BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Renang merupakan gerakan yang dilakukan oleh manusia ketika berada di air yang dapat digunakan sebagai kegiatan olahraga maupun rekreasi (Fransinata dan Marsudi, 2011). Di Indonesia, olahraga renang telah menjadi suatu kegiatan yang telah dilembagakan dalam Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) (Hidayatullah dkk., 2013). Kompetisi renang mulai diadakan di Olympics pada tahun 1896 (Lohn, 2010). Umumnya, area yang digunakan untuk berenang oleh atlet maupun orang awam adalah kolam renang. Syarat kualitas air kolam renang diatur sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 meliputi bebas dari bau yang mengganggu (kaporit), bebas dari benda terapung, jernih, pH 6,5-8,5 dengan sisa chlor 0,2-0,5 mg/L, koliform 0-200 per 100 mL (Cita dan Adriyani, 2013). Kaporit telah diperkenalkan sebagai desinfektan untuk air pada awal abad ke 20 (Nieuwenhuijsen dkk., 2000). Kaporit [Ca(OCl2)] adalah senyawa kimia yang paling banyak digunakan untuk desinfeksi air (Hasan, 2006). Senyawa kaporit mengandung unsur chlorine yang memiliki potensi sebagai desinfektan dan memiliki keunggulan antara lain murah dan mudah didapatkan (Hasan, 2006 ; Nieuwenhuijsen dkk., 2000). Chlorine pada umumnya dijumpai dalam bentuk terikat dengan unsur atau senyawa lain seperti kalsium dan membentuk senyawa CaOCl2 (kaporit). Selain itu, chlorine juga dapat ditemukan dalam bentuk ion klorida di dalam air (Hasan,
1
2
2006). Chlorine dapat memasuki tubuh melalui inhalasi, ingesti maupun kontak kulit dan mukosa (Florentin dkk., 2011). Chlorine memiliki rumus Cl2 dengan massa atom relatif 35,4527 yang bersifat mudah menguap (James dkk., 2008). Inhalasi merupakan rute utama masuknya senyawa ini ke dalam tubuh manusia karena chlorine memiliki sifat yang mudah menguap (Aprea dkk., 2010). Chlorine yang ditambahkan ke dalam air kolam renang dapat membentuk DBPs dan N-DBPs. Molekul DBPs terbentuk sebagai hasil reaksi chlorine dengan material organik. Molekul N-DBPs terbentuk sebagai hasil reaksi antara chlorine dengan nitrogen yang dihasilkan oleh cairan tubuh manusia seperti urin dan keringat. Senyawa DBPs terdiri dari trihalomethanes (THMs), chloramines, haloacetic acid dan haloacetonitriles. Senyawa THMs terdiri dari chloroform, bromodichloromethane
(BDCM),
dibromochloromethane
(DBCM)
dan
bromoform (Lee dkk., 2008). Molekul N-DBPs terdiri dari NCL3 dan CNCl (Lian dkk., 2014). Atlet renang merupakan kelompok yang rentan terhadap paparan chlorine baik melalui inhalasi, ingesti, maupun kontak kulit dan mukosa (Florentin dkk., 2011). Inhalasi merupakan rute utama masuknya chlorine ke dalam tubuh perenang. Dilaporkan chlorine sebanyak 57% dapat masuk melalui rute inhalasi (Aprea dkk., 2010). Akibat inhalasi chlorine tersebut dapat menyebabkan efek pada beberapa organ seperti paru-paru, jantung dan sistem saraf pusat (Lian dkk., 2014). Chlorine dapat menyebabkan risiko peningkatan penyakit seperti inflamasi saluran napas, hiperaktivitas bronkus dan laryngitis. Kontak langsung antara chlorine dengan kulit dapat mengakibatkan iritasi kulit (Florentin dkk., 2011).
3
Chlorine juga dapat menyebabkan conjungtivitis, iritasi mata, hidung dan tenggorokan (Bougault dkk., 2009). Reaksi antara chlorine dengan material organik salah satunya dapat membentuk chloroform yang menurut International Agency for Research on Cancer (IARC) termasuk karsinogenik grup 2B. Grup 2B merupakan kategori untuk bahan-bahan yang memiliki kemungkinan bersifat karsinogenik pada manusia (Morita dkk., 1997). Manusia yang terpapar chlorine dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker kandung kemih baik melalui inhalasi, ingesti maupun absorpsi kulit (Villaneuva dkk., 2006). Kogevinas dkk., (2010) melaporkan bahwa paparan chlorine meningkatkan jumlah mikronukleus sel limfosit perifer darah pada perenang. Dilaporkan pula oleh Villaneuva dkk., (2006) bahwa pada perenang paparan chlorine mengakibatkan jumlah mikronukleus sel urothelial meningkat. Aberasi kromosom, perubahan sister chromatid dan mikronukleus merupakan indikator sensitif adanya kerusakan genetik (Fareed dkk., 2011). Mikronukleus adalah inti sel tambahan yang memiliki ukuran lebih kecil yaitu sekitar 1/3 hingga 1/6 dari inti sel utama yang berbentuk bulat atau oval (Rajkokila dkk., 2010). Mikronukleus dapat terbentuk karena kehilangan benang kromosom pada proses mitosis akibat kerusakan yang terjadi pada benang kromosom (Choy, 2001). Pembentukan mikronukleus dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk mendeteksi kerusakan kromosom atau gangguan pada mitosis yang dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya kanker (Choy, 2001; Sellapa dkk., 2009).
4
Mikronukleus pada awalnya dapat ditemukan pada lapisan basal sel epitel mukosa rongga mulut karena pada lapisan basal mengandung sel punca (stem cell) yang memiliki kemampuan untuk melakukan pembelahan. Mikronukleus juga dapat ditemukan pada lapisan spinosum, lapisan granulosum dan lapisan korneum karena
sel-sel
yang
mengandung
mikronukleus
akan
bermigrasi
dan
berdiferensiasi secara fisiologis ke arah lapisan yang lebih superfisial. Sel epitel mukosa bukal rongga mulut memiliki kecepatan turnover tinggi yaitu 3-8 hari sehingga sel-sel yang terdapat mikronukleus akan berdiferensiasi dan bermigrasi ke lapisan atasnya. Sel–sel epitel bermikronukleus pada akhirnya dapat terambil oleh cytobrush dan dapat diamati dengan mikroskop (Holland dkk., 2008). Rongga mulut merupakan bagian dari tubuh yang berperan dalam berbagai fungsi fisiologis yaitu digesti, respirasi dan fungsi bicara. Rongga mulut dan rongga hidung memiliki hubungan sebagai jalur respirasi (Vishal dan Bonvertre, 2010). Rongga mulut memiliki potensi untuk terpapar berbagai jenis substansi yang berasal dari luar tubuh (Borthakur dkk., 2008). Saliva merupakan salah satu komponen rongga mulut yang dapat pula terpapar substansi dari luar tubuh baik melalui digesti maupun inhalasi (Kanan dan Karanfil, 2011). Jenis substansi tersebut dapat bersifat toksik maupun non-toksik. Akibatnya, rongga mulut lebih mudah mengalami perubahan yang bersifat patologis karena substansi tersebut. Perubahan patologis tersebut teramati salah satunya pada sel-sel epitel mukosa bukal rongga mulut karena sel epitel ini memiliki kecepatan turnover yang tinggi. Selain itu, sel epitel mukosa bukal rongga mulut sangat responsif terhadap kondisi sistemik tubuh (Borthakur dkk., 2008).
5
Pemeriksaan mikronukleus pada sel epitel mukosa bukal rongga mulut adalah metode deteksi kerusakan DNA yang bersifat non invasive pada manusia. Sel epitel bukal rongga mulut dikumpulkan dengan menggunakan cytobrush. Hasil pengumpulan sel epitel bukal rongga mulut tersebut kemudian dicat dengan menggunakan modifikasi metode Feulgen-Rossenbeck dan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop cahaya dengan cara menghitung sel yang memiliki mikronukleus yang terbentuk pada sel epitel yang diamati (Holland dkk., 2008). Kolam renang Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta memiliki jumlah pengunjung yang banyak terutama untuk atlet renang. Para atlet renang berenang di kolam renang ini dua kali dalam seminggu. Selain itu, orang awam juga sering menggunakan fasilitas kolam renang ini untuk berenang sehingga air kolam mudah sekali menjadi keruh. Untuk mengatasi keruhnya air, digunakanlah kaporit sebagai bahan desinfektan air. Kadar kaporit yang diberikan di air kolam renang mencapai 8kg per harinya. Dosis kaporit yang melebihi dari standar yang telah ditentukan dapat mempengaruhi kesehatan bagi perenang terutama atlet. Keruhnya air dapat diakibatkan pula oleh cairan yang dikeluarkan oleh perenang seperti keringat, saliva maupun urin sehingga kadar amonia di dalam air kolam renang meningkat. Atlet renang merupakan salah satu kelompok orang yang rentan terpapar berbagai zat kimia salah satunya adalah kaporit. Kaporit adalah jenis desinfektan yang diduga memiliki efek genotoksik, sitotoksik maupun mutagenik pada manusia. Hal tersebut menyebabkan atlet renang memiliki risiko terkena berbagai penyakit karena kerusakan DNA salah satunya mikronukleus. Uji mikronukleus
6
merupakan metode non invasive untuk mendeteksi secara dini penyakit rongga mulut yang efektif dan mudah dilakukan terutama di mukosa bukal rongga mulut. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut timbul permasalahan sebagai berikut: Bagaimana efek paparan chlorine terhadap frekuensi mikronukleus pada sel epitel mukosa bukal rongga mulut pada atlet renang di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta? C. Keaslian Penelitian Kogevinas
dkk.,
(2010)
melaporkan
bahwa
paparan
chlorine
meningkatkan jumlah mikronukleus sel limfosit perifer darah pada perenang. Penelitian yang dilakukan oleh Villaneuva dkk., (2006) menyatakan paparan chlorine dapat meningkatkan jumlah mikronukleus sel urothelial perenang. Penelitian frekuensi mikronukleus sel epitel mukosa bukal rongga mulut pada atlet renang di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta, sejauh penulis ketahui belum pernah dilaporkan. D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui efek paparan chlorine terhadap frekuensi mikronukleus pada sel epitel mukosa bukal rongga mulut pada atlet renang di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta.
7
E. Manfaat Penelitian 1.
Memberikan informasi tentang awal deteksi kerusakan genetik akibat paparan chlorine pada tubuh manusia melalui perubahan yang terjadi pada struktur biologi rongga mulut yaitu sel epitel mukosa bukal.
2.
Menjadi bekal pembelajaran untuk dokter gigi agar dapat mendeteksi secara dini penyakit rongga mulut berdasarkan analisis frekuensi mikronukleus pada sel epitel mukosa bukal rongga mulut.