Author :
Olva Irwana, S. Ked
Faculty of Medicine – University of Riau Pekanbaru, Riau 2009
© Files of DrsMed – FK UR http://www.yayanakhyar.co.nr
0
CEDERA KEPALA
1. Definisi Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.1 Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2
2. Epidemiologi Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).3 Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.4 Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.1
3. Klasifikasi Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala serta berdasar morfologi.1
1
Klasifikasi cedera kepala:1 A. Berdasarkan mekanisme 1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. 2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda tumpul. B. Berdasarkan beratnya 1. Ringan (GCS 14-15) 2. Sedang (GCS 9-13) 3. Berat (GCS 3-8) C. Berdasarkan morfologi 1. Fraktura tengkorak a. Kalvaria 1. Linear atau stelata 2. Depressed atau nondepressed 3. Terbuka atau tertutup b. Dasar tengkorak 1. Dengan atau tanpa kebocoran CNS 2. Dengan atau tanpa paresis N VII 2. Lesi intrakranial a. Fokal 1. Epidural 2. Subdural 3. Intraserebral b. Difusa 1. Komosio ringan 2. Komosio klasik 3. Cedera aksonal difusa
4. Patofisiologi Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu 2
benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.5 Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).6
Gambar 1. Coup dan contercoup7 Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.6
5. Patologi cedera kepala a. Fraktura Tengkorak Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau nondepressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan 3
dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.8 Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.3
b. Lesi Intrakranial Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan.
Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.3
Lesi Fokal Hematoma Epidural Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak
segera,
prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome 4
langsung
bergantung
pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma
epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.6,8
Hematoma Subdural Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.8
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.8 Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.9
6. Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada 5
pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ.9 Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala.4 Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleksrefleks.9 Tabel 1. Glasgow Coma Scale3 Jenis pemeriksaan Respon membuka mata (E) Buka mata spontan Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara Buka mata bila dirangsang nyeri Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang Kata-kata tidak teratur Suara tidak jelas Tidak ada reaksi Respon motorik (M) Mengikuti perintah Melokalisir nyeri Fleksi normal Fleksi abnormal Ekstensi abnormal Tidak ada reaksi
Nilai 4 3 2 1 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral.9 Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat.3 Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :9 1. bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat. 2. cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak 3. adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii 4. adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran 5. sakit kepala yang hebat 6. adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak 7. kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral. 6
7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.3 Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain :9 1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam) 2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) 3. Penurunan tingkat kesadaran 4. Nyeri kepala sedang hingga berat 5. Intoksikasi alkohol atau obat 6. Fraktura tengkorak 7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea 8. Cedera penyerta yang jelas 9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan 10. CT scan abnormal Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.3 Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :9 1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial 2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat 3. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat 4. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm 5. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg. 6. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan 7. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak 8. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis 7
DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November 2007. Pekanbaru. 2. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org [diakses 19 Juni 2008] 3. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam : Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI, 2004. 4. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam : Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996. 5. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam: Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill, 1996. 6. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins, 2003. 7. Findlaw Medical Demonstrative Evidence. Closed head traumatic brain injury. Http://findlaw.doereport.com [diakses 19 Juni 2008] 8. Saanin S. Cedera Kepala. Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery. [diakses 19 Juni 2008] 9. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo, 2005.
8