Bab I. Pelangi Kehidupan
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar." (Q.S. Al- Qashash : 80)
“Jalan kehidupan sudah digariskan. tapi manusia diberikan kesempatan untuk merubahnya (Allah merubah nasib suatu kaum). Dialah Allah SWT Sang Maha Pemberi, Maha Kasih, dan Maha Penyayang. Allah melihat usaha dan do’a setiap hambanya. Semua do’a akan terkabul hanya tinggal masalah waktu (kesabaran). Allah SWT Maha Tahu kebutuhan setiap hambanya. Dan hamba yang berimanlah yang diberikan kekayaan dunia dan akhirat (rizki yang tiada disangka-sangka).” Tak ada malam kalau tak ada air mata. Tak ada tidur jikalau mata itu belum lelah mengeluarkan air mata. Hamparan sajadah lusuh adalah saksi bisu pergulatan sebuah keluarga yang melawan susahnya perjuangan hidup. Dinding rumah yang terbuat dari kayu semakin lama semakin merapuh seiring dengan linangan air mata yang jatuh membasahi pipi. Bintang di langit rupanya telah bosan mendengar isak tangis dari sang empunya rumah. Dan rembulan malam dengan segenap cahayanya, telah sering melihat wajah-wajah itu, tatkala tidur, tiada sunggingan senyum dan aura kedamaian pada rona wajahnya. Tak ada mimpi indah yang menyambangi benak bawah sadar penghuni rumah tua itu. Di dinding anyaman bambu, terpampang foto sang ayah yang dahulu menjadi inspirasi dan penopang hidup. Kini tinggal mengenang sisa-sisa perjuangannya. Dan mungkin jasadnya telah musnah dimakan binatang tanah. Semoga dia mendapat kesenangan pada saat-saat menunggu hari kebangkitan (nikmat kubur). Mengingat begitu besar pengorbanannya untuk keluarga. Sore itu…..
“Mak, dari hari ke hari, Maryam lihat, Emak selalu termenung. Apa sebenarnya yang Emak pikirkan? Jalani saja hidup kita ini. Biar serba kekurangan, tapi kita masih punya Allah Mak.” “Allah!! Emak rasanya sudah tidak percaya lagi pada Allah.” “Mak, jangan berkata demikian. Tidak baik. Allah itu mampu melakukan segalanya. Kehendak-Nya adalah yang terbaik.” “Dari Emak muda sampai tua begini, Emak tidak pernah merasakan sesuatu yang membuat Emak bahagia dari Allah.” “Emak, kata Ustadz Jalal, nikmat yang ada pada diri kita ini adalah karunia terbesar dalam hidup kita. Emak ingat? Ketika Emak melahirkan Maryam dan Veiza, siapa yang menyelamatkan nyawa Emak?” “Sudahlah, Maryam.” Emak mengeluarkan air mata. Tatapannya kosong dan harapannya hampa. Tak ada impian lagi dalam dirinya kecuali menerima takdir sebagai orang tua pemulung. Kegiatannya sebelum shubuh, harus sudah bangun mencari botol dan gelas plasik bekas air mineral. Membawa karung yang sudah kotor. Berpakaian kumal, lusuh, berbau keringat dan sampah. Tak ada satu orang pun yang melihatnya dengan wajah suka. Apalagi menyapanya ramah. Uang yang dihasilkannya pun hanya bisa untuk makan sehari-hari dengan lauk seadanya. Dengan satu tempe, sayur bening dan sepiring nasi sudah cukup untuk mengisi perut dari pagi sampai sore layaknya orang berpuasa. Dan malam, paling-paling makan dengan mie instant atau roti seharga seribuan. Hari ini memikirkan hari esok. Hari esok cemas, apakah bisa makan atau tidak? Uang yang ada selalu habis. Tabungannya nol. Hartanya adalah badannya dan kedua anaknya. Tubuhnya tak pernah gemuk. Minimal bertahan pada posisi 45 kg. Dan Rambutnya acak-acakan, mencerminkan pikirannya yang juga semraut. Tak tentu arah. Suatu malam dalam keheningan. Tetangga di sekitar rumah Maryam sudah banyak yang terbuai oleh mimpi tidurnya. Jalanan sepi, sunyi. Sesekali suara anjing melolong memecah keheningan. Membuat aura ketakutan pada malam hari. Jakarta masih diselimuti udara sisa-sisa asap kendaraan bermotor. Panas. Kebetulan saat ini musim panas menaungi atmosfir kota Jakarta. Hujan jarang turun. Yang ada keluhan; hari begitu penat dan panas. Membuat gerah setiap orang tatkala malam datang. Kipas angin selalu
berputar di setiap rumah di kota Jakarta. Dan AC dengan refrigeratornya memberikan udara sejuk pada setiap kamar orang kaya. Namun, dari dahulu Jakarta selalu menjadi tujuan utama kebanyakan orang dari luar Jakarta. Selain gudang uang, Jakarta merupakan gengsi tersendiri bagi orang desa yang pernah menghirup udara kota Jakarta. Tak khayal banyak lahir para konglomerat dari Jakarta, dan tak khayal pula lahir pengangguran dan gelandangan di Jakarta. Entah mengapa? Kenapa pembangunan dan pusat perdagangan atau peredaran uang, Jakarta yang menjadi prioritas utamanya? Indonesia dengan beribu-ribu pulau dan potensinya, sangat masuk akal jika negeri ini adalah negeri yang kaya raya. Jika kita menanam singkong atau menebar benih ikan, maka dalam waktu tiga bulan sudah siap di panen. Mengapa tidak ada Jakarta di kepulauan lain? Padahal, Jakarta begitu sempit, hanya setitik jika dilihat pada peta. Kenapa, apakah ini karena ketidakmampuan pemerintahan Indonesia dalam mengelola negeri sekaya ini? Tak ada jawaban. Seluruh dunia mengakui. Negeri dengan iklim tropis dan terletak di zamrud khatulistiwa adalah pemberian Tuhan yang tak ternilai harganya. Otak orang Indonesia yang pintar-pintar juga bagian dari karunia Allah. BJ. Habibi adalah contohnya. Manusia dengan IQ sempurna. Ironis, banyak hal yang sia-sia di Indonesia. Kenapa Indonesia tidak meniru Jepang? Negara pencipta teknologi, dan pertaniannya maju. Kenapa Indonesia tidak meniru Malaysia? Yang melaksanakan pembangunan di seluruh daerah hingga pelosok negeri terpencil. Kenapa Indonesia tidak meniru Singapura? Yang perdagangan dan pendidikannya setaraf dengan pendidikan no. 1 di Amerika. Kenapa pula Indonesia tidak meniru negara-negara Arab? Yang bahan tambangnya sangat potensial dan keyakinan beragamanya sangat bagus. Kenapa? Dan puluhan kenapa yang belum bisa terjawab oleh bangsa Indonesia sendiri??? Jikalau semua potensi dikembangkan, rasanya Indonesia akan menjadi negara yang terpuji. Kaya. Tidak ada lagi orang yang seperti Emaknya Maryam. Tak perlu lagi meminjam hutang kepada Amerika yang membuat kebijakan financial global. Tak perlu lagi berpatokan pada dolar. Tak perlu lagi mengalami krisis moneter, pendidikan, bahkan krisis akhlak sekalipun. Bisnis tinggallah bisnis. Semua adalah bisnis. Bisnis adalah nomor satu. Kepentingan pribadi dan golongan juga nomor satu. Tak ada uang berarti tak ada barang. Semua bekerja demi uang. Uang di cari dari jalan manapun. Tak peduli halal atau haram. Hingga ada yang sampai ke
pesugihan, praktek-praktek syirik, perdukunan dan penipuan. Demi mengejar bisnis, hanya keuntungan yang menjadi tolak ukur. Nilai-nilai kemanusiaan banyak dikesampingkan. Begitu kira-kira isi otak kebanyakan para maniak pemburu rupiah di Indonesia. Termasuk aktivitas pemilu. Bermodalkan sekian milyar rupiah untuk dana kampaye. Dan, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya harus kembali dua kali lipat. Tak peduli pembangunan di segala sektor. Tak peduli masyarakat mana yang akan tersejahterahkan. Semuanya bias, absurd, dan niscaya. Padahal, seribu rupiah amat berarti bagi pengemis-pengemis jalanan dan fakir miskin. Maka, untuk ukuran sekarang, pemilik modal, dan yang bekerja di intansi pemerintahlah yang bermandikan uang dan kesejahteraan. Ada pun kebijakan yang memihak rakyat, banyak tersangkut di beberapa mekanisme kinerja, yang notabene mengurangi jatah untuk rakyat. Rakyat harus berjuang sendiri. Dimana pemerintah yang mengayomi rakyat, menjadi pelayan rakyat, dan mementingkan rakyat? Mungkin, hanya berada di negeri para kholifah jaman Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, dan satu lagi, Republik Mimpi yang disiarkan stasiun televisi swasta. Seribu macam problema ada di Jakarta. Semua bentuk dan rupa manusia juga ada di Jakarta. Dari Wong Deso, Wong Kota, Wong Asia, Wong Eropa, Wong Afrika, Wong Amerika juga ada. Jakarta bukan lagi milik orang Jakarta. Penduduk asing juga mendapat tempat di Jakarta. Jakarta milik semua orang. Kota metropolitan dengan segala hedonisme yang ada. Sehingga, orang desa sangat berkeinginan untuk mencari pengalaman di Jakarta, walaupun terkadang harus menjual sepetak sawah atau seekor kambing peliharaan. Banyak juga pendatang yang kemudian menikah dengan penduduk asli Jakarta. Beranakpinak hingga mereka mengaku, mereka adalah orang Jakarta. Jakarta, orang modern. Kini penduduk Jakarta pun, sudah banyak yang menikah dengan keturunan bule. Lalu melahirkan anak dari dua kebudayaan yang berbeda. Terjadilah benturan kebudayaan. Tapi, benturan kebudayaan itu di satukan dengan adanya kebineka-tunggal-ikaan. Tak masalah, walau berbeda, yang penting satu tujuan, yaitu cari uang untuk kehidupan di kota Jakarta. Syah-syah saja. Semua bisa diatur. Biasanya, kalangan artis yang hidupnya seperti itu. Beritanya begitu cepat tersebar ke seantro jagad bumi pertiwi melalui infotainment di televisi.
Gaya hidupnya gemerlap. Pergaulannya bebas. Berbekal cantik atau tampan, dengan PD-nya mengumbar-umbar sensualitas. Sepertinya, Ibu Pertiwi sudah menyerahkan anaknya yang sudah besar untuk hidup mandiri. Ibu Pertiwi sudah tidak mau ambil pusing tentang masalah masyarakat urban dan kaum pribumi dalam hal bergaul. Semua diserahkan oleh Ibu Pertiwi. Ibu Pertiwi pernah berkata, “Jamanmu, bukan jamanku. Pola pikirmu, berbeda dengan pola pikirku. Kecanggihan alat yang biasa kau pakai, berbeda dengan alat tradisionalku. Hiduplah dalam jamanmu!!! Bergulatlah dengan waktu. Tapi ingat suatu saat nanti waktu akan berhenti. Kau akan berhadapan dengan yang punya semua itu. Dialah Tuhan. Tuhan yang dahulu dan Tuhan yang sekarang. Tuhan itu satu. Tuhan itu adalah Tuhan, tak terdefinisi. Kau akan mengenal Tuhan, jika kau mengenalmu diri sendiri, dari segala kekurangan dan kelebihanmu. Tuhan menguji keyakinanmu. Kau akan bertemu dengan kebijakan dan pengadilan Tuhan. Karma memang berlaku di dunia. Tapi, perhitungan detail terdapat di negeri akhirat. Camkan! Camkan!” Masyarakat hedonisme, terutama kaum remaja, seolah terperangkap dengan realitas hidup yang meraka jalani. Patokannya selebritis bukan lagi orang-orang sholeh yang dijamin masuk surga. Jiwanya hampa. Pikirannya stress. Rokok, minum-minuman keras, narkoba, nongkrong di mal-mal, dan mengumbar nafsu adalah salah satu rutinitas keseharian mereka. Apalagi telah banyak beredar gambar-gambar yang haram di internet. Seolah tidak memikirkan amal. Berapa banyak amal yang telah dikerjakan? Tidak peduli. Rasanya hanya segelintir orang yang mengetahui arti rezeki yang sesungguhnya. Yang ada dalam benak kebanyakan orang, rezeki itu adalah uang, kekayaan, kesehatan dan keberuntungan. Padahal rezeki itu adalah termasuk kemampuan kita melaksanakan ajaran agama secara kaffah (semuanya). Akhirat oriented. Bahkan, ada ulama yang berpendapat bahwa tujuan hidup tidak bisa digabungkan antara dunia dan akhirat. Manusia hanya bisa memilih satu, dunia atau akhirat. Secara kodrat, manusia cenderung kepada hal-hal yang tampak dan kasat mata. Namun, akhirat lebih baik dan utama. Akhirat akan menghantarkan kita kepada keberkahan hidup di dunia dan kesejahteraan hidup di akhirat. Malam itu, semua terlelap pada mimpinya. Merenda hari esok. Melepas seluruh kepenatan yang ada di otak. Dan otak secara otomatis dengan izin Allah beregenerasi
membentuk sel otak yang baru. Milyaran kekuasaan Allah.
sel yang telah mati akan tergantikkan. Itulah