BAB 6 PEMBAHASAN 6.1
Diskusi Hasil Penelitian
Penelitian biofiltrasi ini targetnya adalah dapat meningkatkan kualitas air baku IPA Taman Kota Sehingga masuk baku mutu Pergub 582 tahun 1995 golongan B yakni kualitas air baku air minum di DKI Jakarta, khususnya untuk parameter pH, Total Suspended Solid, Turbidity, Organik Permanganat, Detergen, total besi, total mangan, warna, amonia nitrogen, nitrat nitrogen dan nitrit nitrogen. Proses yang digunakan dengan sistem biofiltrasi dimana waktu tinggal diatur dari 6 sampai 0,5 jam dan dilakukan pada dua periode yakni periode Januari sampai Mei 2010 yang mewakili periode musim hujan dan periode Agustus –Desember 2010 yang mewakili periode musim kemarau. Target waktu tinggal adalah 1 jam dengan pertimbangan bahwa apabila diaplikasikan di Taman Kota tidak menyita lahan yang terlalu besar. Dalam bab ini dibahas penurunan konsentrasi setiap parameter dan kaitannya dengan parameter lain. Selama penelitian periode musim hujan berlangsung, pH air baku tidak dilakukan kontrol. Namun demikian pH inlet selalu dalam keadaan netral yakni di kisaran 7-8. pH outlet kecenderungannya lebih tinggi dibanding inlet. Hal ini disebabkan karena pengaruh aerasi, karbon dioksida yang terlarut di air menjadi lebih kecil karena digantikan oleh gas oksigen. Gas karbon dioksida di air cenderung membentuk kesetimbangan dan menghasilkan ion bikarbonat. Dengan berkurangnya ion bikarbonat karena berkurangnya karbon dioksida, maka pH akan naik. Walaupun pH air olahan naik, namun masih berada pada kisaran netral sehingga tidak bermasalah untuk air hasil olahan. Namun bila nantinya dalam kenyataan aplikasi di lapangan terdapat kondisi ekstrim dimana pH air berada jauh di bawah atau di atas netral maka agar supaya kinerja dari sistem biofiltrasi tidak menurun, perlu dilengkapi dengan sistem dosing bahan kimia penetral pH. Untuk periode musim kemarau, pengontrolan pH dilakukan pada saat penelitian berlangsung dengan waktu tinggal 30 menit. pH inlet dinaikkan menjadi mendekati 8 dengan penambahan soda ash untuk meningkatkan efisiensi proses. Dari keseluruhan kondisi penelitian, pH air di outlet masih berada pada kisaran netral yakni antara 7-8 dimana baku mutu pH adalah 6-9. 150
Total suspended solid (TSS) di air baku sangat fluktuatif dan dipengaruhi oleh curah hujan di hulu. Selama penelitian di musim penghujan berlangsung, konsentrasi TSS tertinggi mencapai 275 mg/l, terjadi pada tanggal 4 maret 2010. Saat pengambilan sampel hari cerah, namun satu hari sebelumnya di hulu terjadi hujan deras yang menimbulkan arus sungai Cengkareng Drain menjadi deras. Selama penelitian waktu tinggal 4 sampai 1 jam, kecenderungan efisiensi penurunan TSS berkurang dengan semakin pendeknya waktu tinggal. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya kemampuan biofilter untuk menahan padatan pada waktu tinggal yang semakin pendek. Tingginya konsentrasi TSS di air baku memungkinkan untuk terjadinya akumulasi lumpur pada permukaan biofilter yang berakibat pada berkurangnya efisiensi penurunan polutan karena lapisan biofilm tertutup oleh lumpur. Untuk mengatasi hal ini perlu ditambah pre-sedimentasi sebelum biofiltrasi. Pada kondisi waktu tinggal 1 jam TSS di air baku rata-rata sekitar 77 mg/l dan di air olahan rata-rata sekitar 43mg/l, dimana baku mutu untuk TSS adalah 100 mg/l. Kondisi TSS membaik dengan berjalannya waktu dari waktu tinggal 1 jam ke 0,5 jam, bahkan efisiensi yang dapat dicapai adalah lebih baik dari waktu tinggal 1 jam yakni sampai 77% dengan konsentrasi TSS di outlet saat itu dibawah 18 mg/l. Hal ini disebabkan karena kondisi air baku saat waktu tinggal 0,5 jam lebih jernih karena frekwensi turun hujannya lebih sedikit. Total suspended solid di air baku pada saat periode musim kemarau tertinggi mencapai 565 mg/l yakni terjadi pada saat penelitian berlangsung dengan waktu tinggal 6 jam. Namun demikian TSS di outlet turun menjadi 85 mg/l. Untuk waktu tinggal 0,5 jam, efisiensi penurunan TSS yang dapat dicapai yakni rata-rata 38,6% dengan inlet sebesar 60,73 mg/l dan outlet 37,27 mg/l. Dibandingkan dengan penelitian musim hujan pada waktu tinggal satu jam, efisiensinya sedikit lebih rendah namun konsentrasi TSS di hasil olahan lebih rendah dari hasil musim hujan. Untuk parameter turbidity pada penelitian musim hujan, kecenderungannya hampir sama dengan parameter TSS yakni di air baku berfluktuasi dan tinggi dengan derasnya arus sungai Cengkareng Drain. Kekeruhan di air hasil olahan pada saat waktu tinggal 1 jam rata-rata adalah 60 NTU dimana ambang batasnya yakni 100 NTU. Setelah waktu tinggal berubah menjadi 0,5 jam kecenderungannya kekeruhan di air hasil olahan menurun dan efisiensi meningkat sampai 69%. Berbeda dengan musim penghujan, di musim kemarau turbidity air olahan terkadang lebih rendah atau lebih tinggi dibanding air baku. 151
Fluktuasi ini kemungkinan disebabkan oleh keruhnya air akibat hasil oksidasi Fe dan Mn dalam air. Namun demikian turbidity di air olahan pada penelitian dengan waktu tinggal 0,5 jam masih berada dibawah hasil penelitian pada musim hujan waktu tinggal 1 jam dan memenuhi baku mutu. Organik merupakan polutan yang sumbernya sebagian besar dari limbah domestik. Pada penelitian musim penghujan, Organik permanganat dalam air baku cukup stabil hanya saja pada waktu tinggal 1 jam ke 0,5 jam kecenderungannya naik sampai angka tertinggi 19 mg/l. Kejadian ini karena pengaruh curah hujan yang menurun sehingga dengan aliran limbah domestik ke sungai tetap, debit air dari hulu berkurang maka otomatis konsentrasi organik meningkat. Pada waktu tinggal 1 jam, konsentrasi organik di air olahan sekitar 11 mg/l dan masih dalam batas baku mutu yakni 15 mg/l. Kalau dilihat dari data pada saat waktu tinggal 0,5 jam, dengan semakin naiknya konsentrasi organik di air baku, maka efisiensi juga semakin meningkat. Ini merupakan fenomena dari hasil reaksi penurunan organik dengan proses biofilm, dimana semakin tinggi konsentrasi input, maka efisiensi penurunan polutan akan semakin meningkat pada kondisi waktu tinggal yang sama. Kemungkinan lain naiknya efisiensi penurunan organik juga karena kondisi air baku di saat waktu tinggal penelitian 0,5 jam suspended solid-nya rendah sehingga hambatan proses difusi polutan ke lapisan film menjadi semakin kecil. Organik permanganat pada musim kemarau angka tertinggi di air baku mencapai 40,97 mg/l yang merupakan angka yang lebih tinggi dibanding konsentrasi di organik di musim penghujan. Organik tinggi ini terjadi pada saat penelitian berlangsung dengan waktu tinggal 6 hari. Pada waktu tinggal 0,5 jam, penurunan konsentrasi organik permanganat ratarata sekitar 20,2%, dengan konsentrasi di air hasil olahan rata-rata 11,16 mg/l. Nilai konsentrasi ini hampir sama dengan hasil penelitian di musim penghujan dengan waktu tinggal 1 jam. Untuk konsentrasi MBAS di musim penghujan, efisiensi penurunannya berkurang saat waktu tinggal dirubah dari 6 jam ke 2 jam. Setelah itu masih pada periode waktu tinggal 2 jam efisiensinya melonjak naik. Ini kemungkinan disebabkan oleh karena pada saat itu ada penambahan satu buah blower lagi untuk meningkatkan pasokan oksigen ke dalam biofiltrasi. Dan pada saat dirubah ke waktu tinggal 1 jam, terjadi penurunan efisiensi, namun naik kembali di kisaran 50%. Pada waktu tinggal 1 jam konsentrasi MBAS di air hasil olahan maksimal 0,2 mg/l. 152
Angka ini masih berada di bawah baku mutu air baku air minum yakni 1 mg/l. Dari hasil penelitian periode musim penghujan, kami mencoba merangkai hubungan TSS di air baku dengan efisiensi penurunan organik maupun MBAS tanpa memperhatikan faktor waktu tinggal seperti yang ada pada gambar 4.12. Dari gambar terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi TSS dalam air baku, maka efisiensi penurunan organik maupun MBAS akan semakin rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada saat TSS tinggi terjadi akumulasi lumpur pada dinding media biofilter. Dengan adanya lumpur TSS di dinding media, maka proses degradasi polutan di lapisan biofilm akan terhambat. Dari fenomena ini dapat diketahui bahwa sistem biofiltrasi kurang cocok untuk air dengan TSS yang tinggi, yakni diatas 100 mg/l. Untuk kasus air dengan TSS tinggi penanganannya adalah melengkapi sistem biofiltrasi dengan presedimentasi. Gambar 6.1 dibawah memperlihatkan akumulasi lumpur TSS di dinding media biofilter setelah sistem biofiltrasi dioperasikan selama 4 bulan di musim penghujan. Pada kondisi tersebut telah dilakukan drain sistem biofilter selama 20 menit 2 kali dalam satu minggu. Selain itu juga pada saat biofiltrasi dua bulan beroperasi, telah dilakukan drain total dan disiram dengan air kran pada permukaan atas media biofilter. Pada saat melakukan drain total dan menyiram dengan air kran, dipastikan hanya untuk merontokkan sumbatan lumpur di rongga-rongga biofilter sehingga tidak berpengaruh terhadap lapisan biofilm. Untuk memastikannya dapat dilihat dari lapisan lumpur yang tidak rontok semuanya hanya rongga media yang terlihat terbuka lebih besar.
Gambar 6.1: Media Biofiltrasi Setelah Beroperasi Selama 4 Bulan. 153
Konsentrasi besi dalam air baku selama penelitian di musim penghujan sangat berfluktuasi sekali dari 0,26 sampai 8,06 mg/l. Besi diukur sebagai total besi yakni besi yang terlarut dan besi yang ada dalam endapan. Secara keseluruhan, efisiensi penurunan besi berkurang dengan semakin singkatnya waktu tinggal dan terjadi peningkatan kembali pada saat waktu tinggal 1 dan 0,5 jam. Penyebabnya diperkirakan karena rendahnya TSS dalam air baku. Mekanisme penurunan total besi dalam sistem biofiltrasi ini terjadi karena besi dalam bentuk terlarut dioksidasi menjadi besi yang mengendap atau tersuspensi. Besi tersuspensi ini bersama dengan besi yang ada dalam TSS tertahan pada media biofiltrasi, sehingga terjadi penurunan konsentrasi total besi di air hasil olahan. Pada waktu tinggal yang ditargetkan yakni 1 jam, konsentrasi total besi di air olahan tergantung dari besar kecilnya konsentrasi besi di air baku dan rata-rata sekitar 3,0 mg/l. Demikian pula yang terjadi pada penelitian di musim kemarau, pada waktu tinggal 0,5 jam konsentrasi total besi dalam air hasil olahan rata-rata adalah 2,79 mg/l. Angka-angka ini sudah melebihi baku mutu yakni 2 mg/l. Dari pihak PALYJA menekankan bahwa dengan target baku mutu air baku air minum 2 mg/l, tidak cukup karena akan menimbulkan masalah warna di air olahan. Sehingga target air olahan adalah dibawah 0,5 mg/l. Bila dalam aplikasi di lapangan di temui konsentrasi total besi dalam air olahan melebihi 2 mg/l, untuk menghindari munculnya masalah warna perlu dilakukan proses preklorinasi setelah biofiltrasi. Warna yang timbul, sebenarnya adalah dari besi yang terlarut dalam air dimana setelah melalui proses khlorinasi akan membentuk koloid besi yang berwarna. Dengan demikian, menurut pendapat kami yang terpenting adalah kandungan besi terlarut dalam air olahan. Sedangkan besi yang tidak larut akan dapat terendapkan pada proses penambahan tawas dan polimer sebelum proses post khlorinasi. Dengan predikasi ini, selanjutnya dilakukan analisa besi terlarut di air baku dan air olahan pada saat penelitian berlangsung dengan waktu tinggal 1 jam. Tabel 4.6 dan 4.6.1 memperlihatkan konsentrasi besi terlarut pada air olahan dengan waktu tinggal 1 jam. Dari tabel terlihat bahwa konsentrasi besi terlarut sangat rendah baik di air baku maupun air olahan yakni sekitar 4% bila dibanding dengan besi total. Dengan demikian diperkirakan tingginya total besi pada waktu tinggal 1 jam tidak akan menjadi kendala dalam aplikasi di lapangan karena besi yang terlarut sangat rendah. Namun hal ini perlu di buktikan pada penelitian tahap 154
berikutnya (dry season) dengan cara melakukan proses koagulasi flokulasi air hasil olahan biofiltrasi, selanjutnya di proses post khlorinasi dan diamati perubahan warna yang terjadi. Tabel dan Gambar 4.7 menunjukkan konsentrasi Mangan total di air baku, air olahan serta efisiensi penghilangannya. Pada waktu tinggal 6 jam efisiensi penurunannya cukup stabil yakni pada kisaran 80-96%. Pada waktu tinggal 4 jam sampai dengan waktu tinggal 0,5 jam kecenderungannya menurun dari 86% pada waktu tinggal 4 jam dan 35% pada waktu tinggal 0,5 jam. Ini kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya pasokan udara dengan semakin singkatnya waktu tinggal. Pada prinsipnya mekanisme penurunan konsentrasi mangan sama dengan besi. Dari keseluruhan waktu tinggal yang dicoba, kandungan mangan total di outlet berkisar 0,005 sampai 0,38 mg/l. Sedangkan pada waktu tinggal 1 jam konsentrasi mangan total di air olahan sekitar 0,2 mg/l dan ini sudah berada di bawah baku mutu air baku air minum. Pada tabel 4.7.1 di sajikan hasil analisa mangan terlarut dalam air baku, air olahan berikut efisiensi penurunannya pada penelitian musim penghujan dengan waktu tinggal 1 jam. Dari tabel terlihat bahwa konsentrasi mangan terlarut sekitar 70%nya total mangan. Mangan terlarut ini menjadikan masalah di instalasi pengolahan air yakni menimbulkan warna kuning di air hasil olahan setelah post khlorinasi. Namun dengan rendahnya konsentrasi mangan terlarut dalam air olahan yakni dibawah 0,18 mg/l. Hasil yang hampir sama diperoleh juga pada penelitian di musim kemarau dengan waktu tinggal 0,5 jam. Konsentrasi besi terlarut rata-rata di air hasil olahan adalah 0,1 mg/l (data tidak ditampilkan). Dengan rendahnya konsentrasi besi terlarut di air hasil olahan pada kedua periode penelitian ini, maka masalah timbulnya warna pada air hasil olahan post khlorinasi tidak akan terjadi. Untuk parameter warna periode penelitian musim penghujan ditunjukkan pada gambar dan tabel 4.8. Konsentrasi warna air baku berkisar antara 4 – 89 PtCo, sedangkan di air olahan berkisar antara 4 – 121 PtCo. Dari keseluruhan waktu tinggal terdapat hasil dimana warna air olahan lebih besar dari air baku. Warna lebih tinggi ini muncul kemungkinan karena hasil oksidasi mangan dan besi. Pada waktu tinggal 1 jam, warna air olahan 18 PtCo sedangkan pada penelitian di musim kemarau dengan waktu tinggal 30 menit, warna air hasil olahan rata-rata 19,5 PtCo (data tidak ditampilkan). Kedua nilai ini memenuhi standar dimana standarnya adalah 100 PtCo. 155
Untuk parameter amonium nitrogen di air baku selama masa penelitian musim penghujan berkisar antara 0,16 – 2,2 mg/l sedangkan di air hasil olahan berkisar 0,101 – 1,04 mg/l. Amonia nitrogen merupakan polutan dalam air karena dengan adanya organik akan memicu tumbuhnya mikroba dalam air. Oleh karena itu penghilangan amonia nitrogen dalam air dilakukan dengan cara khlorinasi membentuk khloramin. Penurunan kadar amonia dengan khlor memerlukan konsumsi khlor 7 – 11 mg/l untuk setiap 1 mg/l amonia. Dengan demikian apabila konsumsi khlor tinggi akan berakibat pada sisa khlor yang tinggi pula. Dengan tingginya sisa khlor ini bila terdapat besi dan mangan terlarut maka sisa khlor tersebut akan mengoksidasi besi dan mangan terlarut sehingga warna air menjadi kuning (Katsumi dan Iwao 1971). Pada waktu tinggal 1 jam di periode penelitian musim penghujan konsentrasi amonium nitrogen di air olahan 0,35 mg/l masih berada di bawah baku mutu air baku air minum yakni 1 mg/l. Pada waktu tinggal 0,5 jam di periode penelitian musim kemarau, konsentrasi amonium nitrogen di air hasil olahan rata-rata adalah 0,59 mg/l. Dengan rendahnya amonium nitrogen dalam air olahan, maka dapat diperkirakan konsumsi khlor menjadi rendah. Untuk parameter nitrat nitrogen, dalam grafik baik untuk periode penelitian musim penghujan maupun musim kemarau terlihat konsentrasi di air olahan lebih tinggi dibandingkan di air baku. Mekanisme terbentuknya nitrat terjadi karena adanya amonium nitrogen yang teraerasi sehingga mengalami proses nitrifikasi menjadi nitrat. Yang paling penting adalah walaupun nitrat di air olahan lebih tinggi, namun harus tetap terjaga konsentrasinya berada di bawah baku mutu. Kalau dilihat pada grafik konsentrasi nitrat nitrogen pada saat penelitian dilakukan pada musim penghujan dengan waktu tinggal 1 jam adalah 2 mg/l. Sedangkan pada musim kemarau dengan waktu tinggal 0,5 jam rata-rata adalah 2,08 mg/l. Baku mutu untuk nitrat 10 mg/l. Untuk parameter nitrit, kecenderungannya berfluktuasi dan terkadang di air baku lebih rendah dari air olahan, kadang sebaliknya tidak terpengaruh oleh waktu tinggal. Nitrit nitrogen merupakan senyawa produk antara dari proses nitrifikasi ataupun proses denitrifikasi. Proses denitrifikasi hanya terjadi pada kondisi anoxic sehingga dipastikan nitrit yang terbentuk berasal dari produk antara amonium menjadi nitrat (nitrifikasi). Pada penelitian di musim penghujan dengan waktu tinggal 1 jam nitrit nitrogen di air baku sekitar 0,102 – 0,2 mg/l sedangkan di air olahan berkisar antara 0,019 – 0,38 mg/l. Pada penelitian musim kemarau 156
dengan waktu tinggal 0,5 jam konsentrasi nitri rata-rata di air olahan adalah 0,3 mg/l. Ambang batasnya adalah 1,0 mg/l. Pengaruh penambahan soda ash sedemikian sehingga pH menndekati 8, terlihat cukup signifikan untuk penurunan polutan besi total dan manggan total. Untuk parameter besi total dengan waktu tinggal 0,5 jam, tanpa penambahan soda ash efisiensi penurunan rata-rata adalah 19,3%, dengan penambahan soda ash efisiensi penurunan rata-rata naik menjadi 32,3%. Sedangkan untuk parameter manggan tanpa penambahan soda ash efisiensi penurunan rata-rata 42,7%, dengan penambahan soda ash efisiensi penurunan rata-rata naik menjadi 51,9%. Pengaruh penambahan soda ash terhadap efisiensi penurunan organik permanganat dan amonium tidak terlalu signifikan. Tanpa penambahan soda ash, efisiensi penurunan organik rata-rata 17,7%, dengan penambahan soda ash efisiensi penurunan organik hanya naik menjadi 20,2%. Untuk parameter amonia nitrogen, tanpa penambahan soda ash efisiensi penurunan rata-rata 45,3%, sedangkan dengan penambahan soda ash efisiensi rata-rata hanya naik menjadi 46%. Pengaruh pengangkatan media di ruang biofilter pertama menjadikan efisiensi penurunan polutan menurun untuk keseluruhan parameter. Media disini berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembang biak mikroba pendegradasi polutan. Selain itu juga sebagai media filtrasi. Kalau dilihat dari sisi kemampuan filtrasi memang media di ruang satu sangat cepat kecepatan filtrasinya. Walaupun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa media di ruang biofilter pertama sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan polutan. Tabel 6.1 dan 6.2 berturut turut memperlihatkan hasil penelitian secara keseluruhan baik periode musim penghujan maupun musim kemarau. Dalam tabel tersebut ditampilkan kinerja biofiltrasi untuk menurunkan masing masing polutan pada waktu tinggal 6 - 0,5 jam yang meliputi efisiensi penurunan polutan dan konsentrasi air olahan pada saat itu. Dari tabel tersebut efisiensi tertinggi yang dapat dicapai untuk keseluruhan parameter analisa adalah pada kondisi waktu tinggal 6 jam, dan kecenderungannya menurun dengan semakin singkatnya waktu tinggal. Untuk mengaplikasikan hasil penelitian ini pada skala yang sebenarnya tidak mungkin memilih waktu tinggal 6 jam karena luas permukaan yang diperlukan untuk memasang instalasi pengolahan air menjadi sangat besar. Oleh karena itu dipilih kondisi waktu tinggal yang paling singkat, dengan kualitas air olahan memenuhi target baku mutu air baku air minum pergub DKI No. 582 tahun 1995. 157
Tabel 6.1 Rekapitulasi hasil penelitian musim penghujan
Tabel 6.2 Rekapitulasi hasil penelitian musim kemarau
158
Tabel 6.3 memperlihatkan konsentrasi polutan hasil penelitian pada waktu tinggal 1 jam untuk penelitian di musim penghujan dan waktu tinggal 0,5 jam dengan penambahan soda ash untuk penelitian di musim kemarau. Dari hasil tersebut terlihat bahwa sebagian besar konsentrasi polutan sudah berada dibawah baku mutu air baku air minum Pergub 582 tahun 1995, kecuali parameter total besi. Dengan pertimbangan kualitas air olahan tersebut dan kebutuhan lahan bila hasil penelitian diaplikasikan di Taman Kota, maka di tetapkan waktu tinggal optimal pada proses biofiltrasi yakni 1 jam. Penetapan waktu tinggal 1 jam ini didukung dengan penelitian pada musim kemarau yang dengan waktu tinggal 0,5 jam saja hasil air olahan sudah mendekati hasil penelitian musim penghujan dengan waktu tinggal 1 jam. Sehingga penetapan waktu tinggal 1 jam untuk kriteria disain sudah sangatlah tepat.
Tabel 6.3 : Konsentrasi Polutan Pada Hasil Penelitian Dengan Waktu Tinggal 1 Jam Untuk Musim Penghujan Dan Waktu Tinggal 0,5 Jam Untuk Musim Kemarau
159
6.2
Rekomendasi Aplikasi Sistem Biofiltrasi Untuk Instalasi pengolahan Air Minum Sebagai Pengolahan Awal
Dari beberapa fenomena yang terjadi selama penelitian, maka aplikasi sistem biofiltrasi untuk pengolahan air minum (IPA Taman Kota) perlu dilengkapi dengan pre-sedimentasi supaya tidak terjadi akumulasi lumpur pada dinding media biofilter. Flow diagram proses yang direkomendasikan dapat dilihat pada gambar 6.2 berikut:
Gambar 6.2 Skenario Aplikasi Sistem Biofiltrasi untuk IPA Taman Kota Prosesnya adalah air baku dari Cengkareng Drain dipompa ke presedimentasi, overflow dari sedimentasi mengalir ke sistem biofiltrasi dan hasilnya ditampung di tangki penampung untuk selanjutnya di proses dengan menggunakan instalasi pengolahan air existing yang ada di Taman Kota. Untuk mengaplikasikan hasil penelitian sistem biofiltrasi di Taman Kota, ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan yakni: - Penetapan waktu tinggal hidrolis - Suplai udara untuk aerasi - Mekanisme pembuangan lumpur 6.3. Rekomendasi Perencanaan Instalasi Berdasarkan hasil penelitian musim penghujan dan musim kemarau, waktu tinggal hidrolis adalah 1 jam atau 60 menit dengan perbandingan volume media per volume bak biofiltrasi adalah 0,4. Data untuk musim kemarau untuk waktu tinggal satu jam tidak dilakukan, namun dilakukan 160
untuk waktu tinggal 0,5 jam dengan hasil mendekati hasil di musim penghujan dengan waktu tinggal 1 jam. Untuk aplikasi di Taman Kota karena direncanakan dilengkapi dengan pre-sedimentasi yang terpisah dari reaktor biofiltrasi maka perbandingan volume media dengan volume reaktor biofiltrasi meningkat menjadi 0,5. Dengan demikian bila perbandingan volume media terhadap volume reaktor 0,5 maka waktu tinggal hidrolis dalam sistem biofiltrasi menjadi 48 menit. Sedangkan untuk perencanaan pre-sedimentasi, ditetapkan waktu tinggal 30 menit. Angka 30 menit ini diambil berdasarkan dari kondisi penelitian di lapangan yakni biofilter mempunyai total ruang pengendapan awal dan akhir 50% dari total volume. Ruang Biofilter 40% dan ruang lumpur yang berada di bawah media 10%. Dengan waktu tinggal optimum total 1 jam, maka waktu tinggal untuk proses pengendapan saja dapat dihitung menjadi 30 menit. Selain itu dari pengamatan visual, sludge sungai terdiri dari lumpur halus dan kasar serta pasir halus dimana menurut Degremont 1991 waktu pengendapan pasir halus 2 menit dan lumpur halus 2 jam. Pada dasarnya yang terbaik adalah 2 jam namun dengan lamanya waktu pengendapan akan berdampak kepada besarnya volume pre-sedimentasi. Sehingga dalam perencanaan bak pengendap kami menggunakan waktu 30 menit diperkirakan sudah cukup membantu untuk dapat memisahkan lumpur yang dapat menjadikan penyumbatan di media Biofiltrasi. Kapasitas IPA Taman Kota adalah 200 liter per detik atau 17.280 m3 per hari. Untuk mencukupi kapasitas tersebut, sistem biofiltrasi direkomendasikan untuk dibuat dalam dua line sehingga bila salah satu line dalam perbaikan, satu line lagi masih dapat beroperasi. Sehingga masing-masing line kapasitasnya 8.640 m3 per hari atau 100 liter per detik. Perencanaan Bak Pre-Sedimentasi (waktu tinggal 30 menit) Kedalaman efektif :3m Lebar :6m Panjang : 10 m Volume efektif : 180 m3 Luas area : 60 m2 Jumlah : 2 line Kelengkapan: Lamela settler Sistem perpipaan dan sistem pembuangan lumpur Perencanaan Bak Biofiltrasi (waktu tinggal 48 menit,) 161
Kedalaman efektif Lebar Panjang Volume efektif Luas Area Jumlah
:4m :6m : 12 m : 288 m3 : 84 m2 : 2 line
Kelengkapan: Media Biofilter tipe sarang tawon dengan perbandingan volume media banding volume bak total 0,5. Sistem Pembuangan Lumpur: Pembuangan lumpur di pre-sedimentasi dilakukan setiap hari, sedangkan di bak biofiltrasi dilakukan minimal 3 kali dalam satu minggu. Pembuangan lumpur di bak biofiltrasi dilakukan dari bagian atas dan bagian bawah biofilter dengan bantuan semprotan udara. Kapasitas Blower udara: Kapasitas blower udara ditetapkan berdasarkan penelitian yakni 5 m 3 udara/m2 media per jam.
162
Gambar 6.3. Perkiraan bentuk dan dimensi aplikasi sistem biofiltrasi untuk IPA Taman Kota kapasitas 200 liter per detik.
163