BAB I PEMBORAN AIR TANAH DAN ANALISIS INTI BOR (CORING) 1.1 Pendahuluan 1.1.1 Latar belakang Banyak orang secara umum menganggap airtanah itu sebagai suatu danau atau sungai yang mengalir di bawah tanah. Padahal, hanya dalam kasus dimana suatu daerah yang memiliki gua dibawah tanahlah kondisi ini adalah benar. Secara umum airtanah akan mengalir sangat perlahan melalui suatu celah yang sangat kecil dan atau melalui butiran antar batuan. Batuan yang mampu menyimpan dan mengalirkan airtanah ini kita sebut dengan akuifer. Airtanahpun akan bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan yang rendah. Perbedaan tekanan ini secara umum diakibatkan oleh gaya gravitasi (perbedaan ketinggian antara daerah pegunungan dengan permukaan laut), adanya lapisan penutup yang impermeabel diatas lapisan akuifer, gaya lainnya yang diakibatkan oleh pola struktur batuan atau fenomena lainnya yang ada dibawah permukaan tanah. Pergerakan ini secara umum disebut gradien aliran airtanah (potentiometrik). Secara alamiah pada gradien ini dapat ditentukan dengan menarik kesamaan muka airtanah yang berada dalam satu sistem aliran airtanah yang sama. 1.1.2 Maksud dan tujuan Maksud dari praktikum ini adalah agar praktikan mengetahui pola kedalaman keterdapatan air tanah dan jenis akuifer. Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui geologi bawah permukaan, untuk mengetahui geohidrologi, serta mengetahui air bawah tanah dengan cara menganalisa warna, porositas, permeabilitas, tingkat kekompakan, komposisi, dan kekerasan.
1
pelapukan,
2
1.1.3 Lokasi dan waktu pengamatan Adapun lokasi dan waktu pengamatan sebagai berikut: Hari/ Tanggal : Rabu, 1 Oktober 2014 Waktu
: 08.00 - Selesai
Lokasi
: Laboratorium Pusat Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta.
Jln.I
Dewa
Nyoman
Oka
No.32,
Kotabaru,
D.I.Yogyakarta 1.2 Landasan Teori Pemboran adalah pembuatan lubang silindris dalam tanah atau batuan dengan menggunakan pahat bor. Cara pemboran dengan penumbukan dan pemutaran pahat disertai tekanan, atau dengan memadukan kedua gerakan tersebut. Pemboran yang menguntungkan yaitu dengan kecepatan tinggi,waktu pendek, biaya murah, dan dapat mencapai kedalaman yang besar. 1.2.1 Macam pemboran Jenis metoda pemboran dibedakan berdasarkan: 1. Berdasarkan mekanisme pemboran, metode pemboran dapat dibagi lagi, yaitu: a. Pemboran Tumbuk (Percussive Drilling) Dioperasikan dengan cara mengangkat dan menjatuhkan alat bor berat secara berulang-ulang kedalam lubang bor sehingga lubang bor terbentuk akibat mekanisme tumbukan dan beban rangkaian bor.
3
Gambar.1 Bor Tumbuk (Australia Drilling Industry, 1996)
b. Pemboran Putar (Rotary Drilling) Lubang bor dibentuk dari pemboran dengan mekanisme putar dan disertai pembebanan.
Gambar.2 Bor Putar (Australia Drilling Industry, 1996)
c. Bor Putar Hidraulik (Hidraulic Rotar)
4
Dimana lubang bor dibentuk dari kombinasi antara mekanisme putar, kombinasi antara mekanisme putar, tekanan hidraulik, dan beban setang bor.
Gambar.3 Bor Hidraulik (Australia Drilling Industry, 1996)
Kelebihan mesin bor tumbuk dibandingkan mesin bor putar antara lain a. Ekonomis (murah, biaya operasi rendah biaya transportasi murah, b. c. d. e.
persiapan rig cepat). Menghasilkan contoh pemboran yang lebih baik Lebih mempermudah pengenalan lokasi Tanpa sistem sirkulasi Kemungkinan kontaminasi karena pemboran relatif kecil
Kekurangan mesin bor tumbuk dibandingkan mesin bor putar antara lain: a. Kecepatan laju pemboran rendah b. Sering terjadi putusnya sling
5
2. Berdasarkan sirkulasi fluida, metode pemboran dapat dibagi lagi, yaitu: a. Sirkulasi Langsung (Direct Circulation) Fluida bor dipompakan dari mudpit ke mata bor melalui bagian dalam stang bor kemudian kembali melalui bagian dalam stang bor kemudian kembali lagi ke permukaan akibat tekanan pompa melalui rongga anulus. b. Sirkulasi Terbalik (Reverse Circulation) Fluida bor dari mudpit bergerak melalui rongga anulus, kemudian kembali lagi ke permukaan akibat gaya hisap pompa melalui bagian dalam stang bor. 3. Berdasarkan jenis fluida yang digunakan, metode pemboran dapat dibagi lagi, yaitu: a. Pemboran menggunakan cairan / lumpur (Mud Flush). b. Pemboran menggunakan udara Jika menggunakan udara sebagai fluida bor (Air Flush) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan suatu sumur bor 1. Diameter Sumur a. Besaran diameter casing pipa yang digunakan sesuai dengan keperluan b. Jenis casing yang digunakan biasanya PVC atau Low Carbon yang disesuaikan dengan kualitas airtanah. 2. Kedalaman Sumur a. Tergantung pada berapa lapisan akifer yang akan digunakan dan jenis akifernya b. Penentuan Jenis Akifer (Tertekan atau tidak) borberdasarkan data log bor Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan suatu sumur bor 1. Pompa Alat untuk menghisap air dari lubang bor ke atas permukaan tanah. Pada pemboran airtanah dalam pompa yang lazim digunakan adalah pompa selam (submersible pump). 2. Piezometer Adalah sebuah alat pengukur muka airtanah yang ditempatkandi dalam sumur pantau. Sumur pantau ditempatkan disekitar sumur pemompaan. 3. Grouting
6
Suatu lapisan buatan (berupa lapisan semen) yang berfungsi untuk menahan konstruksi lubang bor. 1.2.2 Pencatatan dan pengamatan inti bor Dalam pemboran perlu diadakan pengamatan dan pencatatan selama pelaksanaan pemboran untuk menentukan dan penilaian lubang bor.Diantaranya: 1. Laporan pemboran Pencatatan kegiatan pemboran dari awal sampai akhir, yaitu : a. Tanggal b. Kedalaman pemboran c. Pemakaian mata bor d. Jenis dan diameter mata bor e. Kecepatan pemboran rata-rata f. Tinggi kenaikan air sebelum dan sesudah pemboran g. Permasalhan casing, persiapan pemompaan dan kegiatan uji pompa. 2. Log pemboran Merupakan catatan pemboran yang terdiri dari : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Tanggal Nomer Panjang dan jumlah pipa bor Kedalaman yang diamati dan diambil contoh serbuk bor. Jam mulai dan jam selesai Kecepatan pemboran. Debit air yang keluar Keterangan mengenai muka airtanah sebelum dan sudah pemboran. Warna air pemboran dan perubahannya Pemakaian mata bor. Pemasangan pipa pelindung/casing dan semua perubahan selama
waktu pemboran 3. Log litologi Merupakan catatan litologi berdasarkan serbuk bor, terdiri dari : a. b. c. d. e. f. g.
Kedalaman Ketebalan lapisan Jenis batuan Warna Kekompakan Kekerasan Sortasi
7
h. Porositas i. Tekstur dan keadaan litologi untuk penilain air yang dikandungnya. 4. Laporan pompa uji Untuk mendapatkan data zona pembawa air dari lapisan pembawa air atau akuifer. 5. Pengamatan lubang bor (logging) Pada pemboran putar sering terjadi pengotoran atau pencampuran serbuk bor, sehingga dalam log litologi sering terjadi kekeliruan. Biasanya untuk meyakinkan log litologi dilakukan bore hole geophysical logging dengan alat-alat log listrik atau dikenal sebagai log SP (spontaneous potential) dan log resistivity. Kadang-kadang juga dilakukan metode seismik, yang digunakan untuk mendapatkan gambaran yang berpengaruh dari data log tersebut. 6. Pengamatan lapangan Yang diselidiki dilapangan adalah : a. b. c. d.
Singkapan Jenis litologi Kemiringan dan jurus perlapisan Struktur geologi.
1.2.3 Langkah-langkah perencanaan pemboran Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada pemboran, yaitu: 1. Dari log sumur yang lama didapatkan penampang geologi pada daerah yang bersangkutan, dengan demikian perlu diperhatikan keadaan lapangan yang berada pada zona bertekanan tinggi atau rendah dan kekerasan batuan. 2. Pipa pelindung/casing perlu disiapkan untuk menahan tekanan maupun runtuhnya tekanan lubang bor. 3. Grafik pemboran lama maka dapat diadakan persiapan mengenai jenis dan berat dari pahat yang diperlukan hidrolika dan penyimpangannya, diaman hal ini menyangkut biaya dan waktu.
8
4. Persiapan lain yang diperlukan mengenai mesin bor, mesin pencampur lumpur bor, mesin pompa serta perlengkapan lain yang diperlukan. 5. Operator dan regu bor perlu diberi penjelasan mengenai pemboran
tersebut sesuai data yang ada, sehingga tidak meninggalkan sikap hati-hati dalam pekerjaan pemboran tersebut. Berikut ini diberi catatan mengenai standar kekerasan, kekompakan dan tingkat pelapukan. A. Standar kekerasan 1. Sangat lunak 2. Lunak (bisa digores dengan kuku) 3. Agak keras (digores dengan pisau) 4. Keras (tidak dapat digores dengan pisau) 5. Sangat keras. B. Standar kekompakan 1. Lepas (bisa dipegang, fragmen/butiran terurai) 2. Agak lepas (ditekan dengan tangan, fragmen terurai) 3. Agak kompak (bila dipukul dengan palu fragmen terurai) 4. Kompak (dipukul dengan palu fragmen sukar terurai) C. Tingkat pelapukan 1. Segar (bila tidak ada tanda-tanda pelapukan) 2. Lapuk sedikit (bila memperlihatkan sedikit tanda pelapukan, pelunturan warna) 3. Lapuk menengah (tanda-tanda pelapukan cukup terlihat)yaitu perubahan warna dan pengurangan kekuatan batuan cukup berarti 4. Lapuk tinggi (memperlihatkan tanda pelapukan cukup tinggi hingga batuan menjadi lemah dan tidak mudah terurai bila kemasukan air) 5. Lapuk sangat tinggi, bila seluruh batuan telah lapuk tapi tekstur batuan masih terlihat dan akan terurai bila direndam dalam air dan digoyang sedikit. I.3. Analisis Data (Terlampir) 1.4 Kesimpulan
9
Pada praktikum ini dapat diketahui data bor, mulai dari sampel hingga analisis data, sehingga didapat kesimpulan pada data sumur bor jenis akuifer yaitu Akuifer Tidak Tertekan tau disebut Akuifer Bebas pada litologi Batupasir. Dilihat dari analisis data bor (coreing) yang ada, selanjutnya dilakukan deskripsi dari batuan yang dianalisa dari perlapisan bawah permukaan yang kami lakukan. Maka disimpulkan pada kedalaman kurang lebih 321-500 cm airtanah lebih berpotensi untuk didapatkan. Karena jenis batuanya memiliki porusitas yang tinggi dan juga permeable.
BAB II PENGUKURAN DEBIT 2.1. Pendahuluan 2.1.1. Latar Belakang Masalah Geohidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah sumber air bawah tanah yang berhubungan dengan cara terdapat, penyebaran, pengaliran, sifat kimia, dan potensi sumber air bawah tanah dalam hubungannya dengan lingkungan geologi. Sungai adalah suatu tubuh Running Water yang terkumpul pada suatu saluran dan bergarak menuju Base Level Of Erosion akibat pengaruh gaya gravitasi. Debit (discharge) atau besarnya aliran sungai (stream flow) adalah volume aliran yang mengalir melalui suatu penampang melintang sungai per satuan waktu dan satuanya meter kubik per detik (m3/det). Aliran adalah pergerakan air di dalam alur sungai. Pengukuran debit yang dilaksanakan di suatu pos duga air tujuannya terutama adalah untuk membuat lengkung debit dari pos duga air yang bersangkutan. Lengkung debit dapat merupakan hubungan yang sederhana antara tinggi muka air dan debit, dapat pula
10
merupakan hubungan yang komplek apabila debit disamping fungsi dari tinggi muka air juga merupakan fungsi dari kemiringan muka air, tingkat perubahan muka air dan fungsi dari faktor lainnya. Pada dasarnya pengukuran debit adalah pengukuran luas penampang basah, kecepatan aliran dan tinggi muka air. Pengukuran debit adalah proses pengukuran dan perhitungan kecepatan aliran kedalaman, lebar aliran serta perhitungan luas penampang basah untuk menghitung debit dan pengukuran tinggi muka airnya. 2.1.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari pembuatan laporan ini adalah Menentukan kedalaman sungai, Menentukan kecepatan aliran sungai, dan Menentukan jenis sungai. Tujuannya adalah untuk Mengetahui besarnya volume air yang mengalir dalam suatu satuan waktu dan mengetahui jenis sungai tersebut apakah Influent atau Effluent. 2.1.3. Waktu, Lokasi dan Kesampaian Daerah Perjalanan dimulai dari laboratorium IST AKPRIND sekitar pukul 08.00 WIB, Setelah memeriksa perlengkapan masing-masing kelompok kecil, kemudian menuju kearah Imogiri dan sampai ditempat sekitar pukul 08.15 WIB. Jarak tempuh antara laboratorium ketempat Imogiri sekitar 18 kilometer (km). Hari/tanggal
: Minggu, 12 Oktober 2014
Waktu
: 10.15 WIB - selesai
Lokasi
: Sekitar jembatan gantung Imogiri
Cuaca
: Cerah
Morfologi
: Fluvial-Aluvial
Vegetasi
: Lebat ( pohon bambu, pisang dan pepohonan lainya)
Daerah ini merupakan daerah yang dialiri sungai dengan stadia DewasaTua dan litologi penyusun batuan didaerah ini adalah batuan sedimen. Analisis laboratorium dilakukan pada:
11
Hari/tanggal
: Rabu, 15 Oktober 2014
Waktu
: 08.22 WIB - selesai
Lokasi
: Laboratorium Pusat IST AKPRIND Yogyakarta, Jln. I Dewa Nyoman Oka No. 32, Kotabaru, D.I.Yogyakarta
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Dasar Teori Sungai adalah suatu tubuh Running Water yang terkumpul pada suatu saluran dan bergerak menuju Base Level of Erosion akibat pengaruh gaya gravitasi. Debit adalah besarnya volume suatu fluida dari suatu media persatuan waktu. Sungai selain memiliki kecepatan aliran juga mempunyai debit bervariasi pada setiap sungai, bahkan dalam satu sungai pada hilir dan hulu mempunyai debit yang berbeda. Pengukuran debit dengan menggunakan metode pelampung adalah metode yang digunakan untuk pengukuran debit pada sungai. Sungai selain mempunyai kecepatan aliran juga mempunyai debit bervariasi pada tiap sungai, bahkan dalam satu sungai pada hilir dan hulu mempunyai debit yang berbeda. Perbedaan debit disebabkan antara lain oleh: 1. Adanya penambahan air dari air limbah atau dari rembesan-rembesan yang ada di sekitar sungai. 2. Sungai tersebut disuplai airtanah di sekitarnya. 3. Sungai tersebut menyuplai artanah di sekitarnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi debit antara lain: 1. Luas media. 2. Tenaga fluida, dipengaruhi oleh: a. Kemiringan lereng (landai hidrolika) b. Kekasaran dasar permukaan sungai. Syarat-syarat sungai yang memenuhi standar: 1. 2. 3. 4. 5.
Sungai lurus atau relatif lurus. Kecepatan air seragam. Aliran sungai laminar. Gradien sungai kecil. Bagian sungai yang tidak ada aliran masuk.
12
6. Tidak ada tumbuhan. Debit sungai dapat dihitung dengan rumus :
Q AxV
V
s t
Keterangan: A = Luas penampang sungai V = Kecepatan pelampung s = Jarak t = waktu 2.2.2. Alat dan Bahan Alat yang dipergunakan antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pelampung. Stop Watch / alat ukur waktu. Roll meter / tali ukur. Penggaris panjang. Alat tulis. Kertas millimeter.
2.2.3. Cara Kerja Cara kerja dalam perhitungan debit sungai adalah: 1. Pilih bagian sungai yang memenuhi syarat. 2. Rentangkan roll meter/tali ukur sepanjang 20 meter, selanjutnya 50 sampai 100 meter. 3. Lepaskan pelampung dari titik awal ke titik selanjutnya dan catat waktunya pada tepi kiri, kanan dan tengah. Ulangi sampai 3 - 5 kali. 4. Ukur penampang sungai dari tepi kiri ke tepi kanan dengan interval 50 cm, kemudian ukur kedalamannya. 5. Hitung debit sungai dengan rumus di atas, Q = A x V. 2.3. Perhitungan Debit 2.3.1. Data Lapangan Bagian Hulu 2.3.1.1. Data Lebar Sungai Dari hasil pengukuran dilapangan diperoleh data sebagai berikut :
13
a. b. c. d.
Lebar sungai Jumlah interval Jarak antar interval Panjang
: 34 m (3400 cm) : 68 : 50 cm : 25 m
2.3.1.2. Data Waktu Pelampung Untuk data waktu pelampung disajikan dalam bentuk tabel agar lebih mudah dalam menentukan dan menjumlahkan waktu dan melihat bagianbagiannya, dan datanya sebagai berikut: Tabel 1. Data waktu pelampung hulu ke hilir Bagian
t1
Kiri Tengah Kanan
t2
03’ 59,30” 02’ 33,60” 03’ 19,80”
04’ 27,7 ” 02’ 17,04” 02’ 35,61”
t3 03’ 32,8 “ 02’ 37,60” 03’ 15,10”
Sumber: Data Olah Primer
2.3.1.3. Data Kedalaman Sungai Bagian Hulu Untuk data kedalaman sungai bagian hulu disajikan dalam bentuk tabel agar lebih mudah dalam mengetahui kedalaman dan interval berapa data tersebut didapatkan. Tabel 2. Data kedalaman sungai bagian hulu
N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Interval 0 – 50 50 – 100 100 –150 150 – 200 200 – 250 250 – 300 300 – 350 350 – 400 400 – 450 450 – 500 500 – 550 550 – 600
Ketebalan (cm) 70 90 110 125 125 120 120 110 105 100 105 90
N0 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Interval 1700 – 1750 1750 – 1800 1800 – 1850 1850 – 1900 1900 – 1950 1950 – 2000 2000 – 2050 2050 – 2100 2100 – 2150 2150 – 2200 2200 – 2250 2250 – 2300
Ketebalan (cm) 65 70 65 70 65 65 68 68 60 40 50 40
14
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
600 – 650 650 – 700 700 – 750 750 – 800 800 – 850 850 – 900 900 – 950 950 – 1000 1000 – 1050 1050 – 1100 1100 – 1150
95 95 100 90 90 75 45 45 50 70 80
47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
2300 – 2350 2350 – 2400 2400 – 2450 2450 – 2500 2500 – 2550 2550 – 2600 2600 – 2650 2650 – 2700 2700 – 2750 2750 – 2800 2800 – 2850
43 44 46 70 85 95 88 90 94 104 119
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
1150 – 1200 1200 – 1250 1250 – 1300 1300 – 1350 1350 – 1400 1400 – 1450 1450 – 1500 1500 – 1550 1550 – 1600 1600 – 1650 1650 – 1700
90 115 110 110 70 70 70 70 65 70 70
58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
2850 – 2900 2900 – 2950 2950 – 3000 3000 – 3050 3050 – 3100 3100 – 3150 3150 – 3200 3200 – 3250 3250 – 3300 3300 – 3350 3350 – 3400
118 130 125 100 75 55 45 39 30 10 0
Sumber: Data Olah Primer
2.3.1.4 Gambar Penampang Sungai (Terlampir) 2.3.1.5. Perhitungan Luas Penampang Sungai Bagian Hulu Bentuk penampang sungai bagian hulu (untuk menghitung luasnya) adalah sebagai berikut:
15
Rumus yang digunakan dalam perhitungan luas penampang adalah : L a. Segitigs
1 1 xaxt xbxt 2 2
b. Trapesium L=
1 2
x Jumlah Sisi Sejajar x Tinggi =
1 2
x (a+b) x t
Keterangan: a dan b : Kedalaman t : Interval (jarak pengukuran kedalaman) a. Dalam bentuk perhitungan A1 = ½ x (a+b) x t
A4 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (0+70) x 50
= ½ x (110+125) x 50
= ½ x 3500
= ½ x 235 x 50
= 1750 cm2
= 5875 cm2
A2 = ½ x (a+b) x t
A5 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (70+90) x 50
= ½ x (125+125) x 50
= ½ x 160 x 50
= ½ x 250 x 50
= 4000 cm2
= 6250 cm2
A3 = ½ x (a+b) x t
A6 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (90+110) x 50
= ½ x (125+120) x 50
= ½ x 200 x 50
= ½ x 245 x 50
= 5000 cm2
= 6125 cm2
16
A7 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (95+95) x 50
= ½ x (120+120) x 50
= ½ x 190 x 50
= ½ x 140 x 50
= 4750 cm2
= 6000 cm2 A15 = ½ x (a+b) x t A8 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (95+100) x 50
= ½ x (120+110) x 50
= ½ x 195 x 50
= ½ x 230 x 50
= 4875 cm2
= 5750 cm2 A9 = ½ x (a+b) x t
A16 = ½ x (a+b) x t = ½ x (100+90) x 50
= ½ x (110+105) x 50
= ½ x 190 x 50
= ½ x 215 x 50
= 4750 cm2
= 5375 cm2 A10 = ½ x (a+b) x t
A17 = ½ x (a+b) x t = ½ x (90+90) x 50
= ½ x (105+100) x 50
= ½ x 180 x 50
= ½ x 205 x 50
= 4500 cm2
= 5125 cm2 A11 = ½ x (a+b) x t
A18 = ½ x (a+b) x t = ½ x (90+75) x 50
= ½ x (100+105) x 50
= ½ x 165 x 50
= ½ x 205 x 50
= 4125 cm2
= 5125 cm2 A12 = ½ x (a+b) x t
A19 = ½ x (a+b) x t = ½ x (75+45) x 50
= ½ x (105+90) x 50
= ½ x 120 x 50
= ½ x 195 x 50
= 3000 cm2
= 4875 cm2 A13 = ½ x (a+b) x t
A20 = ½ x (a+b) x t = ½ x (45+45) x 50
= ½ x (90+95) x 50
= ½ x 90 x 50
= ½ x 185 x 50
= 2250 cm2
= 4625 cm2 A14 = ½ x (a+b) x t
A21 = ½ x (a+b) x t = ½ x (45+50) x 50
17
= ½ x 95 x 50
= ½ x 180 x 50
= 2375 cm2
= 4500 cm2
A22 = ½ x (a+b) x t
A29 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (50+70) x 50
= ½ x (70+70) x 50
= ½ x 120 x 50
= ½ x 140 x 50
= 3000 cm2
= 3500 cm2
A23 = ½ x (a+b) x t
A30 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (70+80) x 50
= ½ x (70+70) x 50
= ½ x 150 x 50
= ½ x 140 x 50
= 3750 cm2
= 3500 cm2
A24 = ½ x (a+b) x t
A31 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (80+90) x 50
= ½ x (70+70) x 50
= ½ x 110 x 50
= ½ x 140 x 50
= 4250 cm2
= 3500 cm2
A25 = ½ x (a+b) x t
A32 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (90+115) x 50
= ½ x (70+65) x 50
= ½ x 205 x 50
= ½ x 135 x 50
= 5125 cm2
= 3375 cm2
A26 = ½ x (a+b) x t
A33 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (115+110) x 50
= ½ x (65+70) x 50
= ½ x 225 x 50
= ½ x 135 x 50
= 5625 cm2
= 3375 cm2
A27 = ½ x (a+b) x t
A34 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (110+110) x 50
= ½ x (70+70) x 50
= ½ x 220 x 50
= ½ x 140 x 50
= 5500 cm2
= 3500 cm2
A28 = ½ x (a+b) x t
A35 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (110+70) x 50
= ½ x (70+65) x 50
18
= ½ x 135 x 50
= ½ x 136 x 50
= 3375 cm2
= 3400 cm2
A36 = ½ x (a+b) x t
A43 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (65+70) x 50
= ½ x (68+60) x 50
= ½ x 135 x 50
= ½ x 128 x 50
= 3375 cm2
= 3200 cm2
A37 = ½ x (a+b) x t
A44 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (70+65) x 50
= ½ x (60+40) x 50
= ½ x 135 x 50
= ½ x 100 x 50
= 3375 cm2
= 2500 cm2
A38 = ½ x (a+b) x t
A45 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (65+70) x 50
= ½ x (40+50) x 50
= ½ x 135 x 50
= ½ x 90 x 50
= 3375 cm2
= 2250 cm2
A39 = ½ x (a+b) x t
A46 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (70+65) x 50
= ½ x (50+40) x 50
= ½ x 135 x 50
= ½ x 90 x 50
= 3375 cm2
= 2250 cm2
A40 = ½ x (a+b) x t
A47 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (65+65) x 50
= ½ x (40+43) x 50
= ½ x 130 x 50
= ½ x 83 x 50
= 3250 cm2
= 2075 cm2
A41 = ½ x (a+b) x t
A48 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (65+68) x 50
= ½ x (43+44) x 50
= ½ x 133 x 50
= ½ x 87 x 50
= 3325 cm2
= 2175 cm2
A42 = ½ x (a+b) x t
A49 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (68+68) x 50
= ½ x (44+46) x 50
19
= ½ x 90 x 50
= ½ x 198 x 50
= 2250 cm2
= 4950 cm2
A50 = ½ x (a+b) x t
A57 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (46+70) x 50
= ½ x (104+119) x 50
= ½ x 116 x 50
= ½ x 223 x 50
= 2900 cm2
= 5575 cm2
A51 = ½ x (a+b) x t
A58 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (70+85) x 50
= ½ x (119+118) x 50
= ½ x 155 x 50
= ½ x 237 x 50
= 3875 cm2
= 5925 cm2
A52 = ½ x (a+b) x t
A59 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (85+95) x 50
= ½ x (118+130) x 50
= ½ x 180 x 50
= ½ x 248 x 50
= 4500 cm2
= 6200 cm2
A53 = ½ x (a+b) x t
A60 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (95+88) x 50
= ½ x (130+125) x 50
= ½ x 183 x 50
= ½ x 255 x 50
= 4575 cm2
= 6375 cm2
A54 = ½ x (a+b) x t
A61 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (88+90) x 50
= ½ x (125+100) x 50
= ½ x 178 x 50
= ½ x 225 x 50
= 4450 cm2
= 5625 cm2
A55 = ½ x (a+b) x t
A62 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (90+94) x 50
= ½ x (100+75) x 50
= ½ x 184 x 50
= ½ x 175 x 50
= 4600 cm2
= 4375 cm2
A56 = ½ x (a+b) x t
A63 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (94+104) x 50
= ½ x (75+55) x 50
20
= ½ x 130 x 50
= ½ x (39+30) x 50
= 3250 cm2
= ½ x 69 x 50 = 1725 cm2
A64 = ½ x (a+b) x t = ½ x (55+45) x 50
A67 = ½ x (a+b) x t
= ½ x 100 x 50
= ½ x (30+10) x 50
= 2500 cm2
= ½ x 40 x 50 = 1000 cm2
A65 = ½ x (a+b) x t = ½ x (45+39) x 50
A68 = ½ x (a+b) x t
= ½ x 84 x 50
= ½ x (10+0) x 50
= 2100 cm2
= ½ x 10 x 50 = 250 cm2
A66 = ½ x (a+b) x t
b. Data perhitungan luas penampang Untuk data perhitungan luas bagian hulu disajikan dalam bentuk tabel agar mudah dalam penjumlahan serta mengetahui kedalaman dan luas penampangnya. Tabel 3. Data perhitungan luas penampang bagian hulu
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Interval 0 – 50 50 – 100 100 –150 150 – 200 200 – 250 250 – 300 300 – 350 350 – 400 400 – 450 450 – 500 500 – 550 550 – 600 600 – 650 650 – 700 700 – 750 750 – 800 800 – 850 850 – 900
Kedalaman (cm) 70 90 110 125 125 120 120 110 105 100 105 90 95 95 100 90 90 75
Luas Penampang (cm2) 1.750 4.000 5.000 5.875 6.250 6.125 6.000 5.750 5.375 5.125 5.125 4.875 4.625 4.750 4.875 4.750 4.500 4.125
21
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
900 – 950 950 – 1000 1000 – 1050 1050 – 1100 1100 – 1150 1150 – 1200 1200 – 1250 1250 – 1300 1300 – 1350 1350 – 1400 1400 – 1450 1450 – 1500 1500 – 1550 1550 – 1600 1600 – 1650 1650 – 1700 1700 – 1750 1750 – 1800 1800 – 1850 1850 – 1900 1900 – 1950 1950 – 2000 2000 – 2050 2050 – 2100 2100 – 2150 2150 – 2200 2200 – 2250 2250 – 2300 2300 – 2350 2350 – 2400 2400 – 2450 2450 – 2500 2500 – 2550 2550 – 2600 2600 – 2650 2650 – 2700 2700 – 2750 2750 – 2800 2800 – 2850 2850 – 2900 2900 – 2950 2950 – 3000
45 45 50 70 80 90 115 110 110 70 70 70 70 65 70 70 65 70 65 70 65 65 68 68 60 40 50 40 43 44 46 70 85 95 88 90 94 104 119 118 130 125
3.000 2.250 2.375 3.000 3.750 4.250 5.125 5.625 5.500 4.500 3.500 3.500 3.500 3.375 3.375 3.500 3.375 3.375 3.375 3.375 3.375 3.250 3.325 3.400 3.200 2.500 2.250 2.250 2.075 2.175 2.250 2.900 3.875 4.500 4.575 4.450 4.600 4.950 5.575 5.925 6.200 6.375
22
61 62 63 64 65 66 67 68
3000 – 3050 3050 – 3100 3100 – 3150 3150 – 3200 3200 – 3250 3250 – 3300 3300 – 3350 3350 – 3400
100 75 55 45 39 30 10 0
5.625 4.375 3.250 2.500 2.100 1.725 1.000 250 267.300 cm2 26,73 m2
∑(Atotal) Sumber : Data Olahan Primer
2.3.1.6. Perhitungan kecepatan Untuk data perhitungan kecepatan bagian hulu disajikan dalam bentuk tabel dan datanya sebagai berikut: Tabel 4. Perhitungan Kecepatan Bagian
Kiri Tengah Kanan ∑(ttotal) Rata-Rata t1 t 2 t 3 T 3
t1 03’ 59,30” 02’ 33,60” 03’ 19,80” 09’ 51,98” 591,98 detik 197,33 detik
t2
t3
04’ 27,7 ” 02’ 17,04” 02’ 35,61” 09’ 20,35” 560,35 detik 186,78 detik
03’ 32,8 “ 02’ 37,60” 03’ 15,10” 09’ 25,5” 565,5 detik 188,5 detik
197,33 186,78 188,5 3
= 190,82 detik 2.3.1.7. Perhitungan debit Untuk perhitungan debit digunakan rumus sebagai berikut: S V Q AxV T Keterangan : A = Luas Penampang V = Kecepatan Pelampung S = Jarak T = Waktu Perhitungan:
23
V
S T
25m 190,82s
= 0,13101352 m/s Q =Ax V = 26,73 m2 x 0,13101352 m/s = 3, 50199139 m3/s 2.3.2. Data Lapangan Bagian Hilir 2.3.2.1. Data lebar sungai Dari hasil pengukuran dilapangan diperoleh data sebagai berikut : e. f. g. h.
Lebar sungai Jumlah interval Jarak antar interval Panjang
: 36,5 m (3650 cm) : 73 : 50 cm : 25 m
2.3.2.2. Data waktu pelampung Untuk data waktu pelampung disajikan dalam bentuk tabel agar lebih mudah dalam menentukan dan menjumlahkan waktu dan melihat bagian- bagiannya, dan datanya sebagai berikut: Tabel 5. Data waktu pelampung hulu ke hilir Bagian
t1
Kiri Tengah Kanan
03’ 59,30” 02’ 33,60” 03’ 19,80”
t2 04’ 27,7 ” 02’ 17,04” 02’ 35,61”
t3 03’ 32,8 “ 02’ 37,60” 03’ 15,10”
Sumber: Data Olah Primer
2.3.2.3. Data kedalaman sungai bagian hulu Untuk data kedalaman sungai bagian hulu disajikan dalam bentuk tabel agar lebih mudah dalam mengetahui kedalaman dan interval berapa data tersebut didapatkan. Tabel 6. Data kedalaman sungai bagian hilir
24
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Interval 0 – 50 50 – 100 100 –150 150 – 200 200 – 250 250 – 300 300 – 350 350 – 400 400 – 450 450 – 500 500 – 550 550 – 600 600 – 650 650 – 700 700 – 750 750 – 800 800 – 850 850 – 900 900 – 950 950 – 1000 1000 – 1050 1050 – 1100 1100 – 1150 1150 – 1200 1200 – 1250 1250 – 1300 1300 – 1350 1350 – 1400 1400 – 1450 1450 – 1500 1500 – 1550 1550 – 1600 1600 – 1650 1650 – 1700 1700 – 1750 1750 – 1800 1800 – 1850
Ketebalan (cm) 72 80 78 68 63 28 9 5 10 17 21 27 29 39 33 25 8 9.5 30 41 66.5 67 80 82 81 77 72 72.5 69 64 63 66 63 64 63 62 60
No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73
Interval 1850 – 1900 1900 – 1950 1950 – 2000 2000 – 2050 2050 – 2100 2100 – 2150 2150 – 2200 2200 – 2250 2250 – 2300 2300 – 2350 2350 – 2400 2400 – 2450 2450 – 2500 2500 – 2550 2550 – 2600 2600 – 2650 2650 – 2700 2700 – 2750 2750 – 2800 2800 – 2850 2850 – 2900 2900 – 2950 2950 – 3000 3000 – 3050 3050 – 3100 3100 – 3150 3150 – 3200 3200 – 3250 3250 – 3300 3300 – 3350 3350 – 3400 3400 – 3450 3450 – 3500 3500 – 3550 3550 – 3600 3600 – 3650
Sumber: Data Olah Primer
2.3.2.4. Gambar penampang sungai (Terlampir) 2.3.2.5. Perhitungan luas penampang sungai bagian hilir
Ketebalan (cm) 62 77 62 66 68 71 68 69 69 68 82 94 90 92 86 64 54 48 58 71 81 83 85 88 88 89 84 79 59 60 60 61 54 44 21 0
25
Bentuk penampang sungai bagian hulu (untuk menghitung luasnya) adalah sebagai berikut:
Rumus yang digunakan dalam perhitungan luas penampang adalah : L a. Segitigs
1 1 xaxt xbxt 2 2 1 2
b. Trapesium L= x Jumlah Sisi Sejajar x Tinggi =
1 2
x (a+b) x t
Keterangan: a dan b : Kedalaman t : Interval (jarak Pengukuran Kedalaman a. Dalam bentuk perhitungan A1 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (78+68) x 50
= ½ x (0+72) x 50
= ½ x 146 x 50
= 1800 cm2
= 3650 cm2
A2 = ½ x (a+b) x t
A5 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (72+80) x 50
= ½ x (68+63) x 50
= ½ x 152 x 50
= ½ x 131 x 50
= 3800 cm2
= 3275 cm2
A3 = ½ x (a+b) x t
A6 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (80+78) x 50
= ½ x (63+28) x 50
= ½ x 158 x 50
= ½ x 91 x 50
= 3950 cm2
= 2275 cm2
A4 = ½ x (a+b) x t
A7 = ½ x (a+b) x t
26
= ½ x (28+9) x 50 = ½ x 37 x 50 = 925 cm2 A8 = ½ x (a+b) x t = ½ x (9+5) x 50 = ½ x 14 x 50 = 350 cm2 A9 = ½ x (a+b) x t = ½ x (5+10) x 50 = ½ x 15 x 50 = 375 cm2 A10 = ½ x (a+b) x t = ½ x (10+17) x 50 = ½ x 27 x 50 = 675 cm2 A11 = ½ x (a+b) x t = ½ x (17+21) x 50 = ½ x 38 x 50 = 950 cm2 A12 = ½ x (a+b) x t = ½ x (21+27) x 50
= 1700 cm2 A15 = ½ x (a+b) x t = ½ x (39+33) x 50 = ½ x 72 x 50 = 1800 cm2 A16 = ½ x (a+b) x t = ½ x (33+25) x 50 = ½ x 58 x 50 = 1450 cm2 A17 = ½ x (a+b) x t = ½ x (25+8) x 50 = ½ x 33 x 50 = 825 cm2 A18 = ½ x (a+b) x t = ½ x (8+9,5) x 50 = ½ x 17,5 x 50 = 437,5 cm2 A19 = ½ x (a+b) x t = ½ x (9,5+30) x 50 = ½ x 39 x 50 = 987,5 cm2
= ½ x 48 x 50 = 1200 cm2 A13 = ½ x (a+b) x t
A20 = ½ x (a+b) x t = ½ x (30+41) x 50
= ½ x (27+29) x 50
= ½ x 71 x 50
= ½ x 185 x 50
= 1775 cm2
= 1400 cm2 A14 = ½ x (a+b) x t
A21 = ½ x (a+b) x t = ½ x (41+66,5) x 50
= ½ x (29+39) x 50
= ½ x 107,5 x 50
= ½ x 68 x 50
= 2687,5 cm2
27
A22 = ½ x (a+b) x t
A29 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (66,5+67) x 50
= ½ x (72,5+69) x 50
= ½ x 133,5 x 50
= ½ x 141,5 x 50
= 3337,5 cm2
= 3537,5 cm2
A23 = ½ x (a+b) x t
A30 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (67+80) x 50
= ½ x (69+64) x 50
= ½ x 147 x 50
= ½ x 133 x 50
= 3675 cm2
= 3325 cm2
A24 = ½ x (a+b) x t
A31 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (80+82) x 50
= ½ x (64+63) x 50
= ½ x 162 x 50
= ½ x 127 x 50
= 4050 cm2
= 3175 cm2
A25 = ½ x (a+b) x t
A32 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (82+81) x 50
= ½ x (63+66) x 50
= ½ x 163 x 50
= ½ x 129 x 50
= 4075 cm2
= 3225 cm2
A26 = ½ x (a+b) x t
A33 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (81+77) x 50
= ½ x (66+63) x 50
= ½ x 158 x 50
= ½ x 129 x 50
= 3950 cm2
= 3225 cm2
A27 = ½ x (a+b) x t
A34 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (77+72) x 50
= ½ x (63+64) x 50
= ½ x 149 x 50
= ½ x 127 x 50
= 3725 cm2
= 3175 cm2
A28 = ½ x (a+b) x t
A35 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (72+72,5) x 50
= ½ x (64+62) x 50
= ½ x 144 x 50
= ½ x 127 x 50
= 3612,5 cm2
= 3175 cm2
28
A36 = ½ x (a+b) x t
A43 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (63+62) x 50
= ½ x (68+71) x 50
= ½ x 125 x 50
= ½ x 139 x 50
= 3125 cm2
= 3475 cm2
A37 = ½ x (a+b) x t
A44 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (62+60) x 50
= ½ x (71+68) x 50
= ½ x 122 x 50
= ½ x 139 x 50
= 3050 cm2
= 3475 cm2
A38 = ½ x (a+b) x t
A45 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (60+62) x 50
= ½ x (68+69) x 50
= ½ x 122 x 50
= ½ x 137 x 50
= 3050 cm2
= 3425 cm2
A39 = ½ x (a+b) x t
A46 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (62+77) x 50
= ½ x (69+69) x 50
= ½ x 139 x 50
= ½ x 138 x 50
= 3475 cm2
= 3425 cm2
A40 = ½ x (a+b) x t
A47 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (77+62) x 50
= ½ x (69+68) x 50
= ½ x 139 x 50
= ½ x 137 x 50
= 3475 cm2
= 3425 cm2
A41 = ½ x (a+b) x t
A48 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (62+66) x 50
= ½ x (68+82) x 50
= ½ x 128 x 50
= ½ x 170 x 50
= 3200 cm2
= 3750 cm2
A42 = ½ x (a+b) x t
A49 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (66+66) x 50
= ½ x (82+94) x 50
= ½ x 134 x 50
= ½ x 176 x 50
= 3350 cm2
= 4400 cm2
29
A50 = ½ x (a+b) x t
A57 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (94+90) x 50
= ½ x (58+71) x 50
= ½ x 184 x 50
= ½ x 129 x 50
= 4600 cm2
= 3225 cm2
A51 = ½ x (a+b) x t
A58 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (90+92) x 50
= ½ x (71+81) x 50
= ½ x 182 x 50
= ½ x 152 x 50
= 4550 cm2
= 3800 cm2
A52 = ½ x (a+b) x t
A59 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (92+86) x 50
= ½ x (81+83) x 50
= ½ x 178 x 50
= ½ x 164 x 50
= 4450 cm2
= 4100 cm2
A53 = ½ x (a+b) x t
A60 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (86+64) x 50
= ½ x (83+85) x 50
= ½ x 150 x 50
= ½ x 168 x 50
= 3750 cm2
= 4200 cm2
A54 = ½ x (a+b) x t
A61 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (64+54) x 50
= ½ x (85+88) x 50
= ½ x 118 x 50
= ½ x 173 x 50
= 2950 cm2
= 4325 cm2
A55 = ½ x (a+b) x t
A62 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (54+48) x 50
= ½ x (88+88) x 50
= ½ x 102 x 50
= ½ x 173 x 50
= 2550 cm2
= 4400 cm2
A56 = ½ x (a+b) x t
A63 = ½ x (a+b) x t
= ½ x (48+58) x 50
= ½ x (88+89) x 50
= ½ x 106 x 50
= ½ x 177 x 50
= 2650 cm2
= 4425 cm2
30
A64 = ½ x (a+b) x t = ½ x (89+84) x 50
A69 = ½ x (a+b) x t
= ½ x 173 x 50
= ½ x (60+61) x 50
= 4325 cm2
= ½ x 121 x 50 = 3025 cm2
A65 = ½ x (a+b) x t = ½ x (84+79) x 50
A70 = ½ x (a+b) x t
= ½ x 163 x 50
= ½ x (61+54) x 50
= 4075 cm2
= ½ x 115 x 50 = 2875 cm2
A66 = ½ x (a+b) x t = ½ x (79+59) x 50
A71 = ½ x (a+b) x t
= ½ x 168 x 50
= ½ x (54+44) x 50
= 3450 cm2
= ½ x 98 x 50 = 2450 cm2
A67 = ½ x (a+b) x t = ½ x (59+60) x 50
A72 = ½ x (a+b) x t
= ½ x 119 x 50
= ½ x (44+21) x 50
= 2975 cm2
= ½ x 65 x 50 = 1625 cm2
A68 = ½ x (a+b) x t = ½ x (60+60) x 50
A73 = ½ x (a+b) x t
= ½ x 120 x 50
= ½ x (21+0) x 50
= 3000 cm2
= 525 cm2
b. Data perhitungan luas penampang Untuk data perhitungan luas bagian hulu disajikan dalam bentuk tabel agar mudah dalam penjumlahan serta mengetahui kedalaman dan luas penampangnya. Tabel 7. Data perhitungan luas penampang bagian hilir
No
Interval
Ketebalan (cm)
Luas Penampang (cm2)
1 2 3
0 – 50 50 – 100 100 –150
72 80 78
1800 3800 3950
31
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
150 – 200 200 – 250 250 – 300 300 – 350 350 – 400 400 – 450 450 – 500 500 – 550 550 – 600 600 – 650 650 – 700 700 – 750 750 – 800 800 – 850 850 – 900 900 – 950 950 – 1000 1000 – 1050 1050 – 1100 1100 – 1150 1150 – 1200 1200 – 1250 1250 – 1300 1300 – 1350 1350 – 1400 1400 – 1450 1450 – 1500 1500 – 1550 1550 – 1600 1600 – 1650 1650 – 1700 1700 – 1750 1750 – 1800 1800 – 1850 1850 – 1900 1900 – 1950 1950 – 2000 2000 – 2050
68 63 28 9 5 10 17 21 27 29 39 33 25 8 9.5 30 41 66.5 67 80 82 81 77 72 72.5 69 64 63 66 63 64 63 62 60 62 77 62 66
3650 3275 2275 925 350 375 675 950 1200 1400 1700 1800 1450 825 437.5 987.5 1775 2687.5 3337.5 3675 4050 4075 3950 3725 3612.5 3537.5 3325 3175 3225 3225 3175 3175 3125 3050 3050 3475 3475 3200
32
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73
2050 – 2100 2100 – 2150 2150 – 2200 2200 – 2250 2250 – 2300 2300 – 2350 2350 – 2400 2400 – 2450 2450 – 2500 2500 – 2550 2550 – 2600 2600 – 2650 2650 – 2700 2700 – 2750 2750 – 2800 2800 – 2850 2850 – 2900 2900 – 2950 2950 – 3000 3000 – 3050 3050 – 3100 3100 – 3150 3150 – 3200 3200 – 3250 3250 – 3300 3300 – 3350 3350 – 3400 3400 – 3450 3450 – 3500 3500 – 3550 3550 – 3600 3600 – 3650 ∑(Atotal)
68 71 68 69 69 68 82 94 90 92 86 64 54 48 58 71 81 83 85 88 88 89 84 79 59 60 60 61 54 44 21 0
3350 3475 3475 3425 3450 3425 3750 4400 4600 4550 4450 3750 2950 2550 2650 3225 3800 4100 4200 4325 4400 4425 4325 4075 3450 2975 3000 3025 2875 2450 1625 525 215.975 cm2 21,5975 m2
Sumber : Data Olahan Primer
2.3.2.6. Perhitungan Kecepatan Untuk data perhitungan kecepatan bagian hulu disajikan dalam bentuk tabel dan datanya sebagai berikut:
33
Tabel 8. Perhitungan Kecepatan Bagian
Kiri Tengah Kanan ∑(ttotal) Rata-Rata
t1 03’ 59,30” 02’ 33,60” 03’ 19,80” 09’ 51,98” 591,98 detik 197,33 detik
t2
t3
04’ 27,7 ” 02’ 17,04” 02’ 35,61” 09’ 20,35” 560,35 detik 186,78 detik
03’ 32,8 “ 02’ 37,60” 03’ 15,10” 09’ 25,5” 565,5 detik 188,5 detik
Sumber : Data Olahan Primer
T
t1 t 2 t 3 3
197,33 186,78 188,5 3
= 190,82 detik 2.3.2.7. Perhitungan Debit Untuk perhitungan debit digunakan rumus sebagai berikut: S V Q AxV T Keterangan : A = Luas Penampang V = Kecepatan Pelampung S = Jarak T = Waktu Perhitungan: S V T
V
25m 190,82s
= 0,13101352 m/s Q =Ax V = 21,5975 m2 x 0,13101352 m/s = 2,8295644982 m3/s
34
2.4. Kesimpulan Geohidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah sumber air bawah tanah yang berhubungan dengan cara terdapat, penyebaran, pengaliran, sifat kimia, dan potensi sumber air bawah tanah dalam hubungannya dengan lingkungan geologi. Sungai adalah suatu tubuh Running Water yang terkumpul pada suatu saluran dan bergarak menuju Base Level Of Erosion akibat pengaruh gaya gravitasi. Debit (discharge) atau besarnya aliran sungai (stream flow) adalah volume aliran yang mengalir melalui suatu penampang melintang sungai per satuan waktu dan satuanya meter kubik per detik (m3/det). Dari hasil perhitungan dihalaman sebelumnya dapat disimpulkan bahwa sungai didaerah Jembatan Gantung Imogiri adalah influen, dimana Qhulu > Qhilir. BAB III PUMPING TEST METODE THEIS 3.1. Tujuan dan Persyaratan 3.1.1 Tujuan Untuk menentukan harga koefisien keterusan air (T) dan daya simpan air (koefisien storage/S). Harga tersebut berguna untuk mengevaluasi potensi sumur. 3.1.2. Persyaratan dasar uji pemompaan Persyaratan untuk sebagai dasar uji pemompaan yaitu : 1. Akuifer dianggap meluas tak terhingga dan datar 2. Akuifer homogen dan isotropis dalam yang dipengaruhi pemompaan dan tebalnya seragam. 3. Air mengalir dalam akuifer laminar. 4. Drawdown yang disebabkan oleh aliran vertical kecil, sehingga dapat diabaikan. 5. Akuifer dapat dipompa dengan debit tetap. 3.1.3. Persyaratan Metode Theis
35
Persyaratan untuk melakukan analisis Metode Theis yaitu : 1. Akuifer tertekan. 2. Berupa aliran tak langsung. S dan t dapat diabaikan, juga gradient hidrolik konstan. 3. Diameter sumur kecil. 3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan dalam analisis Metode Theis yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Data hasil pemompaan dilapangan. Grafik “Theis Type Curve”. Kertas double logaritma. Kertas kalkir. Kalkulator atau alat hitung. Alat tulis.
3.3. Cara Kerja Langkah-langkah dalam analisis pumping test Metode Theis sebagai berikut : 1. Diplotkan harga drawdown (s) dan waktu pemompaan (t) pada kertas kalkir yang ditempelkan pada kertas double logaritma. Bila pengamatan s (oo) pada
sumur pengamat yang diplotkan s dengan t/r2. s sebagai ordinat dan t
t 2 r
sebagai absis. 2. Titik-titik yang didapat dilekatkan pada grafik standar Theis digeser-geser sehingga absis dan ordinat sejajar, sehingga didapat grafik yang sesuai. 3. Dipilih macth point sembarang dan dilihat hasil pada absis, t
t 2 r
dan 1/u. Pada
ordinat W (u) dan s. Catatan : Macth Point tidak harus diletakan pada kurva. Untuk lebih mudah dalam perhitungan diambil W (u) = 1 dan 1/u 10 (krusemen dan De Ridder, 1970). Dicari :
36
T=
S=
Q .W ( ) 4s
4Tt t 4T 2 2 r r t 2 r 1/ u
4T S=
Keterangan : T : koefisien keterusan air (m2/jam atau m2/hari) S : daya simpan air s : drawdown dalam meter t : waktu sejak pemompaan (menit, jam atau hari ) r : jarak sumur uji dengan sumur pengamatan. Q : debit pemompaan air. 4. Bila Q > 1 dicari rata-rata dengan grafik. 3.4. Hasil Uji Pemompaan Tabel 9. Data analisis pumping test metode theis
Waktu (t) menit 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Penurunan m.a.t (S) meter 0 9,75 10,2 10,6 10,8 10,9 11,12 11,20 11,27 11,33
t/r2 0 0,04 0,08 0,12 0,16 0,20 0,24 0,28 0,32 0,36
37
10 12 14 16 18 20 25 30 35 40 50 55 60 70 80 90 100 120 135 150 165 180 200 220 240 270 300 360
11,40 11,45 11,58 11,69 11,78 11,84 11,90 12,02 12,15 12,22 12,34 12,42 12,52 12,60 12,68 12,79 12,91 13,15 13,25 13,31 13,38 13,44 13,48 13,52 13,58 13,64 13,67 13,69
0,40 0,48 0,56 0,64 0,72 0,80 1 1,20 1,40 1,60 2 2,20 2,40 2,80 3,20 3,60 4 4,80 5,40 6 6,60 7,20 8 8,80 9,60 10,80 12 14,40
Sumber : Data Olahan Primer
Hasil Uji Pemompaan dari Metode Theis sebagai berikut : Dik : Q = 25
W (u) = 1
R = 5 cm Didapat :
l/u = 10
s = 12,5
t 2 r
= 1,40
Di cari : Koefisien keterusan air (T) dan daya simpan air/koefisien storage (S) ?
38
a. T =
Q .W ( ) 4s
25 .1 4.3,14.12,5 = 25 157
= = 0,159 m2/hari 4Tt t 4T 2 2 r r b. S = t 4T 2 r 1/ u = 4.0,159.1,40 10 = = 0,08904 3.5. Kesimpulan Dari data hasil analisis Metode Pumping Test Theis didapatkan hasil : Koefisien keterusan air (T) yaitu : 0,159 m2/hari Daya simpan air koefisien storage (S) yaitu : 0,08904 (leavy/semi confined) BAB IV PUMPING TEST METODE PAPADOPOULUS 4.1. Tujuan dan Dasar Teori 4.1.1.Tujuan Untuk menentukan koefisien keterusan air (T) dan menetukan koefisien daya simpan air (S). 4.1.2. Dasar Teori
39
Berlaku untuk sumur dengan diameter besar, dengan asumsi: 1. 2. 3. 4. 5.
Akuifer tertekan , homogen dan menerus. Aliran tak langsung. Diameter sumur >> Debit pemompaan (Q) konstan. Sumur menembus sumur akuifer.
4.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan dalam analisis Metode Papadopoulus yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Data hasil pemompaan dilapangan. Grafik “Theis Type Curve”. Kertas double logaritma. Kertas kalkir. Kalkulator dan alat tulis.
4.3. Cara Kerja Langkah-langkah dalam analisis pumping test Metode Papadopoulus sebagai berikut : 1. Diplotkan harga drawdown (s) dan waktu pemompaan (t) pada kertas kalkir yang ditempelkan pada kertas double logaritma. Bila pengamatan s (oo) pada
sumur pengamat yang diplotkan s dengan t/r2. s sebagai ordinat dan t
t 2 r
sebagai absis. 2. Hasil pengeplotan dibuat garis kurva, kemudian dihimpitkan dengan kurva standar papadopoulus hingga sesuai (sumbu ordinat kedua kurva sejajar). 3. Dipilih macth point sembarang dan dilihat hasil pada absis, t ordinat W (µ) dan s. 4. Masukan rumus :
T=
Q .W ( ) 4s
t 2 r
dan 1/u. Pada
40
S=
4Tt t 4T 2 2 r r t 2 r 1/ u
4T S=
Keterangan : T : koefisien keterusan air (m2/jam atau m2/hari) S : daya simpan air s : drawdown dalam meter t : waktu sejak pemompaan (menit, jam atau hari ) r : jarak sumur uji dengan sumur pengamatan. Q : debit pemompaan air.
4.4. Hasil Uji Pemompaan Tabel 10. Data analisis pumping test metode papadopoulus
Waktu (t) menit
Penurunan m.a.t (s) meter
t/r2
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 9,75 10,2 10,6 10,8 10,9 11,12 11,20 11,27
0 0.0156 0.0312 0.0470 0.0625 0.0781 0.0937 0.1093 0.125
41
9 10 12 14 16 18 20 25 30 35 40 50 55 60 70 80 490 100 120 135 150
11,33 11,40 11,45 11,58 11,69 11,78 11,84 11,90 12,02 12,15 12,32 12,34 12,42 12,52 12,60 12,68 12,79 12,91 13,51 13,25 13,31
0.1406 0.1562 0.1875 0.21875 0.25 0.2812 0.3125 0.3906 0.4687 0.5468 0.625 0.7812 0.8593 0.9375 1.0937 1.25 1.4062 1.5625 1.875 2.1093 2.3437
Sumber : Data Olahan Primer
Hasil Uji Pemompaan dari Metode Theis sebagai berikut : Dik : Q = 25
W (u) = 1
R = 5 cm Didapat :
l/u = 10
s = 9,75
t 2 r
= 0,0156
Di cari : Koefisien keterusan air (T) dan daya simpan air/koefisien storage (S) ? T=
=
Q .W ( ) 4s
25 .1 4.3,14.9,75
42
25 122,46
= = 0,20415 m2/hari
S
4Tt t 4 T 2 r2 r t 2 r 1/ u
4T
4.0,20415 .0,0156 10
= 0,001274 3.5. Kesimpulan Dari data hasil analisis Metode Papadopoulus didapatkan hasil: Koefisien keterusan air (T) yaitu : 0,20415 m2/hari. Daya simpan air koefisien storage (S) yaitu : 0,001274 (leavy/semi confined)
BAB V KUALITAS AIR TANAH
43
5.1.
Pendahuluan
5.1.1. Latar Belakang Air (badan air) merupakan suatu kebutuhan pokok bagi makhluk hidup agar dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi manusia air diperlukan untuk sumber air (minum, mandi, mencuci), pengairan dalam bidang pertanian, perikanan, pariwisata, dll. Selain itu, air juga sangat diperlukan dalam kegiatan industri
dan
pengembangan
teknologi
untuk
meningkatkan
taraf
kesejahteraan hidup manusia. Namun dibalik manfaat-manfaat tersebut, aktivitas manusia dibidang pertanian, industri dan kegiatan rumah dapat dan telah terbukti menyebabkan menurunnya kualitas air. Kualitas air secara umum menunjukkan mutu atau kondisi air yang dikaitkan dengan suatu kegiatan atau keperluan tertentu (Efendi, 2003). Dengan demikian, kualitas air akan berbeda dari suatu kegiatan ke kegiatan lain, sebagai contoh: kualitas air untuk keperluan irigasi berbeda dengan kualitas air untuk keperluan air minum. Kualitas air secara umum mengacu pada kandungan polutan yang terkandung dalam air dan kaitannya untuk menunjang kehidupan ekosistem dan kehidupan yang ada didalamnya. 5.1.2 Maksud dan Tujuan Maksud dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat melakukan pengamatan, melakukan dan mengetahui kualitas air tanah. Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat melakukan pengukuran parameter, serta untuk menentukan kualitas air tanah. 5.2.
Landasan Teori
5.2.1. Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Airtanah Secara kuantitas airtanah di bumi sangat melimpah, namun kualitasnya relatif menurun.Air yang dikonsumsi manusia sehari-hari harus memenuhi standar kualitas kesehatan menurut WHO dan Departemen Kesehatan
44
Republik Indonesia (DepKes). Menurut Todd (1980), tipe dan kadar airtanah dipengaruhi oleh asal airtanah, gerakan dan lingkungan. Pada umumnya airtanah mempunyai konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi dari air permukaan, sebagai akibat banyaknya dijumpai material yang mudah larut pada lapisan (formasi) geologi. Faktor yang mempengaruhi kualitas airtanah, antara lain adalah: 1. Asal airtanah: a. Batuan volkanik, yang mengandung Fe,S b. Batuan karbonat, yang mengandung Ca 2. Aerakan/aliran 3. Lingkungan: a. Macam tanah b. Batuan Kualitas airtanah dipandang sebagai sistem yang terdiri dari 3 komponen atau subsistem (Angelen 1981): 1. Material yang dilewati airtanah(macam tanah atau batuan), tergantung pada pola atau pori, komposisi kimia, dan keisotropisan. 2. Aliran, yang meliputi aliran laminer, turbulen, konveksi, dispersi, dan difusi. 3. Perubahan secara fisik, kimia dan biologi. Perubahan kualitas airtanah tergantung pada: a. Densitas b. Lokasi c. Ruang dan waktu d. Ragam pengaliran e. Perubahan proses fisik, kimia dan biologis 5.2.2. Sifat Fisis, Kimia dan Biologis Airtanah Sifat fisik airtanah antara lain sebagai berikut: 1. Warna: disebabkan oleh zat terlarut dalam air maupun yang tidak terlarut dalam air. Tes warna menggunakan skala Pt/Co. 2. Bau dan rasa: bau disebabkan oleh gas-gas yang terlarut, sedangkan rasa disebabkan oleh garam terlarut. 3. Kekeruhan: disebabkan oleh kandungan zat yang tidak terlarut (koloid). Terdiri dari lanau lempung, zat organik, atau mikroorgan-isme. Alat ukurnya: Turbidimeter dalam satuan NTU (Number Turbidimeter Unit).
45
4. Kekentalan: dipengaruhi oleh partikel-partikel yang terkandung di dalamnya, semakin banyak akan semakin kental. Faktor yang mempengaruhi tingkat kekentalan adalah cuaca, suhu, jumlah partikel terlarut, dan kadar garam. Sifat kimia meliputi kegaraman, pH, kesadahan, dan pertukaran ion. Kegaraman/jumlah garam terlarut (Total Disolved Solid) adalah jumlah konsentrasi garam yang terkandung di dalam air. Keasaman (pH) ditentukan dengan alat pH meter. Air yang asam mempunyai pH melarutkan besi. Air yang basa mempunyai nilai pH < 7, bersifat mudah >7, air yang mengandung garam Ca dan Mg karbonat, bikarbonat tinggi mempunyai pH 7,5 – 8. Air yang netral mempunyai pH 7. Kandungan ion, baik kation maupun anion (ion logam) diketahui dengan Volumetri, calametri flamefotometri, spektrom fotometri. Ionnya adalah K, Ca, Mg, Al, Fe, Mn, Cu, Zn, Cl, SO4,CO2, CO3, HCO3, H2S, NO3, NO2, KMnO4, SiO2, dan Boron. Kesadahan atau kekerasan (total hardness)-Hr jumlah Ca dan Mg disebut kesadahan karbonat dan kesadahan nonkarbonat. Sifat biologis (bakteriologis), bakteri yang biasanya berkembang pada air adalah bakteri E. Colly dan ditentukan dengan daftar MPN dari Hoskins. 5.2.3. Interpretasi dari Data Kualitas Airtanah Untuk keperluan interpretasi dari data kualitas airtanah, cukup berdasarkan ion-ion penyusun utama airtanah baik berupa kation maupun anion. Kation terdiri dari Ca, Mg, Na&K, Fe, Mn, sedangkan anion terdiri dari Cl, SO4, HCO3, CO3, NO3 dan kadang – kadang F. Di samping itu sering ditambah pula dengan SiO2, TDS, EC, suhu dan pH. Satuan ion-ion terlebih dahulu harus diubah dari satu mg/l (ppm) menjadi epm (Equivalen per million) dengan :
Epm
ValensiXpp m BeratMolek ul
Atau secara mudah satuan ppm dikalikan dengan faktor konfersi pada tabel 1
46
Tabel 11. Faktor konversi ppm ke epm (Walton, 1970)
Ion Alumunium(Al3++) Barium (Ba+ +)
Multiply by 0,11119 0,01456
Bicarbonate (HCO3) 0,01639 Bromide (Br -) 0,01251 Calcium (Ca++) 0,04990 Carbonate (CO3) 0,03333 Chloride (Cl -) 0,02820 Chromium (Cr4-) 0,11536 Copper (Cu -) 0,03148 Flouride (F -) 0,05263 Hydrogen (H+) 0,99206 Hydroxide (OH-) 0,05880 Iodide (I-) 0,00788 Iron (Fe + +) 0,03581
Ion Iron (Fe3+) Lead (Pb --) Lithium (Li -) Magnesium (Mg--) Manganese (Mn3-) Nitrate (NO2-) Phosphate (PO43-) Potassium (K+) Sodium (Na+) Strontium (Sr--) Sulfate (SO4-) Sulfite (S-) Zing (Zn4-) Manganese(Mn3+)
Multiply by 0,05372 0,00965 0,14409 0,08224 0,03640 0,01613 0,03159 0,02558 0,04350 0,02282 0,02082 0,06237 0,03059 0,07281
Prinsip interpretasi data analisis kimia airtanah didasarkan atas hubungan ion-ion atau kelompok ion yang membentuk tipe kimia air. Hal tersebut diatas, didasarkan pada kenyataan suatu gambar atau grafik tunggal yang tidak dapat diterangkan secara keseluruhan. Untuk tujuan itu dikenal beberapa metode yang dapat digolongkan menjadi 4 golongan (Zaporozec. 1972) yaitu: 5.2.3.1.Metode klasifikasi Dipergunakan sebagai dasar perincian komposisi kimia airtanah sehingga dapat dipakai untuk mengelompokkan atau membedakan tipe airtanah. Ada beberapa cara dalam metode ini antara lain yang praktis adalah klasifikasi tabel Korlov terutama sangat membantu dalam mengenal sifat-sifat utama komposisi kimia airtanah. Komposisi kimia dinyatakan dalam fraksi semu, dengan anion dan kation berturut-turut sebagai pembilang dan penyebut. Analisis ditunjukan dalam urutan kadar ion baik kation maupun anion, yang masing-masing berjumlah 100% epm. Selain anion dan kation, disertakan pula penyusun airtanah yang lain misal
47
adanya unsur langkah yang berkadar tinggi, juga pH dan suhu. Penamaan klas air ditentukan oleh kandungan ion yang mempunyai jumlah ≥25%. 5.2.3.2. Metode korelasi Dengan menggunakan diagram pola Stiff (1951), dalam Walton (1970), bertujuan untuk membandingkan analisis kimia airtanah agar didapat perbedaan, kesamaan atau perkembangan dalam komposisi kimia airtanah. Cara kerjanya adalah sebagai berikut: 1. Menggunakan 4 sumbu mendatar yang sejajar dan sumbu tegak 2. Anion (Cl, HCO3, SO4, CO3) diplot pada keempat sumbu mendatar di 3.
sebelah kanan sumbu tegak. Kation (Na+K, Mg, Ca, Fe) diplot pada keempat sumbu mendatar di sebelah
kiri sumbu tegak 4. Kadar anion dan kation dalam epm 5. Setiap pola mewakili satu tipe air, sehingga setiap perbedaan pola menunjukkan tipe air yang berbeda pula 6. Lebar/luas yang terbentuk menunjukkan kandungan ion keseluruhan. 5.2.3.3. Metode analisis Dengan menggunakan diagram triliner piper (1953) dalam Walton (1970). Bertujuan untuk menentukan proses kimia airtanah/genetik airtanah, menentukan unsur penyusun larutan airtanah, dan perubahan sifat airtanah dan hubunganya serta masalah geokimia airtanah.
48
Gambar 4. Diagram piper
Terdiri dari 2 segitiga disebelah kiri kanan dan 1 jajaran genjang ditengah atas, skala pembacaan 100, segita kiri untuk kation, segitiga kanan untuk anion dalam % epm. Cara kerjanya adalah sebagai berikut : 1. Data masing-masing ion dalam % epm diplot pada kedua segitiga. 2. Selanjutnya ditarik keatas pada jajaran genjang dan kedudukan dalam jajaran genjang ini dapat diketahui sifat airtanahnya. Gambar subsidi dari bentuk jajaran genjang. 3. Ploting jatuh pada subdivisi dari kelompok bentuk jajaran genjang dari diagram trilinier piper dan dibaca sifat airtanahnya. 5.2.3.4.
Metode sintesis dan ilustrasi
Dengan menggunakn metode Bar Collin (1932) dalam Walton (1970) dia paggramar (fence diagram). Dalam diagram ini dibagi menjadi 2 kolom tegak yang tingginya menyesuaikan dengan total kadar anion dan kation dalam satuan epm. Dibedakan dengan pola (corak) dan warna yang berbeda. Urutan dari bawah keatas pada kolom kanan adalah anion dan kolom sebekah kiri adalah kation.
49
5.3. Hasil Analisis 5.3.1. Metode Analisis Airtanah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tabel 12. Parameter analisis air tanah Parameter Sampel 1 Sampel 2 Temperatur 29 29 pH 7.4 7.5 DHL,mmhos/cm 450 525 Ca2+ ppm 90.2 90.7 2+ Mg ppm 18.9 14.67 Cl– ppm 20.2 24.6 4SO ppm 73 31 + Na ppm 15.24 20.4 K+ ppm 6.2 4.1 3NO ppm 4 6 HCO3 321 286 SiO2 30.2 31.8 Tabel 13. Konversi ppm ke epm pada sampel 1 Parameter ppm epm Ca2+ 0.0499 4.50098 Mg2+ 0.08224 1.554336 + Na 0.0435 0.6699 K+ 0.02558 0.158596 NO3 0.01613 0.06452 Cl0.0282 0.56964 SO40.02082 1.51986 HCO3 0.01639 5.26119 + + Na + K 0.06908 0,821536 Tabel 14. Konversi ppm ke epm pada sampel 2 Parameter ppm epm 2+ Ca 0.0499 4.52593 2+ Mg 0.08224 1.2064608 Na+ 0.0435 0.8874 + K 0.02558 0.104878 NO3 0.01613 0.09678 Cl0.0282 0.69372 SO4 0.02082 0.64542 HCO3 0.01639 4.68754 Na++ K+ 142,304 0,992278 Tabel 15. Konversi ppm ke epm pada sampel 3
Sampel 3 29 7.4 495 106.2 15.66 19.7 38 9 3.1 6 317 29
50
Parameter Ca2+ Mg2+ Na+ K+ NO3 ClSO4HCO3Na++ K+
ppm 0.0499 0.08224 0.0435 0.02558 0.01613 0.0282 0.02082 0.01639 142,304
Epm 5.29938 1.2336 0.3915 0.79298 0.09678 0.55554 0.79116 5.19563 0,55008
5.3.2. Metode Klasifikasi Kurlov Tabel 16. Penentuan tipe air pada sampel 1 Analisis Kimia K Na++ K+ AT Mg2+ IO N Ca2+ ∑ A Cl NI NO3 O HCO3 N SO4 ∑ SiO2 ppm Temperatur (0C) pH Formula Kurlov
Tipe Air
Epm 0,821536 1,554336
% Epm 11,9463964 22,60243495
4,50098 6,876852 0,56964 0,06452 5,26119 1,51986 7,41521
65,45116865 100% 7,682048115 0,870103477 70,95132842 20,49651999 100%
30,2 29 7,4 HCO3ClNO3SO470,95132842 7,682048115 0,870103477 20,49651999 Tipe air dengan kandungan bikarbonat (HCO3-) yang dominan yaitu 70,95132842% dan kandungan klorida (Cl-) 7,682048115%. Jadi tipe air pada sampel ini yaitu tergolong pada air tawar karena HCO3- > Cl-.
51
Analisis Kimia Na++ K+ KAT Mg2+ ION Ca2+ ∑ ClNO3ANI ON HCO3SO4∑ SiO2 ppm Temperatur (0C) pH Formula Kurlov
Tipe Air
Tabel 17. Penentuan tipe air pada sampel 2 Epm % Epm 0,992278 14,75578991 1,2064608 17,94082112 4,52593 67,30338898 6,7246688 100% 0,69372 11,33003639 0,09678 1,58063905 4,68754 76,55826381 0,6448 10,53106075 6,12284 100% 31.8 29 7,5 HCO3ClNO3SO476,5582638 1,5806390 11,33003639 10,53106075 1 5 Tipe air dengan kandungan bikarbonat (HCO3-) yang dominan yaitu 76,55826381% dan kandungan klorida (Cl-) 11,33003639%. Jadi tipe air pada sampel ini yaitu tergolong pada air tawar karena HCO3- > Cl-.
Tabel 18. Penentuan tipe air pada sampel 3 Analisis Epm % Epm Kimia + + K Na + K 0,55008 7,766134976 A Mg2+ 1,2336 17,41620147 T I Ca2+ 5,29938 74,81766355 O N ∑ 7,08306 100 A Cl0,55554 8,368645823 N NO3 0,09678 1,457892398 I HCO35,19563 78,26688861 O SO40,7904 11,90657317 N ∑ 6,63835 100 SiO2 ppm 31.8 Temperatur 29 pH 7,5 HCO3ClNO3 SO4Formula 78,26688 8,368645 1,457892 11,90657 Kurlov 861 823 398 317
52
Tipe Air
Tipe air dengan kandungan bikarbonat (HCO3-) yang dominan yaitu 78,26688861% dan kandungan klorida (Cl-) 8,368645823%. Jadi tipe air pada sampel ini yaitu tergolong pada air tawar karena HCO3- > Cl-.
5.3.3. Metode Korelasi 1. Sampel 1
Gambar 5. Korelasi anion dan kation pada sampel 1
2. Sampel 2
Gambar 6. Korelasi anion dan kation pada sampel 2
53
3. Sampel 3
Gambar 7. Korelasi anion dan kation pada sampel 3
5.3.4. Metode Analisis 1. Sampel 1
54
Gambar 8. Metode analisis pada sampel 1
2. Sampel 2
Gambar 9. Metode analisis pada sampel 2
55
3. Sampel 3
Gambar 10. Metode analisis pada sampel 3
5.3.5. Metode Sintesis dan Ilustrasi 1. Sampel 1
Gambar 11. Diagram bar collin pada sampel 1
56
2. Sampel 2
Gambar 12. Diagram bar collin pada sampel 2
3. Sampel 3
Gambar 13. Diagram bar collin pada sampel 3
57
5.3.6. Analisis Parameter Airtanah 1. Menghitung % Na Airtanah
(Na K ) % Na Sampel 1 2 x 100% Ca Mg 2 Na K
0,821536 x100% 4,50098 1,554336 0,821536
= 11,9463964 %
% Na Sampel 2
(Na K ) x 100% Ca 2 Mg 2 Na K
0,992278 x100% 4,52593 1,2064608 0,992278
= 14,75578991 %
% Na Sampel 3
(Na K ) x 100% Ca 2 Mg 2 Na K
0,55008 x100% 5,29938 1,2336 0,55008
= 7,76614976 %
2. Perhitungan Sodium Absortion Ratio (SAR) airtanah SAR Sampel 1
Na Ca 2 Mg 2 2 0,66294 4,50098 1,554336 2
58
0,66294 1,740016667
= 0.38099635 Na
SAR Sampel 2
Ca 2 Mg 2 2
0,8874 4,52593 1,2064608 2
0,8874 1,69298417
= 0,524163199 Na
SAR Sampel 3
Ca 2 Mg 2 2
0,3915 5,29938 1,2336 2
0,3915 1,807343354
= 0,216616283 3. Perhitungan Daya Hantar Listrik (DHL) Sampel 1 mempunyai nilai DHL = 450 Sampel 2 mempunyai nilai DHL = 525 Sampel 3 mempunyai nilai DHL = 495 Apabila diukur pada suhu di atas atau di bawah 25ºC maka harus dilakukan koreksi yaitu dengan rumus :
59
DHL 250 C
DHLt 0C 1 0.02 t 250 C
DHL / EC dihitung dengan menggunakan rumusan: a. Perhitungan Daya Hantar Listrik DHL (Sampel 1) DHL 25
℃
=
=
DHLt ℃ 1+0.02( t−25℃)
450 1+0.02(29−25 ℃)
= 110,29 b. Perhitungan Daya Hantar Listrik DHL (Sampel 2) DHL 25
℃
=
=
DHLt ℃ 1+0.02( t−25℃)
525 1+0.02(29−25 ℃)
= 128,67 c. Perhitungan Daya Hantar Listrik DHL (Sampel 3) DHL 25
℃
=
=
DHLt ℃ 1+0.02( t−25℃)
495 1+0.02(29−25 ℃)
= 121,32
4. Klasifikasi DHL
60
Tabel 19. Klasifikasi mutu air terhadap Pertanaman berdasarkan DHL menurut Tedjoyuwono (1963) dalam Suharyadi (1984) DHL KLASIFIKASI SIFAT AIR Aman digunakan, pengaruh garam kebanyakan dapat 0 – 2 mmhos Diabaikan Daya hasil pertanaman yang sangat peka dapat 2 – 4 mmhos Diabaikan Daya hasil pertanaman yang banyak mengalami 4 – 8 mmhos Pembatasan Hanya pertanaman yang tahan dapat meemberikan 8 – 16 mmhos hasil memuaskan Hanya pertanaman yang sangat tahan memberikan > 16 mmhos hasil yang memuaskan
Sampel 1 2 3
Tabel 20. Hasil perhitungan % Na, SAR, DHL % Na SAR DHL (mho/cm)
11,9463964 % 14,75578991 % 7,76614976 %
0.38099635 0,524163199 0,216616283
110,29 128,67 121,32
BAB VI PEMETAAN AIR TANAH 6.1.Pendahuluan 6.1.1. Latar Belakang Air adalah zat yang penting bagi semua bentuk kehidupan dibumi. Beberapa penduduk mempunyai sumur sendiri untuk memenuhi kebutuhan airnya, dan biasanya terletak di dalam pekarangan rumah mereka. Beberapa sumur mungkin bisa terlihat dari luar, namun sebagian lagi mungkin tersembunyi, atau sudah tertutup oleh rerumputan karena tidak terawat. Kita tidak bisa seenaknya saja masuk dan memeriksa rumah demi rumah untuk mencari sumur tanpa bertanya kepada pemiliknya. Untuk itu skill diplomasi dibutuhkan disini, dan
61
bersiaplah untuk berulang-ulang menjelaskan siapa kita dan apa keperluan kita. Sebagian warga mungkin dengan senang hati menunjukkan sumurnya jika dia mengetahui untuk apa data tersebut digunakan, maka dari itu jelaskanlah kepada mereka, tentunya dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang awam, bukan bahasa geologi. Berikut ini adalah data-data yang kita perlukan dari sumur. Beragam cara dapat dilakukan untuk mengukur ketinggian air tanah di sumur, mulai dari memakai peralatan elektronik hingga cara sederhana dan tradisional. Semuanya bergantung kepada apa yang tersedia dan dapat digunakan. Satu hal yang pasti, data yang diambil tersebut harus benar dan dapat dipercaya. Untuk mencari mata air, tanaman mungkin bisa membantu. Coba perhatikan apakah ada daerah yang mempunyai vegetasi lebih lebat dari sekitarnya. Vegetasi yang tumbuh di daerah dengan banyak air juga biasanya mempunyai warna yang lebih hijau dari disekelilingnya, jadi kenampakan seperti ini bisa kita gunakan sebagai indikasi adanya mata air dan kita cek untuk membuktikannya. Alternatif cara kedua bisa dengan bertanya dengan warga, karena biasanya warga yang tidak mempunyai sumur akan memenuhi kebutuhan airnya dari mata air.
6.1.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat mencari, memetakan serta mengetahui ketinggian muka air tanah dari permukaan laut. Tujuan dari praktikum ini agar praktikan dapat membuat peta kontur air tanah dan jaringan/sistem, penyebaran aliran air tanahnya serta mengetahui pola aliran yang dibentuk oleh kontur air tanah. 6.1.3. Lokasi, Waktu dan Kesampaian Daerah Perjalanan dimulai dari Yogyakarta sekitar pukul 9.30 WIB, kemudian mengendarai kendaraan bermotor roda 2 ke arah Jalan Godean hingga sampai ditempat sekita pukul 10.15 WIB. Jarak yang ditempuh sekitar ± 25 Km.
62
Hari/tanggal : Sabtu, 23 Juni 2012 Waktu
: 10.20 WIB - selesai
Lokasi
: Desa Jarimulyo, Sidomulyo, Hargowilis dan sekitarnya Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta.
Cuaca
: Cerah
Morfologi
: Perbukitan bergelombang kuat
Vegetasi
: Lebat (pohon bambu, mahoni, pisang dan pepohonan lainya)
6.1.4. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Peta skala 1 : 25.000 GPS (Global Position System) Pita ukur (50 Meter) Kamera Alat tulis Buku catatan lapangan
6.2. Geologi Daerah Penelitian 6.2.1. Geomorfologi Regional Penyebaran satuan Pegunungan Kulon Progo memanjang dari selatan ke utara dan menempati bagian barat Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketinggian pegunungan ini berkisar antara 100-1200 meter diatas permukaan laut dengan besar kelerengan berkisar antara 15° - 60°. Kulon Progo merupakan tinggian yang berbentuk kubah memanjang dengan sumbu panjang berjarak kurang lebih 32 km dengan arah timur laut-barat daya. Sedangkan sumbu pendeknya berjarak kira – kira 15 km dengan arah barat laut-tenggara. Daerah Kulon Progo merupakan tinggian yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di bagian barat rendahan Yogyakarta di bagian timur. Pada umumnya proses erosi sudah terjadi
63
sangat intensif menghasilkan morfologi dewasa hingga tua membentuk bentukan morfologi terbiku kuat oleh pola penyaluran (van Bemmelen,1949). 6.2.2.Stratigrafi Regional Secara regional daerah penelitian merupakan bagian dari stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo (bagian utara) yang telah disusun oleh Rahardjo et al (1995). Lokasi penelitian berada pada peta geologi lembar Yogyakarta. Berikut merupakan tatanan stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo bagian utara : 1. Formasi Nanggulan (Teon) Formasi ini merupakan batuan tertua di Pegunungan Kulon Progo dengan lingkungan pengendapannya adalah litorial pada fase genang laut. Litologi penyusun formasi ini terdiri dari batupasir dengan sisipan lignit, batunapal pasiran, batulempung dengan konkresi limonit, sisipan batunapal dan batugamping, batupasir dan tuf kaya foraminifera yang ketebalannya diperkirakan mencapai 350 meter. Berdasarkan atas studi foraminifera plankton formasi ini diperkirakan berumur Eosen Tengah sampai Oligosen Atas. 2. Formasi Kebobutak (Tmok) Formasi Kebobutak merupakan bagian dari Formasi Andesit Tua (OAF) yang ada di Jawa Tengah. Litologi penyusun formasi ini adalah breksi andesit, tuf, tuf lapili, aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lavanya terutama terdiri dari andesit augit- hornblende. Kepingan tuf napalan yang merupakan hasil rombakan dari lapisan yang lebih tua dijumpai di kaki Gunung Mudjil, di dekat bagian bawah formasi ini. Fosil plankton pada kepingan ini berupa Globigerina Caperoensis Bolli, Globigerina Yeguaensis, dan Globigerina bulloides menunjukkan umur Oligosen Atas. Dengan demikian, Formasi Kebobutak berumur Oligosen Atas sampai Miosen Bawah dengan ketebalan kira – kira mencapai 660 m. 3. Formasi Jonggrangan (Tmj)
64
Litologi penyusun bagian bawah dari formasi ini adalah konglomerat yang ditindih oleh napal tufaan dan batupasir gampingan dengan sisipan lignit. Ketebalan formasi ini mencapai 250 meter. Formasi ini berumur Miosen Bawah, dan di bagian bawah menjemari dengan bagian bawah Formasi Sentolo. 4. Formasi Sentolo (Tmps) Formasi ini tersusun oleh batugamping dan batupasir napalan. Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari konglomerat yang ditumpuki oleh napal tufaan dengan sisipan tuf. Batuan ini ke arah atas berangsur-angsur berubah menjadi batugamping berlapis yang kaya akan fosil foraminifera. 5. Endapan alluvial (Qa) Endapan aluvial ini terdiri dari kerakal, pasir, lanau, dan lempung sepanjang sungai yang besar dan dataran pantai. 6. Endapan Gunungapi Sumbing Muda (Qsm) Endapan ini tersusun oleh pasir tufan, tuf pasiran, dan breksi andesit. 6.2.3. Struktur Geologi Regional Daerah Kulon Progo mengalami tiga kali fase tektonik (Rahardjo et al, 1995). Fase tektonik pertama terjadi pada Oligosen Awal dengan disertai aktifitas vulkanisme. Fase kedua terjadi pada Miosen Awal terjadi penurunan daerah Kulon Progo. Kemudian, fase ketiga terjadi pada Pliosen sampai Pleistosen terjadi fase tektonik berupa pengangkatan dan aktivitas vulkanisme. 1. Fase Tektonik Oligosen Awal – Oligosen Akhir. Fase tektonik Oligosen Awal terjadi proses pengangkatan daerah Kulon Progo yang dicirikan oleh ketidakselarasan Formasi Nanggulan yang diendapkan di darat. Fase tektonik ini juga mengaktifkan vulkanisme di daerah tersebut ,yang tersusun oleh beberapa sumber erupsi. Perkembangan vulkanisme di Kulon Progo tidak terjadi bersamaan, namun di mulai oleh Gunung Gajah (bagian tengah Pegunungan Kulon Progo), kemudian
65
berpindah ke selatan pada Gunung Idjo, dan terakhir berpindah ke utara pada Gunung Menoreh. 2. Fase Tektonik Miosen Awal. Pada pertengahan Miosen Awal terjadi fase tektonik kedua berupa penurunan daerah Kulon Progo. Penurunan ini dicirikan oleh berubahnya lingkungan pengendapan , yaitu dari Formasi Kebobutak yang diendapkan di darat menjadi Formasi Jonggrangan yang diendapkan di laut dangkal. Pada fase ini, hampir semua batuan gunungapi Formasi Kebobutak tertutup oleh batugamping Formasi Jonggrangan, menandakan adanya genangan laut regional. 3. Fase Tektonik Pliosen – Pleistosen. Pada akhir Pliosen terjadi fase tetonik ketiga di daerah Kulon Progo, berupa pengangkatan. Proses ditandai oleh berakhirnya pengendapan Formasi Sentolo di laut dan diganti oleh sedimentasi darat berupa aluvial dan endapan gunung api kuarter. Fase tektonik inilah yang mengangkat daerah Kulon Progo menjadi pegunungan kubah memanjang yang disertai dengan gaya regangan di utara yang menyebabkan terpancungnya sebagian Gunung Menoreh. Bisa dikatakan bahwa fase tektonik inilah yang membentuk morfologi Pegunungan Kulon Progo saat ini. 6.3. Interpretasi Aliran Airtanah (Terlampir)
DAFTAR PUSTAKA Suharyadi.,1984., “Diktat Kuliah: Geohidrologi”. Yogyakarta Todd,D.K,.1959.Groundwater Hydrology,1st Edition. Jhon Wiley & Sons Toppan Company Ltd, Tokyo.