Bab 1. Burung Besi Surabaya, akhir Agustus 2011 Dengungan mesin itu terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Jeanne mendongakkan kepalanya. Tangannya menutupi matanya menghindari silau matahari tengah hari. Pesawat itu melintas di langit biru – mengingatkan masa kecilnya di San Jose, saat ia sering diajak granny-nya berjalan-jalan di Kelley Park. Tiap kali terdengar bunyi pesawat melintas, tangannya yang mungil melambai-lambai seolah-olah ingin menggapai burung besi itu, dan mulutnya berceloteh ringan, “Faii… faii….” Suara burung mencerocos mampir di gendang telinganya. Perhatiannya teralihkan dari pesawat yang melintas itu. Ah, burung itu lagi rupanya. Gemar betul ia nongkrong di pohon mangga depan rumahnya. Apa karena disitu sejuk? Apa karena ia merasa aman dan nyaman bertengger di ranting pohon yang cukup kuat? Atau… ia hendak pamer lagi akan kemampuannya yang tidak mungkin dimiliki oleh Jeanne? Kemampuannya untuk bisa terbang, menyentuh awan dan pergi ke ujung pelangi? Yang sangat ingin Jeanne lakukan, tapi tak bisa dan tak akan pernah bisa? Seperti sekarang ini? Saat Jeanne betul-betul ingin terbang dan pergi dari tempat ini selamanya? “Honey, come in! Daddy wants to talk to you!” Jeanne’s mum. Meskipun sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Indonesia, ia lebih memilih berbicara dalam bahasa tanah airnya pada anak perempuan satusatunya. “Comin’, Mum.” Lelaki yang dipanggil daddy itu duduk di sofa kebesarannya. Sofa itu, memang hanya dia yang memakainya. Seolah-olah tercetak dalam tinta emas bahwa seisi rumah tidak boleh mendudukinya. Hanya dia. “Ada apa, Daddy?” Pandangan Daddy yang kosong mendadak berisi lagi. Dia menatap gadis cantiknya dengan tatapannya yang tajam sekaligus lembut. Ah, lelaki itu… biarpun
wajah itu seram adanya, kulit itu sawo matang adanya, dia tetap ayah yang selalu menyayangi. Tidak pernah pula dia memukul seperti ayah Ming, tetangganya biasa lakukan pada Ming kecil jika gadis itu berbuat salah. “Mum bilang kamu sudah terima surat dari mereka.” Jeanne mengangguk. Digenggamnya erat-erat surat itu. Sudah ia duga Daddy akan membicarakan hal ini. Surat belum datang pun, masih ditanya-tanya pula, apalagi ini, surat sudah datang. Baru tadi pagi Jeanne menerima dan membaca. Hanya, ia memang belum mengatakannya pada mereka apa isinya. Malah Ming, tetangganya yang kebetulan tahu saat ia menerima surat dari tukang pos genit itu tadi pagi. Tetangganya yang selalu berusaha ia hindari akhir-akhir ini karena mengingatkannya pada sesuatu yang menyakitkan. “Jawabannya?” “Aku lulus tahap pertama.” Mum memekik senang, dan Jeanne melihat Daddy tak bisa menyembunyikan sukacitanya. Meskipun ia berpura-pura menutupinya. “Mengapa kamu begitu ingin jadi pramugari?” Pertanyaan itu meluncur keluar dari mulutnya. Pertanyaan itu lagi. Sampai bosan Jeanne menjawabnya. Bahkan Mum pun menggelengkan kepalanya, memberi isyarat untuk tidak memulai kabar gembira ini dengan investigasi kadaluwarsa. “Bukankah Daddy…,” sahut Jeanne setengah membela diri. “Aku ingin dengar lagi dari mulutmu. Ingin dengar kesungguhan hatimu.” Nadanya tidak mau tahu. Mum menghela nafas tapi tidak bicara apa-apa. Sudah mengerti watak Daddy. Semakin dilawan, akan semakin tajam. Persis seperti landak. “Karena aku ingin terbang?” “Pilot pun bisa terbang.”
2
“Tapi aku ingin terbang sekaligus terlihat cantik. Pilot tidak pernah kelihatan cantik. They’re cool, though.” “You’re always our pretty little girl.” Kali ini Mum angkat bicara. Seolah-olah tidak terima anaknya baru dibilang cantik setelah jadi pramugari padahal sudah banyak lelaki muda jatuh bangun mendekati anak perempuan satu-satunya. “Apa Mum tidak setuju aku jadi pramugari?” “Well….” Jawabannya menggantungkan keraguan. “I didn’t say I disagree….” “Kamu tahu resiko jadi seorang pramugari?” Daddy kembali bertanya. Nadanya masih sama. Ini investigasi kadaluwarsa, ingat? Dejavu atau tidak dejavu, kejadian ini sudah terulang hampir empat kali. “Punya suami seorang pilot?” jawab Jeanne sekenanya. “Bukankah kamu ingin suami seorang penulis? Supaya dia bisa menulis tentang kamu dalam buku kehidupannya?” Jeanne tertegun. Tak menyangka Daddy-nya masih ingat. Dulu, ia ingin punya suami seorang penulis. Bukan penulis thriller macam Stephen King atau penulis don juan seperti Lord Gordon Byron, tapi penulis seperti Chairil Anwar atau Soe Hok Gie atau Putu Wijaya atau WS Rendra, yang berbicara jujur dan apa adanya. Apalah artinya punya kekasih yang selalu bicara merayu-rayu, menyenangkan telinga saja tetapi tidak dari dasar hati yang paling dalam? Mereka yang mendekati Jeanne tidak ada yang berkenan di hatinya. Banyak dari mereka yang akhirnya tahu bahwa Jeanne ingin punya kekasih seorang penulis. Lalu mereka berlomba-lomba mengirimkan puisi dan cerita cinta mereka. Ia buang saja tulisan-tulisan itu ke tempat sampah. Ia ingin kekasih seorang penulis, bukan seseorang yang tiba-tiba menjadi penulis karena ingin jadi kekasihnya. Namun sekarang? Ia sungguh tak tahu. Apa betul ia masih menginginkan belahan jiwa seorang penulis? “Jadi pramugari, kamu harus siap mempertaruhkan nyawa. Jika terjadi sesuatu, seorang pramugari yang baik tidak akan memikirkan keselamatan jiwanya. Ia akan
3
memikirkan keselamatan jiwa orang lain, para penumpang.” Mulai lagi wejanganwejangannya itu. Sudah tahu. Sudah sering diulang. “Apa Daddy pikir aku tidak bisa melakukannya?” “That’s what worries us. You will do it whatever it takes,” timpal Mum cepatcepat sebelum Daddy menjawab. “Weird.” “Jadi pramugari akan memaksamu bersahabat dengan malaikat maut. Ia bisa membawamu kapan saja.” Alasan itu lagi. “Aku ingin terbang. Jadi pramugari atau tidak, ia toh tetap bisa membawaku kapan saja,” dalih Jeanne sewot. “Daddy terlalu khawatir.” “That’s because we love you, Honey.” Love. Cerita klasik, tema klasik. Agak membosankan. Dan ngomong-ngomong tentang love…. “Dad? Mum? There’s something I need to tell you.” Kalau Jeanne sudah berbicara dalam bahasa ibunya, orang tuanya tahu ada sesuatu yang sangat serius. “I want to go back to California.” Kemudian surat yang menyatakan ia lulus di tahap pertama menjadi pramugari itu dirobek di hadapan orang tuanya.
4
Bab. 2 Kawin Surabaya, akhir Agustus 2011 “Anak perempuan ndak usah aneh-aneh. Mumpung sudah punya pacar, ya tinggal kawin saja. Mau tunggu apa lagi? Cinta? Mamimu ini dulu kawin juga ndak pake cinta, tapi ya awet sampai sekarang. Coba lihat mereka yang bilang cinta-cinta, tapi begitu kawin berapa bulan sudah minta cerai. Lah buat apa cinta kalau ujungujungnya cerai?” Ming menghembuskan nafasnya. Akhir-akhir ini sepulang dari kantor, ia suka betul duduk berpangku tangan di dekat jendela. Menontoni apa saja yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Hiburan tersendiri buat hatinya yang sepi dan bosan. Sementara maminya meluncurkan serentetan omelan bercampur nasihat-nasihat kuno yang sudah sering ia dengar. Maminya ingin dia cepat kawin. Kalau kelamaan nanti dicap perawan tua. Jadi gunjingan gratis para tetangga, yang pastinya lebih senang kalau lihat orang lain susah daripada lihat orang lain senang. Maminya tidak mengerti bahwa hatinya sedang bimbang. Memang Ming sudah punya Gun, tetapi dia merasa kawin bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan cepat-cepat. Memangnya kalau sudah kawin segala sesuatunya tiba-tiba beres? Sudah tidak lagi digunjingkan tetangga? Ming melirik rumah tetangga. Lagi-lagi pemandangan itu. Jeanne. Berdiri di tengah-tengah halaman depan rumahnya sambil memandang ke langit. Ia pasti menontoni pesawat lagi. Atau berbicara dengan burung. Anak aneh. Ia selalu bilang ingin terbang. Terobsesi ingin punya sayap seperti burung. Waktu kecil ia pernah bilang ingin terbang seperti Gatotkaca dalam cerita Mahabarata. Seperti Peter Pan dalam dongeng klasik karya J.M. Barrie yang fenomenal itu. Seperti Superman, tapi tanpa kryptonite. Karena itu cita-citanya jadi pramugari. Supaya ia bisa terbang, walaupun menggunakan sayap besi. Entah pada waktu SMP dan SMA. Selepas SD ayahnya menyuruh dia tinggal bersama neneknya di kota kecil di Jawa Tengah yang membuat dia tidak bertemu lagi dengannya sampai sekarang. Tak tahu apa yang ada 5
di benak ayahnya itu sehingga mengirimkan anak perempuan satu-satunya untuk tinggal bersama sang nenek. Dan kemudian, gadis itu kembali lagi ke Surabaya untuk kuliah. Lebih cantik, lebih matang, dan cukup ranum untuk dicicipi. Yang terakhir itu dia pernah dengar dari teman lelakinya yang kebetulan mampir ke rumah. Dan minta dikenalkan pada gadis setengah bule itu. Apa sih yang kurang dari tetangganya itu? Banyak teman-teman lelakinya minta dikenalkan padanya. Lihat aja Abie, anak orang kaya dari Jawa Tengah itu dan Joe, yang katanya cuma anak kampung. Memang anak kampung, kelihatan dari penampilannya waktu pertama kali datang ke Surabaya. Sekarang saja penampilannya necis, bak pria metropolis. Nempel terus mereka sama Jeanne kayak prangko dan amplopnya. Walaupun akhir-akhir ini mereka bertiga sudah jarang terlihat berkumpul. Dan juga…. Belum lagi para lelaki yang suka mampir. Bagaimana tidak naksir, punya wajah serupawan itu. Ayah Jawa, Ibu California. Ketemunya di Den Haag. Hasilnya ya top jreng begitu. Kulitnya ikut ibunya. Matanya besar ikut ayahnya, tapi warna cokelat mudanya itu dari keluarga ibunya. Rambutnya agak kemerahan jika ditimpa sinar matahari, meskipun dipotong sekenanya kok ya ia tetap kelihatan cantik. Beda dengan Ming. Kulit pucat, mata sipit khas orang Cina, rambut tipis, kalau dipotong sembarangan, dia takkan mau keluar dari rumah seminggu. Jadi tidak apa-apa bayar mahal sedikit yang penting potongannya keren dan trendy. Punya ibu seorang bule, sedikitnya Jeanne tidak terlalu diributkan masalah kawin. Di negara ibunya itu malah perempuan seumur Ming kawin dianggap aneh. Kebanyakan kawin diatas tiga puluh tahun. Tidak ada yang menggunjingkan. Semuanya sibuk dengan urusannya sendiri, tidak ada waktu mengurusi orang lain. “Ni thing tao mama the hua ma1?!” teriak maminya karena tidak ada tanggapan sama sekali dari anak perempuannya.
1
Kamu dengar tidak apa yang mama omong?
6
“Iya, iya dengar,” jawab Ming enteng. “Malah sudah bosan.” Kalimat yang terakhir ia ucapkan dengan nada pelan. Untuk dirinya sendiri. “Ni shuo sen me2?” “Nggak bilang apa-apa.” “Jadi sudah kamu tanyano belum, kapan Gun akan melamarmu?” “Belum. Nanti Ming tanyakan.” “Dari dulu kok bilangnya nanti ditanyano tapi ndak ditanya-tanyano.” “Ya nggak sempet ngomong.” “Memang kalian kalau ketemu ngomong apa aja sampai yang itu ndak diomongomongno.” Ming diam saja karena sesungguhnya kemarin sudah ia angkat topik kawin itu dengan Gun biarpun hatinya menentang. “Mami kepengen kita kawin?” tanyanya waktu itu. Ming mengangguk. “Aku sudah berusaha memberi dia pengertian. Hubungan kita belum juga setahun. Aku sendiri baru dua bulan kerja di tempatnya Apek3. Kamu belum ada dua tahun kerja di tempatmu kerja sekarang….” Nadanya menggantung. “Aku sih sebenernya enggak masalah. Mau kapan? Rumah udah ada. Orang tua kita juga udah merestui. Mama juga sudah mulai berpikir tentang siapa-siapa yang akan diundang kalau kita menikah. Jadi gimana? Apa mau lamaran dulu?” Ming berusaha menutupi kekecewaannya mendengar jawaban Gun dengan mengangkat bahunya, meskipun ia tahu juga jawaban dari pertanyaan itu. Ia curiga, mami mulai memburu-buru dia kawin karena saudara-saudaranya sudah banyak yang menanyakan kapan anak satu-satunya akan menikah. Padahal, Ming masih ingin menata hati dulu sebaik-baiknya sebelum memutuskan untuk hidup bersama dengan Gun.
2 3
Apa kamu bilang? Kakak tertua dari pihak papa
7
“Gun, menurutmu, kenapa manusia harus kawin? Uhm..menikah maksudku.” Yang ditanya malah menaikkan alis matanya mendengar pertanyaan itu. “Tadi kamu bilang, kamu enggak masalah kalau kita kawin sekarang….” “Karena kan memang harus begitu,” jawab Gun. “Harus begitu?” “Iya. Manusia lahir, menjadi anak-anak, remaja, pemuda, dewasa kemudian menikah. Memang sudah seharusnya begitu kan? Kalau memang sudah waktunya menikah ya menikah aja.” Dan Ming terpaksa menutup mulutnya rapat-rapat. Agar tidak tersembur kekecewaan yang kian membesar tentang pemuda berhati baik itu. Untuk ke sekian kalinya, hatinya mengomel panjang pendek pada dirinya yang tak pernah berani menjadi juru bicara bagi hatinya sendiri. Padahal ujung lidahnya sudah siap berbicara bahwa kawin bukan perkara mudah. Semata-mata bukan karena harus. Kawin di dunia bernama realita ini tidak sama dengan dunia dongeng dimana Cinderella, Snow White dan Sleeping Beauty hidup. Mengingatkan ia pada cik Lin, yang sering disebut maminya, dan sebentar lagi pasti akan disebut jika topik kawin ini mulai diangkat ke permukaan. Cik Lin itu seorang wanita yang tinggal sendirian persis di belakang rumah Ming. Umurnya hampir empat puluh tahun dan belum menikah. Konon kabarnya dulu dia pernah punya kekasih tapi kemudian dia menunda-nunda pernikahannya atas nama karir. Mungkin lelaki itu sudah tidak sabar ingin kawin supaya tidur ada yang menemani, makan ada yang menyediakan, pulang ke rumah ada yang nungguin. Tapi sekali lagi, itu hanya kabar burung yang belum tentu benar. Hanya sekedar supaya ada topik seru untuk dibicarakan saja. Cik Lin sebenarnya hatinya baik, tapi siapapun yang bicara dengannya harus bersiap-siap menarik-narik ususnya sepanjang mungkin karena masalah apapun, yang bersangkutan tidak akan pernah mengaku salah. Kebetulan temannya Gun sekantor dengannya, meskipun berbeda departemen. Sudah sering dia dengar orang-orang mengeluh tentang cik Lin. Yang tidak bisa diajak
8
bicara lah. Yang tidak mau mendengarkan kata orang lah. Yang tidak pernah bisa bekerja sama dengan para kolega-nya lah. Karena itu barangkali sering terdengar celetuk: “Kalau perempuan belum kawin-kawin seumur itu ya pasti aneh-aneh kelakuannya!” Ming tidak setuju. Ia tidak pernah mengerti mengapa perempuan diatas tiga puluh belum kawin selalu jadi bahan gosip yang lezat untuk dijilat dan dinikmati, sedangkan pria tidak. Seolah-olah dosanya besar sekali kalau seorang perempuan tidak kawin. Memangnya salah kalau dia memutuskan untuk tidak kawin? Barangkali bukan karena tidak laku, tapi karena sudah capek dan menyerah menghadapi makhluk-makhluk bernama laki-laki. Aneh sekali. Perempuan satu akan menggunjingkan perempuan lain sementara perempuan lain menggunjingkan perempuan yang lainnya lagi, tanpa menyadari mereka sedang menggunjingkan diri mereka sendiri. …
9