Apa Itu Musik? Studi Atas 4’33” (1952) Karya John Cage Karina Andjani dan Albertus Harsawibawa1 Program Studi Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
ABSTRAK Musik biasanya dikaitkan dengan suara. Pandangan umum ini kemudian diuji dengan kehadiran John Cage, seorang komponis Amerika era avant-garde yang dikuasai oleh gagasan Zen Buddhisme yang dikatakan membuat karya musik berjudul 4‟33” yang sering disebut sebagai karya diam karena hanya berisi tanda diam dari awal hingga akhir. Secara singkat, komponis merupakan seseorang yang pekerjaannya membuat karya musik, namun apakah dengan adanya komponis, alat musik, dan pemusik mencukupi suatu karya untuk disebut sebagai karya musik? Penyelidikan dalam penulisan ini dilakukan secara sistematis dan refleksif dalam pencarian mengenai filsafat musik serta status ontologis musik, sehingga dilihat suatu gambaran lengkap mengenai permasalahan dan konsep agar dapat memperoleh pemahaman. Kata Kunci: Musik, 4‟33”, avant-garde, filsafat musik, status ontologis musik.
What Is Music? Study of The Work of John Cage 4’33” (1952)
ABSTRACT Music is usually associated with sound. The general view is then tested in the presence of John Cage, an American composer of avant-garde era dominated by the idea of Zen Buddhism who is said to make a piece of music titled 4‟33” which is often referred to as the silent piece because it only contains silent indications from beginning to end. Briefly, a composer is someone who makes a piece of music, however, whether the presence of the composer, musical instruments, and the musicians meet the criteria that a work can be referred to as a piece of music? The investigation in this writing was done systematically and reflectively in search for the philosophy of music as well as the ontological status of music, so that a complete picture of the issues and concepts can be seen in order to gain a comprehension. Keywords: Music, 4‟33”, avant-garde, philosophy of music, ontological status of music.
1
Karina Andjani adalah mahasiswi program studi Ilmu Filsafat pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan Dewan Penguji dalam sidang skripsi tanggal 25 Juni 2013. Albertus Harsawibawa adalah Dosen program studi Ilmu Filsafat yang memberikan bimbingan kepada Karina Andjani dalam penulisan skripsi yang berjudul “Apa Itu Musik? Studi Atas 4’33” (1952) Karya John Cage”. Tulisan ini merupakan ringkasan dari skripsi yang dimaksud.
1 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
A. LATAR BELAKANG Musik merupakan salah satu hal universal yang dapat diterima oleh manusia dengan berbagai perbedaannya serta merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pada umumnya, kita mengaitkan musik dengan berbagai bunyi2. John Cage merupakan komponis Amerika era avant-garde yang pada tahun 1952 membuat karyanya yang paling terkenal yaitu 4‟33” atau biasa disebut four thirty three yang merupakan komposisi untuk semua alat musik. Karya ini sering disebut sebagai silent piece dan kosong karena hanya berisi tanda diam saja dari awal hingga akhir, dengan durasi penampilan yang ditetapkan Cage yaitu empat menit tiga puluh tiga detik. David Tudor merupakan pianis pertama yang menampilkan komposisi ini di Living Theatre, New York, pada tanggal 29 Agustus 1952. Tudor hanya membuka dan menutup piano untuk menandai tiga movement 3 dari komposisi tersebut, sementara para audiens 4 di ruangan terkejut dan kebingungan perihal tidak ada bunyi piano yang dimainkan karena pianisnya hanya duduk selama empat menit tiga puluh tiga detik. Drama menarik dari performance 4‟33” adalah dengan latar tempat sebuah ruang konser bergaya Barat yang megah, komponisnya tidak menciptakan apapun, pianisnya berada di panggung dengan tidak memainkan piano, sementara para audiens dengan tata krama konservatif awalnya berusaha tetap duduk dan tidak berisik, hingga akhirnya mencemooh dan meninggalkan ruangan.
a.) Rumusan Masalah Sulit untuk memahami situasi dimana terdapat sebuah galeri kosong melompong yang di dalamnya para pengunjung bisa berdebat tanpa rujukan dan penjelasan apapun. Orangorang biasanya tidak akan pergi ke galeri untuk melihat dinding yang kosong dan berjalan di ruangan yang kosong, serta tidak akan pergi untuk mendengarkan pertunjukkan musik yang diam. Tanpa adanya suatu konteks, mereka akan berpikir bahwa mereka salah tempat, pengelola galeri salah karena tidak memajang apapun, para musisi salah karena tidak menghasilkan bunyi apapun. Masing-masing orang memiliki konsep mengenai bagaimana
2
Pada awal pembahasan digunakan kata bunyi karena secara umum bunyi merupakan hasil tindakan sengaja, sedangkan suara lebih merupakan tindakan tidak sengaja. Namun suara dapat secara otomatis meningkat menjadi bunyi apabila disengaja, diorganisir, dan diproduksi. 3 Dalam istilah musik, movement berarti bagian dari sebuah komposisi, umumnya memiliki tempo berbeda dari yang sebelumnya. 4 Digunakan kata audiens karena kerumitan menerjemahkan audience sebagai para penonton atau pendengar, diharapkan kata tersebut mencakup keduanya.
2 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
suatu hal seharusnya, bagaimana galeri seharusnya (menghadirkan karya lukisan dan patung), juga bagaimana konser musik seharusnya (menghadirkan bunyi karya musik). Gordon Graham mengatakan bahwa karya seni merupakan pernyataan sadar dari senimannya yang mengandung elaborasi proposisi dan doktrin. Seniman sering kali memiliki pesan yang mereka intensikan dan harapkan dapat disampaikan melalui karya seninya. Ia juga mengatakan bahwa musik tidak dapat diperoleh kecuali melalui kegiatan penciptaan musik karena di dalamnya terdapat keterorganisasian dan keterahan.5 Cage merupakan seorang komponis, suatu pekerjaan yang akan membuat orang berpikir bahwa ketika ia membuat suatu karya, tentu karya tersebut merupakan karya musik. Selain itu, terdapat alat musik yaitu piano pada performance dari 4‟33” yang membuat orang berpikir bahwa hal itu merupakan pertunjukkan karya musik. Berdasarkan kasus dari pertunjukkan karya John Cage tersebut, muncullah sejumlah pertanyaan, antara lain: 1.
Secara filosofis, apa itu yang disebut dengan musik?
2.
Apa status ontologis musik?
b.) Tujuan Penelitian Secara singkat penelitian ini bertujuan untuk memberikan evaluasi kritis mengenai konsep pokok ybs., dan memahami nilai artistik serta hakikat musik.
B. TINJAUAN TEORITIS Meskipun digunakan sebagai dasar penelitian, kerangka teori pada bagian ini tidak digunakan sebagai kerangka analisis, melainkan untuk melihat bahwa teori mengenai Zen Buddhisme merupakan hal yang sangat melandasi pemikiran karya 4‟33” dan menyebabkan unsur non musikalnya terlalu kuat. Ide dari komposisi 4‟33” terkait dengan kepercayaan Cage dengan Zen Buddhisme. Dalam teks di booklet untuk penampilan di Living Theatre, New York, Cage menyatakan bahwa, „Nothing is accomplished by writing a piece of music, nothing is accomplished by hearing a piece of music, nothing is accomplished by playing a piece of music‟.6
5 6
Graham, Gordon. (1997). Philosophy of the Arts. London: Routledge. Hlm: 55. Sim, Stuart. (2007). Manifesto for Silence. Edinburgh: Edinburgh University Press. Hlm: 108.
3 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
Kita semua pernah mendengar kata mutiara bahwa “Diam itu emas”. Dalam ajaran Buddha, Nagarjuna menganggap diam itu emas karena diam merupakan satu-satunya reaksi yang pantas terhadap berbagai pertanyaan metafisik yang nyatanya sulit diselesaikan. Nagarjuna tetap diam dan tidak merespon pada pertanyaan metafisik maupun spekulatif ketika ia mengetahui bahwa orang yang bertanya tidak akan memahami kedalaman makna jawaban dari pertanyaannya. 7 Orang biasa bisa saja menjawab pertanyaan tersebut dengan penjelasan panjang lebar, namun diam terhadap hal-hal tersebut mungkin dapat lebih berarti dibandingkan mencoba melakukan berbagai diskursus terhadapnya karena bahasa manusia yang mengacu pada pengalaman yang relatif tidak dapat menjawab kedalaman pertanyaan dimana manusia belum pernah mengalami hal tersebut sebelumnya. Bahasa manusia begitu terbatas dan tidak dapat mendeskripsikan kebenaran absolut. Mirip dengan Zen Buddhisme, Wittgenstein menggambarkan garis demarkasi dalam filsafatnya bahwa filsafat harus membicarakan apa yang bisa dibicarakan. Bila sebelumnya sepanjang sejarah metafisika dan filsafat tergabung, Wittgenstein terkenal dengan pernyataannya, “Whereof one cannot speak, thereof one must be silent”. 8 Ia menyarankan untuk memisahkan hal metafisis dari yang filosofis. Hal metafisis tidak memiliki tempat dalam penyelidikan filosofis karena problem filosofis memerlukan solusi yang logis, dan dunia merupakan fakta-fakta, sedangkan dalam problem metafisis, hal spiritual tidak dapat dideskripsikan, terdapat banyak hal yang tidak dapat direduksi dan dimengerti dalam katakata karena hal-hal tersebut dapat memanifestasikan diri mereka sendiri. 9 Bila sebelumnya Nagarjunar dan Wittgenstein membahas konsep diam sebagai hal yang tidak dapat dikatakan dan direpresentasikan, Bernard P. Dauenhauer dalam bukunya Silence, the Phenomenon and its Ontological Significance mengatakan bahwa diskursus manusia justru tidak dapat dipahami tanpa adanya diam. Diam ini tidak dapat benar-benar kosong melainkan berelasi dengan tanda, suara, gesture, ekspresi pikiran, perasaan, dan sebagainya, dengan kata lain, diam juga merupakan bagian ucapan dari bahasa.10 Telah dicantumkan sebelumnya perkataan Cage, “There is no such thing as silence. Something is always happening that makes a sound”.
11
Melalui karya Ananda
Coomaraswamy, Cage menemukan bahwa musik dapat harmonis dengan alam karena “Seni
7
Dhammananda, K. Sri. (1964). What Buddhists Believe. Buddhist Mission Society of Malaysia. Wittgenstein, Ludwig. (1992). Tractatus Logico-Philosophicus. London: Routledge. Hlm: 189. 9 Sim, Stuart. (2007). Manifesto for Silence. Edinburgh: Edinburgh University Press. Hlm: 88. 10 Dauenhauer, Bernard P. (1980). Silence, the Phenomenon and its Ontological Significance. Bloomington: Indiana University Press. Hlm: 4. 11 Sim, Stuart. (2007). Manifesto for Silence. Edinburgh: Edinburgh University Press. Hlm: 9. 8
4 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
mengimitasi cara kerja alam” khususnya dalam hal ketidakpastian. Melalui pembelajaran Zen Buddhisme, Cage menyimpulkan bahwa suara-suara seharusnya dihargai, bukannya diperbudak, karena setiap hal baik yang berkesadaran maupun tidak, merupakan pusat dari alam semesta.12 Secara terminologi, kita mengetahui term noise dekat dengan sound, silence dekat dengan quiet. Kita biasanya memahami bahwa musik merupakan sound dan bukan merupakan noise, dan biasanya kita menggunakan term silence daripada quiet. Noise merupakan term lebih kasar yang biasanya diterapkan pada musik maupun bunyi-bunyian yang tidak disukai oleh seseorang.13 Para remaja misalnya, akan familiar dengan kalimat „Turn that noise down!‟ sebagai respon terhadap pilihan musik yang mereka setel di rumah. Selain itu ketika berbicara tentang polusi suara, hal ini tidak diterjemahkan sebagai sound pollution melainkan noise pollution. Singkatnya cara menggambarkan garis batas antara noise dan sound adalah, noise merupakan sound yang tidak diinginkan, atau noise merupakan volume sound yang keras dan mengganggu pendengaran. Term noise sendiri datang dari bahasa Latin nausea yang awalnya berarti mabuk laut, dan sekarang dipahami sebagai rasa mual atau muak. Michel Serres mengatakan bahwa dalam bahasa Prancis, parasite memiliki makna yang sama dengan noise. Parasite merupakan sesuatu yang mengganggu yang hidup menumpang pada tuan rumah. Noise juga merupakan suara yang mengganggu yang dapat berupa pesan, informasi, interupsi ataupun bukan semua hal tersebut sama sekali.14 Sedangkan untuk mengkondisikan diam, term silence merupakan komando yang lebih tegas untuk dianggap serius daripada term quiet. Serres mengatakan bahwa kita dikelilingi oleh noise, dan noise ini tidak dapat dipadamkan. Noise berada di luar – merupakan dunia, dan noise berada di dalam – merupakan tubuh kita yang hidup. Dalam fluktuasinya, noise tidak akan pernah berhenti.15 Signifikansi dari komposisi 4‟33” adalah tidak mungkin bagi manusia untuk mengalami true silence karena tidak ada yang namanya true silence, kecuali yang berada dalam gagasan abstrak. Rasionalisasi dibalik estetika diamnya Cage membuat kita lebih sensitif terhadap berbagai suara yang mengelilingi kita di dunia setiap saat dalam kehidupan kita. Daniel N. Maltz mengatakan diskusi peran diam dalam religiusitas mengatakan bahwa
12
Mazo, Joseph H. Cage conversation with Joseph H. Mazo (1983). 1988. in Kostelanetz. Hlm: 23 dalam Solomon, Larry, J. (1998). The Sounds of Silence. http://solomonsmusic.net/4min33se.htm (25/02/13) 13 Sim, Stuart. (2007). Manifesto for Silence. Edinburgh: Edinburgh University Press. Hlm:15. 14 Lechte, John. (1994). Michel Serres. Universitat de València Press. http://www.uv.es/~fores/AcosoTextual/serresbio.html (25/02/13) 15 Serres, Michel. (1982). The Parasite. London: The Johns Hopkins University Press. Hlm: 126.
5 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
diam merupakan hal absolut sementara suara merupakan hal relatif. 16 Maltz mengatakan bahwa hanya ada satu macam diam, diam itu absolut, suara justru terdapat berbagai macamnya. Namun Cage menunjukkan bahwa sebaliknya, justru ada berbagai macam bentuk diam seperti halnya terdapat berbagai macam suara, dan diam sendiri dapat bersifat sangat relatif, bisa berupa kondisi maupun respon.17
C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian sistematisrefleksif dengan membahas permasalahan dan pertanyaan menggunakan analisis sehingga mencapai pemahaman mendasar. Metode ini relevan dengan kasus dalam penulisan sebab penulis membahas satu pokok mendasar dalam kehidupan manusia yang merupakan fenomena cukup sentral dalam kehidupan manusia, yaitu musik, yang diteliti secara filosofis. Struktur dan norma hakiki memang tidak ditemukan dalam kemurniannya karena direalisasi dalam keterbatasan dan kekhususan menurut waktu dan konteks serta dihayati dalam penyelewengan dan tercampur dalam kegagalan, namun dengan idealisasi dan heuristika, penulis berupaya menemukan kembali kemurnian struktur dan norma khususnya mengenai musik sehingga dilihat suatu gambaran lengkap mengenai permasalahan dan konsep yang disajikan untuk kemudian dipersoalkan agar dapat memperoleh pemahaman.18
D. PEMBAHASAN Produksi seni di Barat terbagi menjadi dua yaitu pertama seni tradisional yang akademis, konservatif, dan resmi, dan kedua yaitu seni avant-garde yang inovatif dan eksperimental. Aktivitas dari seniman avant-garde dapat dikatakan berada di luar jalur konvensional, namun hal ini juga membuat mereka berada di depan kerumunan dan menentukan masa depan seni. Gerakan awal avant-garde terlihat pada era Romantik atau Pencerahan ketika para seniman mulai merepresentasikan peristiwa kekinian dan keseharian, mengekspresikan diri, dan melepaskan diri dari patron-patronnya sehingga tidak mengherankan apabila ciri khas yang terlihat dari karya avant-garde adalah inovatif dan eksperimental. Seiring perkembangan zaman, avant-garde menjadi terkait dengan gerakan eksperimental dan kontroversial yang mendorong batasan yang umumnya diterima pada definisi seni, budaya, dan realitas. Peter Bürger dalam Theory of the Avant-Garde mengatakan 16
Sim, Stuart. (2007). Manifesto for Silence. Edinburgh: Edinburgh University Press. Hlm: 110. Ibid. 18 Bakker, Anton. (1990). Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Hlm: 99-104. 17
6 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
bahwa avant-garde merupakan serangan pada status otonomi seni pada kalangan borjuis, dan merupakan upaya untuk mereintegrasi seni dalam praktek kehidupan. Avant-garde juga terkait dengan kepedulian seni untuk seni, dengan fokus utama yaitu memperluas batas-batas pengalaman estetis, dan menolak kriteria dari institusi seni.19 Dalam perkembangan selanjutnya pada masa Andy Warhol dan Jean-Michel Basquiat, avant-garde tidak lagi merupakan seni yang ditolak, justru merupakan seni yang digemari oleh berbagai lapisan masyarakat. Senimannya pun tidak lagi identik dengan kemiskinan.20 Avant-garde tidak lagi menjadi pengganggu kalangan atas karena telah menjadi bagian darinya. Tujuan awal gerakan avant-garde adalah menggoyahkan standar kalangan atas dan memperluas perspektif semua kalangan dalam meninjau karya seni. Ketika gagasan art for art‟s sake meluas dan masyarakat dapat melihat seni dengan mata disinterestedness, avantgarde tidak lagi menjadi avant-garde, melainkan sekedar seni modern saja. Clement Greenberg mengutarakan bahwa pada dasarnya kemauan sadar dan kesengajaan memiliki peran penting dalam seni avant-garde, yang kemudian terjadi peralihan dari pentingnya inspirasi serta originalitas ke pentingnya kecerdikan. Greenberg juga mengatakan bahwa dalam avant-garde sendiri terdapat dua pembagian yaitu avant-gardeness dan avant-gardism. Dalam avant-gardeness, suatu karya merupakan hal yang dikonstitusikan dari waktu ke waktu oleh berbagai seniman.21 Pada avant-gardeness terdapat bahan atau material sama yang berkembang dan berubah seiring perkembangan zaman dan perbedaan kreativitas artistik dari senimannya. Misalnya, bentuk sonata yang berkembang dari zaman Haydn, lalu Mozart, hingga Beethoven. Karya seni berkembang dari sesuatu yang „biasa‟ menuju sesuatu yang kelihatannya tidak memungkinkan. Sehingga hal yang penting dalam avant-gardeness adalah menekankan newness atau dalam hal ini dipahami sebagai kebaruan artistik dalam seni yang merupakan tujuan dalam dirinya sendiri atau seeking originality for its own sake.22 Ketika dalam avant-gardeness hal yang ditekankan adalah pentingnya kebaruan artistik, dalam term avant-gardism hal yang penting adalah startle atau mengejutkan. Baik kejutan maupun rasa kebingungan tidak lagi dianggap maupun disesalkan sebagai sekedar efek samping dari kebaruan artistik karena kejutan maupun kebingungan tersebut merupakan tujuan utama dari avant-gardism. Originalitas dalam kebaruan artistik tidak lagi memiliki 19
Bürger, Peter. (1984). Theory of the Avant-Garde. Hlm: 49, dalam Scheunemann, Dietrich, (ed.). 2005. AvantGarde Critical Studies. Amsterdam: Rodopi. Hlm: 18. 20 Rader, Melvin (ed.). (1971). Modern Book of Aesthetics. New York: Holt,Rinehart & Winston. Hlm: 434-435. 21 Ibid. 22 Ibid. Hlm: 435
7 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
peran penting karena originalitas belum tentu mengejutkan, sehingga kecerdikan seniman untuk
mengejutkan audiens
dianggap
sebagai
inti
dari
avant-gardism.
23
Untuk
memaksimalkan aspek kejutan tersebut tentunya para seniman juga perlu mengetahui persis kebiasaan budaya dan pengharapan masyarakat untuk kemudian dapat mengacuhkannya dan melenceng darinya. Pada perkembangannya hingga kini, avant-gardism lebih dalam dan luas membicarakan dan menulis mengenai seni daripada praktiknya. 24 John Cage merupakan komponis Amerika pada era avant-garde yang menciptakan karya kontroversial yang berjudul 4‟33”. 4‟33” atau four minutes thirty three seconds atau four thirty three saja merupakan judul komposisi untuk semua alat musik yang diciptakan Cage pada tahun 1952. Sebagai instruksi, Cage menuliskan: Tacet. For any instrument or instruments. Komposisi ini tidak memiliki rangkaian nada sama sekali. Judul 4‟33” sendiri merupakan gambaran durasi penampilan yang kira-kira menghabiskan waktu empat menit tiga puluh tiga detik. Komposisi 4‟33” terdiri dari tiga movement yang masing-masing diberi judul berdasarkan pada durasi waktunya, movement pertama berjudul 30” atau tiga puluh detik, yang kedua berjudul 2‟33” dan yang ketiga berjudul 1‟40”, sehingga bila dijumlahkan, total durasinya adalah 4‟33”. Sebelum menulis komposisi 4‟33” yang dikatakan kontroversial, Cage, seperti komponis pada umumnya juga menulis komposisi yang melibatkan variasi rangkaian notasi not balok beserta instruksi serta judul-judul dari kata-kata menggugah, seperti misalnya Dream, Amores, dan The Perilous Night. Kebanyakan dari komposisinya ditujukan untuk alat musik piano. Pada komposisi Dream, Cage berimprovisasi dengan nada pentatonis pada komposisi pianonya sehingga terdengar seperti permainan gamelan ketika dimainkan. Ia juga sempat bereksperimen menciptakan musik electroacoustic dengan judul Imaginary Landscapes yang melibatkan piano, cymbal, gramofon, dan amplifier. Secara umum, pada tahun 1950-an, ia sudah termasyhur sebagai inovator dibidang musik ditengah maraknya avant-garde di Amerika, selain itu ia juga sering menyebarkan ide-idenya dalam musik melalui kuliah dan seminar. Cage mungkin mendapatkan inspirasi penulisan 4‟33” dari serial lukisan avant-garde Robert Rauschenberg yang berjudul White Paintings, tahun 1951. Terdapat kesamaan antara lukisan Rauschenberg White Paintings dengan gambar intepretasi 4‟33”, keduanya samasama kekurangan material. Bila White Paintings merupakan surface untuk memungkinkan berbagai cahaya dan bayangan yang tidak disengaja, 4‟33” merupakan duration untuk 23 24
Ibid. Hlm: 435. Ibid. Hlm: 434-436.
8 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
berbagai suara yang tidak disengaja. Mengenai kemiripan ini, Cage mengakui, “To Whom It May Concern: The white paintings came first; my silent piece came later.”25 Pada 1951, Cage berkunjung ke anechoic chamber di universitas Harvard untuk mendengarkan diam. Ia berharap untuk tidak mendengar apapun, namun justru ia malah mendengar dua suara, yang satu tinggi, yang satunya rendah. Ketika ia bertanya kepada insinyur yang bertugas, ia mendapat penjelasan bahwa yang tinggi berasal dari sistem syarafnya, dan yang rendah berasal dari sirkulasi darah ditubuhnya. Ia menyadari bahwa suara akan terus ada sampai ia mati, bahkan suara akan terus berlanjut setelah kematiannya.26 Cage mendapat poin penting bahwa tidak ada yang namanya diam yang benar-benar diam. Cage mengatakan, “There‟s no such thing as silence. Something always happening that makes a sound.”27 Ia menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu yang kosong, tidak ada ruang dan waktu yang kosong. Selalu ada sesuatu untuk dilihat, selalu ada sesuatu untuk didengar, faktanya ketika kita mencoba memproduksi diam, kita tidak dapat melakukannya karena selalu akan ada intervensi suara dari sekeliling kita. Melalui 4‟33”, Cage ingin menyampaikan bahwa suara selalu mengintervensi diam. Diam mungkin malah sesuatu yang tidak benar-benar ada. Cage mendapat pengetahuan bahwa di India orang menganggap musik terus berlanjut dan hanya berhenti ketika ketika kita berpaling atau berhenti memperhatikan. 28 Ia juga mendapat pengetahuan bahwa dalam pemikiran Timur, pikiran yang tenang merupakan pikiran yang terbebas dari rasa tidak suka, tetapi karena rasa tidak suka memerlukan kebalikannya yaitu rasa suka, maka pikiran harus terbebas dari kedua rasa tersebut, suka dan tidak suka. Kita bisa saja menjadi berpikiran sempit dengan hanya menyukai beberapa hal dan tidak menyukai yang lain, namun kita juga bisa berpikiran terbuka, dengan menyerahkan kedua rasa suka dan tidak suka sekaligus. Kemudian pengaruh ilahi yang dimaksud adalah suara dan berbagai hal lainnya yang bebas untuk semua orang, seperti yang terdapat di alam. Melalui pembelajaran Zen Buddhisme, Cage menyimpulkan bahwa suara-suara seharusnya dihargai, bukannya diperbudak, karena setiap hal baik yang berkesadaran maupun tidak, merupakan pusat dari alam semesta.29 Terdapat perbedaan mencolok antara pandangan Timur yang hidup harmonis dengan alam dan praktik Barat yang penuh kendali dan manipulasi terhadap alam. Sehingga dapat dipahami bahwa bagi Cage, musik bukanlah 25
Cage, John. (1961). Silence: Lectures and Writings. Hanover: Wesleyan University Press. Hlm: 98. Ibid. Hlm: 7-8. 27 Sim, Stuart. (2007). Manifesto for Silence. Edinburgh: Edinburgh University Press. Hlm: 9. 28 Duckworth, William. (1995). Cage conversation with William Duckworth. Duckworth. Hlm: 13-15. Diunduh dari http://solomonsmusic.net/4min33se.htm, 25/02/13. 29 Mazo, Joseph H. Cage conversation with Joseph H. Mazo (1983). 1988. in Kostelanetz. Hlm: 23. Diunduh dari http://solomonsmusic.net/4min33se.htm, 25/02/13. 26
9 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
merupakan sarana untuk berkomunikasi dan berekspresi antara komponis dan pendengarnya, namun lebih merupakan proses untuk penemuan lebih lanjut, untuk lebih sadar dan sensitif terhadap suara di sekeliling kita, dan untuk terbebas dari manipulasi, juga selera pribadi. Musik bagi Cage kemudian merupakan aktivitas suara dimana komponisnya menemukan cara untuk membiarkan suara-suara tersebut tetap sebagaimana adanya. Dengan menjadi sebagaimana adanya, hal itu akan membuka peluang bagi orang untuk mendengarkan adanya kemungkinan lain yang tidak terpikirkan sebelumnya. Melalui karya Ananda Coomaraswamy, Cage menemukan bahwa musik dapat harmonis dengan alam karena “Seni mengimitasi cara kerja alam”. Dalam musik, hal ini tentu erat kaitannya dengan cara kerja alam saja, bukan meniru penampakan alam, sebab tentu tidak ada yang dapat dikatakan benar-benar mirip antara suara dari alam dan suara yang diproduksi musik. Berdasarkan fakta ilmiah setidaknya dalam skala mikrokosmos, kejadian alam tidak berbentuk mekanistik dan deterministik saja, melainkan juga berbentuk ketidakpastian dan peluang seperti pada mekanika kuantum dan chaos theory.30 4‟33” merefleksikan hal tersebut, Cage mungkin bisa menetapkan durasi penampilan, namun ia tidak dapat menetapkan suara apa saja yang akan terjadi didalamnya, selalu ada ketidakpastian dan peluang suara apa yang akan muncul. 4‟33” juga melatih komponis dan pendengar untuk terbebas dari pilihan, manipulasi dan selera pribadi mengenai apa yang disukai dan tidak disukai. Selain itu 4‟33” terkait dengan pengaruh ilahi dalam pemikiran Timur yang dipelajari Cage, bahwa suara-suara dalam 4‟33” tidak diproduksi, melainkan terdapat dari sekeliling, dari alam yang bebas didengarkan dan bebas keluar masuk. Dengan demikian, bagi Cage kehidupan dan alam itu sendiri menjadi sebuah seni. Menurut Cage, tujuan komponis adalah untuk menyatakan bahwa musik adalah tentang mengubah pikiran, bukan untuk dimengerti, tetapi disadari. Mungkin musik tidak mengekspresikan dan mengkomunikasikan
apapun,
namun
mungkin
musik
dapat
mengekspresikan
dan
mengkomunikasikan segalanya.31 4‟33” sebagai produk dari kejayaan era avant-garde termasuk dalam kategori seni avant-garde. Namun dalam avant-garde sendiri terdapat dua pembagian yaitu avantgardeness dan avant-gardism. Tujuan utama dari karya avant-gardeness adalah newness atau kebaruan dari hal yang sebelumnya telah ada, sedangkan tujuan utama dari karya avantgardism adalah startle atau mengejutkan. Lalu apakah 4‟33” merupakan bagian dari avant30
Mazo, Joseph H. Cage conversation with Joseph H. Mazo (1983). 1988. in Kostelanetz. Hlm: 23 dalam Solomon, Larry, J. (1998). The Sounds of Silence. http://solomonsmusic.net/4min33se.htm (25/02/13) 31 Low, Lisa. Cage conversation with Lisa Low (1985). 1988. in Kostelanetz. Hlm: 45. Diunduh dari http://solomonsmusic.net/4min33se.htm, 25/02/13.
10 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
gardeness atau justru merupakan bagian dari avant-gardism? Bila melihat 4‟33” secara keseluruhan, menurut penulis terlihat bahwa 4‟33” merupakan bagian dari avant-gardism yang berfokus untuk untuk mengejutkan orang dengan materi yang membingungkan karena dari 4‟33” terlihat bahwa Cage ingin mengejutkan audiens dengan idenya, dan performance pertama dari 4‟33” berhasil membuat audiens terkejut hingga bingung dan kesal. Pada avant-gardeness, seniman yang membuat karya berfokus pada kebaruan sehingga membuat mereka melakukan inovasi sementara dalam pembuatannya mereka terpengaruh oleh karya-karya sebelumnya. Pada seni musik, Beethoven merupakan komponis era Romantik yang melakukan sesuatu yang bersifat avant-gardeness pada masanya. Melalui sonata-sonatanya yang panjang dan kompleks, diketahui bahwa musik Beethoven merupakan kelanjutan dari musik klasik dari Haydn dan Mozart, namun memiliki perkembangan struktur dan jangkauan harmoni yang lebih luas dan variatif, serta lebih ekspresif dan garang secara keseluruhan. Sementara pada avant-gardism yang berkembang sejak Duchamp membuat Fountain pada tahun 1917, seniman yang membuat karya berganti fokus pada kejutan. Daya kejut menjadi daya tarik tersendiri bagi seniman maupun audiens yang tidak tahu mereka akan atau sedang berhadapan dengan apa. Hal ini berbeda dengan audiens yang akan berhadapan dengan seni tradisional misalnya musik tertentu, mereka sudah memiliki kerangka pikir mengenai musik tradisional pada umumnya untuk memperkirakan musik yang akan mereka hadapi, dan biasanya hasilnya tidak melenceng jauh dari perkiraan mereka. Sementara ketika audiens berhadapan dengan seni avant-garde, mereka sudah memiliki konsep mengenai seni tradisional atau mungkin sudah mengantisipasi segala kemungkinan mengenai keanehan avant-garde untuk mempersiapkan diri mereka dalam berhadapan dengan karya avant-garde, namun pada akhirnya, ketika akhirnya melihat karyanya, hasilnya biasanya melenceng jauh dari perkiraan mereka. George Dickie dengan teori institusionalnya menjelaskan bahwa suatu benda dapat disebut karya seni apabila benda tersebut merupakan artefak yang dianugerahi status seni oleh seseorang maupun sekelompok orang yang mewakili institusi artworld tertentu. Dickie mengatakan bahwa, “A work of art is an object of which someone has said, „I christen this object a work of art‟.” 32 Selain Dickie, Arthur Danto juga menyatakan pentingnya artworld yang mencakup institusi yang bertanggung jawab atas objek yang disebut sebagai seni sepereti museum, teater, orkestra, penerbit, dewan kesenian, badan pendanaan seni, kelas seni,
32
Dickie, George. (1969). Defining Art. American Philosophical Quarterly, vol.6, no.3.
11 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
dan perdagangan seni. 33 Meskipun tidak ada aturan yang jelas untuk memberikan status sesuatu sebagai karya seni, terdapat kejelasan bahwa tindakan performatif yaitu misalnya mengatakannya, dapat membuat sesuatu menjadi karya seni. Pergeseran bentuk seni tradisional yang cenderung mudah dikenali ke avant-garde yang agak sulit dikenali karena apapun dapat menjadi seni selama disebut sebagai seni semakin menjelaskan kaburnya kejelasan tersebut. Ketika seni tradisional dan avant-gardeness masih menawarkan kualitas artistik untuk dirasakan oleh audiens seperti pada musik Beethoven dan lukisan Manet, kualitas artistik dalam avant-gardism dapat dikatakan sangat kurang untuk dirasakan oleh audiens. Saat berhadapan dengan baik seni tradisional, avant-gardeness maupun avant-gardism, audiens dapat sama-sama terpesona; pada seni tradisional dan avant-gardeness mereka terpesona oleh banyaknya kualitas artistik, di sisi lain, pada avant-gardism mereka justru terpesona oleh sedikitnya kualitas artistik. Pesona dan daya tarik minimalis dari karya avant-gardism tidak hanya membuat audiens berfokus kepada sisi estetis yaitu merasakan karena kurangnya kualitas untuk dirasakan, melainkan mendorong audiens kepada sisi kognitif untuk dapat memahami karya dengan kualitas minimalis melalui berbagai teori maupun sisi historis dan budaya. Kualitas adalah salah satu hal yang membedakan seni dan non-seni, namun dalam sistem seni modern, agaknya status seni dapat diraih apabila terdapat argumen yang bagus mengenainya. Menurut penulis, perkembangan avant-gardism membantu menggiring sekelompok orang yang berpengaruh di artworld untuk dapat bertoleransi dan berspekulasi dengan canggih saat berhadapan dengan berbagai keanehan karya seni, karena sejak kejayaan avant-garde, semakin gila dan semakin aneh suatu karya ada kecenderungan bahwa semakin lebih memungkinkan karya tersebut untuk diapresiasi. 4‟33”
sebagai
bagian
dari
avant-gardism
tentu
mengejutkan,
dan
untuk
menobatkannya sebagai karya seni, para pengamat seni, kritikus seni dan audiens setelah awalnya terkejut mencoba memahaminya melalui berbagai sisi, termasuk dari semangat zaman avant-garde. Dengan bertoleransi dan berspekulasi serta dengan penganugerahan dari artworld, 4‟33” dapat saja dianggap sebagai seni. Namun dapatkah 4‟33” disebut sebagai musik? Atau Cage hanya menggunakan 4‟33” sebagai karya untuk menyebarkan gagasannya yang indah dan puitis?
33
Eaton, Marcia M. (2010). Persoalan-Persoalan Dasar Estetika. (terj. Ekosiwi, Embun K.). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Hlm: 117.
12 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
Bunyi merupakan hal sentral ketika kita berusaha untuk mendefinisikan musik. Bunyi sendiri tidak lain terdiri dari suara. Untuk dapat membedakan suara sebagai yang musikal, atau non-musikal, terdapat beberapa pendekatan, antara lain properti intrinsik atau intrinsic properties, definisi subjektif atau subjective definition, dan yang terakhir definisi yang dimaksudkan atau intentional definition. Pendekatan subjective definition merupakan pendekatan terlemah, dengan pendekatan ini suara tertawa bisa saja menjadi suara musik dan suara orkestra bisa menjadi bukan musik tergantung kepada seseorang yang mendengarkannya, dengan demikian 4‟33” dapat menjadi musik atau bukan musik tergantung kepada orang yang mendengarkannya dan menganggapnya bagaimana. Kemudian kedua, kita dapat menelusuri dengan pendekatan intentional definition. Dengan pendekatan ini, intensi musikal merupakan poin penting untuk menilai suara sebagai yang musikal atau non-musikal. Intensi musikal berkaitan dengan proses kreatif yang memiliki maksud dan tujuan untuk menghasilkan suatu musik. Dengan pendekatan intentional definition berbagai suara dapat terdengar „seperti musik‟ tanpa perlu benar-benar menjadi „musik‟ karena suara musikal merupakan suara yang diintensikan untuk menjadi musikal, misalnya seseorang tidak dapat begitu saja mentransformasi suara tertawa sebagai musik hanya dengan mendengar, namun dapat mengubahnya menjadi musik apabila mengulang atau memproduksi dengan intensi musikal. Selanjutnya, dalam musik seseorang akan mempelajari bahwa musik terdiri dari nada, tangganada, birama, nilai not, tanda diam, harmoni, melodi, irama, dinamika, kalimat, artikulasi, struktur, tekstur, pola, dsb. Secara universal, musik di seluruh dunia setidaknya terdiri dari nada atau irama, apabila terdapat elemen penting tersebut, musik setidaknya merupakan suara yang diproduksi dengan intensi, untuk memiliki setidaknya satu ciri musikal, seperti nada atau irama. Pertimbangan definisi musik berlanjut hingga Levinson menawarkan definisi lebih estetis mengenai musik bahwa musik merupakan suara yang secara temporal diorganisir oleh seseorang yang dimaksudkan untuk memperkaya pengalaman melalui keterlibatan aktif dengan suara sebagai keutamaannya, kemudian Kania melanjutkan pertimbangan definisi musik bahwa musik musik adalah suara yang diproduksi dan diorganisir dengan intensi, baik yang memiliki beberapa ciri musikal, seperti nada dan irama, maupun yang didengarkan untuk mendapati ciri-ciri musikal. Sepanjang pertimbangan definisi musik tersebut, penulis melihat tiga poin penting dalam definisi musik yaitu (1) suara (2) yang diproduksi dengan intensi (3) baik yang memiliki ciri musikal maupun yang didengarkan untuk mendapati ciri-ciri musikal. Dalam 13 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
musik Barat, unsur gaya yang penting adalah bentuk, tekstur, irama, harmoni, dan melodi. Kesuksesan relatif dari karya musik bergantung pada kontribusi berbagai unsur tersebut pada signifikansi estetis karya tersebut secara umum. Secara menarik, kadar kompleksitas, variabilitas atau keunggulan dari unsur tersebut mungkin merefleksikan kontribusinya pada gaya musikal suatu karya. Namun pada karya avant-garde kurangnya unsur yang dapat dikontribusikan justru dipandang sebagai hal yang penting.34 Masalahnya, karena kurangnya muatan fitur musikal pada 4‟33”, orang cenderung mengada-ngada, membayangkan, dan menerima bahwa berbagai suara yang tidak terikat dengan performance itu sendiri yang merupakan ordinary silence dipaksakan dianggap sebagai musical silence atau justru musiknya merupakan berbagai suara ambience yang terdengar, meskipun Cage tidak memiliki intensi agar orang beranggapan demikian karena yang diinginkannya dengan pengaruh Zen Buddhisme adalah agar orang dapat mengapresiasi semua suara apa adanya, terlepas dari bagus atau tidak dan suka atau tidak suka. Berdasarkan
keterkaitannya
dengan
avant-garde
yang
berkarakter
inovatif,
eksperimental, dan tidak dapat diulang, 4‟33” merupakan type. Secara umum suatu karya akan dengan mudah dianggap sebagai type karena dengan demikian terdapat penjelasan masuk akal mengenai hubungan antara karya tersebut dengan fenomena repeatability dan beragam instances-nya, meskipun umumnya type memiliki token, type tidak selalu harus memiliki token. Karya musik mewujud melalui berbagai media konkret sehingga selain memiliki kualitas repeatability, juga memiliki kualitas perceptibility dan audibility. Ketika seseorang mendengarkan performance dari karya musik, mereka sekaligus mendengarkan karya tersebut, misalnya seseorang dapat mendengarkan bagaimana Sonata dengan mendengarkan performance dari Sonata. Keuntungan lain dari type dan token adalah hubungan keduanya dapat menjelaskan bagaimana mendengarkan secara tidak langsung merupakan hal yang memungkinkan. Mendengarkan karya melalui mendengarkan performance dipahami sebagai mendengarkan type dari sound-event suara konkrit yang merupakan token. Token hadir mewakili type dan memungkinkan pengalaman persepsi seseorang untuk melalui token dan menghubungkannya dengan type yang terdapat dibaliknya. 35 Umumnya dianggap bahwa meskipun karya musik abstrak, namun dapat didengar dengan jelas karena karya musik merupakan type yang token-nya adalah performance, 34
Gracyk, Theodore, dan Kania, Andrew. (ed.) (2011). The Routledge Companion to Philosophy and Music. New York: Routledge. Hlm: 138. 35 Dodd, Julian. (2007). Works of Music, an Essay in Ontology. Oxford: Oxford University Press. Hlm: 11.
14 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
permainan, dan recording sehingga memungkinkan audiens memiliki pengalaman pendengaran dengannya. Namun, karena semua karya avant-garde tidak dapat diulang, dan kalaupun diulang, instances dari karya tersebut hanya disebut sebagai reproduksi, maka dapat dipahami dalam hal ini bahwa kita dapat mengatakan 4‟33” bukan merupakan token atau tidak ada token dari 4‟33” karena kalaupun dilakukan pengulangan atau reproduksi, suara yang terdengar akan sangat jauh berbeda tiap detiknya dengan suara pada event performance pertama 4‟33” pada 29 Agustus 1952. Dapat dikatakan bahwa 4‟33” merupakan type, namun ia adalah jenis type unik yang tidak memiliki token. Selain kemungkinan memandang 4‟33” sebagai type, 4‟33” dapat dipandang sebagai sebuah event, yaitu suatu kegiatan yang terjadi pada ruang dan waktu tertentu. Lebih memungkinkan untuk menyebut 4‟33” sebagai event karena keberadaannya lekat dengan ruang dan waktu yaitu Woodstock, New York, pada tanggal 29 Agustus 1952. Ketika tidak ada setting yang memungkinkan, sulit untuk mengidentifikasi 4‟33”. Dengan menganggap 4‟33” sebagai event, 4‟33” dapat dibagi ke dua kegiatan penting yang relevan yaitu kegiatan komposisi ketika Cage menciptakan 4‟33”, dan kegiatan performance dari 4‟33”. Event tentunya juga berkaitan dengan performance. Karya musik merupakan objek non-fisikal yang dapat terlihat distinct melalui performances, recordings, partitur, dan representasi mental lainnya.36 Suatu karya dapat diidentifikasi dengan sekian performancesnya dan sesuatu dari tiap performances-nya merupakan bagian darinya dan setiap bagian darinya memiliki bagian yang sama dengan yang terdapat pada performances-nya. Semua karya seni mewujud dalam objek fisikal, sehingga memungkinkan bahwa terdapat banyak instances dari sebuah karya seni, misalnya sebuah lukisan dapat digandakan dan direproduksi dari karya aslinya, begitu juga karya musik yang juga memiliki banyak instances dan beragam performances dari karya aslinya. Performance dari karya musik berkaitan erat dengan salah satu kualitas ontologi musik, yaitu repeatability. Keistimewaan repeatability dalam musik adalah sebuah karya musik dapat dimainkan berulang-ulang dan beragam performances dari karya tersebut tidak hanya sekedar copies, melainkan juga occurrence.
Ketika
dalam
lukisan
misalnya
instances
merupakan
karya
yang
merepresentasikan karya aslinya, hal ini berbeda dengan musik yang suatu performance bagaimanapun merupakan sarana audiens agar dapat mengenali karya musik tersebut. Secara
36
Gracyk, Theodore., Kania, Andrew. (ed.). (2011). The Routledge Companion to Philosophy and Music. New York. Routledge. Hlm: 39.
15 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
umum, karya musik secara intrinsik dapat berulang, dan daya tarik dari type dan token dapat menjelaskan terjadinya fenomena repeatability tersebut.37 Karya selain 4‟33” memiliki banyak performances yang merupakan token dari typenya. Karya-karya musik dapat diulang dan memiliki banyak instances karena memiliki fondasi struktur karya yang jelas, namun 4‟33” tidak memiliki kualitas repeatability ini. Selain itu, dalam budaya pertunjukkan setiap suara dari karya-karya selain 4‟33” dapat diidentifikasi karena terdengar seperti yang tertera dalam partiturnya. Hal ini berbeda dengan 4‟33” karena struktur karyanya hanya jelas di atas partitur, namun relatif sulit diidentifikasi dalam performance. Tidak ada yang dapat benar-benar menggantikan performance pertama 4‟33” pada tahun 1952. Meminjam pandangan avant-garde, setiap instances dari 4‟33” merupakan reproduksi, bukan token dari type. 4‟33” bukan merupakan yang universal karena yang universal tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dihancurkan. 4‟33” merupakan partikular abstrak karena memiliki physical perceptual properties yang memungkinkannya dapat dikenali. Bila pada umumnya partikular dalam seni dianggap sebagai partikular yang aneh karena tidak ada dua partikular yang identik, lalu keberadaan wujud satu partikular mengandaikan adanya partikular lain dari wujud partikular tersebut, kemudian partikular yang mewujud memiliki properti atau predikat yang sama dengan partikular yang mirip dengannya, namun keduanya juga memiliki properti atau predikat tersendiri yang tidak dimiliki satu sama lainnya, dan individuasi dari partikular yang mewujud mengandaikan individuasi dari partikular yang mirip. 38 Secara singkat, masing-masing partikular dapat menjadi instances dari partikular lain dan dapat mewujud dalam partikular lain, sifat partikular yang aneh tersebut sulit dibayangkan untuk 4‟33” yang lebih aneh lagi. Ketika memandang status ontologi 4‟33” sebagai suatu objek non-fisikal yang terlihat distinct melalui berbagai media baik partitur maupun performance, penjelasan terbaik adalah melalui sisi temporalitas yaitu bagaimana 4‟33” dapat datang dan pergi, bagaimana dapat menjadi berbeda dari yang aslinya, dan bagaimana dapat berubah seiring waktu. 4‟33” sebagai types sekaligus objek non-fisikal merupakan sesuatu yang temporal, fleksibel secara modal, namun berkaitan dengan event-nya, tidak fleksibel secara temporal. 4‟33” tidak fleksibel secara temporal karena performance pertama dari 4‟33” telah sukses dikenang sebagai sejarah, namun 4‟33” fleksibel secara modal. Seperti halnya karya selain 4‟33” yang 37
Dodd, Julian. (2007). Works of Music, an Essay in Ontology. Oxford: Oxford University Press. Hlm: 10. Margolis, Joseph. (1977). The Ontological Peculiarity of Works of Art. The Journal Of Aesthetics and Art Criticism. Vol. 36, No. 1, Autumn, 1977. Hlm: 48.
38
16 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
setiap performance-nya memiliki perbedaan dan tidak ada yang benar-benar sama persis, setiap performance dari 4‟33” juga memiliki perbedaan dan tidak ada yang sama persis. Namun, suara dari karya selain 4‟33” masih dapat dikenali meskipun terdapat perbedaan, sedangkan tidak ada suara khas dari 4‟33” yang membuatnya mudah untuk dikenali. Meskipun suara dari performance 4‟33” tidak mudah dikenali, tetap, poin penting dari 4‟33” adalah performance. Partitur karya musik tentu harus ditampilkan melalui performance, dan seiring perkembangan zaman, hadir lawan dari performance yaitu recording. Recording biasa dilakukan dalam studio yang senyap dan penggandaan recording biasanya dilakukan dengan tujuan komersil. Menurut penulis, recording menandakan bahwa selain repeatability, fenomena instrinsik dari karya musik adalah audibility dan perceptibility. Dengan teknologi recording, bagaikan dinding yang mulus, meskipun tidak ada yang namanya absolute silence, terdapat diam yang begitu bersih dan steril sehingga telinga manusia yang kapasitas jangakuan audible-nya adalah 20 hingga 20.000 Hz tentu tidak mendengar apapun, apabila tidak ada apapun untuk didengar, maka tidak perlu dilakukan recording untuk 4‟33”. 4‟33” bisa saja dilakukan dengan performance karena tentunya terlihat dramatis ketika menyaksikannya secara langsung, namun sulit dipahami bahwa ada yang
mau
melakukan
recording
dari
4‟33”
karena
kurangnya
materi
untuk
memungkinkannya dapat disebut sebagai yang memiliki kualitas audibility dan perceptibility. Peran imajinasi dalam kreatifitas artistik juga berpengaruh dalam penciptaan karya. Imajinasi berkaitan dengan visualisasi benda atau peristiwa yang tidak hadir 39 , seperti misalnya seorang yang kelaparan memikirkan makanan. Imajinasi juga berkaitan dengan membayangkan suara tertentu yang tidak hadir. Misalnya seorang pemusik yang melihat rangkaian not kemudian mendengarkan suara not tersebut tanpa memainkannya pada alat musik sehingga dapat merasakan tekanan di tenggorokan ketika membayangkan nada tinggi dan nada rendah, atau pemusik yang membayangkan not-not yang selanjutnya ketika bermain musik berdasarkan memori. Mengenai 4‟33” terlihat bahwa Cage sebenarnya tidak menciptakan apapun kecuali partitur kosong, atau Cage menciptakan sesuatu yang terlihat baru dari materi yang sebenarnya lama yaitu tanda diam yang diolah sehingga terlihat baru. Namun karena kreativitasnya juga dapat dikatakan meskipun tidak menciptakan apapun dan tidak memproduksi apapun, ia membuat sesuatu dari berbagai suara yang sebenarnya selalu tersedia. Terlihat jelas bahwa peran seniman berkaitan erat dengan karya seninya. Meskipun 39
Gracyk, Theodore dan, Kania, Andrew. (ed.) (2011). The Routledge Companion to Philosophy and Music. New York: Routledge. Hlm:113.
17 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
4‟33” tidak dapat ditafsirkan sebagai musik, 4‟33” dapat ditafsirkan sebagai karya seni meskipun Cage tidak benar-benar membuatnya. Faktanya ia hanya memiliki ide kreatif, memilih waktu, judul karya, dan tempat. Maka, dapat dikatakan bahwa seorang seniman bisa saja menciptakan jenis karya baru tanpa sekaligus membuatnya.
E. KESIMPULAN Musik mungkin tidak dapat benar-benar dimengerti secara penuh. Theodor Adorno mengatakan bahwa seseorang bahkan dapat berpikir bahwa semua karya seni yang sebenarbenarnya dijiwai oleh karakter enigmatik yang tidak akan membiarkan dirinya untuk dimengerti secara penuh.40 Meskipun demikian, pemusik, pecinta musik, dan para filsuf tentu berupaya untuk memahami musik dengan lebih baik. Seperti yang telah dibahas, musik terdiri dari nada, tangganada, birama, nilai not, tanda diam, harmoni, melodi, irama, dinamika, kalimat, artikulasi, struktur, tekstur, pola, dsb. Secara universal, musik di seluruh dunia setidaknya terdiri dari nada atau irama. Meninjau segala pendekatan mengenai musik secara filosofis, penulis menyimpulkan bahwa musik adalah organized sound, sesuatu dapat disebut sebagai musik jika terdapat bunyi atau suara yang diproduksi dan diorganisir, baik yang memiliki ciri musikal maupun yang didengarkan untuk mendapati ciri-ciri musikal. Status ontologis musik merupakan persoalan yang tidak kalah enigmatik. Meskipun musik terasa nyata, keberadaan musik secara menarik sekaligus dilematis berada pada tataran mental dan fisikal. Musik merupakan Universal Aristotelian, dalam artian musik merupakan entitas abstrak yang keberadaannya bertambat pada dunia nyata yang memerlukan mediasi dari performance, partitur, dan event konkrit agar dapat dipersepsi oleh seseorang, dan agar tetap memiliki keberadaan. Suatu karya musik merupakan partikular abstrak yang tidak dapat dialami seseorang kecuali terdapat instances konkrit darinya, dan setiap karya musik dapat diindividuasi dari karya lainnya. Musik dapat diciptakan, serta dapat dihancurkan apabila tidak ada lagi instances konkrit maupun memori mengenainya yang tersisa. Dikotomi type dan token dalam karya musik saling berkaitan dan membutuhkan. Hingga saat ini, seseorang masih dapat menikmati berbagai tokens dari berbagai types sejumlah karya musik yang telah ada sejak berabad-abad lalu karena karakteristik types yang merupakan jenis partikular abstrak yang dapat digandakan, dan tokens yang merupakan penggandaan partikular dari types. Namun demikian, 4‟33” sebagai bagian dari avant-garde merupakan jenis type unik yang tidak memiliki token, kalaupun ada tiruannya, hal tersebut hanya dapat disebut sebagai 40
Adorno, Theodore. 1997. Aesthetic Theory. New York: Continuum. Hlm: 184.
18 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
reproduksi, selain itu keberadaannya juga dapat dilihat sebagai event penting yang telah terjadi. Beberapa pemikir musikal seperti Cage mungkin berpikir bahwa pernyataan musikalnya merupakan alat untuk memenuhi tujuan estetis yang menyimpang dari apa yang umumnya dianggap normal. 4‟33” sebagai bagian fenomena era avant-garde khususnya avant-gardism memiliki kualitas artistik yang minimal, dan daya kejut di dalamnya dipandang sebagai hal maksimal karena saat kualitas artistik begitu minim untuk melibatkan sisi estetis audiens, audiens pun terdorong pada sisi kognitif untuk berupaya memahami karya dengan kualitas minimalis melalui berbagai gagasan yang menggugah. Perkembangan avant-gardism membantu menggiring sekelompok orang yang berpengaruh di artworld untuk bertoleransi dan berspekulasi dengan canggih saat berhadapan dengan berbagai keanehan karya sehingga kemudian dapat memproklamirkannya sebagai seni. 4‟33” merupakan karya seni yang menarik. Memang mudah untuk mengatakan bahwa sesuatu dapat disebut sebagai musik meskipun tidak memiliki ciri musik sama sekali, namun hal tersebut mirip seperti memaksakan untuk menyebut tas sebagai telepon yang jelas-jelas keduanya merupakan hal berbeda. Cage dapat dikatakan sebagai salah satu seniman yang paling berpengaruh pada abad ke-20 yang senang untuk mengejutkan publik dengan karyanya. Cage tentu memiliki gagasan puitis mengenai musik. Meskipun demikian, tentu terdapat perbedaan antara melakukan musik dan berbicara mengenai musik. Musik merupakan kegiatan yang berhubungan dengan bunyi. Daya tarik utama dalam musik adalah adanya sesuatu untuk didengar darinya. Cage mungkin memiliki intensi musikal dengan 4‟33”, namun dapat dikatakan bahwa Cage tidak memproduksi suara apapun dengan karya 4‟33” yang „kosong‟. Selain itu, sebuah karya memerlukan batas untuk dapat dikenali, dan 4‟33” tidak memiliki hal tersebut. Notasi 4‟33” tidak terlihat seperti notasi sama sekali dan lebih terlihat seperti salah satu dari rangkaian lukisan White Painting Rauschenberg. Performance dari 4‟33” pun bukan merupakan pertunjukkan musik melainkan merupakan pertunjukkan konseptual dan teatrikal yang berisi gagasan mengenai musik. 4‟33” memang merupakan karya mengenai musik karena terdapat gagasan mengenai musik didalamnya yang terinspirasi oleh Zen Buddhism dan dipadukan dengan semangat avant-garde untuk menantang konsepsi musik sebelumnya, namun demikian, tidak ada kecukupan segi musikal mendasar dalam 4‟33”, sehingga 4‟33” bukan merupakan karya musik. Ada sebuah kutipan terkenal dari Gustav Mahler yang mengatakan bahwa “In the theatrical works we love and admire the most, the ending of the drama generally takes place
19 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013
offstage.” Meskipun 4‟33” bukan merupakan karya musik, seseorang masih dapat menemukan konsep dramatis dan makna musikal darinya.
F. KEPUSTAKAAN Buku Adorno, Theodore. 1997. Aesthetic Theory. New York: Continuum. Bakker, Anton. (1990). Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Cage, John. (1961). Silence: Lectures and Writings. Hanover: Wesleyan University Press. Dauenhauer, Bernard P. (1980). Silence, the Phenomenon and its Ontological Significance. Bloomington: Indiana University Press. Dhammananda, K. Sri. (1964). What Buddhists Believe. Buddhist Mission Society of Malaysia. Dodd, Julian. (2007). Works of Music, an Essay in Ontology. Oxford: Oxford University Press. Eaton, Marcia M. (2010). Persoalan-Persoalan Dasar Estetika. (terj. Ekosiwi, Embun K.). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Gracyk, Theodore, dan Kania, Andrew. (ed.) (2011). The Routledge Companion to Philosophy and Music. New York: Routledge. Graham, Gordon. (1997). Philosophy of the Arts. London: Routledge. Rader, Melvin (ed.). (1971). Modern Book of Aesthetics. New York: Holt,Rinehart & Winston. Scheunemann, Dietrich, (ed.). 2005. Avant-Garde Critical Studies. Amsterdam: Rodopi. Serres, Michel. (1982). The Parasite. London: The Johns Hopkins University Press. Sim, Stuart. (2007). Manifesto for Silence. Edinburgh: Edinburgh University Press. Wittgenstein, Ludwig. (1992). Tractatus Logico-Philosophicus. London: Routledge. Jurnal Dickie, George. (1969). Defining Art. American Philosophical Quarterly, vol.6, no.3. Margolis, Joseph. (1977). The Ontological Peculiarity of Works of Art. The Journal Of Aesthetics and Art Criticism. Vol. 36, No. 1, Autumn, 1977. Lain-Lain Mazo, Joseph H. Cage conversation with Joseph H. Mazo (1983). 1988. in Kostelanetz. Hlm: 23 dalam Solomon, Larry, J. (1998). The Sounds of Silence. http://solomonsmusic.net/4min33se.htm (25/02/13) Lechte, John. (1994). Michel Serres. Universitat de València Press. http://www.uv.es/~fores/AcosoTextual/serresbio.html (25/02/13) Duckworth, William. (1995). Cage conversation with William Duckworth. Duckworth. Hlm: 13-15. Diunduh dari http://solomonsmusic.net/4min33se.htm, 25/02/13. Low, Lisa. Cage conversation with Lisa Low (1985). 1988. in Kostelanetz. Hlm: 45. Diunduh dari http://solomonsmusic.net/4min33se.htm, 25/02/13.
20 Apa itu..., Karina Andjani, FIB UI, 2013