1
KEBIASAAN MAKAN, PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI KELUARGA PEMULUNG DI KELURAHAN SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI
ARIZKI WITARADIANINGTIAS
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kebiasaan Makan, Perilaku Hidup bersih dan Sehat dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan meupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor,
Maret 2013
Arizki Witaradianingtias NIM: I141040332
ii
ABSTRACT ARIZKI WITARADIANINGTIAS. Food Habit, Clean and Healthy Behaviour and Anemia Status in Adolescent Girls of Scavenger Families in Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Supervised by AHMAD SULAEMAN and IKEU EKAYANTI This study was aimed to analyze the association between food habit, clean and healthy behaviour and anemia status in adolescent girls of scavengers families in Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Cross sectional design was applied in this study. About 72 adolescent girls of scavengers families were purposing sampled in this study. Food consumption among this girls was collected using semiquantitative food frequency and anemia status was measured by hemoglobin level using cyanmethemoglobin. Most of adolescent girls (19.4%) was anemia and 80.6% were non anemia. The girls had moderate food habit (61.6%) based on the frequency of consumption of food is still a lack of food sources of heme. Clean and healthy behaviour among the girls were in a good category (79.2%). The state of the living environments is in a category quite well (59.7%). History of helminthiasis in adolescent girls (41.7%) were in the low category. The result shown there’s no relationship between food habits, clean and healthy behaviour, living environtments and history of helminthiasis with anemia status (p>0.05) Key words: Adolescent Girl, Anemia Status, Clean and Healthy Behavior, Food Habit
iii
RINGKASAN ARIZKI WITARADIANINGTIAS. Kebiasaan Makan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Dibimbing oleh AHMAD SULAEMAN dan IKEU EKAYANTI Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga remaja putri keluarga pemulung, 2) Mengkaji status anemia remaja putri keluarga pemulung, 3) Mengidentifikasi perilaku hidup bersih dan sehat serta lingkungan tempat tinggal remaja putri keluarga pemulung, 4) Mengidentifikasi kebiasaan makan dan konsumsi pangan remaja putri keluarga pemulung, 5) Menganalisis hubungan antara kondisi lingkungan tempat tinggal dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung, 6) Menganalisis hubungan antara kebiasaan makan dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung, 7) Menganalisis hubungan perilaku hidup bersih dan sehat dengan status anemia remaja putri keluarga pemulung, 8) Menganalisis hubungan riwayat kecacingan dengan status anemia remaja putri keluarga pemulung. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja putri keluarga pemulung berusia 13-15 tahun yang terdapat di SMPN 27 Bekasi. Sampel yang diteliti berjumlah 72 orang. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan banyaknya anak-anak keluarga pemulung yang bersekolah di SMP Negeri 27 dan lokasinya yang berdekatan dengan TPA Bantar Gebang. Metode penarikan sampel dilakukan secara purposive sampling. Kriteria inklusi yang digunakan adalah 1) siswi SMP Negeri 27 Bekasi, 2) pekerjaan orang tua sebagai pemulung, 3) bertempat tinggal di wilayah Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang Bekasi, 4) bersedia menandatangani surat pernyataan ikut serta (informed consent) dalam penelitian, 5) sudah mengalami menstruasi, 6) tidak dalam keadaan sakit dan 7) tidak sedang mengonsumsi obat-obatan. Status anemia melalui pengambilan sampel darah dengan metode cyanmethhemoglobin. Data jenis dan frekuensi konsumsi pangan menggunakan metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif). Usia contoh berkisar antara 13-15 tahun, sebagian besar contoh (63.9%) berusia 13 tahun dengan rata-rata contoh berusia 13±0.5 tahun. Tingkat pendidikan ayah (68.0%) dan ibu (80.6%) contoh hanya sampai tingkat pendidikan Sekolah Dasar. Seluruh pekerjaan ayah adalah sebagai pemulung dan ibu (93.1%) sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat, rata-rata pendapatan perkapita orang tua contoh sebesar Rp.147.006 kapita/bulan. Angka tersebut masih berada dibawah batas Garis Kemiskinan, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar (94.4%) keluarga contoh termasuk kedalam keluarga miskin. Rata-rata pengetahuan gizi contoh (73.6%) tergolong sedang. Sebagian besar contoh (72.2%) memiliki status gizi yang tergolong normal. Berdasarkan penggolongan kadar hemoglobin didapatkan 1.4% contoh mengalami anemia berat (Hb<7.0 g/dl), 4.2% contoh mengalami anemia sedang (Hb 7.0-9.9 g/dl) dan 13.9% mengalami anemia ringan (Hb 10.0-11.9 g/dl).
iv
Rata-rata contoh (61.1%) memiliki kebiasaan makan dengan kategori cukup. Seluruh contoh (100%) mengonsumsi nasi dengan frekuensi konsumsi selalu pada golongan serealia dan umbi-umbian. Rata-rata contoh (51.4%) mengonsumsi lauk nabati dengan frekuensi jarang (1 atau 2 kali/minggu). Sebagian besar contoh mengkonsumi jenis sayuran dengan frekuensi jarang, yaitu jenis sayur bayam (38.9%), kangkung (51.4%) dan ketimun (38.9%). Buah yang paling sering di konsumsi adalah buah jeruk dan mangga, sedangkan tomat, pepaya, jambu biji, nanas, pisang, semangka, melon, apel, anggur dan pir dalam frekuensi konsumsi tidak pernah. Sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi jajanan (89.9%), kopi (81.9%), teh (31.9%), susu (37.5%) dan suplemen (100%). Tingkat kecukupan energi sebagian contoh (45.8%) tergolong dalam defisit tingkat berat. Rata-rata konsumsi energi contoh sebesar 1484±538 Kal/hari. Tingkat kecukupan protein contoh (50.0%) tergolong lebih dengan ratarata konsumsi protein 65.2±39.3 g/hari. Tingkat kecukupan vitamin A contoh (62.5%) tergolong cukup dengan rata-rata konsumsi vitamin A contoh 634.9±606.1 RE/hari. Tingkat kecukupan vitamin C contoh (50.0%) tergolong kurang dengan rata-rata konsumsi vitamin C 56.7±58.9 mg/hari. Tingkat kecukupan zat besi contoh (50.0%) tergolong kurang dengan rata-rata konsumsi pangan 22.2±17.2 mg/hari. Perilaku hidup bersih dan sehat sebagian besar contoh (79.2%). tergolong dalam kategori baik, serta memiliki keadaan lingkungan tempat tinggal yang tergolong cukup baik (59.7%). Sebagian contoh (41.7%) memiliki riwayat kecacingan yang tergolong rendah. Semakin rendahnya riwayat kecacingan yang dialami contoh, maka semakin rendah risiko terjadinya anemia. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi udang rebon, daun melinjo, pepaya muda dengan nilai korelasi positif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin sering mengonsumsi pangan tersebut, maka dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Selain itu, terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi terong, mangga, cokelat dan chiki terhadap kadar hemoglobin contoh (p<0.05) dengan nilai korelasi negatif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin sering mengonsumsi pangan tersebut maka dapat menurunkan kadar hemoglobin. Uji hubungan antar variabel menunjukkan tidak terdapat hubungan erat antara keadaan lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, kebiasan makan dan riwayat kecacingan dengan kadar hemoglobin contoh (p<0.05).
v
KEBIASAAN MAKAN, PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI KELUARGA PEMULUNG DI KELURAHAN SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI
ARIZKI WITARADIANINGTIAS
Skripsi sebagai salah syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vi
Judul : Kebiasaan Makan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi Nama : Arizki Witaradianingtias NIM : I114104032
Disetujui oleh:
Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD Pembimbing I
Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M. Kes Pembimbing II
Diketahui oleh :
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bekasi pada tanggal 20 Mei 1990. Penulis adalah putri dari pasangan Puji Utoro dan Diah Rusaltini. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1993 pada sebuah Taman Kanak-kanak Regina di Bekasi dan lulus pada tahun 1994, dan melanjutkan ke Sekolah Dasar Margajaya VIII lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah swasta yaitu SMP BPS&K 3 Bekasi dan lulus pada tahun 2004. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA PGRI 1 Bekasi jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis diterima di Program Diploma III Institut Pertanian Bogor, pada Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menjalankan Praktek Kerja Lapang (PKL) selama empat bulan dimulai dari tanggal 01 Desember 2009 sampai dengan 23 Maret 2010 di Rumah Sakit PMI Bogor. Penulis juga menjalankan Praktek Usaha Jasa Boga (PUJB) di Kantin Sehati selama dua bulan dari tanggal 26 April 2010 sampai dengan 26 Juni 2010. Penulis lulus dari program Diploma Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 dengan predikat kelulusan sangat memuaskan dan melanjutkan jenjang pendidikan sarjana pada program alih jenis Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur ujian mandiri pada tahun 2010. Selama kuliah di program alih jenis, penulis pernah menjadi Bendahara I (satu) dalam kegiatan Seminar Pangan dan Gizi Nasional ”FIT FESTIVAL” yang dilaksanakan di Hotel Brajamustika. Selain itu, penulis pernah melakukan kuliah kerja profesi di Kabupaten Banjarnegara selama 2 bulan.
viii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebiasaaan Makan, Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat, Dan Status Anemia Pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi”. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD, Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa membimbing dengan penuh kesabaran, memberi arahan, masukan serta saran yang sangat membangun kepada penulis selama penyusunan usulan penelitian dan pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing, memberi arahan dan masukan serta saran yang sangat membangun kepada penulis selama menjalankan kuliah di Departemen Gizi Masyarakat, IPB. 3. Ibu Dr. Tiurma Sinaga, MFSA selaku dosen pemandu seminar dan penguji sidang yang telah memberikan masukan dan saran yang membangun kepada penulis. 4. Bunda, ayah, mas riyo dan adik yang senantiasa memberikan doa, dukungan, dorongan serta semangat kepada penulis. 5. Masyarakat wilayah Bantar Gebang, Kelurahan Sumur Batu serta SMP Negeri 27 Bekasi, Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Kesiswaan, Dewan Guru dan staf tata usaha serta siswi kelas VIII.1-VIII.8 terima kasih atas kerjasamanya. 6. Mba Retno, Mba Apriyanti dan Parahita Diagnostic Center, terima kasih atas kerjasamanya, semoga bisa bekerja sama kembali di lain kesempatan 7. Teman-teman penelitian Erni dan Siti serta teman-teman Alih Jenis Ilmu Gizi angkatan 4 terima kasih atas kerja sama dan semangatnya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun dengan segala kekurangan yang dimiliki, semoga skripsi hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk semuanya. Bogor, Maret 2013 Arizki Witaradianingtias
v
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. v DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x PENDAHULUAN........................................................................................... 1 Latar Belakang.......................................................................................... 1 Tujuan....................................................................................................... 2 Tujuan Umum ................................................................................... 2 Tujuan Khusus .................................................................................. 2 Hipotesis ................................................................................................... 3 Kegunaan Penelitian ................................................................................. 3 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4 Remaja Putri ............................................................................................. 4 Kebiasaan Makan ..................................................................................... 5 Bioavailabilitas Zat Besi ............................................................................ 7 Status Gizi ................................................................................................ 9 Anemia ................................................................................................... 10 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ............................................................ 13 Faktor Risiko Anemia .............................................................................. 14 Riwayat Penyakit............................................................................. 14 Riwayat Kecacingan........................................................................ 14 Menstruasi ...................................................................................... 15 Keadaan Lingkungan ...................................................................... 16 KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................... 18 METODE PENELITIAN............................................................................... 20 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 20 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ....................................................... 20 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................ 21 Cara Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... 22 Definisi Operasional ................................................................................ 26 HASIL PEMBAHASAN................................................................................ 28 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 28 Kelurahan Sumur Batu .................................................................... 28
vi
SMP Negeri 27 Bekasi .................................................................... 28 Karakteristik Umum Contoh .................................................................... 29 Usia................................................................................................. 29 Tingkat Pendidikan Orang tua ......................................................... 29 Pekerjaan Orang tua ....................................................................... 30 Pendapatan Orang tua .................................................................... 30 Pengetahuan Gizi ................................................................................... 31 Status Anemia ........................................................................................ 31 Menstruasi .............................................................................................. 32 Usia Menarche ................................................................................ 32 Lama Siklus Menstruasi .................................................................. 33 Frekuensi Menstruasi ...................................................................... 33 Keteraturan Menstruasi ................................................................... 34 Lama Menstruasi............................................................................. 34 Kebiasaan Makan ................................................................................... 35 Frekuensi Konsumsi Pangan .................................................................. 36 Frekuensi Konsumsi Serealia dan umbi-umbian.............................. 36 Frekuensi Konsumsi Pangan Hewani .............................................. 37 Frekuensi Konsumsi Pangan Nabati ............................................... 38 Frekuensi Konsumsi Sayuran.......................................................... 39 Frekuensi Konsumsi Buah-buahan.................................................. 41 Frekuensi Konsumsi Jajanan, Minuman dan Suplemen .................. 42 Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi ............................................. 43 Energi ............................................................................................. 44 Protein ............................................................................................ 45 Vitamin A......................................................................................... 45 Vitamin C ........................................................................................ 46 Vitamin D ........................................................................................ 47 Zat Besi (Fe) ................................................................................... 48 Status Gizi .............................................................................................. 49 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ............................................................ 49 Keadaan Lingkungan Tempat Tinggal..................................................... 50 Riwayat Kecacingan ............................................................................... 51 Riwayat Penyakit .................................................................................... 52 Hubungan Keadaan lingkungan dengan Status Anemia ......................... 53
vii
Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia ............................. 53 Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Status Anemia ...... 54 Hubungan Riwayat Kecacingan dengan Status Anemia ......................... 55 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 56 Kesimpulan ............................................................................................. 56 Saran ...................................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 58 LAMPIRAN ................................................................................................. 62
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Penggolongan anemia berdasarkan kadar hemoglobin ........................... 11 2 Jenis dan cara pengumpulan data ........................................................... 21 3 Kategori dan variabel ............................................................................... 23 4 Sebaran contoh berdasarkan usia ........................................................... 29 5 Sebaran tingkat pendidikan orang tua ...................................................... 30 6 Sebaran pekerjaan orang tua contoh ....................................................... 30 7 Sebaran pengetahuan gizi contoh............................................................ 31 8 Sebaran contoh berdasar kadar hemoglobin ........................................... 31 9 Sebaran usia menarche contoh ............................................................... 32 10 Sebaran siklus menstruasi contoh ......................................................... 33 11 Sebaran frekuensi menstruasi contoh .................................................... 33 12 Sebaran keteraturan menstruasi contoh ................................................ 34 13 Sebaran contoh berdasarkan lama menstruasi ...................................... 35 14 Sebaran kebiasaan makan contoh ......................................................... 35 15 Sebaran frekuensi konsumsi serealia dan umbi-umbian contoh ............. 36 16 Sebaran frekuensi konsumsi pangan hewani contoh ............................. 37 17 Sebaran frekuensi konsumsi lauk nabati contoh .................................... 39 18 Sebaran frekuensi konsumsi sayuran contoh ......................................... 40 19 Sebaran frekuensi konsumsi buah contoh ............................................. 41 20 Sebaran frekuensi konsumsi jajanan, minuman dan suplemen contoh .. 42 21 Sebaran tingkat kecukupan energi contoh ............................................. 44 22 Sebaran tingkat kecukupan protein contoh ............................................ 45 23 Sebaran tingkat kecukupan vitamin A contoh ........................................ 46 24 Sebaran tingkat kecukupan vitamin C contoh ........................................ 46 25 Sebaran tingkat kecukupan vitamin D contoh ........................................ 47 26 Sebaran tingkat kecukupan zat besi contoh ........................................... 48 27 Sebaran status gizi contoh ..................................................................... 49 28 Sebaran perilaku hidup bersih dan sehat contoh ................................... 49 29 Sebaran keadaan lingkungan contoh ..................................................... 50 30 Sebaran riwayat kecacingan contoh ...................................................... 51 31 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit (pernah/tidak) .................... 52 32 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit dan frekuensi sakit ............ 52
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Hubungan kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. .......................................................................
19
2 Lingkungan tempat tinggal contoh .......................................................
64
3 Proses pengambilan data ....................................................................
64
4 Lokasi lingkungan SMP Negeri 27 Bekasi............................................
64
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Uji Hubungan Antar Variabel.................................................................... 63 2 Dokumentasi hasil pengamatan ............................................................... 64 3 Kuesioner penelitian ................................................................................ 65
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Bantar Gebang merupakan tempat yang dirancang sebagai tempat pembuangan sampah akhir dan pemusnahan sampah bagi warga DKI Jakarta dan sekitarnya. Lingkungan TPA Bantar Gebang, selain dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah, juga digunakan sebagai pemukiman warga dan tempat mencari rizki. Dilihat dari segi kesehatan, Bantar Gebang mempunyai berbagai masalah yang berkaitan dengan kondisi lingkungan serta higiene dan sanitasi masyarakat setempat yang dapat menimbulkan berbagai gangguan pada kesehatan. Masalah kesehatan berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan masyarakat. Kualitas lingkungan yang buruk merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai gangguan pada kesehatan masyarakat (Sitinjak 2011). Kondisi lingkungan tempat tinggal yang berada di kawasan TPA jauh dari kondisi yang tergolong baik. Hampir sebagian besar masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi TPA bekerja sebagai pemulung. Tidak hanya orang dewasa, akan tetapi anak-anak bahkan remaja juga bekerja sebagai pemulung. Risiko penyakit yang ditimbulkan sebagai pemulung sangat besar, karena bekerja dan kontak langsung dengan sampah, kondisi higiene dan sanitasi yang buruk dan kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan perilaku proaktif untuk memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit (Depkes 2004). Berdasarkan angka kesakitan di wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang penyakit infeksi, ISPA dan diare dari tahun 2006 – 2008 selalu meningkat dan pada tahun 2010 penyakit diare murupakan urutan ke-4 dari 10 penyakit di Puskesmas Bantar Gebang. Penyakit infeksi dan diare merupakan salah satu faktor penyebab yang dapat menimbulkan anemia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Papua New Guinea yang menunjukkan terdapat hubungan antar penyakit infeksi seperti malaria, diare, dan ISPA dengan kejadian anemia (Oppenheimer 2001). Anemia
merupakan
masalah
kesehatan
yang
penting
terkait
prevalensinya yang tinggi dan dampaknya terutama pada wanita, serta merupakan masalah gizi yang memiliki pengaruh jangka panjang. Data survei yang dilakukan WHO pada tahun 1993-2005 menunjukkan terdapat 1.65 miliyar orang terkena anemia. Prevalensi anemia yang terjadi di Indonesia berdasarkan
2
data RISKESDAS (2007) menunjukkan 11.9% remaja yang mengalami anemia. Penelitian yang dilakukan oleh Veryana (2004), terhadap siswi sekolah di lingkungan Bantar Gebang dengan usia 9-15 tahun menunjukkan sebesar 32.4% mengalami anemia. Remaja putri merupakan kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi khususnya defisiensi besi yang dapat mengakibatkan anemia. Menurut WHO (2001) anemia pada remaja dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh, performa kognitif atau kecerdasan dan gangguan pertumbuhan. Anemia pada remaja putri keluarga pemulung dapat dipengaruhi oleh kebiasaan makan dan kurangnya konsumsi pangan, sehingga kurangnya zat gizi yang dibutuhkan dalam tubuh, termasuk zat besi. Penelitian yang dilakukan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, kebiasaan makan, dan kondisi lingkungan tempat tinggal yang dikaitkan dengan kejadian anemia pada remaja putri keluarga pemulung masih tergolong kurang. Hal ini terkait dengan lingkungan tempat tinggal remaja putri yang berdekatan dengan lokasi tempat pembuangan sampah akhir (TPA), keterlibatan dalam memulung sampah dan rentannya risiko penyakit yang ditimbulkan dari dampak sampah tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia yang terjadi pada remaja putri keluarga pemulung. Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik individu dan keluarga remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. 2. Mengkaji status anemia remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. 3. Mengidentifikasi perilaku hidup bersih dan sehat serta lingkungan tempat tinggal remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. 4. Mengidentifikasi kebiasaan makan dan konsumsi pangan remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi.
3
5. Menganalisis hubungan antara kebiasaan makan dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. 6. Menganalisis hubungan antara kondisi lingkungan tempat tinggal dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. 7. Menganalisis hubungan perilaku hidup bersih dan sehat dengan status anemia remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi 8. Menganalisis hubungan riwayat kecacingan dengan status anemia remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi Hipotesis Terdapat hubungan antara kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat, keadaan lingkungan dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Kegunaan Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi, penelitian ini berguna sebagai bahan dalam perumusan program atau kegiatan terkait dengan penanganan kesehatan masyarakat khususnya di wilayah Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi 2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan informasi pada remaja putri khususnya yang tinggal di lingkungan Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang sebagai usaha dalam meningkatkan kesadaran tentang faktor risiko anemia. 3. Bagi institusi dan pengembangan ilmiah lainnya dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam penelitian berikutnya
4
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Putri Remaja merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian penting. Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan zat gizi yang optimal. Kelompok remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat yang disebut adolescent growth sput, sehingga memerlukan zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Masa remaja merupakan periode kehidupan anak dan dewasa, yang berawal pada usia 9-10 tahun dan berakhir di usia 18 tahun, masa ini merupakan masa pertumbuhan yang panjang dan rentan dalam artian fisik, psikis, sosial, dan gizi (Arisman 2007). WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia 10-19 tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa. Pertumbuhan pada remaja seperti tinggi badan dapat mencapai 15% dan dapat mencapai 50% berat badan saat dewasa. Pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh pengeluaran energi, asupan gizi, dan penyakit infeksi. Adanya kekurangan zat gizi mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Kebutuhan seseorang tidak dapat diestimasikan dengan menggunakan pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (Supariasa 2001). Remaja putri merupakan kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi khususnya defisiensi zat besi. Dalam masa puncak pertumbuhan, dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Puncak pertumbuhan pada remaja putri terjadi sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun (Arisman 2007). Menurut Wiseman (2002), kebutuhan zat besi pada remaja putri meningkat ketika mengalami menstruasi. Kebutuhan zat besi meningkat dibandingkan dengan kebutuhan saat sebelum remaja sebesar 0.7-0.9 mg/hari atau mungkin lebih saat mengalami menstruasi. Menurut Beard (2000) menyebutkan bahwa peningkatan kebutuhan zat besi dalam darah bersamaan dengan peningkatan total volume darah, yang dimulai pada masa sebelum remaja sampai dengan masa puncak pertumbuhan remaja. Peningkatan ini berhubungan dengan waktu dan ukuran pertumbuhan, seperti kematangan seksual dan terjadinya menstruasi. Hal ini menyebabkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi dibandingkan dengan pria (Beard
5
2000). Oleh karena itu, dibutuhkannya asupan zat besi yang cukup untuk menunjang proses tersebut. Kecukupan zat besi yang dibutuhkan oleh remaja putri dengan usia 13-15 tahun adalah sebesar 26 mg/hari (WNPG 2004). Pertumbuhan yang pesat dan perubahan tubuh yang dimiliki cenderung disertai kelelahan, kelesuan dan gejala-gejala buruk lainnya. Anemia sering terjadi pada masa ini, bukan karena adanya perubahan dalam kimiawi darah tetapi kebiasaan makan yang tidak menentu yang semakin menambah kelelahan dan kelesuan (Hurlock 1980). Kebiasaan Makan Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan, pola makan, kepercayaan tentang makanan, penerimaan terhadap makanan dan cara pemilihan bahan makanan yang dimakan sebagai reaksi fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan yang baik dimulai di rumah atas bimbingan orang tua. Menurut penelitian Sukandar (2007), kebiasan makan yang baik merupakan kebiasaan makan yang dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi, sedangkan kebiasan makan yang buruk merupakan kebiasan makan yang dapat menghambat terpenuhinya kecukupan zat gizi, seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep gizi. Menurut Sanjur (1982), terdapat empat faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan yaitu, 1) konsumsi pangan (pola pangan seperti jenis, jumlah, frekuensi, proporsi pangan yang dikonsumsi atau susunan/komposisi pangan), 2) preferensi terhadap pangan (sikap terhadap pangan seperti rasa suka dan tidak suka, pangan yang belum pernah dikonsumsi), 3) ideologi atau pengetahuan terhadap pangan seperti kepercayaan dan tabu, 4) sosial budaya pangan yang meliputi umur, asal pendidikan, kebiasaan membaca, besar keluarga, susunan keluarga, mata pencaharian, luas kepemilikan lahan dan ketersediaan pangan. Kebiasan makan tersebut akan berpengaruh terhadap pola makan pada setiap individu dalam kesehariannya. Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Tidak sedikit survei yang mencatat ketidak cukupan asupan zat gizi yang berasal dari konsumsi makan para remaja. Remaja bukan hanya melewatkan waktu makan (terutama sarapan) dengan alasan tidak sempat, tetapi juga sangat suka
6
mengonsumsi junk food. Faktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar dan kenyang, ketersedian pangan, suku, budaya, status sosial ekonomi dan pendidikan. Menurut Arisman (2007), remaja cenderung menabukan jenis makanan tertentu. Selain itu, tekanan fisik dan psikososial mempengaruhi kebiasaan makan remaja. Sikap ini terbentuk karena sifat remaja sering mencoba hal baru, dan dapat melekatkan ciri khusus pada diri mereka. Konsumsi makanan yang mengandung cukup zat gizi sangat penting, salah satu contoh zat gizi yang penting adalah zat besi. Kekurangan zat besi pada usia remaja dapat menyebabkan dampak di usia lanjut, anemia dan keadaan kurang besi dapat dicegah dan ditanggulangi dengan meningkatkan konsumsi pangan yang kaya akan zat besi (Arisman 2007). Kebiasaan makan mempengaruhi konsumsi pangan remaja putri. Menurut survei yang dilakukan oleh Hurlock (1997), remaja suka sekali jajan snack. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis, pastry dan permen. Namun demikian golongan sayuran dan buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C tidak populer atau jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin C dan zat gizi lainnya. Selain itu, remaja putri menyukai minuman ringan, teh dan kopi yang frekuensinya sering dibandingkan dengan susu. Kebiasaan makan pada remaja putri tidak terlepas dari pengetahuan gizinya. Pengetahuan gizi merupakan pemahaman seseorang terhadap ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang, maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya (Khomsan 2000). Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan hal penting dalam memenuhi kebutuhan zat gizi pada remaja. Konsumsi pangan yang bergizi akan membantu remaja dalam proses pertumbuhan tubuh dan perkembangan mental. Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pengukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan pencatatan frekuensi atau banyaknya penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).
7
Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Frekuensi konsumsi pangan dikategorikan menjadi empat kategori yang dimodifikasi dari Gibson (2005) yaitu selalu (1 kali sehari hingga lebih dari 1 kali sehari), kadang-kadang (3-6 kali seminggu), jarang (1 atau 2 kali seminggu), dan tidak pernah. Dari data frekuensi pangan dapat diketahui jenis pangan yang dikonsumsi. Metode frekuensi pangan, dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner frekuensi pangan atau food frequency quitionaire (FFQ) maupun modifikasi terhadap FFQ yaitu metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif), dengan menambahkan patokan ukuran rumah tangga (URT) dan berat pangan (gram). Menurut Widajanti (2009), metode FFQ semikuantitatif memudahkan dalam mendapatkan variasi, frekuensi dan kuantitas pangan sehingga zat gizi dapat dikorelasikan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT), Hemoglobin, kadar lemak tubuh, status penyakit, sosial-ekonomi, kondisi atau kesehatan lingkungan dan perilaku seseorang atau masyarakat. Konsumsi pangan yang dilihat melalui FFQ semikuantitatif, dapat diketahui berat dan porsi yang dikonsumsi seseorang. Berat dan porsi yang diperoleh dapat dibandingkan dengan anjuran konsumsi rata-rata sehari berdasarkan PUGS 2005. Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) menganjurkan agar 60-75% kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat terutama karbohidrat kompleks. Tingkat kecukupan energi yang defisit dalam jangka waktu tertentu dapat
mengakibatkan
tubuh
kekurangan
energi
sehingga
mengalami
keseimbangan energi yang negatif akibat lebih banyak energi yang dikeluarkan daripada energi yang masuk. Jika keadaan ini tidak segera diperbaiki dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh (Almatsier 2008). Bioavailabilitas Zat Besi Zat besi merupakan salah satu mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia, yakni sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier 2008). Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh, yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2008). Makanan yang mengandung banyak zat besi yang mudah diserap dan nilai biologisnya tinggi
8
adalah makanan yang berasal dari hewan, khususnya daging, ayam dan ikan. Daya serap dan nilai biologi zat besi makanan dipengaruhi oleh empat hal, yaitu ketersediaan zat besi dalam tubuh, bioavailabilitas zat besi, dan faktor penghambat dan pemicu, serta cara pengolahan makanan. Zat besi dalam makanan ada yang berbentuk zat besi heme (heme iron) seperti yang terdapat dalam daging, ayam, ikan, dan hati, sedangkan zat besi bukan heme (non heme) seperti yang terdapat dalam susu, telur, beras dan sereal lainya, sayur dan buah-buahan. Zat besi dalam bentuk heme lebih mudah diserap dibandingkan dengan zat besi non heme. Zat besi heme dapat diserap 20-30% dalam keadaan normal dan 40-50% pada penderita anemia, sedangkan besi non heme dapat diserap sebanyak 5% dan tergantung dengan ada tidaknya zat pemicu atau penghambat (Soekirman 2000). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap oleh tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah atau kurangnya asupan pangan hewani. Perhitungan perkiraan penyerapan besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan yaitu; 1) penyerapan besi tinggi (15%), 2) penyerapan besi sedang (10%) dan 3) penyerapan besi rendah (5%). Pada makanan yang porsi sumber hewaninya besar maka penyerapan besi menjadi maksimal. Sebaliknya menu makanan yang sebagian besar terdiri dari sumber nabati, penyerapan besi menjadi minimal (WNPG 2004). Hal ini dikarenakan konsumsi besi dalam bentuk heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain mudah diserap (23%) dibanding besi dari non heme (2-20%), besi dalam bentuk heme juga membantu penyerapan besi non heme. Vitamin C merupakan zat gizi yang dapat membantu penyerapan zat besi (enhancer). Adapun jenis pangan yang mengandung vitamin C, seperti pepaya, jambu biji, pisang, mangga, jeruk, apel, nanas dan lain sebagainya. Vitamin C juga dapat memperbaiki status hematologi dengan mekanisme lain, yaitu mengurangi pengaruh inhibitor pada komponen pangan nabati (seperti tanin pada teh). Konsumsi vitamin C juga dapat meningkatkan penyerapan empat kali besi non-heme (Briawan 2008). Kurangnya vitamin C dalam tubuh dapat mengakibatkan terganggunya penyerapan besi, karena vitamin C membentuk besi-askorbat yang tetap larut pada pH di dalam duodenum sehingga dapat pula menyebabkan terjadinya anemia (Almatsier 2008). Selain itu, defisiensi vitamin C diduga dapat berhubungan dengan anemia, meskipun belum jelas peranannya
9
secara langsung dalam mencegah anemia, atau secara tidak langsung meningkatkan penyerapan zat besi dari pangan nabati (non heme). Selain vitamin C, vitamin A juga dapat mempengaruhi penyimpanan atau metabolisme serta dapat mempengaruhi diferensiasi sel darah merah, sementara vitamin C membantu dalam penyerapan sumber non heme, merubah bentuk besi ferritin dan membantu stabilisasi ferritin (Groff dan Gropper 2000). Menurut Charles et al. (2012), menyebutkan bahwa vitamin A sangat penting untuk hematopoesis dan diperlukan untuk mobilisasi besi dalam sintesis hemoglobin. Faktor-faktor yang dapat menghambat penyerapan besi diantaranya, adanya asam fitat, asam oksalat, tanin, kalsium dosis tinggi dan konsumsi obatobatan yang bersifat basa seperti antasid. Jenis bahan pangan yang yang mengandung fitat seperti yang terdapat dalam bekatul, beras, jagung, susu cokelat, protein kedelai, dan kacang-kacangan merupakan bahan pangan yang dapat menghambat penyerapan besi. Selain itu, seperti polifenol yang terdapat pada teh, kopi, bayam, dan kacang-kacangan juga dapat menghambat penyerapan besi (Soekirman 2000). Menurut Almatsier (2008), kandungan fitat yang terdapat dalam serat serealia dapat mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Selain itu, zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan zat besi pun biasanya akan positif. Walaupun sumber zat besi terutama besi heme, yang memiliki nilai bioavailabilitas yang tinggi, namun sangat jarang dikonsumsi oleh remaja. Apabila makanan yang dikonsumsi oleh remaja tidak beragam (hanya berasal dari jenis nabati) maka kurang terpenuhinya ketersediaan zat besi dalam tubuhnya, akan tetapi bila remaja mengonsumsi makanan yang berasal dari pangan hewani dapat meningkatkan penyerapan zat besi seperti daging, ayam, ikan dan vitamin C maka ketersediaan zat besi dalam makanan dapat ditingkatkan sehingga kebutuhan zat besi akan terpenuhi (Husaini 1989). Status Gizi Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi. Beberapa cara untuk mengukur status gizi yaitu dengan pengukuran antopometri, klinik dan laboratorium. Selain itu, pengukuran status gizi dapat dilakukan secara tidak langsung menggunakan survei konsumsi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengukuran status gizi bertujuan untuk mengetahui keadaan gizi seseorang.
10
Remaja putri yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan menstruasi dibandingkan yang memiliki status gizi kurang (ACC/SCN 1991). Pengukuran status gizi secara antropometri merupakan suatu metode untuk mengukur dimensi dan komposisi tubuh. Pengukuran antropometri juga berbeda sesuai dengan umur (jenis kelamin dan ras) dan tingkatan gizi individu (Gibson 2005). Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sesuai umur, akan tetapi dapat juga diketahui dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) sesuai umur. Antropometri sangat penting pada masa remaja karena dapat memonitor dan mengevaluasi perubahan pertumbuhan dan kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal. Menurut Riyadi (2003), pengukuran status gizi pada remaja yang paling realible adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT didapatkan dengan cara membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam satuan meter yang dikuadratkan. Indeks IMT/U digunakan untuk indikator status gizi dengan rentang usia 9-24 tahun berdasarkan nilai Z-skor. Zskor merupakan deviasi atau simpangan dari nilai median populasi refrensi, yang dibagi dengan standar populasi refrensi. Z-skor = IMT menurut umur direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja. Hasil analisis data RISKESDAS (2010) indikator IMT/U memerlukan informasi tentang umur dan juga telah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas serta indikator IMT/U diketahui dengan cara menghitung berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2) kemudian hasil yang didapatkan dibandingkan dengan refrensi IMT pada umur yang sama dengan anak yang nilai status gizinya. Kategori IMT/U anak dan remaja berdasarkan WHO (2007), yaitu sangat kurus (<-3 SD), kurus (-3 SD ≤ z <-2 SD), normal (-2 SD ≤ z ≤+1 SD), overweight (+1 SD < z ≤+2 SD) dan obese (>+2 SD). Berdasarkan hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005), menunjukkan bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk mengalami anemia. Selain itu IMT juga memiliki nilai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin. Anemia Anemia merupakan masalah gizi yang tergolong besar dan sangat umum. Umumnya anemia banyak terjadi pada kaum wanita, akan tetapi terdapat pula
11
kasus pada pria. Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Kadar hemoglobin normal pada wanita berkisar antara 1214 g/dl (Almatsier 2008). Anemia gizi besi dapat terjadi melalui banyak faktor yaitu; 1) asupan zat besi dan bioavailabilitas, 2) meningkatnya kebutuhan zat besi dalam tubuh khususnya pada ibu hamil, anak-anak dan remaja, 3) kehilangan banyak darah karena menstruasi, ulcers ataupun infeksi karena parasit (cacing tambang), 4) gangguan penyerapan karena adanya infeksi dan atau bersamaan dengan defisiensi mikronutrien lainnya (Charles et al. 2012). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dreyfuss et al. (2000) menunjukkan bahwa infeksi cacing berhubungan kuat dengan berkurangnya cadangan zat besi. Batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun keatas adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalam darah kurang dari 12 g/dl (WHO 2001). Penggolongan anemia menjadi ringan, sedang dan berat belum terdapat keseragaman mengenai penggolongan anemia, akan tetapi untuk mempermudah dalam pengobatan, menurut ACC/SCN (1991) anemia dapat digolongkan menjadi tiga berdasarkan kadar hemoglobin:
Ringan Sedang Berat
Tabel 1 Penggolongan anemia berdasarkan kadar hemoglobin Anemia Hb (g/dl) 10.0-11.9 7.0-9.9 <7.0
Sumber: ACC/SCN (1991)
Sebelum terjadinya anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan. Menurut Almatsier (2008), kekurangan zat besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi ketika simpanan besi berkurang yang dapat dilihat dari penurunan ferritin dalam plasma hingga 12 µg/L. Hal ini dikompensasi dengan peningkatan absorbsi besi yang terlihat dari peningkatan kemampuan daya ikat besi (Total Iron Binding Capacity/TIBC) dan belum terlihat adanya perubahan fungsional pada tubuh. Tahap kedua dapat terlihat dari semakin berkurangnya simpanan besi, menurunnya transferin dan meningkatnya protoporfirin yaitu bentuk awal (precursor) heme, serta kadar hemoglobin di dalam darah masih 95% dari kadar normal. Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga dapat menyebabkan menurunkan kemampuan bekerja. Tahap ketiga terjadi anemia gizi besi, dimana kadar hemoglobin turun di bawah kadar normal yang ditandai oleh hemoglobin menurun (hypocromic) dan eritrosit mengecil (microcytic) serta terjadinya anemia gizi besi (Almatsier 2008)
12
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa prevalensi anemia sebesar 32-55%, bahkan di negara maju, sekitar 20 sampai 30% dari wanita usia subur memiliki simpanan besi dalam jumlah sedikit (Allen dan Gillespie 2001). Berdasarkan hasil penelitian Dwiriani et al. (2011) 14.3% remaja putri mengalami anemia ringan dan 0.9% mengalami anemia sedang yang dilihat berdasarkan kadar Hb. WHO mengklasifikasikan tingkatan kejadian anemia menurut besarnya prevalensi yaitu <15% tergolong rendah, 15-40% sedang dan >40% tinggi (Allen dan Gillespie 2001). Dampak anemia terhadap remaja putri dapat menyebabkan berbagai hal seperti penurunan kebugaran, pertumbuhan yang terganggu, penurunan produktifitas, serta pengaruh terhadap kesehatan seperti mengalami 5L (lemah, letih, lesu, lelah dan lunglai). Pengaruh rasa cepat lelah disebabkan karena metabolisme energi oleh otot tidak berjalan dengan sempurna karena otot kekurangan oksigen. Salah satu ciri anemia adalah kekurangan hemoglobin, yang berarti alat angkut oksigen berkurang sehingga untuk menyesuaikan dengan berkurangnya oksigen maka otot membatasi produksi energi dan mengakibatkan cepat lelah (Soekirman 2000). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara anemia dan gangguan fungsi otak dan perilaku kognitif. Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan kognitif selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh (WNPG 2004). Kekurangan zat besi karena anemia mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan atau kematangan sel otak serta menghambat produksi dan pemecahan zat senyawa transmiter yang diperlukan untuk mengantar rangsangan pesan dari satu sel neuron ke neuron lainnya. Gangguan ini dapat berpengaruh pada kinerja otak (Soekirman 2000). Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang. Dalam penelitian Permaesih dan Herman (2005), menunjukkan 25% remaja di Bandung mempunyai kesegaran jasmani kurang dari normal. Aktifitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Aktifitas penting untuk mengetahui apakah aktivitas tersebut dapat mengubah status zat besi. Kemampuan aktivitas akan menurun berkaitan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dan jaringan yang mengalami defisiensi besi. Indikator paling umum yang digunakan untuk mengetahui kekurangan besi adalah dengan melakukan pengukuran jumlah dan ukuran sel darah merah
13
serta kadar hemoglobin darah. Selain itu, dapat juga dilihat berdasarkan kadar ferritin. Kadar hemoglobin kurang peka terhadap tahap awal kekurangan besi, akan tetapi akan berguna untuk mengetahui beratnya anemia yang dialami (Almatsier 2008). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Perilaku hidup bersih dan sehat mencerminkan perilaku seseorang dalam menjaga kebersihan diri guna mencegah terjadinya penyakit. Menurut Depkes (2004), perilaku hidup bersih dan sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Indikator PHBS digunakan sebagai alat ukur dalam menilai keadaan atau permasalahan kesehatan. Indikator PHBS terbagi dalam berbagai bidang yaitu bidang kesehatan lingkungan, pemeliharaan kesehatan, gaya hidup sehat, obat dan farmasi, gizi, serta KIA dan kesehatan balita (Depkes 2006). Indikator kesehatan lingkungan terdiri dari 1) cuci tangan dengan sabun dan air setelah buang air besar, 2) menghuni rumah sehat, 3) memiliki akses dan menggunakan air bersih, 4) memiliki akses dan menggunakan jamban, 5) memberantas jentik nyamuk dan 6) membuang sampah di tempat sampah. Sedangkan indikator PHBS bidang gaya hidup sehat yaitu 1) tidak merokok di dalam maupun di luar rumah, 2) melakukan aktivitas fisik/olahraga setiap hari, 3) makan sayur dan buah-buahan setiap hari (Depkes 2006). Perilaku hidup sehat erat kaitannya dengan higiene perorangan. Higiene perorangan meliputi kebersihan kulit, rambut, kuku, mata, telinga, gigi, mulut, tangan, kaki dan kebersihan sesudah buang air besar (Depkes 2004). Terbiasanya mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan sabun diharapkan dapat menghilangkan kuman-kuman dan telur cacing yang terdapat pada tangan, yang kemudian dapat menyebabkan kecacingan karena masuk ke dalam mulut melalui tangan. Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan hewan, ataupun cairan tubuh lain seperti ingus dan air ludah dapat terkontaminasi oleh kuman-kuman penyakit seperti bakteri, virus dan parasit yang dapat menempel pada permukaan kulit. Menurut Depkes (2006) tangan akan bebas dari kuman penyakit apabila cuci tangan dengan baik dan benar. Cuci tangan menggunakan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari
14
menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit, karena mencuci tangan dengan air saja tidak cukup. Faktor Risiko Anemia Riwayat Penyakit Status kesehatan seseorang berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dalam melawan berbagai jenis penyakit. Menurut Permaesih dan Herman (2005), anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terkena infeksi. Infeksi merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia dan anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi (Thumham dan Northrop-Clewes 2007). Jika terjadi infestasi parasit, schistosomiasis dan trauma dapat menyebabkan kehilangan darah serta terjadinya defisiensi besi yang berakibat terhadap sistem imun (Arisman 2007). Angka kesakitan akibat penyakit infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan terhadap sistem imun (WHO 2001). Penyakit infeksi seperti malaria dapat menyebabkan rendahnya kadar hemoglobin, hal ini terjadi akibat hemolisis sel darah merah. Hasil penelitian Dreyfuss et al. (2000) yang dilakukan terhadap wanita hamil di Nepal terdapat bukti bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Hasil penelitian Veryana (2004) menunjukkan 0.9% remaja putri di Kota Bekasi tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberkulosis dan kecacingan. Berbeda dengan hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan sakit yang diderita contoh baik satu tahun atau satu bulan sebelumnya berhubungan secara bermakna dengan status anemia. Penyakit infeksi terutama malaria, kecacingan dan infeksi lainnya seperti tuberkulosis merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi terhadap tingginya prevalensi anemia di banyak populasi (WHO 2004). Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005), menerangkan bahwa kejadian sakit baik satu tahun atau satu bulan sebelumnya berhubungan secara bermakna denga status anemia. Riwayat Kecacingan Infeksi yang disebabkan oleh cacing tambang mengakibatkan terjadinya pendarahan pada dinding usus, walaupun infeksi yang ditimbulkan tidak besar (sedikit) dapat menyebabkan kehilangan darah ataupun zat besi. Intensitas
15
infeksi cacing tambang yang menyebabkan anemia defisiensi zat besi bervariasi menurut spesies dan status zat besi dalam tubuh. Spesies cacing tambang yang menyebabkan banyak kehilangan darah adalah Ancylostoma duodenale (Dreyfuss et al. 2000). Cacing tambang dapat menginfeksi seseorang baik secara pasif melalui makanan dan aktif melalui kulit. Faktor yang menyebabkan timbulnya masalah infeksi adalah kuku siswa yang kotor, adanya kebiasaan mengonsumsi jajanan yang kotor serta kebiasaan tidak memakai alas kaki (Veryana 2004). Menurut Dreyfuss et al. (2000), adanya infeksi cacing dapat menyebabkan pendarahan pada usus, meskipun sedikit tetapi terjadi secara terus menerus sehingga dapat mengakibatkan kehilangan darah. Selain itu, infeksi yang disebakan oleh cacing tambang dapat menyebabkan kehilangan darah antara 2-100 cc/hari, tergantung dari beratnya infestasi (Arisman 2007). Menstruasi Pada remaja putri kehilangan darah secara alamiah setiap bulan atau yang diketahui dengan menstruasi. Anemia pada remaja putri disebabkan karena pada masa ini remaja putri membutuhkan zat gizi yang lebih banyak. Rata-rata kebutuhan zat besi pada remaja putri berkisar antara1.2-1.68 mg yang digunakan untuk mengganti besi yang hilang secara basal (0.68-0.79 mg/hari) dan haid (0.48-1.9 mg/hari). Jika darah yang keluar selama menstruasi berlangsung sangat banyak, maka akan terjadi anemia defisiensi zat besi. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari tubuh yang menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin juga ikut terbuang (Affandi 1990). Sebagian besar remaja akan mendapat haid pertama pada umur 10-12 tahun (Affandi 1990). Usia menarche wanita bila kurang dari 10 tahun tergolong cepat, 10-14 tahun tergolong normal dan lebih dari 14 tahun tergolong lambat (Pearce 1992). Usia pertama kali menstruasi pada umumnya tertunda pada seseorang dengan status gizi underweight. Dalam 1-4 tahun pertama setelah menarche, biasanya ovulasi (pelepasan sel telur) belum terjadi. Hal ini yang dapat menyebabkan menstruasi lama dan banyak serta tidak teratur Lama menstruasi pada setiap wanita biasanya antara 3 sampai 5 hari, ada yang 1 sampai 2 hari dan diikuti darah sedikit-sedikit, dan ada yang 7 sampai 8 hari. Sebagian besar peneliti menemukan bahwa rata-rata lama menstruasi 3 sampai 5 hari dianggap normal dan lebih dari 8 sampai 9 hari tidak normal (Affandi 1990). Awal siklus menstruasi dihitung sejak pendarahan pada hari ke-1
16
dan berakhir tepat sebelum siklus menstruasi berikutnya. Umumnya siklus menstruasi berkisar antara 21-40 hari. Hanya 10-15% wanita yang memiliki siklus 28 hari. Beberapa faktor yang menggangu kelancaran siklus menstruasi, yaitu faktor stress, perubahan berat badan dan olah raga yang berlebihan. Ketidakteraturan menstruasi merupakan suatu proses fisiologis wanita yang berkaitan dengan berbagai organ, hormon dan susunan syaraf pusat (Affandi & Danukusumo 1990). Beberapa penelitian membuktikan bahwa jumlah darah yang hilang selama periode haid berkisar antara 20-25 cc. jumlah ini menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan, atau sama dengan 0.4-0.5 mg sehari. jika jumlah tersebut ditambah dengan kehilangan basal, jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg/hari (Arisman 2007). Semakin sering menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut dapat mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh tergangu (Depkes 1998). Keadaan Lingkungan Sanitasi lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan dan kebersihan lingkungan. Sementara lingkungan yang bersih dan sehat menjadi indikator kesehatan seseorang. Selain itu, lingkungan yang bersih dan sehat akan mencegah penularan penyakit (Sukandar 2007). Lingkungan berpengaruh terhadap terjadinya penyakit dan hal ini sudah sejak lama diperkirakan oleh orang (Slamet 1996). Lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit karena penyakit terjadi akibat adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Keadaan lingkungan rumah dapat menunjang kesehatan. Adapun persyaratan rumah sehat diantaranya 1) lantai rumah harus mudah dibersihkan, 2) atap rumah tidak mudah bocor, 3) dinding rumah yang baik dapat dicat dan dibersihkan, 4) ventilasi udara yang dilengkapi lubang angin, 5) rumah harus mendapatkan cahaya yang cukup, 6) rumah harus memiliki sumber air bersih, 7) jumlah kamar mandi disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga, 8) rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan 9) kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah (Sukandar 2007). Limbah yang paling banyak berada ditengah masyarakat adalah sampah. Sampah merupakan limbah keluarga yang banyak ditemui di sekitar lingkungan tempat tinggal. Sampah memiliki pengaruh terhadap kesehatan baik secara
17
langsung maupun tidak langsung. Efek langsung adalah efek yang disebabkan karena kontak langsung dengan limbah tersebut, misalnya limbah beracun, limbah korosif terhadap tubuh dan lain sebagainya. Efek tidak langsung dapat dirasakan
masyarakat
akibat
proses
pembusukan,
pembakaran
dan
pembuangan limbah. Pengaruhnya terhadap kesehatan dapat terjadi karena tercemarnya air, tanah dan udara. Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak dalam limbah, seperti diare, kecacingan, malaria, dan lain sebagainya (Lumenta 1990).
18
KERANGKA PEMIKIRAN Perilaku remaja dalam menentukan pilihan mengonsumsi makanan dipengaruhi karakteristik keluarga (pendidikan, pendapatan dan pekerjaan orang tua) dan karakteristik individu (umur, pengetahuan gizi dan lama menstruasi). Karakteristik keluarga akan mempengaruhi kebiasan makan individu dan pola konsumsi pangan yang baik. Pengetahuan gizi dan umur merupakan karakteristik remaja sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan makan dan pola konsumsi pangan yang akan berpengaruh terhadap status gizi serta status anemia. Kondisi lingkungan akan mempengaruhi kebiasaan dalam berperilaku hidup bersih dan sehat pada remaja. Kondisi lingkungan meliputi keadaan rumah dan penggunaan air bersih. Selain itu, dengan terbiasanya berperilaku hidup bersih dan sehat maka akan terhindar dari penyakit serta risiko anemia. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi anemia adalah perilaku hidup bersih dan sehat. Status kecacingan pada remaja dapat mempengaruhi terjadinya anemia. Karena dengan adanya cacing dalam tubuh dapat menyebabkan terganggunya penyerapan zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Selain itu, riwayat penyakit pada remaja putri juga berpengaruh terhadap terjadinya anemia. Status gizi merupakan suatu ekspresi dari keadaan keseimbangan pada diri seseorang. Penentuan status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan yang menunjangnya yaitu berdasarkan pola konsumsi pangan. Pola konsumsi makanan dilihat dari jenis dan frekuensi pangan. Berdasarkan jenis pangan terdapat beberapa jenis pangan yang dapat menjadi faktor pemicu dan penghambat dalam penyerapan zat besi sehingga dapat menyebabkan anemia. Faktor pemicu penyerapan zat besi dapat dibantu dari bahan makanan yang berasal dari pangan hewani dan nabati. Faktor penghambat penyerapan zat besi berasal dari bahan makanan teh, kopi, cokelat dan beberapa jenis sayuran. Selain itu, konsumsi pangan sumber zat besi (Fe), vitamin C, vitamin A dan protein juga membantu dalam proses penyerapan zat besi dalam tubuh yang dapat berpengaruh terhadap status anemia pada remaja. Status gizi pada remaja dapat mempengaruhi status anemia. Remaja yang memiliki status gizi yang baik ditunjang dengan konsumsi makanan yang cukup memenuhi kebutuhan gizi. Apabila asupan makanan yang kurang akan dapat mengurangi zat gizi yang diperlukan, salah satunya adalah zat besi yang akan mengakibatkan terjadinya anemia pada remaja.
19
Karakteristik Keluarga : - Pendidikan orang tua - Pekerjaan orang tua - Pendapatan orang tua
Karakteristik individu : - Umur - Pengetahuan gizi - Lama menstruasi
Kondisi Lingkungan
Kebiasaan Makan
Pola Konsumsi Pangan - Frekuensi - Jenis
Faktor Pemicu Penyerapan Zat Besi : - Pangan hewani - Buah-buahan
Faktor Penghambat Penyerapan Zat Besi : - Teh - Kopi - Cokelat - Sayuran
Konsumsi Zat Besi, Vitamin C, Vitamin A, Vitamin D, Protein Perilaku hidup bersih dan sehat Status Gizi
Status Anemia Riwayat Kecacingan
Riwayat Penyakit Keterangan : : Variabel yang diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis Gambar 1 Hubungan kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi.
20
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan desain Cross sectional study untuk mencapai tujuan penelitian. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 27 Bekasi dan wilayah Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan
pertimbangan
banyaknya
anak-anak
keluarga
pemulung
yang
bersekolah di SMP Negeri 27 dan lokasinya yang berdekatan dengan TPA Bantar Gebang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2012. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi sampel dalam penelitian ini adalah remaja putri keluarga pemulung yang terdapat di SMP Negeri 27 dengan usia 13-15 tahun. Metode penarikan contoh dilakukan secara purposive sampling. Kriteria inklusi yang digunakan adalah 1) siswi SMP Negeri 27 Bekasi, 2) pekerjaan orang tua sebagai pemulung, 3) bertempat tinggal di wilayah Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang Bekasi, 4) bersedia menandatangani surat pernyataan ikut serta (informed consent) dalam penelitian, 5) sudah mengalami menstruasi, 6) tidak dalam keadaan sakit, dan 7) tidak sedang mengonsumsi obat-obatan. Jumlah contoh ditentukan dengan menggunakan asumsi power of study 95%, presisi 10%, dan prevalensi anemia pada remaja putri 32.4%, dengan menggunakan rumus study cross sectional menurut Lemeshowb dan David (1997) sehingga didapatkan 50 orang. Berikut ini adalah perhitungan sampel :
n Keterangan : n = jumlah sampel minimal yang diperlukan α = derajat kepercayaan (α = 0.05 = 1.96) Z = nilai pada distribusi normal standar p = prevalensi anemia remaja putri 32.4% q=1–p d = presisi/batas kevalidan yang diinginkan pada populasi N = jumlah populasi remaja putri keluarga pemulung 122 orang
Pemilihan contoh dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada seluruh siswi putri kelas VIII di lokasi penelitian. Populasi remaja putri keluarga
21
pemulung adalah 122 orang dan didapatkan minimal sampel sebanyak 50 orang. Berdasarkan kriteria inklusi yang digunakan didapatkan 72 orang remaja putri keluarga pemulung yang bersedia menandatangani informed consent dan ikut serta dalam kegiatan penelitian sampai dengan selesai. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan secara langsung. Jenis data primer meliputi data karakteristik contoh, pengetahuan gizi, kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat, riwayat penyakit, riwayat kecacingan, dan keadaan lingkungan tempat tinggal. Pengamatan secara langsung dilakukan untuk melihat PHBS, kebiasaan makan dan keadaan lingkungan tempat tinggal contoh. Data sekunder yang digunakan meliputi gambaran umum Kelurahan Sumur Batu yang didapatkan dari Kantor Kelurahan Sumur Batu, gambaran umum SMP Negeri 27 Bekasi, dan himpunan data pribadi siswa. Jenis dan cara pengumpulan data contoh terdapat pada Tabel 2. No 1
2
3
4
5
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data Variabel Jenis data Cara pengumpulan data Primer Data siswa SMP Negeri 27 Karakteristik keluarga : dan Bekasi dan wawancara - Pendidikan orang tua Sekunder dengan alat bantu kuesioner - Pekerjaan orang tua - Pendapatan orang tua Primer Wawancara dengan alat Karakteristik individu : bantu kuesioner - Umur - Pengetahuan gizi Kebiasan makan Primer Wawancara dengan alat - Konsumsi suplemen bantu kuesioner dan - Konsumsi susu, teh, kopi pengamatan secara - Jajanan langsung - Heme dan Non heme Primer Wawancara dengan alat Konsumsi pangan bantu kuesioner - Frekuensi pangan - Jenis pangan Lingkungan tempat tinggal Primer Wawancara dengan alat - Jenis rumah bantu kuesioner dan - Jenis lantai pengamatan secara - Jumlah penghuni rumah langsung 2 - Jumlah kamar (7 m /orang) - Ventilasi udara (15% dari luas lantai) - Ketersediaan jamban - Penggunaan air bersih Ketersediaan tempat pembuangan sampah - Jarak rumah dengan sumber pencemaran (minimal 5 km) - Jarak rumah dengan kandang
22
No 6
7
8
9
10 11
12 13
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan) Variabel Jenis data Cara pengumpulan data (minimal 10 m) Perilaku hidup bersih dan sehat Primer Wawancara dengan alat - Kebiasaan mencuci tangan bantu kuesioner dan - Kebiasaan merokok pengamatan secara - Konsumsi makanan beragam langsung - Kebiasaan penggunaan jamban - Kebiasaan olahraga Riwayat penyakit Primer Wawancara dengan alat - Kejadian sakit bantu kuesioner - Frekuensi sakit (2 bulan terakhir) Lama menstruasi Primer Wawancara dengan alat - Frekuensi menstruasi bantu kuesioner - Durasi menstruasi - Periode menstruasi - Siklus menstruasi Status gizi (antropometri) Primer Pengukuran berat badan - Berat badan (kg) dan tinggi badan secara - Tinggi badan (cm) langsung dengan menggunakan bedroom scale dan microtoise Status anemia : Primer Pemeriksaan darah secara - Hemoglobin biokimia di laboratorium Riwayat kecacingan : Primer Wawancara dengan alat - Gatal pada dubur bantu kuesioner - Cacing pada feses - Kebiasaan BAB - Darah pada feses - Konsumsi obat cacing Gambaran umum Kelurahan Sumur Sekunder Profil Kelurahan Sumur Batu Batu - Bekasi Gambaran umum SMP Negeri 27 Sekunder Profil SMP Negeri 27 Bekasi Bekasi
Data status gizi antropometri diketahui melalui pengukuran tubuh yaitu berat badan dan tinggi badan. Status anemia diketahui berdasarkan kadar Hb (hemoglobin) melalui pengambilan sampel darah yang dilakukan oleh petugas laboratorium Parahita Diagnostic Center. Sampel darah yang didapatkan, dikumpulkan dan dibawa ke laboratorium Parahita Diagnostic Center untuk dilakukan analisis yang kemudian dilakukan pengukuran biokimia darah dengan menggunakan metode Cyanmethemoglobin untuk menentukan konsentrasi hemoglobin. Data jenis, jumlah dan frekuensi konsumsi pangan sumber heme dan non heme diperoleh dengan menggunakan metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif) selama satu bulan dengan melalukan wawancara dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Cara Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data meliputi editing, coding, scoring, entry dan analisis. Data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis secara statistik dengan
23
menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for Windows. Uji statistik yang digunakan adalah uji korelasi pearson, uji korelasi spearman dan regresi linear. Uji korelasi pearson digunakan untuk melihat hubungan antar karakteristik contoh yaitu kadar hemoglobin contoh, usia menstruasi dan IMT contoh. Uji korelasi spearman untuk melihat hubungan antara kadar hemoglobin terhadap kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat, karakteristik menstruasi, keadaan lingkungan, riwayat kecacingan, tingkat kecukupan zat gizi dan frekuensi konsumsi pangan. Berikut ini adalah jenis dan kategori variabel yang dijelaskan pada Tabel 3. No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
9
10.
Tabel 3 Kategori dan variabel Kategori Kurang jika skor <60% Sedang jika skor 60%-80% Baik jika skor >80% Status gizi siswa Sangat kurus (<-3 SD), berdasarkan IMT/U Kurus (-3 SD ≤ z <-2 SD), Normal (-2 SD ≤ z ≤+1 SD), Overweight (+1 SD < z ≤+2 SD) Obese (>+2 SD). Status anemia Berat <7.0 g/dl Sedang 7.0-9.9 g/dl Ringan 10.0-11.9 g/dl Normal ≥12.0 g/dl Kebiasaan makan Baik (47-53) Cukup (41-46 Kurang (35-40) Frekuensi konsumsi selalu (1 kali sehari sampai dengan lebih pangan dari 1 kali sehari) kadang-kadang (3-6 kali seminggu) jarang (1 atau 2 kali seminggu) tidak pernah Tingkat kecukupan Defisit tingkat berat (<70% kebutuhan) energi dan protein Defisit tingkat sedang (70-79% kebutuhan) Defisit tingkat ringan (80-89% kebutuhan) Normal (90-119% kebutuhan) Lebih (≥ 120% kebutuhan) Tingkat kecukupan Kurang (<77% AKG) Vitamin dan zat besi Cukup (≥ 77% AKG) Perilaku hidup bersih Rendah (36-42) dan sehat (PHBS) Sedang (43-49) Baik (50-58) Keadaan lingkungan Kurang baik (20-23) Cukup baik (24-27) Baik (28-30) Riwayat kecacingan Rendah (6-7) Sedang (8-9) Baik (10-12) Variabel Pengetahuan Gizi
Sumber Khomsan (2000) WHO 2007
AC/SCN 1991
Slamet 1993 Gibson (2005)
Depkes 2010
Depkes 2010 Slamet 1993 Slamet 1993 Slamet 1993
24
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian disusun dalam bentuk correct-answer multiple choice dan pertanyaan dalam bentuk tertutup dengan pilihan jawaban Ya atau Tidak. Pertanyaan dalam bentuk tertutup memiliki nilai 1 untuk jawaban tidak dan nilai 3 untuk jawaban ya. Pertanyaan dalam bentuk correct-answer multiple choice yang memiliki skor 1 untuk opsi jawaban benar dan 0 untuk opsi jawaban salah. Pertanyaan yang berkaitan mengenai PHBS, kebiasaan makan, riwayat kecacingan, menstruasi dan keadaan lingkungan memiliki skor 1 untuk jawaban tidak pernah, nilai 2 untuk jawaban kadangkadang dan 3 untuk jawaban selalu. Penentuan kategori digolongkan berdasarkan nilai skor dengan menggunakan interval kelas Slamet (1993), dengan cara membandingkan antara nilai tertinggi yang dikurangi dengan nilai terendah kemudian dibagi dengan kategori yang diinginkan. Kategori yang digunakan dilihat berdasarkan nilai skor yang didapatkan. Berikut ini adalah rumus perhitungan interval: Interval kelas = Pendidikan orang tua dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Pekerjaan orang tua meliputi pemulung, pedagang, IRT, dan lain-lain. Pendapatan orang tua didapatkan dari pendapatan perkapita keluarga kemudian dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat 2011. Status anemia diketahui dengan melalui analisis secara biokimia di laboratorium. Kategori anemia pada remaja putri dilihat berdasarkan kadar hemoglobin dibagi menjadi empat golongan, yaitu berat <7.0 g/dl, sedang 7.0-9.9 g/dl, ringan 10.0-11.9 g/dl dan normal ≥12.0 g/dl (ACC/SCN 1991). Pengukuran status gizi dengan metode antropometri dilakukan dengan menimbang berat badan (kg) dan mengukur tinggi badan (m2). Indikator penentuan status gizi berdasarkan IMT/U dihitung menggunakan software WHO anthroplus 2007. Data jenis dan frekuensi konsumsi pangan sumber heme dan non heme diperoleh dengan menggunakan metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif) selama satu bulan. Data kandungan gizi bahan makanan dikonversikan ke dalam energi dan zat gizi dengan menggunakan DKBM (daftar komposisi bahan makanan). Data konsumsi pangan yang didapatkan dihitung kandungan gizi dari setiap bahan pangan dengan menggunakan rumus menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) sebagai berikut :
25
Kgij = (Bij/100) x Gij x BDDj/100) Keterangan : Kgij
: Konsumsi zat gizi i dari bahan makanan j dengan berat B gram
Bj
: Berat bahan makanan j yang dikonsumsi (gram)
Gij
: Kandungan zat gizi i dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj : Persen bahan makanan j yang dapat dimakan (%BDD) Perhitungan tingkat kecukupan zat gizi contoh
dihitung dengan
menggunakan rumus yang terdapat dalam perhitungan AKE (angka kecukupan energi) yang disesuaikan menurut WNPG 2004. TKG = (BB aktual/BB standar) x AKG Keterangan : TKG
: tingkat kecukupan gizi
BB aktual
: berat badan yang sebenarnya/yang mendekati
BB standar
: berat badan standar berdasarkan umur 13-15 tahun
AKG
: angka kecukupan gizi yang dianjurkan Angka kecukupan energi contoh ditentukan menurut Hardinsyah dan
Tambunan (2004) dengan menggunakan rumus sebagai berikut : AKE = (88,5-61,9 U) + 26,7 B (AkF) + 903 TB + 25 Keterangan : AKE
: angka kecukupan energi sehari
U
: usia contoh
B
: berat badan contoh (kg)
AkF
: aktifitas fisik berdasarkan perhitungan kegiatan sehari-hari contoh
TB
: tinggi badan contoh (m) Angka kecukupan protein, vitamin A, vitamin C, vitamin D, dan zat besi
diacu berdasarkan WNPG 2004. Angka kecukupan protein adalah 57 g/hari (Hardinsyah dan Tambunan 2004), angka kecukupan vitamin A adalah 600 RE/hari (Muhilal dan Sulaeman 2004), angka kecukupan vitamin C adalah 65 mg/hari (Setiawan dan Rahayuningsih 2004), vitamin D adalah 5 g/hari, dan zat besi 26 mg/hari (Kartono dan Soekatri 2004).
26
Definisi Operasional Remaja putri adalah siswi SMP Negeri 27 Bekasi yang merupakan keluarga pemulung dengan usia 13-15 tahun yang tinggal di wilayah Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang Bekasi. Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidkan orang tua contoh yang dikategorikan menjadi SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat dan perguruan tinggi. Pekerjaan orang tua adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua contoh untuk memenuhi kebutuhan keluarga contoh yang dikategorikan menjadi, pemulung, pedagang, ibu rumah tangga dan lain-lain. Pendapatan orang tua adalah jumlah pendapatan per kapita per bulan yang diterima oleh orang tua contoh yang kemudian dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat 2011 dan dikategorikan menjadi keluarga miskin dan tidak miskin. Pengetahuan gizi adalah tingkat pengetahuan atau pemahaman contoh terhadap
zat gizi, sumber zat gizi, anemia, dan PHBS yang diketahui
melalui hasil tes dengan menjawab 20 soal pertanyaan multiple choice. Kebiasaan makan adalah gambaran kebiasaan contoh dalam mengonsumsi bahan
makanan,
jajanan
dan
suplemen
yang
diketahui
dengan
pengamatan secara langsung dan wawancara dengan alat bantu kuesioner. Konsumsi pangan adalah jenis, jumlah dan frekuensi konsumsi pangan sumber heme dan non heme yang dikonsumsi contoh selama satu bulan yang dilihat dengan menggunakan kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif). Keadaan lingkungan adalah kondisi wilayah tempat tinggal contoh yang meliputi keadaan fisik rumah, jenis lantai, jumlah ventilasi, penggunaan air bersih, ketersediaan tempat sampah, dan ketersediaan jamban. Perilaku hidup bersih dan sehat adalah kebiasaan remaja putri dalam bersikap untuk menjaga kesehatan dan mencegah risiko penyakit yang diketahui melalui hasil test dengan menjawab 20 pertanyaan yang meliputi kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan merokok, penggunaan jamban dan konsumsi makanan yang beragam dan kebiasaan olahraga.
27
Lama menstruasi adalah lama menstruasi yang dialami remaja putri selama satu bulan yang dilihat berdasarkan frekuensi, durasi, periode menstruasi dan usia pertama kali menstruasi. Riwayat kecacingan adalah keadaan kecacingan yang pernah dialami oleh remaja putri yang berhubungan dengan kejadian anemia dan dilihat secara fisik seperti rasa gatal pada dubur, adanya cacing pada feses dan adanya darah pada feses. Riwayat penyakit adalah penyakit yang pernah diderita contoh dalam kurun waktu dua bulan terakhir yang berhubungan dengan kejadian anemia. Status gizi antropometri adalah keadaan contoh yang diakibatkan dari hasil konsumsi pangan, penyerapan dan penggunaan zat gizi yang ditentukan dengan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) yang dikategorikan menjadi sangat kurus <-3 SD, kurus -3 SD ≤ z <-2 SD, normal -2 SD ≤ z ≤+1 SD, overweight +1 SD < z ≤ +2 SD dan obese >+2 SD.
Status anemia adalah keadaan contoh berdasarkan kadar hemoglobin dalam darah yang dinyatakan dalam satuan g/dl dan dikategorikan anemia bila kadar hemoglobin darah kurang dari normal < 12 g/dl.
28
HASIL PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang berada 40 km dari pusat kota Jakarta dan 20 km dari perbatasan Jakarta-Bekasi serta 2 km dari jalan raya Cileungsi. Kecamatan Bantar Gebang terbagi menjadi empat kelurahan, yaitu Kelurahan Bantar Gebang, Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Sumur Batu dan Kelurahan Ciketing Udik. TPST Bantar Gebang berada di tiga kelurahan yaitu, Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Ciketing Udik dan Kelurahan Sumur Batu. Kelurahan Sumur Batu merupakan lokasi yang dipilih sebagai tempat melakukan penelitian, karena sebagian besar pemulung bertempat tinggal di kelurahan Sumur Batu. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pedurenan dan Kecamatan Mustika Jaya, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Taman Rahayu dan Kecamatan Setu, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Burangkeng dan Kecamatan Setu, serta sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Cikiwul dan kecamatan Bantar Gebang. Luas wilayah Kelurahan Sumur Batu adalah 568.995 ha, 318 ha dipergunakan untuk sarana gedung perkantoran dan prasarana pendidikan serta 37 ha digunakan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang. Kelurahan Sumur Batu terdiri dari 7 rukun warga dan 41 rukun tetangga, dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebesar 8.945 jiwa. Wilayah penelitian meliputi beberapa rukun warga dan rukun tetangga di Kelurahan Sumur Batu. Wilayah RW 03 dan RW 09 termasuk dalam wilayah yang lokasinya dekat dengan TPA (Tempat Pembuangan Sampah). Wilayah ini merupakan wilayah yang banyak memiliki masalah baik dalam kesehatan maupun ekonomi. Sebagian besar warga tergolong kategori berpendapatan minimum dengan pekerjaan rata-rata sebagai pemulung. SMP Negeri 27 Bekasi SMP Negeri 27 Bekasi, terletak di Jalan Sapta Taruna IV Sumur Batu Bantar Gebang. SMP ini dibangun pada tahun 1999 dan mulai beroperasi pada tahun 2000. Sekolah Mengengah Pertama ini dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah yang dibantu oleh 38 guru dan staf tata usaha. SMP Negeri 27 Bekasi merupakan sekolah yang telah terakreditasi A. Adapun visi dari SMP Negeri 27 Bekasi adalah “Unggul dalam prestasi, prima dalam pelayanan, berwawasan lingkungan yang bernuansa imtaq”. Misi dari SMP Negeri 27 Bekasi adalah 1)
29
meningkatkan proses pembelajaran baik akademik maupun non akademik, 2) meningkatkan pelayanan seluruh warga sekolah terhadap masyarakat, 3) meningkatkan disiplin kebersihan, penghijauan lingkungan, dan 4) meningkatkan kegiatan keagamaan bagi seluruh warga sekolah. Jumlah siswa keseluruhan tahun ajaran 2012-2013 adalah 1189 siswa, dengan jumlah siswa putri kelas VIII sebesar 191 dan siswa putra sebesar 190. Fasilitas yang dimiliki oleh sekolah meliputi ruang guru, ruang tata usaha, 15 ruang kelas, 1 ruang serba guna, 1 laboratorium IPA, WC murid dan guru, perpustakaan, koperasi dan lainnya. SMPN 27 Bekasi ini merupakan sekolah menengah pertama yang lokasinya berdekatan dengan TPA Bantar Gebang. Sebagian besar siswanya berasal dari keluarga menengah dengan pekerjaan yang bervariasi mulai dari pedagang, buruh, petani, pemulung, TNI dan PNS, serta karyawan swata. Karakteristik Umum Contoh Usia Sebaran usia contoh berkisar antara 13-15 tahun dengan persentase terbesar 63.9% berumur 13 tahun. Rata-rata contoh berusia 13±0.5 tahun. Usia merupakan salah satu faktor penentu status gizi seseorang, selain pengukuran tinggi dan berat badan, karena bila terjadi kesalahan dalam penentuan usia, maka akan terjadi kesalahan dalam interpretasi status gizi seseorang (Supariasa 2001). Berikut ini adalah tabel sebaran contoh berdasarkan usia. Usia 13 14 15 Total
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia n 46 24 2 72
% 63.9 33.3 2.8 100
Tingkat Pendidikan Orang tua Tabel 5 menunjukkan tingkat pendidikan orang tua tergolong rendah, sebagian besar orang tua contoh berlatar belakang pendidikan sekolah dasar/sederajat. Menurut hasil penelitian Sukandar (2007), menerangkan bahwa tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan, kebiasaan pangan dan perilaku hidup bersih dan sehat serta cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Sebaran tingkat pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 5.
30
Tabel 5 Sebaran tingkat pendidikan orang tua Ayah Tingkat Pendidikan n % SD 49 68.1 SMP 20 27.7 SMA 3 4.2 Perguruan Tinggi 0 0.0 Total 72 100
Ibu n 58 9 5 0 72
% 80.6 12.5 6.9 0.0 100
Pekerjaan Orang tua Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang merupakan masukan bagi terbentuknya suatu gaya hidup keluarga. Tabel 6 menunjukkan seluruh ayah contoh bekerja sebagai pemulung. Hal ini dikarenakan sebagian besar contoh tinggal tidak jauh dari kawasan TPA Bantar Gebang. Sedangkan ibu contoh (93.1%) bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hasil penelitian Sukandar (2007), menerangkan bahwa ibu yang tidak bekerja memungkinkan melakukan perawatan terhadap anaknya yang meliputi pemberian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik mental dan sosial anak yang sedang tumbuh dan anggota keluarga lainnya yang dilakukan di masyarakat dan rumah tangga. Berikut ini adalah Tabel sebaran pekerjaan orang tua contoh. Tabel 6 Sebaran pekerjaan orang tua contoh Pekerjaan n Ayah : Pemulung
%
Total
72 72
100 100
Ibu : IRT Pedagang Lainnya (tukang cuci) Total
67 1 4 72
93.1 1.4 5.5 100
Pendapatan Orang tua Pendapatan merupakan indikator kesejahteraan ekonomi rumah tangga dan juga merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Total pendapatan keluarga contoh terendah sebesar Rp.300.000 dan tertinggi sebesar Rp.1.000.000. Bila dikategorikan berdasarkan UMR Kota Bekasi sebesar Rp. 1.400.000 seluruh keluarga contoh termasuk kedalam kategori miskin (pendapatan kurang dari Rp.1.400.000). Berdasarkan sebaran pendapatan perkapita yang didapatkan dari pendapatan total orang tua dibagi dengan jumlah anggota keluarga untuk mendapatkan pendapatan perkapita perbulan, yaitu berkisar antara Rp.62.500 sampai Rp.250.000 dengan rata-rata sebesar Rp.147.006±45.681. Berdasarkan
31
garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2011 adalah Rp.231.438/kapita/bulan, sehingga diketahui rata-rata pendapatan orang tua contoh (94.4%) berada dibawah batas garis kemiskinan, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar keluarga contoh termasuk kedalam keluarga miskin. Kemiskinan merupakan hal yang berkaitan dengan kekurangan makanan, dan kesehatan lingkungan yang buruk. Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku konsumsi pangan seseorang. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang, maka akan
semakin
memperhatikan
kualitas
dan
kuantitas
pangan
yang
dikonsumsinya (Khomsan 2000). Berikut adalah tabel sebaran pengetahuan gizi contoh. Tabel 7 Sebaran pengetahuan gizi contoh Kategori n 11 53 8 Total 72
Kurang Sedang Baik
% 15.3 73.6 11.1 100
Berdasarkan Tabel 7, Rata-rata pengetahuan gizi contoh tergolong sedang (73.6%). Berdasarkan total nilai yang diperoleh contoh didapatkan skor 90 untuk nilai tertinggi dan 15 untuk nilai terendah dengan rata-rata 68.6±13.5. Hal ini dilihat dari jawaban mengenai aspek gizi sebanyak 41.1% contoh menjawab benar sedangkan pertanyaan mengenai aspek fungsi makanan, sumber vitamin dan mineral, anemia, dampak anemia dan PHBS 90.0% contoh menjawab dengan benar. Artinya pengetahuan mengenai aspek-aspek tersebut sudah umum diketahui oleh contoh. Status Anemia Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Kadar hemoglobin contoh berkisar antara 6.5-15.4 g/dl dengan rata-rata 12.7±1.4 g/dl. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh berdasar kadar hemoglobin Kategori n anemia berat 1 anemia sedang 3 anemia ringan 10 normal 58 Total 72
% 1.4 4.2 13.9 80.5 100
32
Berdasarkan Tabel 8, sebagian besar contoh (80.5%) tidak mengalami anemia (normal) dengan kadar hemoglobin ≥12.0 g/dl. Persentase contoh yang tidak anemia lebih tinggi dibandingkan penelitian Arumsari (2008), yaitu sebesar 61.7% remaja putri di Kota Bekasi tidak mengalami anemia. Secara keseluruhan 19.5% contoh mengalami anemia. Dilihat berdasarkan klasifikasi tingkatan anemia menurut WHO anemia yang terjadi pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang Bekasi tergolong dalam kategori sedang (15-40%). Adanya contoh yang mengalami anemia akan berdampak pada status imunitas dan fungsi kognitifnya. Selain itu, anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan dapat menurunkan daya tahan tubuh (WNPG 2004). Kekurangan zat besi karena anemia mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan atau kematangan sel otak serta menghambat produksi dan pemecahan
zat
senyawa
transmiter
yang
diperlukan
untuk
mengantar
rangsangan pesan dari satu sel neuron ke neuron lainnya. Gangguan ini dapat berpengaruh pada kinerja otak (Soekirman 2000). Menstruasi Usia Menarche Menarche atau menstruasi pertama merupakan salah satu perubahan pubertas yang pasti dialami anak perempuan. Sebagian besar remaja akan mendapat haid pertama pada umur 10-12 tahun (Affandi 1990). Seluruh contoh sudah mengalami menstruasi dengan rentang usia antara 9-14 tahun. Rata-rata usia menarche contoh adalah 12±0.9 tahun. Berikut ini adalah Tabel sebaran usia menarche contoh. Tabel 9 Sebaran usia menarche contoh Usia menarche n 9-10 tahun 4 11-12 tahun 55 13-14 tahun 13 Total 72
% 5.5 76.4 18.1 100
Menurut Pearce (1992), usia menarche wanita bila kurang dari 10 tahun tergolong cepat, 10-14 tahun tergolong normal dan lebih dari 14 tahun tergolong lambat. Tabel 9, menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (76.4%) mengalami menstruasi pada usia 11-12 tahun dan tergolong normal. Hal ini sejalan dengan hasil data RISKESDAS (2010), menunjukkan 2% remaja putri mengalami menarche pada usia 9-10 tahun, 22.5% pada usia 11-12 tahun dan 14.4% pada usia 13-14 tahun. Usia pertama kali menstruasi dipengaruhi oleh beberapa faktor
33
seperti status kesehatan dan status gizi seseorang. Usia pertama kali menstruasi pada umumnya tertunda pada seseorang dengan status gizi underweight. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan antara usia menarche dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini diduga, contoh baru saja mengalami menstruasi ketika dilakukannya penelitian, sehingga pengeluaran darah belum normal. Menurut Allen dan Gillespe (2001), remaja putri yang memiliki status gizi baik akan lebih cepat mengalami menstruasi dibandingkan dengan yang berstatus gizi kurang. Keterlambatan menarche dianggap memiliki keterkaitan dengan simpanan zat besi. Lama Siklus Menstruasi Siklus menstruasi pada wanita berkisar antara 21-40 hari, hanya 10-15% wanita yang memiliki siklus 28 hari (Affandi 1990). Lama siklus menstruasi contoh sebagian besar adalah 25-30 hari (50.0%). Berikut ini adalah Tabel sebaran siklus menstruasi contoh. Tabel 10 Sebaran siklus menstruasi contoh siklus menstruasi n <25 hari 27 25-30 hari 36 >30 hari 9 Total 72
% 37.5 50.0 12.5 100
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara siklus menstruasi dengan kadar hemoglobin contoh. Hal ini diduga karena siklus menstruasi contoh belum memiliki siklus yang normal seperti pada wanita pada umumnya. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa anemia pada remaja putri terjadi karena kehilangan banyak zat besi ketika mengalami menstruasi (Allen dan Gillespie 2001). Oleh karena itu, perlunya memberikan tambahan tablet besi agar dapat menyeimbangkan pengeluaran zat besi ketika menstruasi. Frekuensi Menstruasi Frekuensi menstruasi ataupun durasi menstruasi yang dialami contoh menggambarkan keteraturan menstruasi yang dialami. Berdasarkan frekuensi tersebut dapat menggambarkan jumlah darah yang hilang selama menstruasi. Sebaran frekuensi menstruasi contoh dijelaskan dalam Tabel 11. Tabel 11 Sebaran frekuensi menstruasi contoh Frekuensi Menstruasi n 2-3 bulan sekali 9 sebulan 2 kali 2 sebulan 1 kali 61 Total 72
% 12.5 2.8 84.7 100.0
34
Tabel 11 menunjukkan sebagian besar contoh (84.7%) memiliki frekuensi menstruasi yang tergolong normal yakni 1 bulan sekali. Semakin sering menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran zat besi dari tubuh. Hal
tersebut
dapat
mengakibatkan
pengeluaran
besi
meningkat
dan
keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Affandi dan Danukusumo 1990). Hasil analisis korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara frekuensi menstruasi dengan kadar Hb contoh (p>0.05). Hal ini bila dilihat dari usia menarche dan siklus menstruasi, diduga contoh baru mendapatkan menstruasi pada saat penelitian dan belum memiliki siklus yang normal sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap kadar Hb contoh. Keteraturan Menstruasi Menurut Affandi dan Danukusumo (1990) menyebutkan bahwa siklus menstruasi yang tidak teratur sering kali terjadi, dalam 1-4 tahun pertama setelah menarche, biasanya ovulasi (pelepasan sel telur) belum terjadi. Hal ini yang dapat menyebabkan menstruasi lama dan banyak serta tidak teratur (Affandi 1990). Tabel 12 menunjukkan sebaran keteraturan menstuasi contoh. Tabel 12 Sebaran keteraturan menstruasi contoh Jadwal menstruasi n Tepat waktu 24 Lebih awal 23 Terlambat 25 Total 72
% 33.4 31.9 34.7 100
Berdasarkan Tabel 12, sebesar 34.7% contoh mengalami keterlambatan menstruasi. Ketidakteraturan menstruasi merupakan suatu proses fisiologis wanita yang berkaitan dengan berbagai organ, hormon dan susunan syaraf pusat (Affandi & Danukusumo 1990). Hasil uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara keteraturan menstruasi dengan kadar Hb contoh. Hal ini dikarenakan pada awal menstruasi setiap wanita belum memiliki siklus yang selalu teratur setiap bulannya. Lama Menstruasi Lama menstruasi pada setiap wanita biasanya antara 3 sampai 5 hari, ada yang 1 sampai 2 hari dan diikuti darah sedikit-sedikit, dan ada yang 7 sampai 8 hari. Remaja putri membutuhkan zat besi paling banyak yang digunakan untuk mengganti zat besi yang terbuang bersama dengan darah haid, untuk menopang pertumbuhan serta pematangan seksual. Jika darah yang keluar selama menstruasi berlangsung sangat banyak akan terjadi anemia defisiensi zat besi (Arisman 2007). Berikut adalah tabel sebaran lama menstruasi.
35
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan lama menstruasi Kategori n 11 58 3 Total 72
< 3 hari 3-7 hari > 7 hari
% 15.3 80.5 4.2 100
Lama menstruasi yang dialami contoh (80.5%) sebagian besar adalah 3-7 hari dan tergolong normal. Hal ini sejalan dengan penelitian Arumsari (2008), rata-rata lama menstruasi remaja putri (87.7%) di Kota Bekasi selama 3-7 hari dan tergolong normal. Menurut Affandi (1990), bahwa sebagian besar peneliti menemukan bahwa rata-rata lama menstruasi 3 sampai 5 hari dianggap normal dan lebih dari 8 sampai 9 hari tidak normal. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan antara lama menstruasi dengan kadar hemoglobin contoh. Kebiasaan Makan Kebiasaan makan adalah istilah untuk dapat menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti frekuensi makan seseorang, pola makan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan dan lain sebagainya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan contoh meliputi kebiasan sarapan, kebiasaan konsumsi jajanan, suplemen, lauk nabati, lauk hewani, minum teh dan kopi, serta makanan pantangan. Kebiasaan makan contoh disajikan pada Tabel 14. Kategori Baik Cukup Kurang Total
Tabel 14 Sebaran kebiasaan makan contoh n 17 44 11 72
% 23.6 61.1 15.3 100
Total skor berkisar antara 35-53 dan didapatkan skor untuk kategori kurang 35-40, cukup 41-46 dan baik 47-53. Rata-rata contoh memiliki kebiasaan makan dengan kategori cukup (61.1%), kebiasaan makan contoh dapat dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, kesukaan terhadap makanan dan pengaruh kebiasaan makan di lingkungan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebagian besar contoh (55.6%) kadang-kadang melakukan sarapan pagi setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa contoh memiliki kebiasaan makan yang cukup baik, karena dengan terbiasanya sarapan dapat memberikan 20-30% energi dari makanan yang dikonsumsi. Menurut Sukandar (2007) dalam
36
penelitiannya menyebutkan bahwa, kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi, sedangkan kebiasaan makan yang
buruk
adalah kebiasaan yang
dapat
menghambat terpenuhinnya
kecukupan zat gizi, seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep gizi. Frekuensi Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Semakin jarang suatu pangan dikonsumsi maka, akan memberikan kontribusi konsumsi zat gizi harian yang relatif sedikit. Sebaliknya bila pangan seringkali dikonsumsi, maka akan memberikan hasil yang cukup signifikan dalam kontribusi konsumsi zat gizi perhari (Widajanti 2009). Adapun pencatatan jenis pangan sumber zat besi dibedakan menjadi serealia dan umbiumbian, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah, jajanan, minuman (teh dan kopi) dan suplemen. Frekuensi Konsumsi Serealia dan umbi-umbian Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) menganjurkan agar 60-75% kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat terutama karbohidrat kompleks. Beberapa jenis pangan yang merupakan sumber energi seperti beras, jagung serta bahan hasil olahannya seperti mie, bihun, roti, makaroni dan havermouth (Almatseier et al. 2002). Frekuensi konsumsi serealia dan umbi-umbian dijelaskan pada Tabel 15 Tabel 15 Sebaran frekuensi konsumsi serealia dan umbi-umbian contoh Frekuensi konsumsi Jarang Selalu Total Serealia Tidak pernah (1 atau 2 kali Kadang-kadang (>1 kali sehari (3-6 kali seminggu) seminggu)
Nasi Jagung Singkong Ubi Mie Soun Bihun Kentang Roti
n 0 54 53 67 2 61 58 64 62
% 0.0 75,0 73.6 93.1 2.8 84.7 80.6 88.9 86.1
n 0 14 14 2 27 8 7 5 4
% 0.0 19.4 19.4 2.8 37.5 11.1 9.7 6.9 5.6
& 1 kali sehari)
n 0 4 4 2 28 2 4 2 4
% 0.0 5.6 5.6 2.8 38.9 2.8 5.6 2.8 5.6
n 72 0 1 1 15 1 3 1 2
% 100,0 0.0 1.4 1.4 20.8 1.4 4.2 1.4 2.8
n 72 72 72 72 72 72 72 72 72
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi serealia seperti jagung, soun, bihun, dan roti. Seluruh contoh mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok dengan frekuensi selalu (>1 kali
37
sehari dan 1 kali sehari). Konsumsi nasi yang dianjurkan PUGS (2005) untuk perempuan usia 13-15 tahun adalah 3 penukar atau setara dengan 650 gram sehari. Rata-rata konsumsi pangan serealia dan umbi sebesar 440 g/hari. Bila dibandingkan dengan anjuran PUGS yaitu sebesar 650 g/hari (setara dengan nasi), konsumsi serealia dan umbi masih tergolong kurang. Hasil analisis dengan menggunakan korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara konsumsi serealia dan umbi-umbian dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini memperlihatkan bahwa masih kurangnya contoh dalam mengonsumsi pangan sumber serealia dan umbiumbian. Menurut Almatsier (2008), kandungan fitat yang terdapat dalam serat serealia dapat mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Frekuensi Konsumsi Pangan Hewani Zat besi heme dapat diserap 20-30% dalam keadaan normal dan 40-50% pada penderita anemia, sedangkan besi non heme dapat diserap sebanyak 5% dan tergantung dengan ada tidaknya zat pemicu atau penghambat (Soekirman 2000). Oleh karena itu, kurangnya asupan pangan sumber heme akan berpengaruh terhadap penyerapan zat besi di dalam tubuh. Konsumsi lauk hewani (setara dengan 1 potong atau 50 gram ikan) yang dianjurkan dalam pedoman umum gizi seimbang (PUGS 2005) untuk remaja putri dengan usia 1315 tahun adalah 3 penukar atau setara dengan 150 gram sehari. Tabel 16 menjelaskan sebaran frekuensi konsumsi pangan hewani contoh.
Pangan Hewani Ikan laut Ikan asin Ik pindang Ikan tawar Sapi Ayam Kambing Bebek Nugget Hati sapi Hati ayam Tlr ayam Tlr bebek Tlr Puyuh Sosis Rebon
Tabel 16 Sebaran frekuensi konsumsi pangan hewani contoh Frekuensi konsumsi Kadang-kadang Jarang Selalu (3-6 kali Tidak pernah (1 atau 2 kali (>1 kali sehari seminggu)
n 44 41 56 31 58 11 65 71 44 70 54 8 69 66 68 70
% 61.1 56.9 77.8 43.1 80.6 15.3 90.3 98.6 61.1 97.2 75.0 11.1 95.8 91.7 94.4 97.2
n 15 26 10 32 12 45 7 1 15 2 16 25 2 4 3 1
% 20.8 36.1 13.9 44.4 16.7 62.5 9.7 1.4 20.8 2.8 22.2 34.7 2.8 5.6 4.2 1.4
seminggu)
n 11 4 5 7 1 11 0 0 11 0 1 28 1 2 1 0
% 15.3 5.6 6.9 9.7 1.4 15.3 0.0 0.0 15.3 0.0 1.4 38.9 1.4 2.8 1.4 0.0
Total
& 1 kali sehari)
n 2 1 1 2 1 5 0 0 2 0 1 11 0 0 0 1
% 2.8 1.4 1.4 2.8 1.4 6.9 0.0 0.0 2.8 0.0 1.4 15.3 0.0 0.0 0.0 1.4
n 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
38
Tabel 16 menunjukkan bahwa, sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi pangan hewani. Sebagian contoh jarang mengonsumsi ikan tawar (44.4%) dan ayam (62.5%) serta 38.8% contoh kadang-kadang mengonsumsi telur ayam. Rata-rata konsumsi pangan hewani sebesar 91 g/hari. Bila dibandingkan dengan anjuran PUGS sebesar 150 g/hari, konsumsi pangan hewani masih tergolong kurang. Hasil analisis korelasi spearman menunjukkan terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi udang rebon dengan kadar hemoglobin contoh, dengan nilai korelasi positif (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering mengonsumsi udang rebon maka kadar hemoglobin semakin meningkat. Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) di dalam udang rebon terkandung zat besi sebesar 21.4 mg/100 g. Rata-rata konsumsi pangan udang rebon contoh sebesar 7 g/hari. Udang rebon merupakan pangan hewani yang mengandung zat besi. Konsumsi udang rebon dapat membantu mencukupi zat besi dalam tubuh. Bentuk zat besi di dalam udang rebon tergolong dalam zat besi heme. Hal ini diduga zat besi heme yang terkandung di dalam udang rebon berkontribusi terhadap pemeliharaan cadangan zat besi dalam tubuh. Konsumsi heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain zat besinya mudah diserap (23%) dibanding zat besi dari non heme (2-20%), heme juga membantu penyerapan non heme (WNPG 2004). Selain itu, rendahnya konsumsi sumber heme dapat berpengaruh terhadap penyerapan zat besi di dalam tubuh. Produk hewani mengandung zat gizi mikro yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang tinggi serta mengandung banyak vitamin dan mineral yang lebih baik untuk diserap dibandingkan dengan susu, daging dan telur dibandingkan dengan yang berasal dari tumbuhan (non-heme) (Allen dan Gillespie 2001). Beberapa jenis pangan hewani (daging, ikan dan unggas) memiliki kandungan zat besi lebih banyak dibandingkan dengan serealia serta lebih mudah diserap dibandingkan yang berasal dari sayuran (Allen dan Gillespie 2001). Frekuensi Konsumsi Pangan Nabati Sumber besi non heme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Jenis pangan nabati yang dilihat frekuensi konsumsinya seperti tempe, tahu, oncom serta berbagai jenis kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang tolo, kacang buncis, kacang panjang, kacang merah dan kacang ijo. Konsumsi lauk nabati (setara dengan 1 potong atau 50 gram tempe) yang dianjurkan PUGS (2005) untuk perempuan usia 13-15 tahun adalah 3 penukar atau setara dengan
39
150 gram sehari. Tabel 17 menunjukkan sebaran frekuensi konsumsi lauk nabati contoh.
Pangan nabati Tempe Tahu Oncom Kc. Tanah Kc. Tolo Kc. Buncis Kc. Pnjang Kc. Merah Kc. Ijo
Tabel 17 Sebaran frekuensi konsumsi pangan nabati contoh Frekuensi konsumsi Kadang-kadang Jarang Selalu (3-6 kali Tidak pernah (1 atau 2 kali (>1 kali sehari seminggu)
n 4 10 59 41 68 60 40 69 69
% 5.6 13.9 81.9 56.9 94.4 83.3 55.6 95.8 95.8
n 34 37 13 23 4 8 23 1 3
% 47.2 51.4 18.1 31.9 5.6 11.1 31.9 1.4 4.2
seminggu)
n 23 18 0 6 0 3 7 1 0
% 31.9 25.0 0 8.3 0 4.2 9.7 1.4 0
Total
& 1 kali sehari)
n 11 7 0 2 0 1 2 1 0
% 15.3 9.7 0 2.9 0 1..4 2.9 1.4 0
n 72 72 72 72 72 72 72 72 72
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi lauk nabati seperti oncom, kacang tanah, kacang tolo, kacang buncis, kacang panjang, kacang merah dan kacang hijau. Sebesar 47.4-51.4% contoh mengonsumsi lauk nabati dengan frekuensi jarang (1 atau 2 kali/minggu). Rata-rata konsumsi pangan nabati sebesar 136 g/hari. Bila dibandingkan dengan anjuran PUGS yaitu sebesar 150 g/hari, konsumsi pangan nabati masih tergolong kurang. Zat besi non heme yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan zat besi pun biasanya akan positif (Almatsier 2008). Berdasarkan hasil korelasi Spearman antara kadar hemoglobin dengan frekuensi konsumsi lauk nabati menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara konsumsi lauk nabati dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Ratarata konsumsi pangan nabati contoh relatif kecil dan sama dengan jumlah konsumsi perhari sekitar 50.1g/hari. Akan tetapi bila dibandingkan dengan standar PUGS untuk konsumsi lauk nabati (setara tempe), konsumsi pangan nabati contoh masih tergolong kurang (< 150g/hari) Frekuensi Konsumsi Sayuran Sayuran merupakan bahan pangan yang mengandung vitamin dan mineral. Selain itu, di dalam sayuran hijau mengandung zat besi yang cukup tinggi yang dapat meningkatkan simpanan zat besi di dalam tubuh jika sering dikonsumsi. Akan tetapi, beberapa jenis sayuran hijau juga memiliki kandungan asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan zat besi seperti yang terdapat dalam bayam. Konsumsi sayur yang dianjurkan PUGS (2005) untuk perempuan usia 13-15 tahun adalah 3 penukar (1 penukar setara dengan 1
40
gelas) atau setara dengan 300 gram sehari. Tabel 18 menggambarkan sebaran frekuensi konsumsi sayuran contoh.
Sayuran Bayam Kangkung Sawi putih Caisim Kol Daun singkong Daun pepaya Daun melinjo Selada Labu siam Wortel Tomat Ketimun Nangka muda Pepaya muda Terong Brokoli
Tabel 18 Sebaran frekuensi konsumsi sayuran contoh Frekuensi konsumsi Kadang-kadang Jarang Selalu Tidak pernah
n 27 20 52 62 48 52 70 65 68 50 38 46 34 58 64 67 60
% 37.5 27.8 72.2 86.1 66.7 72.2 97.2 90.3 94.4 69.4 52.8 63.9 47.2 80.6 88.9 93.1 83.3
(3-6 kali seminggu)
(1 atau 2 kali seminggu)
n 28 27 11 9 17 14 2 6 4 17 22 22 28 13 7 3 10
% 38.9 51.4 15.3 12.5 23.6 19.4 2.8 8.3 5.6 23.6 30.6 30.6 38.9 18.1 9.7 4.2 13.9
n 14 12 8 1 7 5 0 1 0 5 10 2 7 1 1 2 2
% 19.4 16.7 11.1 1.4 9.7 6.9 0 1.4 0 6.9 13.9 2.8 9.7 1.4 1.4 2.8 2.8
Total
(>1 kali sehari & 1 kali sehari)
n 3 3 1 0 0 1 0 0 0 0 2 2 3 0 0 0 0
% 4.2 4.2 1.4 0 0 1.4 0 0 0 0 2.8 2.8 4.2 0 0 0 0
n 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Tabel 18 menunjukkan sebagian contoh mengonsumsi jenis sayuran dengan frekuensi jarang diantaranya adalah bayam (38.9%), kangkung (51.4%) dan ketimun (38.9%), sedangkan untuk jenis sayuran lainnya sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsinya. Rata-rata konsumsi sayuran contoh sebesar 42 g/hari. Bila dibandingkan dengan anjuran PUGS yaitu sebesar 300 g/hari, konsumsi sayuran contoh masih tergolong kurang. Hasil analisis spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi sayuran daun melinjo, pepaya muda dan terong dengan kadar hemoglobin dengan nilai korelasi positif pada daun melinjo dan pepaya muda serta nilai korelasi negatif pada terong (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering sayuran daun melinjo dan pepaya muda dikonsumsi maka kadar hemoglobin semakin tinggi. Daun melinjo dan pepaya muda merupakan pangan yang mengandung zat besi. Kandungan zat besi daun melinjo sebesar 4.2 mg/100 g dan di dalam pepaya muda sebesar 0.4 mg/100g. Rata-rata konsumsi daun melinjo dan pepaya muda sebesar 7 g/hari. Selain mengandung zat besi daun melinjo dan pepaya muda juga mengandung vitamin A dan vitamin C. Menurut Groff dan Gropper (2000), vitamin A dapat mempengaruhi penyimpanan besi, sementara vitamin C membantu dalam penyerapan sumber non heme. Kandungan vitamin
41
A daun melinjo sebesar 1500.0 RE/100g dan pepaya muda sebesar 6.0 RE/100g. Sedangkan kandungan vitamin C daun melinjo sebesar 182.0 mg/100g dan pepaya muda 19.0 mg/100g. Oleh karena itu, bila daun melinjo dan pepaya muda dikonsumsi secara teratur maka akan dapat mencukupi cadangan zat besi di dalam tubuh. Sedangkan pada terong, semakin sering terong dikonsumsi maka kadar hemoglobin semakin rendah. Terong mengandung zat besi sebesar 0.4 mg/100g, tembaga 0.4 mg/100g dan kalsium 15.0 mg/100g. Kandungan zat besi di dalam terong tergolong rendah bila dibandingkan dengan kalsium. Penyerapan zat besi di dalam saluran pencernaan bersamaan dengan penyerapan mineral lainnya seperti tembaga dan kalsium. Hal ini diduga penyerapan zat besi terganggu karena terjadinya persaingan dalam penyerapan dengan mineral lainnya (seperti kalsium dan tembaga) sehingga dapat berkontribusi terhadap menurunnya cadangan zat besi di dalam tubuh. Menurut Groff and Grooper (2000), menjelaskan bahwa adanya kalsium dan tembaga dapat menghambat penyerapan zat besi. Frekuensi Konsumsi Buah-buahan Buah-buahan, sama halnya seperti sayuran yang merupakan pangan sumber vitamin dan mineral. Konsumsi buah (100 gram pepaya atau 1 potong) yang dianjurkan PUGS (2005) untuk perempuan usia 13-15 tahun adalah 4 penukar atau setara dengan 400 gram sehari. Tabel 19 menggambarkan sebaran frekuensi konsumsi buah contoh. Tabel 19 Sebaran frekuensi konsumsi buah contoh Frekuensi konsumsi Kadang-kadang Jarang Selalu Buah Jeruk Tomat Pepaya Jambu biji Mangga Nanas Pisang Semangka Melon Apel Anggur Pir
Tidak pernah
n 28 57 56 55 16 70 59 60 44 57 67 64
% 38.9 79.2 77.8 76.4 22.2 97.2 81.9 83.3 61.1 79.2 93.1 88.9
(1 atau 2 kali seminggu)
n 30 14 13 12 31 1 10 11 23 15 4 6
% 41.7 19.4 18.1 16.7 43.1 1.4 13.9 15.3 31.9 20.8 5.6 8.3
(3-6 kali seminggu)
n 12 1 3 4 17 1 2 1 4 0 0 2
% 16.7 1.4 4.2 5.6 23.6 1.4 2.8 1.4 5.6 0 0 2.8
(>1 kali sehari & 1 kali sehari)
n 2 0 0 1 8 0 1 0 1 0 0 0
% 2.8 0 0 1.4 11.1 0 1.4 0 1.4 0 0 0
Total n 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Buah yang paling sering di konsumsi yang dilihat pada frekuensi jarang dan kadang-kadang adalah buah jeruk dan mangga. Rata-rata konsumsi buah
42
contoh sebesar 143 g/hari. Bila dibandingkan dengan anjuran PUGS konsumsi buah contoh masih tergolong kurang. Hasil uji statistik korelasi spearman menunjukkan terdapat hubungan yang antara frekuensi konsumsi buah mangga dengan kadar hemoglobin contoh (p<0.05) dengan nilai korelasi negatif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin sering mengonsumsi mangga maka semakin rendah kadar hemoglobinnya. Rata-rata konsumsi mangga contoh sebesar 62 g/hari. Berdasarkan konsumsi tersebut, mangga menyumbangkan 2.6% zat besi dan 8.4% vitamin C dalam sehari. Mangga mengandung zat besi sebesar 1.0 mg/100g, tembaga 0.33 mg/100g, kalsium 15.0 mg/100g dan vitamin C 185.0 mg/100g, Kandungan zat besi di dalam mangga tergolong rendah. Selain itu, mangga juga mengandung vitamin C yang dapat membantu penyerapan zat besi non heme. Apabila mangga dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan yang mengandung fitat, oksalat, tanin, kalsium, zink dan tembaga maka dapat menghambat penyerapan zat besi. Menurut Pynaert et al. (2005), menjelaskan bahwa mengonsumsi buah yang dikombinasikan dengan bahan pangan sumber zat besi non heme dapat membantu penyerapan zat besi non heme. Frekuensi Konsumsi Jajanan, Minuman dan Suplemen Tabel 20 menunjukkan frekuensi konsumsi jajanan, minuman dan suplemen contoh. Adapun makanan jajanan yang diamati adalah makanan yang biasa di konsumsi contoh disekolah maupun diluar sekolah, yaitu bakso, siomay, pisang goreng, mie ayam, bakwan, chiki, biskuit, cilok, cireng dan cokelat. Minuman yang diamati adalan teh, kopi dan susu. Tabel 20 Sebaran frekuensi konsumsi jajanan, minuman dan suplemen contoh Frekuensi Konsumsi Jajanan/ Kadang-kadang Jarang Selalu Total Tidak pernah (3-6 kali minuman/ (1 atau 2 kali (>1 kali sehari & seminggu) seminggu) 1 kali sehari) suplemen n % n % n % n % n % Bakso 28 38.9 38 52.8 6 8.3 0 0 72 100 Siomay 43 59.7 20 27.8 7 9.7 2 2.8 72 100 Pisang goreng 51 70.8 14 19.4 2 2.8 5 6.9 72 100 Mie ayam 42 58.3 28 38.9 2 2.8 0 0 72 100 Bakwan 41 56.9 19 26.4 6 8.3 6 8.3 72 100 Chiki 36 50.0 20 27.8 7 9.7 9 12.5 72 100 Biskuit 34 47.2 20 27.8 12 16.7 6 8.3 72 100 Cilok 64 89.9 6 8.3 2 2.8 0 0 72 100 Cireng 23 31.9 19 26.4 15 20.8 15 20.8 72 100 Cokelat 41 56.9 23 31.9 6 8.3 2 2.8 72 100 Teh 23 31.9 15 20.8 12 16.7 22 20.6 72 100 Kopi 59 81.9 11 15.3 2 2.8 0 0 72 100 Susu 27 37.5 22 30.6 13 18.1 10 13.9 72 100 Suplemen 0 0 0 0 0 0 0 0 72 100
43
Jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh contoh adalah bakso. Sebagian besar contoh (50.0-89.9%) mengaku tidak pernah mengonsumsi jajanan dengan jenis siomay, pisang goreng, mie ayam, bakwan, chiki, cilok dan cokelat. Makanan jajanan yang dikonsumsi dapat memberikan kontribusi pada cadangan zat besi tubuh, karena mengandung zat besi walaupun dalam jumlah yang sedikit. Hasil korelasi spearman menunjukkan terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi cokelat dan chiki dengan kadar hemoglobin contoh (p<0.05) dengan nilai korelasi negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering cokelat dan chiki dikonsumsi maka kadar hemoglobin semakin rendah. Kandungan karbohidrat dalam cokelat sebesar 62.7g/100g dan chiki 58.7g/100g, sedangkan zat besi dalam cokelat sebesar 2.8 mg/100g. Semakin sering mengonsumsi chiki dan cokelat maka akan merasa lebih cepat kenyang. Hal ini akan menyebabkan kurangnya asupan makan lainnya, khususnya pangan sumber zat besi sehingga dapat menurunkan kadar hemoglobin. Tabel 20 menunjukkan sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi kopi, teh dan susu. Salah satu faktor penghambat penyerapan zat besi adalah konsumsi teh dan kopi, karena didalam teh dan kopi mengandung tanin yang dapat menghambat penyerapan zat besi. Hasil analisis korelasi spearman tidak terdapat hubungan antara konsumsi teh, kopi dan susu dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini dapat dijelaskan dari konsumsi teh, kopi, suplemen, dan susu tergolong jarang, sehingga kemungkinan rendahnya efek terhadap kadar hemoglobin. Hasil penelitian Beard et al. (2007), menyebutkan bahwa adanya tanin dalam teh yang dikonsumsi saat sarapan pagi menurunkan bioavailabilitas besi sebanyak enam kali. Seluruh contoh tidak pernah mengonsumsi suplemen. Kurangnya asupan makanan dapat dibantu dengan mengonsumsi suplemen. Menurut Briawan (2008) menjelaskan bahwa, pemberian suplementasi zat besi dan folat dengan penambahan vitamin dan mineral lainnya pada remaja dapat memperbaiki status besi. Hasil analisis korelasi spearman tidak terdapat hubungan antara konsumsi suplemen dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini diduga karena contoh tidak pernah mengonsumsi suplemen sehingga tidak memiliki efek terhadap kadar hemoglobin contoh. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Kecukupan gizi contoh dilihat berdasarkan AKG (angka kecukupan gizi) yang ditetapkan berdasarkan WNPG 2004 berdasarkan golongan umur 13-15
44
tahun. Tingkat kecukupan gizi didapatkan dengan membandingkan konsumsi aktual dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) 2004. Angka kecukupan gizi yang digunakan adalah energi, protein, vitamin A, vitamin C, vitamin D dan zat besi. Energi Energi dibutuhkan oleh tubuh untuk melakukan aktivitas tubuh. Kekurangan maupun kelebihan energi dapat mengakibatkan gangguan pada tubuh. Oleh karena itu energi harus terpenuhi dengan seimbang untuk mengurangi gangguan tersebut. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak dalam jangka panjang (Hardinsyah dan Tambunan 2004). PUGS menganjurkan agar 60-75% kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat, lemak 25-35% sedangkan selebihnya berasal dari protein 10-15% (Almatsier 2008). Kecukupan energi yang dianjurkan menurut Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004 adalah 2350 untuk perempuan dengan usia 13-15 tahun. Tabel 21 menjelaskan sebaran tingkat kecukupan energi contoh Tabel 21 Sebaran tingkat kecukupan energi contoh Tingkat Kecukupan Energi n Defisit tingkat berat 33 Defisit tingkat sedang 5 Defisit tingkat ringan 9 Normal 16 Lebih 9 Total 72
% 45.8 6.9 12.5 22.3 12.5 100
Sebagian besar contoh memiliki tingkat kecukupan yang tergolong defisit tingkat berat (45.8%). Rata-rata kecukupan energi contoh masih tergolong rendah (1920±376 Kalori) bila dibandingkan dengan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 2350 Kalori. Rata–rata konsumsi energi contoh sebesar 1484±538 Kal/hari. Hal ini sejalan dengan hasil data RISKESDAS (2010) yang menyebutkan bahwa, masih kurangnya penduduk Indonesia dalam mengonsumsi energi bila dilihat dari rata-rata konsumsi energi pada perempuan usia 13-15 tahun sebesar 1746±553 Kal dan memiliki kecukupan energi yang masih dibawah angka kecukupan yang dianjurkan (<70% AKG). Hasil uji korelasi spearman yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Menurut Almatsier (2008), tingkat kecukupan energi yang defisit dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan tubuh kekurangan energi sehingga
45
mengalami keseimbangan energi yang negatif akibat lebih banyak energi yang dikeluarkan daripada energi yang masuk. Jika keadaan ini tidak segera diperbaiki dapat menyebabkan penuruan berat badan dan kerusakan jaringan dalam tubuh. Protein Protein berperan didalam metabolisme zat besi, dimana protein membentuk ikatan kompleks dengan zat besi dalam kelarutannya. Rendahnya protein dalam tubuh dapat mengganggu pembentukkan hemoglobin. Kecukupan protein pada remaja putri usia 13-15 tahun menurut WNPG (2004) adalah sebesar 57 gram. Tabel 22 menunjukkan sebaran tingkat kecukupan protein contoh Tabel 22 Sebaran tingkat kecukupan protein contoh Tingkat Kecukupan Protein n Defisit tingkat berat 13 Defisit tingkat sedang 4 Defisit tingkat ringan 7 Normal 12 Lebih 36 Total 72
% 18.1 5.5 9.7 16.7 50.0 100
Berdasarkan Tabel 22, tingkat kecukupan protein sebagian besar tergolong lebih (50.0%). Rata-rata kecukupan protein contoh 46.6±9.1 g, kecukupan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 57 gram. Rata–rata konsumsi protein contoh sebesar 65.2±39.3 g/hari. Rata-rata konsumsi protein contoh lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi protein hasil data RISKESDAS (2010) sebesar 61.6±32.7 gram untuk perempuan dengan usia 13-15 tahun. Hasil uji korelasi spearman yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini diduga, masih kurangnya konsumsi protein hewani contoh yang dapat memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan dengan protein nabati. Menurut Eastwood (2008), kebutuhan protein akan meningkat pada masa remaja, karena protein dibutuhkan untuk pertumbuhan. Protein dibutuhkan dalam transportasi zat gizi, salah satunya adalah zat besi. Kurangnya protein dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan dalam penyerapan dan transportasi zat besi yang akan berakibat kekurangan zat besi dalam tubuh. Vitamin A Vitamin A dapat mempengaruhi penyimpanan atau metabolisme zat besi atau dapat mempengaruhi diferensiasi sel darah merah (Groff dan Gropper 2000). Kurangnya asupan vitamin A dapat berpengaruh terhadap pembentukan
46
sel darah merah dan terjadinya anemia. Oleh karena itu, perlu meningkatkan konsumsi pangan sumber vitamin A agar terhindar dari gangguan fungsi tubuh akibat kurangnya vitamin A. Berikut ini adalah sebaran tingkat kecukupan vitamin A contoh.
Kurang Cukup
Tabel 23 Sebaran tingkat kecukupan vitamin A contoh Tingkat Kecukupan Vitamin A n 27 45 Total 72
% 37.5 62.5 100
Berdasarkan Tabel 23, tingkat kecukupan vitamin A contoh tergolong cukup (62.5%). Rata–rata kecukupan vitamin A contoh 490.1±96.1 RE, kecukupan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 600 RE. Rata–rata konsumsi vitamin A contoh 634.9±606.1 RE/hari. Menurut Charles et al. (2012), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kekurangan vitamin A dengan status besi remaja putri, dengan melihat hasil serum retinol dan kadar hemoglobin contoh. Vitamin A sangat penting untuk hematopoesis (pembentukan sel darah) dan diperlukan untuk mobilisasi besi dalam sintesis hemoglobin. Hasil uji korelasi spearman yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan vitamin A dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini diduga konsumsi pangan sumber vitamin A contoh didapatkan dari sayur dan buah, sedangkan sumber vitamin A yang baik banyak terdapat pada bahan pangan heme. Menurut Mejia dan Chew (1998), kekurangan vitamin A memberikan efek anemia dimana transpor zat besi dan sintesis zat besi terganggu. Vitamin C Kebutuhan vitamin pada remaja meningkat, termasuk juga pada kebutuhan vitamin C. Vitamin C pada umumnya terdapat dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang memiliki rasa asam, seperti jeruk, nanas, rambutan, pepaya dan tomat. Selain itu vitamin C juga banyak terdapat didalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2008). Berikut ini adalah sebaran tingkat kecukupan vitamin C contoh.
Kurang Cukup
Tabel 24 Sebaran tingkat kecukupan vitamin C contoh Tingkat Kecukupan Vitamin C n 36 36 Total 72
% 50.0 50.0 100
Tingkat kecukupan vitamin C contoh memiliki persentase yang sama (50.0%) yaitu pada kategori kurang dan cukup. Rata-rata kecukupan vitamin C
47
contoh 53.1±10.4 mg, kecukupan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 65 mg. Rata-rata konsumsi vitamin C contoh 56.7±58.9 mg/hari. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan vitamin C dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Vitamin C dalam tubuh berfungsi merubah bentuk besi feri menjadi fero pada besi nonheme. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk mengonsumsi makanan sumber vitamin C tiap kali makan untuk membantu proses penyerapan besi non heme. Menurut
Almatsier
(2008),
kurangnya
vitamin
C
dalam
tubuh
dapat
mengakibatkan terganggunya penyerapan zat besi, karena vitamin C membentuk besi-askorbat yang tetap larut pada pH 7 di dalam duodenum. Vitamin D Fungsi
utama
vitamin
D
adalah
membantu
pembentukkan
dan
pemeliharaan tulang bersama dengan vitamin A, vitamin C, dan beberapa jenis mineral-mineral seperti kalsium, fosfor, magnesium dan fluor. Selain itu, vitamin D juga berperan untuk mengatur kalsium agar kalsium tetap tersedia di dalam darah. Bila vitamin D tercukupi didalam tubuh maka dapat berpengaruh terhadap menstruasi yang dalam prosesnya membantu kerja kalsium. Tabel 25 menunjukkan sebaran tingkat kecukupan vitamin D contoh.
Kurang Cukup
Tabel 25 Sebaran tingkat kecukupan vitamin D contoh Tingkat Kecukupan Vitamin D n 22 50 Total 72
% 30.6 69.4 100
Tingkat kecukupan vitamin D contoh tergolong cukup (69.4%). Rata–rata kecukupan vitamin D contoh 3.6±0.5 mg, kecukupan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 5 mg. Rata–rata konsumsi pangan sumber vitamin D sebesar 14.8±17.8 mg/hari. Berdasarkan hasil penelitian Chapelon et al. (2009) menjelaskan bahwa vitamin D berperan dalam pembentukan tulang, sehingga kurangnya vitamin D dapat menyebabkan penururan pembentukan sel darah merah serta berhubungan dengan terjadinya SCD (sickel cel disease). Vitamin D tidak hanya didapatkan dari bahan pangan sumber vitamin D, akan tetapi juga berasal dari sinar matahari. Sinar matahari dapat membantu dalam proses penyerapan kalsium dan sintesis vitamin D di dalam tubuh (Almatsier 2008).
48
Hasil uji korelasi Spearman yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan vitamin D dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini dapat dilihat dari konsumsi pangan sumber vitamin D contoh tergolong rendah. Rendahnya asupan vitamin D dalam tubuh akan berdampak terhadap pembentukkan tulang dan regenerasi sel darah merah yang berasal dari sumsum tulang belakang. Zat Besi (Fe) Zat besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh, yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2008). Zat besi diperlukan oleh tubuh untuk mengganti zat besi yang hilang bersama dengan darah pada waktu menstruasi. Angka kecukupan besi pada golongan umur 13-15 tahun menurut WNPG (2004) adalah sebesar 26 mg/hari. Berikut adalah tabel sebaran tingkat kecukupan zat besi.
Kurang Cukup
Tabel 26 Sebaran tingkat kecukupan zat besi contoh Tingkat Kecukupan Zat Besi n 36 36 Total 72
% 50.0 50.0 100
Tingkat kecukupan zat besi persentase yang sama yaitu sebesar 50.0%. Rata–rata kecukupan zat besi contoh 21.2±4.2 mg, kecukupan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 26 mg. Rata–rata konsumsi zat besi contoh sebesar 22.2±17.2 mg/hari. Kecukupan besi pada remaja putri akan tercukupi bila diimbangi dengan kualitas pangan yang baik dan dengan meningkatkan konsumsi pangan sumber heme (Pynaert et al. 2005). Hasil uji korelasi spearman yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan zat besi dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Berdasarkan hasil frekuensi konsumsi pangan contoh, asupan zat besi didapatkan dari sayuran dan pangan nabati. Kurangnya asupan zat besi dalam tubuh dapat menyebabkan defisiensi besi yang akan menyebabkan anemia. Tingkat kecukupan contoh yang kurang diduga karena kurangnya asupan pangan sumber besi heme sehingga kurang mendukung keberadaan zat besi dalam tubuh. Oleh karena itu perlunya pemberian kapsul besi untuk membantu meningkatkan cadangan zat besi dalam tubuh.
49
Status Gizi Tabel 27 menunjukkan sebaran status gizi contoh. Sebagian besar contoh (72.2%) memiliki status gizi normal. Menurut hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) menjelaskan bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi anemia. Kategori Sangat kurus Kurus Normal Overweight Obese Total
Tabel 27 Sebaran status gizi contoh n 7 9 52 4 0 72
% 9.7 12.5 72.2 5.6 0.0 100
Secara nasional hasil analisis data RISKESDAS (2010) menunjukkan persentase status gizi berdasarkan IMT/U pada remaja putri adalah 1.7% sangat kurus, 6.0% kurus, 90.3% normal dan 2.0% gemuk. Bila dibandingkan dengan hasil data RISKESDAS (2010), status gizi contoh tergolong kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari besarnya prevalensi status gizi contoh yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil data RISKESDAS (2010). Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini dapat dilihat dari sebaran status gizi contoh yang tidak merata, sebagian besar contoh memiliki status gizi normal. Semakin baik status gizi contoh maka semakin rendah risiko terkena anemia dan semakin baik asupan zat gizi contoh maka semakin baik pula status gizinya. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Perilaku hidup sehat erat kaitannya dengan higiene perorangan. Indikator yang digunakan untuk melihat perilaku hidup sehat contoh berdasarkan indikator PHBS, yaitu indikator kesehatan lingkungan dan gaya hidup sehat. Tabel 28 menunjukkan sebaran perilaku hidup bersih dan sehat contoh.
Baik Sedang Rendah
Tabel 28 Sebaran perilaku hidup bersih dan sehat contoh Kategori n 57 12 3 Total 72
% 79.2 16.6 4.2 100
Total skor berkisar antara 36-57 dan diperoleh hasil untuk kategori rendah, skor berkisar antara 36-42, sedang 43-49 dan baik 50-57 dengan ratarata skor contoh 51.7±3.5. Rata-rata contoh termasuk kedalam kategori baik
50
(79.2%). Nilai perilaku hidup bersih dan sehat contoh yang baik diharapkan dapat mencerminkan kondisi kesehatan contoh. Hal ini sejalan dengan penelitian Arumsari (2008), bahwa 91.3% remaja putri di Kota Bekasi memiliki perilaku hidup bersih dan sehat yang baik, dilihat dari aspek kebiasan mencuci tangan dan penggunaan air bersih. Hasil penelitian Jayanti et al. (2011), menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara PHBS dalam lingkungan keluarga dengan status gizi contoh. Semakin baik PHBS dalam keluarga maka status gizi contoh akan semakin baik pula. Keadaan Lingkungan Tempat Tinggal Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Menurut Slamet (1996), lingkungan berpengaruh terhadap terjadinya penyakit dan hal ini sudah sejak lama diperkirakan oleh orang. Limbah yang berada di lingkungan TPA Bantar Gebang didominasi oleh sampah-sampah organik. Sampah memiliki pengaruh terhadap kesehatan. Pengaruhnya dapat dibagi menjadi dua yaitu efek secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung efek yang dirasakan contoh adalah akibat dari proses pembusukan, pembakaran dan pembuangan limbah yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan karena tercemarnya air tanah, tanah dan udara. Berikut ini adalah Tabel sebaran keadaan lingkungan contoh.
Kurang baik Cukup baik Baik
Tabel 29 Sebaran keadaan lingkungan contoh Kategori n 11 43 18 Total 72
% 15.3 59.7 25.0 100
Total skor berkisar antara 20-30 dan diperoleh hasil untuk kategori rendah skor berkisar antara 20-23, sedang 24-27 dan baik 28-30 dengan rata-rata skor contoh 26.0±2.4. Sebagian besar contoh (59.7%) memiliki keadaan lingkungan tempat tinggal yang tergolong cukup baik. Sebagian besar contoh tinggal di lingkungan yang tidak jauh dari kawasan TPA Bantar Gebang. Menurut Sukarni (1989), jarak antara pemukiman penduduk dengan pembuangan sampah adalah ± 5 km. Akan tetapi, hampir seluruh contoh bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi TPA Bantar Gebang dengan jarak ± 20 meter. Keadaan lingkungan tempat tinggal juga berkaitan dengan kondisi fisik rumah
yang dapat menunjang
kesehatan. Hal ini dilihat dari indikator persyaratan rumah sehat. Selain itu, faktor pencemaran udara seperti bau juga dapat menyebabkan kurang sehatnya keadaan tempat tinggal.
51
Riwayat Kecacingan Rendahnya asupan zat besi yang dapat diserap tubuh dapat disebabkan oleh infeksi cacing yang terdapat didalam tubuh seseorang (Allen dan Gillespie 2001). Riwayat kecacingan diketahui secara kualitatif berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner. Berikut ini adalah tabel sebaran riwayat kecacingan contoh. Tabel 30 Sebaran riwayat kecacingan contoh n 30 23 19 Total 72
Kategori Rendah Sedang Tinggi
% 41.7 31.9 26.4 100
Total skor berkisar antara 6-12 dan diperoleh hasil untuk kategori rendah, skor berkisar antara 6-7, sedang 8-9 dan tinggi 10-12 dengan rata-rata skor contoh 8.2±1.8. Rata-rata riwayat kecacingan contoh tergolong rendah (41.7%). Semakin rendahnya riwayat kecacingan yang dialami contoh maka, semakin rendah pula risiko terjadinya anemia. Berdasarkan hasil penelitian Dreyfuss et al. (2000), menyebutkan bahwa adanya infeksi cacing berhubungan terhadap kejadian anemia. Infeksi yang disebabkan oleh cacing mengakibatkan terjadinya pendarahan pada dinding usus, walaupun infeksi yang ditimbulkan tidak besar (sedikit) dapat menyebabkan kehilangan darah ataupun zat besi. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar contoh (58.3%) mengaku pernah merasa gatal pada anus. Hasil ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Veryana (2004), yaitu sebesar 9.5% siswi di lingkungan Bantar Gebang terinfeksi cacing kremi. Hal ini dikarenakan pengukuran riwayat kecacingan contoh hanya berdasarkan pengalaman dan tidak dilakukannya pengukuran terhadap feses. Rasa gatal pada anus dapat diakibatkan oleh cacing kremi betina (enterobius vermicularis) yang akan bertelur dan pergi ke anus manusia sehingga menimbulkan rasa gatal. Hal ini yang dapat mengindikasikan seseorang terinfeksi cacing kremi. Sebagian contoh (38.9%) mengaku pernah mengonsumsi obat cacing, dengan frekuensi 3 bulan sampai dengan 6 bulan sekali. Hal ini diduga contoh tidak
mengalami
riwayat
kecacingan
sebelumnya
karena
rutin
untuk
mengonsumsi obat cacing, sedangkan 12.5% contoh pernah mengalami adanya darah pada feses. Keberadaan darah pada feses penting untuk diketahui untuk melihat penyebab anemia lain selain infeksi cacing. Adanya darah pada feses disebabkan oleh terjadinya disentri atau pendarahan kecil yang menahun pada
52
tukak lambung. Sebesar 11.1% contoh pernah mengalami adanya cacing pada feses. Adanya cacing pada feses penting untuk diketahui untuk melihat penyebab anemia yang disebabkan oleh infeksi cacing. Riwayat Penyakit Riwayat
penyakit
contoh
yang
diamati
meliputi
kejadian
sakit
(pernah/tidak), jenis penyakit yang dialami dan frekuensi sakit selama dua bulan terakhir. Riwayat penyakit diamati untuk melihat adanya penyakit yang dialami yang berhubungan dengan kejadian anemia pada contoh. Morbiditas yang berasal dari penyakit infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi, karena dapat menimbulkan dampak yang merugikan terhadap daya tahan tubuh (WHO 2001). Tabel 31 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit. Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit (pernah/tidak) Kategori n % Sakit 58 80.6 Tidak Sakit 14 19.4 Total 72 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (80.6%) pernah mengalami sakit dalam dua bulan terakhir. Berdasarkan Tabel 31, 19.4% contoh tidak mengalami sakit dalam dua bulan terakhir yakni sebelum dan saat dilakukannya penelitian. Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan sakit yang diderita contoh baik satu tahun atau satu bulan sebelumnya berhubungan secara bermakna dengan status anemia. Hasil uji statistik korelasi spearman terdapat hubungan antara kejadian sakit dengan kadar hemoglobin contoh (p<0.05), dengan nilai korelasi positif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin jarang mengalami sakit maka semakin besar kadar hemoglobin. Adapun jenis penyakit dan frekuensi penyakit yang dialami contoh selama dua bulan terakhir terdapat pada Tabel 32. Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit dan frekuensi sakit 1 kali/2 bulan 2 kali/2 bulan ≥ 3kali/2 bulan Total Jenis Penyakit n % n % n % n % Tipus 17 77.3 5 22.7 0 0.0 22 100 Alergi 6 31.6 7 36.8 6 31.6 19 100 Cacingan 10 83.3 2 16.7 0 0.0 12 100 Diare kronis 1 50.0 1 50.0 0 0.0 2 100 Hemofilia 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 Malaria 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 Lain-lain 3 14.3 1 4.8 17 81.0 21 100
Berdasarkan Tabel 32, dapat diketahui jenis penyakit yang sering dialami berdasarkan frekuensi sakit contoh selama dua bulan terakhir secara berturutturut adalah tipus, alergi, penyakit lainnya, cacingan dan diare kronis. Alergi yang
53
dialami contoh adalah alergi terhadap makanan seperti pada udang dan telur. Jenis penyakit lain yang dialami contoh diantaranya penyakit kulit, gastritis, pusing, sariawan, batuk, flu, radang tenggorokan, sakit perut dan 5L (lemah, letih, lesu, lelah dan lunglai) dengan frekuensi rata-rata 3-5 kali selama dua bulan terakhir. Rata-rata frekuensi contoh mengalami sakit selama dua bulan terakhir adalah satu kali. Seluruh contoh tidak mengalami penyakit hemofilia dan malaria selama dua bulan terakhir. Hasil penelitian cross sectional di Papua New Guinea menunjukkan terdapat hubungan antara anemia dengan penyakit infeksi seperti malaria, diare dan penyakit saluran pernapasan akut (Oppenheimer 2001). Hubungan Keadaan lingkungan dengan Status Anemia Lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit karena penyakit terjadi akibat adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya (Slamet 1996). Dalam penelitian ini keadaan lingkungan tempat tinggal contoh diamati. Pengamatan yang dilakukan meliputi jenis rumah, ventilasi, jumlah kamar, jenis lantai, sumber air, jamban, keberadaan septic tank, tempat sampah, jarak rumah dengan kandang dan TPA Bantar Gebang. Menurut Slamet (1996), menyatakan bahwa sarana sanitasi dasar rumah yang berkaitan langsung dengan masalah kesehatan meliputi penyediaan air (sumber air), penyediaan jamban dan pembuangan sampah. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara keadaan lingkungan dengan status anemia contoh (p>0.05). Sejalan dengan penelitian Tristiyanti (2006), bahwa tidak terdapat hubungan antara keadaan lingkungan dengan kadar hemoglobin contoh. Hal ini diduga karena lingkungan berhubungan erat dengan perilaku seseorang. Walaupun tempat tinggal contoh berdekatan dengan TPA Bantar Gebang dan memiliki keadaan lingkungan tempat tergolong cukup baik, tetapi perilaku sehari-hari contoh dapat mencegah timbulnya penyakit, termasuk anemia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Blum dalam Notoatmodjo (1993), yang menyebutkan bahwa lingkungan dan perilaku mempunyai andil besar terhadap kesehatan. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia Kebiasaan makan merupakan istilah untuk dapat menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti frekuensi makan seseorang, pola makan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan dan lain sebagainya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya (Suhardjo 1989). Menurut Arisman (2007), tekanan
54
fisik dan psikososial mempengaruhi kebiasaan makan remaja. Hasil uji statistik korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan kebiasaan makan dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini diduga contoh memiliki pola kebiasaan makan yang sudah baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan zat gizi, bila dilihat dari hasil pengamatan kebiasaan makan yang dilakukan selama penelitian. Beberapa kasus kurang zat gizi seperti pada vitamin A dan vitamin C berkontribusi terhadap anemia (WHO 2001). Hal ini berbeda dengan konsumsi pangan, bahwa terdapat hubungan antara konsumsi pangan dengan kadar hemoglobin contoh terhadap beberapa jenis bahan pangan yang dikonsumsi contoh. Hal ini dapat menjelaskan bahwa kebiasaan makan contoh merupakan proses atau pola perilaku konsumsi pangan yang terjadi secara berulang. Kebiasaan makan berpengaruh terhadap kecukupan gizi contoh. Kebiasaan makan yang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu
konsumsi
pangan,
preferensi
terhadap
makanan,
ideologi
atau
pengetahuan terhadap pangan dan sosio budaya pangan (Sanjur 1982). Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Status Anemia Perilaku hidup bersih dan sehat erat kaitannya dengan higiene perorangan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah PHBS lingkungan dan PHBS gaya hidup sehat sesuai dengan indikator Depkes (2006). Selain itu, dilakukannya pengamatan secara langsung terhadap perilaku hidup bersih dan sehat contoh selama di sekolah dan di lingkungan rumah. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal tersebut memperlihatkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat contoh tidak mempengaruhi kecendrungan seseorang untuk menderita anemia. Berdasarkan hasil pengamatan, perilaku hidup bersih dan sehat contoh tergolong baik. Walaupun tinggal di lingkungan yang tergolong jauh dari kriteria baik. Hal ini diduga karena dengan contoh terbiasa menerapkan PHBS dalam kehidupannya sehari-hari, seperti mencuci tangan dengan sabun, tidak merokok, tidak membuang sampah sembarangan, menggunakan alas kaki ketika keluar rumah. Selain itu, di sekolah contoh diberikan pengetahuan berupa pelajaran mengenai Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), sehingga contoh telah mendapatkan pengetahuan dalam berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kesehariannya. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dibandingkan dengan yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Blum
55
dalam Notoatmodjo (1993), peranan pendidikan kesehatan merupakan intervensi faktor perilaku sehingga perilaku individu sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Dengan terbiasa menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat berarti contoh telah melakukan usaha pencegahan terhadap berbagai penyakit termasuk anemia. Hubungan Riwayat Kecacingan dengan Status Anemia Riwayat kecacingan contoh diketahui berdasarkan hasil wawancara langsung dengan menggunakan alat bantu kuesioner kepada contoh. Riwayat kecacingan tinggi artinya, semakin seringnya contoh mengalami kejadian penyakit yang berhubungan dengan kecacingan, seperti rasa gatal pada anus, adanya cacing pada feses, adanya darah pada feses, dan konsumsi obat cacing. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara riwayat kecacingan dan status anemia contoh (p>0.05). Berbeda dengan hasil penelitian Veryana (2004) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara status kecacingan dengan kejadian anemia pada anak sekolah di lingkungan TPA Bantar Gebang. Hal ini diduga riwayat kecacingan contoh yang hanya diketahui berdasarkan wawancara kurang dapat menggambarkan riwayat kecacingan, sehingga perlunya menggunakan pemeriksaan feses agar riwayat kecacingan lebih terlihat. Dalam beberapa kasus infeksi cacing tidak berkontribusi signifikan terhadap anemia pada remaja, akan tetapi berbeda halnya pada wanita usia subur/hamil (WHO 2001).
56
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Lebih dari separuh remaja putri keluarga pemulung berusia 13 tahun dan sebagian besar pendidikan orang tua adalah sekolah dasar/sederajat. Seluruh pekerjaan ayah sebagai pemulung dan ibu sebagai ibu rumah tangga dan tergolong kedalam keluarga miskin dengan pendapatan per kapita dibawah garis kemiskinan. Pengetahuan gizi berdasarkan hasil pengukuran sebagian besar tergolong sedang. Sebagian besar remaja putri keluarga pemulung memiliki status anemia yang tergolong normal dan 19.5% mengalami anemia dengan kadar hemoglobin <12.0 g/dl. Berdasarkan penggolongan kadar hemoglobin, 1.4% mengalami anemia berat, 4.2% anemia sedang, 13.9% anemia ringan dan 80.5% normal. Banyaknya remaja putri keluarga pemulung yang tidak anemia disebabkan karena dalam penentuan status anemia hanya dilakukan dengan menggunakan kadar hemoglobin. Perilaku hidup bersih dan sehat pada remaja putri keluarga pemulung tergolong baik (79.2%) serta memiliki keadaan lingkungan tempat tinggal yang tergolong cukup baik (59.7%). Hampir seluruh remaja putri bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi TPA Bantar Gebang dengan jarak ± 20 meter. Walaupun lingkungan tempat tinggal berdekatan dengan TPA Bantar Gebang dan memiliki keadaan lingkungan tempat tergolong cukup baik, tetapi perilaku sehari-hari contoh dapat mencegah timbulnya penyakit, termasuk anemia. Hampir separuh remaja putri keluarga pemulung memiliki kebiasaan makan yang cukup. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan makan di lingkungan keluarga dan pendapatan keluarga. Rata-rata frekuensi pangan berada dalam kategori tidak pernah dan jarang. Tingkat kecukupan energi contoh tergolong defisit tingkat berat. Tingkat kecukupan protein contoh tergolong lebih. Tingkat kecukupan vitamin A contoh tergolong cukup, sedangkan tingkat kecukupan vitamin C, vitamin D dan zat besi contoh tergolong kurang. Hasil menunjukkan terdapat hubungan positif antara frekuensi konsumsi udang rebon, daun melinjo, pepaya muda terhadap kadar hemoglobin contoh. Hal ini dapat menjelaskan bahwa semakin sering frekuensi konsumsi pangan tersebut dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Selain itu, terdapat hubungan negatif antara frekuensi konsumsi terong, mangga, cokelat dan chiki terhadap kadar hemoglobin contoh. Hal ini dapat menjelaskan bahwa semakin
57
sering
frekuensi
konsumsi
pangan
tersebut
dapat
menurunkan
kadar
hemoglobin. Hal ini dapat dilihat dari kandungan zat besi yang terdapat dalam bahan pangan, sehingga bila dikonsumsi secara teratur dapat membantu meningkatkan cadangan zat besi dalam tubuh, dan begitu pula sebaliknya. Hubungan antar variabel menunjukkan tidak terdapat hubungan erat antara keadaan lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, kebiasan makan dan riwayat kecacingan dengan kadar hemoglobin. Saran Presentase contoh yang mengalami anemia pada penelitian sebesar 19.5% dan termasuk didalamnya mengalami anemia berat, sehingga disarankan kepada pihak sekolah dan Dinas Kesehatan untuk memberikan informasi dan penyuluhan secara rutin mengenai: 1. Anemia dan penyebabnya. 2. Pemeliharaan kesehatan melalui kebersihan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat. 3. Pentingnya untuk meningkatkan konsumsi pangan dan memilih jajanan yang baik. Untuk
penelitian
lanjutan
atau
dalam
mengadakan
program
penanggulangan anemia disarankan tidak hanya melihat anemia dengan kadar hemoglobin saja, melainkan dengan menambahkan pemeriksan terhadap serum feritin dan serum iron untuk mengetahui kondisi status besi dalam tubuh, mengingat kadar hemoglobin menurun pada tahap akhir terjadinya anemia. Selain itu, dengan pemberian kapsul zat besi untuk membantu meningkatkan cadangan zat besi. Hal ini dilakukan dengan upaya untuk mencegah terjadinya anemia sejak dini. Riwayat kecacingan sebaiknya tidak hanya ditentukan seccara kualitatif, sebaiknya diukur juga dengan pemeriksaan feses. Dalam kasus anemia sebaiknya menggunakan FFQ sebagai metode survey konsumsi pangan, karena dengan menggunakan FFQ lebih dapat menggambarkan kebiasaan makan, serta menggunakan metode food record bila melakukan pengamatan konsumsi pangan secara langsung.
58
DAFTAR PUSTAKA ACC/SCN. 1991. Controling Iron Deficiency. Geneva Affandi B. 1990. Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa. Jakarta : FKUI. Afandi B, Danukusumo D. 1990. Persepsi tentang haid. Didalam Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa, Edited by Biran Affandi: Balai Penerbit FKUI. Almatsier S. 2008. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Almatsier S, Susirah S, Moesijanti S. 2002. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Allen LH, Stuart R. Gillespie. 2001. A Review of the Efficacy and Effectiveness of Nutrition Interventions. Geneva in collaboration with the Asian Development Bank [22 September 2012]. Arisman. 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. Arumsari E. 2008. Faktor Risiko Anemia Pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan Dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Beard JL. 2000. Iron Requirement in Adolescent Females. The Journal OF Nutrition 130: 440S-442S [23 Agustus 2012]. Beard JL et al. 2007. Varition in the diets of filipino women over 9 months of continous observation. Food and Nutrition Bulletin (28): 206-214. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Pendapatan Perkapita. www.bps.go.id. [13 Oktober 2012]. Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja wanita [disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Charles CV, Alastair JS Summerlee, Cate E Dewey. 2012. Anemia in Cambodia: prevalence, etiology and research needs. Asia Pac J Clin Nutr 21 (2): 171-181 [22 Agustus 2012]. Chapelon E, Garabedian M, Brousse V, Souberbielle JC, Bresson JL. 2009. Osteopenia and vitamin D deficiency in children with sickle cel disease. European Journal of Haematology (83): 572-578. Depkes [Departemen Kesehatan]. 1998. Pedoman Penangggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Putri dan Wanita usia Subur. Jakarta : Depkes RI. _________________________. 2004. Kualitas sumber daya manusia ditentukan pendidikan dan kesehatan. www.depkes.go.id [1 Mei 2012].
59
Depkes [Departemen Kesehatan]. 2006. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Rumah Tangga. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. _________________________. 2010. Laporan riset kesehatan dasar 2010. www.riskesdas.litbang.depkes.go.id [2 Oktober 2012]. Dreyfuss ML, RJ Stoltzfus, JB Shrestha, EK Pradhan, SC LeClerq, SK Khatry, SR Shrestha, J Katz, M Albonico, KP West, JR. 2000. Hookworms, Malaria and Vitamin A Deficiency Contribute to Anemia and Iron Deficiency among Pregnant Women in the Plains Nepal. The Journal of Nutrition 130: 2527-2536. Dwiriani CM, Rimbawan, Hardinsyah, Hadi R, Drajat M. 2011. Pengaruh pemberian zat multi gizi mikro dan pendidikan gizi terhadap pengetahuan gizi, pemenuhan zat gizi dan status besi remaja putri. Jurnal Gizi dan Pangan 6(13): 171-177. Eastwood M. 2003. Principles of Human Nutrition. Ed ke-2. Edinburgh : Blackwell Publishing. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. New Zeland: University of Otago. Groff JL, Grooper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Ed ke3. Australia : Wadsworth. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Diktat penilaian dan perencanaan konsumsi pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah, Tambunan V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Dalam Soekirman, Kusumaseta, Pribadi, Ariani, Jus’at, hardinsyah, Dahrulsyah, Firdausy (Eds). Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta : LIPI. Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Husaini MA, et al. 1989. Anemia Gizi: Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangann Program. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi. Jayanti LD, Yekti HE, Dadang S. 2011. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta perilaku gizi seimbang ibu kaitannya dengan status gizi dan kesehatan balita di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Jurnal Gizi dan pangan 6(3): 192-199. Kartono D, Soekarti M. 2004. Angka Kecukupan Mineral: kalsium, fosfor, magnesium. Dalam Soekirman, Kusumaseta, Pribadi, Ariani, Jus’at, hardinsyah, Dahrulsyah, Firdausy (Eds). Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta : LIPI.
60
Khomsan Ali. 2000. Teknik Penilaian Pengetahuan Gizi. Bogor: Depertemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Kusharto C, NY Sa’diyyah. 2006. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor: IPB Press Lameshowb S, David WH Jr. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kshutar (terjemahan). Yogyakarta: Gajahmada University Press. Lumenta. 1990. Penyakit, Citra Alam dan Budaya. Yogyakarta: Kanisius. Mejia LA, Chew F. 1988. Hematological effect of suplementing anemic children with vitamin A alone and in combination with vitamin A alone and in combination iron. Am J Clin Nutr (48): 595-600. Muhilal, Sulaeman A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Dalam Soekirman, Kusumaseta, Pribadi, Ariani, Jus’at, hardinsyah, Dahrulsyah, Firdausy (Eds). Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta : LIPI. Notoatmodjo S. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset. Oppenhemier SJ. 2001. Iron and Its Relation to Immunity and Infectious Disease. J. Nutr 2012 ; 131: 616S–635S. Pearce EC. 1992. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka. Permaesih D, S Herman. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja. Buletin Penelitian Kesehatan 33(4):162-171. Pynaert, C Matthys, M Bellemans, M De Maeyer, S De Henauw, G De Backer.. 2005. Iron intake and dietary sources of iron in Flemish adolescents. Euorpean Journal of Clinical Nutrition (59): 826–834. Riyadi H. 2003. Pennilaian Gizi secara Antropometri. Bogor: Departemen Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspectives in Nutrition. Engleworld Cliff, N. J. Prentice hall. Setiawan B, Rahayuningsih S. 2004. Angka Vitamin Larut Air. Dalam Soekirman, Kusumaseta, Pribadi, Ariani, Jus’at, hardinsyah, Dahrulsyah, Firdausy (Eds). Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta : LIPI. Sitinjak LH. 2011. Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan Kejadian Diare di Desa Pardede Onan Kecamatan Balige Tahun 2011 [skripsi]. Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif untuk data sosial. Solo: Dabara Publisher.
61
Slamet. 1996. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Universitas Gajah mada Press. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,Institut Pertanian Bogor. Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi Petani Daerah lahan Kering di Lombok Tengah NTB. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Sukarni A. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor: Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Supariasa, Bakri, Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Thurnham DI, CA Northrop-Clewes. 2007. Infection and the etiology of anemia. Di dalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press. Tristiyanti WF. 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia pada ibu hamil di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Veryana H. 2004. Hubungan status anemia, status kecacingan, status gizi dan konsumsi pangan anak sekolah di lingkungan TPA Bantar gebang, Bekasi [skripsi]. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Widajanti L. 2009. Survei Konsumsi Gizi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Wiseman G. 2002. Nutrition and Health. London : Taylor & Francis Inc. [WHO] World Helath Organization. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assesment, Prevention and Control: A guide for programme managers. Geneva : World Helath Organization [22 September 2012]. ______. 2004. Appropiate body-mass index for Asian populations and its implications for policy and intervention strategies. http://www.who.int/nutrition/publication/bmi_asia_strategies.pdf. [6 September 2012]. ______. 2007. Body mass index. www.who.org. [23 Januari 2013]. [WNPG] Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. LIPI.
62
LAMPIRAN
63
Lampiran 1 Uji Hubungan Antar Variabel Uji
Variabel
Spearman's Status Gizi rho Riwayat penyakit
Riwayat Kecacingan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Keadaan Lingkungan
Kebiasaaan Makan
Kadar Hb Correlation Coefficient
.161
Sig. (2-tailed)
.176
N
72
Correlation Coefficient
-.144
Sig. (2-tailed)
.228
N
72
Correlation Coefficient
-.119
Sig. (2-tailed)
.320
N
72
Correlation Coefficient
.111
Sig. (2-tailed)
.352
N
72
Correlation Coefficient
.076
Sig. (2-tailed)
.525
N
72
Correlation Coefficient
.126
Sig. (2-tailed)
.291
N
72
64
Lampiran 2 Dokumentasi hasil pengamatan
Gambar 2 Lingkungan tempat tinggal contoh
Gambar 3 Proses pengambilan data
Gambar 4 Lokasi lingkungan SMP Negeri 27 Bekasi
65
Lampiran 3 Kuesioner penelitian
KEBIASAAN MAKAN, PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI KELUARGA PEMULUNG DI KELURAHAN SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI
Nama Siswa Alamat Siswa Enumerator Tanggal Wawancara
: ………………………………………………………………… : ………………………………………………………………… : ………………………………………………………………… : …………………………………………………………………
D E P AR T E M E N G I Z I M AS Y A R AK A T FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
66
A. Identitas Contoh 1. Nama Lengkap : ________________________________ 2. Tempat/tanggal lahir : _______________/_________________ 3. Umur : __________________________ (tahun) 4. No. Telp/HP : ________________________________ B. Identitas Keluarga 1. Pekerjaan Orangtua*) PNS/Pegawai BUMN Swasta lainnya, sebutkan…….. - Ayah : PNS/Pegawai BUMN Swasta lainnya, sebutkan…….. - Ibu : 2. Pendidikan Orangtua*) : - Ayah : SD SMP SMA Diploma S1/S2/S3 - Ibu : SD SMP SMA Diploma S1/S2/S3 3. Pendapatan Orang Tua : ________________________________ 4. Jumlah Anggota Keluarga :________________________________ (orang) Keterangan: *) diisi dengan tanda silang C. Data Status Gizi (diisi oleh enumerator) 1. Berat Badan : ________ (kg) 2. Tinggi Badan : ________ (cm) D. Status Anemia (diisi oleh enumerator) 1. Kadar Hb (hemoglobin) : ________ (g/dl) E. Pengetahuan Gizi (Lingkari huruf sesuai dengan jawaban yang benar) 1. Zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh terdiri dari: a. Karbohidrat, lemak, vitamin, air dan protein b. Karbohidrat, lemak, vitamin dan air c. Karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air 2. Kebutuhan gizi seseorang dapat dipenuhi dangan cara : a. Membiasakan makan pagi b. Mengonsumsi makanan yang beraneka ragam c. Mengonsumsi makanan siap santap (fastfood) setiap hari 3. Pangan yang termasuk sumber karbohidrat adalah : a. Nasi b. Ikan c. Sayuran 4. Pangan yang termasuk sumber protein adalah : a. Singkong b. Bayam c. Telur 5. Pangan yang termasuk sumber lemak : a. Mentega, minyak goreng, margarine, santan b. Kentang, singkong, ubi jalar, bihun, mie, roti c. Jeruk, pisang, sirsak, alpukat, belimbing 6. Sumber pangan hewani yang tinggi zat besi adalah : a. Ikan segar dan yogurt b. Telur ayam dan susu c. Hati dan daging sapi 7. Makanan yang kita makan berguna bagi tubuh untuk: a. Sumber tenaga dan pengatur b. Sumber pembangun dan pemeliharaan jaringan c. Sumber tenaga, pembangun dan pengatur 8. Vitamin A sangat diperlukan tubuh karena berfungsi untuk: a. Meningkatkan daya tahan tubuh b. Membantu proses pencernaan c. Meningkatkan konsentrasi dan kecerdasan 9. Makanan yang banyak mengandung vitamin A :
67
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
a. Sereal, roti dan beras b. Bayam dan ubi jalar merah c. Pie, cake dan puding Manakah kelompok zat gizi berikut, banyak terdapat pada buah-buahan? a. Vitamin A dan Vitamin C b. Pati dan Vitamin c. Lemak dan kalsium Sayuran yang tinggi zat besi adalah : a. Bayam dan daun singkong b. Wortel dan lobak c. Kol dan kembang kol Anemia adalah : a. Kurangnya jumlah sel darah merah dalam tubuh b. Darah sukar membeku c. Kurangnya jumlah sel darah putih dalam tubuh Kelompok yang berisiko tinggi terkena anemia : a. Remaja putri dan ibu hamil b. Pria dewasa c. Remaja putera Tanda-tanda remaja yang mengalami anemia : a. Penampilan seperti orang sakit b. Lesu, Lemah, Letih, Lelah, dan Lalai c. Badan kurus Jika mengalami anemia (kurang darah) maka hal tersebut disebabkan oleh kekurangan : a. Zat besi b. Lemak c. Protein Anemia pada remaja dapat menyebabkan : a. 5L (lemah, letih, lesu, lelah dan lunglai) b. Kurangnya konsentrasi, 5L dan penurunan kebugaran c. Nafsu makan berkurang Berikut ini yang bukan penyebab terjadinya kekurangan zat besi: a. Kecelakaan mengakibatkan kaki lecet-lecet b. Menstruasi c. Infeksi penyakit seperti malaria dan kecacingan Yang termasuk perilaku hidup bersih dan sehat : a. Mencuci tangan hanya dengan air saja b. Makan-makanan yang beragam c. Merokok Tahapan mencuci tangan yang baik dan benar adalah : a. Membasahi, mencuci dengan sabun, membilas, mengeringkan b. Membasahi, mencuci tangan deengan sabun, mengeringkan, membilas c. Mencuci tangan dengan sabun, membilas, mengeringkan, membasahi Air bersih biasanya baik digunakan untuk kegiatan dibawah ini, kecuali : a. Air minum b. Cuci tangan c. Membajak sawah
68
F.
Kebiasaan makan
No
Pertanyaan Berapa kali anda biasa makan sehari ? 1. 2 kali sehari 2. 3 kali sehari 3.4 kali sehari Apakah anda biasa sarapan pagi setiap hari 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Apakah anda biasa mengonsumsi cemilan? 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Jenis camilan seperti apa yang biasa anda konsumsi? 1. Makanan ringan 2. Kue/pudding 3. Lainnya....... Apakah anda biasa mengonsumsi sayur-sayuran? 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Apakah anda biasa mengonsumsi buah-buahan? 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Berapa gelas air minum yang anda konsumsi sehari 1. 8 gelas/hari 2. < 8 gelas/hari 3. > 8 gelas/hari Apakah anda biasa mengonsumsi susu? 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Berapa kali anda minum susu dalam satu hari? 1. 1 kali sehari 2. ≥ 2 kali sehari 3. Tidak pernah Jenis susu apa yang sering anda konsumsi? 1. Full cream 2. Kental manis 3. Sapi segar 4. Instan 5. Skim Apakah anda biasa mengonsumsi Teh? 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Berapa kali anda minum teh dalam satu hari? 1. 1 kali sehari 2. ≥ 2 kali sehari 3. Tidak pernah Apakah anda biasa mengonsumsi kopi? 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Berapa kali anda minum kopi dalam satu hari? 1. 1 kali sehari 2. ≥ 2 kali sehari 3. Tidak pernah Apakah anda biasa mengonsumsi coklat? 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Apakah anda biasa mengonsumsi lauk hewani? 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Berapa kali anda mengonsumsi lauk hewani dalam satu hari? 1. 1 kali sehari 2. ≥ 2 kali sehari 3. Tidak pernah Apakah anda biasa mengonsumsi lauk nabati? 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Berapa kali anda mengonsumsi lauk nabati dalam satu hari? 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Apakah anda memiliki makanan pantangan? 1. Ya 2. Tidak *) Jika Tidak, lanjut ke nomer 23 Sebutkan jenis makanan yang menjadi pantangan anda? ........... Apakah anda mengonsumsi suplement tertentu? 1. Ya 2. Tidak *) Jika Tidak, lanjut ke nomer 25 Sebutkan jenis suplemen yang anda konsumsi? ........... Berapa kali anda mengonsumsi suplemen dalam satu hari? 1. 1 kali sehari 2. ≥ 2 kali sehari 3. Tidak pernah Apakah mengonsumsi suplement tertentu ketika anda sedang mengalami menstruasi? Jika YA, sebutkan jenis suplemen yang anda konsumsi? 1. Ya ........................ 2. Tidak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Jawab
G. Riwayat Kesehatan 1. Anamnesa : a. Keluhan kesehatan selama dua bulan terakhir, ada/tidak ada?................... Bila ada, sebutkan ................................ b. Riwayat penyakit selama dua bulan terakhir:................. 2. Pemeriksaan fisik (diisi oleh enumerator) a. Tekanan darah : ....................................mm/Hg
Ket
69
b. Suhu badan : ..................................... C 3. Penyakit yang pernah anda alami No Nama Penyakit Pernah* 1 Tipus 2 Alergi terhadap ......... 3 Cacingan 4 Diare kronis (lama) 5 Darah sukar membeku (hemofilia) 6 Malaria 7 Lain-lain, sebutkan .............. Keterangan : *) isi dengan tanda (√ )
Tidak Pernah*
H. Riwayat Kecacingan No Pertanyaan Apakah anda pernah merasakan gatal pada dubur (anus)? 1 1. Ya 2. Kadang-kadang 3. Tidak Apakah anda pernah mengonsumsi obat cacing? 2 1. Ya 2. Kadang-kadang 3. Tidak Berapa kali anda mengonsumsi obat cacing dalam setahun? 3 1. Tidak pernah 2. 6 bulan sekali 3. 3 bulan sekali Apakah anda pernah mengalami adanya darah pada feces? 4 1. Ya 2. Kadang-kadang 3. Tidak Apakah anda pernah mengalami adanya cacing pada feces? 5 1. Ya 2. Kadang-kadang 3. Tidak Apakah anda memiliki riwayat kecacingan sebelumnya? 6 1. Ya 2. Kadang-kadang 3. Tidak I.
Frekuensi
Jawaban
Menstruasi (Lingkari huruf sesuai dengan jawaban yang benar dan isilah titiktitik dibawah ini) 1. Usia pertama kali menstruasi?.......................... 2. Lama siklus menstruasi (jarak antar menstruasi) : 1. < 25 hari 2. 25-30 hari 3. > 30 hari 3. Keteraturan jadwal menstruasi : 1. Selalu tepat waktu 2. Datang lebih awal dari biasanya 3. Datang terlambat, selama ____ hari 4. Lama menstruasi : 1. < 3 hari 2. 3-9 hari 3. >9 hari 5. Frekuensi Menstruasi : 1 bulan sekali 2. 1 bulan dua kali 3. Belum tentu satu bulan sekali 6. Apakah ada keluhan selama haid : 1. Pusing 2.Lemas 3. Sakit perut 4. Berkunang-kunang 5. Tidak ada keluhan 7. Apakah anda sering merasa cepat lelah ketika mengerjakan pekerjaan/kegiatan anda? 1. Ya 2. Tidak 8. Apakah anda sering cepat lupa atau mengalami kesulitan dalam mengingat? 1. Ya 2. Tidak J. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat No Pertanyaan Jawab Ket Apakah anda perokok? 1 1. Ya 2. Tidak Apakah anda mengonsumsi alkohol? 2 1. Ya 2. Tidak Apakah anda selalu mencuci tangan dengan sabun? 3 1. Selalu 2. Kadang-kadang 3. Tidak pernah Apakah anda selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah makan? 4 1. Ya 2. Tidak
70
No 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pertanyaan Apakah anda selalu mencuci tangan setelah buang air? 1. Ya 2. Tidak Apakah anda selalu mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan ? 1. Ya 2. Tidak Apakah anda selalu menggosok gigi setiap hari? 1. Ya 2. Tidak Berapa kali anda biasa menggosok gigi? 1. 1 kali sehari 2. 2 kali sehari 3. 3 kali sehari Apakah anda selalu mandi 2 kali sehari? 1.Ya 2. Tidak Apakah anda biasa menggunakan sabun ketika mandi? 1. Ya 2. Tidak Apakah anda buang air besar (BAB) di jamban/WC/kamar mandi? 1. Ya 2. Tidak Apakah anda selalu mengunakan air bersih dirumah? 1. Ya 2. Tidak Apakah anda selalu membuang sampah di pada tempatnya? 1. Ya 2. Tidak Apakah anda selalu menggunakan alas kaki ketika keluar rumah? 1. Ya 2. Tidak Apakah anda selalu mengonsumsi makanan yang beragam setiap hari? 1. Ya 2. Tidak Apakah anda terbiasa menggunting kuku? 1.Ya 2. Tidak Berapa kali anda menggunting kuku setiap bulan? 1. 1 kali/bulan 2. 2-3 kali/bulan 3. ≥ 4 kali/bulan Apakah anda selalu rutin berolah raga? 1. Ya 2. Tidak Berapa kali anda melakukan olahraga dalam seminggu? 1. 1 kali seminggu 2. 2 kali semingu 3. >3 kali seminggu Berapa lama anda melakukan olahraga 1. <30 menit 2. 30 menit 3. >30 menit
K. Keadaan Lingkungan dan Tempat Tinggal No Pertanyaan Jarak rumah dengan lokasi TPA Bantar Gebang: 1 1. < 5 m 2. > 5 - 20 m 3. > 20 m Jarak rumah dengan kandang : 2 1. < 10 meter 2. > 10 meter 3. Tidak punya kandang 3 Jenis rumah : 1. Bilik (Bambu) 2. Setengah tembok 3. Permanen Lantai rumah anda berbahan dasar : 4 1. Tanah 2. Ubin (semen) 3. Keramik Bagaimana ventilasi (yang bisa dibuka) rumah anda ? 5 1. Tidak memiliki ventilasi 2. ≤ 15% luas ruangan 3. ≥ 15% luas ruangan 6 Penerangan : 1. Minyak tanah 2. generator 3. Listrik 7 Sumber utama air : 1. Mata air 2. Sumur 3. PAM Apakah rumah anda memiliki septic tank (penampungan kotoran) 8 1. Ya 2. Tidak 3. Ada tapi tidak permanen Apakah rumah anda memiliki tempat pembuangan sampah 9 sendiri : 1. Ya 2. Tidak 3. Ada tapi tidak permanen Bagaimana anda membuang sampah : 1. Ke tempat pembuangan sampah 10 2. Ke tempat bukan pembuangan sampah (sungai, selokan, dll) 3. Sampah dibakar atau dikubur
Jawab
Ket
Jawab
Ket
71
L. Food Frequency Quitionaire Semikuantitative Pilih bahan makanan yang anda konsumsi dengan cara memberi tanda (√) pada kolom yang telah disediakan No 1
2
3
4
5
Bahan Makanan Serealia dan umbi 1. Beras 2. Jagung 3. Singkong 4. Ubi jalar 5. Talas 6. Mie 7. Soun 8. Bihun 9. ........ Daging dan telur 1. Ikan laut segar 2. Ikan asin 3. Ikan pindang 4. Ikan tawar 5. Daging Sapi 6. Daging ayam 7. Daging kambing 8. Daging bebek 9. Chicken nugget 10. Hati sapi 11. Hati ayam 12. Telur ayam 13. Telur bebek 14. Telur puyuh 15. ...... Kacang-kacangan 1. Tempe 2. Tahu 3. Oncom 4. Kc. Tanah 5. Kc. Toro 6. Kc. Buncis 7. Kc. Panjang 8. Kc. Merah 9. ......... Sayur daun-daunan 1. Bayam 2. Kangkung 3. Sawi putih 4. Caisim 5. Kol 6. Daun singkong 7. Daun pepaya 8. Daun melinjo 9. Selada 10. ......... Sayuran buah 1. Labu siam 2. Wortel 3. Tomat 4. Mentimun 5. Lobak 6. Nangka muda 7. Pepaya muda 8. Terong
(√ )
Hari
Frekuensi (x/...) Minggu Bulan
Rata-rata Konsumsi URT Gram
72
6
7
8
9. Brokoli 10. .......... Buah-buahan 1. Jeruk 2. Tomat 3. Pepaya 4. Jambu biji 5. Mangga 6. Nanas 7. Pisang 8. Semangka 9. Melon 10. Apel 11. Anggur 12. Pir 13. ....... Jajanan 1. Bakso 2. Siomay 3. Pisang goreng 4. Mie ayam 5. Bakwan 6. Chiki 7. Biskuit/cookies 8. Cilok 9. Cireng 10. Cokelat 11. ..... Lainnya 1. Teh 2. Kopi 3. Susu 4. Air putih 5. Suplement, sebutkan .............................. 6. Minuman kemasan sebutkan ..............................