BAB 1 PENDAHULUAN Di dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian, identifikasi kerangka kerja konseptual, pertanyaan penelitian, variabel penelitian, dan manfaat penelitian. 1.1 Latar Belakang Penyakit saluran pernapasan merupakan sumber yang paling penting pada status kesehatan yang buruk dan mortalitas di kalangan anak berusia balita. Penyebab utamanya adalah karena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) atau Acute Respiratory Infection (ARI) baik yang disebabkan oleh bakteri maupun karena virus (WHO, 2009). ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih di saluran napas mulai dari hidung (saluran atas), hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan selaput pleura (Depkes, 2009). Populasi yang rentan terkena ISPA adalah anak usia balita yaitu berkisar 0-5 tahun. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan bersifat ringan seperti batuk, pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun, apabila infeksi yang bersifat ringan tersebut mengarah ke infeksi berat dapat menyebabkan pneumonia dan mengakibatkan kematian pada anak balita. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai jumlah penduduk paling besar di dunia yaitu tahun 2005 mencapai 218.868.791 jiwa. Meningkatnya kepadatan penduduk di Indonesia ditunjang juga oleh meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas. Angka mortalitas yang terus meningkat disebabkan oleh penurunan daya tahan tubuh maupun karena 1
penyakit kronik dan akut. Hal ini pun terjadi pada anak balita yang kehidupannya sangat rentan oleh penyakit. Hasil survei kesehatan nasional (Surkesnas) pada tahun 2004 menunjukkan kematian balita akibat ISPA sebesar 28%, artinya 28 dari 100 anak dapat meninggal akibat penyakit ISPA. Tahun 2003 menunjukkan bahwa angka kematian balita di Indonesia mencapai 46% dan menurut data statistik Indonesia menyatakan bahwa terdapat 51.1% balita meninggal setiap tahunnya (statistik Indonesia, 2010) . Menurut data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 di Indonesia menunjukkan kasus ISPA di masyarakat diperkirakan sebanyak 10% dari populasi. Propinsi Jawa Barat adalah salah satu propinsi kedua terbesar yang endemik ISPA dengan persentase sebesar 42.50%. Daerah endemik yang pertama adalah propinsi Nusa Tenggara Barat dengan persentase 56.50% dan ketiga adalah Kepulauan Bangka Belitung. Di kabupaten Tangerang prevalensi klinis ISPA masih tinggi yakni dikategorikan 6.6% dengan diagnosa tetap dan 29.8% diagnosa gejala (Riskesdas Banten, 2007). Menteri kesehatan Endang R. Sedyaningsih (2009) dalam Depkes (2009) menyebutkan bahwa tingginya angka kejadian ISPA di masyarakat menyebabkan kunjungan pasien di sarana Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) meningkat berkisar antara 40-60% dan sisanya kunjungan ke rumah sakit sebanyak 15-30% yang diakibatkan oleh ISPA Tingginya angka kejadian ISPA pada balita juga terjadi di Puskesmas Binong kabupaten Tangerang. Hasil data yang diperoleh di Puskesmas Binong dari bulan April-September 2010 mengenai penderita ISPA yang berusia balita (0-5 tahun) terdapat 430 kasus atau 51%. ISPA pada balita di 2
Puskesmas Binong merupakan kasus yang paling banyak atau berada pada urutan pertama diikuti urutan kedua demam tifoid, ketiga penyakit kulit non spesifik, keempat batuk dan kelima diare. Sedangkan angka kejadian ISPA pada balita dari bulan April-September 2010 di Puskesmas yang berdekatan dengan Puskesmas Binong yaitu Puskesmas Kelapa II terdapat 89 kasus, Puskesmas Jl. Mas sebanyak 224 kasus dan Puskesmas Jl. Kutai sebanyak 193 kasus. Pemerintah Indonesia telah secara khusus mencanangkan Program Pemberantasan ISPA (P2ISPA) yang dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian terutama pada balita yang disebabkan oleh ISPA. Pemerintah menargetkan bahwa di tahun 2010 temuan balita dengan ISPA di masyarakat sebesar 100%, target yang ditangani 100% dan target Case Fatality Rate (CFR) ISPA sebesar 0% (Sinambela, 2010). Di Puskesmas Binong, P2ISPA sebenarnya telah berjalan dengan cukup baik dan target cakupannya mencapai 100% dan yang telah dicapai kurang lebih 60%. Program yang telah dilakukan oleh Puskesmas seperti pemberian pengobatan bagi penderita di Puskesmas dan program penyuluhan tentang ISPA di masyarakat bekerja sama dengan para kader Posyandu. Penyuluhan berupa pengajaran singkat tentang ISPA dan cara pencegahannya serta pembagian brosur-brosur yang berisikan materi tentang ISPA yang tentunya dengan bahasa yang mudah diingat oleh masyarakat. Posyandu mendukung program yang lakukan oleh Puskesmas juga dengan cara apabila menemukan
3
balita yang terkena gejala ISPA di masyarakat maka dianjurkan untuk segera di bawa ke Puskesmas untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Matrianda (2001) menyatakan bahwa secara umum proses pelaksanaan P2ISPA termasuk supervisi sejak mulai dari perencanaan, jadwal supervisi, frekuensi kegiatan, maupun dalam pelaksanaannya berupa pengamatan, pembinaan maupun pembimbingan serta pemecahan masalah, sisi pencatatan dan pelaporan kegiatan kenyataannya belum memenuhi harapan. Sebagai sasaran utama dalam mempromosikan kesehatan terutama pencegahannya di mulai dari tatanan terkecil yaitu keluarga. Keluarga atau rumah tangga merupakan unit masyarakat terkecil yang terdiri dari orang tua dan anak. Untuk mengurangi kemungkinan balita terkena ISPA dapat dilakukan upaya pencegahan. Pencegahan merupakan faktor yang harus diprioritaskan dalam mengatasi masalah kesehatan sehingga diharapkan terjadi penurunan yang berarti terhadap angka kesakitan dan kematian akibat suatu penyakit (Anderson & Judith, 2006). Pencegahan ISPA pada balita, orang tua harus mengerti tanda dan gejala ISPA, penyebab, serta faktor-faktor yang mempermudah balita untuk terkena ISPA. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit ISPA menyebabkan tingginya kejadian ISPA pada balita dan membuat orang tua tidak mengobati anaknya ketika terkena ISPA sehingga memperburuk keadaan infeksi yang dialami oleh anak (Nurjazuli dan Widyaningtyas, 2006). Orang tua, terutama ibu merupakan peletak dasar perilaku yaitu perilaku kesehatan yang baik bagi anak-anak (Notoatmodjo, 2003). Peran ibu sangat 4
berpengaruh dalam menjaga kesehatan anak. Perilaku ibu yang positif seperti kegiatan imunisasi dan membuka ventilasi rumah dapat membuat keadaan anak sehat atau kuat. Sebaliknya, apabila perilaku ibu yang negatif seperti jarang membersihkan rumah dan lingkungan sekitarnya dapat menyebabkan anak mudah terserang penyakit. Perilaku ibu seperti pemberi makanan, perawatan balita yang kurang baik dapat memengaruhi terjadinya ISPA (Riza & Shobur, 2008). Untuk mendapatkan perilaku ibu yang baik ditentukan oleh tingkat pengetahuan ibu yang diperoleh melalui pendidikan. Perubahan perilaku kesehatan dapat melalui pendidikan yang diperoleh sehingga mampu mempromosikan kesehatan lewat pemberian informasi mengenai kesehatan. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan untuk pengembangan diri. Pemberian informasi ini dapat meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan. Menurut Herman (2002) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin mudah
pula
menerima
serta
mengembangkan
pengetahuan
untuk
meningkatkan produktifitas serta meningkatkan kesejahteraan keluarga. Pengetahuan yang ibu peroleh dapat menentukkan peran sakit maupun sehat bagi anaknya. Banyak ibu yang belum mengerti serta memahami tentang kesehatan anaknya, termasuk dalam cara pencegahan maupun penanganan apabila terserang oleh suatu penyakit. Hal ini dapat didasari oleh tingkat pengetahuan ibu dalam melindungi balita dari sesuatu penyakit yang mengancam hidup baik yang menular maupun tidak menular (Nurjazuli dan Widyaningtyas, 2006). 5
Data yang di dapat dari kelurahan Binong tahun 2009 menyatakan bahwa 80% penduduk wilayah kelurahan Binong mempunyai latar belakang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Ibu yang mempunyai balita dan tinggal di RW 02 Kampung Binong mengikuti kegiatan Posyandu di Posyandu Melati III Kampung Binong. Jumlah ibu yang mempunyai balita di Posyandu ini sekitar 80 orang. Oleh karena itu, penelitian ini memilih ibu dari balita untuk dijadikan responden. Hal ini, dikarenakan ibu memiliki peranan yang besar untuk meningkatkan kesehatan keluarganya terutama bagi balita yang sedang berkembang baik dalam hal mendidik maupun sebagai juru rawat di keluarga dan mudah dijadikan role model oleh balita dalam perilaku dan tindakannya. Penyuluhan kesehatan tentang ISPA telah dilakukan di Puskesmas Binong namun, pada kenyataannya tingkat kejadian ISPA masih tetap tinggi target yang ditentukan oleh pemerintah belum terealisasi secara maksimal. Hal ini menandakan bahwa banyak faktor yang dapat menyebabkan ISPA pada balita dan salah satu faktornya adalah pengetahuan. Maka dalam penelitian ini hanya akan mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan tentang ISPA antara ibu yang memiliki balita pernah ISPA dan belum. Tingkat pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi tiga domain menurut Benjamin Bloom (1956) antara lain domain kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan). Kognitif merupakan proses berpikir dalam melakukan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, afektif merupakan respon tertutup dari seseorang mengenai suatu objek dan psikomotor adalah berhubungan dengan gerakan atau keterampilan dalam melakukan sesuatu (Bastable, 2002). 6
1.2 Rumusan Masalah Terdapat 51% jumlah kasus ISPA pada balita yang datang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas Binong. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas maka rumusan masalah penelitian yaitu ”adakah perbedaan tingkat pengetahuan tentang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) antara ibu yang memiliki balita pernah ISPA dan belum di Posyandu Melati III Kampung Binong?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum: Tujuan
yang ingin
dicapai
dalam penelitian ini
adalah untuk
mendeskripsikan perbedaan tingkat pengetahuan tentang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) antara ibu yang memiliki balita pernah ISPA dan belum di Posyandu Melati III Kampung Binong. 1.3.2 Tujuan khusus: 1. Mengidentifikasi perbedaan tingkat pengetahuan tentang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) antara ibu yang memiliki balita pernah ISPA dan belum berdasarkan “domain tahu” di Posyandu Melati III Kampung Binong. 2. Mengidentifikasi perbedaan tingkat pengetahuan tentang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) antara ibu yang memiliki balita pernah ISPA dan belum berdasarkan “domain paham” di Posyandu Melati III Kampung Binong.
7
3. Mengidentifikasi perbedaan tingkat pengetahuan tentang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) antara ibu yang memiliki balita pernah ISPA dan belum berdasarkan “domain aplikasi” di Posyandu Melati III Kampung Binong. 4. Mengidentifikasi perbedaan tingkat pengetahuan tentang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) antara ibu yang memiliki balita pernah ISPA dan belum di Posyandu Melati III Kampung Binong.
1.4 Identifikasi Kerangka Kerja Konseptual Kejadian ISPA pada balita dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang ibu miliki dalam meningkatkan kesejahteraan kesehatan bagi anaknya. Seperti ibu yang berpendidikan tinggi lebih mudah mengetahui gejala ISPA, cara penanggulangan dan tindakan apa yang harus dilakukan jika balitanya terkena ISPA. Sebaliknya ibu yang berpendidikan rendah akan mengalami kesulitan dalam mencerna nilai-nilai baru tersebut, sehingga pengetahuan menyangkut masalah ISPA rendah.Tingkat pengetahuan ibu dapat melindungi dari segala sesuatu yang mengancam hidup anaknya baik dari penyakit maupun bahaya lainnya (Herman, 2002). Tingkat pengetahuan yang dimiliki ibu dapat dikelompokkan menjadi tiga klasifikasi menurut Bloom (1956) yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Kognitif (pengetahuan) merupakan suatu aspek bagaimana individu menerima, mempelajari, menalar, mengingat dan berpikir tentang sesuatu. Domain kognitif seseorang dapat memengaruhi sikap maupun perilaku dalam melakukan suatu tindakan. Domain kognitif dibagi 8
menjadi enam yaitu tahu, paham, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi (Notoatmodjo, 2010). Sedangkan domain afektif (sikap) yaitu ketika seseorang melakukan sesuatu berdasarkan pada perasaannya atau afektif berhubungan
dengan
perasaan,
penilaian,
emosi,
dan
sikap
ketika
menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap suatu hal. Domain psikomotorik (keterampilan) mengarah pada gerakan seseorang ketika melakukan sesuatu (Bastable, 2002). Namun, pada penelitian ini peneliti membatasi lingkup penelitian hanya pada satu domain yaitu kognitif dan bagian dari domain kognitif yang di teliti yaitu tahu, paham dan aplikasi ibu.
9
Afektif:
Penerimaan Pemberian respon Penghargaan terhadap nilai Pengorganisasian Pengamalan Perbedaan tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA:
Kognitif:
-Pengertian ISPA
Tahu
Paham
Aplikasi
Ada beda
-Penyebab ISPA -Faktor resiko ISPA
Analisis
-Gejala ISPA
Sintesis
-Pencegahan ISPA
-Perawatan ISPA
Evaluasi
Tidak ada beda
Psikomotor:
Persepsi Pengaturan Panduan respon Mekanisme Respon kompleks terbuka
Keterangan:
Variabel yang tidak diteliti Variabel yang diteliti
Gambar 1.1 kerangka konsep perbedaan tingkat pengetahuan tentang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) antara ibu yang memiliki balita pernah ISPA dan belum di Posyandu Melati III Kampung Binong. (Modifikasi kerangka kerja konseptual dari Bloom (1956)) Sumber: Ilmu Prilaku Kesehatan (Notoatmodjo, 2010)
10
1.5 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini adalah ”adakah perbedaan tingkat pengetahuan tentang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) antara ibu yang memiliki balita pernah ISPA dan belum di Posyandu Melati III Kampung Binong?” Hipotesa penelitian adalah ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) antara ibu yang memiliki balita pernah ISPA dan belum di Posyandu Melati III Kampung Binong.
1.6 Definisi Kerangka Konseptual dan Definisi Operasional Tabel 1.1 Definisi konseptual dan definisi operasional
Variabel
Definisi konseptual
Tingkat pengetahuan ibu
Hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya atau hal yang diketahui oleh responden terkait dengan sehat maupun sakit
Definisi operasional Kemampuan ibu tentang penyakit ISPA termasuk pengertian ISPA, penyebab ISPA, faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya ISPA, gejala ISPA, cara pencegahan ISPA dan perawatan ISPA
Alat ukur
Hasil ukur
Kuisioner dengan 17 buah pernyataan
Jumlah skor pengetahuan ibu dalam menjawab kuisioner meliputi baik (skor >76%) apabila menjawab benar, cukup (skor 56-75%) apabila menjawab benar dan kurang (skor <56%) apabila menjawab benar
Sub variabel: 11
Skala ukur Ordinal
Tahu
Mengingat sesuatu informasi yang pernah diterima
Kemampuan ibu tahu akan pengertian ISPA dan penyebabnya
Paham
Menginterpretasikan informasi yang telah diterima
Kemampuan ibu tentang paham akan faktor resiko dan gejala ISPA
Aplikasi
Menerapkan informasi yang telah diperoleh
Kemampuan ibu dalam aplikasi mengenai cara pencegahan dan perawatan ISPA
Tahu ada enam soal yaitu pada nomor 1-5
4-5 benar = Ordinal Baik (83 - 100%), 3 benar = Cukup (60%), 1-2 benar = Kurang (< 60%) Paham ada 5-6 benar = Ordinal delapan Baik soal yaitu (83-100%), pada 3-4 benar = nomor 6-11 Cukup (50 -<83%), 1-2 benar = Kurang (<50%) Aplikasi 5-6 benar = Ordinal ada enam Baik soal yaitu 83 - 100%), pada 3-4 benar = nomor Cukup 12-17 (50 -<83%), 1-2 benar = Kurang (< 50%)
1.7 Manfaat Penelitian 1.7.1 Manfaat teoritis Bagi institusi penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan dan mengembangkan teori tentang ISPA pada balita dan tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA pada balita. 1.7.2 Manfaat praktis Bagi profesi keperawatan penelitian ini dapat memberikan saran agar pelaku
profesi
keperawatan
dapat
mengetahui
tentang
tingkat 12
pengetahuan ibu tentang ISPA pada balita sehingga dapat memberikan informasi yang tepat bagi masyarakat tentang ISPA pada balita. Bagi Puskesmas penelitian ini dapat memberikan saran untuk meningkatkan promosi program kesehatan ibu dan anak mengenai pentingnya pengetahuan tentang sebagai landasan dalam upaya pencegahan kekambuhan ISPA pada balita. Bagi masyarakat luas penelitian ini dapat meningkatkan wawasan tentang ISPA sehingga masyarakat menyadari bahwa sangat penting untuk menjaga kesehatan dimulai dari keluarga agar terciptanya masyarakat yang sehat bebas dari penyakit.
13