BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis sastra oral, berbentuk kisah-kisah yang mengandalkan kerja ingatan, dan diwariskan. Dalam rumpun sastra, cerita rakyat merupakan bagian dari foklor lisan, secara tradisional dalam versi yang berbeda dalam cerita bentuk lisan tersebut disertai dengan gerakan isyarat atau alat pembantu pengingat atau Mnemonic device (Danadjaja, 1982: 1). Ada pula anggapan dari zaman kolonial bahwa folklor adalah kebudayaan milik petani desa yang lebih rendah dari kebudayaan kota atau bangsawan (Pudentia, 2008: 59). Cerita rakyat adalah salah satu fenomena gejala pascakolonial. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Amir (2013: 146-147), sastra lisan dapat menerangkan fenomena yang ada. Cerita rakyat muncul sebagai bentuk tanggapan atau reaksi dari situasi tekanan penguasa zaman kolonial atau terhadap kekuasaan yang dominan. Hal tersebut menunjukkan cerita rakyat bukan saja cerita yang hanya dilisankan dari mulut ke mulut sejak zaman nenek moyang, tetapi ada sebuah pemikiran atau sebuah pengetahuan dalam proses penciptaannya. Said (2001: 6) dalam Orientalisme mengatakan manusia membuat sejarahnya sendiri dalam sebuah wacana, bahwa apa yang mereka ketahui adalah apa yang mereka perbuat. Di balik konsep cerita rakyat yang berhubungan dengan kekuasaan, cerita rakyat bukanlah sekadar cerita tanpa kepentingan. Secara umum masyarakat 1
2
hanya memandang cerita rakyat sebagai pengajaran moralitas. Padahal cerita rakyat juga merupakan alat pembantu pengingat. Pengingat terjadinya suatu peristiwa. Hal tersebut menunjukkan perbedaan cerita rakyat dengan sastra tulis. Sastra tulis seperti kisah sejarah mengungkapkan gagasan yang tersusun secara sistematis sedangkan cerita rakyat lebih mengutamakan ingatan spontan. Karya sastra tulis seperti sejarah, lebih mengutamakan tokoh sedangkan sastra lisan seperti cerita rakyat, lebih mementingkan peristiwanya. Cerita rakyat terbuka dengan interpretasi masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan cerita rakyat muncul banyak versi. Kaitan manusia dengan kebudayaan adalah ibarat binatang yang terperangkap dalam jerat-jerat makna yang dia tenun sendiri, untuk itu diperlukan suatu kewaspadaan terhadap rekayasa budaya, bilamana perlu, mensiasatinya (Susanto, 2000: 13). Istilah rakyat tidak bisa dianggap netral. Sebagaimana kata Timur diciptakan oleh orang-orang Barat. Maka dari itu, cerita rakyat tidak akan pernah lepas dari politik kebudayaan. Kebudayaan adalah cara manusia menyikapi kehidupan untuk mempertahankan diri. Siasat kebudayaan merupakan sebuah permainan yang diciptakan untuk menyikapi kekuasaan kolonial atau kebudayaan yang dominan. Siasat bukanlah sebuah strategi yang disusun secara sistematis atau teratur tetapi semacam wujud “permainan”. Wujud permainan yang dimaksud adalah suatu perlawanan yang dilakukan tidak secara frontal. Pertemuan relasi antara penjajah dan terjajah menghasilkan hibriditas. Hibriditas justru berupaya memperjuangkan terbentuknya semacam “budaya ketiga” yang sama validnya dengan budaya kolonial-dominan (Gandhi, 2007: ix). Hal tersebut sependapat dengan Bhabha yang mengatakan di ruang hibriditas,
3
kaum terjajah menemukan strategi perlawanan terhadap dominasi wacana penjajah. Bukan melawan dengan cara frontal, melainkan justru dengan “perselingkuhan” budaya, yaitu dengan mengambil alih tanda-tanda budaya penjajah, tetapi diberi isi dan digugat sehingga menghasilkan identitas dan cara hidup yang baru (Sutrisno, 2004: 28). Susanto (2009: 6) mengatakan pascakolonialitas merupakan sebuah cara berpikir dan memandang sebuah peristiwa, kebudayaan atau pemikiran apapun secara kritis. Pascakolonial secara kritis memandang cerita rakyat bukan hanya mengandung unsur moralitas tetapi juga mengandung unsur hibriditas. Hibriditas adalah pembalikan strategi dari proses dominasi melalui pengingkaran. Hibriditas merupakan penilaian ulang dari asumsi identitas terjajah melalui repetisi dari efek diskriminatoris. Bayangan rekaan dan imajinatif milik kaum penguasa tentang identitas masyarakat justru menghasilkan kekerasan dalam masyarakat yang dikuasai (Susanto, 2000: 16). Seperti oposisi biner, Barat yang menciptakan Timur, maka adanya penguasa akan melahirkan rakyatnya, sementara rakyat wajib “mendapat kekerasan” agar mereka patuh. Bhabha (dalam Wulandari, 2014: 17) mengatakan bahwa masyarakat terjajah memiliki kecenderungan mengalami depresi psikologis sebagai akibat hegemoni kekuasaan. Untuk melukiskan hal tersebut media paling tepat adalah melalui penceritaan kembali, baik sebagai nostalgia maupun arketip. Penceritaan kembali tersebut dinyatakan dalam sebuah karya sastra. Penceritaan kembali ke dalam sebuah cerita rakyat merupakan sistem simbol. Kemunculan cerita di tengah masyarakat dipengaruhi oleh situasi politik dan budaya serta bertemunya kaum penjajah dengan kaum terjajah atau
4
bertemunya subjek dominan dengan subjek subordinasi. Cerita rakyat dapat digunakan sebagai alat resistensi terhadap kekuasaan kolonial atau budaya kekuasaan yang ditinggalkan oleh kaum penjajah. Dalam rangka pemahaman pascakolonialitas, cerita rakyat menunjuk pada kelompok yang dibedakan dengan penguasa. Babad Tanah Jawi
adalah cerita dari penguasa yang ditulis oleh
pujangga keraton sebagai sejarah. Babad Tanah Jawi adalah representasi kekuasaan raja di tanah Jawa. Sementara cerita rakyat dianggap milik kaum petani rendah. Di Indonesia, terutama tanah Jawa memiliki berbagai cerita rakyat. Salah satunya cerita rakyat asal kabupaten Semarang, yaitu Rawa Pening. Cerita rakyat Rawa Pening adalah fenomena pascakolonial. Cerita rakyat Rawa Pening melukiskan bagaimana masyarakat kecil mereaksi kebudayaan pusat yang dominan. Tidak ada pakem yang dipegang dalam cerita rakyat Rawa Pening sehingga banyak versi yang muncul mengenai cerita tersebut. Masyarakat kebudayaan yang mengalami kolonialisme selalu mendapat dua tipe kebudayaan, yaitu pusat dan pinggiran. Senada dengan yang dikatakan oleh Sobary (1996: 45) bahwa praktik dominasi kekuasaan memunculkan dualisme budaya di Jawa sehingga terjadi dua lapisan sosial: yang kalah, subculture dan yang menang, high/super culture. Lapisan sosial subculture memiliki kebudayaan yang kasar, sementara high culture adalah lapisan sosial yang memiliki kebudayaan yang halus atau adilihung. Halus dan kasar merupakan konsepsi yang sangat umum dalam kebudayaan Jawa. Halus diartikan sebagai keteraturan atau keharmonisan dan penahanan nafsu sedangkan yang kasar dianggap sebagai ketidakteraturan. Ketidakteraturan muncul dari perasaan lahiriah
5
yang spontan dan bergejolak. Perasaan itu harus diubah ke dalam perasaan batin agar sesuatu yang bergejolak menjadi tenang. Adanya dualisme kebudayaan disadari oleh masing-masing pemilik kebudayaan. Kesadaran itu menjadikan subculture mempunyai kekuatan untuk mempermainkan kebudayaan yang lebih represif. Sesuatu yang bergejolak diubah menjadi sebuah karya sastra cerita rakyat Rawa Pening. Cerita rakyat Rawa Pening membawa ketenangan dalam menyikapi adanya perbedaan identitas. Cerita rakyat seperti Rawa Pening bagi masyarakat pinggiran merupakan sebuah warisan. Bagi mereka yang menganggap cerita rakyat Rawa Pening sebagai warisan disebut pelaku pertama yang menghasilkan kebudayaan cerita tersebut. Cerita rakyat Rawa Pening layak untuk dikaji. Dalam kesempatan pertemuan antara peneliti dengan Sri Mul dan Watiah (Senin, 16 November 2015), pasangan suami istri yang berdagang di pinggiran danau Rawa Pening selama kurang lebih dua tahun dan sudah menetap di situ, tidak mengetahui Cerita rakyat Rawa Pening. Faktor ekonomi lebih diutamakan oleh mereka. Hal tersebut menjadi alasan untuk mengkaji lebih dalam cerita rakyat Rawa Pening. Penelitian ini ingin menyelamatkan cerita itu sendiri dengan memperkenalkan kembali cerita rakyat Rawa Pening kepada masyarakat. Cerita rakyat Rawa Pening sangat dipercaya oleh masyarakat setempat karena cerita ini didukung dengan ritual adat. Cerita rakyat Rawa Pening tersebut juga dialihwahanakan dalam kesenian tari. Peristiwa sejarah dihadirkan dalam cerita
rakyat
tersebut
kemudian
menghasilkan
bentuk-bentuk
wacana
pascakolonial dan siasat kebudayaan masyarakat Semarang. Struktur yang terkandung dalam cerita rakyat Rawa Pening dalam penelitian ini menunjukkan
6
bagaimana identitas kaum penguasa tidak sebagaimana yang dibayangkan kaum kecil. Cerita Rawa Pening mendekontruksi oposisi biner yang ditinggalkan kaum kolonial. Cerita
rakyat
Rawa
Pening
diasumsikan
sebagai
alat
untuk
mempermainkan kebudayaan yang lebih dominan atau kekuasaan kolonial atau kekuasaan yang ditinggalkan oleh penjajah. Dipandang dari segi pascakolonial, cerita rakyat Rawa Pening yang lalu mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi, dan budaya masa kini yang terus menerus dan ditambah dengan adanya peninggalan kebudayaan penjajah. Dampak peninggalan kolonial adalah oposisi biner, baik dari segi pemikiran maupun budaya. Ada beragam penjelasan bagaimana cerita rakyat Rawa Pening selama ini berfungsi dalam hidup masyarakat. Cerita rakyat Rawa Pening berperan pula dalam siasat kebudayaan masyarakat yang kemudian mempengaruhi berbagai segi bidang kehidupan, dari budaya, politik hingga ekonomi saat ini. Penelitian ini memaparkan secara khusus bagaimana reaksi masyarakat pemilik cerita rakyat Rawa Pening mengkaji ulang pembudayaan yang diberlakukan oleh kaum dominan. Reaksi terhadap sesuatu yang ditata oleh kaum dominan yang awalnya beku dan kaku menjadi sesuatu yang dinamis dan cair melalui simbol-simbol kebudayaan masyarakat yang terdapat dalam cerita rakyat Rawa Pening. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa cerita rakyat Rawa Pening memang dipinggirkan. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini diberi judul Cerita Rakyat Rawa Pening: Kajian Pascakolonial karena diasumsikan bahwa cerita rakyat Rawa Pening mengandung wacana pascakolonial dan siasat kebudayaan yang
7
memengaruhi berbagai segi kehidupan masyarakat Semarang terutama masyarakat sekitar waduk Rawa Pening sampai saat ini. B. Pembatasan Masalah Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk wacana pascakolonial dan siasat masyarakat pemilik cerita rakyat Rawa Pening dalam kebudayaan Jawa. Melalui analisis cerita rakyat Rawa Pening asal Kabupaten Semarang, Jawa, dapat diketahui bentuk-bentuk wacana pascakolonial dan Siasat masyarakat pemilik cerita rakyat Rawa Pening dalam kebudayaan Jawa. Secara lebih rinci, pembatasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Bentuk-bentuk wacana pascakolonial yang terdapat dalam cerita rakyat Rawa Pening. 2. Siasat masyarakat pemilik cerita rakyat Rawa Pening dalam kebudayaan Jawa. C. Perumusan Masalah Atas dasar latar belakang masalah, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut 1. Apa saja bentuk-bentuk wacana pascakolonial yang terdapat dalam cerita rakyat Rawa Pening? 2. Bagaimana siasat masyarakat pemilik cerita rakyat Rawa Pening dalam kebudayaan Jawa? D. Tujuan Pembahasan 1. Mengetahui dan menemukan bentuk-bentuk wacana pascakolonial yang terdapat dalam cerita rakyat Rawa Pening. 2. Mengetahui dan menemukan siasat masyarakat pemilik cerita rakyat Rawa Pening dalam kebudayaan Jawa.
8
E. Manfaat Penelitian Suatu penelitian harus mempunyai manfaat yang dapat diambil oleh pembacanya. Dilihat dari segi kemanfaatan, penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis. a. Manfaat Teoretis 1. Penelitian ini ingin menyelamatkan cerita rakyat Rawa Pening. 2. Penelitian ini mendekontruksi atau mengkaji ulang cerita rakyat Rawa Pening. 3. Penelitian ini melihat cerita rakyat bukan hanya sekadar media pengajaran moralitas masyarakat kebudayaan, melainkan cerita rakyat juga berperan sebagai siasat kebudayaan rakyat. b. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini mengajak pembaca untuk mengenal kembali cerita rakyat Rawa Pening, mengetahui kandungan dalam cerita rakyat Rawa Pening, dan memahami asal-usul kebudayaan Jawa melalui simbol-simbol. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut. Bab I pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembahasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan. Berbagai hal tersebut akan menjadi langkah awal bagi peneliti untuk menentukan arah penelitian agar diperoleh analisis yang spesifik sesuai tujuan penelitian. Bab II kajian pustaka dan kerangka pikir. Kajian pustaka meliputi kajian studi terdahulu tentang penelitian yang sejenis yang berhubungan dengan objek kajian cerita rakyat Rawa Pening. Kerangka pikir untuk menyelesaikan dan
9
mengupas permasalahan yang ada dengan menggunakan teori yang sesuai, yaitu teori pascakolonial. Bab III metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, objek penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV analisis data. Dari analisis data ini akan didapatkan hasil penelitian yang akan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam bab pertama. Melalui analisis ini akan didapatkan pendalaman pembahasan yang terperinci dan ilmiah sesuai dengan arah pembahasan penelitian. Analisis data akan semakin membuka pemahaman dan pengetahuan ilmiah mengenai permasalahan yang dihadapi peneliti. Analisis berisi tentang bentuk-bentuk wacana pascakolonial dan siasat masyarakat pemilik cerita rakyat Rawa Pening dalam kebudayaan Jawa dengan teori pascakolonial, sehingga diperoleh makna yang disampaikan dalam cerita rakyat Rawa Pening ini. Bab V Penutup berisi tentang simpulan dan saran. Simpulan merupakan hasil temuan peneltian dan merupakan jawaban dari rumusan masalah. Saran berisi tentang masukan yang diberikan oleh peneliti berdasarkan analisis data. Sebagai pertanggungjawaban ilmiah, penelitian ini dilengkapi dengan buku-buku referensi yang tercantum dalam daftar pustaka dan lampiran berupa hasil wawancara peneliti dengan Ki Harsono Baru Klinting dan berita mengenai pertunjukan sendratari Baru Klinting.