BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sejatinya esensi pemuda adalah sebagai aset ekonomi yang memiliki tenaga serta pemikiran baru untuk pembangunan negara dan bangsa. Pemuda dipandang sebagai penerus bangsa yang nantinya akan menggantikan generasi tua. Namun pada kenyataannya, masih banyak pemuada Indonesia yang mengalami dilema di berbagai bidang pembangunan seperti tingkat pendidikan yang rendah serta tingkat pengangguran yang tinggi. Pemuda seringkali menjadi kelompok yang tiga kali lebih rentan terjerumus ke jurang pengangguran dan kemiskinan dibandingkan orang dewasa. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia lebih banyak di dominasi oleh kelompok pemuda dengan porsi sebesar 75 persen dibandingkan dengan kelompok dewasa yang hanya sebesar 25 persen. Menurut data kepemudaan Indonesia tahun 2010 juga menunjukan bahwa pemuda yang bekerja sebesar 52,61% atau sekitar 30,4 juta pemuda, menganggur sebesar 10,07% atau 6,1 juta pemuda, sisanya sebesar 15,74% pemuda masih bersekolah, 17,95% pemuda mengurus rumah tangga, dan 3,62% melakukan kegiatan lain-lain. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka pemuda di dominasi oleh kelompok pemuda berlatar belakang pendidikan tinggi sebesar 18,72 % dan diikuti oleh kelompok pemuda berpendidikan SMA/SMK sebesar 15,35%.
1
Tingginya angka pengangguran dari kalangan pemuda terdidik atau akademis disebabkan telah terjadinya pergeseran kebutuhan pasar atau perusahaan yang lebih memilih tenaga kerja dengan kemampuan teknis atau praktek dibandingkan dengan kemampuan berpikir atau akademis. Sehingga banyak dari pemuda dari kalangan akademis yang mengalami dilema dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan bidang pendidikan maupun pendapatannya. Pemerintah sebenarnya telah berupaya untuk menekan tingginya angka pengangguran dari kalangan pemuda terdidik seperti mengadakan berbagai acara job fair, memperluas proyek-proyek pembangunan sektor formal dan swasta ke daerah-daerah, hingga mendatangkan investor luar untuk membangun perusahan di dalam negeri. Upaya-upaya pemerintah tersebut memang berpengaruh terhadap angka penggangguran, namun hasilnya masih minim sekali karena seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa pasar saat ini lebih banyak membutuhkan tenaga kerja teknis dibandingkan tenaga kerja akademis. Upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi tingginya angka pengangguran pemuda adalah dengan menumbuhkan semangat kewirausahaan (spirit entrepreneurship) khususnya bagi para mahasiswa sebagai calon tenaga kerja akademis. Namun sayangnya pola berpikir menjadi pegawai masih melekat pada mahasiswa dengan alasan mereka tidak dipersiapkan dan dirangsang untuk menciptakan usaha sendiri sejak menempuh bangku kuliah (Kasmir, 2006). Selain itu tingkat ketergantungan mahasiswa terhadap lapangan pekerjaan di sektor pemerintah dan swasta masih tinggi (Sumaryono, 2008). Mereka cenderung mengambil zona aman dengan bekerja pada perusahaan atau pemerintah karena memandang bahwa kesejahteraan mereka akan lebih stabil 2
dengan pendapatan tetap dan mendapat jaminan masa depan dibandingkan dengan berwirausaha yang memiliki banyak faktor resiko kegagalan. Sikap pragmatis mahasiswa tersebut seringkali dikaitkan dengan pertimbangan rasional mereka bahwa menyelesaikan studi dengan cepat kemudian memperoleh pekerjaan adalah salah satu orientasi mahasiswa agar dapat mengembalikan biaya kuliah yang mahal serta memperbaiki status sosial mereka. Selain itu, kebanyakan dari orang tua mahasiswa memang tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai kewirausahaan (Kasmir, 2006). Hal ini yang menurut Kasmir sebagai penyebab banyak orang tua mahasiswa yang lebih menginginkan anak mereka mencari pekerjaan atau menjadi pegawai suatu perusahaan ketika lulus dari bangku kuliah. Berbicara mengenai entrepreneur atau wirausaha berarti berbicara mengenai kemampuan seseorang yang mampu menangkap peluang dibandingkan dengan yang lainnya. Peluang telah diakui sebagai jantung dari kewirausahaan dengan segala aktivitasnya (Kirzner, 1997). Peluang sendiri memang sesuatu yang sifatnya objektif dan tidak semua orang dapat melihat peluang tersebut. Kemajuan teknologi internet misalnya dipandang sebagai salah satu contoh peluang yang mendorong pengusaha-pengusaha konvensional beralih menggunakan pemasaran online untuk memperluas pasarnya sehingga meningkatkan keuntungan mereka. Namun, tidak semua orang mampu menggunakan internet dan memiliki akses terhadap penggunaan internet tersebut. Tidak semua mahasiswa mampu menangkap peluang usaha yang ada di sekitarnya. Faktor bakat dan modal seringkali menjadi alasan mahasiswa tidak mampu menciptakan usaha sendiri sejak di bangku kuliah. Padahal selain kedua 3
faktor tersebut, mereka memerlukan ketajaman berfikir untuk melihat peluang dan juga dorongan yang kuat untuk mendapatkan peluang tersebut. Hal ini yang diungkapkan oleh seorang ahli ekonomi Joseph Schumpeter (1961:93) bahwa seorang wirausaha memiliki hasrat untuk memperoleh kekuasan dan kebebasan, keinginan untuk berhasil dan kepuasan menyelesaikan sesuatu. Scumpeter memandang bahwa uamg bukanlah faktor yang memotivasi seorang menjadi wirausaha. Universitas Gadjah Mada sebagai salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, pada beberapa tahun terakhir telah banyak menghasilkan lulusan muda yang sukses berwirausaha dan meraih berbagai penghargaan di tingkat nasional. Sebut saja Saptuari dengan Kedai Digitalnya, Agung Nugroho dengan Simply Fresh Laundrynya, dan masih banyak lagi wirausaha muda lainnya. Kesuksesan yang diraih mereka bukanlah suatu hal yang mudah diperoleh melainkan hasil kerja keras mereka sejak di bangku kuliah. Ketika menjadi mahasiswa mereka telah banyak makan garam di bidang usaha mandiri atau kewirausahaan. Meskipun banyak faktor mengenai alasan mereka berwirausaha, namun setelah melalui berbagai proses trial (mencoba) dan error (gagal) mereka berhasil menemukan sebuah peluang usaha yang sesuai dengan passion (hasrat) mereka. Berdasarkan hasil survei dari Badan Ekseskutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) tahun 2012 menunjukan bahwa dari 1000 target responden mahasiswa dan alumni yang berwirausaha, hanya 178 mahasiswa dan alumni yang terdata secara online memiliki usaha sendiri. Sekitar 90% responden survey BEM KM UGM tersebut masih berstatus 4
sebagai mahasiswa. Artinya bahwa di satu sisi UGM masih sangat sedikit sekali memiliki calon-calon mahasiswa yang berani dan siap menjadi seorang pengusaha, namun di sisi lain sebagian mereka yang berwirausaha adalah bibit-bibit pengusaha yang nantinya akan menjadi agen perubahan (agent of change) bagi penghidupan bangsa Indonesia. Hal ini menarik perhatian peneliti bahwa masih ada sebagian mahasiswa UGM yang saat ini memiliki aktivitas sebagai mahasiswa dan sebagai seorang wirausaha. Peneliti tertarik mengkaji permasalahan diatas menggunakan sudut pandang sosiologis untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk pengalaman mahasiswa S-1 UGM yang berwirausaha dan bagaimana mereka mempunyai orientasi kewirausahaan.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk- bentuk pengalaman mahasiswa S-1 UGM yang berwirausaha ? 2. Bagaimana mahasiswa S-1 UGM mempunyai orientasi kewirausahaan?
1.3
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bentuk-bentuk pengalaman mahasiswa S-1 UGM yang berwirausaha. 2. Mengetahui bagaimana mahasiswa S-1 UGM mempunyai orientasi kewirausahaan.
5
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi ilmu sosiologi sebagai penelitian yang komprehensif dan aktual mengenai kepemudaan dan kewirausahaan dari sudut pandang sosiologi. Penelitian ini juga diharapkan mampu mengisi kekurangan dalam studi-studi mengenai kewirausahaan pemuda sehingga dapat dijadikan referensi bagi akademisi, pengampu kebijakan, para pengusaha muda, dan para pemuda di Indonesia dalam membangun Indonesia melalui kewirausahaan.
1.5
Tinjauan Pustaka
1.5.1
Perbedaan Dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian dengan tema pemuda dan kewirausahaan telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa Universitas Gadjah Mada khususnya mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) diantaranya: A. Andhy Surya Hapsara mahasiswa dari Jurusan Sosiologi UGM angkatan 2001 dengan judul skripsi “Mahasiswa dan Wirausaha (Studi tentang dinamika mahasiswa S-1 UGM yang berwirausaha dan faktor-faktor yang mempengaruhi untuk berwirausaha”. Tujuan penelitian Andhy adalah untuk mengetaui faktor-faktor apa yang mempengaruhi minat para wirausaha UGM untuk berwirausaha. Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, Andhy mengambil sampel penelitian secara purposive pada mahasiswa S1 Universitas Gadjah Mada yang terlibat secara langsung pada aktivitas wirausaha baik perorangan maupun kelompok dengan lama berwirausaha selama 1 tahun. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa alasan-alasan utama 6
informan memilih berwirausaha untuk mengembangkan bakat dalam berwirausaha serta mencapai prestasi
dan pencapaian maksimal dalam
berwirausaha. Bakat dalam penelitian Andhy termasuk ke dalam modal manusia yang diperoleh melalui aktivitas wirausaha. Selain itu minat menjadi wirausaha sangat ditentukan oleh faktor pendidikan, dukungan sosial dari kelompok pergaulan dan lingkungan keluarga yang mendukung. B. Ainun Nur Rahma mahasiswa dari Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK) angkatan 2009 dengan judul skripsi “Dinamika Wirausaha Dalam Proses Pengembangan Usaha (Studi Tentang Semangat Pemuda di Dalam Proses Pengembangan Usahanya di DIY)”. Tujuan dari penelitian Ainun adalah untuk mengetahui bagaimana seorang pengusaha muda memaknai keberhasilannya di dalam pengembangan usaha. Selain itu, penelitian ini menjelaskan mengenai spirit dan latar belakang serta dinamika para pengusaha muda tersebut di dalam membangun dan mengembangkan usaha. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan informan terpilih sebanyak 4 wirausaha dari jenis usaha yang berbeda-beda. Hasil penelitian
menunjukan
bahwa
pemuda
yang memilih
berwirausaha
memandang sektor formal memiliki pola yang tidak sesuai dengan keinginan mereka sehingga hal itu menjadi pendorong untuk mereka agar bebas mengaktualisasikan kreatifitasnya di bidang wirausaha. Selain itu faktor keluarga dan motivasi berprestasi juga menjadi faktor pendorong para wirausaha terjun ke dunia usaha.
7
1.6
Kerangka Teoritik
1.6.1
Kajian Weber tentang Kewirausahaan
Aktivitas wirausaha telah menjadi perhatian Weber (1904/1930) sejak abad ke-16. Munculnya para wirausaha merupakan hasil pengaruh doktrin agama dalam memberikan legitimasi kultural yang membentuk perilaku ekonomi individu yang bermuara pada munculnya kapitalisme di Barat. Konsep beruf (panggilan) yang diperkenalkan oleh ajaran Prostestan Martin Luther dan John Calvin menjadi sebuah motivasi bagi kalangan entrepreneur di negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Jerman. Para pengikut Calvin percaya bahwa orang yang tidak melakukan perbuatan baik dan tidak beriman maka ia tidak akan mendapat tempat di surga. Seseorang yang memiliki kekayaan adalah tanda bahwa mereka adalah orang-orang pilihan Tuhan. Sehingga dorongan untuk memperoleh kekayaan yang lebih sangat dianjurkan bagi ajaran Protestan (Weber, 1930:80 -159). Bagi mereka yang ingin dekat dengan Tuhan haruslah bekerja keras yang kemudian diterjemahkan oleh entrepreneur sebagai motivasi ekonomi dan prestasi kerja yang diukur oleh seberapa besar akumulasi profit atau keuntungan yang dihasilkan mereka. Begitu pula dengan efektivitas dan efisiensi dalam bisnis merupakan manifestasi dari konsep beruf pada ajaran Protestan. Weber secara tegas menyebut entrepreneurship sebagai suatu penciptaan organisasi yang di dalamnya mencakup pertukaran sosial antar aktor. Wirausaha juga dipandang sebagai bentuk tindakan ekonomi yang bertujuan dalam membentuk perusahaan (enterprise) dibandingkan dengan kegiatan ekonomi individual. Weber mendefinisikan kewirausahaan dalam karyanya yaitu : 8
“Entrepreneurship means the taking over and organization of some part of an economy, in which people‟s needs are satisfied through exchange, for the sake of making a profit and at one‟s own economic risk ” (Weber, 1898, 1990: 57 dikutip dalam Swedberg, 2000: 25-26). (Kewirausahaan berarti mengambil alih dan organisasi dari bagian ekonomi, dimana kebutuhan masyarakat dipuaskan melalui pertukaran, demi menghasilkan keuntungan dan beresiko ekonomi pribadi).
Weber memandang aktivitas wirausaha sebagai tindakan sosial yang memiliki makna subjektif dengan mensyaratkan suatu setting sosial dimana aktor berfikir mengenai cara dan tujuan yang akan dicapai. Tindakan sosial sendiri menurut pandangan Weber (1964) memiliki makna subjektif bagi pelakunya dan memiliki orientasi terhadap perilaku individu lainnya dalam hubungan interaksi sosial. Weber menggolongkan empat bentuk tindakan sosial ke dalam empat bentuk, yaitu (1) tindakan rasional instrumental, tindaka yang memperhitungkan antara cara yang digunakan dengan tujuan yang dicapai; (2) tindakan rasional yang berorientasi nilai, tindakan yang didasari nilai-ilai dasar masyarakat; (3) tindakan afektif, tindakan yag didasari atas perasaan yang dimiliki seseorang; (4) tindakan tradisional, tindakan yang dilakukan atas dasar kebiasaan, adat istiadat, dan warisan budaya.
1.6.2
Teori Keterlekatan Sosial dalam Tindakan Ekonomi
Konsep keterlekatan (embeddedness) digunakan untuk menjelaskan fenomena perilaku ekonomi dalam konteks sosial. Konsep ini menentang pandangan
ekonomi
neoklasik
yang
berlandaskan
pada
individualisme.
Individualisme sendiri berpandangan bahwa segala perilaku ekonomi manusia
9
didasari atas motif kepentingan pribadi dengan mengutamakan rasionalitas untuk memaksimalkan keuntungan. Granovetter (1985) melihat hal tersebut sebagai sebuah atomisme dimana individu terlepas dari aktor-aktor sosial lainnya. Pandangan
ekonomi
klasik
diasumsikan
Granovetter
sebagai
konsep
undersocialized yang mana kepentingan individu adalah yang paling utama meskipun harus melanggar nilai dan norma. Undersocialized tidak melihat adanya ruang bagi pengaruh budaya, agama, dan struktur sosial terhadap tindakan ekonomi. Tindakan ekonomi seperti memilih pekerjaan, mencari pekerjaan , membeli, dan lain sebagainya juga diasumsikan oleh Granovetter sebagai oversocialized atau tindakan ekonomi yang menginternalisasi ruang-ruang kultural berupa nilai dan norma. Oversocialized
Nilai dan Norma
Undersocialized
Tindakan Ekonomi
Keuntungan Pribadi
Gambar 1.1 Tindakan Ekonomi Oversocialized dan Undersocialized
Pada kenyataannya setiap tindakan ekonomi baik oversocialized maupun undersocialized
melekat (embeddeed) pada jaringan hubungan sosial. Sebab
individu yang mengejar kepentingan pribadi juga mengantisipasi tindakan orang lain dan terlibat dalam pertukaran dengan individu lain. Granovetter (1985) menjelaskan tiga proposisi dari teori keterlekatan sosial dalam tindakan ekonomi. Pertama (1), tindakan ekonomi sebagai tindakan sosial; kedua (2), tindakan
10
ekonomi disituasikan secara sosial; dan ketiga (3), institusi ekonomi dikonstruksi secara sosial. Secara rasional aktor ekonomi akan melakukan pertimbangan dalam memilih suatu bentuk tindakan dengan menghitung biaya bagi setiap jalur tindakan. Aktor juga akan berusaha memaksimalkan pilihan tindakannya agar tujuan dari tindakan tersebut tercapai. Namun, tindakan aktor ekonom juga diarahkan kepada interaksi sosial dengan orang lain. Artinya, aktor ekonom yang berorientasi keuntungan tidak dapat dilepaskan dari relasi sosial dengan orang lain. Hal ini yang dimaksud bahwa tindakan ekonomi merupakan suatu tindakan sosial. Setiap tindakan individu yang melekat dalam relasi sosial pada praktiknya mereka akan mencari relasi yang dapat dipercaya (trust) agar arus informasi yang didapatkan menjadi lebih baik dan dapat mencegah penyimpangan (malfeasance) (Granovetter, 1985: 490). Bahkan aktor seperti individu seringkali secara berulang berinteraksi dengan orang di masa lalu yang telah dipercaya akan kualitas informasi yang diberikannya. Ada empat alasan menurut Granovetter mengapa individu berhubungan dengan orang-orang di masa lalu yang dapat dipercaya yakni; (1) murah, dalam hal mengaksesnya; (2) mempercayai satu informasi terbaik akan lebih kaya, rinci dan lebih akurat; (3) hubungan tersebut dapat terus memberikan motivasi ekonomi dan akan terus berlangsung di masa depan; dan (4) membawa harapan kepercayaan yang kuat dalam melanjutkan hubungan ekonomi dan menjauhkan dari oportunisme. Hal tersebut yang disebut oleh Granovetter sebagai tindakan ekonomi sebagai suatu tindakan sosial dan disituasikan secara sosial. Tindakan ekonomi tidak dilakukan dalam ruang yang hampa, melainkan melekat pada 11
institusi maupun struktur sosial yang lebih luas. Sehingga nilai dan norma yang berlaku di masyarakat dibentuk dan disebarluaskan melalui institusi-institusi sosial. Maka institusi-institusi ekonomi dikonstruksikan secara sosial. Pemikirian Granovetter menginterpretasikan bahwa fenomena wirausaha atau entrepreneur merupakan suatu tindakan ekonomi yang melekat (embedded) dalam konteks sosial (Granoveter, 1985; Aldrich dan Zimmer, 1987). Artinya bahwa aktivitas kewirausahaan bukanlah aktivitas individu yang berdiri sendiri (atomistis) dalam mendirikan suatu usaha melainkan aktivitas ekonomi sebagai suatu bentuk perilaku atau tindakan sosial yang melibatkan relasi atau hubungan sosial. Perbedaan antara Weber dan Granovetter terletak pada konteks nilai agama dan konteks sosial. Jika Weber melihat aktivitas wirausaha sebagai tindakan ekonomi rasional yang bertolak dari nilai agama, maka Granovetter memandang aktivitas wirausaha sebagai bentuk keterlekatan (embedded) pada konteks sosial yakni jaringan sosial. Jaringan sosial dipandang sebagai ikatan atau relasi sosial baik langsung maupun tidak langsung antara aktor-aktor individu, dengan kelompok-kelompok maupun organisasi-organisasi yang berfungsi sebagai sumber daya yang positif dan bermanfaat bagi proses ekonomi seperti dalam hal mengakses sumber keuangan atau modal usaha, mengakses pengetahuan dan inovasi, dan juga sebagai aset pasar dan tenaga kerja (Field, 2010:86).
12
1.7
Kerangka Konseptual
1.7.1
Pemuda
Di negara Barat pemuda didefinisikan sebagai suatu periode seseorang memasuki masa transisi dari masa anak-anak yang masih bergantung pada orang tua menuju masa dewasa yang bebas dan mandiri. Jika melihat konteks budaya di Indonesia, pemuda di Indonesia masih banyak yang bergantung pada orangtua saat mereka memasuki masa sekolah dan kuliah, bahkan pada saat menganggur dan mencari pekerjaan. Kategorisasi berdasarkan umur juga menjadi konsep dasar yang berbedabeda dalam mendefinisikan pemuda di berbagai belahan dunia. PBB mengkategorikan umur pemuda antara 15-24 tahun, negara-negara Eropa 15-29 tahun, dan negara-negara Asia antara 15- 30 tahun bahkan di Malaysia batas sebagai pemuda adalah 40 tahun. Undang-undang Indonesia nomor 40 tahun 2009 tentang kepemudaan mendefinisikan pemuda berdasarkan umur 16 sampai 30 tahun. Keputusan mengenai umur pemuda di Indonesia tidak lepas dari berbagai kritik dari sejumlah organisasi massa kepemudaan yang di dalamnnya masih terdapat pemimpin-pemimpin yang sudah berumur lebih dari 40 tahun, contohnya organisasi Pemuda Pancasila (Azca,2011:73). Perspektif psikologis selalu berkaitan dengan perspektif patologi sosial yang menyebut pemuda merupakan kelompok dengan kepribadian yang rentan (mudah stress dan emosional), bertindak sesuka hati (susah dikontrol), dan identik dengan strerotipe kekerasan, konflik, narkoba, perilaku seksual, dan perilaku yang melanggar hukum. Teori psikologis secara spesifik mendefinisikan pemuda sebagai masa yang penuh dengan Storm and Stress (Badai dan Stres). Bessant 13
dalam Wyn dan White (1997:19) melihat hal yang wajar dialami kaum muda secara alamiah adalah sifatnya yang agak kebinatangan dan susah diatur atau dikontrol, tetapi jika mereka dikendalikan oleh konvensi sosial mereka bisa dihormati oleh masyarakat. Sependapat dengan Bessant, Wyn berpendapat bahwa kaum muda dapat menemukan siapa dirinya jika mereka telah melewati proses tahap perkembangan Storm and Stress ini. Berbeda dengan Bessant dan Wyn, Erikson melihat kaum muda sebagai suatu tahap dalam proses pencarian jati diri atau mereka yang berada pada tahap “krisis identitas” (Erikson,1968:17). Secara sosiologis pemuda memiliki beragam pendefinisian seperti pemuda sebagai aktor dalam perubahan sosial, pemuda sebagai masalah sosial, eksklusi maupun inklusi sosial, dan pemuda dengan peran-peran sosial gender. Dibalik citra buruk mengenai pemuda, perspektif representsi menjadi kritik atas perspektif patologis (Azca, 2011:4-9). Pemuda juga dapat merepresentasikan dirinya sebagai aktor perubahan (agent of change) dalam dinamika kehidupan masyarakat. Pemuda dapat menjadi seorang yang berguna bagi masyarakatnya seperti aktor dalam kegiatan pemberdayaan desa, karang taruna, pramuka, dan wiraswasta atau entrepreneur. Jadi, pemuda dapat didefinisikan sebagai kelompok penduduk dengan umur antara 16 hingga 40 tahun yang berstatus belum menikah maupun yang sudah menikah.
14
1.7.2
Kewirausahaan (Entrepreneurship) dan Wirausaha (Entrepreneur)
Mendefinisikan entrepreneurship dan entrepreneurs umumnya dibagi menjadi dua kategori; Pertama, definisi berdasarkan pada ciri, sifat dan karakteristik pribadi seorang wirasausaha atau entrepreneur yang sukses menciptakan suatu ; dan Kedua, definisi berdasarkan proses yang terletak pada bagaimana seseorang menciptakan sebuah bisnis maupun organisasi baru. Istilah entrepreneur sendiri pertama kali ditemukan dalam essay Richard Cantillon yang berjudul Essay on the Nature of Commerce in General (Prancis:Essai Sur La Nature Du Commerce en General) di tahun 1730. Cantillon menyebut seorang entrepreneur sebagai orang yang mengambil keputusankeputusan kemudian
berinvestasi dengan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ditransformasikan
menjadi
produk
yang
dapat
menghasilkan
keuntungan maupun kerugian (Swedberg, 2000:11, Winardi, 2004:1). Raymond Kao (1989:8) dalam bukunya Entrepreneurship and Enterprise Development
mengatakan
entrepreneur
adalah
seseorang
yang
mengkombinasikan resiko, inovasi, keterampilan kepemimpinan, keahlian, dan orang yang kreatif yang menjadi pondasi untuk membangun dan memotivasi sebuah tim. Lebih lanjut Kao (1989:91) mendefinisikan entrepreneur sebagai; “How can we begin to define entrepreneur in a more satisfying manner?..certainly they are catalysts. They make things happen. They use creativity to conceive new things and zeal to implement them. Thus, the entrepreneur is a both creator and an innovator. He or she both generates the new idea and serves as the human vehicle by which implementation of that idea occurs. He or she takes the ball and runs with it, overcoming obstacles in the way.”
15
(Bagaimana kita dapat memulai untuk mendefinisikan pengusaha dengan cara yang lebih memuaskan? .. pasti mereka adalah katalis. Mereka membuat sesuatu terjadi. Mereka menggunakan kreativitas untuk menyusun hal-hal baru dan semangat untuk melaksanakannya. Dengan demikian, pengusaha adalah pencipta dan inovator. Dia menghasilkan ide baru dan berfungsi sebagai kendaraan manusiawi, yakni implementasi ide yang terjadi. Dia mengambil bola dan berjalan dengan itu, mengatasi rintangan di jalan).
Menurut McClelland (dalam Hadiwinata, 2002:103) terdapat 5 ciri kaum entrepreneur; 1. Dorongan untuk selalu mengambil sebuah resiko dalam bisnis (risktaking). Seorang entrepreneur biasanya selalu melakukan prediksi dan spekulasi dalam meramalkan besar kecilnya segmen pasar dan daya beli pelanggan yang potensial untuk mencapai keberhasilan bisnis 2. Dorongan untuk mau bekerja keras dalam mencapai suatu tujuan. Seseorang yang mengejar need for achievment cenderung akan bekerja lebih keras dalam menghadapi tantangan pekerjaan jika dibandingkan dengan orang yang lain yang bekerja “biasa saja”. 3. Dorongan untuk memiliki rasa tanggung jawab pribadi yang tinggi seperti dalam membuat keputusan perusahaan. Para pengusaha biasanya selalu bersedia memikul secara pribadi kesuksesan dan kegagalan yang dialami oleh perusahaan atau institusi dimana ia bekerja. 4. Dorongan memperdalam pengetahuan mengenai tujuan-tujuan yang nyata dengan melakukan penyusunan target-target yang dicapai seperti target jumlah keuntungan dan volume penjualan yang ditingkatkan. 5. Dorongan untuk membuat rencana jangka panjang dalam mengorganisasi perusahaan yang dipimpinnya. Para pengusaha selalu berpikir ke depan
16
(think ahead) dalam mencari alternatif, mengantisipasi tantangan dan memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari berbagai keputusan yang dibuat
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1996; 1130) seorang wirausaha
didefinisikan sebagai: “orang yang pandai atau berbakat mengenali produk , menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya”.
Menurut Schumpeter seperti yang dikutip dalam Swedberg (2000:15), ia mendefinisikan entrepreneurship atau kewirausahaan sebagai sebuah proses yakni; “..the making of a „new combination‟ of already existing materials and forces; that entrepreneurship consist of making innovations, as opposed to inventions; and that no one is an entrepreneur for ever, only when he or she is actually doing the innovative activity”, (pembuatan sebuah kombinasi baru dari bahan yang sudah ada dan kekuatan, bahwa kewirausahaan terdiri dari penciptaan inovasi, sebagai lawan dari penemuan, dan bahwa tidak ada seorang pengusaha selamanya, jika ketika dia benar-benar melakukan kegiatan inovatif)
Hisrich, et al (2008: 8) mendefinisikan kewirausahaan berkaitan dengan suatu proses penciptaan sesuatu yang baru dan memiliki nilai yang tidak hanya bernilai bagi sang entrepreneur tetapi juga bagi pasar atau dalam hal ini pembeli (buyer). “Entrepreneurship is the process of creating something new with value by devoting the necessary time and effort assuming the accompanying financial, psychic, and social risks, and receiving the resulting rewards of monetary and personal satisfaction and independence” (Kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang baru dengan nilai yang mengabdikan waktu dan upaya yang diperlukan dengan mengasumsikan resiko
17
keuangan, psikis, dan resiko sosial, dan menerima imbalan moneter dan kepuasan pribadi dan kemandirian).
Tabel 1.1 Konsep-Konsep Mengenai Kewirausahaan dan Wirausaha Konsep Entrepreneur dan Entrepreneurship 1930 - Ricard Cantilon
Entrepreneur
adalah
orang
keputusan-keputusan memanfaatkan
yang
mengambil
berinvestasi
dengan
sumber-sumber
daya
yang
kemudian ditransformasikan menjadi produk yang dapat menghasilkan keuntungan maupun kerugian. 1934 - Joseph Schumpeter
Entrepreneur
adalah
seorang
yang
inovator,
mampu menciptakan sesuatu yang baru. 1989 - Raymond Kao
Entrepreneur
adalah
seorang
yang
mengkombinasikan resiko, inovasi, keterampilan kepemimpinan, keahlian, dan orang yang kreatif yang menjadi pondasi untuk membangun dan memotivasi sebuah tim. 1961 - David McClelland
Entrepreneur mengambil
adalah resiko,
seorang ingin
yang
berani
mencapai
suatu
penghargaan, memiliki tanggung jawab bisnis, dan selalu berpikir ke depan. 2008 - Robert D. Hisrich
Entrepreneurship adalah proses menciptakan sesuatu yang baru dengan nilai yang mengabdikan waktu dan upaya yang diperlukan dengan mengasumsikan resiko
18
keuangan, psikis, dan resiko sosial, dan menerima imbalan moneter dan kepuasan pribadi dan kemandirian. Kewirausahaan berarti mengambil alih dan organisasi
1930 - Max Weber
dari bagian ekonomi, dimana kebutuhan masyarakat dipuaskan melalui pertukaran, demi menghasilkan keuntungan dan beresiko ekonomi pribadi. Sumber: Diolah Peneliti,2014
1.7.3
Proses Kewirausahaan
Mengkaji kewirausahaan sebagai proses adalah tugas utama seorang sosiolog karena banyak ahli berpendapat bahwa kewirausahaan adalah sebuah proses penciptaan organisasi baru (Weber dalam Swedberg, 2000; Aldrich dalam Smelser dan Swedber, 2005). Proses kewirausahaan
merupakan proses yang
melibatkan aktivitas dan tindakan yang berasosiasi dengan pengamatan peluang serta penciptaan organisasi baru dalam mengejar sebuah peluang (Bygrave, 2004). Dalam proses ini Bygrave menyebutkan sejumlah faktor yang mempengaruhi proses kewirausahaan diantaranya adalah faktor personal atau ciri pribadi, sosiologi dan lingkungan.
19
Gambar 1.2 Model Proses kewirausahaan Bygrave yang diadopsi dari model Carol Moore
Sumber: Bygrave, 2004:3
Ciri pribadi yang dimiliki seseorang seperti pengahargaan, kepercayaan diri, pengambilan resiko, pengalaman, pendidikan, kehilangan pekerjaan, ketidakpuasan pekerjaan, dapat memicu
seseorang berwirausaha. Aktivitas
wirausaha seringkali diidentikan dengan sesuatu yang inovatif dan hal ini mampu memicu seseorang dalam bisnis yang mana sifat inovatif sendiri dipengaruhi oleh kepribadian, kepercayaan diri, berani mengambil resiko, memiliki ide kreatif, model peran, dan peluang. Pada proses yang paling kritis yaitu dimana faktor sosiologikal berpengaruh pada dua tahap penting yakni tahap triggering dan implementation. Hal ini dapat dilihat bagaimana faktor seperti jaringan sosial, keluarga, dan teman dapat memperkuat keyakinan ide bisnis untuk di wujudkan dan bagaimana
20
bantuan yang diberikan oleh jaringan sosial pada proses pelaksanaan usaha tersebut. Menurut Hisrich et al (2008:11) proses kewirausahaan adalah proses dimana
seorang
pengusaha
harus
menemukan,
mengevaluasi,
dan
mengembangkan sebuah peluang dengan mengatasi kekuatan yang menghalangi terciptanya sesuatu yang baru. Menurutnya terdapat empat proses kewirausahaan yang harus dilalui oleh seorang wirausaha. 1. Identifikasi Peluang (Opportunity Identification) dan Evaluasi. Kebanyakan peluang usaha yang tepat tidak muncul tiba-tiba, melainkan harus melalui serangkaian proses dimana seorang wirausaha harus memiliki ketajaman melihat kemungkinan, pada beberapa kasus, pembentukan mekanisme yang dapat mengidentifikasi peluang potensial. Secara makro peluang usaha dapat diidentifikasikan berdasarkan kondisi lain seperti kemajuan teknologi, perubahan politik dan kebijakan, serta perubahan kondisi sosial demografis suatu wilayah (Shane, 2003). Pada tingkat mikro peluang dapat diidentifikasikan dengan menggunakan masukan dari pelanggan, asosiasi bisnis, anggota penyalur, dan orangorang teknis. Bahkan peluang usaha pada tingkat yang mikro ini dapat diperoleh dari ikatan sosial seperti orang tua yang berprofesi sebagai wirausaha (Aldrich dan Kim, 2007:33-82), relasi dari pengalaman kerja sebelumnnya (Johannisson, 1988), dan bahkan melalui ikatan pertemanan dan etnis (Zimmer dan Aldrich, 1987). Setelah peluang diidentifikasikan, hal selanjutnya yang dilakukan pengusaha adalah mengevaluasi dan menilai apakah produk atau jasa yang spesifik memiliki nilai 21
pengembalian yang memadai ketika dibandingkan dengan sumber daya yang dibutuhkan (Hisrich et al, 2008:14). 2. Rencana Bisnis (Business Plan) Bisnis yang baik harus dibangun berdasarkan konsep-konsep perencanan yang baik agar peluang dapat dicapai. Tahap ini adalah tahap yang paling memakan waktu dalam proses penciptaan usaha. Rencana bisnis yang baik adalah dengan mengembangkan peluang dan menentukan sumber daya yang dibutuhkan, mendapatkan sumber daya tersebut, serta mengelola usaha baru tersebut dengan sukses. Rencana bisnis yang baik meliputi konsep bisnis, rencana teknologi tepat guna, rencana pemasaran, rencana keuangan, rencana produksi, rencana organisasi, dan rencana operasi . 3. Menentukan Sumber Daya yang Dibutuhkan Proses ini diawali dengan penilaian sumber daya yang saat ini dimiliki pengusaha. Setiap sumber daya kritis harus dibedakan dari sumber daya yang hanya berfungsi membantu Pengusaha juga harus menilai resiko terburuk terkait dengan sumber daya yang tidak cukup ataupun tidak tepat. Tahap selanjutnya adalah mendapatkan sumber daya yang diperlukan dengan mengembangkan akses terahadap sumber daya yang dibutuhkan. Sumber daya ini dapat berupa pembiayaan awal usaha, keterampilan, pencarian tenaga kerja, dan akses pasar. 4. Mengelola Perusahaan Setelah sumber daya diperoleh, seorang pengusaha harus menggunakan mereka untuk menerapkan rencana bisnis. Tahap ini mungkin saja tidak sesuai dari rencana awal dan pengusaha akan menemukan berbagai 22
permasalahan baru. Sistem kontrol perlu ditetapkan sehingga masalah yang muncul bisa cepat diidentifikasi dan diselesaikan. Setelah berbagai persoalan dihadapi sebuah perusahaan akan melalui tahap menentukan yaitu tahap pertumbuhan usaha dan tahap bertahannya suatu usaha. Meskipun tahap bertahannya usaha dapat dikatakan tahap yang relatif stabil dengan keuntungan yang cukup, namun tetap memiliki resiko untuk mengalami kebangkrutan yang disebabkan banyak faktor baik dari dalam perusahaan maupun pengaruh luar.
1.8
Metode Penelitian
1.8.1
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif digunakan dengan alasan untuk
mengetahui
bentuk-bentuk
pengalaman
berwirausaha informan yang dideskripsikan melalui wawancara. Bogdan dan Taylor dalam (Moleong, 1989) mengatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
1.8.2
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan berdasarkan tema penelitian yaitu berlokasi di Yogyakarta yang menyesuaikan dengan lokasi usaha para wirausaha muda dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Alasan pemilihan lokasi di Yogyakarta karena peneliti memperhitungkan aspek biaya dan waktu yang relatif tidak terlalu tinggi apabila masih di dalam lingkup kampus dan wilayah tempat peneliti tinggal. 23
1.8.3
Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa S-1 Universitas Gadjah Mada yang memiliki kegiatan usaha atau kewirausahaan dan termasuk ke dalam kategori kelompok pemuda. Purposive sampling digunakan atas pertimbangan tertentu berdasarkan tujuan dari penelitian ini yaitu pengusaha muda (young entrepreneur). Peneliti mencari informan dari berbagai kontak sosial peneliti baik dari teman maupun kenalan peneliti. Tehnik yang pertama peneliti lakukan adalah bertanya dengan teman-teman peneliti apakah mereka memiliki teman yang sesuai dengan kriteria penelitian. Kriteria pemilihan informan dalam
penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1. Memiliki usaha sendiri atau kelompok maupun usaha keluarga 2. Terlibat dalam pembuatan keputusan strategis dalam usaha 3. Lama usaha yang dijalankan minimal 1tahun 4. Berusia antara 15 sampai 29 tahun 5. Sebagai mahasiswa di Universitas Gadjah Mada
1.8.4
Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dilakukan dimulai dengan observasi terhadap pelaku usaha yang berasal dari teman peniliti maupun rujukan dari teman peniliti sendiri. Observasi dilakukan untuk melihat secara langsung proses dan aktivitas calon informan yang akan diamati serta mengetahui gambaran singkat mengenai latar belakang calon informan. Peneliti berperan sebagai pengamat yang artinya
24
hubungan antara peneliti dan subjek yang diteliti bersifat terbuka dan subjek tahu peneliti sebagai peneliti sedangkan subjek tahu sebagai orang yang diteliti. Wawancara dilakukan untuk mengetahui latar belakang proses yang terjadi, tahapan-tahapan proses tersebut, dan interpretasi dari subjek penelitian. Tehnik ini dilakukan dengan maksud mendapatkan informasi yang dalam dan lengkap dari subjek penelitian agar data penelitian dapat dipertanggungjawabkan sesuai rumusan masalah penelitian. Dengan menggunakan interview guide diharapkan proses pengumpulan data dapat terfokus pada karakteristik persoalan sehingga dapat menjelaskan maksud dari tujuan penelitian. Namun penelit juga melakukan depth interview atau wawancara mendalam dengan memberikan kebebasan kepada informan untuk bercerita mengenai berbagai pengalaman mereka. Dokumentasi juga dilakukan untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Tehnik dokumentasi dilakukan dengan alat seperti kamera untuk mengambil foto aktivitas kewirausahaan. Selain itu, alat perekam digunakan untuk menjaga kredibilitas data penelitian dan memudahkan peneliti dalam menganalisis hasil percakapan dengan subjek penelitian dan informan. Kemudian untuk menguji keabsahan atau kredibilitas data tehnik tringulasi juga dilakukan guna menggabungkan dari berbagai tehnik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Misalnya peneliti menggunakan observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak.
25
1.8.5
Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun pola, memilih mana yang penting, dan dan membuat kesimpulan yang dapat dipahami oleh diri sendiri dan orang lain (Sugiyono, 2004:335). Penelitian dengan metode kualitatif sangat dinamis, karena tidak terikat dengan norma-norma yang bersifat mutlak, seperti pada metode penelitian kuantitatif. Menurut Patton (1990) dalam sebuah penelitian kualitatif tidak memiliki rumus maupun aturan yang ketat untuk mengoah dan menganalisis data sehingga peneliti diberikan keluasan untuk mendeskripsikan objek yang ditelitinya. “In short, there are no absolute rules expect to do the very best your full intellect to fairly represent the data and communicate what the data reveal given the purpose of the study”. (Singkatnya, tidak ada aturan mutlak yang mengharapkan anda untuk melakukan intelektualitas yang terbaik untuk mewakili data dan mengkomunikasikan data apa yang diungkapkan sebagai tujuan penelitian.
Cresswell
(1998) mengatakan bahwa dalam
analisis
data
yang
dikumpulkan dari hasil wawancara harus direduksi (diseleksi, dirangkum, dan dipilih), kemudian diinterpretasikan (ditafsirkan) dan hasil analisis laporan dibuat kedalam bentuk narasi yang menjelaskan makna dari data. Tiga tahap yang ilakukan dalam proses analisis data yaitu:
26
1. Reduksi Data, data yang dikumpulkan dari hasil wawancara yang diseleksi, dirangkum, dan dipilih sesuai fokus penting dalam tujuan penelitian. 2. Penyajian Data, data yang dikumpulkan kemudian ditampilkan dalam teks naratif , tabel, dan lainnya sehingga mudah dipahami dan menunjukan validitas data. 3. Kesimpulan, penarikan kesimpulan dilakukan setelah data dikroscek dan diverifikasi ulang untuk memerkuat validitas data yang kemudian dirangkum sebagai hasil penelitian yang telah menjawab rumusan permasalahan.
27