BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Free To Play adalah Film Dokumenter yang dibuat oleh Valve, salah satu developer game yang ada didunia. Film yang ditayangkan secara gratis pada tahun 2014 ini bertujuan untuk memberikan wawasan tentang Game DOTA, menceritakan tentang turnamen The International yang pertama dengan hadiah USD 1,6 juta dan juga menceritakan tentang pengalaman dan pengorbanan yang harus dilakukan agar menjadi seorang Gamer Profesional. Film ini ditonton oleh jutaan orang dari seluruh dunia melalui youtube1 dan mendapatkan rating 8.2 dari disalah satu situs film didunia IMDb.2 Sebuah Film Dokumenter yang berfokus pada kehidupan Profesional Gamer memang terhitung langka dipasaran, dan Valve terhitung berhasil menghadirkan film yang sangat menarik dan inspiratif baik dari sisi teknis maupun konten. Unsur sinematik, dramatis dengan serangkaian ekstra CGI (Computer Generated Imagery) eksklusif yang mampu memanjakan mata bagi yang melihatnya. Namun daya tarik utama film ini yaitu yang terletak pada faktanya sebagai penyelenggara event historis didunia E-Sport yang mana hadiah uang USD 1.6 juta yang menjadi pertaruhannya. Hal tersebut sangatlah luar biasa karena pada tahun 2011 baru Valve yang berani menyelenggarakan turnamen dengan hadiah terbesar didunia untuk turnamen game sehingga mampu mendatangkan tim-tim terbaik dari seluruh dunia. Dan juga kehidupan Profesional 1
Free To Play (2014, 19 Maret). Youtube [online] diakses pada tanggal 15 Maret 2016 dari https://www.youtube.com/watch?v=UjZYMI1zB9s 2 Free To Play (2014, 19 Maret). IMDb [online] diakses pada tanggal 15 Maret 2016 dari http://www.imdb.com/title/tt3203290/
1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
Gamer yang tidak kalah pentingnya didalam film tersebut, berbagai resiko yang harus dihadapi sebelum mencapai puncak ketenarannya disajikan dengan sangat baik melalui 3 tokoh utama yaitu Daniel “Dendi” Ishutin, Clinton “Fear” Loomis dan Benedict “Hyhy” Lim Han Yong yang memiliki latar belakang dan negara yang berbeda-beda. Banyak masyarakat yang memandang negatif dari sebuah permainan game, khususnya orang tua selalu memberi edukasi bahwa game adalah alat yang dapat merusak otak karena banyak sekali unsur kekerasan dan tidak manusiawi didalamnya. Padahal video game bukanlah kartun penuh darah yang diributkan media dan dirisaukan orang tua. Game-game tersebut hanya diributkan ketika terjadi tragedi atau ketika media massa kekurangan berita.3 Masyarakat selalu beranggapan bahwa video games adalah ancaman terbesar bagi anakanak atau hanya buang waktu belaka, karena terdapat unsur-unsur anti sosial, kekerasan, seksisme dan kebodohan.4 Seorang gamer selalu mendapat stereotip dari masyarakat bahwa orang yang bermainan game memiliki pemikiran yang seperti anak-anak, selalu terisolasi dari kehidupan nyata, memiliki attitude yang buruk dan selalu dicap dengan manusia yang tidak produktif. Terkadang bermain games adalah suatu bentuk pelarian dari dunia nyata karena memiliki masalah dan tidak ada solusi untuk mengatasinya. Ketika bosan dengan realitas, bisa memilih game lain dan jika bosan ada game lain untuk dimainkan.5 Game merupakan hiburan bagi manusia ketika jenuh dengan keadaan sekitar dan ingin mengabiskan waktunya untuk melupakan sejenak permasalahan yang ada.
3
Beck, C. John, dan Mitchell Wade. Gamers Juga Bisa Sukses, Jakarta: Grasindo, 2007 Hal 22 Ibid. Hal 23 5 Ibid. Hal 16 4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
Gamer Profesional memang bukanlah sebuah perkerjaan yang lazim di dunia, karena tidak ada hal lain yang dilakukan kecuali hanya bermain Game. Tetapi seorang Profesional Gamer yang mengikuti Turnamen demi Turnamen mampu memiliki penghasilan yang lebih dari orang-orang yang bekerja sebagai karyawan. Di film ini eksistensi sebagai Gamer Profesional berusaha ditonjolkan melalui kisah dari 3 tokoh utama dengan menceritakan kisah dan latar belakang mereka untuk mengikuti Turnamen DOTA di Cologne, Jerman. Anti mainstream, itulah yang terpikirkan jika ingin menjadikan Game sebagai profesi. Bagi sebagian masyarakat jika mendengar ucapan seseorang yang ingin menjadi Gamer Profesional biasanya langsung berpikiran negatif. Anak-anak selalu diarahkan untuk selalu belajar dan mengejar pendidikan untuk modal dimasa depan. Bermain game bagi orang tua adalah kegiatan negatif, yang hanya menghamburkan waktu dan uang. Hal tersebut tidaklah salah, karena pendidikan merupakan hal yang penting untuk diraih. Tetapi pemikiran orang tua yang kuno juga tidak selalu benar, bahwa selain pendidikan juga banyak hal yang mampu menunjang masa depan seorang anak yaitu tidak selalu harus menjadi karyawan yang bekerja dikantor dan memakai baju dan jas tetapi hobi yang digeluti juga bisa menjadi sebuah pekerjaan jika digeluti dengan sungguh-sungguh. Hal inilah yang berusaha ditampilkan dalam Film Dokumenter Free To Play, mengubah pandangan masyarakat bahwa Eksistensi Gamer Profesional juga merupakan pekerjaan yang mampu menghasilkan uang. Tidak hanya melulu pekerjaan mubazir yang menghabiskan uang dan waktu, tetapi juga merupakan sebuah usaha dan kerja keras untuk menjadi yang terbaik dan menghasilkan uang dibidangnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
Benedict “HyHy” Lim berkewarganegaraan Singapura yang sedang menjalani masa ujian di Universitasnya tengah mengalami dilema karena ingin mengikuti The International tetapi dari pihak keluarga dan Universitas tidak menginjinkan. Clinton “Fear” Loomis berkewarganegaraan Amerika yang ingin merintis karir gamingnya dengan membentuk Tim Dota 2 mendapat masalah karena umur yang sudah 25 tahun dan Ibunya ingin agar dia segera mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidup. Dan Danil “Dendi” Ishutin warga negara Ukraina yang setelah lulus dari Universitas hanya ingin menghabiskan waktunya untuk bermain game demi melupakan kesedihan atas meninggalnya sang ayah di usia muda. 3 aktor utama dalam Film Free To Play memiliki masalah kehidupan yang berbeda-beda. Berbagai halangan dan cobaan mereka hadapi hanya untuk mewujudkan sebuah impian, yaitu demi menjadi seorang Profesional Gamer dan ingin mengikuti The International pertama demi mewujudkan impian mereka. Mereka begitu yakin dan tidak ingin melepaskan kesempatan sekali seumur hidup untuk membuktikan diri mereka bahwa selama ini apa yang mereka kerjakan bukanlah main-main, tetapi sebuah kerja keras dan konsistensi terhadap impian menjadi seorang Profesional Gamer. Film adalah salah satu bentuk karya seni yang menjadi fenomena dalam kehidupan modern. Sebagai objek seni abad ini, film dalam proses berkembangnya menjadi salah satu bagian dari kehidupan sosial, yang tentunya memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada manusia sebagai penonton. Sebuah film merupakan bagian yang cukup penting dalam media massa untuk menyampaikan suatu pesan atau setidaknya memberikan pengaruh kepada khalayaknya untuk meyakini sesuatu. Film merupakan salah satu media komunikasi massa sebagai gambar hidup yang juga sering disebut movie atau sinema. Film adalah sarana komunikasi massa yang digunakan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
untuk menghibur, memberikan informasi serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, komedi dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum.6 Berkat unsur inilah film merupakan salah satu bentuk alternative yang banyak diminati masyarakat, karena dengan mengamati secara seksama apa yang memungkinkan ditawarkan sebuah film melalui peristiwa yang ada dibalik ceritanya, film juga merupakan ekspresi atau pernyataan dari sebuah kebudayaan, serta mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat. Alasan penulis mengangkat Film Dokumenter Free To Play adalah karena Film Free To Play bisa saja adalah film yang melakukan kritik sosial atas pemikiran masyarakat yang mendiskreditkan sebuah profesi Gamers. Profesi Gamer adalah sebuah profesi pekerjaan yang anti mainstream karena pola pikir masyarakat tentang profesi pekerjaan adalah menjadi karyawan atau orang kantoran yang memakai jas dan dasi dan duduk dikantor selama berjam-jam. Secara tidak langsung film ini menyinggung pemikiran orang-orang yang memiliki pola pikir kuno, yang artinya jenis pekerjaan selain menjadi orang kantoran adalah pekerjaan yang tidak akan sukses dimasa depan. Maka didalam film terdapat informasi yang disajikan dengan baik agar mampu mengubah pandangan tersebut. Banyak sekali sekali mahasiswa yang telah menyelesaikan kuliahnya selalu ingin menjadi PNS. Padahal banyak sekali jenis pekerjaan dan profesi yang bisa dipilih, dan juga jika dilakukan dengan sungguh-sungguh tanpa kenal menyerah akan memiliki karir yang sukses dimasa depan. Pola pikir seperti itu sudah sangat mendarah daging dan mahasiswa yang telah lulus kuliah selalu dihadapkan dengan posisi yang sulit bahwa setelah lulus kuliah harus segera mendapatkan pekerjaan yang tetap. 6
Mcquail, Denis. Teori Komunikasi Massa edisi kedua, Jakarta: Erlangga. 2003 hal 13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
Sebuah fenomena sosial dimasyarakat yang ditujukan bagi orang-orang yang hanya bermain game adalah sebuah stereotip negatif. 7 Pandangan-pandangan meremehkan dan bahwa gamer adalah sekumpulan orang-orang yang malas sangatlah melekat. Sebuah ketimpangan sosial terhadap gamer karena tidak mendapat pengakuan dari masyarakat masih sangat dirasakan khususnya di Indonesia. Film ini berusaha mengubah stereotip negatif terhadap gamer dan mencoba memberikan edukasi yang lebih mendalam tentang profesi seorang gamer. Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis akan mencoba meneliti wacana didalam Film Dokumenter Free To Play. Penulis akan menganalisis tentang Eksistensi Profesional Gamer didalam film tersebut. Apakah dalam penyajiannya film ini merupakan kritik sosial terhadap masyarakat yang memandang rendah profesi sebagai Gamer. 1.2. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah untuk memahami Eksistensi terhadap Profesi Gamer yang ditampilkan melalui Film Dokumenter Free To Play. 1.3. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latas belakang diatas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah: “Bagaimana Eksistensi Profesi Gamer yang Ditampilkan Dalam Film Dokumenter Free To Play?” 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap realitas semu Eksistensi Profesi Gamer yang ditampilkan Dalam Film Dokumenter Free To Play. Fenomena Sosial “Game On-Line Addiction Disorder” (2013, 14 April). Kompasiana.com [online] diakses pada tanggal 7 Juli 2016 dari http http://www.kompasiana.com/cresensia/fenomena-sosial-game-on-line-addictiondisorder_552826c86ea8341a4d8b45bf
7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Akademis Penelitian yang membahas tentang Eksistensi Profesi Gamer dalam Film Dokumenter Free To Play diharapkan dapat menguji teori-teori tentang Eksistensi didalam sebuah film kepada khalayak, dan juga diharapkan menjadi referensi bagi mahasiswa yang akan datang. 1.5.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi Gamer dan orang-orang yang bekerja di dunia Gaming agar tidak ragu untuk memulai karirnya dibidang game. 1.5.3. Manfaat Sosial Penelitian ini juga diharapkan berguna bagi masyarakat yang pada umumnya senang dengan menonton film sehingga dapat mengetahui wacana-wacana yang ditampilkan dalam film.
http://digilib.mercubuana.ac.id/