BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan hal yang pasti dilakukan manusia sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan manusia yang tidak hanya berupa hal material tapi juga kebutuhan sosial. Seperti dikatakan Marx, “kerja adalah salah satu ciri yang membedakan manusia dari mahkluk ciptaan lainnya, yang kegiatannya untuk melestarikan hidupnya, sehingga kegitan yang dilakukan makhluk hidup selain manusia tidak dapat disebut kerja seperti kegiatan kerja yang dilakukan manusia” (Suseno, 2010:87-100). Sejalan dengan pengertian kerja tersebut maka usaha memenuhi kebutuhan atau keinginanlah yang menjadikan seseorang bahkan bisa bertahan cukup lama pada suatu pekerjaanya. Bekerja, pulang dan menerima gaji tiap bulanya bukanlah harapan bagi pemilik sebuah lembaga, instansi, tempat kerja atau perusahaan, tapi seseorang harus memperoleh sesuatu hal sebagai pelajaran yang dapat di jadikan pengembangan diri bagi seorang karyawan. Seseorang juga harus memiliki keinginan untuk maju dengan beradanya dia pada sebuah tempat sebagai bagian dari bekerja. Pengalaman yang didapat pastilah akan menjadi pengalaman yang dapat mendidik dirinya sendiri, sehingga seseorang tidak hanya menjadi manusia yang puas karena jasanya dihargai dengan sejumlah gaji yang diterima.
1
Berada di luar zona biasa saja itulah yang seharusnya dimiliki setiap pekerja masa kini. Tuntutan akan keadaan pasar, politik dan sosial yang semakin kompleks, menuntut seorang pekerja tidak hanya merasa nyaman pada posisisnya. Jika halnya hanya demikian maka tidak akan ada harapan bagi sebuah perusahaan bahkan negara untuk dapat berkembang pesat dan maju pada keadaan saat ini. Tidak hanya pada ranah pekerjaan sebagai karyawan pada sebuah perusahaan, dalam hal ini juga dalam ruang ekonomi, tapi juga pada ranah politik seperti pemerintahan. Kualitas diri manusia sangat menentukan bagaimana cara dia bekerja. Keinginan dari dalam diri yang menginginkan diri sendiri untuk dapat maju dan berkembang, sangat menentukan keberhasilannya sebagai seorang pekerja. Tanpa adanya kehendak untuk maju dan berkembang, mustahil seseorang akan memiliki etos kerja dalam diri. Terutama bagi orang-orang dalam pemerintahan yang memiliki andil tidak hanya membangun diri tapi juga negara. Sumber daya manusia dengan etos kerja tinggi tentunya sangat menguntungkan jika berada pada sebuah lembaga negara atau perusahaan, karena kelebihan yang mereka miliki akan mampu meningkatkan produktivitas. Etos kerja merupakan hal yang sangat diharapkan ada terkandung dalam diri manusia. Keberhasilan kemajuan pada sebuah bidang bergantung pada etos kerja sumber daya manusianya. Etos kerja merupakan pendorong suatu keberhasilan pembangunan yang dalam pembangunan tersebut bergantung oleh pengelola-
2
3
pengelolanya baik organisasi atau pemerintah (Mubyarto, 1991: 4). Sejalan dengan anggapan peneliti akan hal tersebut, peneliti akan mencoba mencari faktor apa yang dapat memengaruhi etos kerja seseorang, kemudian dampak apa yang ditimbulkan jika seseorang telah beretos kerja tinggi, selain itu peneliti juga akan melihat hubungan antara kehendak dengan terbentuknya etos kerja dalam diri seseorang. Kehendak sebagai sebuah senjata dalam diri manusia yang mampu mengalahkan ego kemalasan yang menjadikan manusia tidak dapat maju dan berkembang. Kehendak sebagai Will to Power, dilihat oleh peneliti berbeda dengan kehendak secara umum yang merupakan hanya sebuah keinginan yang ada dalam diri seseorang. Bukan merupakan bentuk ego atas keserakahan, tapi kehendak yang dimaksudkan adalah kehendak sebagai motivasi yang membawa manusia berada pada tingkat keunggulan. Kehendak untuk berkuasa (Will to Power) yang peneliti ingin deskripsikan adalah kehendak menurut pemikiran Friedrich Nietzsche. Kehendak dalam filsafat Nietzsche dianggap menarik oleh peneliti karena kehendak yang dimaksudkan Nietzsche bukanlah sebagai kehendak yang bersifat negatif, tapi kehendak ini adalah kehendak untuk menjadikan manusia menjadi manusia yang unggul. Bagi Nietzsche (1967: 8) dalam Thus Spake Zarathutra kehendak tidak hanya memiliki arti dalam pengertian yang sempit namun juga dalam pengertian yang luas. Kehendak tidak hanya berada pada satu segi dan bentuk, tapi juga ada dalam setiap tindakan manusia. Sifat kehendak yang demikianlah yang
4
menjadikan manusia memiliki tempat yang layak dalam lingkunganya. Kehendak inilah yang melandasi kemanusiaan, karena kehendak yang paling tinggi bagi Nietzsche adalah kekuasaan dan kekuasaan identik dengan keunggulan. Bagi Nietzsche manusia yang unggul adalah manusia yang memiliki kekuasaan. Hubungan apa yang ada antara etos kerja dengan kehendak (Will to Power), apakah merupakan faktor pembentuk atau justru sebaliknya, dilihat sebagai hal yang menarik oleh peneliti untuk dianalisis. Hal inilah yang menjadikan peneliti memilih konsep kehendak (Will to Power) dari Filsuf Friedrich Nietzsche sebagai pisau bedah untuk menganalisisnya. Kehendak untuk berkuasa disini, bukanlah sebuah keinginan untuk memiliki jabatan atau posisi disuatu tempat, melainkan sebuah bentuk kekuatan diri seseorang yang mengatasi dirinya sendiri. Sunardi (2006:62-63) dalam bukunya mengatakan “Dengan kata lain, kehendak dalam kehendak untuk berkuasa dapat juga dirumuskan sebagai kekuatan yang memerintahkan (dirinya sendiri) tanpa mengandaikan suatu pasivitas atau stabilitas”. Sejalan dengan pendapat tersebut peneliti merasa tertarik untuk memilih konsep ini lalu menghubungkannya dengan etos kerja. Kehendak yang dipahami peneliti merupakan sifat pendorong untuk manusia menjadi unggul, seperti anggapan Nietzsche, dan Etos kerja yang memengaruhi
keberhasilan
individu
untuk
dapat
memiliki
tempat
pada
lingkungannya, menjadi dua hal yang dilihat berjalan lurus dan searah untuk mencapai akhir yang membanggakan bagi diri manusia.
5
1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, peneliti memperoleh rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: a. Apa makna etos kerja? b. Apa makna kehendak menurut filsafat Nietzsche? c. Bagaimana pengaruh kehendak bagi etos kerja?
2. Keaslian Penelitian Sejauh ini penelitian secara khusus terkait bahasan tentang etos kerja belum pernah dilakukan di Fakultas Filsafat. Selanjutnya untuk penelitian mengenai konsep kehendak menurut Friedrich Nietzsche sebelumnya sudah pernah dilakukan. Lebih jauh terkait penelitian untuk konsep kehendak menurut Nietzsche itu sendiri sudah pernah dilakukan di Fakultas Filsafat, namun tidak secara tunggal. Beberapa pembahasan terkait pemikiran Nietzsche diantaranya adalah: 1. “Konsepsi Manusia Unggul Dalam Antropologi Filsafat Friedrich Nietzsche”, Samyono, Fakultas Filsafat, 1988. Skripsi ini menjelaskan bagaimana konsep kehendak menurut Friedrich Nietzsche menjadi dasar untuk manusia menjadi Manusia Unggul yang ditinjau dari pandangan Nietzsche sendiri tentang manusia.
6
2. “Pengaruh Ajaran “The Will to Power” Friedrich Wilhelm Nietzsche dalam Filsafat Hukum”, Ediar Usman, Fakultas Filsafat, 1990. Dalam skripsi ini penulis menjabarkan bagaimana pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa mempengaruhi tingkah laku manusia untuk mencapai kekuasaan yang diakui oleh lingkungannya dan tokoh yang mempengaruhinya. Selain itu bagaimana kehendak mampu menjadi kekuatan manusia untuk memperoleh kekuasaan. 3. “Komparasi Konsep Ubermensch dan Hak Asasi Manusia Universal”, Danang Rahadyan Putra, Fakultas Filsafat, 2008. Penulis dalam penjabarannya membandingkan bagaimana Konsep Manusia unggul Nietzsche dipengaruhi oleh kehendak untuk berkuasa dan haknya sebagai manusia
yang
memiliki
kebebasan
untuk
melakukan hal yang
diinginkan serta mencapai apa yang dicita-citakan. 4. “Konsep Ubermensch Nietzsche dalam Pilihan Eksistensi Tokoh Matt Buckjer dalam Film “Green Street Hooligans: Stand on Your Ground” Karya Lexi Alexander”, Gigih Prayogo, Fakultas Filsafat, 2013. Pada skripsi ini dipaparkan bagaimana pemikiran Nietzsche selama tiga periode pemikiranya membahas manusia menjadi manusia dengan kehendak yang dimiliki berusaha menjadi manusia yang harus berkarya lebih dan lebih. Kemudian konsep Ubermench yang dimaksudkan Nietzsche bukanlah sebagai manusia super tapi manusia unggul.
7
Selanjutnya untuk penelitian terkait bagaimana konsep kehendak menurut Filsafat Nietzsche pernah dilakukan satu kali di Fakultas Filsafat, yaitu: 1. “Voluntarisme dalam Filsafat Barat”, Misnal Munir, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1992. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitan ini, peneliti secara khusus meneliti apa itu kehendak dan asal mula kata serta kemunculan pembahasan kehendak dalam filsafat barat. 2. “Arti Kehendak Menurut Arthur Schopenhauer dan Friedrich Nietzsche”, Misnal Munir, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, 1993. Penelitian menjelaskan secara singkat bagaimana kehendak menurut Nietzsche yang dipengaruhi oleh pemikiran Schopenhauer. Terakhir adalah penelitian tentang etos kerja yang sama sekali belum pernah dilakukan di Fakultas Filsafat, namun pernah dilakukan di luar Fakultas Filsafat dalam bentuk buku, yaitu: 1. “Etos Kerja dan Kohesi Sosial”, Mubyarto, Loekman Soetriosno, Edhie Djatmiko, Sulistiyo, Ita Setiawati, Agnes Mawarni, Ninik Sri Rejeki, P3PK UGM, Yogyakarta, 1991. Penulis buku ini menjabarkan bagaimana pengaruh etos kerja pada tiap-tiap masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah. Terlihat pada wilayah
8
yang lebih maju dicirikan dengan masyarakatnya yang memiliki etos kerja sebagai hal yang dianggap luhur dan merupakan bagian dari budaya. 2. “Etos Kerja Pribadi Muslim”, Toto Tasmara, Jakarta, PT Dana Bhakti Wakaf, 1995. Buku ini menjelaskan bagaimana etos kerja mempengaruhi perilaku manusia dalam keseharian dan membentuk manusia menjadi manusia yang memiliki tempat pada lingkungannya. Penelitian ini secara khusus melakukan analisis terhadap etos kerja yang erat hubunganya dengan kehidupan manusia dari dulu hingga sekarang. Sebagaimana etos kerja sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia untuk membentuk citra diri dan kualitas individu yang tercipta dalam lingkungan masyarakat. Belum adanya penelitian terkait etos kerja di Fakultas Filsafat menjadi hal yang cukup menarik bagi peneliti untuk mengaitkanya dengan teori dan konsep filsuf dalam ranah kefilsafatan. Kemudian dengan belum adanya penelitian secara khusus yang hanya berfokus pada kehendak menurut filsafat Nietzsche dalam strata S1 dan menghubungkannya dengan persoalan yang sebenarnya erat dengan manusia dalam kesehariannya menjadi motivasi bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.
3. Manfaat Penelitian Adapun harapan yang diinginkan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah: a. Bagi peneliti
9
Penelitian ini diharapkan dapat semakin membantu peneliti untuk memiliki pandangan yang kritis pada hal yang ada terkandung dalam kehidupan sehari-hari, kemudian merefleksikannya secara filosofis bagaimana etos kerja merupakan hal yang seharusnya ditanamkan dalam diri tidak hanya pada saat bekerja tapi juga dalam setiap segi kehidupan. Selain itu juga membawa peneliti semakin jeli pada konsep-konsep yang telah diungkapkan oleh para tokoh pada khasanah filsafat sebagai dasar pemikiran yang merupakan bidang dari peneliti. b. Bagi perkembangan ilmu dan filsafat Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang teori yang sebenarnya bukan hal baru namun kurang dipahami sehingga terkesan tidak popular saat ini. Penjelasan dan pandangan etos kerja yang ternyata memiliki makna bukan hanya dalam ranah ekonomi tapi juga erat kaitannya dalam ilmu dan filsafat. Sebagaimana tersurat dalam pandangan filsuf-filsuf yang dituangkan dalam teori-teori mereka tentang kualitas individu. c. Bagi bangsa Indonesia Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi pada era modern sebagai hal yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri dan juga diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana untuk
10
memajukan dan mengembangkan pemikiran bangsa, serta membahas halhal yang dapat membantu dalam kemajuan juga pemerintahan Negara.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang ditemukan dalam permasalahan dapat diruuskan sebagai berikut: 1. Memaparkan apa makna Etos Kerja. 2. Menjelaskan arti konsep Kehendak menurut Filsafat Nietzsche. 3. Mendeskripsikan hubungan antara Etos Kerja dengan konsep kehendak menurut Filsafat Nietzsche.
C. Tinjauan Pustaka Kualitas diri manusia tidak semata-mata diperoleh dengan tiba-tiba, tapi kualitas diri manusia tercermin pada pribadi dan sikap hidup manusia itu sendiri. Kualitas diri yang baik yang dimiliki seseorang tidak hanya akan menjadikan dirinya manusia yang berhasil untuk dirinya sendiri tapi juga sekitarnya. Berkembangnya etos kerja yang dimiliki seorang individu tidak hanya berguna bagi diri sendiri, namun nantinya akan berpengaruh juga pada perkembangan produktivitas
11
masyarakat. Usaha untuk mengembangkan etos kerja produktif pada dasarnya mengarah pada peningkatan produktivitas yang bukan saja produktivitas individu melainkan juga produktivitas masyarakat secara keseluruhan (Sinungan, 1997: 141). Sehingga maju tidaknya sebuah wilayah dapat terlihat pada sumber daya manusianya yang memiliki etos kerja tinggi ataukah rendah. Etos kerja yang ada pada individu bukan saja seharusnya tidak hanya direalisasikan ketika individu itu menjadi seorang pekerja pada sebuah perusahaan atau pemerintahan. Sikap seseorang yang memiliki etos kerja ini mudahnya dapat dilihat pada seorang pekerja yang bertemu langsung atau berinteraksi langsung dengan client. Sikap yang baik dalam sebuah pelayanan terhadap costumer, tidak akan terbentuk tanpa seseorang pekerja memiliki etos kerja yang tinggi. Etos kerja merupakan nilai-nilai yang membentuk kepribadian seseorang dalam bekerja. etos kerja pada hakekatnya dibentuk dan dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut sesorang dalam berkerja. yang kemudian membentuk semangat yang membedakanya antara yang satu dengan yang lain (Azizi, 2005:35). Orang yang terampil dalam seni memimpin, menurut Masaong (2011:39) adalah orang yang menata diri dengan arus bawah emosi yang terdapat dalam suatu tim, dan mampu membaca tindakan-tindakan pada mereka yang berada dalam arus tersebut. Seperti pada sebuah team work dalam sebuah restoran atau warung kopi, dimana setiap individu masing-masing haruslah memiliki kontrol atas diri sendiri. Hal tersebut akan sangat berpengaruh pada saat sebuah team work dipertemukan pada sebuah masalah dimana mereka bekerja, mereka harus secara sadar cepat
12
mengambil tindakan penyelesaian masalah tersebut. Bagi seorang pemimpin wajib baginya untuk mengamati keadaan kelompoknya individu perindividu. Hal ini nantinya akan menentukan bagaimana langkah yang harus diambil untuk penyelesaian masalah tersebut. Ketidakpanikan, penguasaan diri dan kepekaan akan langsung mencul dalam diri seorang pemimpin yang beretos kerja tinggi. Satu teknik yang ditempuh oleh pemimpin untuk membangun kredibilitas adalah dengan menangkap
perasaan-perasaan
kolektif
yang
tidak
diucapkan
itu,
lalu
mengungkapkannya kepada mereka. Makna ini menunjukan, pemimpin bertindak sebagai cermin yang memantulkan kembali pengalaman timnya kepada tim itu sendiri. Sehingga aura kepemimpinan yang dimiliki secara otomatis terpancar dihadapan anggota kelompoknya. Hal ini adalah salah satu nilai positif yang dimiliki seseorang yang memiliki etos kerja tinggi. Etos Kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah (Anoraga, 1992: 26). Jika sebuah bangsa dalam perkembangannya tidak semakin maju dalam bidang apapun, maka tampaklah bagaimana etos kerja yang rendah dari masyarakat negara tersebut. Karena kemajuan yang dimiliki suatu bangsa atau negara sudah tentu terletak pada sumber daya manusianya yang menjadi penggerak berjalanya
13
negara atau bangsa tersebut. Tidak adanya etos kerja sebagai sikap yang luhur didalam diri masyarakatnya, maka akan jelas sulit bagi suatu bangsa untuk memiliki kemajuan dalam bidang apapun. Ide-ide yang keluar untuk mencari cara memajukan tempat bagi seseorang untuk bekerja tidaklah dapat dipaksakan. Hal tersebut harus keluar karena ia merasa nyaman sebagai karyawan untuk bekerja disuatu tempat. Etos kerja menurut Usman Pelly adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja. Sikap dan perilaku positif yang mencerminkan etos kerja yang dimilkinya akan menjadikanya nyaman untuk berada dalam sebuah tempat dimana dirinya bekerja. Etos kerja yang tinggi tentunya sudah berakar dalam diri seseorang jika hal tersebut telah menjadi orientasi nilai budaya bagi diri manusia itu sendiri. Dengan kata lain etos kerja yang tertanam dan dipelihara seseorang dalam dirinya sebagai sikap atau perilaku hidup akan menjadikannya sebuah nilai hidup yang secara otomatis tertanam dalam jiwa (Sukardewi, 2013:3).
D. Landasan Teori Menjadi manusia yang tidak lemah dan berdiri di atas kekuatan diri sendiri tentu sangat membanggakan bagi diri manusia. Seperti sebagaimana Nietzsche beranggapan dalam Sabdanya Zarathustra. Nietzsche mengharapkan bahwa
14
hendaklah manusia berdiri di atas kemampuannya sendiri, jangan hanya mengharapkan orang lain. Karena merupakan sebuah hal yang memalukan jika seseorang bangga berdiri tidak dengan berdasarkan kekuatannya sendiri. Nietzsche mengatakan bahwa: “If you would go up high, then use your legs! Do not get yourselves carried aloft, do not seat yourselves on other people’s backs and heads! Thou hast mounted, however, on horseback? Thou now ridest briskly up to the goal! Well, my friend! But thy lame foot is also with tee on horseback! When thou reachest thy goal, when thou alightest from thy horse, precisely on thy height, thou higher man...” (Nietzsche by Chapko, 2010: 225-226) (Jika engkau ingin mendaki, gunakan kakimu sendiri! Jangan biarkan dirimu dijunjung orang, jangan kau duduk di atas punggung dan kepala orang lain! Seandainya engkau telah duduk di punggung kuda? Bagus, sahabatku! Tetapi kakimu yang lumpuh itu pun ada di atas kuda! Ketika telah kau capai tempat tujuan, ketika kau telah melompat dari kudamu, tegaklah pada kakim, kau Manuisa Unggul...) Namun demikian, Nietzsche memperingatkan, bahwa dalam menggunakan kemampuannya sendiri, hendaknya jangan berlebihan, sehingga akhirnya akan jatuh terpelanting (Putra, 2008:48). Setiap manusia memiliki batasan kemampuan yang menjadikan dirinya harus sadar pada kelebihan yang dimiliki sehingga dirinya bisa menguasai dirinya sendiri yang tidak mudah untuk dikendalikan. Karena suatu hal yang berlebihan tidaklah selalu baik, kapasitas yang dimiliki diri manusia juga memiliki limitas yang membatasi diri manusia untuk melakukan suatu hal yang berlebihan yang justru membuat dirinya menjadi manusia yang unggul.
Untuk
menjadi manusia unggul manusia harus kuat dan berani. Manusia unggul harus dijadikan tujuan dalam kehidupan kemanusiaan. Jadi yang penting bagi manusia
15
adalah bagaimana ia mampu mengangkat dirinya dari kehanyutan dalam massa (Samyono, 1988: 44). Kekuatan menurut Nietzsche akan timbul apabila seseorang berbuat sesuatu (Nietzsche, 1968:37). Dengan kata lain, kekuatan akan timbul apabila manusia bekerja sebagai makhluk alamiah, di samping membutuhkan kebutuhan rohani, manusia membutuhkan juga kebutuhan fisik. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut manusia harus bekerja. Proses menjadi manusia unggul yang dikatakan Nietzsche dapat diperoleh saat manusia tidak berhenti untuk berusaha. Usaha yang dilakukan manusia dapat dilihat dalam proses bekerja yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Kerja bukanlah tanda kerendahan seseorang ataupun alat untuk sekadar mengisi waktu, melainkan proses penyempurnaan manusia itu sendiri, untuk dapat bekerja dengan baik, maka manusia perlu kekuatan (Bertens, 1978:5). Kekuatan adalah yang memungkinkan manusia mencapai sebuah hasil. Menurut Nietzsche, jika salah satu dari organ manusia itu berubah, maka kekuatan manusia akan berkurang (Samyono, 1988:45). The soul a selective and self-nourishing entity, perpetually extremely shrewd and creative (this creative force is usually overlooked! is conceived only as “passive”). To recognize the active force, the creative force in the chance event: -- chance itself is only the clash of creative impulse. (Nietzsche, 1968: 355) Manusia dalam pandangan Nietzsche harus senantiasa kreatif. Manusia mendapat tantangan untuk berkreasi dari dirinya sendiri, apabila manusia berada dalam kesepian yang mengigit. Dengan demikian kreativitasnya adalah asli. Dalam
16
kesepian daya cipta manusia boleh diharapkan menghasilkan sesuatu yang baru, maka kreativitas adalah menjadi tanda perubahan mentalitas yang sangat berarti dalam manusia. Manusia bagi Nietzsche, harus terus-menerus mencipta. Untuk menjadi seorang kreator, manusia harus tahan terhadap penderitaan (Samyono, 1988:91). Penderitaan inilah yang nantinya akan mendorong daya kreasi manusia untuk keluar, sehingga manusia akan dapat terus bergerak, berproses melampaui apa yang ada pada dirinya saat ini. Manusia unggul sebagai tujuan dari manusia akan tercapai apabila manusia dapat mencintai kehidupan. Kehidupan adalah wadah manusia selama hidupnya untuk dapat mampu berproses menjadi manusia yang berusaha lebih dan lebih. Manusia unggul tidak mungkin dapat dicapai sambil bermain-main atau tidak dengan kesadaran (Samyono, 1988:97). Kesadaran pada apa yang ingin dicapai sebagai tujuan manusia pastilah akan menjadikan manusia dapat melakukannya dengan keadaan sadar. Nietzsche dalam perkembangan pemikiranya mengajarkan dua moral yaitu: „moral tuan‟ dan „moral budak‟. Kedua moral ini menentukan berada dimanakah posisi manusia sebagai manusia. Apakah manusia termasuk ke dalam manusia unggul atau bukan ataukah hanya manusia yang berada pada taraf manusia saja (Putra, 2008: 42). Selanjutnya konsepnya tentang Ubermensch merupakan salah satu konsep kontroversionalnya, yang secara jelas tidak Nietzsche jelaskan seperti apa dan bagaimana konsep ini. Ubermensch bukanlah kaum bar-bar atau immoral, mereka menciptakan sendiri nilai- nilai mereka. Hanya saja, kemunculan manusia
17
unggul harus didahului dengan kemampuan untuk mengadakan transvaluasi atau penjungkirbalikkan nilai. Disamping itu, Ubermensch tidak sekadar memiliki daya mental yang lebih tinggi dari manusia, melainkan kekuatan fisik, berbudi bahasa, terampil, sanggup memeriksa diri, hormat terhadap diri sendiri, toleran bukan karena dirinya durchsnittlich (manusia yang memiliki sikap rata-rata atau manusia dengan biasa-biasa saja sehingga cenderung menekan penonjolan bakatnya), melainkan karena
dirinya
tahu
bagaimana memanfaatkan toleransi tersebut bagi dirinya
(Prayogo, 2013:95).
E. Metode Penelitian Peneliti memerlukan metode penelitian yang sesuai untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik pula. Adapun metode yang dipilih untuk melakukan penelitian ini adalah metode studi pustaka. Metode ini dianggap tepat untuk melakukan dan menyelesaikan penelitian karena objek material yang dikaji merupakan objek kajian yang sebenarnya lekat dengan manusia dalam kehidupan ini namun kurang banyak dipahami secara mendalam untuk maknanya. Berikut adalah beberapa tahapan yang dilakukan peneliti dalam melaksanakan penelitan hingga proses skripsi ini selesai dilaksanakan.
18
1. Bahan dan Materi Penelitian Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan. Bahan penelitian didapatkan dari pustaka yang berkaitan dengan objek material dan objek formal penelitian. Data kepustakaan dapat dibagi menjadi kepustakaan primer dan kepustakaan sekunder. Sumber pustaka primer meliputi: a. Sumber primer objek formal diantaranya adalah buku-buku karya Nietzcshe dan penulis lain mengenai Nietzcshe, antara lain: 1) Deleuze, Gilles, 1986, Nietzsche and Philosophy, diterjemahkan oleh Hugh Tomlinson, The Athlone Press, London. 2) Arifin, Chairul, 1987, Kehendak Untuk Berkuasa, Friederich Nietzsche, Erlangga, Jakarta. 3) Sunardi, St., 1996, Nietzsche, LKiS, Yogyakarta. 4) Nietzsche, Friedrich, 2002, Beyond Good and Evil, diterjemahkan oleh Basuki Heri Winarno, Ikon Tera Litera, Yogyakarta. 5) Nietzsche, Frederich, 2010, Thus Spoke Zarathustra, editor by Bill Chapko, versi ebook.
b. Selain pustaka primer, penelitian ini juga menggunakan beberapa pustaka sekunder, antara lain:
19
1) Toto Tasmara, 1995, Etos Kerja Pribadi Muslim, PT Dana Bhakti Wakaf, Jakarta. 2) Mubyarto, Loekman Soetriosno, Edhie Djatmiko, Sulistiyo, Ita Setiawati, Agnes Mawarni, Ninik Sri Rejeki, 1991, Etos Kerja dan Kohesi Sosial, P3PK UGM, Yogyakarta. 2. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: a. Inventarisasi dan kategorisasi. Pada tahapan pertama, dilakukan pengumpulan data kepustakaan dan penunjang lainnya yang bersangkutan dengan objek material dan objek formal penelitian. Studi pustaka dilakukan dalam upaya untuk memeroleh gambaran lengkap mengenai bagaimana pengertian atau makna dari etos kerja serta konsep kehendak menurut filsafat Nietzsche. b. Klasifikasi dan pengolahan data. Pada tahapan ini akan dilakukan klasifikasi terhadap data yang sudah dikumpulkan. Pengklasifikasian bertujuan untuk membedakan data objek material dan data objek formal yang selanjutnya akan menjadi data yang diolah. c. Penyusunan penelitian.
20
Tahapan selanjutnya adalah penyusunan penelitian berupa laporan sistematis dan objektif. Pada tahapan ini peneliti melakukan refleksi kritis atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian.
3. Analisis Kritis Analisis data pada penelitian ini mengacu pada buku karangan Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair tahun 1990. Adapun unsur-unsur yang digunakan antara lain sebagai berikut (Bakker dan Achmad Charris Zubair, 1994: 111-113): a. Interpretasi Interpretasi dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan lebih mendalam berdasarkan data yang diperoleh tentang makna dari etos kerja dan konsep kehendak menurut filsafat Nietzsche. b. Deskripsi Menguraikan dan memaparkan hasil pemahaman secara sistematis tentang apa makna dari etos kerja dan konsep kehendak menurut filsafat Nietzsche untuk mendapatkan hasil penelitian yang diinginkan. c. Koherensi internal
21
Mencari pokok-pokok pemikiran tentang kehendak dalam filsafat Nietzsche sebagai landasan berpikir kemudian menghubungkan konsep etos kerja dengan konsep kehendak filsafat Nietzsche. d. Refleksi pribadi peneliti Menggunakan pokok tema kehendak dalam filsafat Nietzsche sebagai pisau analisis untuk menemukan konsep kehendak sebagai dasar pembentuk atau pembangun etos kerja dalam diri manusia. F. Hasil yang Dicapai Adapun beberapa hasil yang dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang konsep kehendak menurut filsafat Nietzsche. 2. Mengetahui apa makna etos kerja menurut beberapa ahli 3. Mengetahui pengaruh etos kerja terhadap kualitas diri seseorang 4. Mengetahui kontribusi kehendak bagi etos kerja
G. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini terdiri atas lima bab yang disusun dengan sistematika berikut ini:
22
BAB I Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan daftar isi. BAB II Berisi tentang uraian objek formal penelitian mengenai riwayat hidup Friedrich Nietzsche,
periodesasi
pemikiran
Friedrich
Nietzsche,
tokoh-tokoh
yang
memengaruhi pemikiran Friedrich Nietzsche, kehendak untuk berkuasa (Will to Power) dan kehendak dalam manusia unggul. BAB III Berisi pemaparan tentang objek material yang berkaitan dengan pengertian etos kerja dan implikasinya, faktor yang memengaruhi terbentuknya etos kerja dan pengaruh etos kerja terhadap individu BAB IV Berisi analisis kritis mengenai isi dari bab II dan bab III yaitu bagaimana hubungan antara etos kerja dan konsep kehendak menurut filsafat Niezsche. BAB V Berisi uraian bagian penutup yang di dalamnya terdapat kesimpulan dan saran.