BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bencana 2.1.1 Pengertian Bencana Menurut Bakornas PB (2007), bencana terjadi jika ada ancaman yang muncul dengan kondisi kerentanan yang ada secara sederhana hubungan ancaman dan kerentanan dapat digambarkan sebagai berikut.
Ancaman + Kerentanan = Bencana Gambar 2.1 Kejadian Bencana Ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang berpotensi menimbulkan kerusakan, kehilangan
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, dan menimbulkan
dampak suatu kondisi yang ditentukan oleh psikologis. Kerentanan adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi dan sosial budaya dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana (Bakornas PB, 2007). Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Kerugian yang terjadi dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian yang disebabkan karena ketidakberdayaan manusia akibat kurang
Universitas Sumatera Utara
baiknya manajemen keadaan darurat. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: “bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan”. Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah “alam” juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia (Tohari, 2008). Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/ kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/ luas jika manusia yang berada di sana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketahanan terhadap bencana yang cukup akan meminimalisir dampak yang di timbulkan akibat bencana (Hilman, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Bencana lingkungan yang melanda berbagai daerah di tanah air diperkirakan akan terus meluas dan mengkhawatirkan apabila faktor pencegahan tidak menjadi fokus penanganan. Secara geologis, klimatologis, dan geografis, wilayah Indonesia tergolong rentan. Kajian geologis menunjukkan, batuan belum padat atau solid mendominasi struktur batuan di Indonesia. Hujan di atas normal bertempo lama, didukung kemiringan bukit, dan terbatasnya tutupan lahan menimbulkan gerakan tanah (Tohari, 2008). 2.1.2 Pembagian Bencana dan Faktor-Faktor Terjadinya Bencana Menurut Depkes RI (2007), bencana dapat dikelompokkan menjadi bencana alam dan bencana non alam, yaitu bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan tingginya risiko bencana baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun non alam antara lain : a)
Kondisi alam serta perbuatan manusia dapat menimbulkan bahaya bagi makluk hidup,
yang
dapat
dikelompokkan
menjadi
bahaya
geologi,
bahaya
hidrometeorologi, bahaya biologi, bahaya teknologi dan penurunan kualitas lingkungan. b)
Kerentanan yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam suatu wilayah yang berisiko bencana.
c)
Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat. Dengan beragamnya faktor penyebab bencana serta luasnya ruang lingkup
dan dimensi bencana sesuai UU No 24 Tahun 2007, maka dibutuhkan keterlibatan
Universitas Sumatera Utara
beragam keahlian dalam upaya mengatasi dan pengurangan risiko bencana, mulai dari keilmuan sosial menyangkut kelembagaan, organisasi, pemberdayaan keluarga dan masyarakat, sampai di bidang teknik dan ahli dinamika model dan analisis system ( Depkes RI, 2007). 2.1.3 Bencana Gempa dan Tsunami di Aceh Istilah gempa bumi sesungguhnya bermacam-macam tergantung dari penyebabnya, misalnya gempa vulkanik, gempa runtuhan, gempa imbasan dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pengunungan yang runtuh, gempa imbasan biasanya terjadi di sekitar dam (penahan air) dikarenakan fluktuasi air dam (penahan air) dan gempa buatan adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari bahan mineral. Sedangkan gempa yang disebabkan oleh tabrakan/ tumbukan antar lempeng. Skala gempa tektonik jauh lebih besar di bandingkan dengan jenis gempa lainnya sehingga dampaknya lebih besar terhadap bangunan (Ella dan Usman, 2008). Teori tentang gempa dikatakan bahwa lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 Km mempunyai temperatur relatif jauh lebih rendah di bandingkan dengan lapisan dalamnya (mantel dan inti bumi) sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir kedaerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan
Universitas Sumatera Utara
pergeseran lempeng tektonik yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa bumi tektonik atau lebih dikenal dengan gempa bumi (Ella dan Usman, 2008). Teori yang terbaru menerangkan bahwa gempa tektonik berasal dari dekade 1960-an. Menurut teori ini kerak bumi terdiri dari 14 lempeng tektonik besar dan puluhan lempeng kecil yang selalu bergerak. Lempengan ini terus bergerak karena bagian dalam bumi bentuknya adalah cairan pekat. Cairan-cairan tersebut selalu mengalir, walaupun rata-rata pergerakannya hanya beberapa sentimeter pertahun (Ella dan Usman, 2008). Menurut Ella dan Usman (2008), bentuk lempengan yang tidak rata sering terjadi gesekan dalam pergerakan ini. Energi yang disebabkan oleh gesekan ini sebagian besar lepas dalam bentuk panas ke dalam bumi dan sebagian kecil saja yang terasa oleh kita sebagai goncangan atau di kenal sebagai energi seismik. Selain terjadi pergeseran lempeng bisa juga terjadi perekahan di dalam lempeng itu sendiri. Jika ada gaya yang bekerja cukup besar, maka lempeng kerak bumi akan retak dan mengakibatkan goncangan. Goncangan tersebut akan menyebabkan timbulnya patahan pada permukaan bumi. Secara umum terdapat tiga tipe patahan, yaitu patahan normal, patahan balik dan patahan mendatar. Jika kekuatan gempa saling berlawanan arah maka akan terjadi saling tarik menarik sehingga menimbulkan patahan normal yang saling menjauh dan terjadi bidang naik turun, namun jika kekuatan gempa searah maka akan terjadi tumbukan sehingga menimbulkan patahan balik ada kedua bidang akan naik
Universitas Sumatera Utara
turun, sedangkan jika arah kekuatan gempa bergeser ke kiri atau ke kanan maka patahan terjadi secara mendatar (Ella dan Usman, 2008). Gempa bumi atau letusan gunung berapi yang terjadi di bawah laut mengakibatkan terjadinya kerak bumi keatas dan kebawah dan kemudian menyebabkan dasar laut naik dan turun secara tiba-tiba. Pergerakan naik dan turun dasar laut ini seterusnya menggerakkan air laut, menciptakan pergerakan gelombang yang kuat dan ketika gelombang ini sampai di pantai atau daratan, kecepatannya melambat dan tumbuh menjadi tembok air yang tinggi (Ella dan Usman, 2008). Menurut Ella dan Usman (2008), laut yang dalam ukuran gelombang tsunami agak rendah, gelombang tampak seperti ombak biasa, tingginya hanya sekitar satu meter dan lewat tanpa disadari oleh kebanyakan nelayan, namun ketika mencapai laut dangkal gelombang tsunami tumbuh hingga tiga puluh meter. Dalam laut yang gelombang tsunami dapat bergerak hingga 900 km/jam, tapi ketika mencapai laut dangkal dekat daratan gelombang tersebut melambat. Pada kedalaman 15 meter kecepatannya bisa menjadi 45 km/jam, kecepatan ini masih terlalu sukar bagi orangorang di pantai untuk dapat lari menyelamatkan diri. Gelombang tersebut mendorong ke depan dengan berat lautan di belakangnya, ketika itu rumah dan bangunan roboh, jalan hilang, kapal terlempar, jembatan putus, manusia dan hewan terhempas dan tertarik ke laut serta semua yang tidak tertanam kuat di dalam tanah akan tercabut oleh tsunami (Ella dan Usman, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Gempa dengan 9.1 skala richter dan menyebabkan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan salah satu bencana alam terbesar di dunia yang menimpa Indonesia. Setelah 45 menit terjadi gempa, gelombang tsunami menyapu bersih pesisir pantai NAD sepanjang 800 km hanya dalam beberapa menit. Gempa susulan yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 menambah jumlah korban, termasuk di Nias, Simeulue dan Aceh Bagian Selatan (LIPI- UNESCO/ISDR, 2006). Berdasarkan laporan bersama BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi) dan mitra internasional (Desember, 2005), dinyatakan bahwa bencana tersebut telah menyebabkan 167.900 orang meninggal atau hilang, 500.000 orang kehilangan rumah di Aceh, 13.500 orang kehilangan rumah di Nias. Laporan Media Center Aceh menyebutkan bahwa bencana tersebut telah menyebabkan 192.000 orang mengungsi, 120.000 rumah rusak/hancur serta sebagian besar infrastruktur ekonomi dan sosial juga rusak. Bagi semua korban yang tertimpa bencana, peristiwa tersebut telah meninggalkan beragam trauma yang mendalam. Korban jiwa yang begitu besar secara langsung mempengaruhi ketersediaan SDM di Aceh, maupun kemampuan kelembagaan pemerintah dan non pemerintah untuk merekonstruksi, merehabilitasi dan me-recovery wilayah yang rusak dan masyarakat yang tingkat ekonominya rentan dan miskin (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006). Aceh dalam peta geologi termasuk wilayah yang rawan gempa, sehingga gempa dalam berbagai skala sering terjadi. Data seratus tahun terakhir menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa gempa yang menimbulkan bencana di Aceh terjadi pada tahun 1936 (9 orang meninggal), 1983 (100 orang luka-luka), 2004 (menimbulkan tsunami dan kurang lebih 230.000 orang meninggal). Hingga saat ini gempa skala kecil sering terjadi di NAD (Badan Arsip NAD, 2005). Dalam seratus tahun terakhir, tsunami terjadi di Aceh sebanyak 2 kali (tahun 1907 dan 2004). Korban jiwa pada tsunami tahun 1907 mencapai 400 orang, sedangkan pada tahun 2004 mencapai kurang lebih 230.000 orang dengan kerusakan yang sangat parah pada berbagai infrastruktur dasar (Badan Arsip NAD, 2005). Secara teoritis, tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan gempa. Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan untuk dapat menganalisa karakteristik gempa. Informasi tersebut kemudian dapat segera disampaikan ke masyarakat sebelum gelombang tsunami menerjang pantai. Ide inilah yang mendasari didirikannya pusat system peringatan dini tsunami (Tsunami Warning System) dibeberapa Negara Pasifik (Hilman, 2007). Persoalan di Indonesia adalah tenggang waktu tersebut hanya berkisar antara 10-50 menit saja, karena jarak antara pusat gempa dan garis pantai tidak lebih dari 200 km. Hal ini berbeda dengan di negara-negara pasifik yang tenggang waktunya dapat mencapai satu sampai tiga jam. Akibat terbatasnya waktu untuk menyampaikan informasi dan fasilitas komunikasi yang belum memadai, sangat mungkin terjadi informasi belum sampai sementara gelombang tsunami telah menyapu pantai (Hilman, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Pemahaman Masyarakat Tentang Bencana Pemahaman masyarakat terutama terhadap karakter bencana merupakan jaminan investasi keselamatan hidup di masa depan, mengingat pengalaman sejarah peristiwa bencana lebih banyak menyisakan kepiluan dan penderitaan. Sekalipun peristiwa bencana di Indonesia merupakan kejadian yang selalu berulang, namun begitu mudahnya masyarakat melupakan dahsyatnya akibat yang ditimbulkan. Hal ini terutama terdapat pada peristiwa bencana yang siklus kejadiannya cukup lama, sementara upaya untuk menyediakan media bagi pembelajaran bencana untuk masyarakat belum terencana dengan baik. Sehingga pada setiap kejadian bencana selalu timbul kepanikan dan tidak pernah siap.
Salah satu hal yang perlu
dilakukan adalah memasyarakatkan pendidikan kebencanaan sehingga mampu memberi jaminan investasi bagi keselamatan hidup manusia di masa depan (PSBUGM, 2008). Untuk dapat memahami suatu situasi ataupun kejadian apakah situasi tersebut membahayakan dirinya atau tidak, masyarakat
membutuhkan pengetahuan
khususnya dibidang bencana atau bahaya yang ditimbulkan akibat bencana. Terutama bagi keluarga yang memilih berdomisili di daerah rawan bencana, karena seharusnya masyarakat yang berdomisili di daerah yang rawan terhadap bencana perlu di tekankan bagaimana cara seharusnya mempersiapkan diri dan keluarganya untuk menghadapi bencana sebaik mungkin.
Universitas Sumatera Utara
Karifan Lokal 2.2.1 Kepercayaan Tradisional Masyarakat Aceh memiliki sejumlah kearifan lokal dalam penanggulangan bencana. Diantaranya, masyarakat Aceh memiliki institusi adat yang bertangung jawab mengelola lingkungan dan memastikan tidak ada pengrusakan yang bisa menimbulkan bencana, seperti institusi adat: Ulee Seneuboek, Ketuha Uteun yang menjaga pengelolaan hutan dalam pemukiman mereka dan Panglima Laot yang bertanggung jawab dalam mengatur penggunaan sumberdaya laut dan menjaga kelestarian alam laut ( Aswar, 2009). Beberapa orang yang dituakan di desa mampu memprediksi lebih akurat tentang waktu terjadinya banjir, sehingga musim cocok tanam disesuaikan untuk menghindari bersamaan dengan datangnya banjir. Pengetahuan ini belakangan semakin hilang di desa-desa, terutama pasca tsunami terjadi perubahan besar pada kondisi alam, sehingga ilmu tradisonal yang dimiliki oleh masyarakat di desa-desa di Aceh sudah sulit memperkirakan tanda-tanda alam ( Aswar, 2009). Masyarakat Aceh memiliki memori kolektif tentang tsunami yang terjadi pada tahun 1907. Memori kolektif bahwa setiap gempa besar orang harus mencari bukit sudah direkam dalam hadih maja lokal di Simeulue, sehingga memori ini mudah diturunkan kepada generasi berikutnya yang tidak mengalami tsunami tahun 1907. Pengetahuan inilah yang telah membantu masyarakat Aceh bisa menyelamatkan diri dari tsunami 2004 ( Aswar, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari aspek pranata sosial, masyarakat Aceh mempunyai kelembagaan pranata sosial yang cukup lengkap, dan demokrasi yang sangat kuat. Lembaga tersebut mempunyai struktur yang diisi oleh berbagai cerdik pandai, yaitu ahli agama/ ulama, ahli pemerintahan/ mukim, ahli ekonomi (hariya) dan tokoh adat. Dari bawah hingga keatas mempunyai saluran yang saling berkoordinasi satu sama lainnya sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara musyawarah, demokratis, cepat dan tepat ( Aswar, 2009). Fungsi yang dijalankan oleh kelembagaan pranata sosial masyarakat tidak hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, tetapi juga menyangkut kegiatan ekonomi masyarakat. Hingga saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin-pemimpin pranata sosial seperti; tokoh ulama, mukim/ pemerintahan, tokoh ekonomi dan tokoh adat masih sangat kuat ( Aswar, 2009). 2.2.2
Berguru Kepada Alam Nenek moyang orang Aceh menetapkan suatu kearifan lokal selalu belajar
dari alam, sebagai Contoh kearifan lokal juga telah mampu menjadi peringatan dini yang efektif dan terbukti menyelamatkan banyak orang dari tsunami sebagaimana kearifan lokal yang dikembangkan masyarakat Pulau Simelue. Sehingga ketika terjadi megatsunami pada 2004, ribuan manusia terselamatkan. Mereka belajar dari kejadian tsunami yang terjadi beberapa ratusan tahun silam dan mengembangkannya menjadi sistem peringatan dini. Teriakan smong yang berarti air laut surut dan segera
Universitas Sumatera Utara
lari menuju ke bukit merupakan kearifan lokal yang melekat di hati setiap penduduk Pulau Simelue (Yusuf, 2007). Sebagai manusia yang bijak tentu kita dapat memaknai segala bencana yang terjadi di alam ini, yang memiliki pertanda dan maksud yang dapat kita tangkap, tidak saja melalui kecerdasan intelegensi (IQ) tetapi juga melalui kecerdasan spiritual (SQ) kita. Kearifan lokal dan mitos yang berkaitan dengan gempa tidak saja muncul pada saat sekarang. Hal tersebut telah ada sejak dulu dan setiap wilayah yang pernah mengalami gempa akan menjaga kelestarian mitos tersebut secara turun temurun (Yusuf, 2007). Peristiwa smong tahun 1907 diceritakan secara turun-temurun antar genarasi dalam masyarakat Simeulue. Bukan hanya cerita tentang kedahsyatan smong dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga mengenai gejala-gejala alam yang mendahuluinya. Sehingga generasi yang hidup pada masa sekarang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala-gejala alam yang berpotensi mendatangkan smong. Kisah smong diceritakan oleh nenek atau ibu kepada cucu dan anak-anak pada waktu senggang atau menjelang tidur. Cerita lisan yang dikisahkan secara turuntemurun itu disebut terma nafi-nafi (Abubakar, 2009). Melalui nafi-nafi, pengetahuan tentang tanda-tanda smong tetap lestari dan tersebar luas di Simeulue dan nyaris meliputi semua tingkatan usia. Karena nafi-nafi, saat tsunami membunuh ratusan ribu penduduk Aceh tahun 2004, masyarakat Pulau Simeulue yang dikelilingi lautan hanya mendapati tujuh orang penduduknya
Universitas Sumatera Utara
meninggal dunia. Ketika gempa dahsyat menggoyang Simeulue pada Minggu kelabu itu, laki-laki dewasa di sana segera berlari ke pinggir laut. Begitu melihat air laut surut, mereka membawa anggota keluarganya ke gunung atau perbukitan, sehingga terhindar dari amukan tsunami (Abubakar, 2009). Keberhasilan
masyarakat
Simeulue
dalam
menghadapi
bencana
smong/tsunami kiranya dapat menjadi pelajaran penting bagi kita untuk mempelajari kembali dan merevitalisasi kearifan-kearifan budaya lokal (local wisdom). Kearifan budaya lokal tersebut secara kontinu dan simultan perlu dilestarikan, jika tidak maka secara gradual akan terlupakan dan hilang. Upaya melestarikan pengetahuan tentang bencana alam melalui nafi-nafi, sayangnya tidak tersosialisasi. Terma smong sendiri hanya dimiliki oleh masyarakat Simeulue, tanpa tersosialisasi kepada masyarakat di luar pulau itu. Seandainya seluruh masyarakat yang berdomisili di Aceh memiliki pengetahuan itu, tentu saja korban manusia yang jatuh dapat diminimalisir secara drastis. Begitupun tentang terma yang digunakan, tentu bencana dahsyat pada 26 Desember 2004 itu akan dinamai dengan smong, bukan tsunami (Abubakar, 2009) Selain yang telah di sebutkan diatas, masyarakat Aceh juga memiliki kearifan lokal dalam menghadapi bencana yaitu pada arsitektur bangunan Rumoh Aceh. Sebagai asset budaya arsitektur rumoh Aceh masih harus tetap dipelihara dan dipertahankan, karena disamping identitas budaya suku bangsa, juga ada sisi positifnya didalamnya yaitu mampu mengantisipasi terhadap bencana seperti
Universitas Sumatera Utara
kebakaran, angin topan, banjir dan tsunami serta bencana gempa (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006).
Konsep Dasar Rumah 2.3.1 Defenisi Rumah Rumah adalah bangunan yang di jadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal baik manusia maupun hewan. Tempat tinggal khusus bagi hewan ada yang dinamakan sangkar, sarang atau kandang. Sedangkan
bagi
manusia
rumah
mengacu
pada
konsep–konsep
sosial
kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, tempat bertumbuh (berkembang biak), makan, tidur
dan beraktivitas (Dinas
Perkotaan dan Pemukiman, 2006). Sebagai bangunan rumah berbentuk ruangan yang dibatasi oleh dinding dan atap, biasanya memiliki jalan masuk berupaa pintu, bisa berjendela ataupun tidak. Lantainya bisa berupa tanah, ubin, bambu, keramik ataupun bahan lainnya. Rumah modern biasanya lengkap memiliki unsur-unsur seperti jendela, pintu, dinding, atap dan lantai. Bagian dalam rumah terbagi-bagi menjadi beberapa kamar yang berfungsi spesifik seperti kamar tidur, kamar mandi, WC, ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu, garasi, gudang, teras dan pekarangan (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006). Dalam kegiatan sehari-hari, orang berada di luar rumah untuk bekerja, bersekolah atau melakukan aktivitas lain, tetapi paling sedikit rumah berfungsi sebagai tempat untuk tidur bagi keluarga ataupun perorangan. Selebihnya rumah juga
Universitas Sumatera Utara
digunakan sebgai tempat berktivitas antara keluarga atau teman baik didalam maupun di luar rumah (pekarangan) (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006). Menurut Entjang (2000), salah satu fungsi rumah sehat yang di ajukan oleh Winslow adalah harus memenuhi kebutuhan psikologis. Keadaan rumah dan sekitarnya serta cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan (aesthetis) sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang sehat, adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Bagi setiap anggota keluarga yang terutama yang mendekati dewasa harus mempunyai ruangan sendiri-sendiri sehingga privacynya tidak terganggu. Rumah sehat juga harus mempunyai ruangan untuk menjalankan kehidupan keluarga di mana semua anggota keluarga dapat berkumpul, juga harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat (ruang tamu), dan harus dapat menghindari terjadinya kecelakaan / aman (Entjang, 2000). Fungsi rumah yang dapat melindungi/ menghindari terjadinya kecelakaan/ aman dan terhindar dari bahaya atau bencana diperlukan kontruksi bangunan rumah dan bahan-bahan bangunan yang harus kuat sehingga tidak mudah ambruk dan di usahakan tidak mudah terbakar. Untuk mengantisipasi hal tersebut di perlukan kontruksi rumah yang tahan terhadap gempa, tahan terhadap terpaan angin, terhindar dari banjir dan dapat mengantisipasi apabila terjadi kecelakaan.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu rumah yang dirancang oleh riset dan tehnologi (RISTEK), untuk keamanan penghuninya di daerah yang rawan terhadap gempa yaitu konsep rumah tahan gempa. Konsep ini pada dasarnya adalah upaya untuk membuat seluruh elemen rumah menjadi satu kesatuan yang utuh, yang tidak lepas/ runtuh akibat gempa. Penerapan konsep tahan gempa antara lain dengan cara membuat sambungan yang cukup kuat di antara berbagai elemen , serta pemilihan material dan pelaksanaan yang tepat. Konsep rumah contoh yang di kembangkan Kantor Menteri Negara Riset dan Tekhnologi (KMNRT) tidak hanya mengacu pada konsep desain tahan gempa saja, akan tetapi mencakup konsep pemanfaatan material setempat, budaya masyarakat dalam membangun rumah, serta aspek kemudahan pelaksanaan (Ruswan, 2008). 2.3.2 Rumoh Aceh Sebagai Kearifan Lokal Rumoh Aceh adalah rumah tradisional masyarakat Aceh yang digunakan sebagai tempat tinggal orang Aceh, pada umumnya rumoh Aceh dapat di bagi dalam tiga jenis yaitu: rumoh Aceh, rumoh santeut dan rumoh jambo atau biasanya di sebut dengan jambo. Rumoh santeut adalah bentuk lain dari rumoh Aceh dengan ketinggian permukaan tanah antara 120-150 cm. Rumoh santeut terdiri dari beberapa ruang. Perbedaan khas dengan rumoh Aceh di samping lebih rendah adalah lantainya rata (santeut). Rumah ini mulai berkembang sejak akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20. Rumoh santeut ini menjadi satu tren pembangunan rumah oleh orang-orang pada masa itu. Rumoh santeut memiliki kemiripan dengan rumah melayu yang terdapat di daerah Langkat, Deli dan Sumatra Timur. Rumoh santeut juga mempunyai
Universitas Sumatera Utara
kemiripan dengan rumah melayu yang terdapat disemenanjung Malaysia, hanya saja postur rumahnya relative lebih tinggi di banding dengan rumoh santeuet di Aceh (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006). Bentuk ketiga rumah Aceh adalah yang disebut dengan jambo (gubuk). Rumah bentuk ini cukup sederhana karena dibangun dengan tiang-tiang dan dindingdinding yang sangat sederhana. Dalamnya ada yang berkamar ada yang tidak. Rumah ini biasanya milik orang-orang miskin yang kurang mampu, orang yang baru berkeluarga yang belum mampu membuat rumah yang besar dan biasanya juga merupakan rumah kedua dari orang-orang yang berada di kebun guna dihuni oleh penjaganya (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006). Rumoh Aceh berkembang berdasarkan konsep kehidupan masyarakat yaitu suci. Konsep suci menyebabkan rumoh Aceh berdiri diatas panggung. Dari segi agama bentuk panggung ini dapat menghindari najis seperti anjing, bila kotor mudah di cuci. Peletakan ruang kotor seperti toilet atau ruang basah seperti sumur di buat jauh dari rumah (Widosari, 2010). Konsep selanjutnya Widosari, (2010) menjelaskan penyesuaian terhadap tata cara beribadah seperti sholat. Sholat yang menghadap ke kiblat menyebabkan peletakan rumoh Aceh memanjang menghadap kiblat (ke barat) sehingga rumoh Aceh dapat menampung banyak orang sholat. Peletakan tangga tidak boleh di depan orang sholat sehingga tangga di tempatkan di ujung timur atau di bawah kolong rumah. Reunyeun (tangga) berfungsi sebagai titik batas yang boleh di datangi tamu selain
Universitas Sumatera Utara
anggota keluarga terutama laki-laki yang bukan keluarga dekat. Konsep ukhuwah atau hubungan antara masyarakat yang dekat dan terbuka menyebabkan rumoh Aceh yang relatif rapat dan tidak mempunyai pagar yang permanen. Lebih lanjut Widosari, (2010) menjelaskan rumoh Aceh merupakan hasil respons penghuni terhadap geografis sehingga memiliki tipe berbentuk panggung yang memberikan kenyamanan thermal kepada penghuninya. Tipe rumah ini juga membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban kampung, sehingga dapat di manfaatkan sebagai sistem kontrol yang praktis untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan penghuninya dari bahaya seperti; banjir, binatang buas, gempa, tsunami, kebakaran, dan orang asing. Struktur bangunan rumoh Aceh mempunyai kunci kekokohan dan keelastisan yaitu pada hubungan antara struktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak dan bajoe tanpa paku, serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid), keelastisan ini menyebabkan rumah tidak mudah patah, namun hanya terombang-ambing ataupun bangunan terangkat keatas yang kemudian mampu jatuh ketempat semula, walaupun bergeser hanya beberapa centimeter. Sebuah pondasi batu utuh yang hanya ditanam 5 cm juga memperlentur pergerakan keseluruhan bangunan sesuai dengan pergerakan tanah (Widosari,2010). Akhir-akhir ini ada kecendrungan masyarakat Aceh untuk meninggalkan arsitektur tradisionalnya karena dinilai kurang praktis. Ditinjau dari aspek budaya, hal
Universitas Sumatera Utara
tersebut disatu sisi ada kerugiannya. Budaya juga pada dasarnya selalu berevolusi dan berubah mencari bentuk baru (akulturasi) bukan hanya kearah yang negatif tetapi juga mempunyai sisi positifnya yaitu dalam mencari suatu kepraktisan dalam memberi kemudahan kepada pemakainya yaitu masyarakat itu sendiri, misalnya masyarakat pedesaan sekarang sudah banyak yang memiliki kenderaan bermesin seperti sepeda motor. Menyimpan sepeda motor di atas rumoh Aceh sangat sulit, maka yang praktis adalah rumah di atas tanah atau rumah gedung (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006). Selain kurang praktis, sulitnya mendapatkan tukang dan material bangunan serta upacara ritual pada saat pendirian rumah juga merupakan kendala di masyarakat untuk membangun rumoh Aceh. Upacara ritual yang begitu banyak saat mendirikan rumoh Aceh di mulai dari pemotongan kayu, penentuan tukang, mendirikan rumah dan penghuninya semua di tepung tawar (peuesijuek) yang disertai penyajian pulut kuning. Ritual ini juga diiringi pembacaan doa keselamatan, keberkahan hidup dan kemudahan rezeki. Ritual lain yang dilakukan pada saat mendirikan rumah yaitu menanam sikurah yaitu sebuah periuk tanah yang berukuran sedang didalamnya di masukkan telur ayam, daun seunijuek, keumenyan putih, bulu ijuk, sedikit emas (0,5 gram) dan jarum. Periuk di bungkus dengan kain putih, lewat tengah malam di tanam di bawah tiang utama dengan ke dalaman sehasta, lalu empat gumpal tanah diambil kemudian
Universitas Sumatera Utara
dilemparkan ke empat jurusan mata angin sambil di bacakan doa untuk keselamatan, kemudian baru ditanam (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006).
Persepsi 2.4.1 Pengertian Persepsi Menurut Rakhmat (2007), persepsi adalah pengalaman tentang peristiwa atau hubungan-hubungan yang di peroleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk indrawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan di organisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu, sedangkan Atkinson dan Hilgard dalam Rakhmad (2007), mengemukakan persepsi itu adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely menjelaskan persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu (Gibson dan Donely, 1996). Persepsi berhubungan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indra. Persepsi juga di artikan sebagai proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera (Caplin, 2006). Persepsi merupakan makna hasil pengamatan yang dilakukan oleh individu terhadap suatu objek yang mendefinisikan pengenalan akan suatu hal/objek melalui
Universitas Sumatera Utara
penginderaan yang disatukan dan dikoordinasikan dalam saraf yang lebih tinggi (Sarwono, 1992). 2.4.2 Faktor-faktor Pembentukan Persepsi Menurut Rakhmad (2007), Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman. Lebih lanjut Rakhmad juga menjelaskan yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respons terhadap stimuli. Persepsi juga meliputi kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman orang yang bersangkutan (Gibson,1996). Robbins (2005) menyatakan terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi, yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu memandang kepeda objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, maka penafsiran tersebut akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi itu. Karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi adalah sikap, kepribadian, motif, kebutuhan atau minat, pengalaman dan harapan. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor eksternal atau dari luar yakni concreteness yaitu gagasan yang abstrak yang sulit dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, Velocity atau percepatan, misalnya pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimuli munculnya persepsi lebih
Universitas Sumatera Utara
efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang dikondisikan. Sedangkan faktor internal adalah motivasi yaitu dorongan untuk merespons sesuatu, interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan dari pada yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir asumtions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain. Jika digambarkan polanya, maka terlihat seperti pada Gambar 2.2 di bawah ini:
a. b. c. d. e.
Situasi a. Waktu b. Keadaan tempat
Pelaku persepsi Sikap Motif Kebutuhan atau minat Pengalaman Pengharapan
PERSEPSI
Target yang dipersepsikan a. Hal baru b. Gerakan c. Bunyi d. Ukuran e. Latar belakang f. Kedekatan Gambar 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins, 2005)
Universitas Sumatera Utara
2.4.3
Pengetahuan Pengetahuan adalah segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu
hal/objek (Azwar, 2005). Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2002). Menurut Bloom yang di jabarkan oleh Notoatmodjo (2002), pengetahuan mencakup enam tingkatan : a)
Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b)
Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
c)
Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.
Universitas Sumatera Utara
d)
Analisis (Analysis) Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi yang ada kaitannya satu sama lain.
e)
Sintesis (Syntesis) Menunjukkan
kepada
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f)
Evaluation (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2.4.4
Pengalaman Pengalaman adalah segala sesuatu yang dirasakan atau dialami seseorang pada
masa lalu terhadap suatu hal/objek (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005) Masa lalu membawa pengaruh yang besar sekali terhadap masa yang akan datang. Menurut Freud dalam Setiabudi (2010), mengatakan secara ekstrim setiap masalah di sebabkan oleh pengalaman, baik pengalaman positif maupun negatif, yang seolah-olah seperti menjadi batu penjuru dan penentu kehidupan di masa yang akan datang. Setiap pengalaman yang di tekan di bawah alam sadar biasanya akan muncul secara sadar sebagai mekanisme pertahanan diri, seperti; proyeksi, rasionalisasi, dan reaksi formasi (Jung, dalam Setiabudi, 2010). Masa lalu yang pahit jangan di tutup-
Universitas Sumatera Utara
tutupi karena secara psikologis maupun rohani akan mempengaruhi pertumbuhan fisik yang tidak sehat dan tidak normal (Setia Budi, 2010). 2.4.5 Kebutuhan Menurut Maslow dalam Luthans (2006), apabila suatu kebutuhan terpenuhi, maka kebutuhan itu tidak lagi merupakan motivator perilaku. Kebutuhan-kebutuhan dengan kekuatan tinggi yang telah terpenuhi di nyatakan seseorang sebagai kebutuhan ”satisfied” yaitu kebutuhan yang terpenuhi dalam kadar tertentu sehingga kebutuhan lain lebih potensial. Kebutuhan adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia sehingga dapat mencapai kesejahteraan, bila ada di antara kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka manusia merasa tidak akan sejahtera atau kurang sejahtera. Kebutuhan juga merupakan suatu aspek psikologis yang menggerakkan makhluk hidup dalam aktivitas dan menjadi dasar atau alasan untuk berusaha (Caplin, 2006). Menurut Luthans (2006), Maslow juga mengemukakan beberapa hal tentang perilaku manusia sebagai berikut: a)
Manusia merupakan makhluk yang serba berkeinginan (man is a wanting being), manusia senantiasa menginginkan sesuatu dan menginginkannya lebih banyak, tetapi apa yang diinginkannya tergantung pada apa yang sudah di miliki olehnya. Setelah salah satu dari keinginannya terpenuhi, barulah muncul keinginan yang lain. Keinginan-keinginan tersebut terus muncul mulai
Universitas Sumatera Utara
dari lahir hingga manusia meninggal, maka pada umumnya kebutuhankebutuhan tersebut tidak akan terpuaskan semuanya. Kebutuhan yang sudah terpenuhi bukanlah suatu motivator perilaku, hanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhilah yang menjadi motivator sehingga timbullah kekuatan-kekuatan besar atas apa yang diinginkan seseorang. b)
Kebutuhan manusia diatur dalam suatu seri tingkatan suatu hirarkhi menurut pentingnya masing-masing kebutuhan, setelah kebutuhan yang mendasar terpenuhi, meningkatlah pada kebutuhan selanjutnya. Maslow
mengidentifikasi
lima
tingkatan
dalam
hirarkhi
kebutuhan
manusia (Luthans, 2006). a. Kebutuhan fisiologis.Tingkatan paling dasar dalam hirarkhi ini umumnya berhubungan dengan kebutuhan primer yaitu Kebutuhan lapar, haus, tidur dan seks merupakan beberapa contoh. Menurut teori, sekali kebutuhan dasar terpuaskan, maka tidak lagi memotivasi. Misalnya orang yang kelaparan akan berjuang memperoleh makanan yang susah di dapat. Akan tetapi setelah dia mendapatkan makanan tersebut, orang itu tidak akan berjuang memperoleh yang lainnya lagi dan hanya akan termotivasi oleh tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. b. Kebutuhan keamanan. Tingkat kebutuhan kedua ini kurang lebih ekuivalen dengan kebutuhan keamanan. Maslow menekankan keamanan emosi dan
Universitas Sumatera Utara
fisik. Keseluruhan organisme mungkin menjadi mekanisme yang mencari keamanan. Sama halnya dengan kebutuhan fisiologis, jika kebutuhan keamanan terpuaskan, mereka tidak akan memotivasi lagi. c. Kebutuhan cinta. Tingkat kebutuhan yang ketiga ini berhubungan dengan kebutuhan afeksi dan afiliasi. Seperti Freud, Maslow sepertinya merasa bersalah karena pemilihan kata yang tidak tepat untuk mengidentifikasi tingkat kebutuhan ini. Penggunaan kata cinta memiliki konotasi negatif seperti seks yang sebenarnya merupakan kebutuhan fisiologis. Mungkin kata yang tepat untuk mendeskripsikan tingkat ini adalah memiliki (belongingness) atau sosial. d. Kebutuhan penghargaan. Tingkat penghargaan mewakili kebutuhan manusia yang lebih tinggi. Kebutuhan akan kekuasaan, prestasi, dan status dapat dianggap sebagai bagian dari tingkat ini. Maslow secara cermat menunjukkan bahwa tingkat penghargaan diri dan penghargaan pada orang lain. e. Kebutuhan aktualisasi diri. Tingkat ini adalah puncak semua kebutuhan manusia yang rendah, sedang, dan lebih tinggi. Orang yang telah memiliki aktualisasi diri adalah orang yang terpenuhi dan menyadari semua potensinya. Aktualisasi diri merupakan motivasi seseorang untuk mengubah persepsi diri ke dalam realita.
Universitas Sumatera Utara
2.4.6 Harapan Harapan adalah kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam tata cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan daya tarik dari hasil itu terhadap individu tersebut (Robbin, 1996). Menurut Snyder dalam Luthans (2006), harapan yaitu keadaan motivasi positif yang didasarkan pada rasa keberhasilan (1) agensi (energi terarah pada tujuan) (2) jalan (rencana mencapai tujuan). Jadi dapat disimpulkan harapan yaitu mencakup kekuatan dan keinginan (willpower) dan kekuatan jalan atau way power (pathways), yaitu energi besar dan kuat yang luar biasa atau semacam daya gerak yang besar yang dapat menimbulkan hasil yang besar. Vroom mengatakan bahwa harapan terbentuk oleh karena adanya kekuatan motivasional (valensi), yaitu kekuatan preferensi individu untuk memperoleh hasil akhir tertentu. agar valensi menjadi positif, orang harus lebih menyukai memperoleh hasil daripada tidak memperolehnya sama sekali. Valensi nol terjadi saat individu mengabaikan hasil, valensi akan negatif saat individu lebih suka tidak memperoleh hasil dari pada memperolehnya. Dalam hal ini tokoh masyarakat Aceh akan mempunyai harapan agar adanya keinginan dari masyarakat dan pemerintah perubahan dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami yang kemungkinan akan terjadi lagi. Perubahan tersebut dilakukan baik secara moderen ataupun dengan mengandalkan kearifan lokal yang
Universitas Sumatera Utara
ada untuk meminimalisir korban akibat bencana gempa dan tsunami karena mengingat daerah Aceh merupakan daerah yang mempunyai risiko terhadap bencana gempa dan tsunami.
Landasan Teoritis Kerangkan teori pada penelitian ini adalah modifikasi dari beberapa landasan teori yang memberi kontribusi atas persepsi seseorang. Menurut Robbin (1996), persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yaitu pengalaman individu. Menurut Theory of Reasoned Action (Azjen, 1991), persepsi terbentuk di jembatani komponen sikap berperilaku, norma subyektif serta kontrol berperilaku sebagai penentu penting dari kebutuhan dan harapan. Marshal dalam Notoatmodjo (2005), menyatakan faktor yang memengaruhi persepsi adalah pengetahuan. Persepsi sebagai interpretasi, perhatian dan seleksi melalui indra penerima stimulus mengacu pada teori Robbin (1996). Perpaduan dari pendapat Azjen (1991), Marshal dalam Notoatmodjo (2005) digunakan sebagai landasan teori penelitian dapat di lihat pada skema berikut:
Universitas Sumatera Utara
Sikap Berperilaku
Pengetahuan Persepsi
Pengalaman
Interpretasi Perhatain dan Seleksi indra Penerima Stimulus
Norma Subjektif Kebutuhan Kontrol Keperilakuan yang Disarankan Gambar 2.3.
Harapan
Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior (Azjen,1991), Marshal dalam Notoatmodjo (2005), dan Robbin (1996).
Kerangka konsep Berdasarkan teori yang telah diuraikan di atas, maka peneliti akan memfokuskan untuk mengkaji pengaruh variabel pengetahuan, pengalaman masa lalu, kebutuhan dan harapan terhadap persepsi tokoh masyarakat tentang romoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami dapat di lihat pada skema kerangka konsep di bawah ini: Variabel Bebas
Variabel Terikat
Pengetahuan Persepsi Tokoh Masyarakat Tentang Rumoh Aceh
Pengalaman
Kebutuhan
Harapan Gambar 2.4. Kerangka konsep
Universitas Sumatera Utara