BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan menjadi hak setiap anak. Pendidikan menjadi salah satu aspek penting dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak normal (siswa reguler), akan tetapi, pendidikan juga dibutuhkan oleh siswa berkebutuhan khusus. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 237 juta jiwa penduduk Indonesia, jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah (5-18 tahun) ada 355.859 anak (kompas.com, 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa berkebutuhan khusus juga membutuhkan suatu perhatian khusus. Sesuai dengan Deklarasi Universal tentang hak asasi manusia tahun 1949, kesamaan kepentingan adalah hak anak untuk tidak didiskriminasikan, dinyatakan dalam pasal 2 dari Konvensi tentang hak anak (Rudiyati, 2011). Siswa reguler pada umumnya mendapatkan pelayanan pendidikan yang sama dikarenakan kemampuan siswa reguler dalam menerima materi pendidikan dianggap relatif sama. Berbeda halnya dengan siswa berkebutuhan khusus yang tidak dapat mengikuti pelayanan pendidikan secara reguler tersebut, siswa berkebutuhan khusus memerlukan suatu pelayanan pendidikan khusus guna tercapainya pendidikan yang optimal. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang karena sesuatu hal mengalami penyimpangan intelektual, fisik, sosial, dan
1
2
atau emosional sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan normal anak (Rudiyati, 2011). Dalam rangka menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar dan memberikan kesempatan bagi semua termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengupayakan berbagai model penyelenggaraan pendidikan. Salah satu di antaranya adalah dengan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi tersebut digunakan sebagai salah satu hak pendidikan bagi setiap anak. Hal tersebut sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Serta tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 5, maka pendidikan di Indonesia tidak membeda-bedakan agama, etnis, suku bangsa, ras, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya. Peraturan tentang pendidikan khusus juga tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 32 bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/ atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Smith, (2006) menjelaskan bahwa inklusi dapat berarti tujuan pendidikan bagi siswa yang memiliki hambatan, dengan keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial, dan konsep diri (visi-misi) sekolah. Pendidikan inklusi merupakan inti dari hak asasi manusia untuk memperoleh pendidikan. Konsekuensi logis dari
3
hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima jenis pendidikan yang tidak mendiskriminasikan pada latar dari ketidakmampuan, etnik, agama, bahasa, jender, kapabilitas, budaya, dan kondisi lain (Unesco dalam Rudiyati, 2011). Sekolah inklusi adalah sekolah yang mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, atau kondisi lain mereka. Hal ini termasuk anak berkelainan atau anak berkebutuhan khusus. Salah satu bentuk nyata pemerintah Surakarta untuk mendukung pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah dicanangkannya “Solo Kota Inklusi” oleh Walikota Surakarta. Ini berarti seluruh sekolah di Solo tidak boleh diskriminatif terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Menurut Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PPKLK), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berhubungan dengan pencanangan Solo Kota Inklusi menerangkan, tujuan pengembangan sekolah inklusi adalah untuk mendekatkan anak-anak berkebutuhan khusus (www.pikiran-rakyat.com). Dalam sekolah inklusi terdapat interaksi antara siswa reguler dan siswa dengan berkebutuhan khusus. Dalam interaksi tersebut, potensi adanya konflik dapat terjadi akibat dari perbedaan fisik atau mental dari siswa berkebutuhan khusus. Konflik dapat terjadi sebagai akibat dari kurangnya pemahaman dan penerimaan siswa reguler terhadap anak berkebutuhan khusus, sehingga dapat menimbulkan reaksi negatif seperti melecehkan, intimidasi atau bullying terhadap siswa berkebutuhan khusus. Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, yaitu pada usia 6 sampai 12 tahun, individu mulai mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan
4
berbagai cara, sehingga dapat terjadi penerimaan atau penolakan terhadap teman mereka (Desmita, 2005). Anak berkebutuhan khusus dapat berpotensi mengalami penolakan karena perbedaan fisik atau mental mereka dibanding anak normal. Banyak contoh bullying atau tindakan intimidasi yang terjadi pada anak berkebutuhan khusus. Para peneliti dari Kennedy Krieger Institute di Baltimore dan Universitas Johns Hopkins melakukan survey terhadap 1.200 orangtua yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autisme, dan menemukan 63% anakanak telah mengalami bullying. Survei ini dilakukan oleh Kennedy Krieger Institute dalam sebuah Jaringan Autisme Interaktif, yaitu penelitian autisme online terbesar di Amerika Serikat. Survei ini melaporkan temuan menarik lainnya bahwa sekitar 50% anak autis kemungkinan mengalami bullying di sekolah inklusi, dibandingkan bila mereka masuk dalam sekolah pendidikan khusus. Bullying paling buruk terjadi saat anak autistik memasuki kelas 5 hingga 8 di sekolah inklusi. Sebanyak 49% anak autistik menilai diri mereka telah diintimidasi (Okezone.com, 2012). Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Yuwani (2011), dengan judul Gambaran Perilaku Bullying Siswa Reguler Terhadap Siswa Disleksia di Sekolah Inklusi X, menemukan adanya kasus bullying berupa bullying fisik, bullying non fisik (verbal), dan bullying psikologis yang terjadi pada siswa disleksia sekolah tersebut. Penyebab utama subjek melakukan tindakan bullying pada siswa disleksia adalah persepsi yang buruk terhadap gejala yang dimiliki oleh siswa disleksia. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hadjar (2010) dengan judul Empati Siswa Reguler terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus di Kelas Inklusi
5
SMP Negeri 18 Malang menunjukkan bahwa, terdapat empati siswa reguler yang berklasifikasi rendah sebanyak 42 siswa dari 97 siswa reguler yang diteliti atau dengan presentase 43,3%. Dalam penelitian tersebut 41,2% menunjukkan adanya perasaan kurang peka terhadap siswa berkebutuhan khusus. Kurangnya perasaan peka dan persepsi yang buruk pada siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus dapat menimbulkan reaksi negatif dan berpotensi konflik apabila hanya dibiarkan saja. Kasus terhadap siswa berkebutuhan khusus juga terjadi di salah satu sekolah dasar (SD) yang mencanangkan sekolah inklusi yaitu SD Negeri Petoran. Dari hasil wawancara dengan guru pembimbing khusus di sekolah inklusi tersebut pada bulan Juni 2014 dapat diketahui bahwa setiap kelas terdapat satu hingga dua siswa berkebutuhan khusus. Pada salah satu kelas terdapat siswa berkebutuhan khusus yaitu siswa yang mengalami ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder) yang bisa disebut dengan siswa X yang kurang diterima oleh temantemannya. Beberapa temannya tidak bersedia untuk meminjamkan alat tulis atau barang lain terhadap siswa X tersebut karena kekhawatiran yang berlebihan dari teman-temannya. Akibat dari perilaku hiperaktif dari siswa X tersebut yang berbeda dari anak lainnya membuat siswa tersebut kurang mendapat tempat diantara teman-temannya, seperti misal tidak diajak untuk bermain bersama. Kasus lain adalah siswa Y yang mengalami hambatan gangguan berkesulitan belajar. Siswa Y tersebut cenderung pendiam dan tidak mudah bersosialisasi. Menurut keterangan guru pembimbing khusus, siswa tersebut tidak mudah berbaur dengan teman-temannya, bisa saja akibat dari kekhawatiran tidak dapat
6
diterima oleh teman-teman lainnya karena pernah merasa diolok-olok akibat kemampuan belajarnya. Meskipun tidak semua teman-temannya melakukan tersebut, perilaku penolakan terhadap siswa berkebutuhan khusus adalah bentuk reaksi negatif yang harus dihindari. Oleh karena itu untuk mencegah adanya reaksi negatif terhadap anak berkebutuhan khusus, maka perlu dikembangkan sikap empati pada siswa reguler. Diharapkan dengan mengembangkan sikap empati pada siswa reguler, maka siswa berkebutuhan khusus dapat hidup berdampingan tanpa adanya rasa khawatir akibat penolakan dari anak-anak normal. Dengan empati berarti individu mampu menumbuhkan sikap peka dan peduli pada orang lain, serta memiliki kontribusi dalam perilaku prososial (Eisenberg dalam Taufik, 2012). Empati juga sangat penting sebagai mediator perilaku agresif (Fesbach, dalam Taufik, 2012). Empati dapat diartikan sebagai kemampuan menempatkan diri dalam perasaan atau pikiran orang lain, tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan ataupun tanggapan orang itu (Hoffman, dkk dalam Tjahyono, 1986). Empati ini terutama berguna dalam pemahaman terhadap orang lain, dan juga dalam usaha untuk menyesuaikan diri (Lugo dan Hershey dalam Tjahyono, 1986). Goleman, (1995) mengungkapkan bahwa akar moralitas ada dalam empati. Empati merupakan inti emosi moral yang mengandung nilai kasih sayang, kepedulian, kepekaan, penghormatan, penghargaan dan kejujuran (Borba,2001). Empati membuat anak menghargai keberadaan orang lain, peduli dan peka pada kebutuhan, perasaan, serta kesusahan orang lain sehingga mencegah anak melakukan tindakan yang dapat melukai orang lain.
7
Hoffman (dalam Borba, 2001) menjelaskan pada tahap usia 10 sampai 12 tahun anak mengalami tahap empati abstrak. Pada tahap ini seorang anak mampu memahami perasaan orang lain meskipun tidak pernah merasakan penderitaan yang sama seperti orang lain. Pada tahapan usia 10 sampai 12 tahun anak menegembangkan orientasi empati pada orang yang kurang beruntung, misal; fakir miskin, orang yang memiliki disabilitas, dan terkucil dalam masyarakat (Damon, dalam Santrock 2007). Selain itu menurut tahap perkembangan Selman, dalam tahap pengambilan perspektif pada rentang usia tersebut anak telah mampu saling menempatkan diri sendiri di tempat orang lain, sehingga anak dapat menilai maksud, tujuan, dan tindakan orang lain serta anak mampu menyadari bahwa baik diri sendiri maupun orang lain dapat memandang satu sama lain secara timbal balik dan secara serentak sebagai subjek (Santrock, 2007). Damon (dalam Santrock, 2007) menjelaskan bahwa empati dapat dikatakan sebagai kemampuan bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon emosional yang mirip dengan perasaan orang lain tersebut. Anak yang berhasil menumbuhkan empati dalam dirinya dapat merasakan perasaan orang lain dan mampu memberikan respon yang sesuai. Empati muncul secara alamiah sejak usia dini, anak-anak lahir dengan membawa sifat yang besar manfaatnya bagi perkembangan moral. Namun, tak ada jaminan bahwa kelak kapasitas untuk bisa memahami perasaan orang bisa berkembang baik. Meskipun anak-anak lahir dengan kapasitas berempati, empati perlu tetap ditumbuhkan, karena apabila tidak, tak akan berkembang (Borba, 2001).
8
Penelitian Stotland (dalam Borba, 2001) menemukan bahwa empati dapat ditumbuhkan dengan mendorong anak membayangkan apa yang dirasakan orang lain atau menempatkan diri pada posisi orang tersebut. Salah satu langkah mengembangkan empati menurut Borba (2001) adalah dengan memahami sudut pandang orang lain. Apabila individu telah mampu memahami dirinya dan mampu memahami orang lain, diharapkan individu mampu untuk mengembangkan sikap empatinya terhadap orang lain. Salah satu cara untuk dapat memahami sudut pandang orang lain dan membayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain adalah dengan cara mempraktekkan peran tersebut secara langsung melalui metode bermain peran. Sehingga individu dapat lebih memahaminya dibandingkan apabila hanya dengan menggunakan metode ceramah. Corsini (1981) mendefinisikan bermain peran sebagai praktek atau latihan keterampilan perilaku untuk penggunaan dalam kehidupan nyata. Beberapa penelitian mendukung nilai bermain peran untuk mempengaruhi perilaku serta perubahan sikap. Beberapa faktor peningkatan dalam memainkan peran telah diidentifikasi, yang membuat belajar melalui bermain peran lebih membuat efek belajar tersebut tahan lama. Peningkatan ini meliputi partisipasi pemilihan oleh pemain peran, pemain peran bertanggung jawab pada perilaku atau sikap yang berlaku, penetapan improvisasi pemain peran, dan penguatan pemain peran mengikuti penetapan tersebut. Penelitian telah menunjukkan efektivitas bermain peran dalam pelatihan sikap dan perilaku seperti penegasan, empati, penilaian moral, dan berbagai keterampilan interpersonal (Corsini, 1981).
9
Bennet (dalam Romlah, 1989) mengungkapkan bermain peran adalah suatu alat belajar untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dan pengertian-pengertian
mengenai
hubungan
antar
manusia
dengan
jalan
memerankan situasi-situasi yang paralel dengan yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya. Bermain peran merupakan sebuah teknik khusus yang berguna dalam membantu siswa di sekolah untuk meningkatkan pemahaman sosial dan keterampilan hubungan sosial mereka (Gronlund dalam Zachariah & Moreno, 2006). Bermain peran tidak hanya dipandang sebagai prosedur psikologis. Bermain peran telah digunakan sebagai bagian dari banyak berbagai jenis terapi, hal tersebut karena bermain peran merupakan suatu sarana alami untuk belajar (Blatner dalam Zachariah & Moreno, 2006). Pandangan tersebut mendukung ketepatan bermain peran sebagai sarana untuk menangani isu-isu sosial di sekolah. Bermain peran sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Dari latihan memainkan suatu peran, anak belajar memandang situasi dari kerangka acuan (frame of reference) orang yang ditiru dalam permainannya. Hal ini membantu anak mengembangkan wawasan sosial dan wawasan diri (Hurlock,1978). Kelebihan dari bermain peran adalah dapat memfasilitasi anak untuk berkembang karena dalam bermain peran anak didorong untuk terlibat secara aktif, diberi kebebasan untuk memilih, mengeksplorasi diri dan pengalaman, serta mengaktualisasikan pikirannya dalam bentuk tindakan. Saat bermain peran anak-anak dituntut untuk merasakan (feel), berfikir (think) dan kemudian bertindak (action) yaitu untuk membuat keputusan dari berbagai sudut kemungkinan (Shaftel & Shaftel, 1982). Bermain peran adalah metode pemecahan
10
masalah dalam kelompok yang memungkinkan anak untuk menggali masalah manusia, direspon secara spontan, dan diikuti dengan diskusi terarah. Bermain peran akan membuat anak memahami perannya dalam lingkungan sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkungan permainan sehingga keterampilan sosial anak dapat berkembang (Zachariah & Moreno, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Zachariah dan Moreno, menyebutkan bahwa drama ternyata mampu menumbuhkan kepedulian siswa dan telah digunakan di Amerika dan sebagai metode untuk mengajarkan kedamaian bagi para murid sekolah dasar. Analisis hasil dari bermain peran dalam penelitian Zachariah dan Moreno (2006), menunjukkan bahwa setelah dilakukan intervensi bermain peran ternyata anak mampu membuat solusi damai dari konflik akibat perbedaan dalam kelas, yang merupakan wujud dari timbulnya rasa empati yang muncul dalam permainan peran. Sehingga diharapkan dengan metode bermain peran tersebut dapat meningkatkan rasa empati siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus di sekolah. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa sekolah inklusi merupakan sekolah yang menggabungkan siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus dalam satu kelas, yang biasanya disebut dengan kelas inklusi. Salah satu sekolah inklusi di Surakarta adalah Sekolah Dasar Negeri Petoran Surakarta, dimana setiap kelas di sekolah tersebut terdapat satu hingga dua siswa berkebutuhan khusus. Dalam prosesnya, terdapat interaksi antara siswa reguler dengan siswa berkebutuhan khusus. Dalam interaksi tersebut dapat berpotensi terjadinya konflik atau reaksi negatif siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan
11
khusus. Maka, diperlukan adanya pengembangan empati bagi siswa reguler untuk dapat memahami dan merasakan emosi siswa berkebutuhan khusus agar siswa reguler tidak melakukan reaksi negatif terhadap siswa berkebutuhan khusus yang berbeda secara psikis dan mental dari dirinya. Salah satu bentuk untuk dapat memahami dan mampu merasakan perasan orang lain adalah dengan cara bermain peran. Pada tahap usia 10 sampai 12 tahun anak mengalami tahapan empati abstrak. Pada usia tersebut dari hasil survei dan wawancara di sekolah, anak berada pada jenjang pendidikan kelas 4-5 sekolah dasar. Oleh karena itu peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Bermain Peran Terhadap Peningkatan Empati Pada Siswa Reguler Kelas Inklusi Kelas 4 Dan 5 Sekolah Dasar Negeri Petoran Surakarta”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh bermain peran terhadap peningkatan empati pada siswa reguler sekolah dasar kelas inklusi kelas 4 dan 5 Sekolah Dasar Negeri Petoran Surakarta?”.
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bermain peran terhadap peningkatan empati pada siswa reguler sekolah dasar kelas inklusi kelas 4 dan 5 Sekolah Dasar Negeri Petoran Surakarta.
12
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan. 2. Manfaat praktis a. Untuk anak didik Penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan sikap empati anak terhadap orang lain. b. Untuk pendidik Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu tehnik bagi pendidik untuk mengembangkan kemampuan empati.