BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peranan Perbankan dalam lalu lintas bisnis, dapatlah dianggap sebagai kebutuhan yang mutlak diperlukan oleh hampir semua pelaku bisnis, baik pengusaha besar maupun pengusaha kecil. Salah satu produk yang diberikan oleh bank dalam membantu kelancaran usaha debiturnya, adalah dengan pemberian kredit, dimana hal ini merupakan salah satu fungsi bank yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga. Pemberian kredit yang dilakukan oleh bank sebagai suatu lembaga keuangan, sudah semestinya harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam pemberian kredit ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh bank dalam rangka melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank tersebut untuk disalurkan dalam bentuk kredit, yaitu:
1
Universitas Sumatera Utara
2
a.
Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian;
b.
Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan;
c.
Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank;
d.
Harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.1 Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur,
maka sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan (capacity to create sources of funding), modal (capital), agunan (collateral), wewenang untuk meminjam (competence to borrow) dan prospek usaha debitur tersebut (condition of economy and sector of business).2 Fungsi dari pemberian jaminan oleh debitur kepada kreditur adalah untuk mengamankan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank selaku kreditur terhadap debiturnya, sehingga apabila dikemudian hari debitur tidak mampu membayar / melunasi hutang-hutangnya kepada bank maka bank selaku kreditur berhak untuk mengeksekusi barang jaminan tersebut dan menjualnya dalam pelelangan umum untuk mengambil piutangnya dari debitur.3
1
Rudi Tri Santoso, Prinsip Kehati-hatian Dalam Kredit Perbankan, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal. 33 2 Siswanto Sutojo, Analisis Kredit Bank Umum, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 2005, hal. 21. 3 Thomas Suyatno, dkk, Kelembagaan Perbankan Edisi Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
3
Secara umum mengenai masalah jaminan sebenarnya telah diatur dalam KUHPerdata sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menegaskan bahwa, “Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Pasal 1132 KUHPerdata menegaskan bahwa, “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutamakan padanya pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecil piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang ada alasan-alasan yang sah dan didahulukan”. Rachmadi Usman memberikan pengertian jaminan sebagai suatu sarana perlindungan keamanan kreditur, yaitu kepastian akan pelunasan utang debitur atas pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur.4 Sedangkan Hasanudin Rahman mengemukakan pengertian jaminan sebagai tanggungan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan.5 Berdasarkan pengertian jaminan di atas, dapat mengetahui fungsi jaminan yaitu sebagai berikut :
4
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustama Utama, Jakarta, 2001, hal. 61. 5 Hasanudin Rahman, Jaminan Kebendaan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Bumi Aksara, Bandung, 2008, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
4
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil-hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut apabila debitur melakukan cidera janji. 2. Menjamin agar debitur berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai usahanya. 3. Memberi dorongan kepada debitur untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur.6 Menurut jenisnya, jaminan dapat dibedakan menjadi jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan (borgtoch/personal guarantee) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang Pihak Ketiga guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur, apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).7 Jaminan semacam ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang diatur dalam Pasal 1820-1850 KUHPerdata. Pada perkembangannya, jaminan perorangan juga dipraktekkan oleh perusahaan yang menjamin utang perusahaan lainnya. Bank dalam hal ini sering menerima jaminan serupa, yang sering disebut corporate guarantee. Sedangkan jaminan kebendaan (zakelijke zekerhed/security right in rem) adalah jaminan berupa harta kekayaan dengan cara pemisahan bagian dari harta kekayaan baik si debitur maupun pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan
6
Eddy Aman Putra, Fungsi Jaminan dalam Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 2 7 Adrian Sutedi, Hukum Jaminan Dalam Pelaksanaan Kredit Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
5
kewajiban-kewajiban debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi). Menurut sifatnya, jaminan kebendaan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu : jaminan kebendaan dengan benda berwujud dan jaminan kebendaan tak berwujud. Jaminan kebendaan dengan benda berwujud dapat berupa benda bergerak dan atau benda tidak bergerak. Sedangkan jaminan dengan benda tidak berwujud dapat berupa piutang atau hak tagih. Penyediaan atas benda objek jaminan dalam perjanjian jaminan kebendaan adalah untuk kepentingan dan keuntungan kreditur tertentu yang telah memintanya, sehingga memberikan hak atau kedudukan istimewa bagi kreditur tersebut. Pada hakekatnya, jaminan kebendaan adalah membebani suatu benda tertentu dengan lembaga jaminan tertentu, sehingga apabila seorang debitur tidak melunasi utangnya kepada kreditur, maka sang kreditur dapat menuntut pelunasan piutangnya, dari hasil perolehan penjualan barang jaminan tersebut di depan umum (lelang/eksekusi) atas benda tersebut.8 Mengenai kebendaan yang menjadi obyek jaminan, Subekti menyatakan bahwa kekayaan (kebendaan) tersebut dapat berupa kekayaan si debitur sendiri atau kekayaan orang ketiga, dan dengan pemberian jaminan kebendaan kepada kreditur tersebut memberikan kedudukan dan istimewa (privilege) terhadap para kreditur lainnya.9 Terhadap jaminan yang diserahkan oleh pihak debitur, pihak bank selaku 8
Djubaedah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal (Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 310 dan 311 9
Subekti, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional, Binacipta, Bandung, 1978, hal.27
Universitas Sumatera Utara
6
kreditur mempunyai kewajiban untuk melindungi debiturnya, karena hal ini berkaitan dengan kepentingan bank juga selaku penerima jaminan. Dalam rangka pencapaian tujuan ekonomi, maka kredit harus diberikan dengan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang salah satunya adalah membuat perjanjian kredit yang berfungsi memberi batasan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tersebut. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian penjaminan sebagai perjanjian tambahan. Keduanya dibuat secara terpisah, namun kedudukan perjanjian penjaminan sangat tergantung dari perjanjian pokoknya. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada pihak kreditur, sehingga apabila debitur wanprestasi maka kreditur tetap mendapatkan hak atas piutangnya. Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata menjadi dasar dari perjanjian kredit, yang di dalamnya diatur ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian pinjam meminjam uang ataupun barang-barang yang habis karena pemakaian dan dipersyaratkan bahwa pihak yang berhutang atau debitur akan mengembalikan pinjamannya pada kreditur dalam jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Selanjutnya disebutkan juga bahwa perjanjian tersebut dapat disertai dengan bunga yang telah diperjanjikan sebelumnya antara pihak-pihak, sehingga perjanjian kredit dapat dimasukkan dalam perjanjian pinjam-meminjam dengan memperjanjikan bunga. Selain perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok, maka diperlukan juga adanya perjanjian penjaminan baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
Universitas Sumatera Utara
7
bergerak. Untuk itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terlibat melalui lembaga ini. Lembaga hak jaminan dibutuhkan karena sudah semakin banyak kegiatan pembangunan khususnya di bidang ekonomi yang membutuhkan dana yang cukup besar, dimana sebagian besar dana itu diperoleh melalui kegiatan perkreditan serta untuk mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam suatu perjanjian kredit perbankan dengan menggunakan lembaga Hak Tanggungan sebagai jaminan atas kredit tersebut, bank sebagai kreditur hanya memegang sertipikat Hak Tanggungan yang telah terdaftar dan dikeluarkan oleh kantor pertanahan tempat dimana objek Hak Tanggungan tersebut berada. Sedangkan penerima kredit selaku debitur tetap memegang atau menduduki objek Hak Tanggungan tersebut. Di dalam sertipikat kepemilikan dari objek Hak Tanggungan tersebut oleh kantor pertanahan telah ditulis kata-kata bahwa hak kepemilikan tersebut telah dipasang Hak Tanggungan sebagai jaminan hutang dari pemilik objek Hak Tanggungan tersebut kepada bank yang memberikan kredit.10 Adapun yang merupakan ciri-ciri lembaga hak jaminan atas tanah menurut Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 seperti yang disebutkan dalam penjelasannya, yaitu sebagai berikut:
10
Rusdy Murhainis, Kredit Perbankan dan Lembaga Jaminan Hak Tanggungan, Bina Cipta, Bandung, 2009, hal. 16
Universitas Sumatera Utara
8
a.
Memberikan kedudukan mendahulukan (hak preferencei) kepada pemegangnya;
b.
Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan, di tangan siapapun obyek tersebut berada;
c.
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum
kepada pihak-pihak
yang
berkepentingan; d.
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.11 Dengan demikian perlu sekali adanya hukum jaminan yang mampu mengatur
konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit yang menjaminkan barang-barang yang akan dimilikinya sebagai jaminan. Dalam perjanjian kredit biasanya pihak-pihak telah memperjanjikan dengan tegas bahwa apabila debitur wanprestasi, maka kreditur berhak mengambil sebagian atau seluruh hasil penjualan harta jaminan tersebut sebagai pelunasan utang debitur (verhaalsrecht).12 Jika ada beberapa kreditur, maka pembagian diantara para kreditur tersebut didahulukan kepada para kreditur yang telah melakukan pengikatan jaminan secara khusus seperti jaminan Hak Tanggungan untuk menerima pelunasan hak tagihnya secara penuh. Dalam hubungan perutangan di mana ada kewajiban untuk pemenuhan prestasi dari debitur dan merupakan hak atas prestasi dari kreditur, hubungan hukum akan lancar terlaksana jika masing-masing pihak memenuhi kewajibannya. Namun dalam hubungan perutangan yang sudah dapat ditagih (openbaar) jika debitur tidak 11
Fuady Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 66.
12
Soewarso Indrawati, Aspek Hukum Jaminan Kredit, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 2002,
hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
9
memenuhi prestasi secara sukarela, kreditur mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya (hak verhaal; hak eksekusi) terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan cara penjualan/mencairkan benda-benda jaminan dari kreditur di mana hasilnya adalah untuk pemenuhan hutang debitur.13Hak Tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain, dalam arti bahwa apabila debitur wanprestasi, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum hak atas tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Di Indonesia pengaturan tentang Hak Tanggungan dituangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). UUHT telah memberikan dasar pengaturan hukum terhadap perlindungan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan, tetapi yang menjadi permasalahan apabila barang jaminan yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut dirampas oleh negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi bukan semata-mata untuk memberikan efek jera terhadap para pelaku namun bertujuan dapat mengembalikan kerugian negara, sehingga diharapkan dapat dipergunakan untuk membangun perekonomian negara yang lebih baik. Di samping itu dengan mengoptimalkan hukuman terhadap pelaku korupsi dapat memberikan
13
Sri Soedewi Mascjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
10
rasa takut pada yang lain untuk melakukan korupsi. Untuk mengembalikan kerugian keuangan dan perekonomian negara tersebut kemudian undang-undang memberikan sarana berupa pidana tambahan.14 Dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), sanksi pidana yang dijatuhkan dalam tindak pidana korupsi yaitu pidana mati, pidana penjara dan denda, sedangkan pidana tambahan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 18 a). perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b). pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyakbanyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c). penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d). pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada
14
Andi Hartono, Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa, Intermedia, Jakarta, 2008, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
11
lembaga keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditur dalam rangka pelunasan piutangnya, apabila debitur wanprestasi tetapi dalam kenyataannya kreditur sangat sulit mendapatkan pelunasan terhadap piutangnya apabila debitur yang bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana korupsi dan telah dijatuhi sanksi seperti yang disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Problematika hukum muncul ketika debitur dalam perkara pidana korupsi tersebut telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan debitur tersebut berada dalam ketidakmampuan membayar atau debitur tersebut wanprestasi otomatis terjadi kredit macet.15 Apabila dalam putusan pengadilan tersebut dijatuhkan sanksi pidana dengan melakukan perampasan terhadap barang barang yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh debitur tidak terkecuali atas benda yang menjadi objek jaminan pada pihak ketiga, untuk selanjutnya barang rampasan tersebut dilakukan eksekusi. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat. Karena, kenyataannya perbuatan korupsi menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang kehidupan. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu
15
Ratna Sumarjanti, Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Suatu Tinjauan Yuridis, Aksara Baru, Jakarta, 2007, hal. 46
Universitas Sumatera Utara
12
semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan kepentingan masyarakat. Pada tanggal 16 Agustus 1999, disahkan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai pengganti UndangUndang No. 1 Tahun 1971. Selanjutnya, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001, walaupun perubahannya tidak siknifikan. Jika dilihat dari peraturan yang dikeluarkan, seharusnya apa yang dicitacitakan negara saat ini benar-benar dapat direalisasi. Namun faktanya, negara ini masih dicap sebagai negara terkorup. Belum maksimalnya penanganan tipikor juga suatu kendala, walaupun secara peraturan yang dimiliki sudah sangat jelas. Suatu hal yang terjadi seiring dengan pelaksanaan penegakan tindak pidana korupsi dan pelaksanaan pemberian jaminan kredit adalah adanya jenis harta tertentu milik pelaku yang diduga atau menjadi terdakwa atau telah terbukti pelaku tindak pidana korupsi yang disita negara dan sekaligus menjadi objek jaminan kredit pada lembaga perbankan.16 Hak tagih negara dalam kasus korupsi, saat ini menjadi perdebatan di kalangan pemerhati hukum. Khususnya perihal siapa harus didahulukan untuk mendapatkan hak tagih atas harta milik terpidana yang tersangkut tipikor saat putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).17 Pasal 18 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 menyebutkan, selain adanya pidana 16 Muchdarsyah Sinungan, Kredit Perbankan Tata Cara Permasalahan dan Pemecahannya, Secara Hukum Perbankan, Tograf, Yogyakarta, 2006, hal. 69. 17 Bambang Syamsuzar Oyong, "Hak Tagih Negara Vs Hak Kreditur", http://sastrapembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-pembebasan-Hak-Tagih-Negara-td10536.html,Diakses tanggal 1 April 2014.
Universitas Sumatera Utara
13
pokok adanya pidana tambahan. Pidana tambahan dapat berupa perampasan barang bergerak berwujud atau tidak berwujud yang diperoleh dari hasil tipikor. Di samping, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak harta benda yang diperoleh dari tipikor. Pertanyaannya, bagaimana posisi barang bergerak yang berwujud dan tidak berwujud yang telah dijadikan objek jaminan utang oleh debitur dan diikat dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atau Akta Fidusia. Berarti, kedudukan kreditur berubah menjadi kreditur preference yang memiliki hak istimewa daripada kreditur lainnya. Jika hal ini terjadi, siapa yang harus didahulukan untuk mendapatkan hak tagih, apakah negara melalui jaksa dapat melakukan penyitaan harta milik terpidana, atau kreditur yang secara aturannya telah mendapatkan hak istimewa oleh undang-undang. Sampai saat ini, masih ada silang pendapat mengenai siapa yang harus didahulukan untuk mendapatkan hak tagih tersebut. Sebagian pengamat mengatakan, kepentingan negara untuk penyitaan barang yang berasal dari kejahatan (tipikor) harus didahulukan daripada kepentingan privat atau perdata. Sebagian lagi berpendapat, apabila jaksa selaku pihak yang diberi hak menyita oleh undang-undang sepanjang dapat dibuktikan harta yang disita itu berasal dari kejahatan (korupsi), hal itu sah-sah saja. Namun di sisi lain, kreditur sebagai pemegang hak jaminan dalam hukum privat (perdata) memiliki hak preference (istimewa) yang juga diatur undangundang. Jika barang yang disita itu telah dieksekusi, kreditur preference sebagai
Universitas Sumatera Utara
14
pemegang tanggungan lebih diutamakan untuk mendapatkan pelunasannya. 18 Chaerul Huda mengatakan, kepentingan negara untuk menyita barang yang diduga berasal dari hasil kejahatan harus didahulukan ketimbang kepentingan privat atau perdata. Harus pidana dulu, karena prinsip umumnya kepentingan publik mesti didahulukan dari pada kepentingan perdata.19 Tindakan penyitaan oleh jaksa dalam perkara korupsi lazim dilakukan sebelum aset milik terpidana dilelang untuk menutupi pembayaran uang pengganti. Dengan demikian, atas aset milik terpidana harus didahulukan kepentingan negara untuk menutupi kerugian negara. J. Satrio mengatakan, pemegang jaminan memiliki preference atau dengan kata lain kedudukannya diutamakan. Satrio berpendapat, jika barang yang disita tersebut sudah dieksekusi, maka kreditur pemegang tanggunganlah yang memiliki hak lebih dulu menerima pelunasan. Jika ada sisanya baru dikasihkan ke negara, tuturnya.20 Menurut aturannya, penyitaan itu adalah adalah tindakan hukum yang dilakukan pada taraf penyidikan, sesudah lewat tahap penyidikan tak dapat lagi dilakukan penyitaan untuk dan atas nama penyidik.21 Pertanyaannya, apakah penyitaan itu dapat dilakukan terhadap semua benda tanpa mempersoalkan status
18
Ibid. Hukum Online.com, "Hak Negara vs Hak Kreditur : Memilih Mana yang Harus Didahulukan",http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16591/hak-negara-vs-hak-kreditur-memilih-mana-yang-harus-didahulukan, Diakses tanggal 1 April 2014. 20 Ibid. 21 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 45. 19
Universitas Sumatera Utara
15
benda itu, atau, benda yang bagaimana sifat dan keadaannya yang dapat dilakukan atau diletakan sita di atasnya. Oleh karena itu, penyitaan terhadap benda yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa pidana yang sedang diproses hukum bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan dinyatakan tidak sah. Hal ini akan merugikan pemilik benda, dan ia dapat mengajukan tuntutan praperadilan ke pengadilan maupun mengajukan tuntutan ganti rugi. J. Satrio berpendapat, jaksa selaku eksekutor berhak melakukan penyitaan sepanjang dapat dibuktikan itu adalah hasil dari kejahatan. Sepanjang hanya tindakan penyitaan saja, tidak menjadi masalah jika jaksa menyita barang (yang sudah disita sebagai jaminan keperdataan).22 Pasal 39 KUHAP cukup jelas menyebutkan kriteria benda yang dapat disita, yaitu: 1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana, 2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana. 3. Benda yang dipergunakan menghalang-halangi penyidikan atas tindak pidana, 4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana. 5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.23 Memang tidak mudah untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan hak 22
Hukum Online.com, Op.Cit. M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasannya Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, 2012, hal. 46. 23
Universitas Sumatera Utara
16
tagih lebih dahulu, jika dihubungkan dengan perkara korupsi yang berkembang saat ini. Wajar kalau seandainya ada yang menyebutkan, penyitaan yang dilakukan jaksa dalam perkara korupsi atas harta terpidana sebagai bagian untuk mendapatkan uang pengganti dan hal ini sangat lazim dilakukan. Padahal, hukum privatpun mengatur kedudukan pemegang hak jaminan selaku kreditur yang mendapatkan hak istimewa sebagaimana diatur Pasal 1134 KUHPerdata. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian tesis ini mengambil judul tentang “Tinjauan Yuridis Kedudukan Benda Jaminan Hak Tanggungan Kepada Bank Yang Terkait Kasus Korupsi”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang dirumuskan dua permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana status hukum objek jaminan Hak Tanggungan yang disita oleh pengadilan karena berkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi?
2.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang disita pengadilan terkait kasus korupsi?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui status hukum objek jaminan Hak Tanggungan yang disita oleh pengadilan karena berkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi
Universitas Sumatera Utara
17
2.
Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang disita pengadilan terkait kasus korupsi
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu : 1.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangsih pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, khususnya yang menyangkut tentang perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang dirampas oleh negara dalam tindak pidana korupsi.
2.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan kepada masyarakat pada umumnya, pejabat yang berwenang dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang dirampas oleh negara dalam tindak pidana korupsi.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka diketahui bahwa belum pernah ada penelitian yang berjudul tentang "Tinjauan Yuridis Kedudukan Benda Jaminan Hak Tanggungan Kepada Bank Yang Terkait Kasus Korupsi".
Universitas Sumatera Utara
18
Adapun judul penelitian yang ada kaitannya dengan kedudukan objek jaminan Hak Tanggungan adalah sebagai berikut : 1. Kiki Puspita Mayasari (NIM. 107011119/M.Kn) : Analisis Yuridis Terhadap Pemberian Kredit dengan Jaminan HakTanggungan secara Cross Collateral (Studi di PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk Cabang Medan Imam Bonjol. Substansi Permasalahan yang dibahas adalah : a.
Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit secara cross collateral pada PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk?
b. Bagaimana pelaksanaan sistem pemberian kredit secara cross collateral dengan pemberian jaminann Hak Tanggungan pada PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk? c.
Bagaimana penyelesaian kredit bermasalah bagi debitur yang wanprestasi dalam pengikatan kredit secara cross collateral pada PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk?
2. Rinto (067011068/M.Kn) : Analisis Hukum Terhadap Sita Jaminan yang Diletakkan di atas Objek Hak Tanggungan oleh Pengadilan. Substansi Permasalahan yang dibahas adalah : a. Bagaimana permohonan sita jaminan atas sebidang tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan oleh pihak ketiga? b. Bagaimana sikap hakim dalam memberikan putusan terhadap permohonan sita jaminan atas tanah yang sudah dibebani Hak Tanggungan? c. Bagaimana dampak dan upaya hukum terhadap penetapan sita jaminan
Universitas Sumatera Utara
19
atas tanah yang sudah dibebani Hak Tanggungan? 3. Belinda (NIM. 077011009/M.Kn) : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur
terhadap
Kreditur
Pemegang
Hak
Tanggungan.
Substansi
Permasalahan yang dibahas adalah : a. Bagaimana ketentuan pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur? b. Bagaimana kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam putusan kepailitan? c. Bagaimana akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam eksekusi Hak Tanggungan? Berdasarkan karya-karya ilmiah yang telah disebutkan di atas tidak satupun penelitian tersebut yang sama dengan penelitian ini baik dari segi judul maupun dari segi subtansi permasalahan yang di bahas. Oleh karena itu penelitian ini secara akademis dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian, dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan hal yang diamati, karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum.24
24
Ibnu Husni, 2005,“Penelitian dalam Ilmu Hukum”,http://www.Kamushukum online.co.id/653words.htm, Diakses pada tanggal 25 November 2013.
Universitas Sumatera Utara
20
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. Menurut Soerjono Soekanto bahwa kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.25 Menurut Burhan Ashshofa suatu teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antar konsep.26 Menurut Snelbecker yang mendefenisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.27 Menurut Kaelan M.S, landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.28 Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut : 1.
Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya ; 25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1996,
hal. 19. 26
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19. Lexy J. Moleong, Metodologi, Penelitian Kualitatif, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 1990, Bandung, hal. 42. 28 Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni, Paradigma, Yogyakarta, 2005, hal. 239. 27
Universitas Sumatera Utara
21
2.
Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina, struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi- definisi;
3.
Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang diteliti ;
4.
Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.29 Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan
sebagai pisau analisis dalam tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan tentang tinjauan yuridis kedudukan benda jaminan hak tanggungan kepada bank yang terkait kasus korupsi. Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.30 Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian hukum merupakan perbincangan yang 29
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 121. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal 158 30
Universitas Sumatera Utara
22
telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.31 Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu : Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.32 Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.33 Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut : 31
Wordpress.Com, "Memahami Kepastian Dalam Hukum", http://ngobrolinhukum. wordpress.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/, Diakses tanggal 1 April 2014. 32 Ibid. 33 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
23
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara. 2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya. 3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut. 4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan 5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.34 Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.35 Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya 34
Bernand Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2006, hal. 85. 35 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal. 160.
Universitas Sumatera Utara
24
sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.36 Nurhasan Ismail berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri.37 Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi mengenai perilaku tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula. Kedua, kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena menyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberi arahan pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi norma hukum perundang-undangan.
Artinya
ketentuan-ketentuan
dari
sejumlah
peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan satu subyek tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, 36
Fernando M. Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hal. 95. 37 Wordpress.Com, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
25
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Lon Fuller mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut : 1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu; 2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik; 3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; 5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; 7. Tidak boleh sering diubah-ubah; 8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.38 Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan.39 Dari uraian-uraian mengenai teori kepastian hukum di atas dijadikan sebagai pisau analisis dalam kaitannya dengan tinjauan yuridis kedudukan benda jaminan hak tanggungan kepada bank yang terkait kasus korupsi, dimana di satu sisi ada kepentingan negara atas objek yang disita dan disisi lain ada hak-hak masyarakat yang harus dilindungi. Dua sisi yang harus dilindungi kepentingannya harus
38 39
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
26
dijalankan secara seimbang dengan menerapkan suatu konsep kepastian hukum. 2. Kerangka Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.40 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum,41 guna menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu: a. Sita atau Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.42 b. Sita Jaminan adalah sita terhadap barang-barang milik tergugat yang disengketakan status kepemilikannya melalui gugatan, baik dalam sengketa
40
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3. Burhan Ashshofa, Op.Cit., hal 28. 42 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 260. 41
Universitas Sumatera Utara
27
wanprestasi maupun perbuatan melanggar hukum.43 c. Jaminan Bank adalah suatu keyakinan kreditur bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. d. Korupsi adalah merupakan tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi), yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. e. Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote. f. Debitur adalah pihak yang berhutang ke pihak lain, biasanya dengan menerima sesuatu dari kreditur yang dijanjikan debitur untuk dibayar kembali pada masa yang akan datang.44 g. Kreditur adalah pihak (perorangan, organisasi, perusahaan atau pemerintah) yang memiliki tagihan kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau layanan jasa yang diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) dimana diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang
43
Uncategorized, "Prosedur Sita Jaminan", http://sitajaminan.klinikhukum. umkmcentre. narotama.ac.id/2011/10/22/prosedur-sita-jaminan/, Diakses tanggal 1 Mei 2014. 44 Wikipedia Indonesia, "Debitur", http://id.wikipedia.org/wiki/Debitur, Diakses tanggal 1 April 2014.
Universitas Sumatera Utara
28
nilainya sama atau jasa.45 h. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, berikut / tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu terhadap kreditur-krediturnya yang memiliki hak preference atau hak yang didahulukan pelunasan piutangnya dari kreditur-kreditur lainnya. G. Metode Penelitian Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip pendapat Soeryono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut: Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.46 1.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut 45
Wikipedia Indonesia, "Kreditur", http://id.wikipedia.org/wiki/Kreditur, Diakses tanggal 1 April 2014. 46 Soerjono Soekanto,Op.Cit., hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
29
dengan istilah penelitian doktrinal47 (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process).48 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama. 2.
Sumber Data Penelitian Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder,49 yang meliputi:
a.
Bahan hukum primer, yaitu Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan, Hukum Jaminan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara serta Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya.
c.
Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.50 47
Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder. Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 10. 48 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. 49 Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 14. 50 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, 1985, Jakarta, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
30
3.
Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis
menggunakan 2 (dua) metode pengumpulan data, yakni: a.
Penelitian Kepustakaan (library research). Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan data akan dilakukan melalui Penelitian Kepustakaan, dikumpulkan melalui penelitian literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang kredit dan hukuman jaminan serta perundang-undangan korupsi, dan Peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.
b.
Penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data pendukung mengenai terhadap tinjauan yuridis kedudukan benda jaminan hak tanggungan kepada bank yang terkait kasus korupsi.
4.
Analisis Data Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif. Analisis data kualitatif ini dilakukan apabila data empiris yang digunakan adalah data kualitatif yang berupa kata-kata dan tidak dapat dikategorisasikan. Menurut Miles dan Huberman dalam Silalahi, kegiatan analisis kualitatif ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau klarifikasi. Dalam reduksi data ini terdapat proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis yang ada di lapangan. Reduksi data ini merupakan suatu bentuk analisis yang digunakan dalam rangka untuk menajamkan,
Universitas Sumatera Utara
31
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu serta mengorganisasikan data sehingga nantinya kesimpulan dapat ditarik secara tepat dan diverifikasi.51 Selanjutnya dalam analisis data kualitatif adalah penyajian data dimana ini berarti sebagai sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan tertentu. Penyajian data kualitatif ini dapat dilakukan dalam berbagai jenis matriks, grafik, jaringan dan bagan, sehingga kemudian penganalisis dapat melihat apa yang sedang terjadi dan kemudian dapat menentukan apakah menarik kesimpulan sudah benar ataukah harus terus melakukan analisis demi mendapatkan kesimpulan yang valid. Alur kegiatan yang ketiga dalam analisis data kualitatif adalah menarik kesimpulan atau verifikasi. Menarik suatu kesimpulan ini dilakukan oleh peneliti melalui data-data yang terkumpul dan kemudian kesimpulan tersebut akan diverifikasi atau diuji kebenarannya dan validitasnya.52
51 52
U. Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Unpar Press, Bandung, 2006, hal. 12 Ibid., hal. 313
Universitas Sumatera Utara