AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah
Volume 2, No 3, Oktober 2014
WONG MBAMBUNG SURABAYA TAHUN 1965-1975
Rachmat Jumali Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya E-Mail:
[email protected] M. Ali Haidar Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya
Abstrak Menjelang berakhirnya masa Orde Lama banyak terjadi ketidakstabilan dalam berbagai bidang di Kota Surabaya, dimana pada akhirnya menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang sosial. Kehadiran kaum urban yang ingin mendapatkan kesempatan kerja lebih baik diiringi dengan pelarian oknum-oknum yang diduga sebagai anggota dari PKI membawa dampak yang besar bagi Kota Surabaya. Mengenai proses Kota Surabaya dalam mengatasi serbuan para pendatang dari daerah lain menjadi topik yang menarik bagi peneliti untuk dikaji lebih dalam. Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif dengan menggunakan metode penelitian sejarah yang memiliki beberapa tahapan, yaitu tahap pengumpulan data/sumber yang diperlukan, tahap kritik terhadap sumber yang telah ditemukan, tahap interpretasi atau penafsiran untuk menghasilkan kesimpulan yang rasional dan tahap historiografi sebagai rekonstruksi masa lampau sebagai satu kisah sejarah yang tertuang dalam karya tulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awalnya kaum urban yang datang ke Surabaya berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada di daerahnya, namun pada kenyataannya tidak seluruhnya dibekali oleh keterampilan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik di kota. Kaum urban yang kalah bersaing dan tidak dapat kembali ke daerah asalnya menjadi sebuah permasalahan baru bagi Surabaya yaitu munculnya WONG MBAMBUNG di Kota Surabaya. Kemunculan WONG MBAMBUNG dikarenakan Tunakarya dan Tunawisma ini merupakan celah bagi oknum-oknum pelarian anggota PKI yang dapat dimanfaatkan untuk menyamar sebagai WONGMBAMBUNG agar dapat tetap bertahan hidup sekaligus menjalankan misinya. Kata kunci : Wong Mbambung, Operasi Komando Penertiban Gelandangan, Surabaya
Abstract Towards the end of the Old Order much instability in various areas in the city of Surabaya, which eventually lead to instability in the social field. The presence of urbanites who want to get better job opportunities coupled with runaway rogue elements who are suspected of being members of the Communist Party brought a great impact for the city of Surabaya. Regarding the city of Surabaya in addressing the invasion of immigrants from other regions become a topic of interest for researchers to be studied more deeply. This research is a descriptive study using methods of historical research that has several stages, namely the stage of data collection/resources needed, stage criticism of the sources have been found, interpretation or interpretation stage to produce a rational conclusion and historiography as the reconstruction stage of the past as a historical narratives contained in the papers. The results showed that at the beginning of the urban coming to Surabaya hoping to get a better job than in the region, but in reality it is not entirely equipped with the skills to get better jobs in the cities. Urban people who can not compete and can not return to their home areas into a new problem for the emergence WONG MBAMBUNG Surabaya in Surabaya. Occurrences WONG MBAMBUNG because homeless unemployed and this is an avenue for escape elements of PKI members that can be used to masquerade as WONG MBAMBUNG can survive well as carrying out its mission. Keywords: Wong Mbambung, Operation Command Control Homeless, Surabaya dua kali bangsa Indonesia mengalami masa transisi dimana seluruhnya selalu membawa dampak dan perubahan yang sangat besar bagi kehidupan bangsa. Masa transisi yang pertama merupakan masa yang paling
A. Pendahuluan Masa transisi merupakan masa-masa tersulit dalam perjalanan hidup suatu bangsa. Sejarah mencatat,
550
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah
Volume 2, No 3, Oktober 2014
sulit bagi perjalanan hidup bangsa Indonesia, karena belum jauh bangsa Indonesia bangkit dari perjuangan pasca kemerdekaan sudah harus dihadapkan dengan berbagai gejolak dan ketidakstabilan di berbagai bidang yang terjadi sepanjang pertengahan tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an. Disamping itu adanya ketimpangan pembangunan dari aspek wilayah, dimana sebagian wilayah mengalami kemajuan dan sebagian wilayah lain masih tertinggal, menimbulkan urbanisasi yang besarbesaran dan secara bersamaan terus menerus terjadi sejak periode akhir tahun 1950-an hingga sepanjang pertengahan tahun 1960-an di seluruh Indonesia, tidak terkecuali di Surabaya. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan baru bagi Pemerintah Kota Surabaya. Sementara itu di bidang sosial, politik dan hankam pada periode akhir Orde Lama terjadi gejolak yang luar biasa di Indonesia. Meletusnya tragedi “Gerakan 30 September/G30S” yang didalangi oleh PKI menambah ketidakstabilan bagi bangsa Indonesia. Tragedi tersebut secara tidak langsung mendorong terjadinya persebaran penduduk dari wilayah satu ke wilayah yang lain. Orang-orang yang dianggap mempunyai hubungan dengan PKI di daerahnya terpaksa harus berpindah ke daerah baru untuk menyelamatkan dirinya, karena pasca meletusnya tragedi G30S, PKI dan seluruh oknum-oknum nya menjadi orang-orang yang paling dicari oleh bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor pendorong bagi orang-orang PKI untuk meninggalkan daerah asalnya dan berubah menjadi pribadi dengan sosok yang lain di daerah barunya. Kota-kota seperti Madiun, Blitar, Nganjuk, Kediri dan Malang menjadi penyumbang terbesar bagi perpindahan orang-orang PKI yang menyamar di Kota Surabaya. Kedatangan kaum urban murni yang ingin mendapatkan kesempatan kerja lebih baik, disusul dengan persebaran orang-orang PKI yang menyamar kemudian membaur menjadi satu seketika menjadikan Kota Surabaya sebagai kota padat penduduk. Pada tahun 1961 tercatat jumlah penduduk Kota Surabaya sebanyak 1.408.000 jiwa dan terus mengalami peningkatan yang stabil pada tahun-tahun berikutnya. Hal seperti ini wajar saja terjadi karena Kota Surabaya sebagai ibukota provinsi Jawa Timur merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta, dengan pertumbuhan industri, perdagangan, maritim dan pendidikan (biasa disingkat Indamardi ) yang tersedia, mampu menarik banyak penduduk untuk bermigrasi ke kota Surabaya. Namun, pada perkembangannya para pendatang tersebut mampu mengubah kota Surabaya menjadi semakin padat dan tidak terkendali dalam sekejap. Terbukti dengan tumbuhnya perkampunganperkampungan baru di pinggiran kota Surabaya . Persoalan klise yang tak pernah ada penyelesaiannya bahkan sampai sekarang, akibat dari dampak pembangunan ekonomi yang terpusat di wilayah perkotaan. Salah satu persoalan penting adalah keterbatasan kota Surabaya dalam menyediakan lapangan kerja yang tidak seimbang dengan membanjirnya penduduk yang masuk ke kota Surabaya. Selain itu
rendahnya pendidikan dan minimnya keterampilan mengakibatkan sebagian dari mereka (kaum urban) tidak berhasil mendapatkan pekerjaan, dan kegagalan mereka dalam mendapatkan pekerjaan menimbulkan peningkatan jumlah pengangguran yang ada di kota Surabaya. Bukannya kembali ke daerah asal, mereka cenderung memilih untuk tetap tinggal di kota Surabaya karena berbagai alasan baik itu malu terhadap keluarga ataupun sanak saudara di daerah asalnya maupun ketakutan akan dikenalinya mereka sebagai orang-orang yang dicari terkait keterlibatannya dengan PKI. Kondisi yang demikian ini yang mendorong mereka untuk terjun ke sektor usaha informal agar tetap bisa bertahan hidup di kota. Menurut Soetjipto Wirosurdjono, sektor informal lebih mudah dimasuki oleh kaum urban karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pola kegiatannya tidak teratur baik dalam arti waktu ataupun modal; tidak tersentuh atau terikat oleh peraturan-peraturan; umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen; tidak membutuhkan keterampilan dan keahlian khusus; manajemen yang sangat sederhana. Walaupun sektor informal yang memiliki ciriciri kemudahan tersebut diatas, namun tidak semua kaum urban bisa memasuki sektor ini. Untuk bertahan hidup di kota saja sebagian dari mereka harus rela menjadi gelandangan ataupun pengemis. Kenyataan seperti ini memaksa mereka untuk melakukan segala hal agar tetap bertahan hidup di kota, akan tetapi aktivitas mereka ada yang liar yakni dengan memanfaatkan fasilitas umum milik pemerintah, menumpang tempat usaha lain yang resmi dan mengganggu kelancaran lalu lintas . Selain perhatian yang kurang terhadap kebersihan dan keindahan kota sehingga terkesan kumuh serta kotor, mendapat reaksi keras dari para pedagang yang sah dan masyarakat sekitar merasa terganggu dengan keberadaan mereka. Gaya hidup gelandangan atau yang biasa disebut oleh sebagian besar masyarakat Surabaya dengan “WONG MBAMBUNG” sering digunakan sebagai acuan masalah kemiskinan di Indonesia. Meskipun WONG MBAMBUNG adalah suatu istilah yang sudah umum diketahui di Indonesia , namun dalam hal ini yang termasuk WONG MBAMBUNG adalah orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Sehingga Mereka dianggap sebagai kaum marginal yang tidak dapat menyesuaikan dan melibatkan diri dalam proses pembangunan. Tidak terpikir sedikitpun dari mereka untuk menjadi WONG MBAMBUNG, namun kenyataan yang memaksa mereka untuk menjadi seperti ini. Fenomena WONG MBAMBUNG rupanya sudah ada di Kota Surabaya sejak awal tahun 1950-an. Hal ini terbukti dengan adanya bangunan yang didirikan oleh Dinas Sosial Pemerintah Kotamadya Surabaya pada tahun 1952 yang berbentuk rumah panjang berukuran 5x30 meter sebanyak 3 buah diperuntukkan bagi penampungan WONG MBAMBUNG yang ada di Kota Surabaya. Untuk pemeliharaan agar bangunan tersebut tidak rusak dan terus bermanfaat, rumah tersebut dapat ditempati oleh penduduk sekitar yang benar-benar tidak mampu dengan menyewa ruang/kamar Rp. 7,50 ,- tiap
551
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah
Volume 2, No 3, Oktober 2014
bulan terhitung sejak ndiakui sebagai penghuni sampai pada bulan Januari 1963, setelah itu tidak ditarik sewa lagi . Pada tahun 1959 oleh Soegondo dari Dinas Sosial Pemerintah Kotamadya Surabaya bersama unsur Tritunggal setempat dan para penghuni bangunan tersebut diresmikan. Namun nampaknya rencana ini hasilnya kurang memuaskan, dikarenakan orang-orang yang ditampung satu per satu meninggalkan rumah tersebut. Adapun penghuni lama hanya tersisa 7 Kepala Keluarga, sebagian besar sudah silih berganti nama penghuninya . WONG MBAMBUNG lebih suka berpindahpindah untuk memudahkan mereka dalam bertahan hidup, pada akhir tahun 1960-an jumlah WONG MBAMBUNG yang ada di Kota Surabaya mencapai belasan ribu jiwa . Akan tetapi Pemerintah Kota Surabaya berusaha untuk menekan jumlah WONG MBAMBUNG yang sudah ada di Kota Surabaya dengan melakukan berbagai cara. Untuk mengungkapkan permasalahan yang akan diteliti penulis menggunakan metode penelitian sejarah. Ada empat tahapan di dalam metode penelitian sejarah yaitu : 1. Penelusuran Sumber (Heuristik) Pada awal tahap ini, penulis mengumpulkan sumber yang terkait dengan WONG MBAMBUNG yang ada di Kota Surabaya tahun 1965-1975, sumber tertulis dalam surat kabar sejaman, yang memberikan informasi seputar obyek yang dikaji, maupun arsip-arsip dari Pemerintahan Kota Surabaya berupa Surat Perintah serta laporanlaporan yang mengindikasikan keberadaan WONG MBAMBUNG di Kota Surabaya pada saat itu. Adapun klasifikasi sumber penulisan sejarah dalam permasalahan tersebut adalah sebagai berikut, Sumber Primer yang di dapat dari sumber dokomen Pemerintah Kota Surabaya dan juga Koran yang sejaman antara lain; a.) Badan Arsip Kota Surabaya Box: 523 No. 24.056 tentang pembersihan/ pembongkaran bangunan-bangunan liar oleh Tim Operasi Komando Penertiban Gelandangan dan kendaraan dinas. b.) Badan Arsip Kota Surabaya Box: 2052 No. 55.236 tanggal 2 Juli 1969 No. 209/Kptk/VII/69 tentang pelaksanaan Operasi Sadar terhadap WONG MBAMBUNG yang ada di Kota Surabaya. c.) Soerabaja Post, Komando Penampungan Tunakarya Djatim Tampung 200 Orang Dari Soerabaja, Kamis 28 April 1966 Tahun ke XIV No. 89 hlm: 2. Selain itu juga ada Sumber sekunder: Sumber di peroleh melalui literatur, artikel dan buku-buku yang membahas tentang kehidupan sosial Kota Surabaya yang berkaitan dengan WONG MBAMBUNG yaitu Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 19661971, Jakarta: LP3S, 1989. Nasution, Ekonomi Surabaya Pada Masa Kolonial 1830-1930, Surabaya: Intelektual, 2006. Rintoko, dkk, Seri Sejarah Soerabaja: Studi Dokumentasi Perkembangan Teritorial Surabaya 18501960, Surabaya: Unesa University Press, 2010. Johan Silas, Kampung Surabaya Menuju Metropolitan, Surabaya: Yayasan Keluarga Bhakti, 1996. 2. Kritik Sumber
Pada tahap kritik sumber, sumber diseleksi untuk menjadi sebuah fakta dalam upaya menemukan sumber yang relevan guna penulisan sejarah tentang WONG MBAMBUNG Surabaya Tahun 1965-1975. 3. Interpretasi Sumber Setelah dilakukan kritik sumber terhadap sumbersumber yang telah diperoleh maka selanjutnya dilakukan interpretasi yaitu data yang sudah diperoleh kemudian ditelaah dan ditarik sebuah kesimpulan atau makna baru sesuai pemahaman penulis berdasarkan sumber. 4. Historiografi Pada tahap akhir setelah terjadi pemahaman maka dilakukan penulisan laporan akhir sebagai hasil penelitian sejarah tentang WONG MBAMBUNG Surabaya Tahun 1965-1975. Proposal ini diharapkan mampu dijadikan acuan untuk skripsi yang dapat dipertanggung jawabkan dengan berpedoman pada sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I yaitu Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian. Bab II merupakan pembahasan mengenai proses munculnya dan jumlah WONG MBAMBUNG yang ada di Kota Surabaya, kemudian membahas lebih dalam mengenai perkembangan Kota Surabaya dan kondisi penduduk serta pemukiman di Kota Surabaya itu sendiri. Bab III merupakan pembahasan mengenai permasalahan yang ditimbulkan akibat WONG MBAMBUNG yang ada di Kota Surabaya beserta kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Bab IV membahas mengenai upaya-upaya nyata yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dalam mengatasi WONG MBAMBUNG, sesuai dengan kebijakankebijakan yang telah direncanakan. Bab V Penutup yang terdiri dari Simpulan dan Saran. B.
Penutup
Hasil Dan Kesimpulan Perkembangan perindustrian dan Modernisasi Kota Surabaya sangatlah pesat, hal ini membawa dampak baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Menguntungkan ketika Kota Surabaya dianggap sebagai kota yang mengalami kemajuan di segala bidang, sekaligus merupakan kerugian ketika Kota Surabaya sebagai tujuan urbanisasi bagi daerah-daerah pedalaman Jawa Timur. Kota Surabaya yang belum siap akan adanya ledakan penduduk akhirnya mempunyai permasalahan baru, yakni masalah sosial kependudukan. Dimana kaum urban yang tidak mampu bersaing akhirnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota Surabaya, hingga muncullah masalah WONG MBAMBUNG. WONG MBAMBUNG merupakan masalah sosial yang sangat kompleks dan dapat membawa dampak negatif dalam bidang Poleksosbud Hankam karena gaya hidup WONG MBAMBUNG tidak sesuai dengan Falsafah Pancasila. Di Surabaya Khususnya, WONG MBAMBUNG terdiri dari berbagai oknum baik oknum yang benar-benar WONG MBAMBUNG dikarenakan Tunakarya dan Tunawisma maupun oknum
552
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah
Volume 2, No 3, Oktober 2014
yang dengan sengaja menyamar sebagai WONG MBAMBUNG karena merupakan tahanan atau pelarian politik. Pemerintah Kota Surabaya mengambil berbagai macam kebijakan-kebijakan dalam upaya menekan jumlah WONG MBAMBUNG yang ada di Kota Surabaya. Terbukti dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut mampu menekan jumlah WONG MBAMBUNG dan menciptakan suasana Pemerintahan Kota Surabaya yang kondusif.
Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1356 No. 29.274 Tentang Operasi Penertiban Gelandangan Gabungan Wilayah Surabaya Timur dan Utara. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1529 No. 33.767 Tentang Tertutupnya Surabaya Bagi WONG MBAMBUNG Atas Surat Walikota Tanggal 288-1968 No. 0000/714. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1693 No. 39.920 Tentang Operasi Gelandangan di Kecamatan Gubeng. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1708 No. 40.703 Tentang Tanda-tanda Adanya WONG MBAMBUNG di Makam Tembok Gede. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1734 No. 41.658 Tentang WONG MBAMBUNG di Sekitar Jembatan KA di Timur Stasiun Semut. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1744 No. 42.312 Tentang Taman Sebagai Tempat Tinggal WONG MBAMBUNG. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1756 No. 42.815 Tentang Pengertian WONG MBAMBUNG dan Penduduk Surabaya serta Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Pengangguran di Kota Surabaya. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1765 No. 43.259 Tentang Pengadaan Poliklinik di Asrama Penampungan. Badan Arsip Kota Surabaya box: 1775 No. 43. 878 Tentang Pasal-pasal Rencana Penanggulangan WONG MBAMBUNG. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1861 No. 47.315 Tentang Apresiasi Masalah Gelandangan. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1940 No. 50.442 Tentang Rencana Penanggulangan dan Penertiban WONG MBAMBUNG di Kota Surabaya. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 2052 No. 55.236 2 Juli 1969 No. 209/Kptk/VII/69 tentang pelaksanaan Operasi Sadar terhadap WONG MBAMBUNG yang ada di Kota Surabaya. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 2105 No.57.700 tanggal 16 Januari 1969 No. 16/26 tentang bangunan yang disediakan Oleh Dinas Sosial Kotamadya Surabaya untuk WONG MBAMBUNG. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 2287 No. 68.125 Tentang Operasi Razia Terhadap WTS Pada Tanggal 26 Januari 1973. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 2292 No. 68.406 Tentang Operasi Razia Terhadap WTS Pada Tanggal 15 Januari 1975. BAPEKO Surabaya, Buku Laporan Akhir BAPEKO Surabaya. Surabaya: BAPEKO Surabaya, 2005. Rencana pembangunan lima tahun 1969/1970-19731974, (Jakarta Departemen Penerangan RI, 1975), hlm: 12 Sub Bagian Humas dan Protokol, Surabaya Dalam Lintasan Pembangunan, Surabaya: Kotamadya Tingkat II, 1980.
Daftar Pustaka A. Arsip Badan Arsip Kota Surabaya Box: 201 No. 3.554 Tentang Surat Perintah Kepada Maj. Soejono. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 309 No. 5.171 Tentang Tim Penampungan WONG MBAMBUNG Oleh PMI. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 334 No. 5.940 Tentang Peminjaman Gedung Rumah Sakit Jiwa Menur Untuk Penampungan WONG MBAMBUNG. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 334 No. 5943 Tentang Persetujuan Untuk Menggunakan Gedung Rumah Sakit Menur. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 334 No. 5.945 Tentang Pembatalan Peminjaman Gedung. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 401 No. 8.482 Tentang Peninjauan Rumah Liar WONG MBAMBUNG Oleh Komisi C Surabaya. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 503 No. 9.139 Tentang Kesempatan Agar Diijinkan Untuk Memberikan Siraman Rohani di AsramaWonocolo. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 523 No. 24.056 Tentang Pembersihan/ Pembongkaran Bangunan-Bangunan Liar Oleh Tim Operasi Komando Penertiban Gelandangan Dan Kendaraan Dinas. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 654 No. 13.373 Tentang Operasi Gelandangan yang Dilakukan Kecamatan Bubutan Pada Tanggal 5 September 1968. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1135 No. 23.410 Tentang Daerah Rencana Transmigrasi Untuk WONG MBAMBUNG. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1141 No. 23.564 Tentang Adanya Gubuk-gubuk Liar di Makam Tembok Gede Arah Jalan Margorukun. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1157 No. 24.065 Tentang Surat Camat Tembok Gede Mengenai WONG MBAMBUNG di Makam Tembok Gede. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1275 No. 26.410 Tentang Penyerahan Kembali Tenaga Bantuan Sdr. Kasbiadi. Badan Arsip Kota Surabaya Box:1329 No. 28.475 Tentang Makam Tembok Gede yang Digunakan Sebagai Tempat Mesum dan Sarang Pencoleng. Badan Arsip Kota Surabaya Box: 1346 No. 28.936 Tentang Penerimaan Laporan Mengenai WONG MBAMBUNG di Tembok Gede.
553
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah
Volume 2, No 3, Oktober 2014
Mas’oed, Mochtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3S, 1989. Nasution, Ekonomi Surabaya Pada Masa Kolonial 18301930, Surabaya: Intelektual, 2006. Rintoko, dkk, Seri Sejarah Soerabaja: Studi Dokumentasi Perkembangan Teritorial Surabaya 1850-1960, Surabaya: Unesa University Press, 2010. Silas, Johan, Kampung Surabaya Menuju Metropolitan, Surabaya: Yayasan Keluarga Bhakti, 1996. Sulastomo, Dibalik Tragedi 1965, Jakarta: Yayasan Pustaka Umat, 2006. YLBHI, Dari Penjara Ke Penjara, Jakarta: Grasindo, 2003.
B. Buku Alimi, Qoidul Anam, Suyanto, Lubang Buaya II di Cemetuk Banyuwangi: Perspektif Sejarah Politik, Sosial dan Budaya Lokal, Yogyakarta: Narasi, 2006. Basundoro, Punawan, Dua Kota Tiga Zaman:Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan, Yogyakarta: Ombak, 2009. Colombijn, Freek, dkk, Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan, Yogyakarta: Ombak, 2005. Dwiyanto, Agus, dkk, Penduduk dan Pembangunan, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, 1996. Dudung, Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos, 1999. Faber, G.H. von, Oud Soerabaia, de geschiedenis van Indies eerste koopstad van de oudstetijden tot de intelling van der gemeeteraad 1906, De Gemeente Soerabaia: G.H von Faber, 1931. , Niuw Soerabaia, de Geschiedenis van Indie’s voornamste koopstad in de kwarteeuw sedert hare instelling 1906-1931, De Gemeente Soerabaia: G.H von Faber, 1936. Fattah, Abdoel, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, Yogyakarta: LKIS, 2005. Frederick, William H., Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia “Surabaya 1926-1946”, Jakarta: Gramedia, 1988. Gottschalk, mengerti Sejarah (Terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI Press, 1983. Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Kasdi, Aminuddin, Memahami Sejarah, Surabaya: UNESA University Press, 2008. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya 2001. Lindblad, J. Thomas (Ed), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru, Jakarta: LP3ES, 1998.
C. Koran Jawa Pos, 21 April 1964. Liberty, "Bambungan Dan Asian Games", 18 Maret 1961 No, 393 hlm: 5. Serabaja Post, “Di Soerabaja: Pengambilan Sensus Kaum Gelandangan Kemarin Malam Lancar dan Memuaskan”, Kamis 2 November 1961 Tahun ke IX No. 205, hlm. 2. Soerbaja Post, “Survey Penduduk Untuk Ketahui Bertambahnya Penduduk Tanggal 5 Desember. Untuk Kotapradja Surabaya Hanya Dilakukan di 10 Lingkungan”, Edisi Luar Kota Malang, Senin 26 November 1962 Tahun ke-X No. 175, hlm: 2. Soerabaja Post, “Giliran Gelap Ikut Pengaruh Naiknya Kejahatan di Tahun 1963”, Jumat 31 Januari 1964 Tahun ke XII No. 20, hlm: 2. Soerabaja Post, Tunakarya-Tunakarya Soerabaja Akan Segera ke Panti-panti Kerja dan Disalurkan, Kamis 14 April 1966 Tahun ke XIV No. 77 hlm: 2. Soerabaja Post, Komando Penampungan Tunakarya Djatim Tampung 200 Orang Dari Soerabaja, Kamis 28 April 1966 Tahun ke XIV No. 89 hlm: 2.
554