BAB 1 PENDAHULUAN Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik. Fraktur-fraktur rahang bawah telah ada disebutkan dalam tulisan-tulisan Mesir kuno. Hipokrates menyarankan penggunaan perban dan wiring (kawat) untuk perawatan fraktur mandibula. Pada salah satu artikel yang dipublikasikan selama Perang Sipil, Gunning menuliskan penggunaan splint gigi yang melekat pada peralatan luar di tahun 1981, Gilmer pertama kali menyebutkan penggunaan potongan batang (bars) pada kedua lengkung, yang diikat pada gigi dan satu sama lain dengan pengikat kawat yang halus. Plating (peletakan logam pada permukaan) tulang mandibular pertama kali dilakukan oleh Schede, yang disebutkan telah menggunakan sebuah lempeng baja yang disekrup masuk kedalam rahang pada akhir tahun 1980an. Pada tahun 1934, Vorschutz menemukan fiksasi eksternal dengan menggunakan sekrup-sekrup tulang transdermal dan plaster. Biphase Morris
merupakan
perbaikan
dari
tehnik
tersebut.
Sejarah alat-alat fiksasi internal terus berlanjut, dengan sebuah teori baru dan berbagai alat sesuai yang ditemukan setiap beberapa tahun.
BAB 2 1
PEMBAHASAN
Primary Survey Primary survey merupakan suatu penilaian dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Proses ini merupakan tahap awal penanganan trauma dan usaha untuk mengenali keadaaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan ketentuan mengikuti urutan yang diawali oleh “A” (Airway) yaitu menjaga airway dengan kontrol servikal, kemudian “B” (Breathing) yaitu menjaga pernapasan dengan ventilasi, “C” (Circulation) yaitu dengan kontrol perdarahan, “D” (Dissability) yaitu dengan menilai status neurologis pasien, dan “E” (Exposure/environmental control) dilakukan dengan membuka pakaian penderita, tetapi cegah hipotermi. a. Airway Pada airway yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas yang meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur maksila/mandibula, dan fraktur laring/trakea. b. Breathing Breathing yaitu menjaga pernafasan dengan ventilasi. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru-paru, dinding dan diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara/darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi c. Circulation Circulation yaitu suatu tindakan yang dilakukan untuk mengontrol perdarahan. Suatu keadaan hipotensi pada penderita trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai dapat dipastikan bahwa pasien tidak mengalami hipovolemia. Ada tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik ini, yakni tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran. Namun, perlu diingat bahwa penderita yang sadar juga belum 2
tentu normo-volemik. Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemik. Pemeriksaan nadi dilakukan pada pembuluh nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normo-volemik, sedangkan nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemik, biasanya terjadi pada penderita trauma d. Disability dissability yaitu dengan menilai status neurologis pasien. Menjelang akhir dari tahap primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu sistem skoring sederhana untuk menaksir tingkat kesadaran (table 2.1). Exposure (kontrol lingkungan) dilakukan dengan cara membuka semua pakaian penderita, biasanya dengan cara digunting, yang bertujuan untuk memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian pasien dibuka, pasien diselimuti agar tidak terjadi hipotermi pada pasien.
Secondary Survey Secondary survey dilakukan setelah primary surivey selesai, resusitasi telah dilakukan dan airway, breathing, circulation penderita telah membaik. Secondary survey adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan anamnesis, termasuk re-evaluasi tanda vital. Anamnesis meliputi riwayat AMPLE. AMPLE yaitu Allergy, Medication, Past Illness (penyakit penyerta)/kehamilan, Last Meal dan Event/environment (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian perlukaan. Anamnesis allergy meliputi riwayat alergi yang dimiliki pasien. Medication meliputi riwayat obat yang sedang dikonsumsi saat ini. Past illness merupakan riwayat penyakit yang sedang diderita dan kehamilan. Anamnesa last meal meliputi riwayat makanan yang terakhir di konsumsi. Event/environtment yaitu anamnesa mengenai lingkungan yang berhubungan dengan kejadian perlukaan. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan kepala, pemeriksaan rongga mulut dan maksilofasial, pemeriksaan vertebra servikalis, pemeriksaan torak, pemeriksaan abdomen, 3
pemeriksaaan perineum/rektum/vagina, pemeriksaan muskuloskeletal dan pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan kepala meliputi seluruh kulit kepala dan kepala harus diperiksa akan adanya luka, kontusio, dan fraktur. Pemeriksaan rongga mulut meliputi pemeriksaan jaringan lunak, saraf, tulang dan gigi geligi. Sedangkan pemeriksaan maksilofasial hanya dilakukan pada jaringan lunak, saraf dan tulang saja. Pemeriksaan rongga mulut dilakukan dilakukan setelah penanganan airway, breathing dan circulation. Pada tahap ini, pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan jaringan lunak, pemeriksaan neurologi, pemeriksaan skeletal, pemeriksaan dental, dan pemeriksaan radiograf. Pemeriksaan jaringan lunak rongga mulut meliputi pemeriksaan lidah, faringeal, duktus Stenson’s dan duktus Wharton’s, laserasi anteroposterior pada palatum keras yang berkaitan dengan fraktur paramedian pada palatum, fraktur vertikal pada alveolar gingival berkaitan dengan fraktur lengkung alveolar. Pemeriksaan lain yang dilakukan dalam rongga mulut adalah pemeriksaan neurologi. Pemeriksaan neurologi ini perlu dilakukan karena biasanya cedera pada nervus alveolaris inferior dapat menyebabkan anestesi pada sisi yang terkena trauma. Cedera pada nervus lingualis dapat menyebabkan anestesi atau parastesi pada 2/3 anterior lidah dan perubahan pengecapan. Pemeriksaan ekstraoral dilakukan untuk memeriksa keadaan nervus fasialis, nervus infraorbital, nervus olfaktorius, nervus okulomotorius, dan nervus abdusen. Pada pemeriksaan nervus fasialis, jika pasien sadar instruksikan pasien untuk menggunakan otot ekspresi wajah, jika pasien tidak sadar digunakan nerve stimulator. Pada kasus fraktur kompleks zigomatikus-maksilaris atau Le Fort II, nervus infraorbital sering rusak. Cedera pada nervus olfaktorius biasanya diakibatkan oleh fraktur midface yang melibatkan cribriform plate pada etmoid. Cedera pada nervus okulomotorius ditandai dengan adanya dilatasi pupil. Cedera pada nervus optikus biasanya diakibatkan oleh fraktur disekitar foramen optik yang merupakan akibat kompresi tulang, disfungsi dari muskulus rektus lateralis menandakan adanya cedera pada nervus abdusen. Pemeriksaan skeletal dilakukan setelah pemeriksaan terhadap jaringan lunak dan pemeriksaan neurologi. Le Fort I dapat didiagnosis dengan manipulasi buccal fold menggunakan jempol dan jari telunjuk. Palpasi pada sutura frontonasal membantu diagnosis area fraktur, yang mengindikasikan fraktur maksila Le Fort II atau Le Fort III. Fraktur 4
subcondilar bilateral dikarakteristikkan dengan terbatasnya membuka mulut, anterior open bite, dan nyeri periaurikular. Pada anak-anak, perdarahan pada external auditory canal mengindikasikan adanya fraktur kondil yang dapat mengakibatkan ankilosis dan terbatasnya pertumbuhan. Evaluasi oklusi pasien dengan bimanual palpasi bermanfaat dalam mendeteksi fraktur korpus mandibula, simpisis, dan angulus mandibula. Dalam pemeriksaan gigi yang harus dievaluasi adalah fraktur yang terjadi pada gigi geligi. Pasien diperiksa agar dapat diketahui fraktur yang terjadi pada gigi termasuk fraktur horizontal atau vertikal. Mobilitas gigi dan perdarahan krevis gingival juga diperiksa dengan melihat apakah disebabkan oleh fraktur atau karena penyakit periodontal, serta gigi yang hilang. Hal ini sangat berguna untuk menegakkan diagnosis dan rencana perawatan. Pemeriksaan vertebra servikalis meliputi pemeriksaan leher melalui inspeksi, palpasi dan auskultasi. Pemeriksaan torak dilakukan melalui inspeksi, palpasi, disusul dengan foto torak. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage), dan USG (Ultrasonography) abdomen. Pada peritoneum, rektum dan vagina diperiksa adanya kontusio, hematoma, laserasi dan perdarahan uretra. Pemeriksaan neurologis meliputi kesadaran umum, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik.
Klasifikasi fraktur Fraktur Maksila 1. Fraktur Le Fort I Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III. 5
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.
2. Fraktur Le Fort II Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.
3. Fraktur Le Fort III Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.
Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III ( www.emedicine.com ) ( 20 September 2010 ). 6
Fraktur Komplek Nasal Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi yang lebih umum adalah bahwa fraktur – fraktur itu meluas dan melibatkan proses frontal maksila serta bagian bawah dinding medial orbital. Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang – kadang tulang rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak lurus serta plat kribriform etmoid mungkin juga terkena fraktur.
Gambar 1. Fraktur Kompleks Nasal terdiri dari sebuah pertemuan beberapa tulang: (1) tulang frontal, (2) tulang hidung, (3) tulang rahang atas, (4) tulang lakrimal, (5) tulang ethmoid, dan (6) tulang sphenoid ( www.emedicine.com ) ( 20 September 2010 ).
Perpindahan tempat fragmen – fragmen tergantung pada arah gaya fraktur. Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung akan mengakibatkan tulang hidung dan bagian-bagian yang ada hubungannya dengan proses frontal maksila berpindah tempat ke satu sisi.4 Dalam penelitian retrospektif Sunarto Reksoprawiro tahun 2001-2005, insidensi fraktur komplek nasal sebesar 12,66%.
Fraktur Komplek Zigoma Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang zigomatik 7
mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini disebut “fraktur kompleks zigomatik Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik. Gambar 2. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks (www.emedicine.com) (20 September 2010).
Gambar 3. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks www.emedicine.com) (20 September 2010).
Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur ”tripod”, namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang berlainan. Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita, penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatikorahang atas.
Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus, yang hanya bisa dilihat dengan menggunakan film submentoverteks dan secara klinis berupa gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat perawatan yang kurang baik.14 Insidensi fraktur komplek zigoma sendiri berbeda pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan-kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 7,4%.8 Sedangkan hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 42% dan 7,9%.
8
Fraktur mandibula
fraktur alveolar Dapat terjadi dengan atau tampa tampa hubungan dengan cedera pada gigi. Titik dapat menutup rahang Krepitasi pada palpasi Posterior open bite dapat terjadi pada fraktur prosesus alveolar anterior fraktur parasymphisyisis dan symphysis sering berhubungan dengan fraktur dari suatu atau kedua condyle, pada fraktur parasymphysis terjadi posterior open bite atau unilateral open bite pada fratur midline syhimphisis terjadi posterior cros bite pada fraktur symphisi teraba crepitasi pada saat palpasi tidak dapat menutup rahang karna prematur kontak gigi dagu retruded terjadi karna fraktur bilateral parasymphysisi fraktur angulus mandibula fraktur angulus bilateral terlihat anterior open bite pada fraktur angulus unilateral terlihat lepsilateral open bite oclusi rethrogenathi, bagian lateral wajah terlihat rata tidak dapat menutup rahang karna prematur Kontak dari gigi bengkak pada bagian external angulus terjadi step pada molar terahir pada daerah fraktur dapat/mungkin terjadi anastesia atau parastesia pada bibir bawah nyeri pada saat mengerakkan mandibula, trismus fraktur condyle fraktur condyle bilateral menyebabkan anterior open bite dan prematur contak pada posterior oklusi prognati fraktur corpus mandibula bengkak echymosis pada dasar mulut tidak dapat/sulit menebus atau menutup rahang eripitasi pada palpasi
9
fraktur coronoid nyeri, terbatasnya gerak mandibula protusif mandibula susah untuk di diagnosa secara klisis tingkat kesadaran glasgow coma scale penilayan yang sistematik dari ketidak sadaran pasien dengan mengunakan glasgow coma memberikan derajat dari coma dengan skala angka. Penilayan dari tingkat kesadaran sangat penting untuk informasi prognosis, pada traumatik coma.
Glasgow Coma Scale Table 2.1 Glasgow Coma Scale Glasgow Coma Scale
Skor
Membuka mata (E) Spontan
4
Dengan perintah
3
Dengan rangsang nyeri
2
Tidak ada reaksi
1
Respon motorik terbaik (M) Mengikuti perintah
6
Melokalisasi nyeri
5
Menghindar nyeri
4
Fleksi abnormal
3
Ekstensi abnormal
2
Tidak ada gerakan
1
Respon verbal terbaik (V) Orientasi baik dan sesuai
5
Disorientasi tempat dan waktu
4
Bicara kacau
3
Mengerang
2 10
Tidak ada suara
1
Coma Score = E + M + V Minimum
3
Maksimum
15
Intermaxillary fixation,technic closed reduction,technic open reduction Closed Technique (Teknik Tertutup) / Closed Reduction Pada teknik ini, penyembuhan tulang terjadi melalui pembentukan kalus. Saat segmen fraktur tidak banyak, dapat digunakan alat untuk mengambil segmen tersebut, biasanya disebut alat reduksi eksterna. Contohnya adalah Rowe’s disimpaction forceps yang digunakan untuk memperbaiki letak segmen fraktur maksila agar menyatu dan Walsham’s forceps dapat digunakan pada fraktur nasal. Alat-alat tersebut diperlihatkan pada gambar 2.12 dan 2.13. Ketika terjadi trismus pada otot-otot yang dapat menghambat reduksi fragmen fraktur, maka dapat digunakan traksi intraoral atau ekstraoral. Traksi intraoral terdiri dari fiksasi arch bar prefabricated untuk lengkung maksila dan mandibula dan traksi elastis yang digunakan pada bagian tertentu untuk mendapatkan oklusi yang normal. Traksi ekstraoral dilakukan dengan menggunakan anchorage pada tengkorak untuk traksi. Proses ini sangat lambat dan pasien diminta untuk membuka dan menutup mulut untuk menfasilitasi traksi elastis. Ketika oklusi telah sesuai, elastis digantikan dengan intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation (IMF/MMF). Intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation (IMF/MMF) merupakan imobilisasi rahang dengan aplikasi wire pada posisi tertutup yang terdiri dari wires, arch bars, dan splints. Adapun keuntungan dari intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation (IMF/MMF) adalah relatif sederhana, harganya murah, pemasangannya memerlukan waktu yang singkat, skill operator yang dibutuhkan tidak banyak, dapat menjembatani kerusakan kecil pada tulang yang memungkinkan terjadinya penyembuhan dengan pembentukan kalus. Kekurangan dari intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation (IMF/MMF) adalah kebersihan mulut, tidak memungkinkan pencapaian stabilitas absolute, 11
tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak kooperatif, dapat menyebabkan atrofi otot rahang
dan
hilangnya
kekuatan
menggigit
karena
tidak
difungsikan,
sendi
temporomandibular dapat terpengaruh. Intermaxillary fixation terlihat pada gambar 2.14. Indikasi dari pemasangan intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation (IMF/MMF) dilakukan pada fraktur sederhana, pada pasien yang tidak mampu untuk metode yang lebih moderen karena masalah harga, dan pada saat pasien tidak mampu menjalani prosedur yang membutuhkan banyak waktu yang melibatkan anestesi umum. Kontraindikasi dari pemasangan intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation (IMF/MMF) adalah pada pasien yang menderita asma yang parah, penyakit paru obstruksi kronik, kelainan gastrointestinal, masalah psikiatrik atau neurological, dan seizures (kejang). Seizures merupakan penyakit yang dapat kambuh secara tiba-tiba, seperti epilepsi. Ada dua teknik dalam pemasangan intermaxillary fixation yaitu dengan dental wiring dan dengan arch bar. Dental wiring digunakan saat pasien memiliki gigi yang masih lengkap. Wire yang digunakan berukuran 0,45 mm jenis soft stainless wire. Dental wiring dapat dilakukan dengan cara direct interdental, eyelet, continous atau multiple loop wiring dan Risdon’s wiring. Arch bar dapat digunakan pada pasien yang memiliki gigi lengkap maupun yang telah kehilangan gigi dimana jumlah gigi yang tersisa tidak memungkinkan untuk menggunakan interdental eyelet. Macam-macam arch bar yaitu arch bar Erich, German silver, Jelenko.
Open Technique/ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Open technique pada penanganan fraktur terdiri dari dua tahap. Tahap pertama yaitu reduksi terbuka (open reduction) dan tahap kedua yaitu fiksasi internal/fiksasi langsung (internal fixation/direct fixation). Reduksi terbuka merupakan suatu intervensi bedah untuk mereduksi segmen fraktur. Penyembuhannya melalui penyembuhan primer, dimana selama penyembuhan tidak terjadi pembentukan kalus. Fiksasi internal/fiksasi langsung sendiri terdiri dari dua macam yaitu alat intraoral dan alat ekstraoral. Alat intraoral berupa plate dan screw (gambar 2.15) serta transosseous wiring. Alat ekstraoral adalah fiksasi pin eksternal. Indikasi dari fiksasi internal/fiksasi langsung adalah untuk memindahkan segmen fraktur yang tidak stabil, ketika intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation 12
(IMF/MMF) dikontraindikasikan dan tidak memungkinkan, pada kasus fraktur dengan kerusakan tulang, pada kasus fraktur multiple dan comminuted, demi kenyamanan pasien yang sebenarnya masih dapat menggunakan intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation (IMF/MMF). Pasien yang tidak dapat menjalani prosedur yang melibatkan anestesi umum, pasien yang menolak prosedur kompleks, serta adanya infeksi di lokasi fraktur merupakan kontraindikasi dari fiksasi internal/fiksasi langsung. Keuntungan dari fiksasi internal/fiksasi langsung adalah pemeliharaan kebersihan mulut baik, atropi otot minimal karena otot pengunyahan tetap difungsikan, nutrisi baik dan tidak kehilangan berat badan, dapat digunakan oleh pasien yang mengalami gangguan jalur nafas, pencapaian stabilitas fragmen tulang lebih baik karena penyatuan fragmen dilihat secara langsung. Kekurangan dari fiksasi internal/fiksasi langsung adalah perawatan dilakukan di bawah anestesi umum, mahalnya plate dan screw, ketrampilan operator harus tinggi, frekuensi maloklusi dan cedera saraf tinggi, kerusakan tulang kecil tidak dapat dijembatani karena penyembuhan pada teknik ini tidak terjadi pembentukan kalus, serta membutuhkan operasi kedua untuk memindahkan plate dan srew. Komplikasi Penyembuhan Fraktur Setelah perawatan dan selama penyembuhan fraktur, dapat terjadi berbagai komplikasi, seperti delayed union, non union, infeksi, malunion, ankilosis, cedera saraf, dan kebocoran cerebrospinal fluid.
1. Delayed Union dan Non Union Insidensi komplikasi
ini sekitar 3% dari seluruh kasus fraktur. Delayed union
merupakan kondisi sementara yang mana adanya reduksi dan immobilisasi saat penyatuan tulang. Hal ini dapat terjadi karena faktor lokal seperti infeksi dan faktor-faktor umum seperti osteoporosis dan kekurangan nutrisi. Adapun non union merupakan suatu keadaan yang mengindikasikan kegagalan penyatuan tulang di antara segmen yang terus-menerus tanpa bukti penyembuhan tulang kecuali jika perawatan bedah dilakukan untuk memperbaiki fraktur. Komplikasi fraktur non union dikarakteristikkan dengan nyeri dan mobilisasi abnormal yang mengikuti perawatan. Penyebab utama non union adalah ketidakcukupan reduksi dan immobilisasi, infeksi pada area fraktur, penurunan vaskularisasi, dan faktor 13
sistemik. Secara umum, penyebab delayed union dan non union adalah metabolik dan kekurangan nutrisi, penggunaan intermaxillary fixation yang tidak baik, kualitas tulang yang buruk, lemahnya pembuluh darah lokal atau kombinasi faktor-faktor tersebut.
2. Infeksi Dalam beberapa penelitian, infeksi dapat terjadi pada lebih dari 50% pasien, terutama yang tidak menggunkaan antibiotik. Terjadinya komplikasi ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor sistemik dan faktor lokal. Faktor sistemik seperti pasien pengguna alkohol (alcoholism), pasien immunocompromise dan pasien yang menggunakan antibiotik yang tidak cukup atau tidak sempurna. Faktor lokal seperti reduksi dan fiksasi yang buruk dan adanya gigi yang fraktur pada garis fraktur.
3. Malunion Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh, namun dalam keadaan yang tidak seharusnya. Jika hal ini terjadi pada lengkung gigi, maka akan terjadi maloklusi yang dapat mengakibatkan asimetris wajah, enoftalmos dan okular distopia. Enoftalmos adalah suatu keadaan terdorongnya bola mata ke dalam rongga orbita. Hal ini dapat dirawat dengan ortodontik atau osteotomi setelah penyatuan tulang selesai.
4. Ankilosis Ankilosis merupakan suatu keadaan mobilitas dan konsolidasi sebuah sendi yang disebabkan oleh penyakit, cedera atau tindakan bedah. Ini merupakan salah satu komplikasi yang jarang terjadi pada fraktur mandibula. Biasanya lebih sering terjadi pada anak-anak, berhubungan dengan fraktur intrakapsular dan imobilisasi dari mandibula.
5. Cedera Saraf Saraf yang paling sering cedera adalah nervus alveolaris inferior dan cabangnya. Tanda yang terjadi yaitu mati rasa atau perubahan sensori lainnya pada bibir bawah atau dagu. 14
Cedera pada cabang nervus fasialis biasanya disebabkan oleh trauma pada kondil mandibula, ramus mandibula, angulus mandibula dan laserasi (sobekan) di sepanjang daerah ini. Namun, cedera pada saraf ini jarang terjadi. Fungsi sensorik dan motorik dari saraf-saraf ini dapat kembali normal seiring waktu.
6. Kebocoran Cairan Serebrospinal (CSS) Cairan serebrospinal (CSS) mengisi ventrikel dan ruang subarachnoid. CSS berfungsi sebagai salah satu proteksi untuk melindungi jaringan otak terhadap trauma atau gangguan dari luar. CSS dibentuk di pleksus koroideus dan di sepanjang dinding ventrikel. Pada manusia, volume CSS adalah sekitar 150 mL dan kecepatan produksi CSS adalah sekitar 550 mL/hari. Kebocoran CSS dapat terjadi setelah perawatan fraktur midface yaitu fraktur nasoetmoidal, Le fort II dan Le Fort III, namun kebocoran CSS ini jarang terjadi. Penyembuhan Fraktur 1. Penyembuhan Tulang Primer Penyembuhan tulang primer terbagi dalam dua tipe, yaitu gap healing dan contact healing. Ketika terjadi celah kecil antara segmen tulang, dalam beberapa hari setelah fraktur gap healing dimulai. Pembuluh darah dari periosteum, endosteum dan sistem havers masuk ke dalam celah, untuk menjembatani prekursor osteoblastik mesenkimal. Deposit tulang terjadi secara langsung pada permukaan fragmen fraktur tanpa resorpsi dan pembentukan kartilago intermediet. Jika celah kurang dari 0,3 mm maka secara langsung akan terbentuk lamellar bone. Namun, jika celah yang terbentuk sebesar 0,3 mm sampai 1,0 mm maka akan terbentuk woven bone yang nantinya akan berubah menjadi lamellar bone. Pembentukan lamellar bone terjadi selama 6 minggu. Ciri khas woven bone adalah memiliki serat kolagen yang tidak beraturan, dan sifat mekanik yang lemah. Sedangkan ciri khas lamellar bone adalah memiliki serat kolagen yang beraturan serta sifat mekanik yang kuat. Tipe penyembuhan tulang primer yang kedua adalah contact healing. Pada contact healing, lamellar bone akan langsung terbentuk sepanjang garis fraktur karena terdapat kontak antara ujung fragmen tulang yang mengalami fraktur. Osteoklas akan memotong tiap ujung fragmen fraktur, kemudian osteoblas akan mendeposisi tulang yang baru. Tulang yang dihasilkan menyediakan suatu jalur pertumbuhan pembuluh darah. Kecepatan pembentukan 15
tulang sekitar 1-2 μm/hari. Matriks tulang yang baru terbentuk tersebut menyelimuti osteosit dan pembuluh darah sehingga membentuk sistem havers. Adapun perbedaan antara gap healing dan contact healing adalah pada gap healing dengan jarak yang kecil, sel-sel akan membentuk lamellar bone secara tegak lurus pada sumbu tulang. Sedangkan pada contact healing, lamellar bone akan terbentuk di sepanjang garis fraktur yaitu sejajar dengan sumbu tulang.
2. Secondary Bone Healing Penyembuhan spontan tanpa intervensi bedah dan setelah fiksasi semirigid. Dalam proses penyembuhan sekunder terdapat 4 fase yaitu fase inisial (fase awal), fase cartilaginous callus (pembentukan soft callus), fase bony callus (pembentukan hard callus), dan fase remodeling.
3. Fase Awal Gangguan pada pembuluh darah mengurangi suplai darah yang dapat mengakibatkan kematian komponen seluler pada daerah fraktur sehingga terjadi nekrosis pada ujung fragmen fraktur. Jika tulang yang nekrosis asepsis maka dapat menyebabkan oedema dan inflamasi yang kemudian akibat adanya inflamasi ini dikeluarkan sejumlah vasoaktif angiogenik pirogen yang dapat menyebabkan vasodilatasi. Perdarahan akibat dilatasi, kerusakan pembuluh darah pada endosteum, periosteum, dan sistem heversian dapat menyebabkan terbentuknya hematoma. Hematoma merupakan medium pertumbuhan jaringan fibrosis dan vaskuler.
4. Pembentukan Soft Callus Pembentukan kalus terjadi secara eksternal dan internal. Secara eksternal, nodul-nodul kartilago dipisahkan oleh septa fibrosa, dimana pembuluh darah septa ini meningkat dengan 16
cepat. Diawali dengan terjadinya kalsifikasi kartilago dengan cara menjerat kondroblas dan mengubahnya menjadi kondrosit. Kemudian osteoblas meningkat jumlahnya dan osteoklas mulai muncul. Pada waktu yang bersamaan, kalus interna terbentuk di antara ujung tulang. Area ini memiliki suplai darah yang lebih baik, sehingga daerah nekrosis berkurang. Ketika tulang mulai sembuh setelah fraktur, pembentukan kalus disekitar tempat fraktur bertujuan untuk menstabilkan area yang terlibat, meningkatkan kekuatan dan kekerasan tulang selama proses penyembuhan.
5. Pembentukan Hard Callus Selama proses mineralisasi, ujung-ujung tulang secara berangsur-angsur diselimuti oleh massa kalus yang berisi woven bone yang terus meningkat. Semakin banyak mineral yang telah dideposisi, semakin keras pula kalus yang terbentuk. Stabilitas fragmen fraktur meningkat dan penyatuan klinis terjadi. Penyatuan klinis adalah suatu keadaan dimana bagian fraktur tidak nyeri lagi dan secara radiograf telah terlihat banyangan radioopak, namun banyangan garis patah tulang masih terlihat. Meskipun demikian, proses penyembuhan belum selesai karena bagian ini masih lemah dibandingkan tulang yang normal. Kekuatan yang sama dengan tulang normal akan dicapai setelah proses remodeling berlangsung.
6. Fase Remodeling Pada fase ini, woven bone mengalami remodeling menjadi lempeng-lempeng tulang yang dikenal dengan lamellar bone. Proses ini berjalan lambat. Kemudian, faktor BMP (Bone Morphogenetic Protein) dilepaskan sehingga membantu membawa dan mengatur proses remodeling. BMP juga berperan sebagai mitogenik dan TGF (Transforming Growth Factor) yang berfungsi untuk memacu diferensiasi sel mesenkim dalam pembentukan tulang. Faktor BMP (Bone Morphogenetic Protein) merupakan sekelompok protein yang dapat menginduksi pertumbuhan tulang dan tulang rawan serta perbaikan pada tulang. Terdapat beberapa jenis BMP, salah satunya adalah BMP-1 yang merupakan metaloprotease. Metaloprotease
dikenal
juga
dengan
nama
metaloproteinase,
metalopepsidase,
metalokarboksipepsidase. Metaloprotease merupakan salah satu jenis enzim golongan 17
hidrolase yang mampu memotong ikatan peptida dengan bantuan ion logam bivalen sebagai aktivatornya. Faktor BMP yang lain diberi nomor mulai dari BMP-2. BMP-2 hingga BMP-7 merupakan anggota TGF-β (Transforming Growth Factor beta). TGF-β (Transforming Growth Factor beta) berperan dalam menstimulasi pertumbuhan pembuluh darah dan bersama faktor osteoinduksi menstimulasi pembentukan tulang.
DAFTAR PUSTKA Balajhi SM. Teks Book of Oral and Maxillofacial Surgery. Delhi India: Elsevier, 2007. Hal: 545-58, 562-5. 2. American Collage of Surgeon Committee on Trauma. Advance Trauma Life Support for Doctors (ATLS). 7th Ed. Student Course Manual. United State of America. 2004. Hal: 14-29 nd 3. Peterson LJ, Edward E, James RH, Myron RT. Oral and Maxillofacial Surgery. 3 ed. Phyladelphia: Mosby, 1998. Hal: 560, 594-5. 1.
4. 5. 6. 7.
8.
The Free Dictionary by Farlex. Fracture. Access on: http://www.thefreedictionary.com/fracture (diunduh tanggal 21 November 2010) Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC. 2002. Hal: 877-8. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2003. Hal: 586-7. Anonymous. “Basic bone biology.” International Osteoporosis Foundation. 2010. Access on: http://www.iofbonehealth.org/health-professionals/about-osteoporosis/basic-bonebiology.html (diunduh tanggal 20 Desember 2010) Lukman K. Penyembuhan patah tulang ditinjau dari sudut ilmu biologi molekuler. 4:1 (1997): 29-46
9. Anonymous.
“Definition of bone morphogenetic protein.” MedicineNet.com. 2003.Access on: http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=16238 (diunduh tanggal 20 Desember 2010)
10. Acces
on: http://en.wikipedia.org/wiki/Transforming_growth_factor_beta tanggal 20 Desember 2010)
(diunduh
18