BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang: Shalawat Bersama Kamis, 2 Mei 2013 saya menyempatkan diri menghadiri acara “Shalawat Bersama” yang menghadirkan Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf. Acara yang dihelat di Tegalrejo, Yogyakarta ini diadakan dalam rangka memperingati Haul 1 KH. M. Soleh. Lapangan Pangeran Diponegoro yang menjadi tempat berlangsungnya acara tidak mampu menampung jumlah orang-orang yang hadir. Gang-gang dan jalan perkampungan sekitar harus ditutup untuk menampung peserta yang “membludak”. Gambar 1. Spanduk “Selamat Datang Syekhermania DIY-Jateng”
Sumber: Koleksi pribadi
Melewati jalan masuk menuju lapangan, para pedagang berjajar di kanan kiri jalan; menggelar lapak dengan sebuah meja; memajang poster-poster para habaib pun walisongo, berikut peci, buku-buku shalawat, kalender, tas, sarung, dan mukena. Beberapa lapak terdapat tumpukan kaset dengan DVD Player dan televisi kecil; memutar beberapa lagu shalawat bernuansa padang pasir; yang 1
Haul adalah acara di dalam islam yang dilakukan untuk memperingati wafatnya salah seorang yang dihormati.
1
berbeda dengan suara shalawat yang tengah dimainkan dari panggung—liriknya sebenarnya sama. Semerbak parfum non-alkohol sesekali menusuk hidung, entah dari pengunjung yang berseliweran atau pedagang parfum itu sendiri; pun aroma jagung bakar dan tempura. Beberapa pedagang menjajakan plastik seukuran satu meter persegi sebagai alas duduk; menawarkannya kepada peserta yang tidak mendapatkan tempat yang disediakan. Penjual buku pun berkeliling di antara kerumunan; menawarkan kitab Simtud-Duror, ad-Dibai, dan album-album shalawat Habib Syech. Lampu-lampu besar dipasang di setiap sudut mengikuti jalan dan tikar yang tergelar dari jalan masuk hingga panggung. Di sudut-sudut jalan dan lapangan juga diletakkan speaker/ sound system. Suara dari panggung dan obrolan jamaah yang datang, bercampur menciptakan situasi yang tampak “berisik”. Beberapa proyektor terpasang yang pada saat bersamaan (live) menangkap situasi di panggung dan sekitarnya. Para penabuh, peserta yang bersorak-sorai, Habib Syech, pejabat pemerintah, ulama-ulama, dan tokoh masyarakat sesekali tertampilkan dalam proyektor tersebut. Peserta yang datang cukup beragam: muspika, muspida, dan tokoh masyarakat sudah berada dipanggung; tiga puluhan laki-laki pengiring shalawat di panggung yang lebih rendah; anak-anak yang diajak orang tuanya; pemudapemudi dan santri datang rombongan; orang tua dengan pasangannya; ibu-ibu dengan anggota majelisnya; hingga mahasiswa dengan pacarnya atau temannya. Mereka berpakaian relatif sama: atasan putih, bawahan putih atau sarung hitam, peci atau kerudung putih, jaket berlogo Ahbabul Musthofa; atau cukup berbusana muslim.
2
Peserta yang hadir tidak berdiri seperti konser musik pada umumnya. Masing-masing dari mereka duduk; lesehan. Diiringi musik rebana dari panggung kedua yang menghadap panggung utama, mereka bersama-sama membaca shalawat seusai ketua panitia selesai memberikan sambutan. Salah seorang panitia membakar kemenyan Arab di tengah peserta, di depan panggung utama itu. Mereka melafalkan shalawat, bersenandung mengikuti nada-nada tertentu yang relatif statis, menengadahkan tangan, beberapa mengibarkan bendera atau hanya tenang, menyalakan mode video atau kamera pada handphonenya, sesekali memejamkan mata sampai menjelang acara selesai: mahalul qiyam2. Pada saat itulah peserta berdiri, parfum mulai menyerbak lagi, iringan rebana berhenti sejenak, dan serempak bernyanyi “Allahumma salli wa sallim ‘ala Muhammad3” dengan syair berbahasa Jawa, “Maulaya Salli wasallim daiman abada…”. Saat itulah, mereka memejamkan mata sangat khusyuk, menengadahkan tangan. Dilanjutkan “Marhaban, marhaban, ya nurol ‘aini…” (Selamat datang, selamat datang, wahai cahaya hatiku…), sembari meyakini kehadiran Nabi Muhammad telah di tengah-tengah kerumunan itu, kata teman yang kuajak. Habib Syech pun mengakhiri dengan doa yang didahului dengan menyanyi bersama “Indonesia Raya”. Memberi beberapa pesan, menyampaikan doa bagi yang berhajat: doa kesembuhan atau hadiah Al-Fatihah untuk keluarga yang meninggal; jamaah dilancarkan rejekinya, anak-anak sekolah didoakan segera lulus dengan nilai yang baik; pemuda yang belum dapat pekerjaan segera dapat, juga jodoh dengan anak yang sholeh lan sholihah. 2
Istilah yang digunakan untuk menyebut salah satu prosesi acara shalawat bersama, yakni ketika peserta berdiri yang dimaksudkan untuk “menyambut” atau memberi rasa hormat atas kedatangan Nabi Muhammad ke dunia. 3 Artinya “Wahai Tuhan kami (Allah SWT) limpahkanlah shalawat dan salam selalu selamalamanya dan abadi”.
3
Beberapa peserta mulai mendekat panggung; mencoba meraih tangan habib, menyalakan kembali mode video pada handphonenya, beberapa meraih air yang diletakkan di depan panggung, atau sekedar melihatnya lebih dekat, dan berlalu kemudian. B. Kajian Kepustakaan: Shalawatan dan Islam dalam Beberapa Studi Studi mengenai shalawat (devotional prayers) di Indonesia sudah banyak dilakukan dalam berbagai wilayah studi, cakupan analisis, dan sudut pandang (perspektif). Saya sempat kebingunan memahami studi-studi tersebut dikarenakan terdapat beragam konseptualisasi atau istilah yang dipakai: seni musik islam, musik yang bernafaskan islam, musik rohani, musik bernuansa islam, musik islami (Rasmussen, 2010); seni berislam, ritual tradisi (Arafat, 2013); seni terbangan (Munawaroh, 2007); seni shalawatan, tradisi shalawatan (Susilantini, 2006); tradisi Islam (Abdullah, 1986; Abdullah dan Siddique, 1989; Afrida, 2011); tradisi membaca sya’ir Islam (Kamaluddin, 2013); tradisi sastra profetik (Wargadinata, 2008); akulturasi Islam Jawa (Sumbulah, 2012; Ahyani, 2012); tradisi lisan/ tradisi sastra pesantren (Muzakka, 2003), tradisi living hadits (Ilham, 2011); kesenian rakyat melalui rebana (Sinaga, 2001), popular music (Barendregt dan Zanten, 2002), popular culture (Fairuz, 2013), urban Sufism (Howell 2007; Woodward dkk, 2012), prophetic cosmopolitanism (Hoesterey, 2012), new spiritual movement (Muttaqin, 2012), Islamic pop music/ hybridization between pop culture and islam (Nef-Saluz, 2007), Islamic sound (Foley, 2012), Arab spring (Foley, 2012; 2013), popular Islamic piety (Zamhari dan Howell, 2012), muslim music (Barendregt, 2006); mahabbah (Safi’i, 2013).
4
Berdasarkan pembacaan terhadap studi-studi yang pernah dilakukan di atas, semuanya sepakat shalawatan berkembang di Indonesia berdasarkan penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Hadits, atau dalam bahasa Woodward “produk interpretasi teks-teks islami” (1988:62). Secara historis shalawat berawal dari tradisi Maulid mulai diperkenalkan pada tahun 909-117 M oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (Afrida, 2011)4. Beberapa sumber lain menyebutkan, shalawatan merupakan bagian dari tradisi tarekat (sufi order) yang berkembang di Timur Tengah, terutama Hadramaut (sekarang Yaman-red). Pada abad ke-13, di sana berdiri sebuah tarekat bernama tarekat ‘Alawiyya 5 (Woodward, dkk. 2012:106). Tarekat ini banyak diikuti oleh haba-habib. Salah satunya adalah Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi yang mengarang kitab maulid simtudduror, salah satu kitab yang menjadi acuan acara Shalawat Bersama. Habib Ali bin Abdurrahman al Habsyi (1870-1968) membangun sebuah massa yang menghubungkan perayaan maulid dengan silsilah sayyid (Alatas 2011; Mauladawilah 2008; Wodward dkk, 2012). Perayaan kelahiran Nabi Muhammad (maulid) merupakan salah satu komponen yang paling penting dari “ritual tradisional” Asia Tenggara Islam. AlHabsyi bergabung tradisi ini dengan gagasan silsilah sayyid sebagai perwujudan esensi metafisis Nabi, sehingga memperkuat berkah yang dihasilkan oleh pertunjukan maulid (Woodward dkk, 2012:118). 4
Beberapa sumber menyebutkan, perayaan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Abu Said alQakburi, seorang Gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Pada masa ini perayaan Maulid bertujuan untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan meningkatkan semangat juang kaum muslimin yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa. Lebih lanjut lihat http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1347/3.%20ISI%20(BAB%20IBAB%20V).pdf?sequence=2, tanggal 25 Juni 2012 5 Ada yang menyebutnya Tarekat Bani Alawiy atau Ba’alawi. Lihat Ismail Fajrie Alatas, “Becoming Indonesians: The Ba’alawi in the Intersetices of the Nation”. Die Welt des Islams, BRILL, 51 (2000), hal:45-74
5
Munculnya Habaib (habib-habib)6 di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh Woodward dkk. merupakan kontestasi dominasi sayyid Hadrami di Indonesia, khususnya di perkotaan semenjak tahun 1980an dengan menggunakan modal-modal religius (religious capital). Modal tersebut berdasarkan pada, …the reverence that traditional Indonesian (and other) Muslims have for sayyid, as the embodiment of the barakah (blessing) of the Prophet and that Tariqa Alawiyya, that is particular tarekat of Sufi Order that focused on external (lahir) and internal (batin) modes of prophetic piety and deep, abiding love for the Prophet and his family (2012:106).
Cara tersebut, menurut Woodward dkk., dapat dengan mudah mendapat ‘hati’ pada orang-orang elite dan orang-orang muslim akar rumput di Asia Tenggara7. Para Habaib belakangan ini melanjutkan dengan menekankan kontribusi tasawuf untuk penyebaran Islam secara damai dan mengutuk cara-cara para pendukung “gaya eksoteris Islam” yang mengarah kepada fundamentalisme dan ekstremisme. Penekanan pada mistisisme dan metode dakwah damai telah mewarnai prinsip-prinsip ‘Alawiyyin di mana pun mereka berada, dari generasi ke generasi, bahkan sampai saat ini (2012:120-121). Hal yang sama juga disebutkan oleh Moller, sikap dan cara islamisasi di Jawa terjadi secara “damai” (2005:52). Jalan “damai” barangkali masih terwariskan sampai sekarang. Beberapa ahli studi islam pun menyebutkan ada hubungan yang erat antara proses islamisasi awal di 6
Kata habaib adalah bentuk jamak dari habib. Di dalam tulisan ini kata “habaib” digunakan untuk menyebutkan habib-habib. 7 Johns (dalam Moller, 2005:52) pun menggarisbawahi bahwa awal masuknya islam ke nusantara dibawa oleh saudagar atau pedagang sebagai seorang sufi atau setidaknya mereka yang cara beragama diwarnai oleh gagasan-gagasan mistis (sufisme). Banyak perdebatan mengenai islamisasi nusantara mengenai wilayah geografis, persebaran, tokoh-tokoh, dan prosesnya. Meski demikian, Moller menekankan sufisme merupakan satu dari aspek islamisasi nusantara. Islamisasi di Jawa dan transformasi keagaamannya, sebagaimana disebutkan banyak kalangan, berkembang menjadi cerita lain yang mitologis. Mitologi ini masih dihidupkan melalui kehadiran walisongo yang sampai sekarang makam-makamnya masih sering dikunjungi (diziarahi). Moller menyatakan, keberadaan mitologi tersebut menandakan orang Jawa menghormati para wali sanga karena dua alasan: mereka lah yang menyebabkan orang Jawa banyak beragama islam dan mereka juga yang berhasil menyebarkan agama Islam tanpa merusan atau menghilangkan tradisi-tradisi lama yang berkembang di Jawa pada waktu itu. apa yang bisa ditarik dari sini ialah cara mereka menyebarkan agama islam dan sikap mereka terhadap tradisi setempat.
6
Indonesia (Hindia-Belanda), dengan Islam kontemporer yang digambarkan sebagai islam yang toleran, moderat, pluralis, dan damai (lihat Moller, 2012). Woodward dkk. juga menyebutkan pergelaran Habib Syech sebagai bentuk dakwah secara ‘damai’ atau dalam islam disebut amr al-ma’ruf (forbidding what is right) dibangun dengan tiga dasar kesalehan muslim tradisional (traditional muslim piety), yakni shalawat, barokah (blessing), dan doa (supplication) (2012:123). Salah satu tradisi tersebut ialah Maulid atau Mulud di Jawa8 yang dilaksanakan setiap bulan kelahiran nabi Muhammad. Ada sumber utama dari beragamnya praktik shalawatan, yakni membaca tiga kitab sejarah Nabi: Al Barzanji, Ad Diba’I, dan Al Burdah. Tiga buku ini menjadi “pegangan” bagi pelaksanaan maulid di berbagai tempat di Indonesia. Demikian juga disebutkan dalam tiga penelitian dengan topik yang sama, yakni Ahbabul Musthofa, antara lain: Sholeh Ilham dalam Kajian terhadap Tradisi Shalawat Jam’iyyah Ahbabu Al-Musthafa Kabupaten Kudus: Studi Living Hadits (2011); Dewi
Musiyanah
dalam
Ritual
Pembacaan
Maulid
Simtudduror
dan
Pengaruhnya terhadap Aqidah Jama’ah Ahbabul Musthofa Kabupaten Kudus: Analisis Sosiologis (2012); dan Ahmad Safi’i dalam Pembacaan Maulid Simt AdDurar dan Pengaruhnya terhadap Mahabbah kepada Rasulullah pada Jama’ah Jam’iyah Maulid Simtudduror Ahbabul Musthofa Kabupaten Kudus (2013). Ketiganya menempatkan shalawat merupakan tradisi yang muncul dari “penafsiran” terhadap teks: Al-Quran, Hadits. Mereka yang bershalawat akan diberi “keutamaan” dan “syafaat”. Mereka melihat para hadirin termotivasi untuk terus datang ke acara shalawat bersama karena untuk memperoleh “mahabbah”, 8
Di Yogyakarta dan Surakarta berkembang tradisi “sekaten”, di Sulawesi berkembang tradisi Maudu Lompoa.
7
“barokah”, dan “syafaat”. Ketiga “nilai” tersebut dan teks-teks penafsiran terhadap hadist lah yang “menghidupi” acara maulid atau shalawatan tetapi dilangsungkan sampai sekarang. Menurut saya, mereka tidak memahami ada sesuatu yang berubah secara signifikan dalam praktik tersebut, yakni hal-hal yang mendorong pergeseran secara keruangan dan kuantitas orang yang hadir di dalam acara. Woodward dkk sedikit memberi jawaban mengenai persoalan ini. Menurut mereka, perubahan-perubahan tersebut didorong karena kemampuan Habib Syech maupun habib lain menggunakan modal-modal religius (religious capitals)— seperti kharisma dan kemampuan pergelaran untuk menempati (occupy) ruang solidaritas organik secara lebih efektif dibanding melalui organisasi-organisasi yang dijalankan melalui strategi mobilisasi sosial yang rasional (Woodward, dkk. 2012:126). Shalawat, termasuk membaca kitab barzanji maupun kitab lain, dalam beberapa penelitian lain juga dilihat “aktivitas seni” (artworks) ketika sudah menggunakan alat musik. Oleh beberapa kalangan hal ini disebut sebagai budaya pop (Sinaga, 2001; Barendregt, 2006; Munawaroh, 2007; Nef-Saluz, 2007; Rasmussen, 2010; Foley, 2012, 2013; Fairuz, 2013). Munawaroh misalnya, menempatkan membaca barzanji sebagai “tradisi vokal” dalam islam yang kemudian berkembang menjadi “aktivitas seni” ketika ditambahkan dengan musik yakni rebana dan keyboard sebagai pengiringnya (2007:179). Karena memakai alat musik terbang, maka kesenian barzanji ini dimasukkan dalam seni terbangan atau selawatan. Unsur terbang sangat menonjol sebagai instrumen musik Barzanji ini dan ternyata kesenian ini juga sudah dikenal sejak masuknya Islam di Indonesia kemudian dijadikan sebagai ciri khas bagi seni musik Islam (ibid:182).
8
Bart Barendregt dan Wim van Zanten (2002) dalam studinya mengenai popular music9 menunjukkan, musik-musik religius: musik Islami mulai berfusi dengan musik Indie (independent musik). Lagu rohani kemudian menjadi label pada setiap musik religius dengan tema-tema kenabian, ketuhanan, maupun lagu berbahasa Arab. Musik religius mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia pasca reformasi, menurut Barendregt, terjadi sebagai upaya negosiasi identitas berbasis komunitas yang memainkan peranannya dalam dialog di tingkat lokal, nasional, dan global (2002:1). Pada masa itu, para penggiat musik memanfaatkan alat-alat musik daerahnya masing-masing untuk menciptakan genre musik yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak selamanya berubah secara total. Mereka hanya memodifikasi musik dari Eropa maupun Amerika10. Berkembangnya musik religius di Indonesia, berdasarkan keterangan Barendregt dan Zanten, ditandai dengan munculnya qasidah dengan lagu-lagu puisi Arab (Arabic poem) dan band Nasyid. Selain itu, pengajian atau qari’ juga dikemas di dalam kaset maupun CD. Tumbuhnya industri musik religius ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Charles Hirschkind dalam tulisannya, Cassette Ethics: Public Piety and Popular Media in Egypt (2005; 2006), memperlihatkan di Mesir telah terjadi hal serupa. Munculnya media popular ini menurutnya menandakan adanya kemunculan praktik “kontestasi agama” (contestatory religion). Kontestasi ini terjadi ketika teknologi perekaman masuk ke Mesir tahun 1970an. Berbagai
9
Konsep “popular music” di Indonesia belakangan ini, berdasarkan penjelasan Bart Barendregt dan Wim van Zanten, tidak lain adalah musik yang berkembang dari rakyat Indonesia yang dibedakan dengan musik dari Eropa atau Amerika. 10 Penelitian tentang musik kontemporer di Indonesia bisa dilihat juga skripsi Mubarika Dyah FN, (1999). Di dalam penelitian ini disebutkan, musik “kontemporer” tumbuh karena telah “mengawinkan” musik tradisi dengan musik barat, juga eksplorasi terhadap bunyi-bunyi lain yang dipadu dengan kreativitas seniman. Di sana juga disebutkan bagaimana pertumbuhan musik tersebut menumbuhkan selera baru bagi beberapa pemuda di Yogyakarta.
9
komunitas muslim, pendakwah, maupun qori’ melakukan perekaman khutbah, hadits, dan sebagainya ke dalam sebuah media kaset. Hadirnya kaset khutbah (sermon cassette) telah mengubah praktik beragama orang Mesir yang juga disituasikan oleh konteks politik dan demokratisasi. Di sisi lain, kaset dapat menjadi sumber ekonomi baru bagi para pedagang. Bahkan dalam sampul buku telah ditunjukkan bagaimana seorang pedagang kelontong setempat memasang banner bertuliskan “Maasya Allahu laa haula wa la quwwata illa billah, different kinds of Islamic cassettes are on sale here”. (Allah telah berkehendak akan hal itu, tidak ada daya kekuatan selain Allah, berbagai macam kaset sekarang dijual di sini-red). Dengan demikian, dapat pahami bahwa praktik-praktik “keagamaan” dan/atau “seni” tidak dapat dipungkiri telah mengalami proses “komodifikasi” di hampir setiap aspek ekonomi dan sosial budaya. Agama telah terkomodifikasi, berdasarkan penjelasan Pattana Kitiarsa, berarti “… deemed to turn religion (tradition) into marketable goods, bringing them into various scales and modes of market transaction” (2008:3)11. Komodifikasi ini menurutnya tidak terlepas dari perkembangan budaya teknologi dan kapitalisme. Praktik komodifikasi agama juga terjadi di Indonesia melalui praktik konsumerisme religius (Hidayah, 2004); munculnya “muslim spiritual trainers” (Rudnyckyj, 2009) pendakwah pop (pop preacher) (Howell, 2007; 2012) atau apa yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai munculnya “pasar Islam” (market Islam) (Hoesterey, 2012:45). Hidayah menunjukkan bagaimana ide-ide kapitalisme yang hedonis dengan ide-ide agama
11
Sita Hidayah mendefinisikan komodifikasi agama sebagai praktik pemasaran yang diarahkan untuk tujuan semata-mata mencari keuntungan dengan memakai semua aspek agama untuk memberi landasan moral bagi praktik-praktik konsumsi dan untuk memperluas pemasaran (2004:viii).
10
yang asketis dapat saling dinegosiasikan. Kapitalisme dan agama tidak selamanya bertolakbelakang. Menurutnya, “Tidak ada rintangan tradisi maupun agama yang bisa mencegah orang untuk membeli dan memiliki apa saja yang diinginkannya” (Erich Fromm, 1995 dalam Hidayah, 2004:8), karena pada dasarnya manusia adalah makhluk “homo economicus”. Fairuz (2013) di dalam studinya mengenai perkembangan Ahbabul Musthafa pun menyebutkan adanya praktik komodifikasi agama. Menurutnya, tradisi shalawat telah mengalami komodifikasi dan massifikasi yang kemudian membentuk fanatisme pada pengikutnya yang dikenal dengan “Syechermania” (hal:69). Komodifikasi ini terjadi melalui publikasi beberapa album dan beberapa aksesoris Ahbabul Musthofa yang pada gilirannya telah mendatangkan nilai ekonomi dan penguatan identitas bagi jamaahnya. Musik, kaset, dan produk lainnya diproduksi dan dikonsumsi melalui industri rekaman, musik mengalami duplikasi dan disebarkan ke berbagai lapisan masyarakat melampaui batas ruang dan waktu (lihat juga Howell, 2007; Hoesterey; 2012).
C. Pertanyaan Penelitian Jelaslah di sini bahwa shalawat sebagai sebuah aktivitas “keagamaan” dan/atau “seni” maupun sebagai “ritual” 12, telah di(re)produksi dalam praktikpraktik sosial yang spesifik yang menghubungkan antara masa lalu dengan sekarang. Berbagai upaya dilakukan agar “citra masa lalu” tetap hidup di dalam ingatan dan keseharian kita sebagai referensi dan cara untuk merespon kondisi kekinian. Sholawatan yang masih berlangsung hingga sekarang, sebagaimana 12
Penjelasan mengenai “agama”, “seni”, dan pertautannya berkaitan dengan diskusi ini akan saya jelaskan di Bab II.
11
tampak pada beberapa penelitian, tradisi dianggap perlu tetap “dilestarikan” atau “dipertahankan”. Tradisi seolah harus bersifat luwes dan cair sehingga bisa terus menerus menzaman (Laksono, 1985:10). Namun, di dalam proses peluwesan ia membutuhkan agensi-agensi atau aktor-aktor dan juga konteks-konteks lain yang melingkupinya. Saya sependapat dengan Zamzam Fauzanafi yang mengacu pada pandangan Stange (tt:67), tradisi sebenarnya merupakan produk kebudayaan kontemporer (2005:21-22). Karena sebagai produk kontemporer, ia berkaitan dengan aktualitas, (yang dialami dalam kesekarangan). Shalawat tetap “mengaktual”, berarti mengandaikan suatu proses dimana pengaktualan ini adalah sebentuk “hasrat” untuk mencari referensi dari ingatan-ingatan masa lalu ataupun ingatan yang lain. Hasrat shawalatan berkaitan dengan ide tentang “kedamaian” dan “perasaan cinta” sebagai suatu ide yang terwarisi semenjak kedatangan Islam ke Nusantara. Sebagaimana menjadi catatan atas studi Woodward dkk., bagaimanapun juga shalawatan para habib sebagai gerakan sosial masih belum mampu memahami ranah emosional sebagai sesuatu yang paling penting, di dalam perekrutan gerakan sosial, misalnya. Hal ini cukup masuk akal untuk menunjukkan betapa pentingnya emosi—bahkan lebih besar—dalam kasus gerakan-gerakan keagamaan, karena mereka menyangkut pertanyaan eksistensial, seperti: rasa ketakutan, harapan, ketenangan, kedamaian, dan sebagainya. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana ide tentang “kedamaian” ini dihadirkan di dalam acara Shalawat Bersama pada orang Muslim agar datang ke acara tersebut? Untuk memahami persoalan tersebut, saya mengajukan beberapa pertanyaan lanjutan, Bagaimana perkembangan jamaah majelis Ahbabul Musthofa? bagaimana Syechermania “menikmati” atau “mengalami” acara
12
sholawat bersama tersebut? Apa yang memungkinkan adanya pembentukan hasrat untuk menikmati acara sholawat bersama? Dan bagaimana pengalaman tersebut mempengaruhi
praktik
estetika-religiusitas
Syechermania
dalam
konteks
kapitalisme dewasa ini? Sebagai catatan, pembahasan mengenai telaah teoretik, konseptual, paradigma, metodologi, dan metode penelitian ini akan dibahas di Bab II, karena ada dua alasan. Pertama, saya berupaya untuk membuat satu cakupan topik dapat dijelaskan secara memadai, yaitu: pemisahan antara pembahasan mengenai obyek kajian dan pembahasan bagaimana Antropologi, termasuk studi-studi lain yang berkaitan, selama ini memahami suatu kajian yang berkaitan dengan tema besar topik penelitian ini. Hal ini saya lakukan karena pertanyaan penelitian yang saya susun bukan semata-mata pertanyaan yang muncul dari observasi lapangan, tetapi dibangun dari telaah kepustakaan yang berkaitan dengan obyek kajian. Sehingga alur pembahasannya sengaja saya pisahkan. Alasan kedua, saya berupaya mencoba menjelaskan kesalingterkaitan teori, konsep, paradigma, metodologi, dan metode penelitian sebagai satu cakupan, sehingga penelitian ini dibimbing oleh perspektif yang jelas. Apalagi antropologi inderawi sebagai perspektif baru dalam antropologi harus dikupas lebih mendalam. Pemisahan tegas antar cakupan topik diharapkan dapat dipahami lebih baik.
13