BAB 2 TINJAUAN LITERATUR Pada bagian ini akan dipaparkan tinjauan literatur mengenai lahan, pengaruh universitas terhadap wilayah di sekitarnya, informasi harga lahan, serta teori mengenai sampling dan uji independen antara dua faktor.
2.1
Lahan Pada bagian ini, akan dibahas tinjauan literatur mengenai lahan, yang
dimulai dari pengertian lahan, nilai dan harga lahan, dan peningkatan harga lahan.
2.1.1
Pengertian Lahan Tanah atau lahan adalah permukaan bumi, tempat bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya untuk hidup dan melakukan aktivitasnya. Lahan memiliki berbagai karakteristik unik yang membedakannya dari barang lainnya, yaitu (Drabkin, 1977): -
Lahan tidak akan mengalami depresiasi (undepreciable) dan tidak terpengaruh oleh waktu, tidak seperti barang-barang lainnya yang mengalami depresiasi atau penurunan nilai seiring berjalannya waktu.
-
Lahan tidak dapat dipindahkan atau tidak bersifat transportable.
-
Lahan bersifat terbatas dalam kuantitas dan jumlahnya tidak dapat bertambah (kecuali dalam kondisi khusus, seperti misalnya reklamasi). Namun, keterbatasan jumlah lahan tersebut dapat digantikan oleh bertambahnya intensitas guna lahan.
-
Lahan dapat digunakan tidak hanya untuk tujuan produksi, tetapi juga dapat digunakan untuk kepentingan investasi jangka panjang.
23
24
2.1.2
Nilai Lahan dan Harga Lahan Lahan memiliki komponen berupa nilai dan harga. Kedua komponen
tersebut memiliki pengertian yang berbeda secara mendasar. Nilai lahan (land value) dapat diartikan sebagai suatu pengukuran atas lahan yang didasarkan pada kemampuan produktivitas secara langsung, seperti kemampuan memberikan suatu hasil pertanian atau pertambangan, maupun secara tidak langsung seperti kemanfaatan sehubungan dengan penggunaan lahan, seperti memberikan keuntungan bagi peletakan kegiatan fungsional karena letak atau lokasi tanah tersebut yang strategis. Nilai lahan merupakan komponen yang cenderung lebih sulit terukur dibandingkan harga lahan. Hal ini dikarenakan nilai lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu (Ratcliff, 1949): 1. Aksesibilitas Tingkat aksesibilitas mempengaruhi nilai lahan karena menentukan secara langsung biaya transportasi yang digunakan. 2. Karakteristik lingkungan 3. Lokasi Lokasi ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap nilai lahan, terutama untuk lahan komersial. Untuk konteks lahan komersial, semakin lokasinya bersifat terpusat dan semakin luas wilayah layanannya, maka nilai lahannya juga akan semakin tinggi. 4. Kemungkinan untuk dibangun/constructbility 5. Intensitas kegiatan dan jenis guna lahan Jenis guna lahan juga akan mempengaruhi nilai lahan. Misalnya, lahan pertanian cenderung memiliki nilai lahan yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan permukiman atau perkotaan. Perubahan guna lahan juga dapat meningkatkan nilai lahan apabila perubahan yang terjadi berupa perubahan dari guna lahan pertanian ke guna lahan perkotaan. 6. Infrastruktur serta pelayanan publik dan privat Ketersediaan infrastruktur akan menjadi salah satu daya tarik suatu lokasi, sehingga ketersediaan infrastruktur ini akan mempengaruhi nilai lahan.
25
Karena guna lahan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap nilai lahan, maka istilah nilai lahan atau land value digunakan sebagai suatu istilah yang merujuk pada guna lahan, yang antara lain meliputi guna lahan permukiman/residential, komersial, industri, dan rekreasi (Drabkin, 1977). Sementara harga lahan atau land price dapat diartikan sebagai penilaian atas lahan yang diukur berdasarkan harga nominal dalam satuan uang untuk satuan luas persil. Harga lahan ini merupakan cerminan dari nilai lahan dalam satuan uang (Drabkin,
1977).
Namun,
perlu
diingat
bahwa
harga
lahan
tidaklah
menggambarkan nilai lahan yang sebenarnya secara akurat, karena faktor-faktor yang mempengaruhi nilai lahan lebih kompleks dan cenderung tak terukur dibandingkan harga lahan. Akibat kompleksnya faktor-faktor tersebut, dua lahan yang memiliki nilai lahan yang sama dapat memiliki harga lahan yang berbeda. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasar lahan memiliki karakteristik yang berbeda dari pasar barang lainnya. Dalam pasar barang yang bersifat sempurna, harga terbentuk dari keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Sementara dalam pasar lahan, harga terbentuk dalam kondisi yang tidak seimbang/disequilibrium, karena penawaran dan permintaan dalam pasar lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda dari pasar barang lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan dalam pasar lahan tersebut antara lain adalah kebijakan pajak, tingkat suku bunga, serta guna lahan yang diharapkan/expected land-use. Permintaan yang tinggi akan lahan akan menyebabkan naiknya harga lahan, tetapi harga lahan yang tinggi tidak selalu menyebabkan naiknya sisi sediaan/supply dari lahan tersebut, karena pemilik lahan seringkali mengharapkan harga yang lebih tinggi di masa yang akan datang sehingga ia memutuskan untuk menunda menjual lahannya (Drabkin, 1977). Menurut Drabkin (1977), ada dua faktor utama yang mempengaruhi harga lahan secara umum, yaitu: 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan lahan sebagai faktor produksi dalam proses pengembangan kawasan terbangun/building process¸ yang mencakup pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kebutuhan perumahan akibat adanya aktivitas tertentu.
26
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan lahan sebagai suatu bentuk investasi, yang mencakup tingkat inflasi, kebijakan pajak atas tanah, dan lain-lain. Sementara menurut Goldberg, Michael dan Chinloy (1984), karakteristik lahan yang dapat mempengaruhi harga lahan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: a. Karakteristik Fisik. Karakteristik fisik ini menyangkut kemiringan tanah, ketinggian, bentuk, jenis tanah, dan luas dari area tertentu. Empat karakteristik lahan yang paling umum adalah sebagai berikut ruang (space), kestabilan tanah (indestructibility), sifatnya yang tidak dapat dipindahkan (immobility), serta keunikan (uniqueness) yang dimilikinya dari segi kemiringan, ketinggian, bentuk, luas, iklim, dan karakteriktik lain masing-masing tempat. b. Karakteristik Lokasional. Lokasi suatu lahan berhubungan dengan penggunaan ekonomi dan sosial tertentu yang dapat dilakukan di lahan tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi harga lahan yang termasuk ke dalam karakteristik lokasional ini adalah kedekatan ke pusat primer/pusat utama kegiatan kota, tingkat aksesibilitas, jenis pemanfaatan lahan, letak lahan, serta kedekatan ke fasilitas. c. Karakteristik Legal. Karakteristik legal yang mempengaruhi harga lahan antara lain adalah peruntukan lahan, status lahan, serta tingkat inflasi.
2.1.3
Peningkatan Harga Lahan Kecenderungan peningkatan harga lahan merupakan suatu fenomena yang
umum terjadi di hampir seluruh negara di dunia. Namun, peningkatan harga lahan tersebut akan berbeda-beda di setiap negara atau wilayah. Secara umum, ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya peningkatan harga lahan, yaitu (Drabkin, 1977): 1. Tingkat inflasi
27
Dalam kondisi inflasi yang berat, kenaikan harga akan membuat orang membeli lahan sebagai antisipasi terhadap kenaikan harga lahan di masa mendatang. Hal ini dikarenakan lahan adalah suatu komoditi yang tidak akan mengalami depresiasi atau penurunan nilai. Dalam hal ini, lahan berperan sebagai salah satu bentuk investasi. 2
Tingkat pertumbuhan penduduk Tingkat pertumbuhan penduduk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kenaikan harga lahan, walaupun tingkat pertumbuhan ini bukanlah merupakan faktor penyebab langsung/explanatory variable. Artinya, pertumbuhan yang lebih tinggi di suatu daerah tidak selalu diikuti oleh kenaikan harga lahan yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan daerah lain yang memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih rendah. Tingkat pertumbuhan penduduk ini mempengaruhi harga lahan secara tidak langsung melalui kenaikan permintaan atau kebutuhan atas lahan.
3
Perubahan guna lahan Perubahan guna lahan dapat meningkatkan nilai lahan apabila perubahan yang terjadi berupa perubahan dari guna lahan pertanian ke guna lahan perkotaan. Dari penelitian yang dilakukan di berbagai negara di dunia, ternyata
peningkatan harga lahan yang paling tinggi diakibatkan oleh adanya perubahan guna lahan, terutama dari guna lahan pertanian ke guna lahan perkotaan/nonpertanian seperti misalnya guna lahan permukiman atau komersial. Perubahan guna lahan ini dapat menyebabkan peningkatan harga lahan hingga mencapai puluhan kali lipat dari harga awalnya. Perubahan guna lahan dari pertanian ke guna lahan perkotaan umumnya terjadi di daerah pinggiran kota. Adanya perkembangan atau suatu aktivitas baru yang terjadi di pinggiran kota, seperti misalnya proses pengkotaan atau ditetapkannya wilayah pinggiran kota tersebut menjadi suatu kawasan tertentu, mengakibatkan munculnya kebutuhan lahan untuk kawasan terbangun. Kebutuhan ini mengakibatkan harga lahan di wilayah pinggiran kota tersebut menjadi naik, sehingga para pemilik lahan pertanian di wilayah pinggiran tersebut kemudian cenderung menjual lahannya. Perubahan guna lahan dari pertanian ke guna lahan
28
perkotaan serta terjadinya pembangunan lebih lanjut di wilayah pinggiran kota mengakibatkan harga lahan di wilayah tersebut menjadi meningkat drastis. Di banyak negara di dunia, harga lahan di wilayah pinggiran kota justru mengalami peningkatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga lahan di wilayah perkotaannya (Drabkin, 1977).
2.2
Pengaruh Universitas Terhadap Wilayah di Sekitarnya Diskusi mengenai peran universitas kini tidak hanya terbatas pada rencana
kurikulum dan area kampus yang terpisah dari komunitas sekitarnya saja. Berbagai diskusi dan penelitian di berbagai negara, terutama dalam dua dekade terakhir ini, semakin menunjukkan bahwa universitas memiliki peran yang besar terhadap komunitas di sekitarnya (Kumar, 2006). Menurut Davis (1999), ada 3 komponen dampak dari penetapan suatu kawasan menjadi kawasan fungsional seperti kawasan pendidikan tinggi, yaitu: a. Dampak langsung/direct impact Tingginya interaksi yang dilakukan sivitas akademika, yang mencakup mahasiswa, dosen serta karyawan, menyebabkan tingginya kebutuhan akan pelayanan dan aktivitas pendukung sehingga menciptakan lapangan kerja dan kegiatan-kegiatan pembangunan baru. Penciptaan lapangan kerja dan kegiatan pembangunan tersebut berdampak pada meningkatnya sumber pendapatan masyarakat lokal yang ada di sekitar kawasan pendidikan tinggi. b. Dampak tidak langsung/indirect impact Peningkatan jumlah sivitas akademika yang terlibat dalam kegiatan pendidikan tinggi akan menyebabkan peningkatan dalam jumlah fasilitas pendukung pula. Fasilitas pendukung ini antara lain meliputi pemondokan, tempat makan, pertokoan yang menyediakan barang-barang khususnya yang berkaitan dengan pendidikan, rental komputer (termasuk internet), jasa telekomunikasi, dan lain-lain. Meningkatnya fasilitas pendukung ini akan membawa dampak pada meningkatnya harga lahan di daerah tersebut, karena adanya demand yang terus meningkat sementara supply lahan bersifat tetap. c. Induced impact
29
Salah satu contoh induced impact dari kegiatan pendidikan tinggi adalah dampak yang ditimbulkan dari adanya konsumsi barang maupun jasa yang disediakan oleh masyarakat lokal. Universitas dapat dipandang sebagai mesin untuk pertumbuhan ekonomi dan pengembangan komunitas di sekitarnya (Calder, 2001). Hal ini dikarenakan oleh adanya interaksi yang terjadi antara sivitas akademika dengan masyarakat sekitar. Interaksi ini terutama terjadi karena adanya kebutuhan sivitas akademika terutama akan tempat tinggal dan fasilitas pendukung untuk menunjang aktivitasnya sehari-hari. Interaksi ini terutama terjadi di daerah sekitar kawasan pendidikan tinggi. Hal ini dijelaskan oleh Zipf (dalam Hartshorn, 1992:83) melalui teori principle of least effort. Dalam teori tersebut, Zipf menjelaskan bahwa seseorang memiliki kecenderungan untuk meminimumkan jarak yang harus ditempuhnya serta memilih lokasi terdekat untuk mendapatkan barang dan jasa. Lynch (1982) dan Dober (1968) dalam Mardianta (2001) menambahkan bahwa interaksi yang kuat dan dominan antara kampus dengan kawasan sekitarnya akan menuntut jarak pencapaian yang lebih pendek. Dengan demikian, kegiatan penunjang pendidikan tinggi juga akan mengikutinya yaitu terjadi di di sekitar kawasan pendidikan tinggi tersebut. Kebutuhan akan tempat tinggal merupakan kebutuhan yang paling primer dari mahasiswa sebagai akibat dari tidak disediakannya fasilitas tersebut oleh pihak universitas. Sebagian kebutuhan akan tempat tinggal tersebut dipenuhi secara formal oleh pengembang real-estate. Di luar negeri, universitas bahkan terlibat langsung dalam proses pengembangan real-estate, mulai dari proses pengaturan hingga penjualan. Namun, pengalaman universitas di beberapa negara, seperti misalnya University of Chicago, menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan tempat tinggal yang dilakukan secara formal lewat pengembangan realestate telah mengakibatkan harga lahan di sekitar universitas menjadi sangat mahal dan justru mengakibatkan gentrifikasi dari penduduk asli yang tinggal di sana (Calder, 2001).
30
Pemerintah lokal dari daerah tempat universitas itu berada seringkali memiliki harapan yang berlebih (over-expected) terhadap universitas. Mereka menganggap universitas dapat dijadikan mesin pertumbuhan wilayahnya karena universitas menciptakan berbagai lapangan pekerjaan dan dapat membantu pelaku ekonomi lokal. Namun, seringkali pemerintah lokal tersebut tidak siap menerima keberadaan universitas tersebut dari segi perencanaan (Sherry, 2005). Salim (dalam Sherry, 2005) mencontohkan Jatinangor sebagai kawasan yang ‘tidak siap’ menerima keberadaan universitas tersebut dari segi perencanaan. Pemindahan empat universitas ke Jatinangor telah menimbulkan tumbuhnya semacam kota baru sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan penunjang sivitas akademika yang jumlahnya sangat besar. Sayangnya, perencanaan yang baik yang dilakukan atas universitas tersebut tidak diimbangi oleh perencanaan yang baik atas daerah Jatinangor. Salim (dalam Sherry, 2005) menyebutkan bahwa masalahmasalah yang timbul akibat ketidaksiapan tersebut antara lain adalah kemunduran kualitas lingkungan daerah pertanian akibat pembangunan dan pertambahan jumlah penduduk; kurangnya perencanaan infrastruktur; serta dampak negatif terhadap institusi masyarakat lokal akibat besarnya arus pendatang yang memiliki kebudayaan berbeda dengan masyarakat lokal.
2.3
Informasi Harga Lahan Di negara-negara berkembang, informasi mengenai perkembangan harga
lahan yang dipublikasikan masih sangat terbatas. Informasi harga lahan yang ada di negara-negara berkembang tersebut tidak mencakup batasan wilayah yang luas dan tidak memiliki keseragaman dalam periode waktu (Drabkin, 1977). Padahal, menurut Siembieda (1991, dalam Jones, 1994), ada beberapa kegunaan penting dari informasi mengenai harga lahan. Kegunaan tersebut antara lain adalah sebagai masukan utama untuk keperluan perencanaan infrastruktur, manajemen pertumbuhan kota dan wilayah, serta untuk mengidentifikasi kebutuhan jangka panjang akan lahan perkotaan. Dalam mengumpulkan informasi harga lahan, hal-hal penting yang diperhatikan antara lain sebagai berikut (Siembieda, 1991 dalam Jones, 1994):
31
1. Jangkauan/coverage Untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya dari pasar lahan, diperlukan penentuan bingkai sample/sample frame yang tepat. Selain itu, perlu juga dilakukan penentuan batas wilayah yang akan diteliti/basic spatial area dan unit dasar dari analisis/basic unit of analysis. Contoh dari basic spatial area adalah batas administrasi yang ditentukan oleh pemerintah. Dalam penelitian ini, basic spatial area yang digunakan adalah Rukun Warga (RW). Sementara unit dasar analisis menggambarkan satuan terkecil yang digunakan dalam mengumpulkan harga lahan. Contoh dari unit dasar analisis adalah blok dan harga per m2 atau hektar lahan. Dalam penelitian ini, unit dasar analisis yang digunakan adalah harga lahan per m2. 2. Jangka waktu yang digunakan/time-series Untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai harga lahan, teknik pengumpulan dengan menggunakan sumber informasi harga lahan secara campuran/mixed-sourcing merupakan suatu metode yang sering digunakan (Siembieda, 1991 dalam Jones, 1994). Teknik pengumpulan harga lahan dengan mengkombinasikan informasi dari berbagai sumber ini dapat menjadi suatu teknik yang dapat diterima, karena tidak ada satupun sumber yang dapat menyediakan informasi harga lahan tersebut secara akurat dan mencakup area yang luas sekaligus (Dowall, 1991 dalam Jones, 1994). Sumber utama yang dapat memberikan informasi harga lahan tersebut adalah dokumen-dokumen pemerintah dan wawancara lapangan (Siembieda, 1991 dalam Jones, 1994). Penjelasan mengenai kedua sumber tersebut adalah sebagai berikut: 1. Dokumen Sumber utama yang dapat memberikan informasi akurat mengenai harga lahan adalah berbagai dokumen tertulis, yang meliputi arsip-arsip milik pemerintah, iklan-iklan komersil yang terdapat di koran/surat kabar, serta dokumendokumen penjualan milik sektor swasta. -
Arsip Milik Pemerintah
32
Contoh kasus yang diambil oleh Siembieda adalah negara Mexico. Di negara tersebut, dokumen pemerintah yang dapat dijadikan sumber untuk mendapatkan informasi mengenai harga lahan antara lain adalah cadastral map (catastro público). Cadastral map (catastro público) adalah dokumen pemerintah yang berisi informasi mengenai pajak properti yang harus dibayarkan berdasarkan pembagian zona dalam kawasan. Untuk konteks Indonesia, dokumen tersebut sejenis dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dijadikan acuan untuk menetapkan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kendala utama dalam memakai data ini adalah seringkali nilai yang tertera dalam cadastral map/NJOP tersebut jauh lebih rendah dari harga lahan yang sebenarnya (undervalued). -
Surat Kabar Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mencari informasi mengenai harga lahan dari iklan-iklan komersial di surat kabar. Yang pertama, kita harus mengetahui kondisi dan karakteristik lahan yang dijual. Kedua, kita harus memperhatikan aspek waktu dari penjualan tersebut. Sebagai contoh, pada waktu-waktu tertentu seperti liburan, harga lahan yang ditawarkan akan lebih tinggi dari dibandingkan kondisi biasa. Yang ketiga, kita harus mengingat bahwa harga yang tercantum di dalam iklan tersebut adalah harga penawaran, bukan transaksi. Harga penawaran tersebut adalah harga dasar dari lahan ditambah keuntungan dari penjual, sementara yang harus kita cari adalah harga dasar dari lahan.
-
Private Appraisers Sektor swasta yang bergerak di bidang properti dapat dijadikan sumber akurat dalam mendapatkan informasi mengenai harga lahan melalui buktibukti transaksi penjualan lahan yang mereka lakukan. Namun, kelemahannya adalah biasanya informasi yang mereka miliki tidak mencakup kurun waktu yang lama. Kelemahan selanjutnya adalah, walaupun informasi yang mereka miliki relatif akurat, akses terhadap informasi tersebut sangat terbatas.
2. Wawancara Lapangan
33
Masyarakat setempat dapat dijadikan sumber informasi mengenai harga lahan. Wawancara yang dilakukan dapat berupa wawancara semi-terstruktur (semistructured) dan dilakukan terhadap responden yang berkompeten dalam memberikan informasi mengenai harga lahan. Kelemahan dari sumber informasi ini adalah ketika informasi lahan yang diminta mencakup kurun waktu yang lama, sebagian besar masyarakat biasanya hanya memberikan perkiraan atas harga lahan tersebut, sehingga mengurangi keakuratan data yang didapat. Sumber-sumber informasi berupa dokumen dan wawancara lapangan seperti yang telah diuraikan di atas biasanya digunakan bersama-sama, sehingga dapat dilakukan cross-check atas hasil yang didapat sehingga informasi mengenai harga lahan menjadi lebih akurat.
2.4
Metodologi Pengumpulan Informasi Harga Lahan (Dowall, 1991) Penelitian yang dilakukan di berbagai negara berkembang, antara lain
India, Thailand, dan Indonesia, menunjukkan bahwa pemerintah negara-negara berkembang tersebut gagal menyediakan informasi yang akurat mengenai harga lahan. Padahal, informasi mengenai harga lahan tersebut sangatlah dibutuhkan terutama dalam konteks pengambilan keputusan perencanaan, evaluasi kebijakan pemerintah, pengaturan investasi sektor swasta, serta penstrukturan pajak yang dikenakan pada lahan. Cara yang digunakan di dalam mengumpulkan informasi mengenai harga lahan diadaptasi dari metode Land Market Assessment (LMA) yang dikemukakan oleh Dowall (1991). Land Market Assessment (LMA) merupakan suatu metode yang memungkinkan didapatkannya informasi mengenai harga lahan yang akurat dan aktual/up-to-date dan digunakan untuk berbagai kepentingan perencanaan. Berikut ini adalah tahapan dari LMA yang akan diterapkan dalam penelitian ini: 1. Mengumpulkan informasi-informasi mendasar mengenai wilayah studi. Informasi-informasi ini antara lain mencakup kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan, arahan pengembangan, serta informasi harga lahan yang ada di dokumen-dokumen yang dimiliki oleh pemerintah maupun pihak swasta. Data
34
mengenai harga lahan ini dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain data harga lahan yang terdapat di Kantor Pajak Bumi dan Bangunan, maupun data harga lahan yang ada di Kantor Pertanahan. 2. Pendefinisian wilayah. Pendefinisian ini bertujuan untuk menentukan wilayah mana yang akan identifikasi harga lahannya, dengan mencakup batas-batas wilayah yang digunakan (apakah batas administrasi atau bukan) dan karakteristik wilayah tersebut. Penentuan kurun waktu dalam mencari informasi mengenai harga lahan juga perlu dilakukan. Kurun waktu ini akan berbeda-beda bergantung kepada keperluan penelitian. 3. Pembagian wilayah menjadi zona-zona geografis. Ketika wilayah studi beserta dengan batas-batasnya telah ditetapkan, hal berikutnya yang harus dilakukan adalah membagi wilayah tersebut menjadi zona-zona dengan berdasarkan kepada kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan adalah kesamaan atau kehomogenan dalam hal-hal seperti guna lahan, kondisi sosial-ekonomi, tingkat pendapatan, dan lain-lain. Semakin homogen wilayah yang tercakup dalam suatu zona, informasi harga lahan yang didapatkan akan semakin akurat pula. 4. Identifikasi guna lahan, ketersediaan infrastruktur, dan data kependudukan. Data mengenai guna lahan, ketersediaan infrastruktur, dan kependudukan harus dapat diidentifikasi untuk setiap zona. Data-data tersebut antara lain mencakup jumlah kawasan terbangun beserta guna lahannya serta data mengenai kepadatan penduduk. Dengan demikian, data-data tersebut akan memberikan informasi yang lengkap mengenai perubahan guna lahan dan kepadatan penduduk yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Adapun sumber-sumber data yang dapat digunakan adalah hasil survei guna lahan atau citra satelit. 5. Wawancara lapangan untuk mendapatkan informasi harga lahan. Menurut Dowall (1991), sumber utama yang dapat memberikan informasi akurat mengenai harga lahan adalah broker-broker perumahan atau real-estate. Ada dua jenis broker, yang pertama adalah broker formal yaitu organisasi-
35
organisasi resmi yang bergerak di bidang properti atau perumahan. Yang kedua adalah broker informal yang tidak terdaftar. Informasi mengenai keberadaan mereka didapat dengan cara menanyakan kepala desa atau kepala lurah yang bersangkutan. Langkah pertama yang dilakukan dalam wawancara lapangan adalah mendesain kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai harga lahan. Wawancara yang kemudian dilakukan biasanya bersifat semi-terstruktur. Satuan atau unit analisis yang digunakan adalah harga lahan per meter persegi (m2). Jumlah broker yang dimintai informasi untuk setiap zona adalah tiga orang dan kemudian diambil median atau nilai tengahnya, agar hasil didapatkan dapat representatif. Kemudian, data yang telah didapat ditabulasi sehingga perubahan-perubahan atas harga lahan di wilayah studi dapat diketahui. 2.5 Sampling dan Uji Independen Antara Dua Faktor Pada
bagian
ini,
akan
dibahas
mengenai
teknik
pengambilan
sampel/sampling serta uji independen yang akan digunakan di dalam analisis studi ini.
2.5.1
Sampling Beberapa alasan diperlukannya sampling adalah sebagai berikut (Sudjana,
2002): 1. Ukuran populasi yang terlalu besar sehingga tidak memungkinkan untuk mengambil informasi dari seluruh objek dalam populasi. 2. Keterbatasan biaya dan waktu dari peneliti atau intitusi yang bersangkutan. 3. Masalah ketelitian. Populasi yang terlalu besar akan menuntut ketelitian mengumpulkan informasi yang sangat tinggi. Namun, dengan dilakukannya sampling, jumlah objek yang akan dikumpulkan informasinya menjadi lebih sedikit, sehingga kesalahan yang dihasilkan akan lebih sedikit pula.
36
Secara umum, teknik sampling dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Nachmias, 1981): 1. Probability Sampling Probability sampling merupakan teknik pengambilan sampel dengan memberikan peluang sama bagi setiap unit dalam populasi untuk terpilih menjadi sampel. Syarat utama dari probability sampling adalah adanya daftar informasi dari unit dalam populasi. Jenis-jenis dari probability sampling ini adalah simple random sampling, systematic sampling, cluster sampling, dan stratified sampling. 2. Non-probability Sampling Non-probability sampling merupakan alternatif teknik pengambilan sampel yang dapat dipilih apabila kondisi yang ada tidak memungkinkan untuk dilakukannya probability sampling. Dalam non-probability sampling, peluang yang dimiliki oleh setiap unit dalam populasi untuk terpilih menjadi sampel tidaklah sama. Beberapa alasan untuk menggunakan non-probability sampling adalah sebagai berikut (Nachmias, 1981 dan Babie, 1983): -
Bergantung pada tujuan studi/penelitian,
-
Adanya keterbatasan dana, tenaga, dan waktu dari peneliti,
-
Kondisi yang ada tidak memungkinkan untuk melakukan penyampelan terhadap seluruh populasi.
Beberapa teknik dari non-probability sampling adalah quota sampling dan purposive/judgemental sampling. Quota Sampling. Untuk melakukan quota sampling, mula-mula perlu dibuat suatu tabel atau matriks (quota frame) yang menjelaskan karakteristik dari populasi yang akan diamati. Misalnya, matriks tersebut menjelaskan proporsi antara laki-laki dan perempuan, atau berdasarkan tingkat umur tertentu dari populasi yang akan diamati.
Kemudian, peneliti memilih responden
berdasarkan karakteristik yang telah dipaparkan dalam matriks tersebut. Namun, kelemahan dari quota sampling antara lain adalah harus lengkap dan akuratnya quota frame, padahal pada kenyataannya data tersebut seringkali sulit untuk didapatkan. Kelemahan kedua adalah adanya bias peneliti yang
37
tanpa disadari memiliki kecenderungan untuk memilih responden (Babie, 1983). Purposive/Judgemental Sampling. Purposive sampling merupakan suatu teknik pengambilan sampel dimana peneliti memilih responden yang akan dijadikan sampel berdasarkan subjektivitas peneliti. Peneliti harus memiliki informasi yang cukup mengenai populasi yang akan ditelitinya, sehingga peneliti tersebut mampu memilih sampel yang mewakili keadaan populasi yang sebenarnya. Teknik ini merupakan alternatif yang dipilih apabila populasi yang diamati cenderung besar sementara dana, tenaga, dan waktu yang ada bersifat terbatas, sehingga perlu dilakukan pemilihan sampel yang dianggap dapat mewakili populasi. Teknik ini juga digunakan apabila tidak semua unit dalam populasi dapat dijadikan sampel, sehingga perlu dilakukan pemilihan terhadap sampel tersebut. Contoh dari purposive sampling yang sering digunakan adalah pada penghitungan prediksi jumlah suara pada saat pemilihan umum dilakukan (quick count).
2.5.2
Uji Independen Antara Dua Faktor Uji independen antara dua faktor merupakan suatu uji yang sering
digunakan untuk melihat apakah dua faktor yang diamati memiliki keterkaitan atau tidak (Babie, 1983). Misalnya, apakah kemajuan murid dalam fisika ada hubungannya dengan kemajuan murid dalam matematika. Jika ternyata tidak terdapat keterkaitan antara kedua faktor tersebut, dapat dikatakan bahwa faktorfaktor tersebut bersifat independen atau bebas statistik (Sudjana, 1996). Untuk menguji keterkaitan tersebut, metode yang sering digunakan adalah chi-square (χ2). Chi-square (χ2) merupakan suatu tes signifikansi yang menggunakan hipotesis awal (null hypothesis/Ho), yaitu asumsi bahwa tidak ada keterkaitan antara dua faktor yang diuji. Ho : Kedua faktor bebas statistik, atau tidak ada keterkaitan antara dua faktor yang diuji
38
H1 : Kedua faktor tidak bebas statistik, atau ada keterkaitan antara dua faktor yang diuji Misalkan sebuah sampel berukuran n telah diambil, dimana tiap pengamatan tunggal diduga terjadi karena adanya dua macam faktor, yaitu faktor I dan faktor II. Faktor I terbagi atas B taraf atau tingkatan, dan faktor II terbagi atas K taraf. Banyak pengamatan yang terjadi adalah Oij, dengan taraf ke-i faktor I (i = 1, 2, …, B) dan taraf ke-j faktor II (j= 1, 2, …, K). Hasil dari pengamatan tersebut dapat dicatat dalam daftar kontingensi B x K yang dapat dilihat pada contoh tabel sebagai berikut.
TABEL II.1 DAFTAR KONTINGENSI B x K UNTUK HASIL PENGAMATAN TERDIRI ATAS DUA FAKTOR FAKTOR II (K TARAF)
FAKTOR I (B TARAF)
1 2 … B
Jumlah
1 O11 O21 … OB1 n01
2 O12 O22 … OB2 n02
… … … … … …
K O1K O2K … OBK nOK
Jumlah n10 n20 … nBO n
Sumber: Sudjana, 2002.
Kemudian, diperlukan frekuensi teoritik atau banyak gejala yang diharapkan terjadi, yang dinyatakan dengan Eij. Rumus dari Eij adalah sebagai berikut. Eij =
(n io x n oj ) n
dengan nio = jumlah baris ke-i noj = jumlah baris ke-j. Dari Tabel II.1, akan didapat: E11 = (n10 x n01) / n; E21 = (n20 x n01) / n; dan seterusnya.
39
Rumus chi-square yang digunakan untuk menguji hipotesis di atas adalah sebagai berikut:
χ2 =
B
K
(Oij − Eij ) 2
i= j
j =1
Eij
∑∑
dengan taraf nyata = α dan derajat kebebasan = (B-1) (K-1). Apabila χ2 (1-α) < {( B − 1)( K − 1)}, maka H0 ditolak. Berarti, ada keterkaitan antara dua faktor yang diuji. Selanjutnya, apabila derajat hubungan antara satu faktor dengan faktor lainnya ingin diketahui, koefisien kontingensi (C) perlu dihitung. Rumus dari koefisien kontingensi adalah sebagai berikut. C=
χ2 χ2 +n
Agar harga C yang diperoleh dapat dipakai untuk menilai derajat asosiasi antara faktor, harga C ini perlu dibandingkan dengan koefisien kontingensi maksimum yang dapat terjadi. Harga C maksimum tersebut dihitung oleh rumus sebagai berikut.
C maks =
m −1 m
dengan Cmaks = koefisien kontingensi maksimum m
= harga minimum antara B dan K (yaitu minimum di antara banyaknya baris dan kolom)
Semakin dekat harga C kepada Cmaks, semakin besar derajat asosiasi antara faktor, yang berarti semakin tinggi keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Cara pengujian independen di atas tidak hanya berlaku untuk dua faktor yang berbentuk atribut, melainkan juga untuk data kuantitatif yang telah dibuat menjadi beberapa kelas interval atau kelompok (Sudjana, 2002).