I.
KALOR DAN HUKUM KE-1 1.1 Kalor Diketahui dua sistem pada suhu berbeda. Apabila dikontakkan satu dengan yang lain melalui dinding diatermik, diketahui bahwa suhu kedua sistem akan berubah sedemikian rupa sehingga akhirnya menjadi sama. Gambar Ada sesuatu yang berpindah dari sistem yang lebih panas ke sistem yang lebih dingin, yang menyebabkan pemerataan suhu terrsebut. Definisi Besaran yang berpindah pada kontak termal antara dua sistem berlainan suhu, disebut kalor (Lambang Q) Dari percobaan-percobaan (Rumford, Joule, Mayer dll) kemudian diketahui bahwa kalor tidak lain adalah energi, seperti halnya usaha. Maka bersatuan ‘Joule’. Dahulu kalor diberi satuan ‘kalori’ dengan nilai 1 kal = 4,2 J.
1.2 Perpindahan kalor Dalam bab 4 telah diterangkan bahwa sistem dapat berinteraksi dengan lingkungannya melaluiusaha dan/atau pertukaran kalor. Telah diterangkan pula bagaimana proses ‘mengadakan usaha luar’ dapat berjalan secara kuasitatik. Sekarang : Bagaimanakah membayangkan pertukaran kalor secara kuasistatik ? Sebelum pertanyaan ini dijawab perlu ditekankan bahwa interaksi termal dapat disertai kenaikan suhu, namun dapat juga berlangsung pada suhu tetap (Isotermal). Agar pertukaran kalor dapat berlangsung secara kuasistatik diperlukan reservoar kalor (RK) Definisi Reservoar kalor adalah sistem yang sedemikian sehingga (besarnya) sehingga suhunya maupun koordinat lainnya tidak berubah meskipun sistem menerima atau melepaskan sejumlah kalor. Contoh : Samudera, atmosfer, lingkungan dan benda-benda lain berukuran besar dibanding ukuran sistem. a) Penyerapan kalor/oleh sistem tanpa diserta tanpa disertai kenaikan suhu dapat berlangsung antara sistem dan 1 RK saja, asal tidak menyebabkan gejolak-gejolak di dalam sistem.
b) Sebaliknya : interaksi kalor antara sistem dan lingkungan yang harus berlangsung kuasistatik dan disertai kenaikan suhu,
memerlukan tersedianya tak berhingga banyaknya RK yang masing-masing berbeda suhu sedikit.
Sistem harus dikontakkan secara termal dengan ke-N RK secara berturut-turut. 1.3 Perumusan hukum ke-1 Kerja adiabatik (Wad) dan energi dalam (U) Proses adiabatik berarti proses yang berlangsung tanpa dadanya pertukaran kalor antara sistem dan lingkungannya. Ini tercapai dengan mengisolasikan sistem dari lingkungannya (diselubungi dengan dinding adiabatik) Dibawah ini ditunjukkan tiga cara dimana kita dapat melakukan usaha pada sistem secara adiabatik (dan kuasistatk).
Cara-cara mengadakan usaha adiabatik tidak terbatas pada ketiga contoh diatas : ada banyak cara lagi. Namun semua eksperimen yang pernah dilakukan hingga kini menunjukkan : ‘Kalau keadaan sistem diubah dari keadaan i menjadi keadaan f dengan melakukan usaha padanya, maka usaha yang diperlukan ternyata tidak bergantung pada cara yang digunakan, selama cara tersebut adiabtik kuasistatik’. Usaha demikian hanya ditentukan oleh keadaan akhir dan keadaan awal. f
Dengan kata lain : Wad = ∫ PdV Tidak bergantung pada jalan integrasi yang i
ditempuh, jadi selalu memberi hasil yang sama. Secara matematik ini berarti : adanya suatu besaran fisis yang merupakan fungsi dari koordinat sistem. Fugsi ini disebut fungsi keadaan, dan W ad adalah sama dengan perubahan besaran fisis tersebut. Fungsi keadaan ini diberi nama : energi dalam sistem berlambang U. dapatlah kita tulis : Wad = − ∫ P dV = + (Uf − Ui ) f
i
Atau ∆U − Wad = 0 Pembicaraan - Tanda + dalam rumus diatas adalah sesuai konvensi tanda yang berlaku untuk W (bab IV), sebab : Apabila Wad positif (Artinya : Usahay dilakukan pada sistem), maka energi dalam naik. Seyogyanyalah demikian karena kandungan energi sistem memang bertambah. - Rumus (5.1) adalah perumusan hukum ke-1 yntuk proses-proses adiabtik. Catatan : Apa sebenarnya energi dalam itu ?
Energi dalam sistem tidak lain aldaah jumlah energi yang dimiliki partikel-partikel sistem. Kalau ε adalah energi yang dimiliki partikel sistem, maka energi dalam seluruh sistem adalah : N
U = ∑ ε i , dengan N adalah jumlah partikel dalam sistem. ε i dapat terdiri atas i =1
energi kinetik, energi rotasi, vibrasi, magnetik dll. Seperti telah dikatakan diatas energi dalam adalah fungsi keadaan, jadi dapat dilihat sebagai fungsi dua variabel (atau koordinat) sistem, yang mana saja. Misalnya, untuk sistem hidrostatik, dapatlah : ∂U ∂U U=U1(P,V), hingga dU 1 = dP + dV atau ∂P V ∂V P ∂U ∂U U=U2(V,T), hingga dU 2 = dV + dT ∂V T ∂T V ∂U ∂U U=U3(T,P), hingga dU 3 = dT + dP ∂T P ∂P T Ketiga dU ini bersifat eksak, maka
∫
f
i
dU = Uf − Ui dan
∫ dU = 0
Perumusan hukum ke-1 secara umum Pada dasarnya perubahan energi dalam sistem dapat diukur menurut rumus (51) diatas, yakni dengan mengukur Usaha yang dilakukan secara adiabatik. Tetapi dalam praktek tidaklah demikian caranya. ∆ U diukur pada proses nonadiabatik. Sistem diberi kesempatan berinteraksi termal dengan lingkungannya. Jelaslah bahwa untuk mencapai ∆ U yang sama, diperlukan jumlah usaha yang berbeda. Wnon − ad ≠ Wad Maka : ∆U − Wnon − ad ≠ 0 Dengan berfikir sejenak, maka ruas kanan tidaklah lain daripada kalor yang terlibat dalam proses non-adiabatik tersebut, maka diperoleh persamaan ∆U − Wn.a = Q Pembicaraan : - Konvensi tanda untuk Q mengikuti konvensi tanda untuk W. kalau sistem diberi/menyerap kalor, sebagian energi ini dapat digunakan untuk menaikkan energi dalam sistem ( ∆ U positif), dan sisanya untuk melakukan usaha luar (W negatif). Maka dari rumus (5.3) diperoleh Q positif. Jadi Q dihitung positip kalau sistem menyerap kalor Rumus (5.3) adalah perumusan hukum ke-1 secara umum. Kalau diperhatikan benar, maka ia adalah suatu pernyataan kekealnya energi dalam suatu proses termodinamika. Karena merupakan hukum kekekalan energi, maka ia harus berlakuk untuk proses apa saja; kuasistatik maupun non-kuasistatik, isotermal,m isobarik dan sebagainya.
-
-
Adapun bentuk diferensialnya adalah : dQ = dU – dW Rumus untuk proses kuasistatik, dW = -PdV, maka dQ = dU+PdV Dari bentuk (5-4) dapat dilihat bahwa dQ adalah suatu diferensial yang tak eksak; jadi tidak menggambarkan perubahan infint suatu fungsi Q (sebagai fungsi koordinat), melainkan dQ tidak lain adlaah kalor dalam jumlah yang sangat kecil. Rumumus (5-1), (5-3), (5-4) dan (5-5) adalah berbagai perumusan hukum ke-1 untuk sistem hidrostatik. Untuk kristal paramagnetik hukum ke-1 adalah : r r dQ = dU- B.dM
1.4 Kapasitas kalor Apabila suatu sistem menyerap kalor dan karenanya mengalami kenaikan suhu, dikatakan bahwa sistem tersebut memiliki kapasitas kalor, lambang C. Definisi
(
C(sistem ) =
)
Kalor yang diserap Q = JK −1 Kenaikan suhu yang timbul ∆T Q dQ C(Sistem ) = L Im = ∆T → 0 ∆T dT C C c(Spesifik ) = JK −1 kg −1 dan C(molar ) = JK −1 mol −1 M n Untuk suatu sistem hidrostatik seperti gas dikenal dua macam kapasitas kalor, yakni Cv (Kapasistas kalor pada V tetap) dan Cp (Kapasitas kalor pada P tetap) kedua kapasitas kalor merupakan fungsi dari koordinat, namun dalam soal sering dianggap tetapan. Hubungan antara kedua kapasitas kalor terungkap sebagai berikut : dQ = dU + PdV adalah hukum ke-12 untuk proses kuasistatik infinit. Apabila kanan-kiri dibagi dT diperoleh : dQ dU dV = +P ; Apabila perubahan suh ini berlangsung pada V tetap dT dT dT (Perhatikan bahwa ini berarti berlangsungnya suatu proses) ∂Q ∂U = + 0 , maka diperoleh ; ∂T V ∂T V ∂Q ∂U Cv = = = f (T, V ) ∂T V ∂T V Nyata dari ungkapan ini bahwa Cv adalah fungsi dari T dan V. Ungkapan untuk Cp diperoleh sebagai berkut : ∂U ∂U Anggaplah U = U(T,V) → dU = dT + dV isikan ke dalam hukum ∂T V ∂V T ke-1, maka diperoleh :
(
)(
)
(
)
∂U ∂U dQ = dT + + P dV ; bagi kanan kiri dengan dT, maka ∂T V ∂V T ∂U dV dQ ∂U = . Kalau pemanasan berlangsung pada tekanan + + P dT ∂T V ∂V T dT tetap, maka ∂U ∂V ∂Q = Cv + + P , tetapi ruas kiri = Cp, maka ∂T P ∂V T ∂T P
∂U ∂V Cp = Cv + + P , yang mana umumnya merupakan fungsi dari T ∂V T ∂T P Cp − Cv ∂U dan V. atau − P (Rumus ini penting). = ∂V T ∂V ∂T P
(
)
Contoh
bT ∂U Dari suatu sistem diketahui Cv = aT+b/V + C dan = − 2 . Cari U V ∂V T Jawab Karena kedua diferensial parsial yang berpasangan diketahui, maka fungsinya dapat ditentukan asal syarat Euler dipenuhi (Memang dipenuhi disini). bT bT bT ∂U + f (T ) + d1 = − 2 → dU = − 2 dV → U = + V V V ∂V T b df b df a ∂U = aT + + C Kesimpulan : = aT + C → f = T 2 + CT + d 2 maka = + V dT 2 ∂T V V dT bT a 2 U= + T + CT + d 3 V 2