Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 3, September 2012
ARTIKULASI PENDIDIKAN GURU BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK MEMPERSIAPKAN GURU YANG MEMILIKI KOMPETENSI BUDAYA ARTICULATION OF TEACHER EDUCATION BASED ON LOCAL WISDOM TO PREPARING CULTURALLY COMPETENCE TEACHERS Al Musanna Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Gajah Putih Takengon, Aceh Tengah Email:
[email protected] Diterima tanggal:28/06/2012,
Dikembalikan untuk revisi tanggal:18/07/2012;
Disetujui tanggal:30/08/2012
Abstrak: Tulisan ini bertujuan mengemukakan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal. Signifikansi pembahasan terkait minimnya perhatian akademisi dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan praksis (teori dan praktik) pendidikan guru yang berpijak pada kearifan lokal, sehingga berimplikasi pada minimnya kompetensi budaya guru dalam menjalankan tugas profesinya. Terdapat tiga masalah yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini: teori yang melandasi pengembangan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal; hakikat kompetensi budaya guru, serta prasyarat yang diperlukan untuk mengembangkan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kearifan lokal mengandung nilai-nilai potensial yang diperlukan untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna dan relevan dengan situasi sosial-budaya. Revitalisasi kearifan lokal melalui pendidikan menuntut adanya guru yang mempunyai kompetensi budaya dan hal ini hanya akan mungkin dicapai apabila pendidikan guru memberi perhatian secara proporsional untuk menginternalisasikan kearifan lokal. Kata Kunci: model pendidikan guru, kearifan lokal, kompetensi budaya, kompetensi budaya guru, dan situasi sosial budaya. Abstract: The following discussion summarized from the literature review present an alternative model of teacher education based on local wisdom to enhance the cultural competency of teachers. There are three issues that became the focus of this paper: the theory that underlies the development of teacher education based on local wisdom; nature of the cultural competency of teachers, as well as the necessary prerequisite for developing teacher education based on local wisdom. The results indicate that local wisdom contains the values
needed to realize the
potential of education more meaningful and relevant. Revitalization of local wisdom through education requires teachers who have cultural competence and this will only be achieved if teacher education give proper attention to internalize the local wisdom synergistically. Marginalization of local wisdom in praxis of teacher education has impacted on alienation of teachers from the context of his/her life. Keywords: teacher education model, local wisdom, cultural competency, culturally competence teacher, and cultural social situation
Pendahuluan
tidak terle pas dari semakin kab urnya batas
Dalam praksis pendidikan guru kontemporer, salah
ge ogra fis dan demograf is a kiba t ke majuan
satu isu yang semakin menguat adalah tuntutan
teknologi informasi dan komunikasi. Intensitas
untuk
mam pu
persentuhan antarbudaya mendorong munculnya
beradaptasi dengan keragaman budaya peserta
kesadaran dan keinginan berbagai pihak yang
didik dan stakeholders pendidikan. Tuntutan ini
merasa terusik dengan degradasi identitas untuk
328
memp ersi apka n
g uru
yang
Al Musanna, Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya
melak ukan rev italisasi kearifa n lokal dalam
pemisahan yang tegas antara pemahaman yang
menghadapi berbagai problematika kontemporer.
dimiliki seseorang dan realitas sosialnya.
Institusi pendidikan guru berada pada posisi
Perhatian terhadap keragaman khazanah
menentukan dalam reformulasi pendidikan karena
kearifan lokal semakin menemukan rasionalitas-
lembaga ini bertanggungjawab dalam mem-
nya dalam konteks Indonesia. Sebagai negara
persiapkan guru pada berbagai jenis dan jenjang
yang terdiri atas lebih dari 500 etnis dengan
pendidikan. Lembaga pendidikan guru dituntut
ratusan bahasa yang tersebar pada ribuan pulau,
memberi perhatian untuk mempersiapkan guru
Indonesia tidak diragukan lagi merupakan salah
yang mempunyai kompetensi budaya sebagai
satu negara yang memiliki kondisi sosial-budaya
pra syar at y ang memungki nkan gur u untuk
sangat beragam. Dengan kenyataan tersebut,
ber adap tasi
pengemb anga n
dengan
pese rta
didi k
ya ng
pe ndid ikan
gur u
be rbasis
mempunyai latar belakang ras, etnis, kelas sosial,
keragaman budaya yang akan mendidik calon
dan bahasa yang beragam (Villegas dan Lucas,
guru mutlak diperlukan. Pengabaian terhadap
2002). Keragaman konteks dan latar belakang
kenyata an tersebut te lah berimplika si pada
budaya peserta didik menuntut kualifikasi guru
al iena si p raksis p endi dik an d enga n re alit as
yang tidak hanya menguasai disiplin ilmu dan
kontekstualnya (Musanna, 2011a). Para kritisi
keca kapan pe dagogis, tetapi juga mem per-
pendidikan telah sejak lama menyatakan bahwa
syaratkan guru yang mampu beradaptasi dan
pendidikan nasional mengalami kesenjangan
mengint egra sika n pe maha mannya t erha dap
kontekstual karena dominasi teori pendidikan
keragaman budaya peserta didik dalam praktik
yang diimpor dari luar tanpa melalui proses
pembelajaran. Globalisasi yang telah mengabur-
adaptasi kritis (Salim dalam Salim, Ed., 2007; Tilaar,
kan batasan geografis dan demografis berimplikasi
2002). Keterpukauan terhadap praksis pendidikan
pada kemestian adany a kompetensi budaya
dari luar menyebabkan para pengambil kebijakan
dalam berbagai profesi. Nieto dan Booth (2010)
tidak cukup memberi perhatian untuk menggali
menyatakan, “With increasing globalization, cultural
khazanah kearifan lokal untuk dijadikan sebagai
competence is steadily becoming essential for all
basis pengembangan pendidikan yang men-
professionals to be more effective.” Pengintegrasian
janjikan terwujudnya pendidikan yang
kompetensi budaya dalam berbagai profesi akan
Indonesia (Wangsalegawa, 2009; Alwasilah, et al.
menjadi penentu keb erma knaa n pe laya nan
2009).
profesisional, termasuk juga dalam layanan pendidikan.
bercorak
Menyadari luasnya cakupan pembahasan pendidikan guru berbasis kearifan lokal untuk
Pengemb anga n model pend idik an g uru
pe ngem bang an
k ompe tensi
budaya
gur u,
berbasis kearifan lokal penting dilakukan karena
paparan berikut difokuskan untuk mengungkap
mi nim dan terk esam pingkannya pene liti an
tiga ranah berikut: penelaahan terhadap landasan
mengena i ra nah komp etensi b uday a da lam
teori pendidikan guru berbasis kearifan lokal,
diskursus penelitian pendidikan guru. Selama
hakikat kompetensi budaya, dan keniscayaan
beberapa dekade, para pengambil kebijakan di
implementasi model pendidikan berbasis kearifan
lembaga pendidikan guru cenderung menilai
lokal untuk meningkatkan kompetensi budaya
peningkatan kompetensi dan kesadaran budaya
gur u.
guru sebagai hal yang tidak terlalu substansial.
me mancing terb ukanya r uang diskusi leb ih
Kesadaran mengenai pentingnya kompetensi
konstruktif dan melibatkan pihak-pihak yang
budaya dalam pendidikan guru baru menemukan
merasa terpanggil dalam penggagasan pen-
momentum seiring semakin diterimanya teori
didikan guru yang lebih berakar pada realitas
konstruktivisme sosial yang digagas Vigotsky
keragaman budaya di tanah air.
(da lam
Tobb ias
dan
d ihar apka n
da pat
Untuk menjawab masalah yang menjadi
Konstruktivisme sosial meletakkan konteks dan
fokus pembahasan mengenai pendidikan guru
dinamika sosial sebagai bagian inheren dalam
ber basi s
pembentukan persepsi dan konstruksi penge-
penelusuran kepustakaan. Penelusuran dilakukan
ta huan
dengan menggunakan kata kunci yang terkait
must ahil
Ed.,
b erik ut
2009 ).
seseora ng,
Muff y,
Papar an
mel akuk an
ke arif an l okal
dil akuk an
m elal ui
329
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 3, September 2012
dengan pendidikan guru, kompetensi budaya dan
Dalam diskursus pendidikan internasional,
kearifan lokal untuk kemudian menyajikan sebuah
gag asan pendidi kan berb asis kea rifa n lokal
model yang merupakan konstruksi atas ketiga
mempunyai kerangka teori yang beragam. Konsep
konsep kunci tersebut. Model pendidikan guru
dan aplikasi pendidikan multikultural yang sudah
berbasis kearifan lokal yang disajikan dalam tulisan
mendapat tempat tersendiri dalam perdebatan
ini masih bersifat konseptual dan upaya-upaya
intele ktua l
untuk mengejewantahkannya dalam tataran
sumbangsih terhadap diterimanya kearifan lokal
praktis kiranya dapat menjadi bahan pertim-
dalam pendidikan. Selain itu, sejumlah teori
bangan para peneliti berikutnya untuk ditin-
pendidikan yang juga menempatkan budaya
daklanjuti pada masa-masa yang akan datang.
sebagai bagian esensial dalam aksi dan refleksi
ti dak
dira guka n
la gi
m embe ri
pendidikan memberi kontribusi penting terhadap Kajian Teori dan Pembahasan
ber kemb angnya
Landasan Teori Pendidikan Guru berbasis
berbasis ke arifan lokal. Dalam pembahasan
Kearifan Lokal Pe ndid ikan
gur u
g agasan
p endi dika n
guru
berikut dilakukan penelaahan terhadap dua teori be rba sis
lok al
yang memberi apresiasi terhadap eksistensi
merupakan sebuah konsep yang relatif baru dalam
kearifan lokal dan upaya pengintegrasiannya
perdebatan wacana atau diskursus pendidikan
dalam pendidikan guru: teori pendidikan guru
yang didominasi sudut pandang efektivitas dan
tanggap budaya (culturally responsive teacher
ef isie nsi.
education); dan teori pribumisasi pendidikan guru
Pengemb ang an
kear ifan
p endi dika n
guru
berbasis kearifan lokal berpijak pada asumsi
(indigenizing teacher education).
bahwa untuk melahirkan guru yang mempunyai kompetensi budaya, salah satu prasyaratnya
Teori Pendidikan Guru Tanggap Budaya
ad alah kem esti an m eng enal kan eksi stensi
Teori Pendidikan guru tanggap budaya atau
ke arif an l okal sej ak d ini mel alui kur ikul um
culturally responsive teacher education merupakan
pendidikan guru. Harapan untuk mendapatkan
salah satu kelanjutan dari manifestasi pengem-
guru yang mempunyai kompetensi budaya tidak
bar aan inte lekt ual akad emisi da n pr akti si
akan terwujud apabila tidak disertai kesadaran,
mengenai pentingya lensa budaya (cultural lenses)
kemauan dan tekad untuk mengintegrasikan
digunakan dalam meningkatkan kesetaraan,
budaya ata u ke arif an l okal dal am p raksis
kualitas dan kebermaknaan pendidikan. Gagasan
pendidikan guru.
pendidi kan tang gap buda ya p ada awal nya
Posisi strategis lembaga pendidikan guru
ber pija k
da ri
r eali tas
kebi jaka n
asimil asi
dal am m empe rsia pkan gur u ya ng m emil iki
pendidikan di Amerika Serikat yang berlangsung
kompetensi budaya telah dikemukakan sejumlah
sampai akhir 60-an, yang
pakar. Vavrus (2002) mengungkapkan bahwa
proporsional pada artikulasi budaya minoritas.
pe ndid ikan gur u me nem pati posisi sang at
Diskriminasi dan stereotip terhadap masyarakat
menentukan (critical link) dalam pengembangan
pribumi (Indian, Najavo, Aborigin, dll.) dan imigran
guru yang mempunyai perspektif tanggap budaya
(khususnya dari Asia dan Afrika) telah menye-
dan mul tikultural dal am menjalanka n tugas
babkan kesenjangan dan rendahnya prestasi
pengajaran di sekolah. Peran strategis pendidikan
akademis peserta didik yang berasal dari kedua
guru dalam mengkonstruksi keyakinan guru
kelompok tersebut (Gay, 2000). Kecenderungan
terletak pada fungsi lembaga pendidikan guru
umum (mainstream) kebijakan pendidikan yang
dalam memperkenalkan dan menjadikan nilai
bercorak asimilasi sering sekali menempatkan
keragaman budaya dalam keseluruhan aktivitas
identitas lokal peserta didik sebagai penghambat
ya ng d isel engg arak annya. Tanpa per siap an
dan dipertanyakan relevansinya dalam konteks
memadai melalui pendidikan guru akan sangat
pe rsek olahan d an k arenanya peserta did ik
ti dak
ber hara p ak an d i-
dituntut menanggalkan identitas lokalnya, serta
hasilkannya guru yang mampu mengapresiasi dan
mengadopsi nilai atau budaya mayoritas yang
berinteraksi dengan keragaman budaya peserta
dipandang serba unggul. Akibat perlakuan ini,
didik dan komunitasnya.
pengalaman peserta didik di sekolah menjadi
330
bera lasa n untuk
tidak memberi ruang
Al Musanna, Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya
tercerabut dari konteks yang lebih luas (keluarga
akademisi, pengambil kebijakan dan praktisi
dan masyarakat), sehingga berimplikasi pada
pendidikan guru. Gay (2000) dalam Culturally
al iena si p eser ta d idik da ri k onte ks sosia l-
Responsive Teaching: Theory, Research and Practice
budaya nya
menyatakan bahwa pendidikan guru tanggap
keti ka
m ere ka
m enuntask an
pendidikan formal.
budaya mempersyaratkan adanya pengakuan
Menanggapi kenyataan tersebut, sejumlah
bahwa budaya merupakan sistem nilai yang
pakar melontarkan gagasan mengenai penting-
dinamis yang di dal amny a me ncak up k ode
nya penghargaan terhadap identitas lokal dan
pengetahuan (cognitive codes), standar prilaku
mengupayakan adanya sinkronisasi pengalaman
(behavioral standards), pandangan hidup (world
belajar peserta didik di sekolah dengan realitas
views), dan keyakinan (beliefs) yang
dalam keluarga dan komunitas. Teori pendidikan
se baga i pe nata keseim bang an d an p embe ri
guru tanggap budaya bertujuan mempersiapkan
makna kehidupan. Budaya secara umum dan
guru yang lebih sensitif terhadap budaya peserta
kearifan lokal secara lebih spesifik berpengaruh
didik dan menempatkan pengetahuan budaya
dan turut mewarnai bagaimana guru meyakini,
sebagai landasan perencanaan pembelajaran.
be rfik ir
Pendidikan guru tanggap budaya diharapkan
bag aima na
dapat meningkatkan keyakinan calon guru bahwa
dilaksanakan.
d an
b erti nda k
se rta
p enga jara n
da n
berfungsi
mene ntuk an pe mbel ajar an
keragaman budaya memberi pengaruh terhadap
Beberapa pakar yang mendedikasikan dirinya
gaya belajar dan artikulasi hasil belajar peserta
dal am p enge mbangan konsep d an a plik asi
didik. Stoicovy (2002) menyatakan bahwa guru
pe ndid ikan
tanggap budaya meyakini bahwa budaya menjadi
merumuskan sejumlah prinsip teori ini. Leavel,
de term inan
penting
yang
gur u
ta ngga p
budaya
tel ah
me mpengaruhi
Corwart dan Wilhelm (1999) dalam Strategies for
mengemb angk an
Preparing Culturally Responsive Teachers; Villegas
kapasitas belajarnya. Semakin baik kemampuan
dan Lucas (2002) dalam Preparing Culturally
guru
memahami budaya dan berbagai aspek
Responsive Teachers: Rethinking Curriculum; dan
keragaman yang terdapat di ruang kelas, maka
Gay (2002) dalam Preparing Culturally Responsive
akan semakin baik pula ia mengorkestrasi atau
Teacher mengungkapkan bahwa prinsip dasar
menata
bag aima na p eser ta d idik
leb ih
pendidi kan
guru
kontekstual dan bermuara pada perwujudan
proses
p embe laja ran
yang
pengakuan
t erha dap
pembelajaran yang lebih berhasil, bermutu dan
keragaman budaya etnik diintegrasikan untuk
sej alan dengan lensa budaya yang di mili ki
memperkaya praksis kurikulum pendidikan guru.
peserta didik yang mempunyai latar belakang
Castagano dan Brayboy (2008) setelah melakukan
bahasa dan buda ya y ang berb eda. Fok us
tinjauan literatur yang seksama menyatakan
pe rhat ian pend idik an g uru tang gap buda ya
ba hwa
adalah bagaimana menumbuhkan sikap apresiatif
ka rakt eristik dapa t m enghubungkan mod el
guru terhadap eksistensi kearifan lokal, melakukan
pemerolehan pengetahuan yang berkembang
adaptasi kreatif terhadap kearifan lokal tersebut,
dalam masyarakat lokal (local ways of knowing and
sehingga dapat diintegrasikan secara apik dalam
teaching) dengan pelaksanaan tugasnya sebagai
keselur uhan tindaka n ap lika tif guru ket ika
guru; memberdayakan sumber daya lingkungan
menjalankan tugas profesionalnya. Pendidikan
dan komunitas lokal untuk menjamin sinkronisasi
guru tanggap budaya berupaya meminimalisir
antara yang dipelajari peserta didik dengan
kesenjangan pengalaman peserta didik di sekolah
kebutuhan hidupnya; terlibat aktif dalam berbagai
dan realitas aktual dalam komunitasnya melalui
peristiwa (events) dan aktivitas sosial; melakukan
penyiapan guru yang mampu mengkonteks-
komunikasi dengan orang tua peserta didik dalam
tualisasikan proses pengajaran-pembelajaran,
pencapaian sinergi tujuan pendidikan (to achieve
culturally contextualising the teaching–learning
a high leve l of com plem enta ry e duca tional
process (Stoicovy, 2002).
expectations) antara sekolah dan rumah.
Pendidikan guru tanggap budaya menuntut ad anya ref ormulasi par adig ma d i ka lang an
guru
tanggap
tanggap
bud aya
pent ingnya
budaya
adal ah w arisan
mem puny ai
Secara
lebih spesifik, Conrad (2004) menyebut empat fok us m odel pendidi kan
tang gap buda ya:
331
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 3, September 2012
pengakuan dan penghargaan terhadap budaya
membumi atau berakar dari keragaman kerangka
peserta didik; mempromosikan kolaborasi, baik
epistimologis lokal yang sebelumnya tersisihkan,
antara pendidik dan peserta didik, antara sesama
se rta
peserta didk, maupun antara sekolah dengan
sebelumnya dipandang primitif dan tidak relevan
keluarga dan masyarakat; menetapkan standar
dengan tuntutan zaman.
yang tinggi untuk keberhasilan seluruh peserta didi k;
ap resi asi
ter had ap
mere vita lisa si
k eari fan
loka l
ya ng
Secara akademis, para pakar telah melakukan
kesi nam bung an
klasifikasi pribumisasi dalam berbagai lapangan
pengalaman anak dalam keluarga dan di sekolah.
atau disiplin keilmuan. Setidaknya terdapat empat level indigenisasi: meta-teoretis (metatheoritical),
Teori Pribumisasi Pendidikan Guru
teoretis (theoretical), empiris (empirical), dan
Te ori yang jug a me mber i kontri busi dal am
aplikasi (applied) (Salim dalam Salim, Ed., 2007).
pengem bangan kea rifan loka l sebagai basis
Pada level meta-teoretis, indigenisasi merujuk
pe ndid ikan
p ribumisa si
pada pengungkapan dan analisis pandangan
pendidikan guru (indigenizing teacher education).
dunia (worldviews), ideologi, dan asumsi-asumsi
Teori ini berangkat dari keyakinan bahwa setiap
filosofis yang memayungi ilmu-ilmu sosial dan
komunitas mempunyai perhatian untuk menjaga
pr oduk-produknya.
dan
kebe rlangsungan
indigenisasi mengacu pada teori atau konsep yang
eksistensinya. Transformasi kebiasan dan nilai-
dibangun dari pengalaman historis masyarakat
nilai ideal terwujud melalui praktik pendidikan
pribumi yang telah dipraktikkan. Pada tingkat
yang berbeda antara satu komunitas dengan
emp iris, indige nisa si f okus unt uk m engk aji
komunitas lainnya. Reagen (2005) dalam Non-
masalah-masalah aktual yang dihadapi komunitas
Weste rn Educa tional T raditions: Indig enous
lok al
Approaches to Educational Thought and Practice
perhatian, misalnya topik-topik mengenai korupsi,
mengung kapk an b ahwa meskipun te rdap at
imperialisme budaya dan lain-lain. Pada level
perbedaan praktik pendidikan dalam berbagai
aplikasi, indigenisasi termanifestasi pada langkah
komunitas lokal yang tersebar di berbagai belahan
spesifikasi kebijakan, program, dan solusi, serta
dunia, muara akhir dari keseluruhan praktik
kerjasama antara lembaga swadaya masyarakat
pendidikan tidak lain adalah mempersiapkan dan
dan pemerintah dalam mensosialisasikan dan
membekali generasi baru dengan seperangkat
mengimplementasikan berbagai dimensi budaya
pengeta huan dan kete ramp ilan yang dip er-
lokal yang telah wujud dalam komunitas. Tahap-
lukannya untuk menjalani kehidupan yang sesuai
tahap indigenisasi dalam praktiknya tidak selalu
dengan nilai bersama yang diyakini dan berlaku
kentara dan tegas.
gur u
ad alah
mem pert ahankan
teori
dalam komunitas tersebut.
k urang
teoreti s,
me ndap at
berperan sebagai agen budaya yang terlibat
Indigenisasi bertujuan memodifikasi konsep yang
secara sadar dalam transformasi budaya. Menurut
dibangun dari perspektif dan konteks dunia Barat,
pa ra
sehingga lebih sesuai dan memenuhi keperluan
kurikulum pendidikan harus lebih memberi ruang
lokal atau gerakan rekonseptualisasi teori dan
terhadap kearifan lokal agar guru lebih mampu
kebijakan warisan penjajah dan menggantinya
melaksanakan tugas secara efektif dan praktik
dengan mengembangkan perspektif yang dimiliki
pendidikan lebih relevan dengan konteksnya.
para pemangku budaya (Wangsalegawa, 2009).
Berdasar pengamatan dan penelitian selama lebih
Ismailova (2004: 248) menyatakan, “indigenization
dari dua dekade, Gop inathan (2006) dalam
include: reclamation and rehabilitation of the
Challenging the Paradigm: Notes on Developing an
colonized past; revival and incorporation of previously
Indige nize d Te ache r Ed ucat ion Curr icul um
suppressed indigenous language, culture, literature
menyimpulkan bahwa para pengambil kebijakan
and traditional values into the contemporary
di
educational curriculum.” Indigenisasi merupakan
mengadopsi teori pendidikan guru negara maju
upa ya
tanpa berusaha mengadaptasinya secara kritis
m emba ngun
e pist imol ogis
guru tidak terlepas dari tuntutan agar guru mampu
Bar at.
332
domina si
sebe lumnya
tingkat
Gagasan dan praktik pribumisasi pendidikan
Indigenisasi mengemuka sebagai respon ter hada p
y ang
Pada
per spek tif
yang
leb ih
p engg agas
nega ra-negar a
ind ige nisa si
be rkem bang
p endi dika n,
cenderung
Al Musanna, Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya
(uncritically adopt a seemingly universalistic model
Hakikat Kearifan Lokal
of teacher education) sesuai kondisi aktual di
Kearifan bukan hal yang baru dalam praksis
neg aranya m asing-ma sing . Pa daha l , ta np a
pendidikan. Dalam tinjauan historisnya, upaya
keberanian mengungkap identitas pendidikan
menjadi arif atau bijaksana telah dikenal sejak
guru yang lebih kontekstual, pendidikan guru akan
zaman Yunani Kuno. Istilah filsafat yang berasal
ke hila ngan
mengata si
dari kata philo dan sophia yang berarti cinta dan
problematika aktual dalam komunitas. Dengan
ote nsit asnya
d alam
kebijaksanaan (kearifan) menunjukkan bahwa
kata lain, melalui indigenisasi harkat dan martabat
menjadi orang yang bijak atau arif dipandang
komunitas lokal yang sebelumnya dipandang
sebagai sasaran akhir yang perlu dicapai secara
sebelah mata dan selalu diposisikan inferior akan
personal. Menjadi arif atau bijak diposisikan
mulai diperhitungkan keberadaannya. Tidak selalu
sebagai capaian tertinggi dan merepresentasikan
gagasan yang datang dari luar lebih baik, sebab
pribadi ideal. Dalam Islam, kearifan (hikmah) dan
dalam setiap komunitas terdapat nilai-nilai yang
ilmu (‘ilm) sering diidentikkan, meskipun terdapat
telah terbukti unggul dan memberi solusi yang
perbedaan substansi. Istilah hikmah atau kearifan
terpercaya dan tepat guna. Pribumisasi memberi
sesungguhnya merujuk pada level atau tingkat
ruang pengujian dalam menilai warisan tradisi dan
ke sada ran
menuntut sikap tidak muda h terpukau oleh
pe nget ahua n. Al-Qur’an (al -Baq arah: 26 9)
budaya atau teori yang datang dari luar sebelum
menegaskan bahwa orang yang diberi hikmah
melalui pengujian kritis.
telah memperoleh kebaikan yang banyak.
tert ingg i y ang
bera da d i at as
Indigenisasi pendidikan guru diperlukan untuk
Dalam menjelaskan kearifan, para pakar telah
menghasilkan calon guru yang tidak berpan-
melakukan sejumlah klasifikasi. Sternberg dan
dangan stereotip terhadap manifestasi kearifan
Jordan, Ed., (2005) dalam Handbook of Wisdom
lok al y ang tumb uh d an b erke mbang da lam
mengelompokkan teori kearifan menjadi dua:
masyarakat. Melalui indigenisasi pendidikan guru,
implisit (implicit theories) dan eksplisit (explicit
khazanah kearifan lokal dapat dimanfaatkan untuk
theor ies). Teor i im plisit me maknai k eari fan
meningk atka n
d an
ber dasa r sudut pand ang masy arak at a tau
didi k.
konsensus komunitas dan memposisikan tokoh
Pandangan bahwa untuk mencapai kemajuan,
yang di pand ang seba gai peng ejew anta han
unsur lokal harus ditinggalkan dan diganti dengan
pribadi utama dan karenanya pantas diteladani.
nilai-nilai dari luar tidak sepenuhnya dapat
Menurut sud ut p anda ng e kspl isit , ke arif an
diterima (Wangsalegawa, 2009: Tilaar, 2002).
dirumuskan didasarkan pada indikator-indikator
Indigenisasi pendidikan guru diperlukan untuk
universal untuk diterapkan dalam memotret
memb ekali guru ag ar mem iliki seperangkat
realitas kearifan dalam satu komunitas. Sudut
karakter dan keberanian mempertahankan unsur-
pandang eksplisit m enek anka n ge nera lisa si
unsur utama yang terdapat dalam warisan tradisi
indikator kearifan atau lebih bercorak induktif,
dan bersikap terbuka menerima hal-hal baru yang
sementara teori eksplisit mencerminkan corak
memberi manfaat lebih baik. Kaidah Fiqh yang
berpikir deduktif.
me ning katk an
re leva nsi t araf
hi dup
pend idik an pese rta
menyatakan pentingya menghargai khazanah
Kea rifa n
lokal
merupaka n
ak umul asi
kearifan lama, tetapi juga bersikap terbuka pada
pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan
hal-hal baru berpotensi menghasilkan manfaat
ber kemb ang dala m se buah kom unit as y ang
lebih banyak, al muhafadzatu ‘ala al-qadim as-shalih
merangkum perspektif teologis, kosmologis dan
wa al-akhzu ‘ala al-jadid al-ashlah. Pengungkapan
sosiologis. Kearifan lokal bersandar pada filosofi,
kearifan lokal dan modifikasi praksis pembelajaran
nilai-nilai, etika, dan perilaku yang melembaga
unt uk mem beri ruang terhad ap ma nifest asi
secara tradisional untuk mengelola sumber daya
kontekstualitas peserta didik dan komunitas perlu
(a lam, manusia , da n b uday a) secar a be r-
mendapat perhatian para pihak yang bertanggung
kelanjutan. Dengan demikian, kearifan lokal dapat
jawab dalam pengelolaan pendidikan.
dirumuskan sebagai formulasi pandangan hidup (wor ld-vi ew)
seb uah
kom uni tas
mengenai
fenomena alam dan sosial yang mentradisi atau
333
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 3, September 2012
aje g da lam suat u da erah yang te rdir i at as
sosial dipatuhi. Kearifan lokal yang terwujud dalam
perpaduan nilai-nilai suci firman Tuhan dan nilai
pantang an a tau konsepsi mengena i hutan
sosial yang berkembang dalam masyarakat.
larangan, misalnya mengindikasikan secara jelas
Pandangan hidup tersebut menjadi identitas
mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh
komuni tas
dilakukan. Apabila terjadi pelanggaran terhadap
yang
mem bed akannya
deng an
kelompok lain (Rahyono, 2009).
pantangan tersebut akan menimbulkan kon-
Kearifan lokal termanifestasi dalam berbagai
sekuensi pengucilan dan implikasi-implikasi lain
bentuk, misalnya dalam tradisi, nilai-nilai moralitas
yang dapat menggangu harmoni dalam pergaulan
dan panduan hidup. Kearifan lokal juga tertuang
sosial (Sukatman, 2009).
dalam petuah-petuah kehidupan yang ditransmisi
Revitalisasi kearifan lokal dalam berbagai
melalui tradisi lisan dan hanya sebagian kecil
ranah kebijakan tidak terlepas dari menguatnya
ditransm isikan secara tertulis. Seca ra lebih
kesadaran mengenai relevansi kearifan lokal
spesifik, kearifan lokal dapat dikelompokkan
dalam mengatasi persoalan-persoalan kontem-
menjadi lima: kearifan yang berupa pandangan
por er. Supr emasi ep isti mologis Bara t ya ng
hid up,
ya ng
mereduksi fenomena sosial sebagai pola baku,
diungkapkan dalam kata-kata bijak (filosofi);
terprediksi dan terukur dan penafiannya terhadap
kearifan yang berupa sikap hidup sosial, nasihat
sisi subyektivitas, spiritualitas dan moralitas telah
dan iktibar yang diungkap dalam bentuk pepatah,
memantik tantangan dari para pemikir kritis yang
perumpamaan, pantun syair atau cerita rakyat
mem anda ng p erlunya sika p le bih terb uka
(folklor); kearifan berupa ritus atau seremoni
ter hada p ep isti mologi d an k osmologi lok al
dalam bentuk upacara; kearifan yang berupa
(Ahimsa-Putra, 2008: 6). Kearifan lokal merupakan
prinsip, norma, dan tata aturan bermasyarakat
varian pengetahuan yang dikembangkan oleh
yang berwujud menjadi sistem sosial; dan kearifan
suatu masy arak at d ala m intera ksi deng an
yang berupa kebiasaan, prilaku sehari-hari dalam
lingkungan sekitarnya selama turun temurun dan
pergaulan sosial (Rasyidin, Siregar dan Batubara,
bersifat rinci, kaya dan spesifik sebagai hasil
Ed., 2009: 236). Dalam realitasnya, wujud-wujud
akumulasi pengalaman-pengalaman lokal yang
kearifan lokal sebagaimana dikemukakan tersebut
bersifat unik yang diperoleh dari dan dikem-
tidak dapat dipetakan secara tegas.
bangkan berdasarkan pemahaman mendalam
kepe rcay aan
atau
ide olog i
Dal am setia p komuni tas, kea rifa n lokal be rfungsi
seba gai
proy eksi
kol ekti f
ya ng
oleh masyarakat setempat dalam interaksinya dengan
berb agai
tantang an
k ehid upan
di
memanifestasikan harapan-harapan ideal yang
sekitarnya yang selanjutnya dilestarikan sebagai
melekat menjadi ingatan bersama (collective
warisan budaya.
memory). Dalam konsepsi “Ratu Adil” yang
Berikut dikemukakan tinjauan mengenai teori
terd apat dal am masya rakat Ja wa, misa lnya
pe ngaj aran kea rifa n ya ng d igag as d an d i-
merepresentasikan citra pemimpin ideal yang
populerkan Robert J. Sternberg. Sternberg adalah
bersandar pada nilai keadilan, kemanusiaan dan
seorang pakar dan aktivis pendidikan yang telah
nilai-nilai universalitas. Selain itu, kearifan lokal
menulis hampir 1000-an karya yang tersebar
juga berfungsi sebagai alat legitimasi pranata-
dalam bentuk art ikel di jur nal, entri dalam
pranata kebudayaan yang mengikat anggota
ensiklopedia, dan sejumlah buku best seller.
komuni tas untuk me nja ga k elestari an d an
Sternberg telah memberi perhatian dan menekuni
keseimbangan. Fungsi lain kearifan lokal adalah
penelitian mengenai
sebagai media pendidikan. Wujud kearifan lokal
an, ha l ini di lata rbel aka ngi kege lisa hannya
yang hampir terdapat dalam setiap komunitas
terhadap gaya hidup manusia moderen yang
berupa dongeng, legenda, petuah-petuah adat,
cenderung mekanistik dan kehilangan makna
serta pantangan adat secara implisit dan eksplisit
(Preiss dan Sternberg, Ed., 2010). Gagasan
ber isi
Sternberg mengenai pentingnya kearifan dijadikan
konsepsi
pendidi kan
dan
medi um
kearifan sejak tahun 1990-
transformasi nilai-nilai. Fungsi lain dari kearifan
se baga i ba gian
lokal dalam setiap komunitas adalah sebagai alat
terkristalisasi dalam teori pengajaran kearifan
pemaksa atau pengontrol agar norma-norma
(teaching f or wisdom). Sejum lah pe nelit ian
334
dal am
prak sis
pend idik an
Al Musanna, Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya
menunjukkan terjadinya peningkatan kearifan
kearifan. Penyederhanaan enam belas prinsip dan
peserta did ik setel ah p rinsip d an p rose dur
enam prosedur pengajaran kearifan menghasilkan
pe ngaj aran
dal am
tiga komponen utama pengajaran kearifan, yakni:
kurikulum (Preiss dan Sternberg, Ed., 2010).
1) Pengintegrasian pendekatan pembelajaran
Dalam Wisdom, Intelligence, and Creativity
kecakapan berfikir arif (wise thinking skills).
Synthesized, Sternberg (2003) merumuskan
Pembelajaran kearifan menuntut adanya ruang
se juml ah
di
bag i pe sert a di dik untuk me ngem bang kan
antaranya: prestasi dan capaian akademis tidak
kap asit as b erpi kir, sehingg a me reka dap at
mencukupi
komple ksit as
menerima kearifan sebagi produk dari pilihan
pr oble ma m oder nita s; kear ifan mer upak an
sadar; 2) Adanya iklim atau budaya sekolah
prasyarat mencapai kebahagiaan; pentingnya
sebagai wadah persemaian yang membiasakan
pola pikir interdependensi; guru merupakan
sikap, pikiran dan tindakan yang memanifes-
teladan kearifan (role-model); pentingnya literatur
tasikan kearifan; 3) Komitmen pendidik sebagai
kea rifa n;
kea rifa n
p rinsip untuk
di inte grasikan
p enga jara n menjawa b
m enek anka n
ke arif an,
sar ana
teladan. Tanpa keteladanan, kearifan hanya akan
pencapaian tujuan, tidak menjadikan tujuan
pe ntingnya
menjadi pengeta huan yang ti dak memb eri
sebagai akhir; memotivasi berfikir dialektis,
kontribusi signifikan dalam pembentukan karakter
dialogis, kritis dan kreatif; membiasakan peserta
ideal. Sternberg, Jarvin dan Reznitskaya (dalam
did ik m elak ukan penyesuaian ( ada ptati on) ,
Ferrari dan Potworowski, Ed., 2009) menyatakan,
membentuk (shaping), dan memilih (selection)
“the most effective teacher is likely to be one who
lingkungan yang mem bant u me ning katk an
can create a classroom community in wich wisdom
kearifan; memberi semangat dan hadiah dalam
is practiced, rather than preached.” Keteladanan
mendorong konsistensi peserta didik d alam
pendidik meninggalkan pengaruh lebih mendalam
meningkatkan kearifan.
dibanding ucapan yang disampaikan berulang-
Aplikasi prinsip-prinsip pengajaran kearifan
ulang. Hal ini sejalan dengan pesan sebuah Hadits
dapa t ditem puh me lalui sejumlah prose dur.
yang menyatakan, “lisanul hal afsahu min lisanil
Menurut Ste rnbe rg ( 2003 ) te rdap at e nam
maqal.” Artinya, keteladanan melalui tindakan
prosedur pengajaran kearifan. Pertama, peserta
mem beri
didik dikenalkan untuk membaca literatur klasik
penjelasan lisan. Kearifan tidak dapat ditransfer,
untuk membiasakannya belajar dan melakukan
tetapi pengembangan kearifan tidak mustahil
refleksi terhadap contoh-contoh kearifan. Kedua,
di lakukan mela lui mel alui pem odel an d an
peserta didik dilibatkan dalam diskusi kelas,
lingkungan yang kondusif.
proyek,
dan
penulisan
e sai
yang
pengaruh le bih
besa r
di band ing
dap at
mendorong mereka mendiskusikan pelajaran
Kompetensi Budaya Guru
kearifan yang diperoleh dari literatur klasik, dan
Istilah kompetensi pada mulanya digunakan dalam
bagaimana mengaplikasikannya untuk dirinya dan
dunia industri di Amerika Serikat pada permulaan
orang lain. Ketiga, peserta didik tidak dituntut
abad XX. Kompetensi merujuk pada model kerja
sebatas mengetahui kebenaran (truth), tetapi
industri yang dijalankan secara efektif dan efesien
jug a me ndal ami nila i-ni lai yang mendasa ri
dengan kejelasan tujuan yang terperinci, sehingga
kebenaran. Keempat , pembelajaran kearifan
mem udahkan
menekankan pada pengembangan kemampuan
(Burke, Ed., 2005). Kompetensi yang ditrans-
berpikir kritis, kreatif dan praktik dalam pencapaian
formasikan dari dunia industri diterapkan secara
tujuan akhir yang baik (good ends). Kelima,
massif dalam pendidikan guru dan mencapai
peserta didik diberi penguatan untuk berpikir
popularitasnya di Amerika Serikat pada era 70-
bahwa hampir semua yang mereka pelajari dapat
an dan dikenal dengan pendidikan guru berbasis
digunakan untuk pencapaian tujuan yang baik
kompetensi (Competency-Based Teacher Education/
atau yang buruk. Keenam, pendidik memerankan
CBTE).
peng ukur an
k eter capa iannya
di ri sebag ai m odel ata u te lada n me ngenai
Istilah kompetensi secara umum dimaknai
kearifan. Keteladanan menjadi bagian sangat
sebagai kemampuan, keterampilan dan penge-
menentukan berhasil atau tidaknya pembelajaran
tahuan yang dimiliki seseorang untuk dapat
335
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 3, September 2012
melakukan sesuatu dengan baik sesuai standar
mengung kap bahw a se buah institusi a tau
yang ditentukan (Oxford, 2011). McAhsan (1981)
perorangan dinilai memiliki kompetensi budaya
dalam Competency-Based Education and Behavioral
apabila mempunyai kapasitas untuk menghargai
Objectives yang merupakan literatur yang paling
keb erag aman (va lue dive rsit y); mel akuk an
sering dirujuk ketika membahas kompetensi
penilai an
menyata kan, “com pete ncie s re present the
mengelola secara dinamis perbedaan (manage the
cognitive, affective, and psychomotor learning
dynamics of diff erence); me mper ole h d an
outcomes established for or by the learners.” Di
menginstitusionalisasi peng etahuan buda ya
bagian lain buku tersebut, ketika mengaitkan
(acquire and institutionalize cultural knowledge);
kompetensi dengan pendidikan McAhsan (1981)
dan mengadaptasi keragaman konteks budaya
mer umuskan
ada lah
komunitas (adapt to diversity and the cultural
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
context s of the comm unit ies they ser ve ) .
atau kapabilitas yang dicapai seseorang, sehingga
Penjelasan-penjelasan tersebut mengindikasikan
menjadi bagian dari dirinya (part of his or her being)
kompleksitas indikator-indikator dalam meme-
yang memungkinkannya melakukan tindakan
takan kompetensi budaya yang melekat dan
kognitif, afektif dan psikomotor dengan mudah.
menjadi
Be rdasarka n
perorangan.
bahw a
kompet ensi
pe njel asan
ter sebut,
i stil ah
d iri
(conduct
kar akte r
self -asse ssme nt ) ;
eb uah
inst itusi
at au
kompetensi merujuk pada perpaduan antara
Kompetensi budaya guru mengisyaratkan
pe nget ahua n, k eter ampi lan dan sika p ya ng
kemampuan guru yang tercakup dalam ranah
diperoleh seseorang dan kemudian melekat dalam
pe nget ahua n, sikap dan ket eram pila n ya ng
dirinya, sehingga memudahkannya melakukan
ber akar
tugas-tugas yang diberikan.
komunitasnya. Guru yang mempunyai kompetensi
pad a
budaya
peserta
did ik
d an
Dalam mendefiniskan kompetensi budaya,
budaya tidak hanya menguasai materi dan metode
para pakar mengajukan sejumlah pendapat. Suh
pembelajaran, tetapi juga mampu memperkaya
(2004) menyatakan bahwa meskipun istilah
(enriching) materi dan metode pembelajaran
kompetensi budaya telah digunakan lebih dari 20
dengan khazanah kearifan lokal, sehingga peserta
tahun d alam ber baga i di sipl in i lmu, bel um
didik lebih mudah menangkap substansi materi
diperoleh konsensus mengenai definisi istilah ini.
pembelajaran, menumbuhkan sikap lebih positif
Te rlep as d ari perb edaa n rumusa n de fini si
terhadap warisan budaya, dan dapat mening-
kompet ensi bud aya, se juml ah p akar tel ah
katkan kebermaknaan proses pendidikan.
mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam kompetensi budaya. Sue (2001), misalnya
Imperaktif Implementasi Model Pendidikan
merumuskan tiga komponen kompetensi budaya:
Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk
komponen sikap atau keyakinan (attitudes/beliefs
Mengembangkan Kompetensi Budaya Guru
component), yakni pemahaman terhadap kondisi
Pendidikan guru, kearifan lokal dan kompetensi
budaya yang mempengaruhi keyakinan, nilai dan
budaya memerlukan strategi implementasi dan
sik ap; komp onen pengeta huan ( knowled ge
pendekatan integralistik. Pendekatan terpadu
component), yakni pemahaman dan pengetahuan
yang melibatkan berbagai pihak dan komponen
terhadap pandangan hidup orang atau komunitas
diyakini dan terbukti memberi hasil lebih positif
ya ng m empunyai per beda an b uday a; d an
dalam peningkatan kompetensi budaya guru, hal
komponen keterampilan (skills component), yakni
ini sejalan dengan penegasan Sue (2001) yang
kemampuan bertindak dan berkomunikasi sesuai
menyata kan, “the de velopment of cultur al
kerangka budaya.
competence will only be successful if we take a
Kom pete nsi buda ya m erup akan proses
systemic and holistic approach to infusing cultural
perkembangan meningkat dan meluas sejalan
competence throughout.” Kompleksitas peng-
de ngan
integr asia n
eksiste nsi
ind ivid u
pa da
t ingk at
ke arif an
l okal
seb agai
basis
kesadaran, pengetahuan dan keterampilan yang
peningkatan kompetensi budaya guru menuntut
bersifat kontinum. Primm, Osher dan Gomez (2005)
kesungguhan dan perencanaan yang matang.
mengutip National Center of Cultural Competency
Pemahaman dan tekad yang kuat. Sinergi di antara
336
Al Musanna, Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya
sta keholder s m erup akan fak tor yang me m-
implisit atau eksplisit yang mengabaikan (exclusion)
pengaruhi keberhasilan peningkatan kompetensi
budaya minoritas atau kelompok terpinggirkan
budaya di institusi pendidikan guru.
(marginalized groups); pandangan bahwa layanan kom pete nsi
yang diberikan harus seragam untuk semua
budaya guru, hal pertama yang perlu mendapat
Dal am upaya
peningk atan
(assimilation and melting pot concept); pandangan
pe rhat ian
kesadar an
bahwa budaya hanya memiliki peran minimal
mengenai pentingnya kompetensi budaya pada
berk enaa n
de ngan
dalam pemberian layanan; layanan pendidikan
ti ngka t pe rsonal. Peni ngka tan komp etensi
berbasis budaya dan nilai yang spesifik tidak perlu
budaya pada level perorangan dapat
ditempuh
dik emba ngka n, sebab sem ua orang har us
dengan memperhatikan empat prinsip berikut:
mendapat perlakuan yang sama terlepas dari latar
Pertama, individu yang terlibat dituntut untuk
belakang sosio-kulturalnya.”
memperluas perspektifnya (tidak hanya meng-
Berdasar pandangan-pandangan tersebut,
and alka n pe maha man terhadap ker agam an
model pendidikan guru berbasis kearifan lokal
budaya ber dasa rkan pa para n se kila s ya ng
meletakkan kearifan lokal yang terdapat dalam
disajikan media atau yang dikatakan orang) untuk
setiap komunitas sebagai bagian dari landasan
memastikan validitas keyakinan dan asumsinya
penggagasan pendidikan guru. Eksistensi kearifan
mengenai budaya. Kedua, untuk memperoleh
lokal tidak hanya dijadikan sebagai objek kajian
gambaran utuh mengenai profil budaya diperlukan
yang menjadi bagian dari kurikulum di institusi
waktu lebih lama dan mendalam untuk menjalin
pendidikan guru, tetapi juga menjadikan kearifan
int erak si
b uda ya
lokal sebagai nilai dasar yang hidup (living values)
bersangkutan. Ketiga, adanya upaya melengkapi
d enga n
pa ra
p emang ku
dalam keseluruhan tindakan yang mewarnai pola
pemahaman faktual (factual understanding)
pikir, pola sikap dan pola tindak segenap civitas
dengan pengalaman aktual (experiential reality)
akademika pendidikan guru. Pendidikan guru
mengenai komunitas yang dicoba dipahami atau
berbasis kearifan lokal memposisikan revitalisasi
menjadi sasaran interaksi. Keempat, diperlukan
ata u
sikap kehati-hatian sehingga tidak memberi
transformasi atau pembudayaan (enkulturisasi)
peluang munculnya sikap yang bias (Sue, 2001).
yang berjalan secara berkesinambungan, tidak
Pemahaman personal mengenai hal-hal tersebut
sebatas diajar sebagai pengetahuan (transmisi
dapat memberi pijakan yang kukuh dalam diri
atau transfer) yang pencapaian keberhasilannya
seseorang mengenai realitas keragaman budaya
diukur dengan kemampuan menjawab sejumlah
dan keniscayaan sikap yang lebih terbuka dalam
butir tes.
pe rgaulan anta r buday a. Pener imaa n guru
re aktualisasi
kear ifan
lok al
m elal ui
Untuk mendekatkan pemahaman mengenai
terhadap otensitas keragaman budaya peserta
ba gaim ana
didik merupakan modal sosial paling penting dalam
pendidikan guru, berikut dikemukakan eks-
harmonisasi pembelajaran.
perimentasi sebuah lembaga pendidikan guru di
Pada level organisasi atau institusi pendidikan
Kab upat en
kear ifan
Aceh
lok al
Teng ah
d ijad ikan
d alam
basis
upa ya
guru, program peningkatan kompetensi budaya
mengintegrasikan kearifan lokal masyarakat Gayo.
dihadapkan pada sejumlah tantangan. Asumsi
Pada institusi pendidikan guru ini, mahasiswa
da n
l emba ga
calon guru yang sebagian besar berasal dari etnis
pendidikan tenaga kependidikan bahwa kearifan
Gayo dan setelah menyelesaikan pendidikannya
lokal dan kompetensi budaya bukan merupakan
menjalankan tugas di kawasan tersebut dibekali
hal yang perlu mendapat perhatian dapat menjadi
berbagai manifestasi kearifan lokal setempat.
penghalang atau memperlambat pengembangan
Menyadari telah terjadinya degradasi peran dan
program peningkatan kompetensi budaya guru.
fungsi kearifan lokal masyarakat Gayo, unsur
Kajian intensif
Sue (2001) menemukan bahwa
pimpinan di lembaga pendidikan ini bekerjasama
terdapat sejumlah asumsi yang menghambat
dengan sejumlah tokoh masyarakat mengem-
pengembangan program kompetensi budaya
bangkan kurikulum pendidikan guru yang berakar
pad a le vel orga nisa si, di a ntar anya ada lah
pada kearifan lokal masyarakat Gayo dengan
sebagaimana disajikan berikut: “pandangan
menetapkan pemberlakuan mata kuliah budaya
ke yaki nan
seba gian
besar
337
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 3, September 2012
dan literatur Gayo. Mata kuliah ini bertujuan
Mukemel berasal dari kata kemel yang pada
memperkenalkan kearifan lokal masyarakat Gayo
dasarnya berarti malu. Dalam aplikasinya mukemel
dan menumbuhkan kesadaran calon guru bahwa
dipahami dalam makna yang lebih luas, sehingga
terdapat sisi-sisi positif dari warisan budaya
mencakup makna harga diri atau iffah dalam studi
masyara kat Gayo yang re leva n untuk di-
akhlak. Konsep ini merujuk pada kemampuan
per taha nkan
be rbag ai
menjaga diri agar tidak terjerumus pada pikiran
tantangan zaman. Melalui upaya ini diharapkan
dal am
m enghadap i
dan tindakan yang dapat menyebabkan hilangnya
wawasan calon guru untuk belajar dari kondisi
har ga di ri. Seorang ya ng me mpuny ai si kap
yang ada dalam masyarakat dan menjadikannya
mukemel konsisten mempertahankan harga diri
mod al d alam meningk atka n ke berm akna an
dengan mencegah dirinya agar tidak terjebak pada
pembelajaran lebih terbuka. Masyarakat Gayo
perbuatan-perbuatan tercela atau bertentangan
adalah salah satu suk u asli yang m endiami
dengan tuntunan agama (syariat) dan norma
provinsi Aceh, khususnya di dataran tinggi Gayo
keb iasa an ( adat ). Agama dan ada t da lam
yang mencakup kabupaten Aceh Tengah, Aceh
masyarakat Gayo dipandang sebagai jalinan yang
Tenggara, Gayo Lues dan Bener Meriah, serta
tidak terpisahkan, hal ini sebagaimana tercermin
me nemp ati posi si k edua seb agai suk u asli
dalam ungkapan Gayo, “Kuet edet muperala agama,
terbesar di provinsi Aceh. Eades (2005) dalam
rengang edet benasa nahma” yang artinya kuatnya
Grammar of Gayo: A Language of Aceh Sumatera
pengamalan adat menyebabkan terpeliharanya
menyatak an ba hwa bahasa Gayo te rmasuk
ajaran agama dalam kehidupan sosial, sedangkan
keluarga bahasa Austronesia (Nias, Mentawai,
apabila nilai-nilai adat telah tergerus berimplikasi
Enggano, dan Batak) dan sebagian besar kosa
pa da t erce marnya nama baik . Le bih lanj ut
katanya atau sekitar 40 persen secara leksikal
Melalatoa (1997) menyatakan, “seorang individu
berasal dari bahasa Melayu.
dal am m asya raka t ha rus mene gakk an d an
Salah satu wujud kearifan lokal masyarakat
menjaga ‘harga diri’ nya. Orang yang punya harga
Gayo terangkum dalam falsafah atau nilai dasar
diri disebut orang mukemel, yang artinya punya
yang dikenal dengan sebutan mukemel. Menurut
rasa malu. Orang yang tidak mempunyai rasa
Melalatoa (dalam Melalatoa, Ed., 2007) mukemel
malu dinamakan gere mukemel atau ‘tidak punya
merupakan nilai tertinggi dalam masyarakat Gayo
rasa
yang membingkai berbagai nilai-nilai lain yang
masyarakat adat. Harga diri adalah sebuah nilai,
menjadi komponennya. Sistem nilai budaya Gayo
bahkan dapat disebut nilai-utama atau nilai
menempatkan mukemel (harga diri) sebagai nilai
sangat penting.”
utama dan untuk mewujudkan nilai harga diri memerlukan aplikasi sejumlah nilai penunjang. Berdasarkan penelitian selama tidak kurang dari empat dekade, Melalatoa merumuskan tujuh nilai penunjang untuk terwujudnya mukemel (harga diri), yakni: tertip (tertib/patuh pada peraturan), setie (komitmen), semayang-gemasih (simpatik), mutentu (profesional), amanah (integritas), genapmupakat (demokratis), alang-tulung (empatik). Untuk mewujudkan berkembangnya ke-tujuh nilai
ma lu’
yang
dip anda ng
r enda h
ol eh
Kearifan lokal masyarakat Gayo sebagaimana tercermin dalam konsep mukemel, menjadi salah satu nilai yang dipandang penting untuk dimiliki seorang guru yang menjalankan tugas profesinya di dataran tinggi Gayo. Ketiadaan nilai ini dalam diri seorang guru akan berimplikasi pada jatuhnya mar taba t guru t erse but dala m pa ndangan masyarakat Gayo. Dalam membudayakan dan menumbuhkembangkan nilai mukemel dapat ditemukan perimestike atau ungkapan bijaksana. Salah satu perimestike mengemukakan, “ike kemel
penunjang perlu nilai penggerak yang disebut
mate” yang berarti harga diri harus dipertahankan
semangat kompetitif, bersikekemelen (Melalatoa
dengan segenap kemampuan, sebab ketika harga
dalam Melalatoa, Ed., 1997). Perpaduan antara
diri tercederai maka kematian menjadi pilihan
nilai penggerak dan nilai penunjang menghasilkan
terbaik. Guru yang melakukan tindakan tidak
ter bent ukny a
sebag aima na
terpuji atau tidak pantas dapat menyebabkan
terangkum dalam konsep mukemel (Musanna,
harga dirinya merosot ketitik nadir dan hal ini
2011b).
dip anda ng
ni lai
utam a,
memalukan.
338
sebag ai
t rage di
y ang
sang at
Al Musanna, Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya
Penutup
komunitasnya. Sinergi dan pengembangan iklim
Simpulan
organisasi yang kondusif terhadap penyikapan
Pendidikan guru berbasis kearifan lokal yang
keragaman budaya pada institusi pendidikan guru
sedang menjadi trend dalam diskursus pendidikan
me rupa kan
global berpijak pada teori yang dikembangkan
mempengaruhi keberhasilan implementasi model
sejumlah pakar. Terdapat dua teori yang telah
pendidikan guru berbasis kearifan lokal.
fakt or-f aktor
pe nent u
ya ng
memberi pijakan penting dalam penerimaan kearifan lokal dalam pendidikan guru yaitu teori
Saran
pendidikan guru tanggap budaya ( culturally
Ke ndal a pe ngem bang an k onse p re vita lisa si
responsive teacher education) dan pribumisasi
kearifan lokal sebagai basis pendidikan salah
pendidikan guru (indigenizing teacher education).
sa tuny a te rlet ak p ada minimny a dukung an
Kedua teori tersebut mempunyai titik temu pada
pengambil kebijakan dalam mempersiapkan guru
keyakinan bahwa pendidikan guru tidak dapat
yang mampu mengimplementasikannya. Oleh
dilepaskan dari realitas kontekstual atau sosial-
karena itu, para pengambil kebijakan dan pakar
budaya yang melingkupinya. Lensa budaya yang
perlu melakukan koordinasi untuk mewujudkan
membingkai perspektif komunitas menjadi unsur
si nerg i
penting dalam penggagasan dan implementasi
kompetensi budaya guru. Kesadaran bersama
kebijakan pendidikan guru, sehingga guru mampu
bahwa kompetensi budaya guru diperlukan untuk
menjalankan pembelajaran.
menghasilkan praksis pendidikan yang lebih
Kompetensi budaya (cultural competence) se baga i sa lah satu asp ek k ompe tensi guru diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan ke berm akna an
p rogr am
p endi dika n
untuk
keb erhasil an
p eningkat an
membumi dan bermakna menjadi titik tolak yang sangat penting diperhatikan. Upaya mengenalkan kembali hakikat kearifan
pa da
lokal dan kontribusinya dalam meningkatkan
berbagai jenis dan jenjangnya. Persentuhan dan
relevansi dan kebermaknaan pendidikan perlu
jalinan antar budaya menuntut guru dengan
dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini dapat
sep erangkat
ke-
dilakukan melalui penelitian, publikasi karya-karya
terampilan untuk berinteraksi dengan berbagai
pengeta huan,
yang membahas kearifan lokal, pelatihan terhadap
la tar
bela kang bud aya
si kap
dan
peserta did ik d an
pi hak- piha k ya ng b erke pent inga n da n pe n-
komunitasnya. Dengan pemahaman yang baik
dampingan dari pemerintah dalam aktualisasi
terhadap keragaman budaya peserta didik dan
kearifan lokal menjadi bagian penting yang akan
kom unit asny a guru d apat ber pera n da lam
menentukan berhasil atau tidaknya gerakan
kontekstualisasi dan peningkatan kebermaknaan
revitalisasi kearifan lokal di tanah air pada masa-
pembelajaran dalam proses pendidikan yang
masa mendatang. Tanpa komitmen bersama dan
berlangsung di sekolah.
dukungan biaya yang memadai, gagasan untuk
Implementasi model pendidikan guru berbasis
meningkatkan kompetensi budaya guru yang
kearifan lokal untuk meningkatkan kompetensi
berbasis kearifan lokal akan berhenti pada tataran
budaya guru menuntut terpenuhinya sejumlah
wacana dan tida k be rdam pak nyat a da lam
prasyarat. Pada level personal diperlukan adanya
ref ormulasi
ke sada ran,
menyeluruh pada masa-masa yang akan datang.
kem auan da n si kap
apre siat if
pendidi kan
nasi onal
secara
terhadap diversitas budaya peserta didik dan
Pustaka Acuan Al-Qur’an. Surat
Al-Baqarah, ayat 269.
Ahimsa-Putra, H.S. 2008. Ilmuwan Budaya dan revitalisasi Kearifan Lokal: Tantangan Teoritis dan Metodologis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Alwasilah, C., Suryadi, K., Karyono, T. 2009. Etnopedagogi: Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat dan Universitas Pendidikan Indonesia. Afif dan Bahri, S. Ed. 2009. Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia. Jakarta: Balitbang Kemenag. Burke, J.W. Ed. 2005. Competency Based Education and Training. New York: Routledge.
339
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 3, September 2012
Castagno, A.E., Brayboy, B.M.J. 2008. “Culturally Responsive Schooling for Indigenous Youth: A Review of Literature” dalam Review of Educational Research, 78 (4), 941-993. Conrad, N.K. 2004. “Using Text Talk as a Gateway to Culturally Responsive Teaching” dalam Early Childhood Education Journal, 31 (3), 187-193. Eades, D. 2005. A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatera. Canberra: The Australian National University Ferrari, M., Potworowski, G. Ed. 2009. Teaching for Wisdom: Cross-Cultural Perspectives on Fostering Wisdom. Netherland: Springer Gay, G. 2002. “Preparing for Culturally Responsive Teaching” dalam Journal of Teacher Education, 53(2), 106–116. Gay. G. 2000. Culturally Responsive Teaching: Theory, Research and Practice. New York: Teacher College. Gopinathan. 2006. “Challenging the Paradigm: Notes on Developing
an Indigenized Teacher
Education Curriculum” dalam Improving School Journal, 9 (3), 262-280. Ismailova, B. 2004. “Curriculum Reform in Post-Soviet Kyrgyzstan: Indigenization of the History Curriculum” dalam The Curriculum Journal, Vol. 15 (3), 247-266. Leavel, A.G., Corwart, M., Wilhelm, R.W. 1999. “Strategies for Preparing Culturally Responsive Teachers” dalam Equity and Excellence in Education, 32 (1), 64-71 Melalatoa, M.J. 1997. “Budaya Malu: Sistem Budaya Gayo” dalam Melalatoa, M.J. [Penyunting]. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: FISIP Universitas Indonesia dan Pamator. Melalatoa, M.J. [Penyunting]. 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: FISIP Universitas Indonesia dan Pamator. Musanna, A. 2011a. “Model Pendidikan Guru Berbasis Ke-Bhinekaan Budaya di Indonesia” dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 17 (4), 383-390. Musanna, A. 2011b. “Rasionalitas dan aktualitas Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal” dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 17 (5), 588-598 McAhsan. 1981. Competency-Based Education and Behavioral Objectives. 2nd Edition. New Jersey: Educational Technology Publication. Nieto, C., Booth, M.Z. 2010. “Cultural Competence: Its Influence on the Teaching and Learning of International Education” dalam Jurnal of Studies in International Education, 14 (4), 406-425. Oxford University. 2011. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Fourth Edition. New York: Oxford University Press. Preiss, D.D., Sternberg, R.J., [Ed.], 2010. Innovations in Educational Psychology: Perspective on Learning, Teaching and Human Development. New York: Springer. Primm, A.B., Osher, F.C., dan Gomez, M.B. 2005. “Race and Ethnicity, Mental Health Services and Cultural Competence in the Criminal Justice System: Are we Ready to Change?” dalam Community Mental Health Journal, 41 (5), 557-570 Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Reagen, T. 2005. Non-Western Educational Traditions: Indigenous Approaches to Educational Thought
and Practice. 3rd Edition. New Jersey: Lawrence Erlbaum Rasyidin., Siregar, P., Batubara, K. 2009. “Penyerapan Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam Kehidupan Beragama: Studi Tentang Budaya Lokal di Medan” dalam Afif dan Bahri, S. Ed. Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia. Jakarta: Balitbang Kemenag. Salim, A. 2007. “Indigenisasi Ilmu Pendidikan di Indonesia” dalam Salim, A., Ed. Indonesia Belajarlah: Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang: Tiara Wacana Sternberg, R.J. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synteshized. New York: Oxford University Press Sternberg, R.J., Jordan, J. [Ed]. 2005. A Handbook of Wisdom: Psychological Perspective. Cambridge: Cambridge University Press Stoicovy, C. 2002. “A Case for Culturally Responsive Paedagogy” dalam International Research in
340
Al Musanna, Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya
Geographical and Environmental Education, 11 (1), 80-84 Sue, D. W. 2001. “Multidimensional Facets of Cultural Competence” dalam The Counseling Psychologist, 29 (6), 790-821 Suh, E.E. 2004. “The Model of Cultural Competence Through an Evolutionary Concept Analysis” dalam Journal of Transcultural Nursing, 15 (2), 93-102. Sukatman. (2009). Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia: Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Leksbang Pressindo. Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo. Tobbias, S., Muffy, T.M. Ed. 2009. Constructivism Instruction: Success or Failure?. New York: Routledge Vavrus. M. 2002. Transforming the Multicultural Education of Teachers. New York: Teachers College. Villegas, A.M. Lucas, T.
2002. “Preparing Culturally Responsive Teachers: Rethinking Curriculum”
dalam Journal of Teacher Education, 53 (1), 20-32 Wangsalegawa. T. 2009. “Origin of Indonesian Curriculum Theory and Practice: Possibilities for the Future” Disertasi. Chicago: University of Illionis.
341