BAB 2 STUDI PUSTAKA
Penyusunan Tugas Akhir ini meliputi evaluasi kinerja ruas jalan PurwodadiWirosari, untuk itu dibutuhkan dasar teori yang bisa didapat melalui kajian pustaka dari bahan-bahan kuliah dan literatur-literatur yang ada hubungannya dengan evaluasi kinerja ruas jalan tersebut. Untuk lebih jelasnya studi pustaka akan dibahas dibahas pada uraian dibawah ini. 2.1. Evaluasi dan Kinerja 2.1.1. Analisa Sistem Jalan Analisa sistem jalan ini untuk mengetahui kriteria fungsi dan klasifikasi jalan menurut “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997”. ¾ Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas 1. jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. 2. jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. 3. jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalan jarak dekat, dengan kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. ¾ Klasifikasi menurut kelas jalan Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu-lintas, yang dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton. Kelas klasifikasi ini dapat juga dilihat dalam tabel 2.1(Pasal 11, PP.No. 43/1993).
II - 1
II - 2
Tabel 2.1. Klasifikasi menurut kelas jalan. Fungsi
Kelas
Muatan Sumbu Terberat MST (ton)
Arteri
Kolektor
I
>10
II
10
IIIA
8
IIIA
8
IIIB Sumber : MKJI 1997
2.1.2. Analisa Tanah Jenis tanah dasar sangat berpengaruh terhadap daya dukung struktur perkerasan yang terlatak diatasnya. Tanah dasar yang bersifat ekspansif artinya tanah ini berjenis lempung dan mempunyai kembang susut yang besar. Tanah yang labil dan cenderung bergerak, akan tampak adanya lendutan dan longsoran pada badan jalan. Kondisi tanah lempung yang ekspansif dan labil diperburuk oleh adanya penyerapan air. Masalah yang utama mengenai tanah pada perencanaan jalan adalah masalah daya dukung tanah dasar tersebut. Daya dukung tanah dasar pada perkerasan jalan dinyatakan dalam CBR (California bearing ratio). Harga daya dukung tanah dasar (juga harga CBR) sangat dipengaruhi oleh : a.
Kepadatan tanah, makin padat makin tinggi daya dukungnya.
b.
Kadar air, makin tinggi kadar air biasanya makin kecil daya dukungnya. Kadar air lebih berpengaruh pada tanah lempung dan lanau, sedangkan
untuk tanah pasir dan kerikil umumnya kadar air tidak begitu mempengaruhi daya dukung tanah.
II - 3
¾ Klasifikasi tanah Klasifikasi tanah dapat dilakukan secara visual atau dapat didasarkan atas percobaan laboratorium. Prinsip yang digunakan adalah sama yaitu sifat tanah sampai batas tertentu selalu tergantung pada ukuran butir sehingga dapat dipakai sebagai titik tolak klasifikasi tanah. ¾ Sistem Klasifikasi AASHO Sistem klasifikasi AASHO dibuat berdasarkan hasil pengamatan dilapangan terhadap performance tanah yang berada di bawah perkerasan jalan. Pada sistem ini tanah dikelompokkan atas dasar persamaan karakteristik pelayanan serta daya dukung beban pada umumnya. Ada tujuh kelompok dasar yang diberi sebutan kelompok A-1, A-2, A-3, A-4, A-5, A-6, dan A-7. Secara umum dapat kita katakan bahwa tanah yang paling baik untuk dipakai sub grade jalan diklasifikasikan sebagai kelompok A-1, kelompok A-2 masih baik, tetapi lebih buruk dari kelompok A-1, dan seterusnya, sampai kelompok A-7, yang nilainya paling rendah. Jadi secara umun dapat dikatakan bahwa peryaratan tebal struktur perkerasan akan lebih tinggi dengan besarnya nomer kelompok klasifikasinya. ¾ Sistem Klasifikasi Unified. Pemeriksaan yang digunakan adalah analisa butir dan batas-batas atteberg. semua tanah diberi tanda dua huruf petunjuk berdasarkan hasil-hasil percobaan ini. Ada dua golongan besar yaitu tanah berbutir kasar ( >50% tertahan saringan no. 200) dan berbutir halus ( >50% lewat saringan no. 200). Tanah berbutir halus kemudian diklasifikasikan atas dasar plastisitas dan kadar organiknya. Huruf yang digunakan untuk tanah berbutir halus adalah: M = lanau
L = batas cair rendah
C = lempung
H = batas cair tinggi
O = organic
II - 4
Tanah berbutir kasar dibagi menjadi pasir dan kerikil, dan kemudian dibagi lagi menjadi yang mengandung bahan halus dan yang bebas dari bahan halus. Yang mengandung bahan halus kemudian diklasifikasikan menurut diagram plasitisitas. Dan yang bebas dari bahan halus dapat dilihat pada grafik pembagian butir (apakat bergradasi baik atau buruk) dengan menggunakan koefisian keseragaman dan kelengkungan. huruf yang digunakan adalah : G = kerikil
S = pasir
W = bergradasi baik
P = bergradasi jelek
M = kelanauan
C = kelempungan
II - 5
II - 6
II - 7
¾ Stabilisasi Tanah Tujuan stabilisasi tanah adalah : – Memperbiki mutu tanah yang tidak baik – Meningkatkan mutu tanah yang sudah baik menjadi lebih baik
a. Stabilisasi Mekanis stabilisasi ini bertujuan mendapatkan tanah yang bergradasi baik sedemikian rupa sehingga memenuhi spesifikasi yang diinginkan. Stabilisasi mekanis dilakukan dengan mencampur tanah dengan tanah jenis lain sehingga diperoleh gradasi tanah yang baik. ciri-ciri yang khas dalam pemilihan stabilisasi tanah secara mekanis adalah : – Jenis tanah yang dipakai tempatnya berdekatan satu sama lain – Apabila salah satu jenis tanah yang dimaksud harus diambil dari tempat yang jauh, maka akan tidak ekonomis dan harus dicari metode lain. – Apabila telah ditetapkan spesifikasi hasil percampuran dan telah ditetapkan bagian dari masing-masing bahan yang perlu dicampur menjadi satu, perlu dilakukan pengawasan yang ketat pada saat pencampuran agar diperoleh homogenitas campuran. – Penetapan masing-masing bagian dapat dihitung secara analitis ataupun grafis berdasarkan hasil analisa butir dari jenis tanah yang bersangkutan.
b. Stabilisasi Kimiawi Tanah yang kohesif (tanah liat) tidak bisa distabilisasi secara mekanis untuk dapat memanfaatkan tanah liat tersebut secara ekonomis, dipakailah stabilizing agent antara lain PC, Hydrated lime, bitumen, dsb.
II - 8
Stabilisasi dengan Kapur Pada stabilisasi kapur terdapat dua macam lime yaitu quick lime dan Hydrated lime. Dengan Hydrated lime, stabilisasi bisa dilaksanakan lebih mudah tetapi hasilnya kurang jika dibandingkan dengan Quick lime yang lebih efektif. Perubahan fisik yang terjadi akibat stabilisasi dengan kapur pada tanah liat adalah – Plastisiti indeks berkurang – Plastic limit bertambah – Liquid limit akan berkurang (PI = LL – PL) – Sifat kembang susut berkurang – Strength bertambah Pada pelaksanaan dilapangan sama dengan stabilisasi semen, hanya disini tidak ada batas waktu karena reaksi antara tanah dan lime sangat lambat. Banyak lime yang digunakan adalah 2-10% berat.
Stabilisasi Semen. – Yaitu stabilisasi dengan menggunakan PC yang ditambahkan ketanah yang sudah dibuat pulverized. – Tanah yang akan distabilisasi dengan PC harus dapat dihancurkan dengan baik. – Untuk membatasi jumlah semen yang diperlukan perlu mencampur tanah liat dengan kapur terlebih dahulu agar tanah dapat mudah dihancurkan. – Termasuk dalam kategori ini adalah tanah liat dengan fraksi no. 200 melebihi 50%, LL > 50%, dan PI > 25 %. – Soil cement ini terutama banyak dipakai pada base dan sub base. – Factor utama yang menentukan banyaknya semen adalah tipe dari tanah
II - 9
Stabilisasi Bitumen – Apabila yang distabilisasi clay (tanah kohesif), maka tanah lebih water proof. – Apabila yang distabilisasi sand (tanah glanular) maka bitumen merupakan bahan pengikat. – Ada dua macam bitumen yaitu send bitumen dan soil bitumen.
Stabilisasi Geomembran – Yaitu stabilisasi dengan menggunakan bahan fleksibel yaitu geo membrane – Jika digunakan pada tanah exspansif, maka akan menahan air masuk, atau untuk mengurangi terjadinya kembang susut tanah yang menyebabkan kerusakan perkerasan.
Pengantian tanah – Yaitu mengganti tanah asli dengan tanah yang lebih baik daya dukung tanahnya, sehingga dapat digunakan sebagai tanah dasar beban.
2.1.3. Analisis Data Lalu-Lintas ¾ Volume lalu lintas Adalah jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari,jam,atau menit). Satuan volume lalu-lintas yang umum digunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar lajur adalah: 1. Lalu-lintas harian rata-rata Lalu-lintas harian rata-rata adalah volume lalu-lintas rata-rata dalam satu hari. Dari cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu-lintas harian rata-rata yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalulintas harian rata-rata (LHR). LHRT =
n 365
Keterangan: n : jumlah lalu lintas dalam 1 tahun LHRT dinyatakan dalam SMP/hari/2arah.
II - 10
LHR adalah jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan dibandingkan atau dibagi dengan lamanya pengamatan. LHR =
N T
LHR
: jumlah lalu lintas selama pengamatan / lamanya pengamatan
N
: jumlah lalu-lintas selama pengamatan
T
: lamanya pengamatan Dengan situasi jalan raya yang terdiri dari berbagai macam kendaraan
yang memilikan kecepatan dan berat yang berbeda.Macam macam kendaraan tersebut dapat di golongkan menjadi 8 golongan yang akan kita tinjau, golongan tersebut adalah: gol 1. = Sepeda motor, skuter, sepeda kumbang dan roda tiga. 2. = Sedan, jeep dan station wagom. 3. = Oplet, pick up, suburban, combi dan mini bus. 4. = Mikro truk dan monil hantaran. 5a. = Bus kecil. 5b. = Bus besar. 6. = Truk 2 Sumbu. 7. = Truk 3 sumbu atau lebih, gandengan dan trailer. 8. = Kendaraan tak bermontor.
II - 11
Untuk mempermudah perhitungan maka berbagai macam kendaraan tersebut diekivalenkan dengan faktor ekivalen menurut tabel dalam MKJI 1997.
Tabel 2.2. Ekivalensi kendaraan penumpang (emp) untuk jalan 2/2 UD. Tipe
Arus
Alinyemen
Total
Emp MHV
LB
LT
(kend./
Lebar jalur lalu-lintas (m)
jam)
<6m
6-8m
>8m
0
1,2
1,2
1,8
0,8
0,6
0,4
800
1,8
1,8
2,7
1,2
0,9
0,6
1350
1,5
1,6
2,5
0,9
0,7
0,5
>1900
1,3
1,5
2,5
0,6
0,5
0,4
Datar
Sumber : MKJI 1997 Keterangan: MHV : kendaraan berat menengah LT
: truk besar
LB
: bis besar
MC : sepeda motor LV
MC
: kendaraan ringan (emp selalu 1,0)
II - 12
2. Volume jam rencana Volume jam rencana adalah perkiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam smp/jam. Dihitung dengan rumus: VJR = LHR
K F VJR : volume jam rencana (smp/jam) LHR: lalu-lintas harian rata-rata (smp/hari) K
: faktor volume lalu-lintas pada jam sibuk
F
: faktor variasi tingkat lalu lintas per ¼ jam dalam 1 jam
Tabel 2.3. Penentuan faktor K dan faktor F berdasarkan volume lalu lintas harian rata-rata VLHR
Faktor-K(%)
Faktor-F
>50.000
4-6
0.9-1
30.000-50.000
6-8
0.8-1
10.000-30.000
6-8
0.8-1
5.000-10.000
8-10
0.6-0.8
1.000-5.000
10-12
0.6-0.8
<1.000
12-16
<0.6
Sumber :Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
II - 13
¾ Analisa kapasitas Untuk menganalisa besarnya kapasitas jalan luar kota, berdasarkan MKJI 1997 Bab 6 jalan luar kota, dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : C = Co 3 FCw 3 FCsp 3 FCsf Keterangan
C Co
= Kapasitas (smp/jam)
= Kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalan FCsp = Faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak terbagi)
FCsf
= Faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan bahu jalan
Tabel.2.4. Besar kapasitas dasar (Co) untuk jalan luar kota 2 arah 2 lajur
Tipe jalan/ Tipe alinyemen
Kapasitas dasar
Dua-jalur tak-terbagi
Total kedua arah
Datar
3100
Bukit
3000
Gunung
2900
Sumber : MKJI 1997
II - 14
Tabel.2.5. Besar faktor penyesuaian akibat lebar jalan untuk jalan luar kota
Lebar Efektif Jalan Tipe Jalan
total kedua arah (Wc)
FCw
(m)
2/2 UD
5
0,69
6
0,91
7
1,00
8
1,08
9
1,15
10
1,21
11
1,27
Sumber : MKJI 1997
Tabel.2.6. Faktor penyesuaian akibat prosentase arah untuk jalan luar kota Pemisahan arah SP %-%
50-50
55-45
60-40
65-35
70-30
Dua lajur 2/2
1,00
0,97
0,94
0,91
0,88
Empat lajur 4/2
1,00
0,975
0,95
0,925
0,90
FCsp
Sumber : MKJI 1997
II - 15
Tabel.2.7. Faktor penyesuaian akibat hambatan samping untuk jalan luar kota untuk tipe 2/2 UD
Faktor penyesuaian untuk hambatan samping (FCsf) Lebar Bahu Efektif Ws ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 VL 0,97 0,99 1.00 1,02 L 0,93 0,95 0,97 1,00 M 0,88 0,91 0,94 0,98 H 0,84 0,88 0,91 0,95 VH 0,80 0,83 0,88 0,93 Sumber : MKJI 1997
Kelas Hambatan Samping
Keterangan: VL = Sangat Rendah L = Rendah M = Sedang H
= Tinggi
VH = Sangat Tinggi
¾ Kecepatan Arus Bebas Kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada saat tingkatan arus nol, sesuai dengan kecepatan yang akan di pilih pengemudi seandainya mengendarai kendaraan bermotor tanpa halangan kendaraan bermontor lain di jalan (yaitu saat arus = 0). FV = (Fvo + FVw) x FFVsf x FFVrc Keterangan: FV = Kecepatan jalan (km/jam) Fvo = Kecepatan dasar (km/jam) FVw = Kecepatan penyesuaian untuk lebar efektif (km/jam) FFVsf = Faktor penyesuaian hambatan samping FFVrc = Faktor penyesuaian kelas dan fungsi jalan
II - 16
Tabel.2.8. Kecepatan arus bebas dasar untuk jalan luar kota Kecepatan Arus Bebas Dasar (km/jam)
Tipe jalan/
Tipe alinyemen/ Kendaraan Kendaraan (Kelas jarak
Ringan
pandang)
Berat
Bus
Truk
Sepeda
Besar
Besar
Montor
Menengah LV
MHV
LB
LT
MC
- Datar SDC: A
68
60
73
58
55
Datar SDC: B
65
57
69
55
54
Datar SDC: C
61
54
63
52
53
- Bukit
61
52
62
49
53
- Gunung
55
42
50
38
51
Dua-lajur tak terbagi
Tabel.2.9. Penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas Tipe Jalan
FVw (km/jam)
Lebar Efektif Jalur Lalu
Datar: SDC = A,B
Lintas
Gunung
- Bukit: SDC = A,B,C - Datar: SDC = C
(Wc) (m) Dua-lajur tak terbagi
Total 5
-11
-9
-7
6
-3
-2
-1
7
0
0
0
8
1
1
0
9
2
2
1
10
3
3
2
11
3
3
2
II - 17
Tabel.2.10. Faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan lebar bahu Tipe Jalan
Kelas Hambatan
Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan
Samping (SFC)
Samping dan Lebar Bahu Lebar Bahu Efektif Ws (m) ≤ 0,5 m
1,0 m
1,5 m
≥2m
Dua Lajur
Sangat rendah
1,00
1,00
1,00
1,00
tak terbagi
Rendah
0,96
0,97
0,97
0,98
2/2 UD
Sedang
0,91
0,92
0,93
0,97
Tinggi
0,85
0,87
0,88
0,95
Sangat tinggi
0,76
0,79
0,82
0,93
Tabel.2.11. Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan guna lahan Tipe Jalan
Faktor Penyesuaian FFV Pengembangan samping jalan (%) 0
25
50
75
100
Arteri
1,00
0,98
0,97
0,96
0,94
Kolektor
0,94
0,93
0,91
0,90
0,88
Lokal
0,90
0,88
0,87
0,86
0,84
Dua-lajur tak terbagi
II - 18
¾ Waktu Tempuh Waktu tempuh merupakan perbandingan antara jarak / panjang jalan dengan kecepatan jalan, yang memberikan gambaran tentang waktu tempuh yang dibutuhkan untuk menempuh suatu ruas jalan dengan jarak tertentu.dapat dihitung dengan persamaan berikut.
TT =
V L
TT = Waktu Tempuh (jam) L = Panjang segmen (km) V
= Kecepatan jalan (km/jam)
¾ Analisa Pertumbuhan Lalu Lintas Besarnya tingkat pertumbuhan lalu lintas dapat dihitung dengan menggunakan metode regresi linear. Y = a + bX ΣY = n.a + b.ΣX ΣXY = a.X + b.ΣX2 Keterangan : Y = besar LHR yang diramalkan X = unit tahun yang dihitung dari periode dasar a = nilai tren pada nilai dasar n = jumlah data b = Koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada variabel indenpenden. Harga a dan b diatas dapat dicari dengan persamaan :
∑ y ∑ x − ∑ x∑ xy n ∑ x − (∑ x ) n ∑ xy − ∑ x ∑ y b= n ∑ x − (∑ x ) 2
a=
2
2
2
2
II - 19
disini LHR sebagai variabel dependen sedangkan jumlah penduduk, jumlah kepemilikan kendaraan, Produk Domestik Regional Bruto sebagai variabel independent.
¾
Analisa LHR Dalam memperkirakan nilai LHR pada tahun umur rencana dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut : LHRn = LHR0.(1+i)n Keterangan : LHRn
= LHR tahun ke-n
LHR0= LHR awal tahun rencana i
= Faktor pertumbuhan lalu lintas
n
= Umur rencana
2.1.4. Evaluasi Kinerja Untuk mengevaluasi jalan lama dapat diketahui dengan menghitung
Degree of Saturation jalan tersebut dengan menggunakan rumus : Ds =
Q C
Keterangan : Ds
= Degree of Saturation
Q
= k 3 LHRn
C
= kapasitas
Tabel 2.12. Nilai k untuk jalan antar kota LHR
K
> 50000
4-6
30000-50000
6-8
10000-30000
6-8
5000-10000
8-10
1000-5000
10-12
<1000
12-16
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
II - 20
Apabila dari perhitungan didapatkan Ds < 0,75 maka jalan tersebut masih dapat melayani kendaraan yang melewati ruas jalan tersebut dengan baik. Sedang kan apabila diperoleh harga Ds ≥ 0,75 maka jalan tersebut sudah tidak mampu melayani banyaknya kendaraan yang melewatinya. Dan untuk mengatasinya jalan tersebut harus diperlebar, atau dengan membuat jalan baru.
2.1.5. Analisa Kondisi Perkerasan kondisi struktur perkerasan selama masa layan tidak terlepas dari standar disain yang dipakai.kondisi struktur perkerasan jalan selama masa layan digambarkan dengan kurva hubungan IP (indeks permukaan) dengan nilai N (beban sumbu standar ekivalen total).
¾ Jalan perlu dievaluasi kerusakannya dengan menentukan:
•
jenis kerusakan (distress type) dan penyebabnya
•
tingkat kerusakan (distess severity)
•
jumlah kerusakan (distress amount)
¾ Tipe dan jenis kerusakan jalan (pavement diastress)
• Tipe kerusakan: 1. kerusakan fungsional struktur perkerasantidak dapat lagi melayani lalu lintas sesuai dengan fungsi yang diharapkan (nyaman dan aman). – Tingkat ketidakrataan permukaan (roughness) – Sifat kerusakan tidak progressive 2. kerusakan struktural kerusakan pada satu atau lebih lapis perkerasan – bersifat progressive, jika tidak segera ditangani akan berkembang dengan cepat menjadi kerusakan yang lebih besar. – Pada akhirnya menyebabkan ketidak rataan permukaan, dapat diakibatkan karena kegagalan pada tanah dasar, lapis pondasi atau lapis permukaan
II - 21
• Jenis kerusakan 1. retak (cracking) 2. perubahan bentuk (distorsion) 3. cacat permukaan (disintegration) 4. pengausan (polished aggregate) 5. kegemukan (bleeding or flushing) 6. penurunan pada bekas penanaman utilitas (utiliti cut depresion)
¾ penanganan kerusakan berdasarkan studi atau pengalaman dari penanganan kerusakan jalan dipakai lapis tambahan pada perkerasan lama (overlay), karena overlay lebih efektif dan ekonomis. Sebelum perancangan overlay perlu diadakan pemeriksaan (survey) struktur yang ada, yaitu:
• pemeriksanaan nilai fungsional jalan: 1. survey kondisi perkerasan – tujuan: mendapatkan data mengenai jenis dan tingkat kerusakan yang terjadi pada perkerasan lapis beraspal. – Survey ini dilakukan secara visual dan pengukuran langsung. 2. survey ketidakrataan – ketidakrataan salah satu parameter pemeliharaan fungsional jalan yang berkaitan dengan tingkat kenyamanan berkendaraan. – Ada standarisasi untuk menyatakan nilai ketidakrataan sehingga dapat dipakai secara internasional. IRI (international roughness index) dengan satuan m/km, in/mile. 3. survey kelicinan/kekesatan – licin atau tidak kesat dari permukaan jalan penyebab terjadinya slip akibat koefisien gesek atau kekesatan rendah. Kekesatan berkaitan dengan tekstur muka jalan.
II - 22
• pemeriksaan nilai struktural perkerasan 1. cara destruktif – dengan test PIT untuk menilai kondisi lapis perkerasan 2. cara non destrutif – dengan benkelman beam (cara konvensional) – dengan FWD (flling weight deflectometer) 3. dinamik cone penetrometer (dcp) – untuk menguji kekuatan lapis perkerasan jalan tanpa bahan pengikat (tanah dasar, pondasi bahan berbutir)
2.2. Perencanaan Jalan 2.2.1. Peningkatan Geometrik Jalan Peningkatan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan yaitu memberi pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas. Peningkatan geomerik secara umum mempunyai unsur menyangkut aspek– aspek perencanaan bagian jalan : 1. Perencanaan trase 2. Penampang melintang jalan 3. Alinyemen horisontal 4. Super elevasi 5. Pelebaran Tikungan 6. Alinyemen vertikal
¾ Perencanaan Trase Jalan Dasar perencanaan trase jalan ditentukan, demikian juga golongan medannya, maka perencanaan trase jalan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
•
Landai maksimum
•
Jari-jari landai lengkung minimum
•
Lengkung vertikal
II - 23
Lengkung minimum hanya boleh digunakan apabila pertimbangan biaya pembangunan adalah sangat memaksa dan hanya untuk jarak pendek. Hal yang perlu diperhatikan bahwa panjang dari landai maksimum (kritis) perlu dibatasi agar
tidak
sampai
mengakibatkan
pengurangan
kecepatan
yang
dapat
mengganggu kelancaran lalu-lintas. Dalam peraturan “Perencanaan Geometrik Jalan Raya” oleh Dirjen Bina Marga, panjang landai kritis tersebut :
Tabel 2.13. Panjang landai kritis Kelandaian (%)
4
Kecepatan Awal (Km/jam)
5
6
7
8
9
10
Panjang Landai Kritis (m)
80
630 460 360
270
230
230
200
60
320 230 160
120
120
90
80
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997 Jari-jari kelengkungan diusahakan sebesar mungkin agar diperoleh tikungan tanpa kemiringan lengkung peralihan, agar perubahan kemiringan pada tikungan tidak mendadak dimana akan mengurangi kenyamanan pemakai jalan. Lengkung vertikal digunakan atau dibuat agar memenuhi keamanan, mengingat bahwa jarak pandang di daerah tersebut ditiap pergantian kelandaian lengkung vertikal yang harus digunakan adalah parabola sederhana. Selain syarat-syarat tersebut, harus diperhatikan juga:
•
Trase jalan rencananya sebaiknya mengikuti medannya.
•
Jumlah galian dan timbunan seminimal mungkin dan diharapkan seimbang.
•
Antara 2 tikungan (lengkung horizontal) harus ada bagian yang lurus.
•
Perlu diadakan pelebaran perkerasan di bagian tikungan.
•
Dihindarkan adanya pertemuan antara lengkung horizontal dan lengkung vertikal disuatu titik.
•
Faktor
kenyamanan,
keamanan
mempertimbangkan biaya semurah mungkin.
diutamakan
dengan
II - 24
¾ Penampang Melintang Jalan Penampang melintang jalan terdiri dari beberapa bagian yaitu: 1. Lajur
•
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka jalan lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana.
•
Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti ditetapkan dalam tabel 2.10.
•
Jumlah lajur ditetapkaan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, dimana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0,80.
•
Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen lurus memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut.
♦ 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton. ♦ 4-5% untuk perkerasan kerikil. Tabel 2.14. Lebar lajur jalan ideal Fungsi
Kelas
Lebar lajur ideal (m)
Arteri
I
3,75
II,IIIA
3,50
Kolektor
IIIA,IIIB
3,00
Lokal
IIIC
3,00
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997
II - 25
2. Bahu jalan
•
Bahu Jalan adalah bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas dan harus diperkeras.
•
Fungsi bahu jalan adalah sebagai berikut:
♦ Lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, dan atau tempat parkir darurat.
♦ Ruang bebas samping bagi lalu lintas. •
Kemiringan bahu jalan normal antara 3-5%.
•
Lebar bahu jalan dapat dilihat dalam tabel 2.11.
Tabel 2.15. Penentuan Lebat Jalur dan Bahu Jalan VLHR
ARTERI
KOLEKTOR
LOKAL
(smp
Lebar
Lebar
Lebar
Lebar
Lebar
Lebar
/hari)
Jalur
Jalur
Jalur
Jalur
Jalur
Jalur
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
<3.000
6,0
1,5
4,5
1,0
6,0
1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0
3000-
7,0
2,0
6,0
1,5
7,0
1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0
7.0
2,0
7,0
2,0
7,0
2,0
**)
**)
-
-
-
-
>25.000 2nx3,5*) 2,5 2x7,0*) 2,0 2nx3,5*) 2,0
**)
**)
-
-
-
-
10.000 10.00125.000
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997 Keterangan :
**)
= Mengacu pada persyaratan ideal *)
= 2 jalur terbagi, masing-masing nx3,5m; dimana n = jumlah
lajur per jalur. -
= tidak ditentukan
II - 26
¾ Alinyemen Horisontal Alinyemen horisontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga tikungan). Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan VR. Untuk keselamatan pemakai jalan ,jarak pandang dan daerah bebas samping jalan harus diperhitungan. 1)Panjang Bagian Lurus Dengan memperhatikan faktor keselamatan pemakai jalan. Ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai VR).Panjang Bagian lurus dapat ditetapkan dari tabel berikut:
Tabel 2.16. Panjang Bagian Lurus Maksimum Fungsi
Panjang Bagian Lurus Maksimum Datar
Perbukitan
Pegunungan
Arteri
3.000
2.500
2.000
Kolektor
2.000
1.750
1.500
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota-1997 2)Tikungan Bentuk-bentuk tikungan dapat berupa: a. Spiral - Circle – Spiral (SCS) Tikungan jenis Spiral – Circle – Spiral (Gambar 2.1) digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari dan sudut tangen yang sedang. Pada tikungan ini, perubahan dari tangen ke lengkung lingkaran dijembatani dengan adanya lengkung spiral (Ls). Fungsi dari lengkung spiral adalah menjaga agar perubahan gaya sentrifugal yang timbul pada waktu kendaraan memasuki atau meninggalkan tikungan dapat terjadi secara berangsur-angsur. Di samping itu, hal ini juga dimaksudkan untuk membuat kemiringan transisi lereng jalan menjadi superelevasi tidak terjadi secara mendadak dan sesuai dengan gaya sentrifugal yang timbul sehingga keamanan dan kenyamanan terjamin.
II - 27
PI
T
W
Xc Tk
TL Xm ∆
Rc
θs
Yc
E
SC
s
∆ α
CS
Lc
Ls
Bagian Lingkaran
+∆
α
θs
g ia
nS
p ir
TS al
T (L ange ur nt us )
Rc
θs
Rc
Rc
TS
Ba
∆
Gambar 2.1. Sketsa tikungan spiral – circle – spiral Ls ditentukan dari 3 rumus di bawah ini dan diambil nilai yang terbesar. 1) Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan.
Ls = VR ⋅ T / 3,6
; T diambil 3 detik
2) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal. Ls =
0,022 ⋅ VR 3 2,727 ⋅ VR ⋅ e ; C diambil 1 – 3 m/detik3 − Rc ⋅ C C
3) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian. Ls =
(e max − en ) ⋅ VR 3,6 ⋅ re
; re diambil 0,035 m/detik
Rumus elemen-elemen tikungan adalah sebagai berikut : Ts = [(Rc + p ) ⋅ tan (∆ / 2 )] + k
Lc =
∆ + (2 ⋅ θs ) ⋅ (π ⋅ Rc ) 180
Ls 2 ⎞ ⎛ Xc = Ls⎜1 − ⎟ 2 ⎝ 40 Rc ⎠
θs =
28,648 × Ls Rc
Es =
Rc + p − Rc cos ∆ / 2
Lt = (2 ⋅ Ls ) + Lc ≤ 2 ⋅ Ts
Ls 2 Yc = 6 Rc
II - 28
S=
Xc 2 + Yc 2
∆Rc = Yc + Rc(Cosθs − 1)
Xm = Xc − Rc × Sinθs W = (Rc + ∆Rc ) × Tan ∆
2
T = Xm + W
α = ∆ − 2θs Lc = Rc × π × α
o
180 o
⎛ Rc + ∆Rc ⎞ ⎟ − Rc E = ⎜⎜ Cos ∆ ⎟ 2 ⎠ ⎝ Tl = Xc − Yc × Ctgθs Tk = Yc
Sinθs
Lt = Lc + 2 Ls
Dimana :
TS = Titik awal spiral (titik dari tangen ke spiral) ST = Titik akhir spiral SC = Titik dari spiral ke circle CS = Titik dari circle ke spiral PI = Titik perpotongan tangen Ls = Panjang spiral Rc = Jari-jari lingkaran (jarak O – TC atau ke CT atau ke setiap titik busur lingkaran) Lc = Panjang circle (busur lingkaran) θs = Sudut – spiral
II - 29
b. Full Circle (FS) Tikungan jenis full circle umumnya digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari tikungan besar dan sudut tangen kecil. Sketsa tikungan full circle dapat dilihat pada Gambar 2.2. di bawah ini.
T
E
∆
Lc
TC
CT TA NG EN
Rc
Rc
0.5 ∆
∆
Gambar 2.2. Sketsa tikungan full circle
Dalam mendesain tikungan jenis full circle, digunakan rumus-rumus sebagai berikut : T = Rc ⋅ tan (∆ / 2 )
Lc = ∆ ⋅ (2 ⋅ π ⋅ Rc ) / 360
E = T ⋅ tan (∆ / 4 )
= 0,01745 ⋅ ∆ ⋅ Rc
∆ = α 2 − α1
Dimana : α 1, α 2 = Sudut jurusan tangen I dan 2 ∆c = Sudut luar di PI TC = Titik awal tikungan PI = Titik perpotongan tangen CT = Titik akhir tikungan O = Titik pusat lingkaran T = Panjang tangen (jarak TC – PI atau jarak PI – CT) Rc = Jari-jari lingkaran (jarak O – TC atau ke CT atau ke setiap Busur lingkaran)
II - 30
c. Spiral-Spiral Tikungan jenis spiral-spiral digunakan pada tikungan tajam dengan sudut tangen yang besar. Pada prinsipnya lengkung spiral-spiral (Gambar 2.3) sama dengan lengkung spiral-circle-spiral. Hanya saja pada tikungan spiral-spiral tidak terdapat busur lingkaran sehingga nilai lengkung tangen (Lt) adalah 2 kali lengkung spiral Ls. Pada nilai Lc = 0 atau Sc = 0 tidak ada jarak tertentu dalam masa tikungan yang sama miringnya sehingga tikungan ini kurang begitu bagus pada superelevasi. Rumus yang digunakan : Ls = (2 ⋅ π ⋅ R ⋅ θs ) / 180 Ts = [(R + p ) ⋅ tan ∆ / 2] + k Es = [(R + p ) ⋅ sec ∆ / 2] + k Lt = (2 ⋅ Ls ) + Lc dengan Lc = 0
= 2 ⋅ Ls
Dimana :
Ls = Panjang spiral Ts = Titik awal spiral Es = Jarak eksternal dari PI ke tengah busur spiral Lt = Panjang busur spiral
PI ∆
0s
Ts
r
SCS
Xc k
Yc Es
0s P
Rc
0s ∆
X
Rc
ST
TS
Gambar 2.3. Sketsa tikungan spiral – spiral
II - 31
¾ Superelevasi
Superelevasi
menunjukkan besarnya perubahan kemiringan melintang
jalan secara berangsur-angsur dari kemiringan normal menjadi kemiringan maksimum pada suatu tikungan horisontal yang direncanakan. Dengan demikian dapat menunjukkan kemiringan melintang jalan pada setiap titik dalam tikungan. Nilai superelevasi yang tinggi mengurangi gaya geser kesamping dan menjadikan gerakan kendaraan pada tikungan lebih nyaman. Jari-jari minimum yang tidak memerlukan superelevasi Diagram superelevasi untuk tipe tikungan F-C, S-C-S, dan S-S dapat dilihat pada Gambar 2.4, Gambar 2.5, Gambar 2.6 di bawah ini.
bagian lurus 2 3
bagian Lc 1 3
Ls
Ls
bagian lurus
sisi luar tikungan emax (+)
e=0%
TC
1 3
2 3
Ls
Ls
CT
en emax (-) sisi luar tikungan
Gambar 2.4 Diagram superelevasi pada tikungan F-C
bag. lurus
bagian Ls
bagian Lc
bagian Ls
sisi luar tikungan emax (+)
TS
SC
e=0%
CS
ST
en emax (-) sisi luar tikungan
Gambar 2.5 Diagram superelevasi pada tikungan S-C-S
bag. lurus
II - 32
bag. lurus
bagian Ls
bag. lurus
sisi luar tikungan emax (+)
TS
e=0%
ST
en
emax (-) sisi luar tikungan
Gambar 2.6 Diagram superelevasi pada tikungan S-S ¾ Pelebaran Jalur Lalu Lintas di Tikungan
Pada saat kendaraan melewati tikungan, roda belakang kendaraan tidak dapat mengikuti jejak roda depan sehingga lintasannya berada lebih ke dalam dibandingkan dengan lintasan roda depan. Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi geometrik jalan, agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan bagian lurus. Pelebaran perkerasan pada tikungan mempertimbangkan : 1)Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya. 2)Penambahan lebar ruang (lajur) yang dipakai saat kendaraan melakukan gerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus memenuhi gerak perputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga kendaraan rencana tetap pada lajurnya.
II - 33
3)Besarnya pelebaran di tikungan dapat di hitung dengan rumus
2
b⎞ ⎛ 2 Rc = ⎜ R 2 − (a + U 1) + ⎟ + ( a + U 1) 2 2⎠ ⎝
B = Rc +
b 2 2 − Rc − (a + U 1) 2
E = B−b
Keterangan : E = Tambahan Lebar (Pelebaran) B = Lebar yang di tempati kendaraan R = Jari jari lengkung pada suatu jalan b = Lebar mobil a = Jarak Gandar Rc = Jari jari lengkung untuk lintasan luar yang di tambah mobil U1= Tonjolan depan
¾ Alinyemen Vertikal Alinyemen vertikal merupakan penampang melintang jalan dimana alinyemen ini merupakan proyeksi sumbu jalan ke bidang vertikal tegak lurus penampang melintang jalan. Tujuan perencanaan lengkung vertikal adalah : •
Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian.
•
Menyediakan jarak pandang henti.
Perencanaan alinyemen vertikal harus sedemikian rupa sehingga trase jalan yang dihasilkan memberikan tingkat kenyamanan dan tingkat keamanan yang optimal. Perhitungan dimulai dari data elevasi point of vertical intersection (PVI), kemudian baru dihitung besaran-besaran sebagai berikut : •
Panjang lengkung vertikal Lv dalam meter
•
Pergeseran vertikal Ev dalam meter
•
Elevasi permukaan jalan di PLV dan PTV
II - 34
•
Elevasi permukaan jalan antara PLV, PVI, dan PTV pada setiap stasiun yang terdapat pada alinyemen.
Rumus-rumus yang digunakan adalah : A = g1 − g 2 Ev = ( A ⋅ Lv ) / 800
Dimana :
A = Perbedaan aljabar landai
g1,g2 = Kelandaian jalan (%) EV = Jarak antara lengkung vertikal dengan PV LV = Panjang lengkung vertikal Lengkung vertikal terdiri dari dua jenis, yaitu lengkung vertikal cekung (Gambar 2.7), dan lengkung vertikal cembung (Gambar 2.8).
L S 1
0 .7 5
h
E A
Gambar 2.7. Sketsa lengkung vertikal cekung
d1
d2 A
E
q1
q2 h2
h1 S L
Gambar 2.8. Sketsa lengkung vertikal cembung
II - 35
Lv dihitung berdasarkan jarak pandang henti, dengan kondisi sebagai berikut. 1. Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung (S < L), panjangnya ditetapkan dengan rumus : Lv =
A⋅ S2 405
2. Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung (S > L), panjangnya ditetapkan dengan rumus : Lv = 2 ⋅ S −
405 A
Panjang minimum lengkung vertikal dapat dilihat pada Tabel 2.13. berikut.
Tabel 2.17. Panjang minimum lengkung vertikal Kecepatan Rencana
Perbedaan Kelandaian
Panjang Lengkung
(km/jam)
Memanjang (%)
(m)
<40
1
20 – 30
40 – 60
0.6
40 – 80
>60
0.4
80 – 150
Sumber: “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota Tahun 1997”
2.2.2. Perencanaan Perkerasan Jalan Struktur perkerasan jalan adalah bagian konstruksi jalan raya yang diperkeras dengan lapisan konstruksi tertentu yang memiliki ketebalan, kekuatan dan kekakuan serta kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu lintas diatasnya dengan aman.
¾ Metode Perencanaan Struktur Perkerasan Dalam perencanaan jalan, perkerasan merupakan bagian terpenting dimana perkerasan berfungsi sebagai berikut : •
Menyebarkan beban lalu lintas sehingga besarnya beban yang dipikul sub grade lebih kecil dari kekuatan sub grade itu sendiri.
II - 36
•
Melindungi sub grade dari air hujan.
•
Mendapatkan permukaan yang rata dan memiliki koefisien gesek yang mencukupi sehingga pengguna jalan lebih aman dan nyaman dalam berkendara.
Salah satu metode perkerasan jalan adalah jenis perkerasan lentur (flexible pavement). Perkerasan lentur adalah perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran aspal dengan agregat yang memiliki ukuran butir tertentu sehingga memiliki kepadatan, kekuatan dan flow tertentu. Jenis perkerasan jalan yang lain adalah perkerasan kaku (rigid pavement) yaitu perkerasan beton semen dimana terdiri dari campuran campuran semen PC, agregat halus dan air yang digelar dalam satu lapis. Untuk Perencanaan Ruas Jalan Purwodadi-Wirosari dipakai jenis perkerasan lentur. Desain tebal perkerasan dihitung agar mampu memikul tegangan yang ditimbulkan oleh beban kendaraan, perubahan suhu, kadar air dan perubahan volume pada lapisan bawahnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perkerasan lentur adalah sebagai berikut : 1)Umur rencana Pertimbangan yang digunakan dalam umur rencana perkerasan jalan adalah pertimbangan biaya konstruksi, pertimbangan klasifikasi fungsional jalan dan pola lalu lintas jalan yang bersangkutan dimana tidak terlepas dari satuan pengembangan wilayah yang telah ada. 2)Lalu lintas Analisa lalu lintas berdasarkan hasil perhitungan volume lalu lintas dan komposisi beban sumbu kendaraan berdasarkan data terakhir dari pospos resmi setempat. 3)Konstruksi jalan Konstruksi jalan terdiri dari tanah dan perkerasan jalan. Penetapan besarnya rencana tanah dasar dan material-materialnya yang akan menjadi bagian dari konstruksi perkerasan harus didasarkan atas survey dan penelitian laboratorium. Faktor-faktor yang mempengaruhi tebal perkerasan jalan adalah :
II - 37
•
Jumlah jalur (N) dan Koefisien distribusi kendaraan (C)
•
Angka ekivalen (E) beban sumbu kendaraan
•
Lalu lintas harian rata-rata
•
Daya dukung tanah (DDT) dan CBR
•
Faktor regional (FR)
Struktur perkerasan lentur terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut : 1. Lapis Permukaan (Surface Course) a. Lapis aus : ♦ Sebagai lapis aus yang berhubungan dengan roda kendaraan. ♦ Mencegah masuknya air pada lapisan bawah (lapis Kedap air). b. Lapis perkerasan : ♦ Sebagai lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan ini memiliki kestabilan tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan. ♦ Sebagai lapis yang menyebarkan beban ke lapis bawahnya, sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain dibawahnya yang mempunyai daya dukung lebih jelek. 2. Lapis Pondasi (Base Course) Merupakan lapis pondasi atas yang berfungsi sebagai : ♦ Sebagai lantai kerja bagi lapisan diatasnya. ♦ Sebagai lapis peresapan untuk lapis podasi bawah. ♦ Menahan beban roda dan menyebarkan ke lapis bawahnya. ♦ Mengurangi compressive stress sub base sampai tingkat yang dapat diterima. ♦ Menjamin bahwa besarnya regangan pada lapis bawah bitumen (material surface), tidak akan menyebabkan cracking.
II - 38
3. Lapis Pondasi Bawah (Sub Base Course) Memiliki fungsi sebagai berikut : ♦ Menyebarkan beban roda ke tanah dasar. ♦ Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapisan pondasi. ♦ Untuk efisiensi penggunaan material. ♦ Sebagai lapis perkerasan. ♦ Sebagai lantai kerja bagi lapis pondasi atas. 4. Tanah Dasar (Sub Grade) Tanah dasar adalah tanah setebal 50 – 100 cm diatas dimana akan diletakkan lapisan pondasi bawah. Lapisan tanah dasar bisa berupa tanah asli yang dipadatkan. Jika tanah aslinya baik dan cukup hanya dipadatkan saja. Bisa juga tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan atau tanah yang distabilisasi baik dengan kapur, semen, atau bahan lainya. Pemadatan yang baik diperoleh jika dilakukan pada kadar air optimum, diusahakan agar kadar air tersebut konstan selama umur rencana, hal ini dapat dicapai dengan perlengkapan drainase yang memenuh syarat.
¾ Prosedur Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur Dalam menghitung tebal perkerasan lentur pada Perencanaan Jalan Purwodadi-Wirosari berdasarkan pada petunjuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode analisa komponen SKBI 2.3.26.1987 Departemen Pekerjaan Umum. Prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut : 1. LHR setiap jenis kendaraan ditentukan sesuai dengan umur rencana. 2. Lintas ekivalen permulaan (LEP), dihitung dengan rumus :
LEP = ∑ (LHR ⋅ Cj ⋅ Ej ) Dengan :
Cj = Koefisien distribusi kendaraan Ej = Angka ekivalen beban sumbu kendaraan
II - 39
3. Lintas ekivalen akhir (LEA), dihitung dengan rumus :
[
LEA = ∑ LHR ⋅ (1 + i ) ⋅ Cj ⋅ Ej Dengan :
n
]
n = Tahun rencana
i = Faktor pertumbuhan lalu lintas 4. Lintas ekivalen tengah (LET), dihitung dengan rumus : LET = 1 / 2 ⋅ (LEP + LEA)
5. Lintas ekivalen rencana (LER), dihitung dengan rumus :
LER = LEP × FP Dengan : FP = faktor penyesuaian = UR/10 6. Mencari indeks tebal permukaan (ITP) berdasarkan hasil LER, sesuai dangan nomogram yang tersedia. Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu DDT atau CBR, faktor regional (FR), indeks permukaan dan koefisien bahan-bahan sub base, base dan lapis permukaan. 7. Menghitung tebal lapisan perkerasannya berdasarkan nilai ITP yang didapat. ¾ Prosedur Perhitungan Tebal Perkerasan kaku
metode metode ntuk perencanaan tebal perkerasaan kaku ada bermacam macam metode,diantaranya: 1. PCA (Portland Cement Association) Prosedur Perhitungan -
Membuat perkiraan traffic growth atau lalu lintas harian rata-rata selama umur rencana (20 tahun,40 tahun)
-
direkomendasikan beban roda sebenarnya dinaikkan sebesar 20 %, L’=120 % x L actual untuk menampung kemungkinan impact + safety factors.
II - 40
-
pengertian stress ratio : perbandingan antara actual stress pada perkerasan dengan modulus retak.
sr =
as mr
keterangan : sr = stress ratio ac = actual stress pada perkerasan mr= modulus retak pada strees ratio < 0,51, maka jumlah pengulangan beban tidak terbatas. -
tegangan yang terjadi akibat beban roda dihitung setelah lalu lintas disusun dalam kelompok-kelompok beban gandar. tegangan dihitung dengan menggunakan chart PCA untuk beban roda as tunggal dan roda as ganda (tandem),dengan terlebih dahulu mengasumsikan suatu tebal perkeraasn tertentu.
-
perencanaan memenuhi syarat bila dipenuhi persamaan : N1 N 2 Nn + + .... ≤ 1,00(100% N 1' N 2' Nn' keterangan : Ni = pengulangan beban yang terjadi untuk kategori beban i Ni’ = pengulangan beban yang diijinkan untuk kategori baban i
2. Menggunakan Metode Bina Marga prosedur perhitungan : -
hitung LHR hingga akhir umur rencana
-
mengghitung jumlah kendaraan niaga JKN = 365 × JKNH × R
a.
R
(1 + i ) N − 1 Æuntuk i konstan selama umur rencana (n) i≠0 e log(1 + I )
II - 41
b. R
(1 + i ) M − 1 + ( n − m )(1 + i ) m −1 Æsetelah m tahun, pertumbuhan e log(1 + I )
lalu lintas tidak terjadi lagi, i≠0 c. R
(1 + i ' ) M − 1 (1 + i ) m [(1 + i ' ) n − m − 1] Æsetelah waktu tertentu + e e log(1 + i ) log(1 + i ' )
pertumbuhan lalu lintas berbeda dengan sebelumnya. n tahun pertama Æi ,i≠0 m tahun pertamaÆi’ ,i≠0 keterangan : JKN : jumlah kendaraan niaga JKNH
: jumlah kendaraan niaga harian
R
: faktor pertumbuhan lalu lintas yang besarnya tergantung pada factor pertumbuhan lalu lintas tahunan (i) dan umur rencana (n).
-
Hitung prosentase masing masing kombinasi konfigurasi beban sumbu terhadap jumlah sumbu kendaraan niaga harian ( JKSNH)
-
Hitung jumlah repetisi komulatif tiap tiap kombinasi konfigurasi/beban sumbu pada jalur rencana JKSN x % JSKNHi x C x FK Tabel 2. 18. faktor C = Coefisien Distribusi Jumlah Lajur
Kendaran Niaga 1 arah
2 arah
1 kajur
1
1
2 kajur
0.70
0.5
3 kajur
0.5
0.475
4 kajur
0.5
0.45
5 kajur
0.5
0.425
6 kajur
0.5
0.40
Sumber : Diktat kuliah Perencanaan Perkerasan Jalan.
II - 42
FK = Faktor keamanan beban sumbu sesuai denfan jenis penggunaan jalan
-
•
jalam tol
: 1.20
•
Jalan Arteri
: 1.10
•
Kolektor / Lokal : 1.00
Kekuatan Tanah Dasar / Subgrade Hitung Modulus Reaksi Subgrade = K Rencana Kr = K − 2 S
Æjalan tol
Kr = K − 1.64 S
ÆJalan Arteri
Kr = K − 1.28S
ÆJalan Kolektor / Lokal
FK = K=
S x100% ÆFK : Faktoe Keseragaman < 25% K
∑K n
S=
n( ∑ K 2 ) − ( ∑ K ) 2 n( n − 1)
K di dapat dari korelasi CBR – Kekuatan Beton MR 28 hari Hububgan σ’bk dengan MR28 – Perencanaan Tebal Pelat Pilih suatu tebal pelat tertentu (h1) untuk setiap kombinasi konfigurasi dan beban sumbu serta harga k tertentu maka : •
Tegangan lentur yang terjadi pada pelat beton ditentukan dengan grafik
•
Perbandingan tegangan di hitung dengan membagi tegangan lenturyang terjadi pada pelat dengan kuat lentur tarik (MR) beton.
•
Jumlah pengulangan beban yang diijinkan ditentukan berdasarkan harga perbandingan tegangan.
II - 43
Prosentase fatique untuk tiap tiap kombinasi konfigurasi / beban sumbu ditentukan dengan membagi jumlah pengulangan beban rencana dengan jumlah pengulangan beban yang diijinkan cari total fatique dengan menjumlahkan prosentase fatique dari seluruh kombinasi konfigirasi/beban sumbu. Ulangi langkah langkah diatas hingga didapat tebal pelat terkecil dengan total fatique ≤ 100% bila total Fatique > 100%, maka h2 = h1 + ∆h Menghitung total fatique untuk seluruh konfigurasi beban sumbu,untuk harga k tanah dasar tertentu. TF =
Ni
∑ Ni'
≤ 100%
i =1− n
Keterangan i = Semua beban sumbu yang diperhitungkan Ni = Pengulangan beban yang terjadi untuk kategori beban i Ni’=Pengulangan beban yang diijinkan untuk kategori beban ybs Ni =
σ lti MR
dimana
σ lti MR
σ lti MR
≤ 0.50, maka Ni’= ~
= 0.51, maka Ni’= 400.000 ( tabel)
2.2.3. Perencanaan saluran drainase
Saluran drainase adalah bangunan yang bertujuan mengalirkan air dari badan jalan secepat mungkin agar tidak menimbulkan bahaya dan kerusakan pada jalan. Dalam banyak kejadian, kerusakan konstruksi jalan disebabkan oleh air, baik itu air permukaan maupun air tanah. Air dari atas badan jalan yang dialirkan ke samping kiri dan atau kanan jalan ditampung dalam saluran samping (side ditch) yang bertujuan agar air mengalir lebih cepat dari air yang mengalir diatas permukaan jalan dan juga bertujuan untuk bisa mengalirkan kejenuhan air pada badan jalan.
II - 44
Dalam merencanakan saluran samping harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : •
Mampu mengakomodasi aliran banjir yang direncanakan dengan kriteria tertentu sehingga mampu mengeringkan lapis pondasi.
•
Saluran sangat baik diberi penutup untuk mencegah erosi maupun sebagai trotoar jalan.
•
Pada kemiringan memanjang, harus mempunyai kecepatan rendah untuk mencegah erosi tanpa menimbulkan pengendapan.
•
Pemeliharan harus bersifat menerus.
•
Air dari saluran dibuang ke outlet yang stabil ke sungai atau tempat pengaliran yang lain
•
Perencanaan drainase harus mempertimbangkan faktor ekonomi, faktor keamanan dan segi kemudahan dalam pemeliharaan.
¾ Ketentuan-ketentuan
1. Sistim drainase permukaan jalan terdiri dari : kemiringan melintang perkerasan dan bahu jalan, selokan samping, gorong-gorong dan saluran penangkap (Gambar 2.9).
Gambar 2.9 Sistem drainase permukaan
2. Kemiringan melintang normal (en) perkerasan jalan untuk lapis permukaan aspal adalah 2 % - 3 %., Sedangkan untuk bahu jalan diambil = en + 2 %.
II - 45
3. Selokan samping jalan •
Kecepatan aliran maksimum yang diizinkan untuk material dari pasangan batu dan beton adalah 1,5 m/detik.
•
Kemiringan arah memanjang (i) maksimum yang diizinkan untuk material dari pasangan batu adalah 7,5 %.
•
Pematah arus diperlukan untuk mengurangi kecepatan aliran bagi selokan samping yang panjang dengan kemiringan cukup besar. Pemasangan jarak antar pematah arus dapat dilihat pada Tabel 2.14.
Tabel 2.19. Jarak pematah arus
i (%)
6%
7%
8%
9%
L (m)
16 10 8 7 Sumber:Diktat kuliah Perencanaan Perkerasan Jalan •
10 % 6
Penampang minimum selokan samping adalah 0,50 m2.
4. Gorong-gorong pembuang air •
Kemiringan gorong-gorong adalah 0,5 % - 2 %.
•
Jarak maksimum antar gorong-gorong pada daerah datar adalah 100 m dan daerah pegunungan adalah 200 m.
•
Diameter minimum adalah 80 cm.
¾ Perhitungan debit aliran
1. Intensitas curah hujan (I) •
Data yang diperlukan adalah data curah hujan maksimum tahunan, paling sedikit n = 10 tahun dengan periode ulang 5 tahun.
•
Rumus menghitung Intensitas curah hujan menggunakan analisa distribusi frekuensi sbb : XT = x +
Sx ⋅ (YT − Yn ) Sn
I = 1 / 4 ⋅ (90% ⋅ XT )
II - 46
Dimana :
XT
= besar curah hujan
x
= nilai rata-rata aritmatik curah hujan
Sx
= standar deviasi
YT
= variabel yang merupakan fungsi dari periode ulang, diambil = 1,4999.
Yn
= variabel yang merupakan fungsi dari n, diambil 0,4952 untuk n = 10
Sn
= standar deviasi, merupakan fungsi dari n, diambil 0,9496 untuk n = 10
I •
= intensitas curah hujan (mm/jam)
Waktu konsentrasi (TC) dihitung dengan rumus : TC = t1 + t2 ⎛2 nd ⎞ t1 = ⎜⎜ ⋅ 3,28 ⋅ LO ⋅ ⎟⎟ s⎠ ⎝3 t2 =
0 ,167
L 60 ⋅ v
Dimana : TC = waktu konsentrasi (menit) t1 = waktu inlet (menit) t2 = waktu aliran (menit) LO = Jarak dari titik terjauh dari saluran drainase (m) L = panjang saluran (m) nd = koefisien hambatan, diambil 0,013 untuk lapis permukaan aspal s = kemiringan daerah pengaliran v = kecepatan air rata-rata di saluran (m/detik)
II - 47
2. Luas daerah pengaliran dan batas-batasnya sesuai yang terlihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Batas-batas daerah pengaliran
Batas daerah pengaliran yang diperhitungkan L = L1 + L2 + L3 (m) Dimana : L1 = dari as jalan sampai tepi perkerasan. L2 = dari tepi perkerasan sampai tepi bahu jalan. L3 = tergantung kebebasan samping dengan panjang maksimum 100 m. 3. Harga koefisien pengaliran (C) dihitung berdasarkan kondisi permukaan yang berbeda-beda. C=
C1 ⋅ A1 + C2 ⋅ A2 + C3 ⋅ A3 A1 + A2 + A3
Dimana : C1 = koefisien untuk jalan aspal = 0,70. C2 = koefisien untuk bahu jalan (tanah berbutir kasar) = 0,65. C3 = koefisien untuk kebebasan samping (daerah pinggir kota) = 0,60. A1, A2, A3 = luas masing-masing bagian. 4. Untuk menghitung debit pengaliran, digunakan rumus sebagai berikut : Q=
1 ⋅C⋅I⋅A 3,6
Dimana : Q = debit pengaliran (m3/detik) C = koefisien pengaliran I = intensitas hujan (mm/jam) A = luas daerah pengaliran (km2)
II - 48
¾ Perhitungan dimensi saluran dan gorong-gorong
Dimensi saluran dan gorong-gorong ditentukan atas dasar Fe = Fd 1. Luas penampang basah berdasarkan debit aliran (Fd) Fd = Q / v (m2) 2. Luas penampang basah yang paling ekonomis (Fe) •
Saluran bentuk segi empat Rumus : Fe = b ⋅ d
Ö syarat : b = 2 ⋅ d
R=d/2 •
Gorong-gorong Rumus : Fe = 0,685 ⋅ D 2
Ö syarat : d = 0,8 ⋅ D
P=2r R=F/P
Dimana : Fe = Luas penampang basah ekonomis (m2) b = lebar saluran (m) d = kedalaman air (m) R = jari-jari hidrolis (m) D = diameter gorong-gorong (m) r = jari-jari gorong-gorong (m) 3. Tinggi jagaan (w) untuk saluran segi empat w = 0,5 ⋅ d 4. Perhitungan kemiringan saluran ⎛ v⋅n ⎞ Rumus : i = ⎜ 2 / 3 ⎟ ⎝R ⎠
2
Dimana : i = kemiringan saluran v = kecepatan aliran air (m/detik) n = koefisien kekasaran manning, (saluran pasangan batu) = 0,025