan atas temuan empiris dengan pola yang diprediksikan (atau dengan beberapa prediksi alternatif) b. Pembuatan Penjelasan M enganalisis data studi kasus dengan cara membuat suatu penjelasan tentang kasus yang bersangkutan. Penjelasan harus mencerminkan beberapa proposisi yang signifikan secara teoritis. c. Analisis Deret Waktu M enganalisis temuan dan data studi kasus dengan cara mengurutkan berdasarkan dimensi waktu secara kronologis atas unit analisis yang ada.
Yin
46
(1997) menjelaskan tentang strategi – strategi umum dalam analisis
penelitian studi kasus. Yin secara khusus memiliki dua strategi um um dimana berguna untuk membantu peneliti menetapkan pilihan di antara berbagai teknik dan memenuhi langkah analisis penelitiannya secara lebih efektif. Dua strategi tersebut adalah : 1) M endasar pada proposisi teoretis Strategi yang pertama
adalah mengikuti proposisi teoretis yang
menuntun studi kasus. Tujuan dan desain asal dari studi kasus diperkirakan berdasar atas proposisi semacam itu, yang selanjutnya mencerminkan serangkaian pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka dan pemahaman – 45
Lihat di m odul perkuliahan m etode penelitian komunikasi kualitatif, (Pascasarjana llmu Komunikasi
Fisipol Universitas Gadjah Mada) 2011. 46
Lebih lanjut dapat dilihat pada Robert K. Yin., Studi Kasus : Desain & Metode (Jakarta : Rajawali Pers,
1997), hlm.134.
29
pemahaman baru. Proposisi – proposisi tersebut membentuk rencana pengumpulan data dan karenanya memberi prioritas pada strategi analisis yang relevan. Secara jelas, proposisi – proposisi tersebut membantu pemfokusan perhatian pada data tertentu dan mengabaikan data yang lain. 2) M engembangkan deskripsi kasus Strategi umum yang kedua adalah mengembangkan suatu kerangka kerja deskriptif untuk mengorganisasikan studi kasus. Kadangkala, tujuan asal studi kasus bisa deskriptif. Kerangka kerja de skriptif tersebut juga mengorganisasikan analisis studi kasus yang bersangkutan. Dalam situasi yang lain, tujuan asal studi kasus bisa jadi bukan deskriptif, tetapi pendekatan deskriptif mungkin membantu pengidentifikasian keterkaitan timbal balik yang tepat yang seharusnya dianalisis.
H. Limitasi Penelitian Limitasi penelitian merupakan batasan – batasan yang harus disertakan dalam melakukan penelitian sehingga peneliti terus berada dalam satu jalur dalam penelitian. Dengan memberikan batasan, maka penelitian yang dilakukan tidak akan keluar dari pembahasan yang sudah ditetapkan. Dalam penelitian ini limitasi penelitiannya adalah pertama, tempat penelitian adalah Lembaga Studi dan Advokasi M asyarakat (Elsam). Karena itu, maka data yang didapat harus berasal dari sana. Kedua, pembahasan yang paling mendasar adalah tentang advokasi kebijakan oleh organisasi masyarakat sipil (OM S). Apa yang sudah dilakukan oleh OM S dalam upayanya menyuarakan revisi UU ITE. Bukan berfokus pada hasil revisi UU ITE itu sendiri. Karena sampai saat ini pun revisi UU ITE masih belum berjalan. Baru menjadi agenda dalam Kemenkom info. I.
Lokasi dan W aktu Penelitian Lokasi dari penelitian ini adalah pada Lembaga Studi dan Advokasi M asyarakat (Elsam) dikarenakan dari kelima organisasi masyarakat sipil mengajukan komentar tertulis pada kasus Prita (Elsam, ICJR, IM DLN, PBHI 30
dan YLBHI), Elsam merupakan yang benar – benar concern atau memberikan perhatian besar dalam hal usaha – usaha advokasi. Elsam juga gencar menyoroti kasus – kasus yang terkait dengan kebebasan berekspresi seperti pada p asal pencemaran nama baik ini. Itu sudah menjadi salah satu program kerja mereka. M ereka juga mengajukan permohonan pengujian terhadap UU ITE. Elsam berlokasi di Jl. Siaga II N o.31 Pejaten Barat, Pasar M inggu Jakarta Selatan, Indonesia – 12510. Waktu penelitian dilak ukan sampai dengan bulan Februari 2014.
31