BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada tinjauan pustaka akan diuraikan mengenai Down syndrome, radiografi panoramik, kerangka teori dan kerangka konsep.
2.1 Down syndrome Down syndrome, Trisomy 21 atau Mongolism, diperkenalkan oleh Dr. Langdon Down pada tahun 1865.8 Sindrom ini merupakan sindrom yang umum diantara sindrom lain yang disebabkan oleh gangguan kromosom serta melibatkan keterbelakangan mental. Ini terjadi akibat penambahan kromosom 21 yang menyebabkan seseorang memiliki tiga kromosom, bukan dua seperti normal.1 Menurut Kaye et al., sindrom ini terjadi sekitar satu dalam 600 hingga 1500 kelahiran. De Mari mengatakan bahwa, berdasarkan data yang ada pada waktu itu, ekspektasi usia pasien Down syndrome adalah dari usia 10 dalam tahun 1920-an hingga 60 tahun.10 Data dari Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran, Departemen Biologi, pada tahun 1992 hingga 2004 terdapat 1,987 penderita Down syndrome berdasarkan evaluasi dari analisis kromosom. Walaupun tidak ada data yang tetap, dapat diperkirakan populasi pada tahun 2010, kira-kira 235,000 anak yang mengalami Down syndrome di Indonesia.2
2.1.1 Etiologi Down syndrome Etiologi Down syndrome berhubungan dengan masalah tidak terjadinya pemisahan pada kromosom 21 sewaktu oogenesis, kemudian terjadilah kromosom yang berlebihan pada kromosom 21 pada keturunan si ibu. Hasil studi terbaru juga menunjukkan
tidak
terjadinya
pemisahan
pada
kromosom
21
sewaktu
spermatogenesis.8 Kira-kira 96% anak Down syndrome mengalami Trisomy ini, sisa 4% mengalami formasi yang disebut “translokasi”, yaitu kromosom 21 yang berlebih
diperoleh dari beberapa cara atau formasi yang disebut “mosaic”, dimana tidak semua sel terpengaruh.11
2.1.2 Tipe Down syndrome Down syndrome dibagi atas 3 tipe, dimana secara umum perbedaan klinis pada ketiga-tiga genotip ini tidak terlihat.8 a) Trisomi 21 (94%) : Kromosom 21 yang berlebih (yaitu tiga bukannya dua seperti normal) menghasilkan 47 kromosom pelengkap. Trisomi 21 juga dikenal sebagai Trisomi G. b) Translokasi (5%) : Satu bagian dari kromosom 21 ditemui melekat dengan pasangan kromosom lain (biasanya #14, jadi dirujuk sebagai translokasi 14/21). Penderita ini mempunyai pasangan kromosom yang normal yaitu 46 kromosom. c) Mosaicism (1%) : Tidak terjadinya pemisahan pada tahap divisi sel, sehingga beberapa sel mempunyai pasangan kromosom yang normal yaitu 46 kromosom dan beberapa sel lagi mempunyai 47 kromosom (dengan kromosom 21 yang berlebih) 2.1.3 Faktor resiko terjadinya Down syndrome11 1.
Usia ibu. Salah satu faktor yang diketahui dapat meningkatkan resiko melahirkan bayi
Down syndrome adalah dengan meningkatnya usia ibu.
Tabel 1. Usia ibu mengandung dan kemungkinan mendapat bayi Down syndrome Maternal Age
Chance of having an affected baby
20
1 in 1667
30
1 in 952
35
1 in 385
40
1 in 106
Aneuploidy (bilangan kromosom yang abnormal) pada keturunan meningkat seiring dengan usia ibu. Bagaimanapun, untuk pasangan yang mempunyai anak Down syndrome tipe translokasi Trisomi 21 berkemungkinan besar akan mendapat anak Down syndrome pada kelahiran berikutnya. Ini karena salah satu orang tua adalah pembawa translokasi yang tetap. Resiko mendapat translokasi ini bergantung kepada jenis kelamin orang tua yang pembawa kromosom 21 itu. Bila bapak yang menjadi pembawa, resikonya hanya 3% tetapi bila ibu yang pembawa, resikonya adalah 12%. 2. Faktor lingkungan. Beberapa bukti mengatakan bahwa kasus Down syndrome rata-rata terjadi pada area geografis yang spesifik dalam suatu masa. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa beberapa faktor lingkungan yang menyebabkan meningkatnya resiko terjadi Down syndrome adalah : • Terpapar agen yang terinfeksi seperti virus, ketika sedang hamil. • Menggunakan kontrasepsi oral. • Merokok ketika sedang hamil. • Terpapar radiasi. • Terpapar pestisida. • Tinggal berdekatan dengan fasilitas pembuangan seperti lokasi pembuangan atau incinerator limbah.
2.1.4
Karakteristik fisik Down syndrome
1. Karakter fasial. Midface dysplasia adalah karakteristik utama pada penderita Down syndrome. Malformasi hidung termasuk hidung yang mempunyai jembatan luas dan datar dilaporkan sebanyak 59-78% dari penderita Down syndrome. Malformasi telinga termasuk “lop” ears, low-set ears dan telinga yang mendatar atau tiada heliks dilaporkan sebanyak 54%. Malformasi mata sering terjadi pada penderita Down syndrome. Lipatan epichantal dengan mata miring berbentuk almond yang juga dikenali sebagai mongoloid dilaporkan sebanyak 78%. Strabismus sebanyak 14-54%
dan nistagmus dan refractive error biasa terjadi pada penderita Down syndrome. Mayoritas penderita Down syndrome mempunyai brachycephaly (kepala yang lebar dan pendek) dan kurangnya supraorbital ridge. Tidak adanya sinus frontal dan kurangnya sinus maksilaris juga dicatatkan. Nasal septum sering dijumpai mengakibatkan laluan udara menjadi sempit dan menyebabkan masalah pernafasan melalui mulut.8 Lidah penderita Down syndrome kelihatan sedikit terkeluar dan open bite karena kurangnya kaviti oral diakibatkan oleh penurunan pertumbuhan pada bagian tengah wajah.11 2. Karakteristik ekstremitas atas dan bawah. Lipatan pada telapak tangan penderita Down syndrome mempunyai lipatan dalam dan jari yang pendek. Lipatan pada telapak tangan ini disebut sebagai lipatan Simian. Tangan penderita Down syndrome adalah lebar dan pendek (clinodactyly). Badan penderita Down syndrome mempunyai muscle tone yang jelek, loose ligament dan sangat fleksibel. Selain dari itu, jarak diantara jari ibu kaki dengan jari kaki kedua kelihatan besar.11
a
b
Gambar 1.
2.1.5
c
d
a. Karyotype Down syndrome.11 b. Anak Down syndrome berusia 8 tahun.13 c. Lipatan Simian pada tapak tangan Down syndrome.11 d. Jarak antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua pada Down syndrome.11
Kondisi kesehatan oral Down syndrome
Penderita Down syndrome adalah kelompok yang umumnya memerlukan penjagaan kesehatan oral yang khusus. Mereka mempunyai missing teeth, malaligned teeth dan sering dikaitkan dengan maloklusi. Mereka mengalami karies gigi yang
ringan tetapi penyakit periodontal yang parah.1 Resiko terjadinya karies pada penderita Down syndrome rendah pada gigi desidui maupun permanen. Ini disebabkan oleh faktor seperti meningkatnya pH saliva dan tahap bikarbonat yang tersedia, penurunan jumlah bakteri stereptokokus mutan dan juga morfologi gigi yang mendatar tanpa pit dan fisur akibat dari kebiasaan bruksism yang sering dihadapi penderita Down syndrome.10 Gigi-geligi penderita Down syndrome berbentuk abnormal dengan irigularitas yang menyebabkan akumulasi debris dan plak.11 Tannenbaum, Bear dan Benjamin mengatakan prevalensi dan tahap keparahan penyakit periodontal pada anak Down syndrome adalah tinggi. Prevalensi yang tinggi juga terlihat pada gingivitis ulseratif nekrose.13
2.1.6
Dental anomaly pada Down syndrome
Penderita Down syndrome menunjukkan insiden yang tinggi terhadap dental anomaly dan pada kebanyakan kasus, penderita yang sama menunjukkan lebih dari satu dental anomaly.4 Menurut Oliveira et al., hasil pemeriksaan gigi pada 44% penderita Down syndrome ditemui anomali yang terjadi berupa congenital missing, mikrodonsia, pembentukan akar yang terhambat, hipoplasia enamel dan fusion.10
2.1.6.1 Hipodonsia Hipodonsia didefinisikan sebagai kehilangan gigi kongenital akibat dari anomali pada pertumbuhan individu. Penyebab terjadinya hipodonsia terdiri dari nonsyndromic dan syndromic. Non-syndromic hypodontia adalah disebabkan oleh mutasi gen MSX1 dan PAX9 manakala syndromic hypodontia pula adalah disebabkan oleh asosiasi sindrom tertentu seperti contoh Down syndrome yang melibatkan gen dan lokus pada trisomi kromosom 21.14 Gigi yang tidak terlihat secara klinis maupun radiografis dapat diidentifikasikan sebagai hipodonsia.15 Acerbi et al. (2001) dan Kumasaka et al. (1997) mengatakan bahwa hipodonsia sering terjadi pada penderita Down syndrome.3 Hipodonsia adalah anomali kongenital yang mempengaruhi formasi gigi yang menghasilkan jumlah gigi yang kurang pada gigi permanen manusia (32 gigi pada rahang atas dan rahang
bawah) dan gigi desidui (20 gigi pada rahang atas dan rahang bawah). Agenesis dental (hipodonsia) adalah karakteristik umum pada penderita Down syndrome, berkisar dari 30-53%, dan gigi geligi yang tidak terdapat pada mereka juga tidak terdapat pada gigi populasi individu normal (Kieser et al., 2003). Dijumpa 60-63% penderita Down syndrome mengalami satu atau lebih missing teeth. Russell dan Kjaer (1995) melakukan penelitian lebih detail pada 100 penderita Down syndrome dan membandingkan mereka dengan populasi normal. Missing teeth terjadi 10 kali lebih sering pada penderita Down syndrome berbanding populasi umum dan sering terjadi pada laki-laki berbanding perempuan.1 Kebanyakan kasus hipodonsia adalah karena genetik. Agenesis gigi sering dijumpai pada individu yang ada hubungan dengan populasi yang mempunyai penyakit genetik.15 Tingkatan keparahan hipodonsia dibuktikan dengan banyaknya penderita yang mengalami kehilangan satu atau dua gigi. Sebesar 10% mewakili kehilangan 4 atau lebih gigi dan kurang dari 1% mengalami hipodonsia yang parah yaitu kehilangan 6 atau lebih gigi (Lamour et al, 2005). Kasus yang menunjukkan hipodonsia yang parah adalah berhubungan dengan sesuatu sindroma.16 Hipodonsia dapat didiagnosa apabila kehilangan gigi bukan disebabkan oleh ekstraksi. Shapira et al. (2000) menyatakan bahwa prevalansi agenesis molar tiga pada penderita Down syndrome sangat tinggi (74% penderita berusia diatas 14 tahun).17
2.1.6.2 Mikrodonsia Mikrodonsia adalah ukuran gigi yang kecil dari ukuran gigi normal.18 Penderita Down syndrome mengalami true generelized microdontia pada gigi permanen (Lowe,1990), tetapi kurang dicatatkan pada gigi desidui (Bell et al., 2001, Kieser et al., 2003). Gambaran klinis mahkota gigi mikrodonsia adalah berbentuk konus, pendek dan kecil (Townsend 1983, 1987). Desai (1997) melaporkan bahwa seluruh gigi berukuran kecil dengan akar yang tumbuh sempurna kecuali molar satu rahang atas dan insisivus rahang bawah. Insisivus lateral yang berbentuk konus(Cheng et al., 2007), insisivus berbentuk sekop dan kaninus yang tipis sering terlihat (Scully, 1976).1
Mikrodonsia dapat terjadi akibat dari gangguan sewaktu pertumbuhan gigi dan mangakibatkan dental anomaly. Mikrodonsia dibagi atas tiga tipe (Neville et al., 2009, Shafer 1993)18 : a)
True generalized microdontia - Gigi geligi berukuran kecil daripada
normal, ianya sangat jarang ditemui, boleh ditemukan pada orang kerdil, Down syndrome dan bermacam penyakit herediter yang lain. b)
Relative generelized microdontia – Gigi geligi yang berukuran normal
kelihatan kecil disebabkan oleh makrognasia. c)
Mikrodonsia yang melibatkan hanya satu gigi.
Bargale et al., (2011) mengklasifikasikan mikrodonsia pada satu gigi kepada:18 a)
Mikrodonsia pada seluruh satu gigi
b)
Mikrodonsia pada mahkota gigi
c)
Mikrodonsia pada akar saja
2.1.6.3 Taurodonsia Taurodonsia dapat didefinisikan sebagai perubahan pada bentuk gigi disebabkan
oleh
kegagalan
Hertwig’s
epithelial
shcath
diaphragm
untuk
menginvaginasi arah horizontal yang benar. Karakteristiknya termasuk kamar pulpa yang besar, lantai pulpa mendekati apikal, bifurkasi akar menjauhi cementoenamel junction (CEJ). Salah satu abnormalitas penting pada morfologi gigi adalah taurodonsia. Gambaran klinis taurodonsia kelihatan seperti gigi biasa. Leher dan akar gigi yang tertanam didalam margin alveolar menyebabkan taurodonsia tidak diketahui secara klinis (Terezhalmy et al. 2001, White & Pharoah 2004). Jadi, taurodonsia dapat didiagnosa melalui gambaran radiografi (Durr et al. 1980, Neville et al. 2002). Taurodonsia dilaporkan berhubungan dengan beberapa sindroma dan abnormalitas (Shifman & Buchner 1976, Genc et al. 1999, Yeh & Hsu 1999, Gedik & Cimen 2000). Salah satu sindroma yang berhubung dengan taurodonsia adalah Down syndrome. Jaspers 1981 membuktikan prevalansi taurodonsia pada penderita Down
syndrome adalah 55%, Bell et al. 1989 - 36%, Alpoz & Eronat 1997 - 66%, dan Rajic & Mestrovic 1998 - 56%.19 Penelitian Mari Eli et al. (2007) mengatakan bahwa taurodonsia adalah dental anomaly yang sering terjadi, 49 penderita Down syndrome dianalisa dan telah diidentifikasi bahwa 42 dari 49 penderita (85.71%) didiagnosa taurodonsia. Taurodosia diklasifikasi kepada 3 kategori:4 a) hipotaurodonsia (ringan) b) mesotaurodonsia (sederhana) c) hipertaurodonsia (parah). Taurodonsia secara dominan dijumpai pada molar pada rahang bawah (mandibular) dan dikatakan menunjukkan prevalansi yang meningkat pada pasien hipodonsia (Seow dan Lai, 1989).16
2.1.7 Tahap kooperatif Down syndrome Sebagian anak Down syndrome mempunyai kemampuan kognitif yang rendah, tidak kooperatif sewaktu perawatan dental, tetapi kebanyakannya adalah ramah, ceria, penyayang, dan berperilaku baik.13 Tingkat kooperatif penderita Down syndrome dalam perawatan dental dapat meningkat dengan adanya orang tua atau wali sewaktu perawatan.1
2.2
Radiografi Panoramik
Radiografi dapat membantu dokter gigi mengevaluasi dan mendiagnosa berbagai penyakit oral dan kondisi oral.20 Kasus yang dievaluasi menggunakan radiografi adalah satu tindakan yang bijak dalam perawatan dental karena ia dapat mendukung diagnosa awal serta perawatan setelah patologi terdeteksi.7 Radiografi
panoramik
adalah
radiografi
ekstra
oral
yang
dapat
menggambarkan daerah yang lebih luas berbanding radiografi intra oral yaitu rahang atas dan rahang bawah dalam satu film.6 Radiografi panoramik adalah efektif dalam mendiagnosa dan merencana perawatan. Status pertumbuhan dental boleh dinilai dengan radiografi panoramik.20 Karakteristik bagi dental anomaly dilihat dari
radiografi panoramik pada kedua gigi permanen dan gigi desidui.4 Radiografi panoramik memberikan informasi kepada dokter gigi melalui gambaran maksilaris, mandibularis dan gigi geligi. Film panoramik digunakan oleh dokter gigi secara meluas karena gambarannya yang mencakupi semua.21
2.2.1 Indikasi dan kontraindikasi radiografi panoramik Menurut panduan dari FDA mengenai pemeriksaan radiografi, pada tahun 1997, American Academy of Pediatric Dentistry menegaskan rekomendasinya tentang penggunaan radiografi dalam proses pertumbuhan gigi dan proses fase gigi bercampur dan masa remaja. Rekomendasi ini diikuti dengan pengambilan foto panoramik pada pasien apabila mereka berusia 5-7, 9-12 dan 16-18 tahun.17 Indikasi pengambilan radiografi panoramik adalah22: • Penilaian perkembangan dan pertumbuhan gigi bercampur serta evaluasi molar ketiga pada gigi anak dan remaja • Pemeriksaan pada pasien edentulus • Pemeriksaan tulang fasial post trauma • Evaluasi ukuran lesi tulang Kontraindikasi pengambilan radiografi panoramik adalah20: • Pemeriksaan karies • Pemeriksaan penyakit periodontal
2.2.2 Kelebihan dan kekurangan radiografi panoramik Kelebihan radiografi panoramik sebagai berikut6: • Gambar meliputi tulang wajah dan gigi • Dosis radiasi lebih kecil • Nyaman untuk pasien • Cocok untuk pasien yang susah membuka mulut • Waktu yang digunakan pendek biasanya 3-4 menit
• Sangat membantu dalam menerangkan keadaan rongga mulut pada pasien diklinik • Membantu dalam menegakkan diagnostik yang meliputi tulang rahang secara umum dan evaluasi terhadap trauma, perkembangan gigi geligi pada fase gigi bercampur • Evaluasi terhadap lesi, keadaan rahang • Evaluasi terhadap gigi terpendam Kekurangan radiografi panoramik adalah sebagai berikut6: • Detail gambar yang tampil tidak sebaik periapikal intraoral radiograph • Tidak dapat digunakan untuk mendeteksi karies kecil • Pergerakan pasien selama penyinaran akan menyulitkan dalam interpretasi
a
b Gambar 2. Radiografi panoramik pada penderita Down syndrome. a. Menunjukkan adanya taurodonsia.4 b. Menunjukkan tidak adanya gigi 12 (hipodonsia) dan mikrodonsia pada gigi 15.10
2.3
Kerangka teori Down syndrome
Etiologi
Radiografi Panoramik
Tipe Indikasi dan Faktor resiko
kontraindikasi
Kelebihan dan keuntungan Karakteristik fisik Manifestasi di Kondisi kesehatan
rongga mulut
oral Tahap kooperatif
Dental anomaly
Hipodonsia Mikrodonsia Taurodonsia
2.4
Kerangka konsep Down syndrome berusia 1226
Radiografi panoramik
Prevalensi dental anomaly
Hipodonsia
Mikrodonsia
Taurodonsia