BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan
umum
dan
tujuan
nasional.untuk
mencapai
hal
tersebut
diselenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah program pemberantasan penyakit menular yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian, kecacatan dn mencegah penyebaran penyakitnya (Depkes RI, 1999). Indonesia merupakan salah satu negara yang masih menghadapi berbagai masalah kesehatan termasuk masih tingginya prevalensi penyakit infeksi terutama yang berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan perilaku higienitas yang belum baik. Salah satu penyakit yang insidennya masih tinggi adalah infeksi cacingan yang merupakan salah satu penyakit yang berbasis sanitasi dan higienitas yang buruk (Depkes RI, 1999). Penyakit cacingan adalah penyakit cacingan usus yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut Soil Transmitted Helminths (STHs) yang sering dijumpai pada anak usia Sekolah Dasar di mana pada usia ini anak masih sering kontak dengan
Universitas Sumatera Utara
tanah. Ada 3 jenis cacing yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura), (Depkes RI, 2004) Menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan 800 juta- 1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700-900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris. Prevalensi tertinggi ditemukan di negara-negara yang sedang berkembang (Depkes RI, 1999). Diperkirakan 1,47 milyar penduduk dunia menderita ascariasis, dengan morbidity rate 23,7% dan mortality rate 0,02%. Penderita trichuriasis diperkirakan 1,3 milyar penduduk dunia, dengan morbidity rate 20,9% dan mortality rate 0,005%, sementara 1,3 milyar penduduk dunia menderita infeksi hookworms dengan morbidity rate 12,3% dan mortality rate 0,04% (Sur, 2003, dan Mascie, 2006). Prevalensi infeksi cacing STHs mencapai 50-75% di banyak negara di Asia (Sur,2003).
Prevalensi
infeksi
di
Indonesia,
menurut
beberapa
penelitian
menunjukkan prevalensi yang relatif tinggi, lebih dari 60-70%, dan prevalensi terbesar ditemukan pada anak balita dan anak usia sekolah dasar (Judarwanto, 2005). Awastni et.al., 2003 juga menyatakan infeksi cacing memiliki efek yang tersembunyi pada pertumbuhan dan perkembangan, efek yang ditimbulkan bersifat kronis dan menginfeksi lebih dari 33,3 % penduduk dunia yang akan terinfeksi seumur hidup. Diperkirakan infeksi cacing menimbulkan 12% dari total beban penyakit/disease burden.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Bethony et.al., 2006 infeksi cacing merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang utama di negara miskin atau negara berkembang, dan menempati urutan tertinggi pada angka kesakitan yang ditimbulkan pada anak usia sekolah. Terjadinya infeksi tidak hanya bergantung pada kondisi lingkungan ekologi suatu wilayah saja, tetapi juga bergantung pada standar sosioekonomi masyarakat setempat. Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa yang akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik maupun intelektualnya, dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa peneliti ternyata menunjukkan bahwa usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI,2004), Perilaku hidup tidak bersih dan tidak sehat merupakan salah satu penyebab terjadinya kecacingan pada anak. Penyakit kecacingan ditularkan melalui tangan yang kotor, kuku panjang dan kotor menyebabkan telur cacing terselip. Penyebaran penyakit cacing salah satu penyebabnya adalah kebersihan pribadi (personal hygien) yang masih buruk. Penyakit cacing dapat menular di antara murid sekolah yang sering berpegang tangan sewaktu bermain dengan murid lain yang kukunya tercemar telur cacing (Hendrawan, 1997). Sampai saat ini penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pendesaan, ada beberapa faktor
yang
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi diantaranya adalah sanitasi lingkungan yang belum memadai, kebersihan pribadi (Personal Hygiene), tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah dan perilaku hidup sehat yang belum memadai (Rampengan, 1997). Upaya pencegahan dan penanggulangan infeksi kecacingan dapat dengan cara meningkatkan pengetahuan dan perilaku keluarga tentang hygiene perorangan serta sanitasi lingkungan dan makanan meliputi mandi pakai sabun 2 kali sehari, Memotong dan membersihkan kuku, Cuci tangan sebelum makan dan sehabis buang air besar, Memasak makanan dan minuman,
Buang air besar di jamban yang
memenuhi syarat, Menjaga kebersihan lingkungan rumah, menggunakan air bersih. Menurut Hasyimi, dkk,( 2001), kegiatan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan dapat berlangsung secara berkesinambungan apabila masyarakat turut berperan aktif dalam program, termasuk orang tua murid harus diyakinkan pentingnya program tersebut. Infeksi ini lebih banyak ditentukan oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan. Pencegahan infeksi berulang sangat penting dengan membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat seperti menghindari kontak dengan tanah yang kemungkinan terkontaminasi feses manusia, cuci tangan dengan sabun dan air sebelum memegang makanan, lindungi makanan dari tanah dan cuci atau panaskan makanan yang jatuh ke lantai (Lilisari, 2007) Wisnungsih (2004), penelitian pada siswa SDN Keburuhan Kecamatan Ngombol Kabupaten Purwerejo menemukan bahwa ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian infeksi cacing. Selanjutnya Widyaningsih (2004)
Universitas Sumatera Utara
menemukan bahwa perbedaan kejadian infeksi cacing usus pada anak sekolah dasar di Desa Tertinggal dan non Tertinggal Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar dengan hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara mencuci tangan sebelum makan, kebiasan memakai sandal, keadaan kuku dan frekuensi potong kuku terhadap kejadian infeksi cacing. Sejalan dengan Sutanto (1992), di SD jarakan dan SD Ngoto Kecamatan sewon Bantul Yogyakarta tentang infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah menunjukan bahwa intensitas infeksi Ascaris dan trichuris berpengaruh status gizi anak. Salah satu gejala yang sering ditimbulkan oleh adanya infeksi cacingan adalah muntah dan mencret (diare). Selain itu, Ascaris lumbricoides yang merupakan salah satu jenis cacing perut yang umum dijumpai pada anak-anak dapat menyebabkan kematian karena penyumbatan pada usus halus dan saluran empedu (Siregar, 1996). Berdasarkan hasil survey tahun 2002 di 10 Provinsi di Indonesia dengan sasaran anak Sekolah Dasar, Prevalensi kecacingan di Indonesia antara 4,8 % sampai dengan 83,0 %. Infeksi cacing menyebabkan kehilangan darah murid sekolah dasar di Indonesia sebanyak 16.863.000 liter darah per tahun (Dirjen P2M & PL, 2004). Menurut Kepmenkes RI No. 4246 Tahun 2006 tentang pengendalian kecacingan, bahwa prevalensi kecacingan diharapkan di bawah angka 10%. Hasil kegiatan survei yang dilakukan dari beberapa kabupaten di propinsi Aceh darussalam tahun 2006, didapatkan persentase kecacingan yang tertinggi adalah Kabupaten Aceh Barat (56.60%), Aceh Besar (50.75), Pidie (45,65%), Biruen (43,53%), Lhoksumawe (41,75%).(World Food Programe,2008).
Universitas Sumatera Utara
Dari sekitar 23 SD di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat, SD Gunong Kleng, SD Meureubo dn SD Pasie Pinang yang merupakan SD dengan persentase kecacingan paling tinggi, Dari 208 murid SD yang diperiksa terdapat 60 murid yang terinfeksi cacing (Laporan P2M Puskesmas Meurebo, 2008). Berdasarkan hasil survey pendahuluan pada 3 SD diketahui bahwa banyak anak-anak SD yang bermain tanpa memakai sandal/sepatu, memakan makanan tanpa terlebih dahulu mencuci tangan, memiliki kuku yang kotor, serta memakan jajanan yang kurang terjaga kebersihannya. Berdasarkan fenomena di atas peneliti tertarik untuk mengetahui ”Pengaruh perilaku higienitas (pengetahuan, sikap dan tindakan) terhadap kejadian kecacingan pada murid SD di Kecamatan Meurebo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010.
1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pngaruh perilaku higienitas (pengetahuanm sikap dan tindakan) terhadap kejadian kecacingan pada murid SD di Kecamatan Meurebo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010”.
1.3. Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh perilaku higienitas (pengetahuan, sikap dan tindakan) terhadap kejadian kecacingan pada murid SD di Kecamatan Meurebo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh perilaku higienitas (pengetahuan, sikap dan tindakan) terhadap kejadian kecacingan pada murid SD di Kecamatan Meurebo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010.
1.5. Manfaat Penelitian. a. Dinas Kesehatan Sebagai bahan masukan dalam perencanaan upaya konkrit dalam mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan penyakit kecacingan. b. Puskesmas Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam usaha pencegahan dan cara pengobatan yang berhubungan dengan penyakit kecacingan c. Masyarakat Sebagai tambahan informasi dalam usaha peningkatan kualitas kesehatan melalui penambahan wacana personal hygiene dalam pencegahan infeksi kecacingan. d. Peneliti Menambah wawasan dalam usaha pencegahan maupun pengobatan serta melaksanakan
berbagai
program
pemberantasan
penyakit
kecacingan
khususnya pada murid SD.
Universitas Sumatera Utara