Disampaikan pada Seminar on-Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21 1-14 Februari 2001 Sinergy Forum - PPI Tokyo Institute of Technology
Aplikasi Wastewater Sludge Untuk Proses Pengomposan Serbuk Gergaji Agus Supriyanto PT NovartisBiochemie - Citeurep Bogor - Indonesia Ringkasan Pengomposan bukanlah suatu ide atau hal yang baru. Pengomposan merupakan suatu proses penguraian mikrobiologis alami dari bahan buangan organik maupun dari wastewater sludge. Saat ini proses pengomposan dari bahan buangan tersebut menjadi suatu produk akhir yang lebih bernilai telah berkembang dengan pesat, terutama oleh mereka yang lebih peduli terhadap pelestarian lingkungan; karena proses ini dipandang sebagai alternatif terbaik dalam management pengelolaan sampah padat. Berdasarkan komposisi konstituen dasar dari bahan buangan organik dan wastewater sludge, kombinasi pemanfaatan kedua jenis bahan tersebut merupakan synergi yang saling melengkapi. Bahan buangan organik seperti limbah serbuk gergaji dari perajin tradisional masih belum dimanfatkan secara optimal sedangkan wastewater sludge dari industri yang ramah lingkungan umumnya masih dibuang percuma dan belum menemukan bentuk penyelesaian masalah secara tuntas. Dasar utama dari pencampuran awal adalah faktor C/N ratio, moisture content, populasi mikroba dan porositas campuran. Selama proses, faktor temperatur dan kondisi kandungan oksigen harus diamati untuk menjamin berlangsungnya proses pengomposan secara aerobik. Pembalikan tumpukan massa kompos bersamaan dengan pengontrolan moisture content perlu dilakukan secara terjadwal untuk optimalisasi dan efisiensi proses. Produk kompos yang dihasilkan dari bahan yang ramah lingkungan dan melalui proses yang terkontrol tersebut akan sangat berguna sebagai “soil conditioner” dengan prospek aplikasi yang sangat luas dan cerah di masa yang akan datang. Kerjasama dan dukungan semua pihak dan lapisan masyarakat, terutama terhadap solusi masalah limbah sebagai bagian dari siklus alami harus segera dirintis sebagai suatu bagian yang terintegrasi dan tak terpisahkan dari mata rantai kegiatan, baik industri, produksi maupun kehidupan masyarakat umum. 1. Pengomposan Dalam usaha untuk mengatasi masalah wastewater sludge yang semakin meningkat jumlahnya dan cara-cara penanganan serta pembuangan akhir yang lebih tepat untuk masa mendatang, ada beberapa alternatif utilisasi dan pembuangan akhir dari wastewater sludge tersebut yang dapat dipertimbangkan, yaitu: • Land-filling, masalah dengan keterbatasan kapasitas, tempat yang cocok dan aman, biaya dlsb. • Incineration/ pembakaran, ada berbagai masalah berdasarkan pada pengalaman sebelumnya akibat dari pembakaran sampah/ limbah padat. • Pengomposan, dipandang sebagai alternatif terbaik dengan pertimbangan sbb: Ø Biaya investasi relatif lebih murah Ø Pengoperasiannya dapat digabung dengan operasional pengolahan wastewater Ø Penjualan produk akhir kompos dapat mengurangi biaya operasional Ø Mengembalikan produk kompos ke dalam tanah dengan biaya yang lebih kompetitif dibanding cara land-filling ataupun incineration. Secara ekosistem, cara ini lebih alami dalam mengikuti siklus kehidupan dan daur ulang. Sejak awal dekade 1970-an, pengomposan mulai mendapat perhatian sebagai alternatif yang costeffective dan environmentally sound untuk proses stabilisasi dan pembuangan akhir dari wastewater sludge.
1
Semakin ketatnya peraturan tentang polusi udara dan persyaratan tentang sludge disposal serta antisipasi makin sulit dan keterbatasan lahan landfill telah mempercepat pengembangan proses pengomposan sebagai suatu opsi yang viable dari wastes management secara umum, khususnya sludge management. Proses pengomposan itu sendiri merupakan biodegradasi dari bahan organik menjadi suatu produk yang stabil. Proses pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk yang tidak mengganggu baik selama penyimpanan maupun aplikasinya, seperti bau busuk, bakteri pathogen. Selama proses pengomposan, temperatur akan mencapai range pasteurization dari 50 – 70 oC, sehingga bakteri pathogen dari wastewater sludge (jika dari pengolahan limbah domestic atau municipal) akan mati. Meskipun proses pengomposan dapat berlangsung dalam kondisi aerobik maupun anaerobik, proses aerobik lebih cocok diaplikasikan pada pengomposan dari wastewater sludge, terutama dari municipal. Proses pengomposan aerobic lebih mempercepat proses penguraian dan berlangsung pada temperatur yang relatif tinggi sehingga sekaligus berguna untuk menghilangkan bakteri pathogen yang berasal dari kotoran manusia. Disamping itu pengomposan aerobik juga meminimalkan potensi bau yang ditimbulkan. Secara umum kompos sangat bermanfaat sebagai soil conditioner dengan adanya kandungan bahan organik yang tinggi, karena sifat kestabilannya maka bahan organik dalam kompos akan terdegradasi secara perlahan dan tertahan secara efektif untuk waktu yang lebih lama dibandingkan bahan organik dari limbah yang belum dikomposkan. Kandungan makro dan mikro nutrisi yang berasal dari wastewater sludge sangat bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman, baik perkebunan, pertanian maupun hortikultura & hobbies. Disamping itu produk kompos juga akan meningkatkan kualitas tanah yang berpasir, tanah liat maupun kondisi tanah yang telah jenuh (more balance soils). Sedangkan dari sisi mikrobanya, aplikasi kompos sangat bermanfaat untuk reklamasi dari tanah yang telah kehilangan atau rusak top soilnya, seperti akibat cutting-filling pada pembukaan lahan untuk industri dan real-estate, akibat aktivitas pertambangan terbuka atau pada tanah yang sebelumnya terlalu banyak menggunakan pupuk kimia karena akan meningkatkan populasi mikroba tanah yang berfungsi untuk penyediaan nutrisi yang siap diserap oleh akar tanaman. Peningkatan sifat-sifat tanah dari penggunaan kompos antara lain: • Meningkatkan kandungan air dan retensi air untuk kondisi tanah berpasir. • Meningkatkan sifat agregasi. • Meningkatkan aerasi, permeability dan sifat infiltrasi air untuk kondisi tanah liat. • Meningkatkan daya tembus akar. • Meningkatkan populasi mikroba tanah. • Menurunkan tingkat kekerasan lapisan permukaan tanah. Disamping berbagai faktor positif tersebut, sisi negatif dari kompos yang berasal dari wastewater sludge juga harus diwaspadai. Keberadaan senyawa organik yang persistent atau nonbiodegradable, bakteri pathogen ataupun logam berat di dalam sludge yang telah dikomposkan merupakan hambatan untuk pembuangan akhir ataupun aplikasi akhir ke lingkungan dan tanaman, terutama yang dikonsumsi untuk manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu perlu dilakukan pengujian dan evaluasi kualitas wastewater sludge sebelum dikomposkan, mulai dari proses pengolahan sludge, karakteristik limbah sebelum diolah, sampai bahan kimia yang digunakan dalam proses manufacturing sampai sludge dewatering, interaksi dan sifat-sifat bahan kimia tersebut. Proses pengomposan wastewater sludge sedikit berbeda dibandingkan proses pengomposan sampah. Secara prinsip ada beberapa keuntungan dari pengomposan wastewater sludge dibandingkan sampah pada umumnya, yaitu: • Tidak membutuhkan material management yang kompleks • Tidak memerlukan teknik pemisahan yang rumit • Lebih seragam dalam komposisi • Proses operasionalnya lebih mudah
2
• •
Tidak terkontaminasi oleh bahan buangan lain, seperti: plastik, logam, kaca, dll. Hasil komposnya lebih cocok untuk dipasarkan.
Disamping itu dari sudut ekonomis, pengomposan sludge sering hanya dipandang sebagai metoda alternatif dan tidak dievaluasi pada potensial profitabilitinya, seperti pada operasional pengomposan sampah. 2. Proses Mikrobiologi Pengomposan merupakan proses penguraian aerobik - thermophilic dari konstituen organik (misalnya dari sampah / buangan organik alami dan excess sludge dari biological wastewater treatment) menjadi produk akhir yang relatif stabil, menyerupai humus. Ada 3 group mikroorganisme yang berperan, yaitu: bakteria, actinomycetes dan fungi. Fungsi bakteria akan mengurai senyawa golongan protein lipid dan lemak pada kondisi thermophilic serta menghasilkan energi panas. Actinomycetes dan fungi yang selama proses pengomposan berada pada kondisi mesophilic dan thermophilic berfungsi untuk mengurai senyawa-senyawa organik yang kompleks dan selulosa dari bahan organik atau dari bulking agent. Faktor kondisi lingkungan selama operasional sangat berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme dalam proses oksidasi - dekomposisi tersebut dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan dan siklus proses pengomposan serta kualitas kompos yang dihasilkan. Selama proses pengomposan ada 3 tahapan berbeda dalam kaitannya dengan temperatur yang diamati, yaitu: mesophilic, thermophilic dan cooling (tahap pendinginan). Pada tahap awal mesophilic temperatur proses akan naik dari suhu lingkungan ke ~ 40 oC dengan adanya fungi & bacteria pembentuk asam. Temperatur proses akan terus meningkat ke tahap thermophilic antara 40 – 70 oC, dimana mikroorganisme akan digantikan oleh bakteria thermopilic, actinomycetes dan thermophilic fungi. Pada range thermopilic temperatur, proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal. Tahap pendinginan ditandai dengan penurunan aktivitas mikroba dan penggantian dari mikroorganisme thermophilic dengan bacteria & fungi mesophilic. Selama tahap cooling, proses penguapan air dari material yang telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilisasi pH dan penyempurnaan pembentukan humic acid. 2.1. Deskripsi Proses Proses pengomposan dapat diklasifikasikan dalam 2 sistem, yaitu: • Sistem terbuka (Unconfined process): Ø Windrow (Turned windrow) Ø Aerated static pile (Forced aeration static windrow) v Individual pile v Extended pile • Sistem tertutup (Confined processes) Sistem terbuka bukanlah tidak tertutup sama sekali tetapi masih memerlukan atap untuk perlindungan terhadap hujan. Pada sistem terbuka umumnya digunakan peralatan/ mesin yang portable untuk proses pencampuran dan pengadukan/ pembalikan. Sedangkan pada sistem tertutup digunakan fasilitas kontainer atau reaktor tertutup. Meskipun setiap teknik pengomposan mempunyai ciri tersendiri, tetapi proses dasarnya serupa. Tahap dasar proses pengomposan adalah sebagai berikut: • Jika diperlukan, ditambahkan bulking agent sebagai fungsi pengatur / pengontrol porositas dan moisture, atau • Penambahan bahan organik lain sebagai sumber nutrisi, umumnya sumber senyawa Karbon (contohnya serbuk gergaji, jerami, sekam dan kulit padi dll.) yang dicampurkan ke wastewater sludge untuk mendapatkan campuran yang sesuai bagi kelangsungan proses pengomposan. Campuran tersebut
3
• • • •
harus cukup berpori, stabil secara struktural dan proses pengomposan dapat berlangsung dengan sendirinya. Temperatur dapat mencapai 55 – 65 oC sehingga bakteri pathogen akan mati, disamping itu juga untuk mendorong proses penguapan sehingga kandungan air dari produk akhir akan menurun. Kompos disimpan selama beberapa waktu kemudian untuk stabilisasi pada temperatur rendah, mendekati temperatur sekeliling. Jika diperlukan, pengaliran udara kering pada cured compost yang terlalu basah untuk kemudahan transportasi dan aplikasi selanjutnya. Pemisahan bulking agent, jika pada awalnya digunakan dan akan didaur-ulang.
Pengomposan merupakan wujud aktivitas kerjasama dari berbagai mikroorganisme (bakteria, actinomycetes dan fungi) yang didukung oleh berbagai kondisi / faktor penting dari lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses mikrobiologis, yaitu: • Moisture (kandungan air) • Temperature • pH • Konsentrasi Nutrient • Ketersediaan dan supply Oksigen A. Moisture (Kandungan air) Penguraian senyawa organik sangat tergantung pada faktor moisture. Limit terendah dari aktivitas bakteria adalah antara 12 – 15 %; meskipun sebenarnya moisture content < 40 % merupakan batas dari kecepatan penguraian optimum. Idealnya kandungan moisture antara ~ 50 – 60 %. Jika moisture content dari campuran > 60 % maka integritas struktural yang baik juga tidak akan dicapai. Selama proses pengomposan sebagian air akan teruapkan sehingga perlu dilakukan pengaturan dengan penyemprotan, misalnya bersamaan dengan pembalikan pada proses windrow, untuk menjaga kondisi moisture content yang optimum selama proses pengomposan. Pada kondisi akhir, tahap pendinginan, moisture content diharapkan supaya terus menurun untuk mencapai mendapatkan produk akhir yang lebih mudah penanganannya, penyimpanan dan aplikasi akhir. Dewatered wastewater sludge umumnya masih terlalu basah untuk mencapai kondisi optimum pengomposan. Untuk menurunkannya, umumnya digunakan campuran bahan lain seperti serpihan kayu, serbuk gergaji atau bahan organik lain yang relatif kering. Pendekatan yang paling praktis – ekonomis dari setiap lokasi harus didasarkan pada beberapa faktor, yaitu: • Perhitungan kesetimbangan massa yang masih memungkinkan terjadinya proses pengomposan berlangsung secara optimum dan efisien • Kemudahan operasional dan tenaga kerja, • Periode waktu yang dibutuhkan • Luas lahan yang dibutuhkan • Kondisi dan faktor lingkungan secara keseluruhan B. Temperature Kondisi paling optimum pengomposan dari pencapaian temperatur antara 55 – 65 oC, tetapi harus < 80 C. Kondisi temperatur tersebut juga diperlukan untuk proses inaktivasi dari bakteri pathogen di dalam sludge (jika ada). Moisture content, kecepatan aerasi, ukuran dan bentuk tumpukan, kondisi lingkungan sekitar dan kandungan nutrisi sangat mempengaruhi distribusi temperatur dalam tumpukan kompos. Sebagai contoh, kecenderungan temperatur akan lebih rendah jika kondisi moisture berlebih karena panas yang dihasilkan akan digunakan untuk proses penguapan. Sebaliknya kondisi moisture yang rendah akan menurunkan aktivitas mikroba dan menurunkan kecepatan pembentukan panas. o
C. pH
4
Kondisi pH optimum untuk pertumbuhan bakteria pada umumnya adalah antara 6.0 – 7.5 dan 5.5 – 8.0 untuk fungi. Selama proses dan dalam tumpukan umumnya kondisi pH bervariasi dan akan terkontrol dengan sendirinya. Kondisi pH awal yang relatif tinggi, misalnya akibat penggunaan CaO pada sludge, akan melarutkan Nitrogen dalam kompos dan selanjutnya akan diemisikan sebagai ammoniak. Tidaklah mudah untuk mengatur kondisi pH dalam tumpukan massa kompos untuk pencapaian pertumbuhan biologis yang optimum, dan untuk itu juga belum ditemukan kontrol operasional yang efektif. D. Konsentrasi Nutrient Unsur Karbon dan Nitrogen keduanya dibutuhkan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikrorganisme, yaitu 30 bagian Karbon (C) dan 1 bagian Nitrogen (N) atau C/N ratio = 30 dalam perbandingan berat. Untuk itu maka proses pengomposan yang paling efisien mempersyaratkan kebutuhan C/N ratio antara 25 – 35 sebagai perbandingan yang paling ideal. Unsur C dalam ratio tersebut dipandang sebagai biodegradable carbon. Ratio C/N yang rendah, atau kandungan unsur N yang tinggi akan meningkatkan emisi dari Nitrogen sebagai ammoniak. Sedangkan ratio C/N yang tinggi, atau kandungan unsur N yang relatif kurang / rendah akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lebih lambat dan Nitrogen menjadi faktor penghambat (growth-rate limiting factor). Tidak ada macro-nutrients atau tracenutrients lain yang ditemukan sebagai faktor penghambat pada proses pengomposan wastewater sludge. E. Kebutuhan Oksigen Persyaratan konsentrasi optimum dari oksigen di dalam massa kompos antara 5 – 15 % volume. Peningkatan kandungan oksigen melewati 15 %, misalnya akibat pengaliran udara yang terlalu cepat atau terlalu sering dibalik akan menurunkan temperatur dari sistem. Setidaknya diperlukan kandungan Oksigen > 5 % untuk menjaga kestabilan kondisi aerobik, meskipun pada kondisi konsentrasi oksigen di dalam tumpukan yang hanya ~ 0.5 % tidak didapati adanya kondisi anaerobik. F. Kriteria perencanaan dan prosedur Kriteria pokok untuk keberhasilan pengomposan adalah: • Material & campuran yang akan dikomposkan cukup berpori • Stabil secara struktural • Mengandung bahan yang mudah untuk diurai secara mikrobiologis sehingga proses penguraian akan dapat berlangsung dengan sendirinya. Dengan demikian maka panas yang dihasilkan dari oksidasi volatile material cukup untuk mencapai temperatur reaksi dan mencapai kekeringan tertentu yang dibutuhkan. Reaksi pengomposan akan berlangsung dengan sendirinya jika perbandingan dari massa antara total air pada awal proses dan total zat organik yang terurai selama pengomposan, sebagai simbol W < 10. Faktor penting lain yang perlu dipertimbangkan dalam proses perencanaan adalah faktor fleksibilitas, seperti perubahan dan fluktuasi solid content dalam sludge, volume, perubahan supply dan kualitas bahan organik lain serta hambatan akibat kerusakan peralatan. Untuk menjamin proses pengomposan berlangsung sesuai prosedur, temperatur dan kandungan oksigen dalam tumpukan massa kompos harus sering dimonitor secara terus menerus dan teratur. Disamping itu pemantauan kandungan logam berat, bakteri pathogen dan parameter lingkungan seperti kualitas udara dan air serta kesehatan kerja pelaksana lapangan perlu dilakukan untuk menjamin kualitas kompos yang dihasilkan dan proses operasional yang aman. Pada windrow dan pengomposan mekanis, porositas dan stabilitas struktural diatur dengan cara pencampuran sludge dengan recycled compost atau bulking agent untuk mencapai moisture content ~ 40 – 60 %. Pada aerated pile umumnya digunakan serpihan kayu sebagai bulking agent. Setelah proses
5
pengomposan selesai, bulking agent dapat diayak dan dipisahkan untuk digunakan kembali. Bagian yang halus akan terikut dalam fraksi kompos sehingga harus dikompensasi dengan sejumlah tertentu bulking agent baru pada titik pencampuran awal. Tingkat degradability campuran dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan organik yang mudah terurai dengan kandungan unsur karbonnya tinggi. Material ini diharapkan relatif kering sehingga akan menekan nilai W dengan meningkatkan fraksi volatile dan menurunkan fraksi moisture dari campuran. Persamaan umum: Xr = [ Xc ( Sm-Sc ) + Xa ( Sm-Sa ) + Xb ( Sm-Sb ) ] / ( Sr-Sm ) dan W = [ Xc ( 1-Sc ) + Xa ( 1-Sa ) + Xb (1-Sb ) + Xr ( 1-Sr ) ] XcScVcKc + XaSaVaKa + XbSbVbKb + XrSrVrKr dimana : X = Total berat per hari S = Fraksi solid content V = Volatile solid content K = Fraksi volatile solid yang terdegradasi c = sludge cake basah a = amandment atau bahan organik lain r = recycle b = external bulking agent m = mixture atau campuran
…( 1 ) …( 2 )
Jika W < 10 maka campuran kompos mempunyai cukup energi untuk meningkatkan temperatur dan penguapan air. Nilai ratio W tersebut bukanlah persyratan mutlak karena kondisi iklim setempat juga berpengaruh terhadap termodinamika system. Pada daerah panas dan kering nilai W boleh > 10 sedangkan pada musim dingin nilai W harus < 10. Nilai W dapat diturunkan dengan penambahan bahan organik lain yang relatif kering. Jika masih juga belum tercapai < 10 maka penambahan tersebut dapat ditingkatkan dan nilai fraksi yang direcycled dapat dihitung kembali sampai nilai W tercapai. Harus diingat juga persyaratan C/N ratio ! Jika petunjuk tersebut dijalankan maka campuran akan mempunyai cukup energi untuk terjadinya proses pengomposan. Nilai aktual dari parameter proses tersebut sangat spesifik untuk tiap lokasi sehingga design yang paling ekonomis tergantung pada keakuratan data dari karakteristik pengomposan yang akan berpengaruh terhadap kesetimbangan massa dan termodinamika. 2.3 Proses pengomposan sistem terbuka Sistem terbuka, proses windrow dan aerated static pile, banyak dilakukan di USA. Tahapan dasar dari kedua proses adalah serupa, hanya teknologi prosesnya yang berbeda. Pada metoda windrow, kontak oksigen dengan tumpukan kompos berlangsung secara konveksi alami dengan pembalikan; sedangkan pada static pile aerasi dilakukan dengan pengaliran udara. Faktor penting dalam pertimbangan perencanaan proses pengomposan secara aerobik Faktor Keterangan Jenis sludge Jenis untreated dan digested sludge keduanya dapat dikomposkan. Untreated sludge lebih berpotensi menimbulkan masalah bau, terutama pada aplikasi windrow. Untraeted sludge lebih mempunyai ketersediaan energy., lebih mudah terdegradasi dan mempunyai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi. Amendments & Beberapa karakteristiknya, seperti: moisture content, ukuran partikel, dan karbon tersedia bulking agents sangat berperan terhadap proses dan kualitas produk akhir. Bahan-bahan tersebut harus mudah didapat dan murah, seperti: serpihan kayu, serbuk gergaji, jerami, sekam dan kulit padi, recycled compost dll.
6
C/N ratio Volatile solids Kandungan Udara Moisture content pH Temperatur
Mixing & turning Logam berat & Trace organics Kondisi lokasi
C/N ratio awal harus sekitar 25-30 perbandingan berat. Unsur karbonnya harus mudah terdegradasi. Dari campuran kompos harus > 50 %. Setidaknya masih ada 50 % oksigen yang berada dalam kesetimbangan sistem, atau kandungan oksigen antara 5 – 15 % di semua bagian tumpukan untuk tercapainya hasil yang optimum. Dari campuran kompost antara 40 – 60 %. Berkurangnya kadar air akibat penguapan, terutama pada sistem windrow dapat ditambahkan bersamaan dengan proses pembalikan. Harus antara 6 – 9. Kondisi pH yang relatif tinggi akan meningkatkan emisi nitrogen sebagai ammoniak Temperatur optimum untuk stabilisasi ~ 45 – 55 oC. Pada kondisi terbaik, temperatur akan mencapai 50 – 55 oC pada kondisi awal dan meningkat ke 55 – 65 oC saat periode pengomposan berlangsung. Temperatur yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas kerja mikroba. Periode selanjutnya temperatur akan menurun pada tahap cured proses, sekaligus untuk menurunkan moisture content. Untuk mencegah kekeringan, pengerasan /penggumpalan dan aliran kontak udara yang tidak merata, material dalam tumpukan proses harus diaduk dan dibalik secara terjadwal sesuai kebutuhan. Frekuensi pembalikan tergantung sistem pengomposan. Kandungan dalam sludge dan final compost harus dipantau secara teratur untuk menjamin kualitas produk akhirnya tidak melampai ambang batas untuk aplikasi lebih lanjut. Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi, termasuk ketersediaan lahan, akses, jarak terhadap sumber sludge & bulking agent, penggunaan lahan sekitar, ketersediaan zona penyangga, tenaga kerja, kondisi iklim.
2.3.1 Proses windrow Umumnya dilakukan pada kondisi terbuka sehingga cukup ventilasi dengan melakukan pengadukan/ pembalikan tumpukan masssa kompos untuk menjaga kondisi aerobik. Pada area dengan curah hujan tinggi dibutuhkan penutup. Pada proses ini campuran yang akan dikomposkan ditumpuk memanjang berbaris secara parallel. Penampang melintangnya dapat berbentuk trapesium ataupun segitiga, tergantung dari peralatan dan cara yang akan digunakan untuk pencampuran dan pembalikan. Lebar dasar pada umumnya ~ 5 m dan ketinggian di tengah ~ 1 – 2 m. Sistem windrow dapat digunakan untuk pengomposan sludge cake yang masih basah dengan mencampurkan bahan organik lain dan/atau bulking agent seperti serbuk gergaji, jerami/sekam padi, kulit padi. Penambahan tersebut dapat diataur untuk mencampai kondisi campuran dengan moisture content ~ 50 – 60 %. Penggunaan bahan tambahan tersebut juga akan meningkatkan integritas struktural dari campuran untuk menjaga bentuk windrow. Porositas campuran juga meningkat yang berarti meningkatkan karakteristik aerasi. Disamping itu, material tambahan tersebut juga berfungsi sebagai sumber karbon yang diperlukan untuk proses pengomposan. C/N ratio dari wastewater sludge yang relatif rendah, < 10; dapat ditingkatkan mencapai 20 – 30 dalam campuran. Pertukaran udara secara konveksi dalam windrow merupakan kebutuhan penting dalam penyediaan Oksigen untuk kegiatan mikroorganisme selama pengomposan. Reaksi aerobik akan menimbulkan panas dan meningkatkan temperatur windrow dan menyebabkan udara bergerak naik seperti halnya pada sistem tungku (natural chimney effect). Kecepatan pertukaran udara ini dapat diatur dari karakteristik porositas dan ukuran windrow. Pembalikan dari windrow juga akan meningkatkan kontak udara dengan mikroorganisme untuk mencapai kondisi oksigen yang dipersyaratkan, tetapi cara ini relatif mahal secara operasional jika diaplikasikan terlalu sering, disamping juga itu akan menurunkan temperatur di dalam windrow.
7
Akibat dari proses pembusukan secara biologis, temperatur di tengah tumpukan dapat mencapai ~ 65 oC. Temperatur operasional ~ 60 oC di bagian tengah tersebut dapat bertahan setidaknya sampai ~ 10 hari sedangkan temperatur di lapisan luar akan lebih dingin bahkan mendekati temperatur sekeliling. Kondisi temperatur tinggi di dalam tumpukan tersebut dapat dipertahankan beberapa waktu untuk menghilangkan bakteri pathogen (jika ada). Tingkat kestabilan yang cukup ditandai dengan makin menurunnya temperatur ke ~ 40 – 50 oC setelah periode temperatur tinggi terlewati. Pada skala besar dari sistem windrow, penggunaan recycled compost sebagai bulking agent telah terbukti cukup berhasil diaplikasikan di USA sebagai metoda yang cukup viable untuk stabilisasi wastewater sludge. Di area yang lain, penggunaan serpihan kayu dan serbuk gergaji juga telah dilakukan. Masalah bau busuk yang timbul dari kondisi sludge selama pencampuran awal (terutama undigested sludge), dapat dikurangi dengan pencampuran yang cukup merata pada pencampuran awal dan sesering mungkin pada awal minggu pertama. Pembalikan pada minggu-minggu berikutnya dapat dikurangi frekuensinya. Perencananan sistem windrow yang optimum adalah sbb: • Minimisasi handling dan biaya • Maksimalisi penggunaan peralatan operasional • Minimisasi penggunaan bahan tambahan lain yang menambah beban biaya dan tidak dapat didaurulang • Minimisasi moisture content dari wastewater sludge untuk minimisasi penggunaan recycled compost dan juga mengurangi bahan tambahan lain yang dibutuhkan untuk mengatur moisture content dalam sistem. Harus diperhatikan bahwa biaya untuk maksimalisasi proses dewatering harus tidak lebih besar dibandingkan biaya yang dapat dihemat dari fasilitas pengomposan karenanya.
2.3.2. Proses Aerated static pile Sistem ini dikembangkan dalam rangka mengeliminasi masalah kebutuhan lahan dan masalah sulit lain pada sistem windrow. Tahapan proses ini adalah sbb: • Pencampuran wastewater sludge dengan bulking agent • Pembentukan tumpukan massa kompos • Proses pengomposan • Pengayakan dan pemisahan campuran kompos • Curing dan Storage (penyimpanan). Penggunaan/pengaliran udara tekan memberikan kemudahan operasional dan ketepatan pengaturan kandungan oksigen dan kondisi temperatur di dalam tumpukan, yang tidak akan dijumpai pada sistem windrow. Dalam hal ini porositas sangat berperan dan diatur dengan penggunaan bulking agent yang akan didaur-ulang setelah proses pengomposan sempurna. Meskipun porositas memegang peranan pada proses pengomposan sistem aerated pile, pengaturan moisture content juga tetap masih memegang peranan, yaitu antara 50 – 60 %. Dengan kondisi yang lebih terkendali tersebut maka waktu pengomposan relatif lebih cepat dan kemungkinan kondisi anaerobik juga dapat dicegah, sehingga masalah resiko bau dapat dikurangi. Sistem aerated pile banyak diaplikasikan secara efektif pada skala besar di beberapa lokasi di USA. Setelah tahap start-up, temperatur rata-rata dapat mencapai 70 oC dan setelah kondisi stabil tercapai temperatur minimum rata-rata mencapai ~ 55 oC. Pada konstruksi penumpukan yang benar, baik curah hujan maupun kondisi temperatur lingkungan tidaklah berpengaruh terhadap operasional pengomposan. Dewasa ini pengomposan wastewater sludge umumnya terfokus pada sistem ini. Aplikasi untuk pengolahan undigested sludge memberikan keuntungan yang nyata dibanding sistem windrow. Keuntungan – keuntungan lain adalah:
8
• • • • •
Mengatasi masalah bau dengan lebih baik Proses inaktivasi bakteri pathogen lebih efektif Keseragaman pemaparan temperatur terhadap seluruh sludge lebih terjamin. Penggunaan lahan lebih sedikit Total biaya relatif lebih murah. Pada operasional yang modern, biaya investasi juga relatif lebih rendah meskipun biaya dari bulking agent menjadikan total biaya operasionalnya menjadi sedikit lebih mahal.
2.4 Proses pengomposon sistem tertutup Mekanisasi proses pengomposan berlangsung dalam sistem atau kontainer/ reaktor tertutup. Sistem ini dirancang untuk mengatasi masalah bau dan mempercepat waktu proses dengan pengaturan kondisi lingkungan, seperti : aliran udara, temperatur dan konsentrasi oksigen. Sistem tertutup ini membutuhkan biaya investasi yang jauh lebih mahal dibandingkan sistem terbuka. Hanya beberapa tempat saja di USA yang mengoperasikan sistem ini, terutama untuk pengomposan campuran sampah dengan wastewater sludge. 3. Analisa Biaya Memperbandingkan biaya operasional pengomposan wastewater sludge dari berbagai lokasi sangatlah sulit karena perbedaan beberapa variable faktor lokal sangatlah tinggi, seperti: cuaca, tenaga kerja, bahan tambahan dan/atau bulking agent, sistem dan peralatan yang digunakan dll. Akan tetapi untuk sistem terbuka yang lebih banyak diaplikasikan, biaya tenaga kerja dan bulking agent dan atau bahan tambahan lain selalu memegang porsi utama yang paling besar, > 70 %. Estimasi biaya diluar kedua biaya utama tersebut dapat saling diperbandingkan dengan fasilitas yang lain pada sistem pengomposan yang sejenis.
Biaya investasi, selain faktor lokal juga tergantung sistem yang digunakan, aerated pile, windrow atau sistem tertutup. Makin tinggi tingkat mekanisasinya, makin tinggi pula tingkat investasinya. Sebagai gambaran pada salah satu lokasi di USA, analisa biaya di tahun 1978 untuk total biaya tahunan ~ US $ 140 /dry ton, dengan perincian biaya investasi ~ $ 80 / dry ton dan biaya operasional ~ $ 60 / dry ton. Tentunya biaya tersebut makin meningkat setiap tahunnya, terutama dari sisi tenaga kerja, transportasi dan harga bahan tambahan / bulking agent. 4. Kondisi Di Indonesia Dan Prospek Masa Depan Pengomposan Proses pengomposan tradisional di Indonesia umumnya banyak dilakukan dalam skala kecil (individual) terhadap sampah organik atau sampah kebun dengan cara anaerobic, atau menimbun dalam lubang di dalam tanah kemudian menutupnya, ada yang kadang menambahkan urea sebagai tambahan sumber Nitrogen. Proses tersebut dilakukan dengan cara gali lubang tutup lubang. Pengomposan cara lain, juga dalam skala kecil terjadi secara alami terhadap pupuk kandang yang terus menumpuk di lantai kandang ternak penduduk dan baru dibongkar setelah menumpuk sampai ketebalan tertentu. Akibatnya kualitas pupuk kandang tersebut masih kurang sempurna dari segi keseragaman, kestabilan, bau, tekstur, kadar air, keberadaan bijian rumput yang belum membusuk dlsb. Skala produksi yang relatif lebih besar dan komersial juga telah banyak dilakukan dengan pencampuran dari serbuk gergaji, sekam dan kulit padi, daun bambu dlsb dengan kotoran dari pupuk kandang menjadi pupuk kompos yang banyak dipasarkan di tempat pembibitan tanaman hias dan hobbies. Beberapa kawasan real-estate juga ada yang melakukan sebagian swa-kelola dari sampah organiknya, yang terutama berasal dari pertamanan umum, menjadi produk kompos. Beberapa industri perkebunan, misalnya kelapa sawit, juga mulai serius menangani cara pengomposan untuk mengatasi masalah limbah dari tandan kosong. Secara umum, gambaran pengomposan yang berlangsung selama ini di Indonesia masih bertumpu pada pemusnahan sampah/ bahan organik, dan masih belum tersosialisasi untuk diambil secara optimum
9
azas manfaat dari proses pengomposan tersebut. Sebelum era pembangunan masa orde baru, proses pengomposan di daerah pedesaan, terutama dari sampah pertanian, masih cukup populer. Popularitas tersebut semakin memudar sejalan dengan perkembangan industri pertanian yang relatif pesat, terutama dalam penggunaan pupuk kimia yang disubsidi. Generasi pelaku utama pengelola lingkungan, yaitu manusianya, cenderung sudah terubah pola berpikir dan perilakunya, terutama dalam menjaga kesetimbangan lingkungan. Semuanya hanya mau gampangnya saja. Sekarang ini berbagai bentuk subsidi, salah satunya pupuk, mulai dihapus, pupuk kimia makin langka dan harganya makin tidak terjangkau. Gerakan dari para pecinta lingkungan, terutama juga pengaruh globalisasi mulai berperan dan ikut campur dalam mengembalikan pola pikir yang telah berubah tadi. Penggunaan produk yang lebih berbasis kembali ke alam (back to nature) mulai lebih mendapat perhatian dan makin diminati, meski pada awalnya ala utama dalam kondisi ekonomi yang terpuruk saat ini adalah faktor ekonomi, atau harga yang lebih bersaing. 4.1 Modifikasi basis proses untuk aplikasi di Indonesia Kembali ke masalah pengomposan, dari uraian segi aplikasi teoritisnya di bagian depan, adalah bertumpu pada pengomposan wastewater sludge dengan bantuan bahan tambahan lain seperti sebuk gergaji, sekam, jerami dan kulit padi. Berdasar pada konsep awal pengomposan wastewater sludge tersebut timbullah ide untuk menggabungkan cara pemusnahan sampah organik di Indonesia dengan dasar teknologi pengomposan yang berlaku umum dan pemanfaatan penggunaan wastewater sludge sebagai bioaktivator dan sumber Nitrogen untuk proses pengomposan yang benar sehingga akan diperoleh manfaat dari produk akhir yang mempunyai nilai lebih. Atau dengan kata lain, membalik titik berat permasalahan dan penyelesaian solusi untuk tujuan akhir yang sama.
* * * *
Pengomposan wastewater sludge Alternatif penanganan & pemanfaatan sludge dengan tambahan bahan organik Bahan organik sebagai sumber C Bahan organik seminimal mungkin & wastewater sludge semaksimal mungkin Faktor moisture dapat menjadi kendala
Pengomposan bahan organik Alternatif penanganan & pemanfaatan bahan buangan organik dengan bantuan wastewater sludge Wastewater sludge sebagai sumber N dan sumber mikroba Bahan organik semaksimal mungkin & wastewater sludge seminimal mungkin. Faktor C/N ratio dapat sebagai limiting factor
Beberapa potensi sumber bahan organik yang dapat dikomposkan, antara lain: • Industri pertanian: jerami, sekam dan kulit padi; berbagai sortiran sayur-mayur dlsb. • Industri pengolahan hasil pertanian dan perkebunan: sortiran produk sayur-mayur, buah-buahan berikut limbah organik lainnya seperti daun, kulit, tandan dll • Industri perkebunan: kopi, coklat, kelapa sawit, kelapa, kayu, dlsb. • Sampah organik secara umum: sampah kebun & taman, sampah pasar, sampah rumah tangga dlsb. Baru melihat potensi tersebut dan juga pada kenyataan di lapangan bahwa; • di kota-kota besar di Indonesia umumnya masalah sampah belum juga terselesaikan dengan tuntas • pembakaran sekam, jerami padi di sawah maupun kulit padi di tempat penggilingan • menumpuknya limbah sabut kelapa (meski sekarang mulai diambil manfaatnya) • pemanfaatan serbuk gergaji yang belum optimal, banyak yang hanya dibakar percuma saja • limbah padat dari ekstraksi natural product, seperti industri jamu, obat-obatan alami, minyak atsiri dlsb
10
Sebenarnya peluang pemanfaatan bahan organik untuk produk kompos di Indonesia cukup terbuka lebar. Berbagai penelitian dan risetpun sebenarnya telah banyak dilakukan oleh berbagai instansi resmi, lembaga tertentu atau institusi akademisi/ universitas. Namun sayangnya kerja keras mereka masih belum dapat terkoordinasi dan teraplikasi untuk mencapai sasaran yang tepat. Tanpa adanya suatu jaringan dan keterbukaan dalam pengelolaan limbah untuk dapat dipakai sebagai produk yang bermanfaat, misalnya melalui waste exchange atau bursa limbah, maka pengelolaan tersebut akan selalu menjadi cost center, bukan suatu profit center. Masalah wastes atau limbah, juga wastewater sludge di Indonesia masih cukup sensitif untuk berbagai pemanfaatan lanjutan. Memang ada beberapa industri yang telah mengaplikasikannya baik langsung maupun melalui proses pengomposan sebagai alternatif pengganti pupuk kimia, namun umumnya masih dalam lingkungan yang terbatas. Limbah cair pabrik MSG di Jawa Timur banyak dijual untuk pupuk pertanian, pengomposan ampas tebu dari pabrik gula, pengomposan limbah pabrik ethanol dan asam organik dari fermentasi molasses, pengomposan limbah industri kelapa sawit dengan wastewater sludgenya, ataupun penggunaan langsung limbah cairnya yang telah diolah untuk penyiraman lahan. Beberapa industri kecil lain yang memanfaatkannya langsung untuk pemupukan di areal taman di dalam dan sekitar lokasi pabrik. Sedangkan untuk municipal treatment di Indonesia, khususnya dari penyedotan tinja, kondisinya masih jauh dari sempurna. Berpulang ke masalah umum tadi, seperti halnya penyelesaian masalah sampah padat organik (umumnya pertanian) yang dikomposkan; pengelolaan, pemanfaatan ataupun pembuangan akhir dari wastewater sludge dari industri juga masih bersifat asal bisa terbuang dengan biaya yang seminimal mungkin tanpa melihat kemungkinan peluang lain yang lebih baik, terutama dari segi pemanfaatan dan kesetimbangan lingkungan. Industri yang dimaksud disini adalah industri dengan wastewater sludgenya yang tidak mengandung logam berat atau bahan trace organics yang melebihi ambang batas yang ditentukan untuk aplikasi selanjutnya, khususnya pengomposan. Beberapa industri tersebut terutama industi makanan dan minuman, beberapa industri jamu dan obat-obatan, industri kimia tertentu yang berbasis ke produk alami yang menganut prinsip penggunaan material yang ramah lingkungan. Tiada kata terlambat, kini tibalah saatnya: • dari kalangan industri dan pengusaha untuk mulai merubah paradigma dalam pengelolaan limbah sehingga hasil akhir limbah industri masih bisa dimanfaatkan, misalnya wastewater sludge yang dapat digunakan untuk aplikasi kompos. • dari kalangan akademisi dan institusi riset untuk menunjang dalam segi pendekatan ilmiahnya • dari kalangan teknokrat dan praktisi lapangan untuk menunjang perancangan yang aplikatif dan tepat guna • dari kalangan ekonomi dan finansial untuk menunjang dan merancang sistem pendanaan awal yang dapat berkesinambungan • dari kalangan LSM dan tokoh masyarakat untuk peningkatan kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan secara global Inilah saat yang tepat bagi kita semua untuk saling bahu membahu mengurai benang kusut yang kita punyai sesuai dengan porsi dan profesi kita masing-masing. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. 4.2. Karakteristik bahan organik yang akan dikomposkan Karakteristik umum dari inventarisasi bahan organik atau limbah padat organik yang akan dikomposkan tersebut antara lain: • Merupakan bahan organik alami • Tingkat degradability dari masing masing jenis limbah cukup bervariasi • C/N ratio sangat bervariasi, tergantung jenis limbahnya • Untuk limbah industri tingkat keseragaman karakteristik untuk proses pengomposan relatif baik
11
• •
Untuk limbah jenis sampah (taman, kebun, pasar, kota rumah tangga) tingkat keseragamannya relatif rendah, dengan berbagai variasi komposisi dan jenis Tidak dapat segera terjadi proses dekomposisi dengan sendirinya tanpa adanya bantuan starter / inoculum / ragi / bioaktivator; untuk itu dibutuhkan wastewater sludge atau recycled compost dalam jumlah tertentu untuk proses start-up
4.3. Karakteristik wastewater sludge Secara umum dapat dikatakan bahwa wastewater sludge merupakan mikroorganisme yang bekerja untuk mengurai komponen organik dalam sistem pengolahan air limbah. Excess sludge akan selalu diproduksi sebagai hasil dari pertumbuhan bakteri/ mikroorganisme pengurai selama proses berlangsung. Jumlah exces sludge akan selalu meningkat sejalan dengan peningkatan beban cemaran yang terolah. Secara biologi, mikroorganisme tersebut terdiri dari group procaryotic dan group eucaryotic. Komposisi dasar dari sel terdiri dari ~ 90 % organik dan ~ 10 % anorganik. Fraksi organik tersebut secara kimiawi dapat dirumuskan sebagai C5H7O2N atau perumusan yang lebih kompleks lagi sebagai C60H87O23N12P; sehingga kandungan C ~ 53 % dan C/N ratio empiris ~ 4,3 %. Untuk basis fraksi anorganik yang ~ 10 % terdiri dari P2O5 (50%); SO3 (15%); Na2O (11%); CaO (9%); MgO (8%), K2O (6%) dan Fe2O3 (1%). Tetapi karakteristik di lapangan untuk wastewater sludge sangat bervariasi tergantung jenis industri, tambahan bahan kimia selama proses pengolahan dan sistem dewatering dari sludge. Umumnya solid content dalam dewatered sludge ~ 20 – 40 % atau kandungan air ~ 60 – 80 % dan VSS (Volatile suspended solid) ~ 60 – 90 %. Sedangkan C/N ratio dengan basis biodegradable C ~ 6 – 15 % 4.4 Aplikasi percobaan yang telah/ sedang dilakukan Berdasarkan basis teoritis diatas, dilakukan uji coba pengomposan dari serbuk gergaji (saw dust) dengan bantuan wastewater sludge dari industi bahan baku obat antibiotika golongan penisilin (ampicillin / amoxicillin). Dasar pencampuran awal adalah kebutuhan C/N ratio ~ 25-30 dan persyaratan kadar air ~ 50 60 %. Percobaan dilakukan di lokasi pabrik PT. Novartis Biochemie, Citeureup – Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Wastewater sludge yang digunakan diambil dari press cake dengan solid content ~ 20 %, VSS ~ 70 %, kandungan N ~ 8 % terhadap berat kering dan C/N empiris ~ 6 % atau diasumsikan C/N ratio dengan basis degradable C ~ 8-10 %. Ada 2 jenis saw dust yang sedang dalam perlakuan uji coba. Pertama adalah serbuk gergaji dari jenis kayu jing-jing atau albasia, berasal dari penggergajian kayu rakyat/ tradisional dan yang kedua berasal dari serutan industri frame terdiri dari campuran jenis kayu pule, ramin dan jelutung. Kadar air dari serbuk gergaji yang berasal dari penggergajian tradisional relatif masih tinggi, yaitu ~ 30 %, sedangkan yang berasal dari industri frame relatif sangat rendah, yaitu < 5 %. Menurut literatur, kandungan N dalam sebuk gergaji cangat rendah, yaitu < 0,1% dan C/N ratio antara 200 – 500. Aplikasi yang dilakukan selama tahap percobaan ini adalah windrow dengan pertimbangan faktor biaya investasi yang relatif tidak ada. Penampang melintang windrow berbentuk trapesium dengan lebar alas ~ 4 - 5 m, ketinggian samping kiri-kanan ~ 0,5 – 0,6 m dan ketinggian di tengah ~ 1,5 - 2 m. Bagian alas di beri tumpukan pallet bekas dan potongan kayu ~ 20 – 30 cm untuk mendapatkan rongga di bagian dasar. Bagian samping ditahan dengan potongan pallet. Sebenarnya akan lebih baik jika penahan bagian samping dan bawah dibuat dari anyaman bambu yang dibelah sehingga memungkinkan terjadinya aliran udara dari bawah ke atas (chimney effect), dan bagian bawah dibuat berongga ~30 cm di atas permukaan tanah, dengan bagian bawah diberi penahan dari tumpukan potongan/serpihan kayu/ kulit kayu dari limbah penggergajian. Tahapan proses pengomposan yang dilakukan adalah:
12
• • • • •
Pencampuran Pengadukan dan jika diperlukan penambahan campuran dan/atau pengaturan moisture content dengan penyiraman Recycle dan pencampuran dengan bahan dasar awal jika diperlukan Pendinginan dan penyimpanan Pengemasan, distribusi, marketing untuk aplikasi lebih lanjut
4.5. Pencampuran 4.5.1 Untuk serbuk gergaji ex penggergajian tradisional. Tahapan pertama adalah mencapai kondisi moisture content campuran ~ 40 - 60 % dengan mencampurkan wastewater sludge (per 100 kg basah mengandung ~ 80 kg air) dengan 150 kg serbuk gergaji (per 150 kg mengandung ~ 45 kg air) atau dari total 250 kg campuran kandungan airnya ~ 125 kg atau ~ 50 %, kemudian campuran ditumpuk diatas tempat yang telah disediakan. Ratio berat kering serbuk gergaji terhadap sludge pada komposisi tersebut adalah ~5,75. Dengan asumsi kandungan N dalam sludge ~ 8 % terhadap berat kering dan C/N ratio ~ 8 sedangkan serbuk gergaji dengan kandungan N ~ 0,1 dan C/N ratio ~ 300 maka kondisi C/N ratio campuran awal dapat dihitung sbb: N dari sludge = 100 x 0,2 x 8 % = 1,6 kg & C dari sludge = 8 x 1,6 = 12,6 N dari serbuk gergaji = 150 x 0,7 x 0,1 % = 0,1 kg & C serbuk gergaji = 300 x 0,1 = 30 Total N campuran = 1,7 dan total C campuran = 42,6 atau C/N ratio campuran ~ 25. Jika asumsi C/N serbuk gergaji ~ 200 maka C/N ratio campuran ~ 20 ataupun jika diasumsikan =400 maka C/N ratio campuran masih ~ 30. Perhitungan nilai W
=
{100 ( 1 - 0,2 ) + 150 ( 1 - 0,7 )} 100x0,2x0,7x0,4 + 150x0,95x0,95x0,5 < 10 Meski dengan asumsi ~ 25 % campuran kompos di rcycle pun nilai W masih < 10 = { 100 ( 1 - 0,2 ) + 150 ( 1 - 0,7 ) + 50 ( 1 – 0,7) } 100x0,2x0,7x0,4 + 150x0,95x0,95x0,5 + 50x0,7x0,85x0,1 Limiting faktor pada tahap awal justru terletak pada ratio antara jumlah substrat terhadap populasi atau jumlah mikroorganisme. Untuk itu maka pada tahap awal ratio pencampuran antara serbuk gergaji dan sludge dapat pula hanya ~3 w/w dried. Berdasarkan pengamatan sampai saat ini, pencampuran serbuk gergaji dan sludge dengan ratio antara 3 - 5 w/w dried masih belum menunjukkan perbedaan yang terlalu nyata, kecuali pada emisi ammoniak yang terlalu tinggi untuk pemakaian jumlah sludge yang terlalu banyak. 4.5.2 Untuk serbuk gergaji dari industri frame Perlu dilakukan pre-treatment dengan penyiraman air atau wastewater sludge yang belum di press (thickened sludge) untuk mengatasi masalah debu. Proses selanjutnya sama dengan penjelasan pada pencampuran di atas. Sekali lagi, faktor terpenting dalam efisiensi adalah mass balance. Perbandingan yang lebih besar untuk 1 truck ~ 6 ton (@ 120 zak @ 50 kg) atau ~ 1,2 ton kering dapat dicampur degan serbuk gergaji tradisional ~ 5 x nya atau ~ 6 ton kering atau ~ 8,5 ton original atau ~ 2 truck (@ 250 zak @ ~ 17 kg); jika dengan serbuk gergaji kering curah ex industri frame ~ 4 truck @ 1,5 ton. 4.6 Pengadukan, pencampuran tambahan dan penyiraman Setelah 3-4 hari pertama sejak pencampuran kondisi temperatur harus diamati, jika temperatur meningkat ke ~ 50 oC berarti proses berlangsung dengan benar dan indikasi lain terlihat dari tekstur campuran yang tidak menggumpal dan lebih kering akibat penguapan. Saat pengadukan dapat diindikasi faktor kecukupan dan ketersediaan N, jika tercium uap ammoniak yang cukup menyengat berarti
13
kekurangan unsur C maka perlu penambahan serbuk gergaji lagi. Saat pengadukan ini juga diperlukan penyemprotan air untuk mencapai moisture content ~ 60 %. Proses pengadukan /pembalikan dengan penyiraman diperlukan untuk pemerataan kontak substrat (serbuk gergaji) dengan mikroba (dari sludge) serta menjaga kondisi moisture content dan kontak tumpukan massa kompos dengan udara dan harus dilakukan secara tejadwal ~2 - 3 x seminggu pada awal 2 - 3 minggu pertama, jadwal berikutnya dapat dilakukan 1 - 2 x seminggu. Untuk penyiraman akan lebih baik bila dilakukan setiap hari. Untuk membantu proses transfer aliran udara dapat dibantu dengan menggunakan batang bambu yang dibuat menjadi seperti batang pipa yang diperforasi dan ditusukkan di beberapa tempat di sepanjang tumpukan windrow. Proses pengomposan akan berlangsung dengan sempurna dengan tercapainya temperatur ~ 65 - 70 C di dalam tumpukan kompos untuk beberapa waktu lamanya. Selama proses pengomposan, proses pembalikan harus dilakukan dengan terjadwal tetapi tidak boleh terlalu sering karena akan menurunkan temperatur massa kompos dalam tumpukan . o
4.7. Recycle dan pencampuran dengan bahan dasar awal Kondisi ini dapat dilakukan untuk memperbaiki tekstur porositas tumpukan pada campuran awal, mengatur moisture content campuran awal atau mengatur C/N ratio, atau untuk memperkaya populasi mikroba pada pencampuran awal. Kondisi tersebut terutama jika salah satu supply dari campuran awal tidak terpenuhi saat itu sehingga dapat untuk menghemat sumber Nitrogen supaya tidak terbuang percuma ke udara sebagai ammoniak. Disamping itu pengkayaan mikroba juga diperlukan jika di lokasi pengomposan jumlah serbuk gergaji terlalu banyak dibandingkan jumlah sludge. Untuk kondisi ini tambahan sumber N dapat diambil dari pupuk kandang ataupun urea. Prinsip dasarnya adalah material balance untuk perhitungan yang lebih ekonomis.
4.8. Pendinginan dan penyimpanan Tahap pendinginan merupakan kelanjutan dari proses pengomposan yang ditandai dengan penurunan temperatur secara bertahap menuju ke ~ 40 oC. Selama tahap pendinginan penyemprotan atau penambahan air dihentikan meskipun proses evaporasi masih terus berlangsung sehingga diharapkan moisture content dari produk akhir menjadi hanya ~ 20 - 30 % saja. Proses pembalikan masih tetap diperlukan dengan frekuensi yang lebih jarang. Cerucuk bambu perforasi juga tetap dipertahankan untuk mencegah terjadinya proses anaerobik yang dapat mengakibatkan produk akhir berbau busuk. Pengemasan, distribusi, marketing untuk aplikasi lebih lanjut Tahap selanjutnya lebih ke arah marketing dan aplikasi akhir. Untuk aplikasi di daerah sekitar tidaklah perlu dilakukan pengemasan, disamping faktor biaya juga akan menimbulkan masalah baru untuk limbah ex kemasan. Aplikasi lainnya adalah pengemasan terselubung yaitu penjualan kompos yang digabung dalam paket penjualan bibit tanaman, baik tanaman hias maupun buah-buahan. Penggabungan bisnis pengomposan dan pembibitan merupakan simbiosis yang menguntungkan baik dari pemanfaatan tenaga kerja maupun jumlah penjualan kompos yang akan meningkat. Pengembangan selanjutnya bila dapat terintegrasi dengan bisnis untuk pengerjaan landscape dan/atau perawatan taman sehingga siklus pemanfaatan pupuk dan pembuatan pupuk dari sampah kebun dapat terintegrasi. Biaya pengomposan
14
Dalam percobaan yang telah/ sedang berlangsung, komponen biaya yang utama adalah transportasi dan tenaga kerja. Transportasi yang utama adalah pengangkutan serbuk gergaji ke lokasi percobaan, termasuk ongkos bongkar muatnya. Tenaga kerja terutama untuk pencampuran dan pembalikan. Biaya pembuatan tempat dan fasilitas windrow relatif kecil dibandingkan kedua komponen yang utama tadi. Prospek masa depan pengomposan di Indonesia Seperti umumnya peluang bisnis di Indonesia, baik kelas teri maupun konglomerat jika memang memungkinkan apapun bisa dilakukan. Permasalahan saat ini adalah peluang agar supaya teknologi ini dapat teraplikasi meski dengan dasar bisnis kerakyatan tetapi dasar kelestarian merupakan hal yang perlu lebih ditonjolkan. Bagaimana memulainya? Let’s start with zemi on air, ……
15