BAB 1 A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sebuah wadah untuk menciptakan salah satu tujuan dan cita-cita dari bangsa Indonesia yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Wadah dari pendidikan tersebut salah satunya yaitu lembaga pendidikan formal atau biasa disebut dengan sekolah. Di sekolah, pendidikan memiliki tujuan utama yaitu memberikan sebuah pengajaran, pendidikan serta pengetahuan dari seorang pendidik kepada peserta didik. Dalam proses kegiatan belajar-mengajar di sekolah biasanya menggunakan berbagai sumber pembelajaran seperti buku pegangan siswa atau buku paket, buku LKS (Lembar Kerja Siswa), serta buku-buku lainnya yang mendukung kelancaran dari kegiatan belajar-mengajar tersebut. Keberagaman sumber belajar yang berkualitas dan bervariasi sangat penting bagi peserta didik. Keberagaman sumber belajar membuat peserta didik mampu untuk aktif membaca, menambah wawasan pengetahuan, berkemampuan untuk menganalisis sebuah kejadian serta mampu memecahkan sebuah masalah dan soal-soal dengan berpikir kritis. Dengan demikian , akan menimbulkan suasana yang efektif dalam proses pembelajaran di kelas. Selain ketersediaan dari sumber belajar, seorang gurupun juga dituntut untuk lebih kreatif dalam menentukan model dan strategi pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan di kelas. Proses kegiatan belajar mengajar memang saling berkaitan antara sumber pembelajaran (buku) yang bervariasi dan berkualitas, keaktifan dan kemandirian peserta didik untuk berpikir, serta kreatifitas seorang guru untuk memberikan sebuah model dan strategi pembelajaran yang bisa mendorong terciptanya suasana kelas yang efektif dalam proses kegiatan belajar mengajar. Akan tetapi dalam proses kegiatan belajar-mengajar biasanya seorang pendidik hanya menggunakan buku LKS (Lembar Kerja Siswa) saja untuk memberikan materi-materi serta soalsoal yang diberikan kepada peserta didik. Ringkasan materi dalam LKS harus sesuai dengan satandar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sehingga jika merujuk pendapat Aunurruhman (2009:79), maka LKS sebagai salah satu bahan ajar harus mendasarkan pada prinsip-
1
Prinsip pemilihan atau pengembangan bahan ajar, sedangkan evaluasi yang berupa butir-butir soal merupakan pengembangan konsep dari materi yang diajarkan disekolah, sehingga jika merujuk pendapat Nana Sudjana (2006:22-23) dan Slameto (2001:145) maka evaluasi yang berupa soal-soal dalam LKS harus memperhatikan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor (Kusumastuti, 2011:3). Tugas-tugas dalam sebuah lembar kerja siswa tidak akan dapat dikerjakan oleh peserta didik secara baik apabila tidak dilengkapi dengan buku atau referensi lain yang terkait dengan materi tugasnya. Penggunaan buku LKS dengan buku teks atau referensi ini haruslah seimbang, sehingga apabila suatu ketika peserta didik mengalami kesulitan mengerjakan tugas dalam LKS, perserta didik secara aktif dan mandiri dapat mencari jawabannya dalam buku teks atau referensi (Prastowo,2009:204) Idealnya dalam proses kegiatan belajar mengajar seorang guru harus berperan aktif dalam memberikan sebuah materi pembelajaran kepada peserta didik dan mampu untuk memancing dan merangsang keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Ketika seorang guru dan siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran maka akan tercipta kelancaran dan keefektifan dalam proses pembelajaran tersebut. Pihak sekolahpun harus mampu menyediakan sumbersumber pembelajaran yang bervariasi dan berkualitas supaya mempermudah seorang guru dan peserta didik dalam menambah wawasan dan referensi dalam proses kegiatan belajar mengajar. Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku khususnya pasal 11 dengan jelas disebutkan bahwa pendidikan, tenaga pendidikan, anggota komite sekolah/madrasah, dinas pendidikan, pemerintah daerah, pegawai dinas pendidikan dan koperasi yang beranggotakan pendidikan, baik secara langsung maupun bekerjasama dengan pihak lain dilarang bertindak menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan atau kepada satuan pendidikan yang bersangkutan kecuali untuk buku-buku yang hak ciptanya sudah dibeli oleh departemen-departemen yang menangani urusan agama dan/atau pemerintah daerah.
2
Dalam realitanya penggunaan buku LKS buatan penerbit masih mendominasi peredarannya di setiap sekolah. Beberapa SMA dari berbagai daerah di Indonesia juga diwarnai dengan maraknya penggunaan buku LKS tersebut. Maraknya penggunaan buku LKS juga terjadi di Surakarta, tidak terkecuali di Sekolah Menengah Atas Negeri favorit. Menurut Dewi salah satu siswa dari SMA N 1 Surakarta mengatakan bahwa “hampir semua mata pelajaran menggunakan buku LKS, bahkan pada kelas X hanya mata pelajaran Matematika dan Akuntansi saja yang tidak menggunakan LKS (Sumber: wawancara,13 Juli 2015). Rizwanda idham salah satu siswa dari SMA N 2 Surakarta pun juga mengatakan bahwa “hampir semua mapa pelajaran menggunakan buku LKS Modul” (Sumber: wawancara,13 Juli 2015). Pendapat yang hampir sama juga dilontarkan oleh Yudha dan Satrio siswa dari SMA N 6 Surakarta. Mereka mengatakan “hampir semua mata pelajaran menggunakan buku LKS, bahkan mata pelajaran yang masuk dalam UN juga menggunakan buku LKS dan yang tidak menggunakan buku LKS hanya mata pelajaran Agama dan Seni Budaya. (Sumber: wawancara, 13 Juli 2015). Selain di daerah Surakarta juga terdapat di daerah-derah lain, seperti di Batam. Masyarakat khususnya orang tua peserta didik mengharapakan tindakan tegas dari Pemerintah Pusat kepada oknum Dinas Pendidikan kota Batam kepada setiap sekolah yang melakukan penjualan buku LKS kepada peserta didiknya. Sebab, informasi yang diperoleh media ini dari sumber di internal Dinas Pendidikan Kota Batam mengungkapkan, pada tahun 2014 pihak dinas Pendidikan melalui PGRI Kota Batam kabarnya telah mengeluarkan puluhan rekomendasi kepada sejumlah perusahaan melaksanakan proyek pengadaan buku LKS yang dibiayai dari anggaran APBD. Setelah buku dicetak, dinas pendidikan mendistribusikan buku LKS itu ke seluruh sekolah dari mulai tingkat SD/SMP/SMA baik negeri maupun swasta dengan mematok harga jual Rp.10 ribu per eksemplar (Batampos, Selasa 11 Agustus 2015). Daerah Majalengka juga merasakan maraknya penggunaan buku LKS. Memasuki semester dua tahun ajaran 2014/2015 salah seorang wali murid di salah satu SMA di Majalengka, Sarip mengatakan, memasuki semester kedua tahun
3
ajaran 2014/2015 ini penjualan LKS kembali marak. Sedangkan LKS yang mesti dibeli siswa hampir untuk semua mata pelajaran. Menurut dia, harga LKS yang dijual kepada para siswa tersebut lebih mahal dibandingkan tahun pelajaran sebelumnya yang hanya berkisar Rp7.000-Rp.10.000/buku. Bahkan menurut dia, untuk LKS yang sekarang lebih mahal, satu bukunya ada yang dijual Rp21.000. (fajarnews, Kamis 22/1) Di Bogor menurut sumber tajduknews, penjualan dilakukan dengan cara bekerja sama dengan koperasi sekolah. Padahal, merujuk pada Permendikbud No. 2 Tahun 2008, jelas diatur bahwa buku LKS dilarang dijual di sekolah-sekolah. Di MA Negeri Parung, buku LKS untuk 16 mata pelajaran dijual dengan harga yang bervariasi sesuai kelas siswa. LKS tersebut dijual antara Rp 280.000 sampai Rp 350.000. Sementara diungkapkan Heriyani salah seorang karyawan toko buku musiman yang bermerek “FITRI F” di Pasar Ciluar,Desa Cijujung Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor yang keberadaan tempat jualanya tak begitu jauh dari Sekolah Negeri di Cijujung memaparkan bahwa buku LKS setiap tahunnya hanya dibuka pada bulan Mei, Juni dan Juli, atau setiap memasuki ajaran baru. Buku buku yang akan dijual telah dibungkus rapih, sehingga pihaknya tidak kesulitan untuk
memberikan
murid,.menuruntnya
kepada ia
sudah
pembeli tau
yang
buku
apa
berasal saja
dari yang
orang
tua
dipake
oleh
siswa.(Tadjuknews, kamis 5 Juli 2012). Maraknya penggunaan buku LKS ini juga menimbulkan berbagai pendapat negatif baik dari seorang tokoh maupun masyarakat umum. Banyak pula kritikan-kritikan serta isu-isu yang dilontarkan dari tiap golongan di masyarakat luas. Menurut Ribut, banyak LKS yang hanya menyajikan jawaban instan berupa pilihan ganda dan jawaban singkat. Hal ini menyebabkan siswa menjadi malas membaca materi dan langsung membaca soal. Kendati di LKS diberikan rangkuman materi pelajaran, namun materi tersebut merupakan materi berupa poin-poin. Jika hal itu terus dibiarkan, dikhawatirkan kemampuan siswa untuk memahami bacaan, berpikir kritis, dan kreatif dalam memecahkan masalah tidak akan berkembang. Ribut mengatakan tujuan LKS adalah “memandu apa yang dilakukan guru. Namun sayangnya LKS yang benyak beredar saat ini justru
4
merancang soal dengan jawaban singkat.” Ribut menambahkan, dengan “adanya model LKS yang hanya menyajikan jawaban pilihan ganda dan jawaban pendek hanya akan menjejali siswa dengan fakta informasi saja tanpa diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan menyimpulkan sendiri materi tersebut.” (Malang Post. Senin, 10 September 2012 20:54 WIB). Hal ini semakin menguatkan anggapan pendidikan di Indonesia hanya menekankan pada hasil, bukan pada prosesnya. Padahal, belajar bukan hanya menekankan pada hasil saja, tetapi juga pada proses pemahaman siswa menghadapi permasalahan. Jika hal ini dibiarkan, nantinya siswa tidak terbiasa mengerjakan soal terbuka dengan jawaban panjang. Guru harus kreatif untuk membiasakan siswa mengerjakan soal jawaban panjang. Suharno pun berpendapat bahwa : LKS yang saat ini beredar, sebagian besar mutunya sangat rendah dan dibawah standar. Siswa hanya memindahkan keterangan-keterangan yang ada di buku materi ke LKS tanpa banyak berdiskusi atau berpikir. Tetapi para guru sering menggunakan LKS sebagai ajian pemungkas yang paling praktis untuk memberikan Pekerjaan Rumah (PR), yang sangat membebani siswa dan orang tua. Anak sering menjadi stres karena PR berjimbun. Model soal yang dikembangkan dalam LKS sebatas tataran kognitif. Membuat siswa tidak kreatif. Karena belajar suatu ilmu hanya kulit luarnya saja, tanpa ada pendalaman. Akibatnya yang berkembang hanya kemampuan otak kirinya saja. Dalam model pembelajaran semacam ini, siswa tak ubahnya mesin penghafal. (Solopos, Kamis, 12 Juni 2008). Selain masalah isi materi dari buku LKS, banyak pula orang tua wali yang mengeluhkan biaya dari pembelian buku LKS. Karena memang seorang guru mewajibkan siswa untuk membeli buku LKS tersebut. Di sisi sosial-ekonomi pengadaan LKS, sangat membebani orang tua murid yang tidak mampu. Mari kita kalkulasi secara kasar, bila dalam satu semester siswa membeli LKS dua kali untuk setiap mata pelajaran (mapel). Dan ada 12 mapel, berarti harus membeli 24 LKS. Harga rata-rata LKS sekitar Rp 5.000,00, sehingga dalam satu semester saja orang tua harus merogoh kocek Rp 120.000,00. Bila satu tahun tinggal mengalikan dua saja, sekitar Rp 240.000,00. Ini baru untuk beli LKS. Padahal selain LKS, orang tua siswa masih dibebani dengan berbagai biaya yang lain. Ada buku pendamping, seragam sekolah, pakain olah raga dan uang gedung.
5
Di samping itu, bisnis LKS ditengarai banyak menguntungkan oknum kepala sekolah dan guru tertentu saja. Dalam benak mereka yang ada adalah bagaimana mendapatkan keuntungan. LKS
memang bisnis
yang amat
menggiurkan. Bila diasumsikan dalam satu sekolah ada sekitar 600 siswa berarti dalam setahun uang yang dibelanjakan untuk LKS mencapai Rp 144 juta. Bila penerbit memberikan discount 40 %, maka setiap tahun sekitar Rp 57,6 juta yang dinikmati pihak sekolah. Menurut Prasetyo “LKS hanya buku pelengkap, namun dalam praktik LKS menjadi ” kitab suci ” para guru dan siswa. Hampir dipastikan tidak ada sekolah yang tidak menggunakan LKS. Setiap hari siswa mengerjakan tugas lewat LKS. Sementara buku acuan utama yaitu buku paket dan buku pendamping jarang digunakan”. ( Solopos, Senin, 02 Juni 2008). Timbul sebuah masalah-masalah ketika dalam proses kegiatan belajar mengajar seorang guru hanya menggunakan buku LKS sebagai pegangan utama peserta didik dan tidak menyediakan buku-buku yang beragam dan bervariasi kepada peserta didik. Masalah masalah yang timbul dilihat dari sudut pandang pendidik dan peserta didik. Permasalahan ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Budiono (Permana, 2008:1) terhadap dampak keberadaan LKS, bahwa: “Keberadaan LKS memberikan dampak buruk, yaitu membuat kegiatan belajar menjadi pasif, mematikan kreativitas, tidak semua hasil kerja anak dinilai dengan semestinya, dan LKS membuat anak menjadi malas. Jika anak disuruh mengerjakan LKS, tidak banyak yang mengerjakannya. Mereka menunggu temannya menyelesaikan untuk kemudian tinggal menyalin.” Kochhar (2008:198) mengungkapkan pula bahwa pengunaan buku latihan atau yang kita kenal LKS juga dikritik dengan berbagai alasan. Buku tersebut menyebabkan pelajaran menjadi kaku, narasumbernya statis, merampas kebebasan siswa, dan menyebabkan guru tidak aktif. Pelajaran kaku seperti yang diungkapkan diatas secara langsung akan menyebabkan siswa kurang diberi kebebasan dalam menggali materi lebih mendalam, karena hanya terpaku pada LKS yang dimiliki oleh siswa. Pembelajaran seperti ini terjadi karena LKS yang dimiliki oleh siswa pada dasarnya merupakan ringkasan materi dan latihan soal.
6
Permasalahan-permasalahan yang timbul dari penggunaan LKS sebagai sumber dan media pembelajaran memang sangat komplek. Permasalahanpermasalahan tersebut karena terbentur dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang buku khusunya pasal 11 dengan jelas menyebutkan bahwa pendidikan, tenaga pendidikan, anggota komite sekolah/madrasah, dinas pendidikan, pemerintah daerah, pegawai dinas pendidikan dan koperasi yang beranggotakan pendidikan, baik secara langsung maupun bekerjasama dengan pihak lain dilarang bertindak menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan atau kepada satuan pendidikan yang bersangkutan kecuali untuk buku-buku yang hak ciptanya sudah dibeli oleh departemen-departemen yang menangani urusan agama dan/atau pemerintah daerah. Oleh karena itu, disini penulis mengambil judul penelitian “Penggunaan LKS sebagai Tindakan Rasionalitas Guru dalam Proses Pembelajaran (Studi Fenomenologi di SMA Negeri 7 Surakarta)
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah tertulis di latar belakang, maka penelitian ini mengarahkan rumusan masalah pada : 1. Bagaimana penggunaan LKS dalam proses pembelajaran ? 2. Mengapa mayoritas guru menggunakan buku LKS dari penerbit sebagai sebuah sumber pembelajaran dalam KBM ? 3. Bagaimana dampak penggunakan buku LKS dari penerbit dalam KBM bagi guru dan siswa? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui penggunaan LKS dalam proses pembelajaran. 2. Mengetahui alasan mayoritas seorang guru menggunakan buku LKS sebagai sebuah sumber pembelajaran dalam KBM 3. Mengetahui dampak penggunaan buku LKS dalam KBM oleh siswa dan guru. D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengembangan sekaligus telaah Teori rasionalitas Max Weber mengenai penggunaan LKS sebagai tindakan rasionalitas seorang guru dalam proses pembelajaran
2.
Manfaat Praktis. a. Bagi Peserta didik. Hasil dari penelitian ini diharapkan seorang siswa mampu mengetahui dampak penggunaan dari LKS dan mampu untuk menggunakan sumber pembelajaran yang lebih bervariatif b. Bagi Sekolah. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk perangkat sekolah, terkhusus guru, untuk lebih selektif dalam memilih sumber pembelajaran yang efektif dan bervariasi sehingga dapat menjadikan proses kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien.
8
c. Bagi Peneliti. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti terkait dengan maraknya penggunaan buku LKS dalam proses pembelajaran oleh seorang guru. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti lain yang tertarik untuk melanjutkan penelitian dengan topik dan kajian yang sama sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan dalam dunia pendidikan
9