BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah satu di antara sepuluh Negara penghasil tembakau terbesar di dunia dengan kemampuan produksi mencapai 2,2% dari total produksi tembakau global.1 Namun ekspor Indonesia dari tahun ke tahun semakin menunjukkan penurunan. Data dari statistik perkebunan memperlihatkan bahwa perdagangan tembakau dan produk olahan tembakau mengalami defisit yang besar. Defisit perdagangan produk olahan tembakau pada tahun 2006 mencapai 82,12 juta dollar AS.2 Hal ini dianggap sebagian orang disebabkan oleh adanya kontroversi penggunaan
tembakau.
Kontroversi
ini
muncul
sejak
berbagai
penelitian
menunjukkan tentang bahaya yang ditimbulkan oleh rokok sebagai produk olahan utama tembakau. Statistik kesehatan menunjukkan bahwa penggunaan tembakau secara umum adalah penyebab kematian dari 6 juta penduduk di seluruh dunia setiap tahunnya.3 Meskipun telah banyak regulasi yang dibuat berkaitan dengan pengendalian tembakau, namun menurut data WHO setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah perokok di seluruh dunia. Diperkirakan di tahun 2030, perokok akan mencapai lebih dari 6 milyar penduduk dunia.4 Meluasnya isu tentang bahaya rokok menimbulkan desakan dari berbagai pihak, baik dari pihak pemerintah, organisasi kesehatan dunia, LSM kesehatan, bahkan organisasi keagamaan. Dengan melihat pada dampak dari bahaya penggunaan tembakau yang semakin meluas, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berinisiatif 1
Daeng dkk,Kriminalisasi Berujung Monopoli: Industri Tembakau Indonesia di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional, Jakarta: Indonesia Berdikari, 2011, hlm. 29. 2 Ibid, hlm. 33. 3 WHO, “key fact of Tobacco”, updated July 2013, http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/ diakses tanggal 20 Mei 2014 4 Ibid
merumuskan adanya suatu aturan yang mengikat Negara-negara untuk secara serius menyusun draft aksi pengendalian tembakau. Draft ini selanjutnya disebut dengan Framework Convention on Tobacco Control (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat FCTC). FCTC merupakan perjanjian internasional pertama yang disusun oleh WTO yang memiliki legally binding untuk Negara anggota. FCTC adalah suatu konvensi atau traktat dalam pengendalian masalah tembakau yang merupakan agenda global bagi regulasi tembakau, dengan tujuan mengurangi perluasan penggunaan tembakau dan mendorong penghentiannya. Konvensi ini diadopsi tanggal 21 Mei 2003 dan mulai berlaku pada 27 Februari 2005.5 Pokok-pokok isi FCTC terutama berkenaan dengan upaya untuk menurunkan penggunaan rokok melalui penurunan permintaan (demand), walaupun juga mengandung upaya-upaya yang bersifat menurunkan pasokan (supply). Dalam FCTC disebutkan, upaya penurunan demand terhadap penggunaan tembakau dilakukan melalui beberapa upaya, yaitu: 1) penggunaan mekanisme pengendalian harga dan pajak; 2) pengendalian/penghentian iklan, sponsorship, dan promosi; 3) pemberian label dalam kemasan rokok yang mencantumkan peringatan kesehatan dan tidak menggunakan istilah yang menyesatkan; 4) pengaturan udara bersih (proteksi terhadap paparan asap rokok); 5) pengungkapan dan pengaturan isi produk tembakau; 6) edukasi, komunikasi, pelatihan dan penyadaran publik; dan 7) upaya mengurangi ketergantungan dan menghentikan kebiasaan merokok.6 Sebagai regulasi internasional yang berisi klausul penngendalian tembakau yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia, tentu menjadi pertanyaan mengapa hingga saat ini Indonesia belum comply terhadap aturan ini. Alasan atau pertimbangan apa yang mendasari pemerintah Indonesia untuk tidak tunduk (comply) 5 6
TCSC, ”Policy Paper: Indonesia dan Framework Convention on Tobacco Control”, 2011, hlm. 1. Naskah Framework Convention on Tobacco Control, 2003.
terhadap aksesi Framework Convention on Tobacco Control ini dan apakah ada kemungkinan Indonesia akan comply dengan aturan ini. Berangkat dari hal tersebut, penulis mencoba menganalisis masalah dalam tesis ini dengan mengambil judul “ANALISIS
EKONOMI
POLITIK
NON-COMPLIANCE
INDONESIA
TERHADAP FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan hal di atas, penulis membatasi penelitian dengan membuat rumusan masalah dengan pertanyaan penelitian “Mengapa pemerintah Indonesia belum mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control?” 1.3 Tinjauan Literatur Kajian dalam penulisan tesis ini yaitu pertimbangan Indonesia belum mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control dan pengaruhnya terhadap perdagangan tembakau Indonesia. Karena itu, tinjauan literatur akan difokuskan pada hal di atas. Dalam beberapa literatur yang tersedia, telah ada penelitian yang menjelaskan tentang pertimbangan Negara-negara dalam mengaksesi regulasi pengendalian tembakau. Terkait dengan analisis ekonomi politik atas pengendalian tembakau, Jesse B. Bump dan Michael R. Reich dalam tulisannya yang berjudul “Political Economy Analysis for Tobacco Control in Low and Middle-Income Countries” memberikan gambaran tentang proses implementasi kebijakan terkait dengan pengendalian tembakau yang memerlukan analisis ekonomi politik.7 Dalam tulisan tersebut, Bump dan Reich menjelaskan bahwa sebagian
besar literatur
yang ada hanya
mengkategorikan aspek-aspek penting dari epidemik tembakau, termasuk efek dari 7
Jesse B Bump, Michael R. Reich, “Political economy analysis for tobacco control in low- and middle-income countries”, Health Policy and Planning Advance Access, published May, 13 2012, Oxford University Press in association with The London School of Hygiene and Tropical Medicine Health Policy and Planning 2012;1–11, p. 1.
rokok terhadap kesehatan, efektivitas larangan merokok dalam iklan dan aktivitas perusahaan rokok multinasional. Tetapi adopsi dan implementasi kebijakan dari dinamika ekonomi politik tidak dikaji lebih jauh dalam tulisan-tulisan tersebut. Untuk membantu kita dalam memahami proses implementasi kebijakan, Bump dan Reich mengidentifikasi analisis ekonomi politik untuk membedakan mereka dengan pendekatan kesehatan publik tradisional yang mendominasi literatur yang ada. Mereka fokus pada lima masalah, antara lain: masalah informasi dan bahaya merokok, peranan dari produsen domestik, perusahaan rokok multinasional dan sengketa dagang dalam konsumsi rokok, penyelundupan rokok ilegal, hambatan untuk menaikkan pajak dan menetapkan restriksi yang leluasa terhadap rokok, dan konflik antara bagian-bagian dalam pemerintahan. Dalam tulisan mereka dijelaskan lebih jauh bahwa produsen domestik, perusahaan rokok multinasional, dan Negara-negara yang mendukung mereka telah menggunakan sengketa perdagangan dan liberalisasi perdagangan untuk membuka pasar baru atas produk mereka.8 Secara khas, pasar telah ditutup untuk impor tembakau untuk memproteksi monopoli nasional, yang terkadang perusahaannya dimiliki oleh Negara. Pada level nasional, banyak aktor menentang liberalisasi perdagangan atas impor tembakau, termasuk monopoli tembakau nasional dan otoritas Negara dalam keuangan dan kesehatan. Aktor-aktor ini berkuasa secara domestik, tetapi mereka telah dikalahkan oleh perusahaan rokok multinasional dan pemerintah Negara-negara kaya yang mendukung dalam setiap kasus yang terkait dengan tembakau. Dalam penelitian di atas dijelaskan bahwa dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian tembakau, kehadiran perusahaan multinasional amat 8
Chaloupka F, Corbett M., “Trade policy and tobacco: towards an optimal policy mix”, in: Abedian L, Van Der Merwe R, Wilkins N, Jha P, editors. The Economics of Tobacco Control: Towards an Optimal Policy Mix. Cape Town, South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town; 1998.
penting dalam memberikan pengaruh terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dimana kekuatan ekonomi yang besar yang dimiliki oleh industri mampu mempengaruhi kebijakan perdagangan Negara-negara. Instrumen dalam perdagangan internasional juga mengisyaratkan bahwa hambatan non-tarif termasuk demi alasan kesehatan dapat dijadikan alasan oleh Negara-negara dalam melarang impor tembakau, sepanjang tidak melanggar prinsip most favoured nation dan national treatment. Meskipun beberapa Negara menerapkan regulasi yang ketat terhadap impor untuk memproteksi industri domestik mereka. Hasil penelitian lain terkait pertimbangan pemerintah untuk tidak mengaksesi FCTC ditunjukkan oleh Ignatius Mulyono dalam tulisannya yang berjudul “Perkembangan RUU Tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan”. Dalam tulisan ini, Ignatius menjelaskan bahwa selain aspek kesehatan, ada aspek lain yang berpengaruh terhadap aksesi FCTC yakni tembakau dan produkproduk yang berasal dari tembakau sudah lama menjadi masalah yang bersifat kompleks, tidak hanya menyangkut masalah di bidang kesehatan, namun ternyata juga menyangkut masalah ekonomi, tenaga kerja, politik, dan sosial budaya. Masalahmasalah yang berkaitan dengan tembakau dan produk-produk yang dihasilkan dari tembakau dalam tataran nasional menyangkut masalah kesehatan, ketenagakerjaan, petani tembakau, pajak dan cukai, perlindungan petani, yang tidak jarang berdampak panjang kepada masalah sosial ekonomi bangsa. Sedangkan dalam tataran internasional berkaitan dengan penanaman modal asing, hak cipta, dan budaya yang juga berdampak pada ekonomi dan bahkan politik.9 Perdebatan tentang aksesi FCTC ini terkait dengan beberapa hal, antara lain pengemasan produk rokok, kewajiban 9
Ignatius Mulyono, “ Perkembangan RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan”, makalah disampaikan dalam Executive Forum Media Indonesia dengan topik Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tembakau di Indonesia di Millennium Hotel, Jakarta, 28 Juli 2011, diakses melalui http://www.dpr.go.id/complorgans/baleg/makalah_PERKEMBANGAN_RUU_TENTANG_PENGEN DALIAN__DAMPAK_PRODUK_TEMBAKAU_TERHADAP_KESEHATAN__Oleh_Ignatius_Mulyono.pdf tanggal 20 Mei 2014
mencantumkan peringatan kesehatan pada label dan bungkus produk tembakau, pengaturan iklan dan promosi, dan pengaturan cukai. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jeanne Adiwinata Pawitan dalam tulisannya yang berjudul “Tobacco Control Policy in Indonesia”.10 Ia menjelaskan bahwa alasan atas belum ditandatangani dan diaksesinya FCTC untuk pengendalian tembakau oleh Indonesia diduga sebagai bentuk kekhawatiran atas kerugian ekonomi yang akan diderita sebagai mitos dari pentingnya tembakau dalam ekonomi Indonesia. Industri tembakau dan lapangan kerja yang dilibatkan dalam industri pengolahan dan penjualan tembakau melawan kebijakan pengendalian tembakau dengan menyatakan bahwa kebijakan tersebut akan menyebabkan pengangguran yang massif dan menyebabkan krisis ekonomi, sebagaimana beberapa pihak yang terlibat dalam indutri ini, antara lain 2,4 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 400.000 orang dalam industri rokok, 4,8 juta di tingkat pengecer, dan 1 juta pekerja yang lain dalam industri yang berkaitan dengan rokok. Faktanya, pertanian tembakau adalah pertanian musiman, dan ketika kerja penuh dihitung, pertanian tembakau ternyata hanya berkontribusi pada kurang dari setengah juta pekerja penuh waktu yang berarti kurang dari 1% dari tenaga kerja penuh waktu dalam sektor pertanian. Dalam sektor industri hanya berkontribusi pada 1,2% atas lapangan kerja dalam sektor industri dan sebagian besar terdiri dari pekerja perempuan yang dibayar hanya 2/3 dari gaji rata-rata. Mitos yang lain adalah bahwa pengendalian tembakau akan mengurangi pajak dan pendapatan pemerintah, sebagaimana pajak rokok yang menyumbang US$ 5,75 juta (Rp 57 Milyar) di tahun 2008. Namun fakta menunjukkan bahwa terdapat US$ 97 juta defisit dari aktivitas ekspor-impor rokok di tahun 2007. Secara keseluruhan keuntungan industri dari tembakau hanya Rp 13 Trilyun. Sementara kerugian kesehatan sebesar Rp 24 Trilyun.
10
Jeanne Adiwinata Pawitan, “Tobacco control policy in Indonesia: Editorial 215 Vol.19, No.4, November 2010”, Department of Histology, Faculty of Medicine, University of Indonesia
Penelitian yang dilakukan oleh Institut Demografi Universitas Indonesia dan Bank Dunia terhadap ekonomi tembakau menunjukkan bahwa rumah tangga berpendapatan rendah, pengeluaran untuk tembakau adalah yang tertinggi kedua atau sebesar Rp 117.624 per bulan yang merupakan 12,4% dari pemasukan total. Fakta ini menunjukkan diabaikannya bahan makanan yang bernutrisi dan pendidikan, yang berkontribusi lebih jauh pada rantai kemiskinan. Sementara itu, kerugian dari industri tembakau lebih menonjol. Studi dari Institut Demografi Universitas Indonesia di tahun 2008 mengungkapkan bahwa kematian 427.948 orang di Indonesia adalah karena penyakit yang berkaitan dengan rokok, dimana ini merupakan 22,5% dari kematian di seluruh Negara. Dalam tulisannya yang dimuat dalam jurnal Widya Agrika yang berjudul “Prospek Pasar Tembakau Jawa Timur”, Evi Nurifah J. dan Darmadji menjelaskan bahwa dari sisi demand (pasar output), permasalahan mendasar dalam pasar tembakau adalah berkembangnya opini sekelompok masyarakat internasional yang menentang dikembangkannya tembakau karena alasan kesehatan. Opini yang diaktualisasikan dalam bentuk gerakan anti rokok yang mendapat dukungan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Adanya gelombang anti rokok yang terus mencoba menghempaskan industri rokok dan pertembakauan di berbagai belahan dunia, menurut Evi Nurifah J. dan Darmadji tetap akan menjadi arus besar. Kendatipun pengaruh kampanye tersebut belum begitu terasa di masyarakat, namun di masa yang akan datang, gelombang anti rokok yang difasilitasi oleh WHO tersebut, lambat atau cepat akan semakin menyudutkan pertembakauan Jawa Timur. Prospek permintaan pasar dalam penelitian ini dikaji dari dua segmen pasar yaitu pasar domestik dan pasar internasional.11
11
Evi Nurifah J. dan Darmadji, “Prospek Pasar Tembakau Jawa Timur”, Jurnal Widya Agrika diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Volume 1, Nomor 2, Agustus 2003, hlm. 80.
Perdebatan lainnya muncul dalam buku yang berjudul “Tembakau, Negara dan Keserakahan Modal Asing”,12 dimana Herjuno Ali, dkk. mengemukakan bahwa terjadi defisit perdagangan tembakau di Indonesia. Hal itu diakibatkan oleh peningkatan konsumsi dalam negeri yang besar, namun pemerintah masih mengandalkan impor untuk pemenuhannya. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa pemerintah tidak memiliki aturan khusus dalam industri dan pertanian tembakau. Hal ini yang menjadi penyebab banyak dan mudahnya perusahaan multinasional tembakau beroperasi di Indonesia. Data menunjukkan bahwa peraturan pemerintah terkait industri dan pertanian tembakau hanya berkenaan dengan tarif pajak dan cukai rokok yang ditujukan untuk mengurangi tingkat konsumsi rokok dalam negeri. Namun tarif bea masuk tembakau dianggap masih terlalu rendah dan harga jualnya di pasaran pun relatif murah. Perusahaan rokok multinasional terbesar antara lain PT. Altria, British American Tobacco, Japan Tobacco International, dan Imperial Tobacco. Perusahaan ini terus menanamkan modalnya di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dimana ada keterlibatan industri farmasi yang mendapatkan sejumlah keuntungan dari diplomasi publik internasional yang dilakukan untuk menegakkan kampanye antirokok. Sehingga permasalahan ini bukan hanya dimaknai sebagai persoalan kesehata semata. Lebih jauh dijelaskan di dalam buku ini bahwa produsen rokok utama seperti China, Brasil, India, dan Amerika Serikat mengalami peningkatan produksi tembakau dari tahun 2002 sebelum FCTC ada dan setelah FCTC di tahun 2007 ada. Di sisi lain produksi Indonesia mengalami penurunan. Hal yang dianggap berkontribusi terhadap hal ini adalah adanya kecenderungan persentase luas lahan tembakau terhadap arable
12
Herjuno Ndaru, dkk., Tembakau, Negara dan Keserakahan Modal Asing, Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012.
land di Indonesia mengalami penurunan luas lahan tembakau dari 0,52% pada tahun 1990 menjadi 0,44% pada tahun 2007.13 Pendapat yang sama dengan Herjuno dkk. muncul dalam buku berjudul “Kriminalisasi Berujung Monopoli: Industri Tembakau Indonesia di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional”. Dijelaskan bahwa kegiatan industri tembakau mendapatkan tekanan dari rezim internasional melalui FCTC.14 Arah dan kebijakan dari rezim kesehatan internasional dan kebijakan pemerintah Indonesia sangat mengancam posisi industri tembakau dalam negeri. Meluasnya kampanye anti rokok dan kenaikan harga cukai rokok yang berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir justru meningkatkan agresivitas perusahaan-perusahaan multinasional dalam mengambil alih pasar nasional baik dari perusahaan kecil, menengah maupun dari perusahaan besar nasional yang kini diakuisisi oleh perusahaan rokok multinasional. Mereka mengambil posisi yang kontra terhadap implementasi FCTC dengan mengemukakan bahwa meskipun FCTC telah disahkan dan diaksesi oleh sejumlah besar Negara, namun hingga saat ini tidak ada hasil yang signifikan sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya aktivitas perdagangan tembakau dan produk olahannya terus mengalami peningkatan. FCTC hanya memberikan keuntungan kepada Negara maju
dan
perusahaan
multinasional,
namun
pada
sisi
lain
meningkatkan
ketergantungan Negara miskin dan petani kecil.15 1.4 Landasan Teori Dalam menganalisis faktor-faktor dibalik non-compliance pemerintah Indonesia dalam aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), konsep yang digunakan adalah konsep tentang pertimbangan yang mendasari suatu negara mematuhi atau tidak mematuhi perjanjian internasional, sebagaimana yang 13
Ibid, hlm. 21 Daeng, dkk., Op.Cit, hlm. 6 15 Ibid, hlm. 57 14
dikemukakan oleh Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes dalam bukunya “The New Sovereignty: Compliance with International Regulatory Agreements”. Mereka menjelaskan bahwa ada tiga pertimbangan dari Negara-negara untuk mematuhi suatu perjanjian internasional, antara lain: efisiensi, kepentingan, dan norma.16 Efisiensi Efisiensi merujuk kepada anggapan bahwa sumber daya pemerintah untuk menganalisis kebijakan dan membuat suatu kebijakan adalah berbiaya mahal. Individu dan organisasi mencari cara untuk melakukan penghematan sumber daya ini untuk hal lain yang lebih mendesak. Alternatif rekalkulasi ini adalah dengan mengikuti aturan perjanjian yang telah ada di tingkat internasional. Compliance pada aturan internasional yang telah ada dapat mengamankan biaya transaksi domestik yang mahal. Kepentingan Suatu perjanjian adalah instrumen konsensus. Tidak ada paksaan kecuali Negara telah menyetujuinya. Ini adalah asumsi yang adil bahwa kepentingan para pihak dilayani dengan memasukkannya ke dalam perjanjian yang disusun bersama. Proses yang dalam perjanjian internasional diformulasi dan kesimpulannya dibentuk untuk meyakinkan bahwa hasil akhirnya akan mewakili dan mengkomodasi kepentingan Negara-negara yang menegosiasikannya. Norma Suatu perjanjian diakui memiliki legally-binding pada Negara-negara yang mengaksesinya. Pada beberapa pengalaman, apakah sebagai hasil sosialisasi atau sebaliknya, masyarakat menerima bahwa mereka diwajibkan untuk mematuhi hukum tersebut. Kehadiran kewajiban hukum, untuk sebagian besar aktor dalam sebagian 16
Abram Chayes, Antonia H. Chayes, The New Sovereignty: Compliance With International Regulatory Agreement, London: Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, 1995, hlm. 3-6
besar situasi, diartikan sebagai presumsi kepatuhan, dalam kehadiran tindakan countervailing yang kuat. Sebagaimana yang sering dijelaskan bahwa norma fundamental dari hukum internasional adalah pacta sunt servanda yang berarti perjanjian wajib dipatuhi. Dalam hal ini, norma diartikan sebagai pernyataan yang memberikan petunjuk atau ketentuan, berupa prinsip, standar, aturan, dan sebagainya, baik secara prosedural maupun substantif.17 Beberapa peneliti seperti Elinor Ostrom dan Robert Ellickson menunjukkan bagaimana komunitas kecil dalam keadaan terdesak menghasilkan dan menjalankan kepatuhan dengan norma, bahkan tanpa intervensi dari otoritas kedaulatan yang menganggu. Frederick Schauer dan Friedrich Kratochwil menganalisis bagaimana norma beroperasi dalam proses pengambilan kebijakan. Norma adalah “alasan untuk bertindak” dan menjadi basis independen atas tindakan yang sesuai. Norma membantu menjelaskan metode dan term dari diskursus internasional yang berlanjut dimana Negara mencari justifikasi atas tindakan mereka. Lebih jauh Chayes menjelaskan tentang sumber-sumber ketidakpatuhan suatu Negara terhadap perjanjian internasional. Disebutkan bahwa jika keputusan suatu Negara apakah memenuhi suatu perjanjian sebagai hasil dari kalkulasi biaya dan keuntungan, pandangan kaum realis menyatakan, implikasi itu adalah bahwa ketidakpatuhan sebagai pertimbangan dan pelanggaran yang disengaja terhadap kewajiban atas perjanjian tersebut. Alasan suatu Negara masuk dalam suatu perjanjian untuk menenangkan konstituen domestik dan internasional, dengan perhatian kecil yang dibawanya. Ini harus dimulai dengan menganalisis alasan atas ketidakpatuhan yang diamati. Jika pelanggaran tersebut bukan sesuatu yang disengaja, apa yang menjelaskan perilaku ini? ada tiga keadaan yang diidentifikasi oleh Chayes dan
17
Ibid, hlm. 113
Antonia bahwa dalam pandangan mereka sering terletak pada akar dari beberapa tindakan yang mungkin tampak melanggar persyaratan perjanjian, antara lain: 1) ambiguitas dan keadaan yang tidak dapat dipastikan dari bahasa perjanjian, 2) keterbatasan kapasitas para pihak untuk meloloskan pelaksanaannya, dan 3) dimensi sementara dalam perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang dipikirkan dalam perjanjian yang mengatur. Chayes menjelaskan dalam konsepnya (terkait dengan aksesi FCTC) bahwa terdapat keadaan atau faktor penyebab suatu negara untuk tidak tunduk pada suatu perjanjian internasional, antara lain: Ambiguitas Perjanjian sama seperti pernyataan formal dari aturan hukum lainnya, tidak memberikan jawaban tertentu pada pertanyaan spesifik. Bahasa tidak mampu untuk menangkap maksud yang sebenarnya. Pihak yang menyusun draft tidak meramalkan banyaknya aplikasi yang memungkinkan. Isu yang sebenarnya diramalkan seringkali tidak bisa diselesaikan pada waktu negosiasi perjanjian tersebut dan seringkali disembunyikan dengan formula yang dapat berarti bahwa setiap pihak menginginkan hal tersebut. Perubahan kondisi ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan tidak dimasukkan pada kondisi politik. Formulasi untuk pengaturan masa depan bisa menghasilkan zona ambiguitas yang sulit untuk disebutkan dengan presisi yang membingungkan tentang apa yang dibolehkan atau dilarang. Keterbatasan Kapasitas Menurut hukum internasional, hak dan kewajiban legal terletak di antara Negara-negara. Perjanjian adalah suatu persetujuan di antara Negara-negara dan pelaksanaan oleh mereka sebagai aturan ke depannya. Objek dari persetujuan tersebut adalah untuk mempengaruhi perilaku Negara. Hubungan sederhana antara persetujuan dan perilaku yang relevan berlanjut pada adanya beberapa perjanjian.
Negara melalui perintahnya sendiri, menentukan apakah dia akan patuh pada pelaksanaan perjanjian tersebut atau tidak. Lebih jauh tidak ada keraguan tentang kapasitas Negara untuk melakukan apa yang telah dilaksanakannya. Di Negara berkembang, situasi khasnya adalah kekurangan alat atau modal yang diperlukan, dari segi ilmu pengetahuan, teknik, birokrasi, dan finansial untuk membangun sistem pelaksanaan hukum domestik yang efektif. 1.5 Argumen Utama Menurut kerangka teori di atas, alasan ketidakpatuhan suatu Negara terhadap perjanjian internasional karena adanya faktor-faktor antara lain keterbatasan kapasitas dan ambiguitas. Keterbatasan kapasitas Indonesia dalam hal ini antara lain karena pengaruh industri rokok yang sangat besar dalam mempengaruhi keputusan pemerintah; lemahnya koordinasi antar-institusi dalam mendorong upaya aksesi, isu pengendalian tembakau dianggap sebagai isu yang tidak terlalu penting bagi instansi non-kesehatan; keterbatasan data dan penelitian tentang dampak kesehatan dan pemanfaatan tembakau untuk penciptaan produk lain selain rokok; lemahnya monitoring
dari
pemerintah;
kurangnya
kesadaran
masyarakat
dalam
isu
pengendalian tembakau sebagai dampak dari proses edukasi yang belum terintegrasi dengan baik, baik di institusi pendidikan formal maupun non-formal. Keadaan lain yang membuat Indonesia tidak tunduk antara lain karena faktor ambiguitas yang dimaknai sebagai biasnya bahasa dalam perjanjian, sebagaimana terdapat dalam beberapa provisi di dalam aturan FCTC. Adapun ketiga faktor yang menjadi alasan suatu negara untuk patuh pada perjanjian internasional sebagaimana dalam konsep Chayes adalah kepentingan, norma, dan efisiensi. Namun dalam kasus FCTC ini, Indonesia belum mengaksesi karena adanya perbedaan ketiga hal tersebut di atas dengan keinginan WHO melalui FCTC. Adanya kepentingan Negara yang dilindungi yakni menyangkut masalah ekonomi, tenaga kerja, politik, dan sosial budaya, perlindungan petani, serta pajak
dan cukai. Ada kekhawatiran Negara bahwa ketika FCTC diaksesi maka akan berakibat luas terhadap ketenagakerjaan yang bekerja dari hulu hingga hilir dalam produksi rokok, menurunnya pemasukan atas cukai rokok, dan alasan melindungi petani. Namun jika ditelisik lebih jauh, alasan dibalik keengganan pemerintah untuk mengaksesi FCTC adalah adanya tekanan dari perusahaan multinasional yang mempengaruhi pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian tembakau. Kehadiran perusahaan multinasional amat penting dalam memberikan pengaruh terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sementara faktor norma di sini adalah bagaimana keterlibatan civil society dalam mempengaruhi penyusunan kebijakan pemerintah terkait aksesi FCTC. Dan terkait dengan faktor efisiensi tampak bahwa aksesi tidak menjadi alasan pemerintah karena menganggap Indonesia telah memiliki regulasi domestik yakni UU No. 109 Tahun 2012 serta UU No. 39 tahun 2007 tentang cukai rokok. Lagipula, saat ini DPR sedang menyusun UU Pertembakauan yang malah menjauh dari substansi FCTC. 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Teknik Pengumpulan data Riset penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara ke sejumlah sumber terkait, antara lain: Kementerian Perdagangan RI, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Perindustrian, NGO pendukung anti rokok (Tobacco Control Support Center) dan World Health Organization Jakarta. Selain itu, data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran literatur buku dan dokumen-dokumen yang merupakan hasil penelitian lapangan yang dipublikasikan oleh peneliti, berbagai organisasi non-pemerintah, maupun organisasi global. Datadata tersebut berkaitan dengan pertimbangan pemerintah sampai saat ini belum mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control dan implikasinya terhadap perdagangan tembakau Indonesia. Kemudian secara teoretik, penelitian ini
menelusuri teori-teori yang berkaitan dengan fenomena perjanjian internasional yang berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan suatu Negara. Selanjutnya data-data yang telah diperoleh dari sejumlah literatur tersebut akan diklarifikasi untuk menunjang kebutuhan setiap bab dalam tesis ini. Sedangkan untuk penelitian lebih mendalam penulis mengakses kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal regulasi hukum ataupun policy paper terkait dengan UU Pengendalian Tembakau. 1.6.2
Teknik Analisis Data Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian ilmu sosial yang mencoba melakukan deskripsi dan interpretasi secara akurat untuk menjelaskan makna-makna tertentu yang terjadi dalam konteks sosial.18 Pendekatan kualitatif dilihat dengan memperhatikan sebab akibat dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi. Metode ini menekankan pada pentingnya penelitian pada data-data melalui sumber-sumber tertulis agar memperoleh data secara menyeluruh tentang situasi yang sedang dipelajari oleh peneliti. Studi kasus akan penulis gunakan untuk mengeksplorasi lebih dekat dalam konteks faktual berbagai faktor yang berpengaruh yang telah diidentifikasi sebelumnya. 1.6.3
Teknik Interview Penulis akan mengumpulkan data penelitian melalui teknik interview dengan
beberapa pihak, antara lain Kementerian Perdagangan RI, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Perindustrian RI, Anggota DPR RI, NGO pendukung anti rokok (Tobacco Control Support Center), dan WHO Indonesia. 1.7 Sistematika Pembahasan
18
Cassel Simon dalam Bogdan dan Taylor: 2003
Penelitian ini terdiri atas 5 Bab. Empat bab diantaranya digunakan untuk pembahasan penelitian. Bab 1 berisi tentang pendahuluan dan latar belakang mengapa penelitian diambil. Pada bagian pendahuluan ini juga akan dibahas tentang gambaran Indonesia dalam produksi tembakau global dan gambaran tentang Framework Convention on Tobacco Control. Pada bagian studi literatur akan di bahas secara umum, mengenai penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas lebih dalam tentang kajian ekonomi politik dalam tindakan pengendalian anti tembakau global, penelitian terkait pertimbangan pemerintah yang belum mengaksesi FCTC, dan beberapa kajian terhadap munculnya regulasi anti-tembakau di lingkungan global dan siapa aktor yang berperan di belakangnya. Berangkat dari studi tersebut, maka dapat ditarik konsep-konsep yang sekiranya relevan digunakan untuk membedah ini. Bab 2 akan membahas mengenai gambaran produksi tembakau Indonesia serta posisi Indonesia dalam perdagangan tembakau dunia seta gambaran tentang produksi dan industri tembakau di Indonesia. Bab 3 akan membahas mengenai regulasi tembakau internasional melalui Framework Convention On Tobacco Control (FCTC) dan keadaan yang membuat pemerintah Indonesia tidak tunduk pada regulasi tersebut, antara lain karena faktor ambiguitas dan kapasitas yang tidak memadai. Bab 4 akan membahas mengenai sejumlah pertimbangan pemerintah untuk tidak mengaksesi FCTC, antara lain dengan menganalisis pengaruh norma, kepentingan, dan efisiensi dalam non-compliance Indonesia terhadap Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), menganalisis sejumlah tantangan dalam aksesi FCTC termasuk mengamati in-harmonisasi kebijakan antar-kementerian terkait urgensi aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) serta menganalisis kepentingan aktor bisnis domestik dan multinasional terkait aksesi FCTC. Bab 5 adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran penelitian dan harapan penulis atas kontribusi penelitian ini atas studi-studi serupa.