BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tubuh memiliki berbagai bentuk pertahanan terhadap zat asing, salah satunya melalui batuk. Batuk merupakan mekanisme fisiologis normal dimana hal ini adalah salah satu cara tubuh untuk membersihkan saluran pernapasan dari mukus atau benda asing yang masuk. Meskipun demikian, batuk menjadi salah satu keluhan klinis yang paling banyak membawa pasien mencari pertolongan medis. Menurut Setyanto (2004), gangguan yang paling sering adalah kelelahan, insomnia, suara serak, nyeri otot dan tulang, berkeringat, dan inkontinensia urin (ketidakmampuan mengontrol keluarnya urin). Pada keadaan normal, mukus membantu perlindungan paru-paru dalam sistem pernapasan manusia dengan menjebak partikel asing yang masuk selama proses pernapasan normal. Mukus juga membantu melembapkan udara yang dihirup dan mencegah jaringan seperti trakea dan epitel saluran napas dari kekeringan. Adanya mukus di tenggorokan dan/atau trakea merupakan hal yang normal, namun peningkatan kuantitasnya pada batuk berdahak dapat menghambat pernapasan yang nyaman. Produksi mukus yang berlebihan dapat disebabkan oleh adanya inflamasi pada saluran pernapasan (Koffuor dkk., 2014). Hal ini melibatkan berbagai sitokin pro-inflamasi yang mana menurut sejumlah penelitian sitokin-sitokin tersebut berperan dalam produksi dan sekresi mukus.
1
2
Kelebihan mukus biasanya dikeluarkan dengan bantuan agen mukolitik atau ekspektoran. Menurut Adams dkk. (2013), ekspektoran meningkatkan sekresi bronkial dan mukolitik membantu mengurangi kekentalan sekresi bronkial. Ekspektoran mengurangi ketebalan sekresi bronkial sehingga memudahkan aliran mukus keluar melalui batuk; sementara mukolitik memecah struktur kimia molekul mukus, membuat lendir encer dan dapat dikeluarkan lebih mudah melalui batuk. Selain itu, over produksi mukus dapat ditekan dengan mucosuppressant. Agen ini bekerja mengurangi sekresi mukus sehingga berpotensi meningkatkan clearance pada jalan napas dan dengan demikian membantu proses pernapasan yang normal dan nyaman (Koffuor dkk., 2014). Industri obat di Indonesia telah banyak memproduksi obat pereda batuk berdahak dengan berbagai sediaan dan variasi komposisi zat aktifnya. Sebagian besar obat batuk berdahak yang beredar di Indonesia mengandung zat aktif berupa senyawa sintetik, seperti bromheksin, ambroksol, amonium klorida dan gliseril guaiakolat. Bahan-bahan ini dapat menimbulkan efek samping yang kurang menguntungkan. Bromheksin jika diberikan secara oral menyebabkan mual dan peningkatan transaminase serum serta sebaiknya digunakan hati-hati pada pasien tukak lambung (Arif & Sjamsudin, 1995). Amonium klorida apabila digunakan dengan dosis besar dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan insufisiensi hati, ginjal, dan paru-paru (Arif & Sjamsudin, 1995). Gliseril guaiakolat menimbulkan efek samping berupa kantuk, mual, dan muntah pada dosis besar (Arif & Sjamsudin, 1995). Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi batuk berdahak adalah
3
menggunakan bahan alam karena relatif lebih aman dibandingkan obat konvensional. Indonesia merupakan negara yang kaya akan aneka ragam tumbuhan obat. Masyarakat sudah sejak lama memanfaatkan tumbuh-tumbuhan secara empiris untuk mengatasi masalah batuk berdahak. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahan alam berkhasiat tersebut dapat diformulasikan menjadi bentuk sediaan tertentu sehingga lebih mudah dikonsumsi oleh masyarakat luas. Salah satu produk obat batuk berdahak yang terbuat dari bahan alam adalah Produk OB. Produk OB merupakan produk sirup herbal pereda batuk yang diproduksi oleh PT. Deltomed Laboratories. Produk ini terbuat dari kombinasi 7 ekstrak tumbuhan yang masing-masing telah terbukti secara empiris maupun ilmiah memiliki khasiat meredakan batuk. Komposisi tersebut adalah ekstrak rimpang jahe (Zingiberis Rhizoma), rimpang kencur (Kaempferiae Rhizoma), buah jeruk nipis (Citrus Aurantifolii Fructus), herba timi (Thymi Herba), daun mint (Menthae Folia), biji pala (Myristicae Semen) dan akar manis (Licorice) serta ditambah dengan madu. Produk OB diindikasikan untuk meredakan batuk karena alergi debu, perubahan cuaca atau batuk karena masuk angin. Berdasarkan penelitian terdahulu, dapat diketahui bahwa bahan-bahan yang terkandung dalam Produk OB dapat mempengaruhi tingkat sekresi mukus. Ekstrak rimpang jahe, rimpang kencur dan akar manis memiliki aktivitas antiinflamasi sehingga berpotensi mengurangi sekresi mukus. Buah jeruk nipis, herba timi dan daun mint bersifat sebagai ekspektoran yang dapat meningkatkan sekresi
4
mukus sehingga mudah dikeluarkan melalui batuk. Sejauh ini, belum pernah dilakukan penelitian mengenai efek Produk OB terhadap tingkat sekresi mukus secara in vivo. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan diuji efek Produk OB terhadap tingkat sekresi mukus pada trakea mencit yang terinduksi amonium klorida.
B. Rumusan Masalah Bagaimana efek pemberian Produk OB terhadap tingkat sekresi mukus pada trakea mencit yang terinduksi amonium klorida?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian Produk OB terhadap tingkat sekresi mukus pada trakea mencit yang terinduksi amonium klorida.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk menelusuri mekanisme aksi farmakologis Produk OB dalam mengobati batuk. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru kepada masyarakat terkait khasiat/efek Produk OB dalam mengobati batuk berdahak.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Batuk 1.1 Definisi Batuk adalah pengeluaran sejumlah volume udara secara mendadak dari rongga toraks melalui epiglotis dan mulut (Setyanto, 2004). Batuk merupakan suatu mekanisme refleks pertahanan tubuh yang bertujuan membersihkan laring, trakea, dan bronkus dari sekret seperti lendir, zat berbahaya, partikel asing, dan organisme penyebab infeksi (Kian & Pavord, 2008). Batuk juga bisa menjadi tanda peringatan penyakit, dan membuat pasien mencari bantuan medis yang mengarah pada diagnosis (Kian & Pavord, 2008). 1.2 Etiologi Refleks batuk dapat timbul akibat radang (infeksi saluran pernapasan), alergi (asma), sebab-sebab mekanis (asap rokok, debu, tumor paru-paru), perubahan suhu yang mendadak, dan rangsangan kimiawi (gas, bau). Batuk terutama disebabkan oleh infeksi virus, misalnya virus selesma (common cold), influenza, cacar air, dan juga oleh radang pada cabang dan hulu tenggorokan (bronchitis, pharyngitis). Virus-virus ini dapat merusak mukosa saluran pernapasan sehingga menciptakan “pintu masuk” untuk infeksi virus dan kuman, misalnya Pneumococci dan Haemophilus. Penyebab lain dari batuk antara lain peradangan pada paru-paru, tumor dan juga akibat dari suatu efek samping obat (Tan & Rahardja, 2002). Batuk juga merupakan gejala terpenting pada penyakit kanker paru. Penyakit tuberkulosa, di lain pihak, tidak selalu harus disertai batuk, walaupun
6
gejala ini sangat penting. Selanjutnya, batuk adalah gejala lazim pada penyakit tifus dan radang paru (pneumonia), pada dekompensasi jantung, terutama pada manula, begitu pula pada asma dan keadaan psikis. Akhirnya batuk yang tidak sembuh-sembuh dan “batuk darah” (hemoptysis) terutama pada anak-anak dapat pula disebabkan oleh penyakit cacing, misalnya oleh cacing gelang (Ascaris) (Tan & Rahardja, 2002). 1.3 Mekanisme Batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang terdiri dari reseptor batuk, saraf aferen, pusat batuk, saraf eferen, dan efektor. Refleks batuk tidak akan sempurna apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Adanya rangsangan pada reseptor batuk akan dibawa oleh saraf aferen ke pusat batuk yaitu medula untuk diteruskan ke efektor melalui saraf eferen. Reseptor batuk terdapat pada faring, laring, trakea, bronkus, hidung (sinus paranasal), telinga, lambung, dan perikardium sedangkan efektor batuk dapat berupa otot faring, laring, diafragma, interkostal, dan lain-lain (Supriyatno, 2010). Proses batuk terjadi diawali dengan inspirasi maksimal, penutupan glotis, peningkatan tekanan intra toraks lalu glotis terbuka dan dibatukkan secara eksplosif untuk mengeluarkan benda asing yang ada pada saluran respiratorik. Inspirasi diperlukan untuk mendapatkan volume udara sebanyak-banyaknya sehingga terjadi peningkatan tekanan intratorakal. Selanjutnya terjadi penutupan glotis yang bertujuan mempertahankan volume paru pada saat tekanan intratorakal besar. Pada fase ini terjadi kontraksi otot ekspirasi karena pemendekan otot ekspirasi sehingga selain tekanan intratorakal tinggi tekanan
7
intraabdomen pun tinggi. Setelah tekanan intratorakal dan intraabdomen meningkat maka glotis akan terbuka yang menyebabkan terjadinya ekspirasi yang cepat, singkat, dan kuat sehingga terjadi pembersihan bahan-bahan yang tidak diperlukan seperti mukus dan lain-lain. Setelah fase tersebut maka otot respiratorik akan relaksasi yang dapat berlangsung singkat atau lama tergantung dari jenis batuknya. Apabila diperlukan batuk kembali maka fase relaksasi berlangsung singkat untuk persiapan batuk (Supriyatno, 2010). 1.4 Klasifikasi Menurut Tan & Rahardja (2002), dapat dibedakan 2 jenis batuk yakni batuk produktif (dengan dahak) dan batuk non-produktif (kering). a. Batuk produktif merupakan suatu mekanisme perlindungan dengan fungsi mengeluarkan zat-zat asing (kuman debu, dan sebagainya) dan dahak dari batang tenggorok. Batuk ini pada hakikatnya tidak boleh ditekan oleh obat pereda. Tetapi dalam praktik seringkali batuk yang hebat mengganggu tidur dan melelahkan pasien, ataupun berbahaya, misalnya setelah pembedahan. b. Batuk non-produktif bersifat “kering” tanpa adanya dahak, misalnya pada batuk
rejan (pertussis, kinkhoest), atau juga karena pengeluarannya
memang tidak mungkin, seperti pada tumor. Batuk ini tidak ada manfatnya, maka haruslah dihentikan. Berdasarkan durasinya, batuk terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu batuk akut, sub-akut, dan kronik. Batas akut adalah kurang dari 3 minggu, subakut antara 3-8 minggu, dan kronik 8 minggu atau lebih (Irwin & Madison, 2000).
8
2. Obat Batuk Obat yang digunakan untuk mengobati penyakit batuk disebut antitusif. Pada umumnya obat batuk mengandung satu atau lebih komponen berikut, yaitu ekspektoran (berkhasiat untuk memudahkan mengeluarkan dahak melalui refleks batuk) dan antihistamin (zat yang mencegah atau meredam aksi alergi). Adapula pabrik farmasi yang menambahkan antitusif (zat peredam batuk), mukolitik (pengencer dahak yang kental), dan surfaktan (bahan pencegah melekatnya dahak pada dinding saluran pernapasan serta diharapkan dapat memperlancar pengeluaran dahak melalui refleks batuk) (Danusantoso, 2001). Menurut Sartono (1993), obat batuk dapat dibagi kedalam tiga golongan berdasarkan daya kerjanya, yaitu yang menekan batuk, sebagai ekspektoran, dan mukolitik. a. Obat Penekan Batuk Obat yang menekan batuk dibagi atas obat batuk yang bekerja diperifer dan obat batuk yang bekerja secara sentral. Obat batuk yang bekerja diperifer, menekan batuk dengan mengurangi iritasi lokal pada saluran pernapasan dengan cara anestesi langsung atau tidak langsung mempengaruhi lendir saluran pernapasan. Dari golongan obat yang menekan batuk, antara lain bensokain, bensilalkohol, dan garam fenol yang digunakan dalam bentuk tablet isap (lozenge). Obat-obat ini hanya sedikit manfaatnya untuk mengatasi batuk karena gangguan pada saluran pernapasan bagian bawah. Obat penekan batuk yang bekerja secara sentral, bekerja menekan batuk dengan cara meningkatkan ambang batas rangsang yang dibutuhkan untuk merangsang pusat batuk. Dari
9
golongan obat yang menekan batuk secara sentral dibagi dua golongan, yaitu narkotik dan non-narkotik. Dari golongan non-narkotik yang dijual bebas antara lain dekstrometorfan HBr dan noskapin, juga difenhidramin HCl yang sebetulnya termasuk golongan obat antihistaminika. b. Ekspektoran Ekspektoran meningkatkan jumlah cairan sehingga lendir menjadi encer dan juga merangsang pengeluaran lendir dari saluran pernapasan. Obat-obat yang bekerja sebagai ekspektoran antara lain amonium klorida, kalium atau natrium iodida, sukus liquiritae, gliseril guaiakolat, kalium sulfoguaiakolat, minyak anisi, minyak timi, dan bromheksin. Kalium iodida merupakan ekspektoran yang telah lama digunakan dan bekerja secara tidak langsung menurunkan kekentalan lendir. Dengan demikian, lendir akan mudah dikeluarkan. Gliseril guaiakolat, selain sebagai ekspektoran juga memperbaiki pembersihan mukosilier. Sedangkan, Bromheksin HCl, bekerja sebagai ekspektoran dengan meningkatkan jumlah lendir dan mengurangi kekentalannya. Obat yang mengandung Bromheksin hanya bisa didapat dengan resep dokter. c. Mukolitik Mukolitik adalah obat yang digunakan dalam obat batuk yang bekerja dengan cara mengurangi kekentalan lendir. Mukolitik mampu memutus ikatan disulfida dan berpotensi mengurangi viskositas mukus (Rogers, 2007). Air dan larutan garam isotonis juga merupakan obat yang bekerja mukolitik. Obat mukolitik yang biasa digunakan dalam obat batuk ialah asetilsistein dan
10
karboksimetilsistein.
Obat
batuk
yang mengandung asetilsistein atau
karboksimetilsistein, didapat dengan resep dokter. Selain itu, obat batuk juga sering mengandung zat antihistamin. Antihistamin adalah jenis obat batuk yang berfungsi untuk mengobati batuk akibat alergi dan disertai dengan hidung meler (Sholekhudin, 2014). Histamin menghasilkan efeknya dengan cara berikatan pada reseptor histamin pada sel target. Salah satu efek yang dihasilkan yaitu peningkatan sekresi mukus pada saluran napas akibat histamin berikatan pada reseptor H1 (Maintz & Novak, 2007). Antagonis reseptor histamin (H1) dapat menekan batuk dengan bekerja pada reseptor iritan di mukosa bronkial. Aktivitas antagonistik pada reseptor muskarinik yang dimiliki oleh kebanyakan senyawa antagonis H1 akan mengurangi sekresi mukus (Foster, 1986). 3. Produk OB
Gambar 1. Produk OB
Produk OB (gambar 1) merupakan salah satu produk obat batuk yang diproduksi oleh PT. Deltomed Laboratories. Produk ini berupa sediaan sirup yang
11
terbuat dari bahan-bahan alam dengan komposisi tercantum dalam tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Komposisi produk OB tiap 15 ml
Ekstrak
Jumlah
Zingiberis Rhizoma
4,5 g
Kaempferiae Rhizoma
1,5 g
Citrus Aurantifolii Fructus
1,5 g
Thymi Herba
1,5 g
Menthae Folia
0,75 g
Myristicae Semen
0,75 g
Licorice
0,25 g
Dalam madu sampai
15 ml
Produk OB diindikasikan untuk meredakan batuk karena alergi debu, perubahan cuaca atau batuk karena masuk angin. Dosis Produk OB adalah tiga kali sehari satu sendok takar (15 ml) untuk orang dewasa, sedangkan untuk anakanak tiga kali sehari setengah sendok takar (7,5 ml). Produk ini tersedia dalam kemasan botol 60 ml dan 100 ml. 4. Rimpang Jahe Rimpang jahe adalah rimpang kering dari tanaman Zingiber officinale Roscoe (WHO, 1999) dengan morfologi seperti terlihat pada gambar 2. Rimpang jahe mengandung senyawa non-volatil antara lain gingerol, shogaol, paradol dan zingeron (Jolad dkk., 2004). Gingerol, shogaol dan komponen lain dengan
12
struktur serupa pada jahe menghambat biosintesis prostaglandin dan leukotrin melalui supresi enzim 5-lipoxygenase atau prostaglandin sintetase. Senyawasenyawa tersebut juga mampu menghambat sintesis sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, TNF-α, dan IL-8 (Nafiseh dkk., 2013).
Gambar 2. Rimpang jahe (Imtiyaz dkk., 2013)
5. Rimpang Kencur Kencur (Kaempferia galanga Linn.) merupakan herba berbatang pendek dalam famili Zingiberaceae. Rimpang kencur (gambar 3) berwarna coklat, berbentuk jari dan tumpul, serta bagian luarnya seperti bersisik (Ayustaningwarno dkk., 2014). Konstituen rimpang kencur yaitu sineol, borneol, 3-Carene, camphene, kaempferol, kaempferide, sinamaldehid, asam p-metoksisinamat, etil sinamat, dan etil p-metoksisinamat (Aroonrerk & Kamkaen, 2009).
Gambar 3. Rimpang kencur (Singh dkk., 2013)
13
Rimpang kencur memiliki aktivitas anti-PGE2 serta penghambatan pada produksi IL-6 (Aroonrerk & Kamkaen, 2009). Etil p-metoksisinamat (EPMC) yang merupakan komponen aktif utama rimpang kencur menghambat kadar IL-1, TNF-α, dan Nitrite Oxide (NO) di dalam makrofag. Hal ini menunjukkan bahwa etil p-metoksisinamat memberikan efek anti-inflamasi dengan menekan kemampuan makrofag untuk memproduksi mediator pro-inflamasi (Umar dkk., 2014). Penelitian lain menunjukkan EPMC menghambat kedua fase udema yang diinduksi karagenan secara signifikan yang mengimplikasikan bahwa ekstrak dan fraksi EPMC dari rimpang kencur dapat menghambat histamin, kinin serta prostaglandin untuk menghasilkan efek anti-inflamasi (Umar dkk., 2012). 6. Buah Jeruk Nipis Jeruk nipis (Citrus aurantifolia S.) termasuk salah satu jenis Citrus Geruk. Buah jeruk nipis (gambar 4) berbentuk bulat sebesar bola pingpong dengan diameter 2,5-5 cm. Buah jeruk nipis berkulit tipis tanpa benjolan dan permukaan licin.
Gambar 4. Buah jeruk nipis (Mustafa, 2015)
Jeruk nipis mengandung asam sitrat sebnyak 7-7,6% (Hariana, 2006), zat asam amino (triptofan dan lisin), sitral, limonen, fellandren, lemon kamfer,
14
kadimen, geranil asetat, linalin asetat, aktilaldehid dan nonildehid (Nugroho, 2006). Setiap 100 g jeruk nipis mengandung 86,0 g air, 0,8 g protein, 0,3 g lemak, 12,3 g karbohidrat, 40 mg kalsium, 22 mg fosfor, 0,6 mg zat besi, 0,04 mg vitamin B1, 27 mg vitamin C dan 37 kalori energi (Sarwono, 2006). Jeruk nipis digunakan dalam pengobatan tradisional sebagai penambah nafsu makan, obat flu, batuk dan sakit tenggoroan (Apraj dkk., 2011). Penggunaan jeruk nipis untuk batuk lebih banyak dilakukan secara empiris. 7. Herba Timi Thymus vulgaris (timi) adalah herba botani kecil yang dimiliki oleh famili Lamiaceae. Timi (gambar 5) biasanya tumbuh sebagai sub-semak dengan tinggi 5-30 cm, akarnya berserabut, kecil dan mengandung lignin, daunnya berwarna abu kehijauan dengan tepi yang sempit (Al-Rawi, 1988).
Gambar 5. Herba timi ( H o s s e i n z a d e h
d k k ., 2 0 1 5 )
Timi merupakan salah satu tanaman yang sudah lama digunakan sebagai antibatuk. Timi bertindak sebagai ekspektoran dan agen spasmolitik untuk bronkus (Chizzola dkk., 2008) serta sebagai antitusif (Broucke, 1983). Timol dan karvakrol merupakan senyawa kimia yang bertanggung jawab pada sifat antitusif dan ekspektoran dari timi (Soni, 2012). Timi mengandung seyawa timol dalam
15
jumlah besar yang menunjukkan efek antitusif dan ekspektoran yang cukup kuat (Hosseinzadeh dkk., 2015). 8. Daun Mint Daun mint (Folium Menthae Piperitae) (gambar 6) merupakan daun kering dari Mentha piperita L. Daunnya berwarna hijau hingga hijau kecoklatan. Panjang daun 3-9 cm dan lebar 1-3 cm. Ruas daun menyirip, menonjol di permukaan bawah, dengan urat lateral. Tangkai daun berlekuk, biasanya berdiameter hingga 1 mm dan panjang hingga 1 cm (WHO, 1999).
Gambar 6. Daun mint (Wong & Rusdiansari, 2011)
Konstituen mayor daun mint adalah minyak atsiri (0,5-4%) yang terdiri dari monoterpen mentol (30-55%) dan menton (14-32%) (Edwards dkk., 2015). Minyak atsiri dari mint digunakan sebagai ekspektoran (Peixoto dkk., 2010) serta untuk mengobati kondisi seperti ketidaknyamanan pada saluran pencernaan dan saluran empedu atas, iritasi kolon atau irritable bowel syndrome, mialgia dan neuralgia, serta peradangan mukosa mulut (McKay & Blumberg, 2006). 9. Biji Pala Pala (Myristica fragrans Houtt) adalah tanaman daerah tropis yang memiliki 200 spesies dan seluruhnya tersebar di daerah tropis. Biji pala (gambar 7)
16
berbentuk lonjong sampai bulat, panjangnya berkisar antara 1,5-4,5 cm dengan lebar 1-2,5 cm. (Deptan, 1986).
Gambar 7. Biji pala (Asgarpanah & Kazemivash, 2012)
Pada biji pala terdapat minyak atsiri, minyak lemak, saponin, miristisin, elemisi, enzim lipase, pektin, hars, zat samak, lemonena, dan asam oleanolat (Rahadian, 2009). Biji pala digunakan secara luas sebagai karminatif, stimulan, agen penyedap dan juga digunakan dalam pengobatan rematik (Kokate dkk., 2005). 10.
Akar Manis Akar manis (gambar 8) terdiri dari akar kering dan rimpang dari Glycyrrhiza
glabra L. (WHO, 1999). Akar manis umunya berupa potongan hampir silindris dengan panjang hingga 1 m dan diameter 25 mm. Kulitnya berwarna abu-abu kecoklatan sampai coklat tua dan berkerut. Akar yang telah dikupas berwarna kuning, halus dan berserat (WHO, 1999).
17
Gambar 8. Akar manis (Damle, 2014)
Komposisi kimia akar manis adalah glisirizin, asam glisiretinat dan isoliquiritigenin (Jia, 2003). Dalam bidang medis akar manis paling umum digunakan untuk mengobati penyakit saluran pernapasan atas seperti batuk, suara serak, sakit tenggorokan dan bronkitis (Lakshmi & Geetha, 2011). Asam glisirizat dan liquiritin yang merupakan senyawa bioaktif dari ekstrak akar manis memiliki aktivitas anti-inflamasi melalui penghambatan ekspresi sitokin pro-inflamasi yaitu TNF-α, IL-1β dan IL-6 (Ji-Yeon dkk., 2015). Penelitian lain menunjukkan ekstrak akar manis dan asam glisiretinat menghasilkan aktivitas antiinflamasi yang mirip dengan aktivitas yang dihasilkan oleh natrium diklofenak (Aly dkk., 2005). 11.
Gliseril Guaiakolat Gliseril guaiakolat (GG) merupakan ekspektoran yang secara umum
digunakan dalam praktik klinis (Behera, 2010). GG adalah satu-satunya ekspektoran dianggap efektif oleh Food and Drug Administration (FDA, 1989). GG dapat merangsang jalur kolinergik dan meningkatkan sekresi mukus dari kelenjar submukosa jalan napas (Balsamo dkk., 2010) . Sebagai ekspektoran, GG dapat digunakan sendiri atau sebagai campuran dengan ekspektoran lain atau antitusif (Sjamsudin & Sinto, 1987). Efek sampig yang mungkin timbul berupa
18
kantuk, mual dan muntah (Arif & Sjamsudin, 1995). GG tersedia dalam bentuk tablet 100, 200 dan 400 mg serta sirup 100 mg/5ml. Dosis GG untuk dewasa adalah 100-400 mg per oral tiap 4 jam dan tidak boleh lebih dari 2,4 g / hari (Medscape, 2015). 12.
Ketotifen Ketotifen termasuk dalam derivat sikloheptatiofen dengan sifat antihistamin
yang kuat. Obat ini juga memiliki sifat anti alergi dan anti anafilaksis (Govil & Misra, 1992). Struktur kimia ketotifen ditunjukkan pada gambar 9. Ketotifen telah diperkenalkan dan dipromosikan sebagai obat anti alergi yang efektif secara klinis yang dapat diberikan secara oral (Sarsfield, 1981). Studi eksperimen secara in vitro menunjukkan bahwa ketotifen mampu menghambat pelepasan histamin dan slow reacting substance-A dari sel mast tikus yang diinduksi antigen (Sarsfield, 1981). Aksi menstabilkan sel mast yang dimiliki ketotifen analog dengan natrium kromoglikat (Mustafa dkk., 2012).
Gambar 9. Struktur kimia ketotifen (Govil & Misra, 1992)
Ketotifen diabsorbsi dengan baik setelah pemberial oral, dimetabolisme menjadi ketotifen-N-glukoronida yang tidak aktif dan nor-ketotifen yang aktif
19
secara farmakologi. Klirens plasma obat ini adalah bifasik dengan waktu paro distribusi 3 jam dan waktu paro eliminasi 22 jam pada orang dewasa (Govil & Misra, 1992). Dosis ketotifen untuk orang dewasa adalah dua kali 1 mg per hari. Ketotifen tersedia dalam tablet dan sirup. Tiap tablet mengandung 1 mg ketotifen dan sirup mengandung 1 mg ketotifen per 5 ml (Govil & Misra, 1992). 13.
Amonium Klorida Amonium klorida berbentuk kristal putih, tidak berbau, merupakan garam
dari amonia yang larut dalam air. Bila dilarutkan dalam air akan menjadi sedikit asam karena garam ini berasal dari asam kuat (HCl) dan basa lemah. Rumus kimia amonium klorida adalah NH4Cl, dengan berat molekul 53,491 g/mol. Senyawa ini memiliki titik didih 338°C. Kelarutannya dalam air 297 g/L (0°C), 372 g/L (20 °C), dan 773 g/L (100 °C); sedangkan dalam alkohol 6 g/L (19°C), tidak larut dalam dietil eter, aseton serta hampir tidak larut dalam etil asetat (Anonim, 2005). Dalam pengobatan, amonium klorida digunakan sebagai ekspektoran pada obat batuk, bekerja dengan cara mengiritasi mukosa bronkhial, yang menyebabkan dahak mudah dikeluarkan. Amonium klorida juga digunakan sebagai agen dalam treatment pada alkalosis metabolik. Bila digunakan secara oral dapat digunakan untuk mendiagnosa distal renal tubular acidosis dan untuk mengatur urin pada pH asam dalam beberapa treatment urinary-tract disorders. Amonium klorida juga digunakan sebagai diuretik dalam forced acid diuresis. Dalam makanan amonium klorida digunakan sebagai bahan tambahan makanan dengan kode E510. Pada kue, amonium klorida biasa ditambahkan untuk
20
membuat teksture kue renyah, sedangkan pada minuman vodka dapat berfusi sebagai flavouring agent. Selain itu, amonium klorida juga digunakan di industri shampo, produk pembersih dan baterai (BPOM, 2011). 14.
Phenol Red Phenol red memiliki sinonim Phenolsulfonphthalein. Senyawa ini berupa
padatan berwarna merah hingga merah kecoklatan dengan bobot molekul 354,38 g/mol, titik leleh lebih dari 300°C, dan kelarutan dalam air 1 g / 1300 ml. Phenol red stabil di bawah temperatur dan tekanan normal (Anonim, 2003). Struktur kimia phenol red ditunjukkan pada gambar 10.
Gambar 10. Struktur kimia Phenol Red (Abdullah dkk., 2012)
Phenol red adalah suatu indikator pH yang umumnya digunakan dalam uji biologis. Penelitian dengan menggunakan phenol red diantaranya uji aktivitas ekspektoran suatu senyawa (Engler & Szelenyi, 1984), uji sitotoksisitas nanopartikel karbon (CNPs) (Ying dkk., 2012), dan pengukuran hidrogen peroksida dalam supernatan dari makrofag yang dikulturkan (Pick & Mizel, 1981).
21
15.
Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi
yang memakai sumber radiasi eleltromagnetik ultraviolet dekat (190-380) dan sinar tampak (380-780) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja & Suharman, 1995). Prinsip kerjanya berdasarkan penyerapan cahaya atau energi radiasi oleh suatu larutan (Skoog dkk., 2007). Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang optimum, setiap komponen dari instrumen yang dipakai harus berfungsi dengan baik. Komponen-komponen spektrofotometri UV-Vis meliputi sumber sinar, monokromator, dan sistem optik. a. Sebagai sumber sinar; lampu deuterium atau lampu hidrogen untuk pengukuran UV dan lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel. b. Monokromator; digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam komponenkomponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan instrumen melewati spektrum. c. Optik-optik; dapat didesain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagai mana dalam spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam satu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi (Gandjar & Rohman, 2007)
22
Spektra UV-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Data spektra UV-Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat dan metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektroskopi infra merah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa, maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/analisis kualitatif suatu senyawa tersebut. Data yang diperoleh dari spekstroskopi UV dan Vis adalah panjang gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut yang kesemuanya itu dapat diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan (Gandjar & Rohman, 2007). Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif (Mulja & Suharman, 1995). Analisis kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis mengacu pada hukum Lambert-Beer. Menurut Gandjar & Rohman (2007) dan Day & Underwood (2002), hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan dan berbanding terbalik dengan transmitan. Ada empat cara pelaksanaan analisis kuantitatif zat tunggal yaitu (Mulja & Suharman, 1995): a. Pertama, dengan cara membandingkan absorban atau persen transmitan zat yang dianalisis dengan reference standard pada panjang gelombang maksimal. Persyaratannya pembacaan nilai absorban sampel dan reference standard tidak jauh berbeda.
23
A(RS) . C(S) = A(S) . C(RS) A(S)
= absorban larutan sampel
C(S)
= konsentrasi larutan sampel
A(RS) = absorban reference standard C(RS)
= konsentrasi reference standard
b. Kedua, dengan memakai kurva baku dari larutan reference standard dengan pelarut tertentu pada panjang gelombang maksimum. Dibuat grafik sistem koordinat Cartesian dimana sebagai ordinat adalah absorban dan sebagai absis adalah konsentrasi. c. Ketiga, (
dengan
jalan
menghitung
harga
absorbansi
larutan
sampel
) pada pelarut tertentu dan dibandingkan dengan absorbansi zat
yang dianalisis yang tertera pada buku resmi. d. Keempat, dengan memakai perhitungan nilai ekstingsi molar (absorbansi molar ɛ) sama dengan cara yang ketiga hanya saja pada perhitungan absorbansi molar lebih tepat karena melibatkan massa molekul relatif (MR).
F. Landasan teori Batuk merupakan suatu mekanisme refleks pertahanan tubuh yang bertujuan membersihkan laring, trakea, dan bronkus dari sekret seperti lendir, zat berbahaya, partikel asing, dan organisme penyebab infeksi. Pada batuk produktif terjadi peningkatan sekresi mukus pada saluran pernapasan yang dapat disebabkan oleh adanya inflamasi. Produk OB terbuat dari kombinasi 7 ekstrak tumbuhan yang
24
diformulasikan dalam sediaan sirup dan diindikasikan untuk meredakan batuk karena alergi debu, perubahan cuaca atau batuk karena masuk angin. Berdasarkan penelitian terdahulu, 3 bahan dalam Produk OB yakni rimpang jahe, rimpang kencur dan akar manis diketahui memiliki aktivitas penghambatan mediator inflamasi, seperti histamin dan sitokin yang berperan pada sekresi mukus. Senyawa non-volatil pada rimpang jahe mampu menghambat sintesis sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, TNF-α, dan IL-8. Etil p-metoksisinamat (EPMC) yang merupakan komponen aktif utama rimpang kencur memberikan efek anti-inflamasi dengan menekan kemampuan makrofag untuk memproduksi mediator pro-inflamasi. Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak dan fraksi EPMC dari rimpang kencur dapat menghambat histamin, kinin serta prostaglandin untuk menghasilkan efek anti-inflamasi. Ekstrak akar manis memiliki aktivitas anti-inflamasi melalui penghambatan ekspresi sitokin pro-inflamasi yaitu TNF-α, IL-1β dan IL-6. Selain itu, Produk OB mengandung bahan-bahan yang bersifat sebagai ekspektoran sehingga dapat meningkatkan sekresi mukus. Buah jeruk nipis secara empiris berkhasiat sebagai ekspektoran. Timi merupakan salah satu tanaman yang sudah lama digunakan sebagai antibatuk dengan bertindak sebagai ekspektoran dan agen spasmolitik untuk bronkus. Minyak atsiri daun mint mengandung mentol yang berefek pada peningkatan produksi mukus dan penurunan densitas cairan saluran pernapasan.
25
Berdasarkan komposisi bahan-bahan tersebut, maka diharapkan Produk OB dapat memberikan efek terhadap tingkat sekresi mukus pada saluran pernapasan. Efek yang dihasilkan dapat berupa stimulasi atau penekanan sekresi mukus.
G. Hipotesis Produk OB mampu memberikan efek terhadap tingkat sekresi mukus pada trakea mencit yang terinduksi amonium klorida.