BAB I PENDAHULUAN Ada beberapa hierarki di dalam kitab-kitab hadits yang disepakati oleh ulama-ulama hadits, yaitu al-Kutub at-Tis‘ah, al-Kutub at-Thamaniyah, dan al-Kutub as-Sab‘ah, serta al-Kutub as-Sittah yang menjadi bahasan dalam kajian ini.1 Pada awalnya ulama hadits membuat hierarki al-Kutub as-Tis‘ah sebagai hierarki kitab-kitab hadits. Seiring dengan penelitian yang dilakukan ulama-ulama hadits yang didasarkan pada kualitas, susunan (metodologi) dan spesifikasi matan hadits, terjadi penyeleksian kitab-kitab hadits berdasarkan kriteria di atas. Lima kitab hadits yang dikenal sebagai al-Kutub al-Khamsah dianggap sebagai kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan utama dalam fiqh.2 Akan tetapi, Sunan Ibn Mâjah dimasukkan ke dalam kategori kitab-kitab hadits utama (al-Kutub as-Sittah) karena ada beberapa matan hadits yang hanya terdapat di dalamnya.3 Karena itu, Sunan Ibn Mâjah disebut dengan zawa’id dianggap bisa melengkapi materi hadits yang tidak terakomodir dalam kitab-kitab hadits lainnya.4 Kitab-kitab hadits lainnya tidak dimasukkan ke dalam kategori kitab-kitab hadits rujukan utama di dalam fiqh. Metode penyusunan al-Kutub as-Sittah dinilai memiliki kekhususan. Al-Kutub as-Sittah dinilai sebagian besar ulama mewakili seluruh hadits Nabi Muhammad Saw. yang dapat diamalkan. Selain itu, kitab hadits selain al-Kutub as-Sittah dipandang memuat banyak hadits yang mawquf dan dha‘îf.5 Perkembangan hierarki kitab-kitab hadits puncaknya terjadi pada abad ke-2 H dan ke-3 H tatkala ulama menjadikan al-Kutub as-Sittah sebagai kitab-kitab hadits utama.6 Di sisi lain, sebagian besar kitab-kitab hadits di luar al-Kutub as-Sittah disusun di kemudian hari terutama sampai akhir abad ke-4 H. Salah satu metode ulama-ulama hadits dalam menentukan kualitas suatu kitab hadits adalah dengan mempertimbangkan jarak terdekat dengan masa Nabi.7 Kecenderungan menggunakan standar al-Kutub asSittah di kalangan ulama bukan tanpa alasan. Ia dianggap memiliki keutamaan yang lebih tinggi dibandingkan menggunakan hierarki kitab-kitab hadits lainnya. Dalam buku ini, penulis lebih memilih istilah al-Kutub as-Sittah daripada istilah lainnya. Selain memiliki legalitas yang lebih tinggi, hadits-hadits sahîh yang terdapat di dalam kitab-kitab lainnya telah terwakili dalam al-Kutub as-Sittah.8 Sejarah tashrî‘ hukum Islam dalam memandang hadits sebagai sumber istinbâth hukum mengarah pada dua corak pemikiran, yaitu ahli hadits dan ahli ra’yi. Ahli hadits berpendapat bahwa hadits merupakan bayân al-Qur'an yang cenderung lebih mengutamakan lafaz nas hadits daripada mencari ‘illat, yang mendasari munculnya lafaz tersebut. Menurut ahli ra’yi, hukum syariah secara makna harus bisa dicerna oleh akal.9 Karena itu, apabila suatu lafaz nas kurang jelas secara makna maka harus digunakan instrumeninstrumen yang ada dalam fiqh; qiyas dan ijma.‘10 Hal ini merupakan metode yang disepakati oleh mayoritas ulama fiqh. Namun, dalam perkembangannya ada beberapa metode ijtihad yang membedakan antara satu ulama fiqh dan ulama yang lainnya, seperti metode istihsân Imam Abu Hanifah, metode istishâb Imam Syafi‘i, dan metode maslahah Imam Malik.11 Menurut Khudari Bek, hal-hal yang menjadi faktor stagnasi berijtihad atau munculnya taqlid adalah masalah politik terutama setelah kejatuhan kota Baghdad oleh Hulagu Khan (Mongol) tahun 656 H. Meskipun hal tersebut dapat dibantah dengan bukti masih tegaknya kerajaan besar Islam lainnya yang juga melahirkan ulama besar. Misalnya Kerajaan Mamluk yang berperan besar dalam mempertahankan wilayah Islam dari serangan pihak luar terutama pasukan Salib. Walaupun Dinasti Abbasiah secara de facto meredup, kerajaan-kerajaan Islam lainnya tetap bertahan sebagai simbol persatuan umat Islam.12 Munculnya semangat sektarian dari berbagai bangsa di kalangan umat Islam disebabkan oleh tidak adanya simbol pemersatu seperti pada masa Dinasti Abbasiah. Komunikasi di antara ulama di dunia Islam sering digambarkan dengan mengadakan rihlah dalam rangka mematangkan ilmu dan tukar-menukar informasi di bidang keilmuan, seperti halnya Imam Syafi‘i yang menghasilkan qawl jadîd sebagai revisi atas pendapatnya yang terdahulu di dalam kitab al-‘Umm (abad ke-2 H).13 Kemudian terputusnya hubungan
1
antara umat Islam dan kitab-kitab utama ulama klasik. Hal ini disebabkan oleh penaklukkan bangsa Mongol yang berdampak negatif bagi perkembangan ilmu pengetahuan, yang membakar buku-buku klasik dalam jumlah besar. Hal itu membuat hubungan dengan karya-karya ulama klasik menjadi kurang bersinambungan. Banyak ulama berikutnya hanya melakukan ikhtisâr terhadap karya-karya klasik yang tersisa, karena kurangnya karya-karya pembanding akibat pembakaran tersebut.14 Al-Jabiri menyebut salah satu penyebab stagnasi berpikir tersebut adalah pola pemikiran Islam Mashriqî (Timur) yang cenderung mendekatkan dan melibatkan diri pada kekuasaan. Akibatnya, corak pemikiran yang berkembang saat itu mengambarkan warna pemikiran kekuasaan, seperti yang terkenal dalam peristiwa mihnah.15 Apabila tidak mendapat dukungan dari penguasa maka sulit sekali untuk berkembang, dan dengan demikian corak pemikiran Islam Mashriqî kurang membumi. Hal ini berbeda dengan corak pemikiran Islam Magribî (Andalusia) yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan agar lebih bebas dalam berijtihad, dan terbukti memberi pengaruh besar dalam kebangkitan ilmu pengetahuan (renaisans) di Eropa.16 Di samping itu, berkembang juga pendapat yang menyatakan bahwa sebagian fuqaha memandang hasil ijtihad yang dilakukan oleh imam-imam mazhab wajib diikuti, seperti halnya nas yang tidak bisa berubah. Hal tersebut membuat fuqaha tersebut tidak maksimal mengembangkan ijtihadnya.17 Pasca berakhirnya generasi sahabat tahun 99 H yang dianggap sebagai generasi awal pewarta hadits, generasi pertama abad ke-1 H, di antaranya Umar ibn Abdul Aziz, Ibn Sirin, dan Hasan Basri, dianggap sebagai generasi yang berusaha untuk membukukan hadits. Generasi ini mendapat keuntungan yang besar karena mereka langsung belajar pada generasi sahabat. Dampak dari usaha kodifikasi hadits tersebut berpengaruh terhadap bidang fiqh, yang ditandai oleh lahirnya imam-imam mazhab abad ke-2 H dengan karya-karya monumentalnya. Akan tetapi, hal tersebut mendapat penghormatan yang berlebihan dari generasigenerasi selanjutnya sehingga kurang bersemangat lagi untuk berijtihad.18 Ada juga yang berpendapat penyebab stagnasi berijtihad di dalam fiqh dimulai setelah dilakukan kodifikasi terhadap kitab-kitab fiqh yang dilakukan oleh imam-imam mazhab. Harus diakui hal tersebut memiliki dampak positif untuk memudahkan umat Islam dalam mempelajari fiqh. Akan tetapi, hal itu juga memiliki dampak negatif karena setelah kodifikasi tersebut umat Islam merasa tidak perlu lagi berijtihad. Masalahnya adalah apakah taqlid atau kejumudan hanya disebabkan oleh faktor-faktor tersebut di atas? Menurut penulis ada satu hal yang selama ini kurang mendapat perhatian dari kalangan akademisi maupun ilmuwan, yaitu faktor otoritas hierarki al-Kutub as-Sittah yang sangat kuat.19 Pasca mapannya hierarki kitab-kitab hadits abad ke-4 H, hampir tidak ada lagi mujtahid-mujtahid mutlak yang muncul yang selevel dengan imam-imam mazhab. Abad tersebut dipandang sebagai awal tertutupnya pintu ijtihad dalam Islam.20 Fakta di atas menggambarkan adanya korelasi yang cukup kuat antara kodifikasi kitab-kitab hadits dan munculnya mujtahid mutlak. Hierarki al-Kutub as-Sittah terdiri dari Sahîh al-Bukhârî (194 H), Sahîh Muslim (206 H), Sunan Abî Dâwud (224 H), Sunan al-Nasâ’î (215 H), Sunan al-Tarmidhî (279 H), dan Sunan Ibn Mâjah (273 H), dan legalitasnya mulai diakui di kalangan ulama abad ke-4 H.21 Hierarki ini awalnya berfungsi untuk menyeleksi hadits-hadits yang dikategorikan sahîh dan tidak sahîh. Namun dalam perjalanannya justru menjadi penghambat perkembangan ijtihad terutama di kalangan ulama fiqh.22 Otoritas yang begitu besar dari hierarki tersebut memengaruhi kreativitas ulama dalam menetapkan suatu hukum. Bandingkan misalnya dengan kitab fiqh sebelum terbentuknya legalitas formal al-Kutub as-Sittah sebelum abad ke-4 H, yaitu misalnya al-Risâlah dan al-‘Umm (Imam Syafi‘i), al-Mabsûth (Imam Abu Hanifah), dan al-Muwaththa’ (Imam Malik). Kitab-kitab ini menjadi referensi utama dalam kajian fiqh, sehingga hampir bisa dipastikan seseorang yang mendalami fiqh mengetahui kitab-kitab utama tersebut. Hierarki al-Kutub as-Sittah yang menjadikan kitab Sahîh al-Bukhârî (194 H) sebagai ikon cenderung berorientasi fiqh, sehingga Ibn Hajar menyebut kitab tersebut sebagai al-Fiqh al-Bukhârî fî Tarâjumih.23
2
Kitab tersebut tampaknya lebih mengutamakan hadits-hadits yang berdimensi ibadah wajib. Ternyata hal itu memberikan kontribusi yang kurang baik bagi perkembangan keilmiahan pada masa-masa berikutnya. Ditambah lagi adanya kecurigaan intervensi dari penguasa terutama dari Dinasti Umayyah yang sangat berkepentingan untuk mengamankan dinastinya yang awalnya dianggap illegal. Karena Muawiyah menyadari tingkat acceptability dirinya kalah dibandingkan Ali ibn Abi Talib, maka ia membutuhkan sosok sahabat yang dapat mengimbangi reputasi Ali.24 Maka dipilihlah Ibn Umar karena dinilai sebagai figur yang diterima di kalangan sahabat, selain posisinya yang netral dalam pertikaian politik antara Ali dan dirinya. Sahabat-sahabat yang netral tersebut dipandang Muawiyah sebagai pihak yang bisa memperkuat legitimasinya. Ibn Umar yang juga dianggap sebagai rijâl al-hadîth paling diakui ke-tsiqahannya oleh ulama-ulama hadits, dijadikan ikon sahabat yang sengaja diciptakan oleh Dinasti Umayyah. Dinasti ini menampilkan sosok Ibn Umar yang bersahaja dalam meniru tindakan Nabi, cara berjalan, sampai hal-hal kecil yang dilakukan oleh Nabi. Kesederhanaan Ibn Umar serta sikapnya yang tidak mau terlibat dalam politik praktis membuatnya sebagai sosok utama yang dijadikan rujukan dalam meriwayatkan hadits. Di samping itu, kentalnya nuansa politik dalam penyusunan hierarki al-Kutub asSittah dibuktikan dengan minimnya hadits-hadits riwayat Ali ibn Abi Thalib, Ja’far ibn Abi Thalib atau Hasan ibn Ali yang dimasukkan ke dalam al-Kutub as-Sittah.25 Legalitas formal al-Kutub as-Sittah terjadi tidak secara simultan, tetapi bermetamorfosis yang mencapai bentuknya pada awal abad ke-4 H. Karena itu, susunan hierarki kitab-kitab hadits dapat dipolakan menjadi empat bentuk penulisan hadits, yaitu sunan, musannaf, jâmi,‘ dan musnad. Tiga model pertama sangat berpola fiqh, yang menandakan kuatnya pengaruh fiqh ketika itu. 26 Karena itu, susunan hierarki dari al-Kutub as-Sittah bukan menjadi hal yang qath‘î yang tidak boleh diganggu gugat. Pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, usaha kodifikasi hadits yang dilakukan di awal abad ke-2 H adalah dengan mengangkat ulama hadits terkenal pada masa itu, yaitu Ibn Shihab al-Zuhri.27 Dalam menginventarisir hadits, terdapat makna tersendiri bagi perkembangan hadits selanjutnya. Hadits menjadi sumber hukum kedua yang fungsinya sebagai bayân wahyu Allah. Sebelum kodifikasi hadits, yang eksis dalam masyarakat muslim adalah sunnah,28 dalam arti apa yang diamalkan umat Islam berasal dari Nabi. Besarnya magnet Nabi sebagai pemilik otoritas nas membuat sunnah terpelihara dan dipraktikkan oleh sahabat dan umat Islam. Semenara usaha kodifikasi hadits mengharuskan adanya seleksi terhadap sunnah berdasarkan kriteria yang dibuat oleh ulama-ulama hadits. Atas dasar inilah seorang orientalis Joseph Schacht mengatakan bahwa tidak ada hadits yang benar-benar asli berasal dari Nabi, kecuali sedikit.29 Klaim Schacht di atas mendapat respons dari ilmuan-ilmuan muslim, di antaranya Fazlur Rahman,30 Muhammad Hamidullah,31 Fuat Sezgin,32 dan Muhammad Mustafa al-Azami.33 Schacht keliru karena menurut mereka masyarakat Islam awal dalam mempraktikkan sunnah Nabi tidak hanya berdasarkan tulisan, tetapi yang lebih penting juga didasarkan pada tradisi Nabi yang sudah menyatu dengan kehidupan mereka. Figur Nabi menjadi magnet yang luar biasa bagi masyarakat muslim yang semasa dengan Nabi. Karena itu, tradisi (sunnah) sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari mereka. Tujuan kodifikasi hadits adalah untuk menghimpun hadits-hadits Nabi yang berserakan di banyak negara di kawasan Jazirah Arab. Tersebarnya para sahabat dalam berdakwah membuat usaha pengumpulan hadits menjadi lebih rumit dan sekaligus menjadi entry point bagi ulama-ulama hadits berikutnya untuk menyeleksi. Kodifikasi dipandang urgen untuk memelihara hadits Nabi agar tetap eksis dan dapat dipahami pada masa-masa selanjutnya. Kodifikasi di awal abad ke-2 H menjadi rujukan utama ulama-ulama hadits abad ke-3 H untuk memverifikasi data hadits yang sudah dikumpulkan. Masingmasing ulama membuat metodologi tersendiri untuk menentukan validitas suatu hadits.
3
Masalahnya, selama ini metodologi yang dibuat oleh ulama-ulama hadits abad ke-3 H hingga saat ini dipandang sebagai metode yang memiliki otoritas.34 Hal itu dianggap baku dan tidak dapat diganggu gugat. Itu juga diasumsikan membuat kajian-kajian ilmiah keislaman yang dilakukan oleh akademisi muslim sulit berkembang. Di antara mereka banyak yang sengaja membelenggu diri terhadap sesuatu yang dianggap kultus. Akibatnya, respons al-Qur’an maupun hadits terhadap persoalan-persoalan sosial umat Islam tampak kaku dan rigid.35 Metode dalam menentukan hierarki hadits vertikal bisa jadi cocok dalam kurun waktu tertentu, tetapi belum tentu relevan di waktu yang lain dalam konteks kekinian. Imam al-Bukhari, misalnya, membuat suatu kriteria hadits yang boleh ada di dalam kitabnya adalah adanya perjumpaan antara guru dan murid.36 Kriteria tersebut dipandang paling sahîh oleh kebanyakan ulama-ulama hadits pada masanya, atau beberapa abad setelahnya. Kitab Sahîh al-Bukhârî dipandang sebagai kitab hadits yang berwajah fiqh karena di dalamnya memuat hadits-hadits berdasarkan tema-tema yang dikenal dalam fiqh. Tidak mengherankan setelah imam-imam mazhab, seperti Imam Syafi‘i dengan kitab al-Risâlah-nya, hampir tidak ditemukan lagi sesuatu yang orisinil dalam sistematika hukum Islam yang didasarkan pada nas. Hal tersebut disebabkan oleh terbentuknya kodifikasi kitab hadits yang hierarkis pasca imam-imam. Hierarki ini membuat ulama kesulitan dalam merumuskan formulasi baru hukum Islam. Padahal bila diteliti lebih seksama, sebenarnya kitab-kitab hadits memiliki kluster hukum dan kekhasan tersendiri. Adalah benar bila dikatakan kitab Sahîh al-Bukhârî sangat valid membahas masalah ibadah mahdhah (khusus), tetapi hampir tidak ada di luar urusan ibadah, seperti soal suksesi kepemimpinan. Hal inilah yang membuat asumsi bahwa penempatan kitab Sahîh al-Bukhârî sebagai kitab hadits utama pada awal kodifikasi sangat bias politik.37 Munculnya Dinasti Umayyah dianggap illegal dan dituding sebagai faktor perpecahan umat Islam, terutama dengan munculnya Islam Sunni dan Syiah, dan munculnya kelompok-kelompok teologi dalam Islam.38 Karena itu, dinasti ini perlu legitimasi umat Islam, dan klasifikasi hierarki kitab hadits yang menempatkan Sahîh al-Bukharî dan Sahîh Muslim sebagai kitab utama dipandang sarat muatan political interest. Kedua kitab ini dari segi isinya memuat masalah-masalah ibadah rukun iman dan rukun Islam. Hal ini bertujuan agar umat Islam lebih fokus pada masalah-masalah ibadah, ketimbang turut campur masalah kekuasaan (Dinasti Umayyah). Sebaliknya, kitab-kitab hadits selain Sahîh al-Bukhâri dan Sahîh Muslim, yang sebenarnya menghimpun matan hadits yang mengandung muatan sosial, ekonomi, dan politik, ditempatkan pada level lebih rendah. Buku ini tidak bermaksud mempertanyakan eksistensi hadits, sebagai sumber hukum setelah alQur’an, tetapi untuk menghargai hadits yang berasal dari sumber yang sama agar diperlakukan secara sama. Artinya, hierarki kitab-kitab hadits terutama al-Kutub as-Sittah dapat diperlakukan tanpa perbedaan secara otoritas antara kitab yang satu dan yang lainnya. Dengan demikian, tidak ada perbedaan kelas antara Sahîh al-Bukhâri dan Sunan Abu Dawud, Sunan Ibn Mâjah, dll.39 Kenyataannya, dengan hierarki vertikal tersebut, banyak ulama kesulitan dalam mengembangkan ijtihadnya. Akibatnya, pascakodifikasi banyak permasalahan umat tidak relevan diselesaikan dengan hadits shaikhâni, tetapi ditemukan jawabannya di dalam kitab-kitab yang level otoritasnya lebih lemah.40 Oleh karena itu, sudah saatnya para ulama meninggalkan hierarki kitab hadits dan menghilangkan dikhotomi hadits Sunni dan Syi‘ah, karena semua hadits sama-sama berasal dari Nabi.41 Lagi pula hierarki tersebut sama-sama tidak memiliki otoritas absolut, karena pada awalnya setiap ulama memiliki hierarki tersendiri dalam menentukan kitab-kitab hadits. Adanya larangan menulis hadits tidak hanya berlaku pada masa Nabi, tetapi juga sampai pada masa sahabat, seperti yang terjadi pada masa Umar ibn al-Khattab.42 Setelah menaklukkan Irak, khususnya Kufah, telah ada usaha-usaha untuk menuliskan lafaz hadits, namun wilayah Irak yang cukup jauh dari
4
Madinah dikhawatirkan dapat mencampurkan al-Qur'an dengan hadits.43 Tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, ada beberapa sahabat yang memiliki catatan sendiri tentang hadits-hadits tertentu. Selama ini metode isnâd44 yang dilakukan oleh para ulama abad ke-3 H diyakini sudah baku. Padahal bila dicermati, matan hadits yang dipandang sahîh terkadang kurang memenuhi aspek keadilan maupun akal sehat. Misalnya penyebarluasan hadits yang mempertanyakan keislaman Abu Thalib di satu sisi, tetapi tidak ada hadits yang mengeskpos sepak terjang Abu Sufyan, ayah Muawiyah, yang menentang Nabi Saw. dan sahabat ketika mendakwahkan Islam, di lain sisi. Abu Rayyah seorang peneliti hadits yang sering dituduh sebagai inkarussunnah mempertanyakan kredibilitas seorang Abu Hurairah, padahal dia sangat mengakui hadits Nabi sebagai rujukan utama setelah al-Qur’an. Tujuan Abu Rayyah adalah kemurnian hadits itu sendiri, karena baginya tidak semua sahabat itu adil. Jika demikian halnya maka otomatis berarti menyamakan kedudukan mereka dengan Nabi.45 Abu Hurairah juga dikritik karena tidak meriwayatkan hadits ketika pada masa Khalifah Abu Bakr dan Umar, padahal keduanya dikenal sangat keras dan selektif dalam menerima hadits yang tidak didengarnya. Bahkan sahabat-sahabat yang dikenal kewara’annya diminta bersumpah dan membawakan saksi ketika meriwayatkan hadits, seperti yang dialami Ali ibn Abi Talib dan Abu Musa ketika meriwayatkan hadits. Utsman juga pernah melarang seseorang meriwayatkan hadits yang tidak diriwayatkan pada masa Khalifah Abu Bakr dan Umar.46 Fatima Mernisi juga mengkritik hadits-hadits yang bersumber dari Abu Hurairah yang terkenal misoginis, sesuatu yang bertolak belakang dengan pandangan dan perilaku Nabi. Karena itu, Mernisi mengajukan hadits pembanding dari Aisyah yang matan-matannya berkaitan dengan perempuan.47 Fiqh tidak dapat dipisahkan dari hadits. Karena itu, Wael B. Hallaq mengatakan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dengan ijtihad-ijtihad baru dari ulama sepanjang zaman.48 Hal ini dibantah oleh Calder yang menyatakan sejak abad ke- 10 sampai abad ke-19 sama sekali tidak ada hukum Islam yang orisinal lahir dari metodologi ulama dan menggunakan sumber-sumber Islam.49 Karena itu, menurutnya hukum Islam selama sembilan abad hanya mengadopsi hukum-hukum dari luar, paling tidak hanya berkutat pada masalah-masalah yang sudah dibahas ulama-ulama sebelum abad ke-5 H. Produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ulama stagnan ditandai setelah Imam Syafi‘i dengan al-Risâlah sangat sulit menemukan karya-karya ulama fiqh yang original. Hal ini dapat dilihat dari usaha qanûn pada masa Turki Utsmani dengan mengimpor produk-produk hukum perdagangan dari Perancis kemudian diberi label dalam bahasa Arab lalu umat Islam menganggapnya sebagai hukum Islam. Berbeda dengan Calder, Hallaq lebih memahami bahwa hukum Islam itu bersifat dinamis dan berevolusi, artinya dia memahami hukum Islam merupakan produk hukum yang dipraktikkan sehari-hari dan dilegitimasi dengan ulama-ulama yang memiliki otoritas. Yang dimaksud ulama yang memiliki otoritas di sini ialah fatwa-fatwa ulama yang membahas masalah-masalah fur‘iyyah. Kemudian fatwa tersebut dipraktikkan dalam komunitas masyarakat yang lebih besar, dengan mendapatkan dukungan dari ulamaulama sezamannya.50 Walaupun Coulson menolak fatwa-fatwa individu setelah abad ke-5 H karena tidak memiliki otoritas keilmuan dan lebih condong pada fatwa yang bersifat komunal.51 Bagi Hallaq, menunggu fatwa secara komunal akan memakan waktu yang lama, sementara perubahan permasalahan sosial sangat cepat dan perlu direspons dengan fatwa furu‘. Jika dicermati tuduhan Calder bahwa ijtihad dalam hukum Islam telah tertutup ada benarnya juga di satu sisi bila merujuk pada kenyataan dalam konstalasi ijtihad ulama yang sampai saat ini hanya melakukan proses Islamisasi terhadap produk-produk hukum yang ada. Hallaq juga mengakui secara tersirat bahwa perubahan hukum Islam itu berevolusi dengan usaha yang dilakukan oleh ulama-ulama kontemporer dengan fatwa furu‘, pada awalnya hanya usaha labelisasi keislaman. Ulama kontemporer mengakui sulit keluar dari lingkaran kejumudan yang ada selama ini. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah
5
dengan labelisasi keislaman atau meminjam istilah Ismail al-Faruqi dan Naqib Alatas “Islamisasi ilmu pengetahuan.” Ketika sumber daya sudah memenuhi maka ulama akan menemukan ijtihad yang orisinal dalam menjawab persoalan di masyarakat. Itu sebabnya Hallaq menggunakan terminologi evolusi dalam hukum Islam, sebab tidak mungkin melakukan revolusi hukum jika bahan-bahan dari revolusi itu berasal dari racikan luar (Barat). Bukan berarti pula penulis mengakui pendapat Joseph Schacht yang mengatakan terbentuknya hukum Islam itu dimulai pada abad ke-3 H. Hal ini disebabkan oleh kodifikasi sunnah menjadi hadits sebenarnya diciptakan pada masa ini sehingga terbentuknya hukum Islam berawal pada abad ke-2 H.52 Schacht memahami dari sisi terbentuknya teks-teks hadits yang kemudian menjadi dasar hukum. Bila demikian, bagaimana pula dengan nabi-nabi dari sejak Nabi Adam sampai Nabi Musa. Mereka tidak menerima wahyu Allah dalam bentuk kitab atau tulisan kecuali sejak Nabi Musa sampai Nabi Muhammad Saw. Konsekuensinya, bila merujuk pendapat Schacht dasar terbentuknya hukum harus merujuk pada sumber yang tertulis berarti nabi-nabi sebelum Nabi Musa as seperti Nabi Nuh as, Ibrahim as, Luth as, dan lain-lain, mereka tidak membawa dan menyebarkan hukum Allah. Salah satu fungsi utama seorang nabi adalah menyampaikan hukum Allah kepada kaumnya masing-masing. Karena manusia mengenal tulisan sejak 3200 SM dengan merujuk umur dari huruf-huruf dinding yang terdapat di dinding piramid (hiroglif),53 pada masa Mesir kuno sezaman dengan Firaun yang menentang ajaran Nabi Musa. Kemungkinan atas dasar ini mengapa Allah menurunkan wahyu pertama kali dalam bentuk kitab/tulisan karena masyarakat pada masa Nabi Musa sudah mengenal tulisan. Alangkah naifnya bila Allah menurunkan wahyu dalam bentuk tulisan kepada masyarakat yang belum mengenal tulisan. Akan tetapi, bukan berarti hukum belum terbentuk pada umat-umat sebelum Nabi Musa ketika tulisan belum ditemukan dan itu mustahil.54 Ulama akan terus mengalami kesulitan dalam menghasilkan produk ijtihad yang orisinil dalam merespons persoalan umat yang kian terus mengalami perkembangan yang luar biasa bila hanya menggunakan pola-pola konvensional. Salah satu hal yang menjadi kelemahan ulama selama ini dalam menghasilkan hasil ijtihad yang original kurang kritis terhadap metodologi ulama klasik dalam memahami al-Qur'an dan hadits.55 Terutama dalam masalah hadits, persoalan utama stagnasi berijtihad hukum di kalangan ulama karena laju perkembangan masyarakat. Hal tersebut tidak sebanding dengan kemampuan ulama untuk menghasilkan ijtihad yang memadai dalam menjawab persoalan zaman. Sering kali tanpa disadari dikhotomi antara masalah agama dan sosial kemasyarakatan terbentuk. Karena pihak ulama yang secara de facto memiliki otoritas diasumsikan tidak memiliki kapasitas dalam memecahkan persoalan yang ada. Kajian fiqh56yang menitikberatkan pada aspek-aspek perilaku mukallaf di masyarakat cenderung bersifat responsif, artinya kajian fiqh bersifat reaktif terhadap perilaku-perilaku masyarakat dengan berlandaskan dalil-dalil nas maupun ijtihad dari ulama. Usul fiqh objek kajiannya menyangkut nas alQur'an dan hadits, yaitu nas digunakan sebagai rekayasa sosial.57 Dengan demikian kajian fiqh dan usul fiqh sebenarnya saling terkait dan melengkapi, akan tetapi kajian fiqh lebih bisa menjelajahi wilayah yang lebih bebas karena berbasis dengan dinamika masyarakat. Masalahnya kajian fiqh yang seharusnya dapat menjangkau segala aspek kehidupan manusia terhalang dengan ketentuan-ketentuan klasik yang lebih mengedepankan hierarki kitab-kitab hadits yang cenderung mengistimewakan aspek-aspek ibadah ritual. Hal tersebut dapat dibuktikan sekian lama umat Islam terbelenggu oleh aturan-aturan yang bersifat adhoc seperti hierarki al-Kutub as-Sittah dianggap sebagai yang sesuatu yang tidak boleh diganggu gugat kalau tidak ingin mengatakan kultus. Kemudian terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang masalah sunnah, yaitu antara sunnah tashrî‘iyyah dan non-tashrî‘iyah.58 Hal itu muncul karena adanya hadits-hadits Nabi Muhammad saw yang menunjukkan bahwa dia juga seperti halnya manusia biasa yang pernah salah. Seperti hadits mengenai
6
peristiwa penyerbukan buah kurma ketika Nabi Muhammad saw menegur perbuatan mereka dalam menyerbuk buah kurma tersebut. Karena ditegur ternyata hasil pertanian kurma mereka menjadi anjlok sehingga mereka mengadukan perihal tersebut kepada Nabi dengan menjawab “kalian lebih tahu dalam urusan dunia.”59 Hadits-hadits yang senada yang menunjukkan sisi kelemahan diri Nabi Muhammad saw sebagai manusia membuat al-Qarâfi membagi peran Nabi Muhammad sebagai rasul, pemimpin atau kepala negara, atau sebagai manusia biasa.60 Besarnya pengaruh hierarki kitab-kitab hadits dapat dilihat betapa berpengalamannya ulama klasik sampai sekarang ketika berbicara masalah ibadah mahdha. Terkadang tata cara ibadah seperti shalat dapat mengindikasikan paham teologi atau untuk kasus di Indonesia (baca: paham organisasi keagamaan). Karena banyaknya pendapat yang dikeluarkan ulama dalam masalah ibadah ritual.61 Akan tetapi, ketika diminta menyelesaikan masalah yang timbul akibat kemajuan zaman dan teknologi kurang sekali bahkan tidak bisa menyelesaikannya. Bagi umat Islam mendapat garansi bahwa Allah dan Nabi Saw. telah menjamin bahwa Islam agama yang sempurna bisa menjawab segala tantangan zaman menjadi semacam sugesti yang tetap tertanam di sanubari umat Islam. Sugesti tersebut membuat berbagai persepsi yang berbeda di antara umat Islam yang diwakili oleh ulama. Ada yang berpaham bahwa di dalam Islam memiliki al-Qur'an dan hadits dapat menjawab segala persoalan umat dengan kondisi saat ini maka mereka sering berapologi kembali kepada hukum Allah, yaitu al-Qur'an dan hadits. Akan tetapi, ketika ditanya tentang cara mengeluarkan intisari nas dalam menjawab tantangan zaman, mereka sering berapologi kembali. Ada juga orang memiliki paham yang lebih realistis dalam memahami keadaan dengan berusaha meminjam metodologi atau prosedur-prosedur keilmiahan dari luar lalu digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan kemasyarakatan. Seperti halnya dalam masalah fiqh dengan melakukan islamisasi, kemudian ada juga berusaha untuk menjawab persoalan umat dengan kemampuan sendiri. Akan tetapi, dalam tataran tertentu mengalami kesulitan karena second liner (garis kedua) atau kalau meminjam istilah ekonomi kelas menengah masyarakat ilmiah di umat Islam belum terbentuk. Hal ini berbeda dengan masyarakat Barat yang memiliki beberapa lapis masyarakat ilmiah yang terhubung dari level atas misalnya dalam Islamic Studies ada Ignez Goldziher,62 Josepht Schacht63 dapat diterjemahkan oleh Noel J. Coulson, John Wansbrough,64 dan disambut oleh Johansen,65 Gibbs,66 serta dijabarkan oleh peneliti-peneliti yang berpusat di universitas-universitas Barat. Jurus pengkafiran,67ingkâr al-Sunnah serta label-label sesat lainnya masih menghantui ilmuanilmuan Muslim, sehingga banyak di antara ilmuan Muslim yang tidak berani untuk melawan arus besar pendapat yang ada. Masyarakat Barat sudah selesai dengan hal ini sepuluh abad yang lalu dengan dihukum matinya Bruno, Capornicus karena menentang dogma gereja.68 Dengan demikian menurut penulis selama jurus-jurus penghambat untuk kemajuan Islam itu dan kalangan internal tidak berusaha untuk menyelesaikannya jangan harap kemajuan keilmiahan dalam masyarakat Muslim akan eksis. Kuatnya otoritas hierarki di dalam kitab-kitab hadits dapat dilihat bahwa ulama-ulama hadits seperti Imam al-Bukhari dan Imam Muslim hampir dianggap setara dengan Nabi yang maksum bagi sebagian umat Islam. Walaupun tidak diucapkan atau ditulis secara jelas, akan tetapi dalam praktiknya kriteriakriteria hadits yang mereka buat dianggap sudah final. Karena itu, tidak perlu lagi diubah bahkan kalau sudah merujuk pada hadits yang diriwayatkan mereka berdua hampir sama qath‘î-nya dengan al-Qur'an. Karena merasa mendapatkan legitimasi kesakralan tetapi hal sama kurang mendapatkan legitimasi bila diriwayatkan dari yang lain. Bila demikian tetap dipelihara maka akan menyulitkan kajian-kajian fiqh untuk berkembang. Karena ada kaedah hukum yang dipakai oleh semua termasuk fiqh Equality before the law persamaan hak di depan hukum. Bagaimana bisa kajian hukum Islam akan berkembang bila memperlakukan kitab-kitab hadits sarat dengan kasta padahal berasal dari sumber yang sama.69 Dalam masalah pengembangan pemahaman hadits ulama terhambat karena kekhawatiran yang muncul bila mereka mempertanyakan baik itu dari segi sanad maupun matan hadits akan disebut inkâr al-
7
Sunnah. Berbeda dengan ulama yang mendalami al-Qur'an mereka agak bebas dalam menginterpretasi isi kandungan al-Qur'an tanpa disebut sebagai inkâr al-Qur'an, karena Al-Qur'an dipandang memiliki otoritas yang tinggi sehingga tidak mungkin ternodai. Akan tetapi, ketika menyangkut dengan hadits terutama alKutub as-Sittah bagi ulama seakan menempatkannya seperti Mushaf Utsmani yang tidak bisa lagi dipertanyakan karena dianggap sebagai hal yang sudah baku.70 Untuk bisa menentukan kriteria kitab hadits yang layak dijadikan hujjah tentunya merujuk pada masa abad ke- 2, 3, dan 4. Ketika usaha keras untuk menghimpun dan mengkodifikasi hadits dilakukan, sekarang waktunya mengonsolidasi sumber daya yang ada agar tidak lagi terjebak pada kooptasi hierarki hadits konvensional karena akan mematikan kreativitas ulama. Hal itu sudah terbukti beberapa abad lamanya kevakuman ijtihad melanda dunia Islam bahkan masih terasa sampai sekarang ini. Imam Syafi‘i atau Imam Abu Hanifah tidak akan mungkin menjadi mujtahid besar sampai sekarang ini jika mereka hidup setelah abad ke-4 H ketika hierarki kitab-kitab hadits sudah mulai terbentuk.71 Karena mereka akan mengalami kesulitan dan terjebak dengan resources hadits yang terbatas akibat hierarki kitab-kitab hadits. Terutama adanya asumsi yang berkembang di kalangan umat Islam dua kitab hadits di puncak hierarki menjadi rujukan utama dan yang paling sahih. Bagi umat Islam otoritas naskah maupun teks memiliki legitimasi tersendiri terutama yang terkait dengan Al-Qur'an dan hadits.72 Beberapa abad setelah kejumudan melanda dunia Islam jalan pintas yang dilakukan oleh pemerintahan Islam. Dengan mengimpor produk-produk pemikiran dari Barat baik itu dari hukum, politik, ekonomi, dan lain-lain kemudian diberi label Islam baik secara formalistik maupun legalistik seperti yang yang terjadi pada masa Kekhalifahan Turki Utsmani.73 Hal itu hanya solusi sesaat karena apabila hal tersebut terus terjadi maka akan terjadi krisis identitas atau kegamangan identitas. Bukankah selama ini umat Islam tidak ada masalah menggunakan resources dari luar bahkan sebagian merasa tenang-tenang saja seperti yang terjadi pada masyarakat Muslim kontemporer. Sumber daya hadits yang begitu banyak menjadi sia-sia akibat sangat tergantung pada kriteria kesahihan suatu hadits yang dibuat ad-hoc.74 Selama ini umat Islam tidak pernah mempertanyakan kesahihan pendapat kalangan luar. Kebanyakan masyarakat muslim menganggap benar pemikiran mereka dengan mengadopsinya berbagai bidang khususnya dalam tataran keilmiahan. Seperti pemikiran konsep pembagian kekuasaan negara yang dilontarkan oleh Montesque tentang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan revolusi masyarakat Arab di awal tahun 2011 yang bermula di Tunisia dengan tumbangnya rezim Ben Ali yang telah memerintah selama 26 tahun menyeberang ke Mesir dengan runtuhnya kekuasaan Husni Mubarak selama 31 tahun. Kemudian berlanjut di Libya yang meruntuhkan kekuasaan Muammar Khadafi yang telah memerintah selama 42 tahun kemudian menyebar ke seluruh negara Arab. Revolusi masyarakat Arab itu ingin memiliki masyarakat yang demokrasi kekuasaan berada di tangan rakyat. klaim tradisi itu hampir tidak mungkin dimiliki dalam sejarah masyarakat Muslim kecuali di Barat adalah tidak benar, padahal sebenarnya telah tumbuh di era awal pemerintahan khulafaurrasyidin. Mereka sudah dianggap mapan dalam berdemokrasi mulai dari masa Romawi dengan konsep senatornya dan mendapat gaung yang mendunia, dengan konsep liberty pasca revolusi Perancis yang menumbangkan rezim Louis XVI. Umat Islam semestinya mengubah paradigmanya tentang hadits. Artinya, kitab hadits Ibn Hibban harus dipandang sama derajatnya dengan kitab Sahîh al-Bukhârî, atau kitab Mu‘jam al-THabrâni harus dipandang selevel dengan kitab Sahîh Muslim,75 serta kitab-kitab hadits yang muktabar lainnya dalam kurun abad ke-2 hingga ke-4 adalah sama derajatnya karena telah melawati verifikasi yang mendalam dari para ulama pengkritik hadits.76 Jika hal ini terjadi maka umat Islam akan memiliki sumber hadits yang memadai sehingga dapat dijadikan statuta hukum yang baku. Bila kitab-kitab hadits tersebut menjadi statuta yang baku maka ulama akan lebih kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan hukum. Ketika telah menjadi statuta maka ia memiliki konsekuensi yang positif karena memiliki legitimasi yang kuat
8
secara legal-formal. Selama ini, minimnya kreativitas dalam rekayasa hukum disebabkan oleh minimnya sumber hukum yang otoritatif. *** Dari deskripsi di atas, masalah utama kajian ini adalah bagaimana hubungan otoritas hierarki alKutub as-Sittah dengan kajian fiqh? Derivasi masalah ini adalah: Kenapa hierarki al-Kutub as-Sittah memiliki otoritas dalam sejarah hukum Islam?; Apa dampaknya terhadap fiqh?; dan, bagaimana implementasi kajian fiqh terhadap kesetaraan dalam kitab-kitab hadits tanpa adanya hierarki? Buku ini bertujuan untuk meneliti sejarah, motivasi, dan bias-bias kekuasaan dalam hal penempatan kitab-kitab hadits tertentu ke dalam suatu kelompok dalam hierarki kitab-kitab hadits yang selama ini kita kenal, agar terdapat pemahaman yang utuh dalam kodifikasi hadits dan dampaknya terhadap ijtihad hukum. Sebab, selama ini sering dicari dan dibuat diagnosa penyebab kemunduran intelektual umat Islam terutama dalam menghasilkan metode ijtihad yang genuin dalam merespons dinamika masyarakat muslim. Kebanyakan diagnosa akademisi dalam menganalisis penyebab stagnasi berijtihad disebabkan oleh ketidakmampuan ulama dalam memunculkan metode baru berijtihad sehingga muncul pemahaman tentang tertutupnya pintu ijtihad. Hal ini mendorong kalangan pembaru agar ijtihad dibuka kembali, yang dimulai oleh M. Abduh awal abad ke-19, dan diteruskan oleh para pembaru berikutnya. Jadi buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menganalisis sejarah lahirnya al-Kutub as-Sittah sehingga menjadi kitab-kitab hadits yang otoritatif. Hal ini penting untuk memetakan wilayahwilayah otoratif nas yang absolut dan wilayah yang hanya memiliki otoritas yang relatif. *** Kajian tentang hubungan hierarki al-Kutub as-Sittah dengan disorientasi berijtihad di dalam fiqh sejauh ini belum penulis temukan dalam literatur-literatur hadits maupun fiqh. Oleh karena itu, penulis mengetengahkan karya-karya yang hanya merepresentasikan hubungan hadits dan hukum Islam. Wael B. Hallaq, dalam karyanya Authority, Continuity, and Change in Islamic law,77 menggambarkan tentang sejarah lahirnya otoritas dalam menetapkan suatu hukum. Ketetapan hukum tersebut menjadi jurisprudensi hukum Islam dari masa ke masa. Ia menyatakan bahwa hukum Islam adalah produk hukum yang terus mengalami evolusi mencari bentuk ideal menurut tempat dan masanya. Artinya, hukum Islam itu dinamis dan tidak pernah berhenti untuk merespons dinamika masyarakat. Hallaq menolak anggapan kalangan orientalis yang mengatakan bahwa ijtihad hukum dalam sejarah Islam telah berhenti sejak abad ke-3 H/ke-10 M setelah dipublikasikannya al-Risâlah karya Imam Syafi‘i. Dalam karyanya yang lain, An Intoduction to Islamic Law,78 Wael B. Hallaq menjelaskan tentang epistemologi syariah serta siapa saja yang boleh memberikan legal opinion atas nama syariah. Dalam buku ini Hallaq juga menggambarkan dinamika hukum Islam dari masa ke masa. Akan tetapi, ia tidak secara spesifik membahas stagnasi berijtihad di kalangan umat Islam. Tampaknya Hallaq menggambarkan peran ideal ulama dalam menginterpretasikan syariah di tengah-tengah masyarakat. Jadi buku ini menggambarkan seakan-akan tidak ada masalah yang terjadi dalam menghasilkan produk-produk ijtihad yang genuin dalam bidang hukum. Dalam karyanya yang lain lagi, From Fatwas to Furû, Growth and Change in Islamic Substantive Law,79 Hallaq menjelaskan konstruksi hukum Islam yang dibangun melalui fatwa-fatwa ulama yang memiliki otoritas sebagai mufti maupun qadi dalam membahas masalah-masalah kasuistik yang terjadi dari masa ke masa. Hallaq membahas produk-produk fatwa yang dikeluarkan oleh mufti dan qâdhi. Terhadap pendapat Hallaq ini, beberapa sarjana Barat mengkritik pernyataan Hallaq tentang dinamisme hukum Islam dari masa ke masa. Salah satu yang terkenal ialah dari mazhab Hanafi Khayr al-Din al-Ramli
9
(1081 H/1671 M) yang oleh Calder dituding sebagai seorang yang taklid terhadap mazhab sehingga tidak layak disebut mujtahid. Kemudian Abu Rayyah dalam karyanya Adhwa ’ala Sunnah wal Muhammadiyah au Difâ‘u ‘ala alHadîth.80 Abu Rayyah adalah seorang ulama Mesir yang difitnah oleh kalangan yang menentang pendapatpendapatnya terutama karena metode kritik matannya. Hadits-hadits yang berasal dari sanad Abu Hurairah dipertanyakan keasliannya serta analisis matan yang terkandung di dalamnya. Dasar Abu Rayyah mengkritik Abu Hurairah didasarkan beberapa hal, di antaranya karena Abu Hurairah yang relatif terlambat masuk Islam. Menurut sumber yang didapatkannya, Abu Hurairah hanya satu tahun Sembilan bulan menemani Nabi, akan tetapi meriwayatkan hadits yang begitu banyak. Terlebih lagi kritik hadits yang diriwayatkannya itu tidak pernah dikatakannya pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar. Dengan kata lain, menurut Abu Rayyah, hadits-hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah tidak mendapatkan verifikasi dari Abu Bakar dan Umar, yang keduanya dikenal selektif menerima hadits. Buku ini menganjurkan kepada akademisi untuk mengkritik matan hadits meskipun dari segi sanad dapat dipertanggungjawabkan. Namun, jika secara matan bertentangan dengan akal sehat dan etika maka hadits tersebut perlu dipertanyakan kualitasnya. Fu’ad Jabali dalam karyanya, A Study of the Companions of the Prophet: Geographical Distribution and Political Alignments,81 membahas persebaran para sahabat ke berbagai wilayah yang memengaruhi persebaran hadits serta politik yang menyertai persebaran tersebut. Fu’ad Jabali menyoroti motivasimotivasi politik yang terjadi di awal-awal Islam serta peran sahabat dalam masyarakat di wilayah-wilayah tempat mereka menetap. Harald Motzki dalam karyanya Author and His Work in Islamic Literature of the First Centuries: the Case of Abd al-Razzâq’s Mucannaf. Ia adalah salah seorang pemerhati hadits yang sekarang menetap di Frankfurt. Hal yang berkaitan lahirnya hukum Islam pada awal abad ke-2 H dengan munculnya kodifikasi hadits. Bukti adanya manuskrip tentang hukum Islam semasa Nabi Muhammad membantah argumen yang dibangun oleh Joseph Schacht dan pendukungnya.82 Motzki mengatakan, sebaiknya tesis Schacht itu dibalik, selama tidak ada ‘illat yang membuktikan hadits tersebut sampai kepada Nabi Muhamamd maka sahîh hadits tersebut e-silent. *** Secara metodologis, buku ini hendak membuktikan diagnosis penulis bahwa hierarki al-Kutub asSittah ternyata berpengaruh negatif terhadap kreativitas fiqh. Hal ini dibuktikan dalam karya-karya fiqh dengan metodologi orisinal hanya terjadi pada abad ke-3, 4, 5, dan 6. Banyak diagnosis yang dilakukan oleh ulama. Bahkan mujaddid abad ke-20 seperti M. Abduh terus menerus menyatakan telah dibukanya pintu ijtihad. Untuk membuktikan diagnosis ini, penulis menggunakan ground theory dalam membaca fenomena di tengah masyarakat. Di kalangan akademik, ground theory digunakan untuk mengalisis data yang muncul dalam penelitian kualitatif. Paradigma tentang hierarki al-Kutub as-Sittah di kalangan fuqaha dilihat dari perspektif ground theory. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan bias vested interest dalam suatu penelitian. Ground theory sering digunakan dalam penelitian kualitatif dalam menyajikan data apa adanya. Penelitian kualitatif berusaha memahami objek kajian secara holistik dengan unsur-unsur yang menyertainya, seperti persepsi, motivasi, perbuatan, tingkah laku, dll.83 Dengan sifat penelitian ini diharapkan dapat menjawab persoalan penelitian, yaitu adanya korelasi stagnasi berpikir antara hierarki kitab-kitab hadits dan fiqh. Tujuannya adalah agar ulama kontemporer mampu melakukan terobosan dengan menjadikan setiap kitab hadits yang sudah diverifikasi tidak hanya terbatas pada kitab al-Kutub as-Sittah, tetapi juga pada kitab-kitab sebelum abad ke-4 H dan diperlakukan sama (horizontal). Hal ini
10
akan memudahkan ulama dalam menetapkan hukum yang dinamis tanpa dihantui kesakralan hierarki tersebut. Pada analisis data, penulis menggunakan analisis dengan berbagai pendekatan, baik sejarah, ilmuilmu hadits yang baku, maupun kaedah-kaedah sosiologi hukum yang berlaku di kalangan akademisi. Hal ini penting untuk menjaga kualitas analisis dalam penelitian ini. Dengan demikian, analisis isi data dapat diukur dengan ukuran yang baku di kalangan akademisi. []
Catatan Kaki 1
2
3
4
5
6
7
8 9
10
11
12
13
14 15
16
Urutan d ar i se mb ila n k itab -k itab had its, ya itu Sah îh al -Bukhâ rî, Sahîh Musl im, Sunan A bî D âwu d, Suna n al- Nasâ ’î, Sunan al -T ar midh î, Sunan Ibn Ma jâh, Musn ad Ahm ad ibn H anba l, Muwa tt a’ Anas i bn M âli k, dan Sunan al -Dâ ri mî. Al -Kutu b al- Tha maniy ah yang ar tinya d elapa n hanya denga n tida k m eny erta ka n ki tab had its yang t era kh ir, b eg itu s e lan jutny a. Wa laup un ada u la ma had its yang me ne mpat kan ki tab alMuwath tha ’ l ebih t ingg i der aja tnya dar i S ahîh al- Bukh âri dan Sahîh Musli m, itu hany a pendapat mino r. Li hat Shah Wa l îyu l lah a l -Dah la wî, Hu jj atul lah al -Ba lig ah (Be irut: Dâr a l- M a‘r ifah,t.th), Juz 1, hlm. 14 . Li hat j uga, Mu stafa a l-S ibâ‘ î, Al -Sunnah wa Ma kân atuh â (Be irut: Dâ r al -Salâ m, 201 0), h lm. 250-25 1. Hi era rk i al -Ku tub al- Kha msah i ni a wa lnya d ipandang oleh u la ma had its s ebaga i standar yang pal in g kuat, a kan tet api Sunan Ibn M âj ah dim asu kka n m enjad i k itab had its standa r yang m e milik i keu nggul an kar ena adany a matan had its -h adits yang t ida k terda pat di dalam kit ab hadits seb e lu mnya. Lihat a l Naw aw î, Al -T aq rîb li al -N aw awî Fan Usul al -Had îth (K a iro:‘Abd a l-Rah mân Muh am mad, t.th), hlm. 2. Muha m mad ibn Ja’fa r al -Ka tthân î (1345 H), Al- Ri sâla h al-Musta th raf ah li Ba yân Mashhûr Kutub a l Sunnah al -Musha rr afah (B e irut: Dâ r al -Kut ub al -‘I lmîya h, 1995), C. I, hlm. 10 -14. Mah mud a l- THa hhân, U sul a l- Takh rî j wa D ir âsa t a l -As ânîd (B e irut: Dâ r a l- Qu r’an a l- Ka rîm, 19 79), hl m . 48. Liha t juga Abû al-F adhl Muha mm ad ibn Thâh ir a l - Maqd is î, Shurûth al -A ’im mah al- Kha msah (Be iru t: Dâr al- Kut ub al- ‘I l mi yyah, 198 4), hl m. 24. Ibn Abi Hati m al- Raz î, Kita b al-J ar ’h wa al- Ta ‘d îl (Hayd erabat: Majlis Dâ’irat al- M a‘ar if, 1953 ) Juz II, hl m. 26-31. Seja rah t ent ang s iapa ya ng t er leb ih da hulu m enggun a kan ist ilah a l-Ku tub a s - Sit tah ada be rbaga i v ers i, akan t etap i yang j e las pada masa p em er int ahan Ha ru n al -Ra shid, a l-Ku tub as- Si tt ah laz im diguna ka n untuk na ma-n ama kit ab fiqh yang m en jad i ref er ens i ha kim. Se men tara itu, sepan jang pen car ian p enu li s tentang ist il ah in i m uncu l d i ka langa n ula ma had its pe rtama s e ka li d is ebutk an oleh I bn Sa lah. Lihat Ib n Haja r al -Asqâ lan î, Al- Nuq ad ‘ ala K it âb ibn Sa lah, vol.1 ( ‘Ajmâ n: Ma ktaba h al -Fu rqân, 2003), h lm. 153. Uku ran k ede kata n m asa d engan Nab i, me rupa kan ba ro met er cu kup ras iona l ya ng dila ku kan ula ma hadi ts kar ena m engh inda r i distor si pe ra wi maupun m atan hadits itu send ir i. Mahm ud al - Thah han, Ta ysî r Musthalah a l-H adî th (Be ir ut: Dâr a l- Qur’ an al -K ar îm, 1 979), hlm. 42 -44. Muha m mad ‘Aj ja j al- Khat ib, Al- Sunnah qa bla al -T ad wî n (Kairo: Ma ktab ah Wahbah, 1963), hlm. 350 -35 9. Penj e lasan t entang t er jad inya p erb edaan pe ndapat di ka langan u lam a sala h satunya ada l ah p erb edaa n pende kat an. Mah mud Is ma il ibn Muh am mad M ushf il, Athar a l-Khi lâ f al-F iqh (Ka iro: Dâr al -Salâm, 2007) , hlm. 2 56 -25 7. Syai kh Muha mm ad al -Kh udhar î B e k, Tâ ri ch al -T ashr î‘ al-I slâ m (Be irut: Dâr a l- Kutub a l- Is lam iya h,t.th), hlm. 1 68 -16 9. Abdul Wahâb Kha ll âf, Al- Siy âsah al- Sha r‘ iyyah a w Nizâ m al - Da wlah al- Isl âmi yyah fî Shu ’ûni al Dustur iyah wa al -Khâ ri jiy yah w a al - Mâli yah (Ka iro: Ma thba‘ah a l-Sa laf iyah, 13 50 H), hlm. 50 -6 5. Amany Lub is, Si st em Pe me rin tahan Olig ar ki da lam Se ja rah Isl am (Jakar ta: UI N Jakarta Pr ess, 2005), hl m. 79-84. Perubah an q aw l q adî m ke qa wl Jad îd s er ing dijad ikan r uju kan o leh u la ma -u la ma f iqh, bah wa hu kum f iqh teru s be rk e mbang dan b er ubah s esua i d engan wa ktu d an te mpat. S em enta ra itu sy ar iat ada lah ses uat u yang dia nggap tet ap ka re na m e muat po kok -poko k a jara n Is la m itu s endir i. Lihat a l - Qa râdha w î, AlDHaw âbi th al- Sha r ‘iyy ah li Bin â’ a l -Mas âj id, ed is i ter jema han oleh Abdul Ha yy ie a l - Kathth ani (Ja karta : Ge ma In san i, 1999), hl m. 50 -6 5. Khudha rî Be k, T âr ikh a l- Tasy rî ‘, hl m. 312 -317. Ist ila h yang laz im digu nak an dala m me nggamba r kan per ist iw a pema ksaa n paham M u‘taz ilah k epad a kha laya k t eruta ma meng ena i a l - Qur ’an s ebaga i ma kh lu k. Muha m mad ‘Âbid a l-Jâb ir î, N ahnu wa a l- Tur âth (K airo: Mar kaz a l- Thaqâ fî a l-‘A rab î, 1993), hlm. 40.
11
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Farouq Abu Zayd, Al- Sha rî ‘at al -Isl âm iyyah Bayn al -M uhâfizîn wa al -Muja ddi dîn , edis i t e rjem ahan o le h Huse in Muha m mad (Jaka rta: P3M, 1 986), hlm. 49. THâhâ J. al- ‘Awâ nî, “T aql id and the S tagnat ion o f th e Mus lim M ind,” dalam Am er ic an Jou rnal of Isl ami c Soc ial Sc ien ce, Vol. 8, No.3 (19 91), hl m. 8 -9. Muha m mad Muha m mad Abû Shu hbah, Fî R ihâb al- Sun nah al- Kutub al- Sihhâh al- Si t tah ( Kairo: Maj ma ’ al- Buhûth a l- Is lâm iy yah, 1995). Lih at juga A bû a l- Tay yib a l-Sayy id S iddîq Has an Kh ân al -Q anû jî, A lHithth ah fî Dh ik r al - Sih âh al- Si tt ah , Tahq îq: ‘Alî Has an al-H alab î (B eirut: Dâr a l-Jay l, t.th.), hlm. 90 -11 0. Must hafâ Ah mad Al -Za rqâ’, Al -Mad khal al- Fiq ihi al -‘ A mm (Dam ask us: M athab i’ Alif Ba a l -Ad ib, 1967), hlm. 1 76. Sebena rnya h ie rar k i a l-Ku tub a s- Sit tah yang d is ebut ka n di a tas mas ih i kht ilâ f d i ka langan ula ma hadi ts. Pada l eve l hi era r ki k itab - k itab h adits sa mpai lev el k e -5 hamp ir t ida k ada pe rbeda an yang be rart i. A ka n tetap i, k et ik a m em asu kk an k itab hadit s yang k e -6, m ayoritas u lam a m en empa tka n Sun an I bn Mâ ja h sebaga i k itab yang ke -6, dan orang yang p erta ma ka li men e mpat kanny a adalah Abû a l -F adl Muh am ma d ibn T Hâh ir a l- Maqd îs i. Al- Maqd îs i, Shurû th al -A ’im ma t, hlm. 24. Racha El -O ma ri, “A ccom modat ion and Res ist enc e: Cla ssic al Mu‘taz ilites on Hadîth,” dala m Journ al o f Nea r Ea ste rn S tudi es, vol. 7 1, i ssue 2 ( Octob er 2 012), hlm. 231 - 256. Da la m dun ia hu ku m konve nsio na l dik ena l s tu fenb au th eor y ya ng di k em uk aka n oleh Hans K els en, yang m ene kan kan asp ek lega litas s uat u huku m ce nde rung berb entu k hi er ar ki. Ha l ter sebut m en jadikan hu ku m yang leb ih r endah tida k bol e h bert entanga n dengan yang leb ih t inggi. T eor i ini lazim diguna k an di dalam s iste m k en egar aan mod er n yang me ngatur konst itus i sebu ah nega ra. T eor i in i m e mang m em ilik i k esa maan d engan bahasan da la m buku in i, tetap i yang m emb eda kann ya pada substans i lega lit as huku m yang diba nding kan. Da lam al Kutub as - Si t tah, substans i l ega l itas m e milik i dim ens i transend e nt al, s ehingga hiera r ki otor itas ya ng ter kandu ng di dala mnya c end erung dipa ham i per man e n. Lihat, Paolo Sandro, “An Axio mat ic T heor y of La w,” da lam Res Publ ica 1 7 (2011), hl m. 343 -354. Al-‘Asqâ lân î, Hady al - Sâ rî, hl m. 8 -14. Abû Bakar Muha m mad ib n Mûsâ a l-Hâz imî, Shu rûth A ’i mma t al Khamsah (B e irut: Dâ r al -Ku tub al -” Il m îyah, 198 4), C. I, hlm. 6 8. Nasr ibn Muzah î m Al- M inqa rî, Wa q‘ at Si ffin , edited by ‘Abd al-Sa lâ m Mu ham mad Ha rûn (B e irut: Dâr a l Jîl, 199 0), hl m. 82. Al-Sha w kân î, I rshâd al- Fuhûl i lâ Tahq iq a l -Ha q m in ‘Il m al -Usûl (Ka iro: Mus tafâ a l- Bâbi al -Ha lab î w aAwl âduh,1973), h lm. 70. Mah mud a l- THa hhân, Tays îr Mustha lah a l -Ha dî th (Ku wa it: Mar kaz a l- Hudâ li al -Dirâsat, 1984), C. V II , hlm. 1 31 -13 2. Ibn Sh ihab a l- Zuhr i adal ah u la ma had its yang d e kat d en gan pengu asa Uma yyah. S em ent ara itu, sebag ia n ula ma la innya m en jaga j ara k dengan k e kuasa an kar en a faktor trau ma pe rpe cahan yang timbu l ak iba t berd ir inya i mpe r ium in i, s epe rt i I ma m Ma lik y ang m en olak k itab al-Mu wa ththa ’-n ya d ijad ikan u ndang undang negara, w ala upun akh ir nya piha k pengua sa mema ksa kan untu k m en jad ika n al-Muw ath tha ’ sebaga i k itab undang - undang n egara. T ugas I mam a l -Zu hr i adalah m engh impun had its -had its yan g mas ih be rupa or al t rans miss ion k e dal am da la m bent u k te ks t ertu lis. M ustafa a l -Sh ak’ ah, Isl âm B il â Madhâhib ( Ka iro: Dâr a l- M isr iyah al -Lubnân iyah, 199 1), hlm. 4 05. Sunnah bag i keb anya kan o ri ent al is tida k b er asa l dar i m asa Nab i, t etap i d ibuat oleh u mat Is la m abad k e 3 H. Hal ini d itanda i o leh t er l egi ti mas inya s unnah pa da awa l abad k e -3 H k etika mun cul u saha untu k men ye l ek si su nnah yang b er ke mbang s et elah dit er jem ahkan ke da la m ben tuk t e ks -t e ks had its. Josep h Sacht da lam “Pr e- Is la mi c Ba c kground and Ear ly D eve lo pment o f Jur isprud en ce ” da lam La w in The Mid dl e Eas t, ed it ed by Ma j id Kh addur i and H erb ert ( Lieb esny: M iddle East Inst itut e,1995), h lm. 28 -30. Joseph Schac ht, The O ri gins of Muha mm adan Ju ris prud ence, c et. I I (Oxfo rd: Clar endon Pr ess, 1959), hl m . 149. Bagi F azl ur Rah man, ke sal ahan or ie nta lis da la m m em ah ami h adit s hanya men yanda rka n pada aspe k bu kt i tertu l is se mata. Padaha l ku ltu r Arab yang ber lak u pada masa itu dan tetap dip er tahan kan sa mpa i se karang i ala h haf ala n. Bag i o rang A rab, hafa lan m er u pakan suatu b u daya yang s udah me le kat da la m dir i me re ka yang d ibu kt ika n d engan kont es ha falan s yair -sya ir t erp ilih. Apa lag i a l - Qu r’an da n had it s yang dipe rca ya sebaga i man if estas i petu nju k Allah m e la lui N abi -Ny a diaku i m em ilik i nila i yang leb i h tingg i dar i kar ya - kar ya sya i r Jahi l iyah. Faz lur Rah ma n, Isla m an d Mod ern ity (Chicago: Un iv ers ity o f Chic ago Pres s, 1982), hl m. 18 - 22. Muha m mad Ha m idul lah, “Aqda m T a’lîf i a l - Hadîth al- Naba wi -Sah îfah Ham man ibn Mu nabbih w a Ma kanat uha f i Târ i kh I l m a l -Had îth, ” da lam Ma jall at al -Maj ma ’ al -‘ Il mi a l- ‘A rab i 28 (1 953), h lm. 9 6 -11 . Muha m mad Ha midu l lah, The Ea rlie st Ex tan t Wor k o n the Had îth: Sahî fah Ha mm am i bn Munab bih, Com pr ising al -S ahîf ah al -S ahîhah o f Abu Hu ra yyah, pr epa red fo r pupil Ha mm an i bn Muna bbih, tog ethe r
12
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
with an in tro duc ti on to th e His to ry of the Ea rl y C omp il ation o f had îth, edis i k e-5 (r ev is i) (Paris: Cent e r Cultu re l Is la m ique, 19 61), hl m. 270 - 281. Muha mmad Ham idu lla h, “Ear ly H isto ry of the Co mpilat ion o f the Had îth ” dala m Is la mic Li te ra tur e, vol.12, 3, Laho re ( 1966), hlm. 5-10. Seorang i l muan mus l im asa l Tu rk i yang te lah m e mbuat semac am en sik loped i tent ang tabi‘ in dan ka rya kar ya m er e ka. T es isny a, “Bu har i’n in Kayn ak la ri” (Th e Sourc es of a l -B ukh âr i). Ia b erp endapat bah w a tradi si ora l dan tu li san hadi ts yang di riwa yat kan oleh Sahih al -Bukh âr î bera sal da ri abad ke -7 M. Fu at Sezgi n adala h juga s eorang i lmua n yang m er aguk an Columb us sebaga i p ene mu pe rta ma B enua Am e ri ka . M enuru tnya, B enua Am er i ka dit e muk an pert ama kali o le h umat Is la m yang dita ndai d eng an pet a yang diguna kan ol eh Col umbus b erasa l dar i tu lis an berb a hasa Arab. Lihat Fuat S ezgin, “Is la m His tory of Sci enc e and Te chno logy N e eds to Spea k,” da lam Tu rkis h Daily Ne ws , 27 De se mbe r 2008. M. M. Azam i, Stu dies in Ea rly H adî th Li te ra ture : with a C ri tic al Edi tion of Som e Ea rl y Te xts (Ind ianapo l is: Ame ri can Trus t Publ ica tion, 19 68 -19 92), hlm. 25. Dala m masa lah otor itas ini A rkoun men yorot i bagaima na ske ma otor itas yang t erb entu k dalam s eja ra h Isl am t e ruta ma d ila ku kan ol eh qad i y ang d ibe ri tug as ole h p enguasa Mus lim da la m m en ye lesai ka n banyak ka sus, wa lhas il k eputu san - kep utusan qadi t ers ebut s e ir ing p er k emba ngan wa ktu me m il i k i otoritas da la m m enafs i rka n nas al -Q ur’a n dan hadit s. Seca ra e ksp lisit d ia m em apar kan bah wa otor ita s mut lak da la m m enafs ir kan nas han ya pada Allah seh in gga mengan ju rk an susunan ka edah - ka edah yan g sudah terb entu k se la ma in i har us dir ev is i sesua i denga n dinam ika mas yara kat Mus lim. Lihat Moha mm e d Arkoun, “ The Conc ept of A uthor ity in Is la mic Thought: La Hukm a Illa L illah ”, da lam Th e Isla mi c Wo rld : Fro m Clas sic al to Mo de rn Tim e , ed it ed: by C.E.Bos wor t h, Char les Is saw i, Rog er Savory and A.L Udv it ch (London: Th e Dar w in Pr ess, 1995), h lm. 31 -54. Moha mm ed Ar koun, The Conc ep t of Autho ri ty in Isla mi c Thought ( London: Oxford Un ive rs ity Pr ess, 20 10), hlm. 4 2-44. M etode i ni dip andang pal ing ku at dala m m eny ele ks i hadits m en jad i sahîh , dan banyak ulama had it s yang me ru ju k pada me tode i ni. Ibn a l -Sa lah Abû ‘A mr ‘U thmâ n ibn ‘Abd al -Rah mân a l-Shah râzû rî , Muqadd imah i bn al - Sa lah f î ‘ Ulûm a l -H adî th (Be ir ut: Dâr al -Kut ub al -‘I lmîyah, 1995), C. I, h lm. 17 -21. Walaupu n sebag ian ul ama menga nggap Kha lifah U m ar ibn Abdul Az is sebaga i kh alifah t erba i k dar i Dinast i Uma yyah ba hka n s ebagai kh al ifa h k e lima d alam ling kup Khal îfah al- Nubu ww ah, ha l t ers ebu t bukan b era rti k ebi ja kan pol it i knya t ida k boleh dik rit ik. Walaupu n perp ec ahan t eolog is dala m Is la m tid ak m en jurus pada t erb e lahnya aga ma m en jad i dua, sepe rt i halny a agama K rist en m en jad i Kato lik dan Protestan, dampa kny a tetap lah sangat parah ka r en a mas ing - mas ing al ir an m erasa pa li ng bena r seh ingga m emu ncu lkan sikap e kst r em dan funda m enta li sti k di da lam int er nal uma t. M. T Ma lone y, Abdul Kad ir C ivan, Ma ry Fran cis Malon ey, “ Mode l of R e lig iou s Schis m wit h Apl icat ion to I sla m” da la m Pub li c Choi ce, Pro Ques t (2010), h lm. 441 -460. Abû Dâwûd Al-S i ji stân î, Sunan A bî Dâ wûd , tahq îq: Muha m mad M uhy a l -Dîn ‘Abd al- Ham îd (B ei rut : Ma ktabah a l-‘A sr iyya h, t.th). Seharu snya eva lua si te rhadap otent is itas had its tida k hanya berh ent i p ada aspe k ket e rsamb unga n sanad, tetap i l ebih komp reh ens if pada m asa lah aut ent isitas matan juga. Char les J. Adams, The Autho ri ty of The P rophe ti c Had ith in the E yes of Some Mod e rn Muslims, ed. Donald P. Lit.thle (Leid en: E.J. Bri ll , 1976), hl m. 20 -2 6. Rosul Jaf ar ian, “ Th e En cyc lop edia Aspe ct of Bih al al - Anwar ” da la m Lon don: Jou rnal of Shi ‘ah Isla mi c Stu dies, Trans lat ed by Fa te me h Abolghas e mi (Autu m 2 008), hlm. 1 -16. Muha m mad ibn Matha r Al -Zah rân î, T ad wîn a l- Sunnah a l-N aba wiy yah Nas ’a tuh wa T atha w wuruh min a l Qa rn al -A ww al il â N ihâyah a l - Qa rn al -T âsi ‘ (Mad înâh: Dâr al- Khud hayr î, 199 8). Uma r m ela rang p ra kti k sunnah, bai k se cara ora l mau pun tu lis an, kar ena aka n m en imbulkan ko mp eti s i yang ku rang bai k da la m penu l isan A l - Qur’ an dan had it s, yang juga disin ya lir sebag ai muasa l mu ncu lny a hadits qu dsî ya ng m enc antu mka n la faz Qâla All âhu (Allah be rf ir man). Nab ia Abbott, “St udies in Arab i c Li te rar y Papyr i, I I: Qur’ ani c Com enta ry a nd T radition ” dala m Ear ly D evelo pm ent o f W rit. then T rad itio n (Chicago: Ch icago U niv e rsit y Pr ess, 1967), h lm. 11. M etode yang p ent ing d ala m I lmu r ij âl al-ha dîth m er upakan cabang yang pent ing. Ma ksud dar i ri jâ l a lhadith ada lah na ma -na ma tokoh ya ng me mb entu k rang ka ian sanad atau istilah la innya ra w i hadits. Il m u in i dibagi men jad i dua bagian, ya itu Tâ ri kh al Ru wah dan Ilmu al- Ja r’h wa a l- Ta ‘dîl. Muha mm ad Ajaj a lKhat ib, Usûl a l-Ha di th ‘U lûmuhu w a Mustha latuhu (B eir ut: Dâr al- F ik r, 1989), hlm. 203. Fazl ur Rah man, Isla m and Mo de rni ty: Tr ansfo rm at ion o f an In te lle ctu al T ra di tion (Ch icago: T he Ch i cago of Univ er sit y Pre ss, 1982). Li hat Abu Rayy ah, Adh wa ’ Al a Sunnah wal Muha mm adiy ah aw Di fâ ’u ‘a la al - Had îth (Ka iro: Dâr a l- Ma ‘âr if , 1119 H ), hl m. 26. D i si ni d iga mbar kan baga imana A bu Hura irah tida k p erna h dik ena l m er iwayat ka n
13
47
48
49
50 51
52
53
54
55
56
57 58 59 60 61
62
63
64
65
66
hadits Nab i ket i ka pada ma sa Abu B ak r dan U mar yan g diken al sangat s e le kt if da la m men e rima h adit s dari sa habat. Fat ima M ern iss i, The V eil an d the Mal e Elit e: A Fe minis t In te rp re ta tion of Wo men’ s Ri ghts in I sla m , trans lat ed by M ary Jo La k e land (N ew Yor k: Bas ic, 1 991) , hlm. 1. Wae l B. Ha llaq, “Was th e Gat e of I jt ihâd C losed? ” dala m In te rna tiona l Journ al o f Midd le Eas t S tudi es , 1 6 (1984), hlm. 3 -4. Me nurut Johans en, apa yang dike m uka kan Ha llaq bahwa pintu ijt ihad tida k pe rna h tertu tup dal am s e jara h Is la m hanya da la m be ntu k teo ri, bukan pra kt ik, dan tida k ada p erub ah an s eca r a huku m lega l. Johans en, B, “ Lega l Lite ratu re and th e Pro ble m of Ch ange ’, dala m Isla m an d Pu bli c L aw, C . Ma ll at (ed.), (London: Graham and T rotm an, 1993), hlm . 29 -31. Lih at juga Johans en, B, Contin gen cy in a Sa cr ed L aw ( Le id en: Br i ll, 1 999), hl m. 4 46- 448. Li hat No rma n Cald er, I sla mic Jur isp ruden ce in Cla ssi cal Er a, ed it ed by Colin I mbe r (Cambr idg e Un iv ers it y Press, 20 10), hl m. 14. Wae l B. Ha ll aq, An In tro duc tion to Isl am ic Law ( London : Cambr idge U niv er sit y Pr ess, 2009), h lm. 38 -40. Nor man Cald er, Isl ami c Jur isp ruden ce in the Class ic al Er a (London: Cambr idg e Univ er sit y, 2010), hlm . 11. Joseph Schacht, P re- Isl am ic Ba ck groun d and Ea rl y De velopm ent of Ju ris pru denc e in Law in the Mi ddl e Eas t, ed ited by Ma j id Khadd ur i and He rbe rt (Liebes ny: Midd le East In stitute, 19 95), hlm. 28 -30. Da la m bukuny a in i Sch acht ing in m e m bu kti kan ba hwa s unnah yang dik laim be rasa l dar i za man Nab i Mu ham ma d Saw s ebena rnya b e rasa l dar i tr adis i da ri umat Is la m a bab ke -3 H. M enuru tnya t ida k ada bu kt i aut ent i k seca ra t ertu l is seb e lu m abad k e -3 H ada nya sunn ah Na bi M uham mad Sa w. Huruf dind ing in i d ip er caya sebaga i huru f -hu ruf sim bol yang dic iptak an o le h m anus ia yang dapa t men c er ita kan d engan d eta il t enta ng suatu p er ist iw a. Lihat Ja m es. P. Allen, Mid dle Eg yp tian , An Int rodu ct ion to The L anguag e and Cul tur e of Hi ero gly p h, Secon d Edit ion (London: Ca mbr idge Unive rsi ty, 2010), hl m. 15. Walaupu n uma t -u mat seb e lu m Nab i Musa as t ida k dit urun kan kitab da la m ben tuk t ulisan a kan t etap i me re ka m e ma kai suhûf yang s eca ra se mant ik awa lny a ber ma kna k ebiasaan/hu ku m dala m bent uk tr adis i lam a k e lama an dia rt ika n l emb aran -l e mbaran tu lisan s e telah dikonv ers i ke da la m bent uk hu ruf - huru f. Li hat Faz lu rrah man, “ His tor ica l Ve rsus Lite rary C rit is m ” , dalam A pp roa ches to Isla m in R eli gious S tud ie s (London: Cambr idg e Un iv ers ity, 20 10), hlm. 233 -2 34. Kata f iqh s eca ra eti mo logis b era rt i paha m yang menda lam. B ila “paha m” dapa t digun aka n untu k ha l -ha l yang be rs ifat lah ir iah, ma ka f iqh b era rti paha m yang me nya mpaikan ilmu lahir kepad a ilmu bath in . Kar ena i tu, dengan m eny ebut kan, “f iqh” t entang s esu atu,” bera rt i me ngeta hui bat inny a sampa i pada keda la mann ya. Ami r Syar ifudd in, Ushul Fiqih (Jaka rta: Prenada Med ia G roup, 2009), hlm. 2. Liha t jug a def ini si f iqh sebag ai “ l lm u tentang hu ku m -h uku m Sh ar ’î yang bers ifat a maliah ya ng diga li dan d ite mu ka n dala m dal i l-da li l ya ng tafs il i.” Khoi rudd in Na sut ion, Isu - Isu Kont em por er Hukum Isla m (Yogya kar ta: Suka P ress, 20 07), hlm. 34. Al- Qarâd haw î, Al -Sunn ah Masda ran li a l -Ma ‘r if ah wa al -Hadha rah (Ka iro: Dâr a l-Shu rûq, 1998), hl m. 60. Al- Naw aw i, S ahih Musli m, Jus XV (Kai ro: Dâr a l- Ma’â rif ,1998), hlm. 116. Al- Qarâ fî, al- Furûq (B e irut: ‘A la m al -k utub, t.th). Lynda Ne w land, “Und er th e Bann er of Is la m: Mob ilis ing Relig ious Id ent ities in West Java (Th e Austra l ia n Journal of Anth ropology ”, dala m P ro Ques t S ocio logy (2 000), hlm. 1 -24. Or i enta li s asa l Hunga ria, sa lah s atu o r ie nta lis a wa l ya ng terta r ik me mp elaja r i Is la m kh ususny a dala m masa lah s unnah Nab i. D ia me yak in i ba hwa sunna h yan g dikla im u mat Is la m ada lah t rad is i yang be rasa l dari za man jah i liy ah. Il muan asa l Jer man, me njad i ru juk an uta ma o r ienta lis - orienta lis gen e ras i se sudahny a te ruta ma kar en a dia m engata kan bah wa tida k ada bukt i yang aute ntik b ahwa had its yang dike nal s elama ini be rasa l dar i Nabi M uha mmad Sa w. Kl ai m t ers ebut m en imbu lkan p e rdebata n ilmiah t erhadap pendapa t yang kont ra, terut ama da ri i lmu an - il mua n Mu sl i m. Or i enta li s yang tid ak p er caya a l - Qur ’an yang d ikod if ik asi pada ma sa Uts man, a lasann ya tida k ada bu kt i otent ik t entang hal itu. Dia me ru ju k pada Fiqh al-A kba r kar ya Abu Hanifah yang h idup pada awal aba d ke -3 H, t ida k ada cata tan ka ki yang me ru ju k pada Mush af A l - Qur ’an ya ng dikod if ika si se ja k za ma n Utsma n. Salah s eora ng sar jana Bar at yang m encoba u ntu k m enge mbang kan t eor i - teor i da r i or ient alis a wa l terut ama p endapat -pendap at dar i Joseph Sc hacht. Sege l int ir sa rja na Ba r at yang me ncoba unt uk lebih mode rat da lam me ngka ji Is la m, dia s udah m ula i mengg una kan pend eka tan dari kal angan sar jana M uslim dala m me maha m i Isla m salah satunya Hara l d
14
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78 79
80
81 82
83
Motz ki. Lihat Har ald Motz k i, The Or igin s of Is lam ic Juris pru d en ce: Me c can Fiqh bef or e th e Class ic a l Schoo ls , trans. Mar ion H. Katz (Le ide n: Br ill, 200 2). Per masa lahan k las ik p eng kaf ira n atau pa ling t ida k sebaga i ing ka russun nah m e rupa kan sa lah sat u masa lah besa r yang be lu m dise l esa i kan di dalam dun ia akad e mik di d a lam I sla m, lihat sa ja pem i k ir pem i ki r s epe rti Muha mmad Abdu h, Ta ha Husa in, Abu Rayyah, Faz lur rah man, Fat ima M ern is i, dan lai n la in dia nggap buka n m e wak i li p e mi k iran u mat Is la m dan dia nggap se sat. Akan t etap i, yang je la s penafs ir an te rhadap te ks nas sud ah mun cu l di m asa aw al pe riod e gen era si a wa l. Lihat H erb ert B erg, Th e Develo pme nt o f Ex ege sisin E ar ly Isla m: The Auth enti ci t y of Musli m L it er atu re f rom the Fo rm at ive Pe rio d (Curzon, 2000), hl m. 10 - 12. Dogma ger e ja yang beg itu kuat te r uta ma di abad p ert engahan s em ak in be r kura ng pengar uhnya ke ti k a scien ce me ngamb i l a lih kons ep k eb enar an ma syar aka t yang ras iona l. Bah kan d e wasa ini hamp ir se lur uh ger ej a di Ba rat s eak an dit ingga l kan oleh je maatn ya seh ingga m en jad i kosong. Ada k ec end eru nga n masya ra kat Ba rat s ec ara ide ntit as m enga ku s ebaga i s eorang Kr ist en, a kan t etap i dar i s ik ap se ma ca m ate is bah kan c end erung k e a rah sci ent ology yang mulai mu ncu l d i Bara t. Liha t Av isha i Maga l it, “Re vis it ing God’ s Author ity ”, dala m So ci al Rese ar ch , Vol. 80 (Sp ring 2013), h lm. 1 -2 6. Al- Kha mîb a l- Baghdâd î (d. 463/1070), Al -Ki fiy â fî ‘I lm a l -R iw âya (B eirut: Dâr a l- Kutub a l-I lmiyya, 198 8), hlm. 7 0-98. Amin Abdu l lah, S tudi Aga ma N or ma tivi tas a tau His to ri tas (Yogy aka rta: Pusta ka Pe la jar Off set, 201 1), hlm. 3 08. Muha m mad ibn Ahmad ibn ‘Abd al -Hâd î al -Dimash qî (744 H), Thabaq ât ‘ Ul amâ al -Ha dîth (B ei rut : Muas sasah a l-R isâ lah, 19 96), C. II, tahq îq: Ak ram a l - Bû shî dan Ib râh îm al- Zaybaq), Juz I I, hlm. 389 - 401. Seja rah I sla m yang kaya d engan manus kr ip me mbu ka k ajian f ilo logi y ang m em ilik i kon tr ibus i yang bes a r dala m pe m ik ir an yang o rig ina l da ri ula ma - ula ma t erd ahulu, ha l itu dapa t m e mbuk a su mbe r ijt ihad d i dala m ke i lm uan di dun ia Is lam k hususn ya fiqh. Nab ilah Lub is, N askah, T eks dan Me tod e Pen eli tia n Filolo gi (Jaka rta: Yayasa n M ed ia Alo I ndones ia, 20 07), hlm. 4 -15. Ales sandro vagn in i, ” Gr eat Wa r in Tr ansc uas ia: fro m Otto man Oc cupat ion to T reat y of Ka rs ”, dala m Medi te rr anean Journ al of So cia l S cien ce, Vo l 3 (Ma y 20 12), hlm. 1 - 11. Sa‘d ibn ‘Abdul lah a l- Huma yy id, Manâhi j al-Muha ddi t hîn , ed. Abû ‘Ubaydah M âhir Sâlih A li Mubâ rak , (t.t.th, Dâr ‘Ulû m as -Sunnah, t.th.). Kr it ik Ibn Salah bah wa Sunan I bn Hibb ân adalah k it ab yang sulit dipah am i m ena mbah k e cur igaa n just if ik asi al- Kutub as- Si ttah d i kala ngan u lam a had its kar ena su sunan kont en k itab Sunan Ibn H ibbâ n tida k s epe rti p e mbahasa n di da la m ki tab - kitab f iqh lainnya. Seha rusn ya ha l t ers ebut h arus d it ingga l ka n apalag i s ete lah I mam al -Fa ris i me nata u lang is i kandu ngan S ahîh I bn Hib ban in i laya knya sep ert i Ku tu b al- Sit tah la in nya. Kar ena l eb ih banya k menga ndung hadits -had its yang sahih dib andingka n denga n Sunan I bn Mâ jah , juga Sunan Ibn Hi bbân d ik ena l t ida k hanya m enguas ai lafaz had its juga p enguasa an terh adap matan had its itu s endi r i seh ingga kit ab in i ja uh leb ih kaya m ate r inya. Al -Am îr ‘A lâ a l-Dî n ‘Al î ibn Bal abân al- Fâr is î, Sahîh Ibn Hib bân (Be ir ût: Muass asat al-R isâ lah, 1993), C. II, Tahqîq: Syu’ayb a l Arnâ’ûth, Juz. I, h lm. 97. Muha m mad ibn Ja’f ar a l-K aththâ n î (134 5 H), Al- Risâ l ah al-Must ath ra fah li Bayân M ashhûr Ku tub al Sunnah al -Musha rr afah , C. I (B e irut: Dâr a l- Kutub a l- ‘I lmîyah, 1995), h lm. 10 -17. Wae l B. Ha ll aq, Autho ri ty, Con tinui ty, an d Ch ange in Isla mi c La w (Camb r idge U niv er sit y Pr ess, 2001) , hlm. 5 -32. Wae l B. Ha ll aq, An In toduc tion to Is la mic La w (London: Cambr idge Unive rsity pr ess, 2009), h lm. 4 -24. Wae l B. Ha ll aq, Fro m F at was to Fu rû‘ Gro w th and Chan ge in Is la mic Subs tan tive La w (BR I LL: M iddl e Eas t and Is lam ic St udi es, 1994), h lm. 5 -10. Abu Rayyah, A dhw a ‘a la Sunn ah wal Muha mm adi yah au Dif â‘u ‘ ala a l - Ha dîth (K airo: Dâr al -M a’âr if, 11 19 H.), hlm. 26 - 34. Dise rtas i yang d ipr ese ntas ik an di I nst itut e of Is lam ic Stu die s, M cG ill Un iv ers it y, Mont rr eal Ca nada, 1999. Li hat Ha ra ld Motz ki, “Author and H is Wor k in Is lam ic Lite ratu re o f th e F irst Cen tur ie s: the Cas e of ‘Ab d al-R azzâq’s Mu canna f.” Je rusa le m S tudi es in A ra bic and Isla m, 28 (2003), h lm. 171 -201. Le xy J. Ma leong, Meto dolo gi P eneli ti an Kual it ati f , (Ban dung: Rosdaka rya, 200 7), hlm. 6.
15
BAB II: OTORITAS SUNNAH TASYRI’IYYAH DAN NON-TASYRI’IYYAH A. Identifikasi Sunnah Tasyrî‘iyyah dan Non -Tasyrî‘iyyah Kata otoritas berasal dari bahasa Inggris yang maknanya bervariasi serta memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan manusia. Otoritas merupakan suatu keniscayaan yang harus ada dalam rangka menjaga stabilitas atau mempertahankan status quo. Dalam Webster Dictionary, authority is legal power or right, accepted source of information, an expert a particular subject, or a body or group of persons in control.1 Definisi ini menggambarkan bahwas pengertian otoritas memiliki kekuasaan yang legal yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga. Eksistensinya diakui dalam memberikan sumber informasi ataupun sebagai pihak yang memiliki hak untuk mengontrol. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, authority is power to give order and make others obey.2 Jadi, otoritas dapat juga diartikan sebagai kekuasaan untuk memberi perintah dan membuat pihak lain mematuhinya. Dengan demikian, pengertian otoritas dalam hal ini lebih mempertegas bahwa otoritas adalah kekuasaan yang memiliki misi tertentu dan harus dipatuhi oleh orang-orang yang terikat dengan kekuasaan tersebut. Otoritas dapat juga dipahami sebagai hak atau wewenang untuk bertindak ataupun melakukan dengan maksud tertentu.3 Bila merujuk dalam konteks ini, berarti otoritas menunjukkan bahwa hak dan kewajiban seseorang atau lembaga untuk berbuat sesuatu. Dalam sejarah peradaban manusia, otoritas berkaitan dengan masalah kepercayaan ataupun keagamaan. Tidak mengherankan bila otoritas dalam konteks kekuasaan untuk memberi perintah sudah ada sejak zaman agama primitif.4 Hal ini terbukti dengan bertahannya kepercayaan-kepercayaan animisme hingga sekarang oleh sebagian masyarakat, seperti mantra-mantra yang diyakini memiliki kekuataan supranatural yang memengaruhi kehidupan manusia. Otoritas keagamaan primitif menggunakan peran oral atau lisan untuk memengaruhi pihak lain. Setelah manusia menemukan media tulisan untuk berkomunikasi, maka tulisan dalam kitab suci atau tulisan yang sakral dipandang sebagai instrumen otoritas yang lebih tinggi kekuasaannya.5 Dalam konteks Islam, Allah adalah pemegang otoritas tertinggi. Dalam hal ini adalah al-Qur’an sebagai representasi kehendak Allah. Nabi Muhammad Saw. adalah orang yang paling otoritatif dalam menafsirkan kehendak Allah, baik dalam konteks pemahaman maupun praktiknya. Bagi sebagian orang, pemahaman dan praktik Nabi memiliki nilai kesakralan yang tinggi serta nilai transendental karena Nabi adalah manusia yang ma’shum. Tidak mengherankan bila umat Islam meniru perilaku Nabi, yang kemudian dikenal sebagai sunnah Nabi. Di lain pihak, sebagian umat Islam memandang perilaku Nabi memiliki nilai ibadah, dan sebagian lainnya menganggap tidak bernilai ibadah dalam pelaksanaannya.6 Figur Muhammad dipandang dalam berbagai perspektif, dalam artian sunnah yang dipraktikkan Nabi harus dilihat dari sisi Muhammad sebagai nabi, kepala negara, panglima, suami, ayah, teman, dan manusia biasa. Bila Muhammad dipandang sebagai seorang nabi maka semua yang dipraktikkannya memiliki nilai ibadah, karena mengikuti perilaku utusan Allah, kecuali perilaku-perilaku tertentu yang secara khusus dipraktikkan oleh Muhammad sebagai seorang nabi.7 Sebagai seorang kepala negara, ada beberapa hal yang dilakukan oleh Nabi Saw. pada masa lalu bisa menimbulkan masalah bila diimplementasikan saat ini. Misalnya, sunnah yang menyangkut masalah pertanahan. Ketika itu Nabi Saw. membolehkan siapa saja untuk menggarap tanah yang terlantar, lalu tanah tersebut menjadi miliknya. Sunnah ini sepertinya dapat dipahami bahwa perintah Nabi sebagai
16
kepala negara memiliki konsekuensi sebagai dustûr atau undang-undang bagi penduduk Madinah ketika itu.8 Sebagai seorang panglima, beberapa sifat wajib bagi seorang nabi, ternyata Nabi tidak mempraktikkan sifat-sifat tersebut kepada orang-orang tertentu dan masa tertentu. Lihatlah literatur-literatur yang menerangkan bagaimana Nabi Muhammad Saw. dalam mengatur strategi dalam berbagai pertempuran. Tentu saja sifat tabligh tidak bisa digunakan kepada musuh terhadap rencana-rencana yang sudah disusun. Sebagai seorang panglima yang sering menghadapi ancaman dari pihak luar, tentunya praktik-praktik yang dilakukan dalam masalah ini banyak berkaitan dengan masalah politik (siyâsah). Harus dipahami politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. membawa misi akan eksistensi Islam dan penyebarannya. Karena itu, dalam masalah sunnah-sunnah yang berhubungan dengan dirinya sebagai kepala negara maupun panglima harus dipahami dalam konteks politik.9 Peristiwa bolehnya menikah dengan ahli kitab dan memakan hewan sembelihan ahli kitab akan menimbulkan polemik yang panjang, ketika sunnah hanya dilihat dari satu pendekatan saja. Karena pasti akan melihat adanya semacam ta‘ârud antara satu nas dengan nas yang lain. Dalam masalah penyembelihan hewan, bagi umat Islam kehalalan hewan sembelihan tersebut bila prosesnya melafazkan kalimat bismillah. Karena itu, mereka (ahli kitab) tentunya tidak menggunakan lafaz yang digunakan oleh umat Islam. Kebolehan untuk menikahi perempuan ahli kitab sampai sekarang masih menimbulkan multitafsir di kalangan ulama, karena sebagian besar mereka memahami pengertian ahli kitab sebagai golongan yang memegang teguh ajaran Taurat dan Injil yang asli.10 Pengertian Taurat dan Injil yang asli masih dalam perdebatan akademis, sebab al-Qur’an secara tegas menyatakan ahli kitab sudah melakukan perbuatan syirik karena menganggap Nabi Uzair (bagi kaum Yahudi) dan Nabi Isa (bagi kaum Nasrani) juga sebagai anak Allah.11 Sebenarnya, bila dicermati dalam pendekatan politik, yang harus dilihat secara holistik, apa yang dipraktikkan Nabi merupakan langkah yang sangat baik untuk mempertahankan eksistensi umat Islam pada masa awal Islam yang rentan dan lemah terhadap agitasi kaum kafir Makah. Gambaran umat Islam yang masih sedikit jumlahnya, tentu akan dengan mudah dihabisi oleh pihak kafir Makah bila tidak melakukan aliansi dengan penduduk Madinah ketika itu yang sebagian besar ahli kitab.12 Bagaimana mungkin golongan ahli kitab akan membantu umat Islam bila dalam masalah perkawinan dan makanan masih terjadi gap?13 Sebenarnya, kebolehan perkawinan umat Islam dengan perempuan ahli kitab lebih disebabkan oleh masalah situasional. Lebih banyaknya jumlah laki-laki14 daripada jumlah perempuan di kalangan umat Islam ketika itu menimbulkan masalah tersendiri. Sebab, untuk menikahkan umat Islam dari golongan laki-laki dengan perempuan ahli kitab memiliki dimensi yang cukup luas dalam menanamkan kepercayaan kepada pihak ahli kitab untuk membantu umat Islam dalam menghadapi serangan pihak kafir Makah. Akibat dari kebolehan menikah dan memakan sembelihan dari ahli kitab dalam kurun waktu yang cukup lama, umat Islam mendapat back-up dari mereka terhadap serangan dari kafir Makah. Walaupun akhirnya pihak ahli kitab mengkhianati umat Islam, paling tidak memberikan waktu yang cukup bagi umat Islam untuk konsolidasi kekuatan dalam menghadapi serangan musuh secara mandiri. Peristiwa penyerbukan kurma yang sering dijadikan klaim bahwa ternyata Nabi bisa juga berbuat salah dalam melakukan sesuatu menimbulkan asumsi tidak semua sunnah itu wajib atau layak untuk diikuti. Bukan hanya itu, dalam beberapa kasus terdapat hal-hal yang tampaknya suatu perbuatan yang kurang pantas dilakukan oleh Muhammad sebagai seorang nabi yang bisa menurunkan derajatnya menurut sebagian orang.15 Peristiwa hujatan Nabi kepada Muawiyah yang berulang kali dipanggil olehnya, akan tetapi tidak mau segera untuk memenuhi panggilan tersebut dengan alasan sedang makan. Nabi menghujat “semoga Muawiyah tidak pernah kenyang seumur hidupnya” dia kemudian mendapat teguran dari beberapa sahabat. Namun, Nabi menjawab hujatan yang dilakukan olehnya terhadap seorang yang tidak melakukan kesalahan akan diganti sebagai kebaikan kepada orang yang kena hujat tersebut. 16 Hal
17
tersebut menimbulkan perbedaan pandangan dalam masalah sunnah, bagi ulama muhadditsîn sunnah disandarkan pada segala perbuatan Nabi mulai dari dia lahir sampai akhir hayatnya. Menurut fuqaha, yang dimaksud dengan sunnah, yaitu perbuatan, perkataan, dan ketetapan Nabi yang berkaitan dengan hukum tasyrî‘ dimulai sejak dia diangkat sebagai rasul. Pendekatan yang berbeda dalam masalah sunnah inilah yang akhirnya melahirkan istilah sunnah tasyrî‘iyyah dan non-tasyrî‘iyyah.17 Masalahnya masih belum adanya ukuran yang jelas dalam mengklasifikasikan antara sunnah tasyrî‘iyyah dan sunnah non-tasyrî‘iyyah. Bila merujuk pada alasan hadits yang menjelaskan “urusan dunia kamu yang lebih mengetahui” bisa menggugurkan semua sunnah yang berkaitan dengan urusan muamalah. Masalah muamalah adalah urusan dunia yang secara implisit menyuruh untuk tidak mematuhi sunnah dalam masalah muamalah, atau hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Aisyah tentang Nabi Saw. yang terkena sihir.18 Oleh sebab itu, harus ada ukuran yang jelas dalam menentukan suatu sunnah dikategorikan sebagai sunnah tasyrî‘iyyah dan sunnah non-tasyrî‘iyyah. Imam Malik memakai ukuran amalan ahli Madinah sebagai penyeleksi sunnah yang dapat dikategorikan sebagai sunnah tasyrî‘iyyah, karena menurutnya orang-orang Madinah lebih mengetahui tentang sunnah. Selain tinggal di kota Nabi, dia juga lebih banyak menghabiskan umurnya di tempat subur dan tumbuhnya sunnah-sunnah Nabi.19 Walaupun metode yang dilakukan oleh Imam Malik dianggap cukup ampuh dalam menyeleksi sunnah tasyrî‘iyyah, tetapi tetap saja ada yang beranggapan metode itu tidak bisa dijadikan ukuran. Karena, tidak jelas mana yang sunnah yang berasal dari Nabi atau dari budaya (adat istiadat) setempat. Nabi Muhammad Saw. adalah manusia yang paling memiliki otoritas di dalam Islam, karena kedudukannya sebagai utusan Allah menjadikannya memiliki legitimasi yang kuat dalam segala aspek yang menyangkut dengan aktivitasnya. Kuatnya otoritas Nabi menjadikannya sebagai tokoh sentral, karena siapa pun orangnya yang ingin mempelajari Islam pasti berhubungan dengannya. Berbeda dengan agama lain yang sering mengaitkan nama agama mereka dengan tokoh pembawa agama mereka. Akan tetapi, Islam yang dibawa oleh Nabi memiliki nama yang berbeda antara ajaran yang dibawanya dengan nama Nabi pembawa ajaran itu. Islam diklaim membawa ajaran yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia mulai dari yang menyangkut dengan masalah teologi sampai pada hal-hal yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan manusia, bahkan banyak juga di antara umat Islam meyakini bahwa Islam membahas segala aspek kehidupan.20 Nabi Muhammad Saw. yang diyakini umat Islam sebagai pembawa wahyu Allah melalui Malaikat Jibril. Umat Islam juga meyakini bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi pegangan hidup bagi setiap insan. Karena mereka meyakini bahwa isi kandungan al-Qur’an tersebut merupakan wahyu Allah tanpa intervensi manusia atasnya. Lafaz al-Qur’an yang banyak memuat hal-hal yang bersifat global (mujmal) membutuhkan penjelasan yang lebih terperinci, maka dari itu penjelasan dari Nabi Muhammad Saw. dipandang yang paling memiliki otoritas tertinggi. Masalahnya yang muncul kemudian ketika wahyu Allah (divine) maupun sunnah keluar dari sumber yang sama, sehingga Nabi Muhammad sendiri melarang sahabat untuk menulis hadits karena takut bercampur dengan al-Qur’an. Semua umat Islam sepakat bahwa al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang tidak diragukan lagi autentisitasnya. Bukan hanya karena al-Qur’an itu sendiri menantang siapa saja yang meragukannya sebagai kalam ilahi untuk membuat hal yang sama. Akan tetapi, dalam masalah sunnah ada pertanyaan yang muncul, apakah sunnah itu masuk dalam wilayah divine atau profan?21 Kalau sunnah masuk dalam kategori wilayah divine maka konsekuensinya semua sunnah memiliki implikasi hukum sehingga semua sunnah itu adalah tasyrî‘iyyah. Sebaliknya, bila dipahami bahwa sunnah itu masuk kategori profan maka sunnah itu memiliki kebenaran yang relatif, yaitu bisa saja sunnah itu dipandang tidak sejalan lagi dalam konteks tertentu. Sebenarnya, penilaian adanya sunnah tasyrî‘iyyah dan sunnah non-tasyrî‘iyyah dalam sejarah hukum Islam berawal dari cara pandang dua pendekatan ulama terhadap sunnah, yaitu ulama hadits dan ulama fiqh (usûliyyîn).22 Cara memandang sunnah ini tergantung pada tingkatan pemahaman seseorang
18
terhadap tujuan sunnah itu diukur pada konteks masa itu. Karena itu, terkadang sunnah-sunnah tertentu bisa menjadi kontra produktif bila hanya diartikan secara parsial. Banyak umat Islam yang memanjangkan jenggot dengan alasan sunnah, akan tetapi tidak mengetahui esensi perbuatan tersebut dilakukan pada masa Nabi Muhammad Saw. yang membutuhkan semacam kode morse pertanda dia seorang Muslim. Karena pada masa itu hampir tidak ada perbedaan dari segi fisik dan penampilan antara umat Islam dengan penduduk Madinah non-Muslim. Komposisi umat Islam yang kecil dan marjinal akan sangat terbantu untuk saling tolong menolong ketika mengenal satu dengan lainnya. Pada masa Nabi, akan lebih mudah untuk saling melindungi ketika terjadi chaos dengan menandakan identitas seseorang Muslim. Jika dilihat dari pendekatan semiotik hermeneutika, Nabi sebenarnya memberikan keteladanan melalui simbolisasi sunnah-sunnahnya.23 Bila sunnah hanya dipahami sebagaimana apa adanya tanpa melakukan pendalaman terhadap makna yang tersembunyi di dalam sunnah tersebut, maka sunnah akan menjadi mati tanpa memiliki ruh untuk memberikan efek kepada kehidupan ini. Perbedaan dua pendekatan didasarkan bahwa Nabi di satu sisi sebagai insan kamil sehingga apa pun sunnah yang dikaitkan dengannya pasti selalu mendapatkan guidance dari Allah. Tidak mungkin Allah membiarkan sesuatu yang salah apalagi menyesatkan terjadi pada diri Nabi karena Allah selalu mengawasinya. Cara Imam Malik mengklasifikasi sunnah dengan merujuk pada kebiasaan amalan orang-orang Madinah, tentunya berbeda dengan teori Receptio yang diberlakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada masa penjajahan dulu. Teori Receptio suatu teori yang bermaksud menekan perkembangan hukum Islam di Indonesia yang intinya hanya mengakui hukum adat sebagai hukum yang berlaku di masyarakat Muslim Indonesia. Hukum Islam yang berlaku dalam masyarakat Indonesia hanya yang sesuai dengan hukum adat.24 Tampaknya, Belanda ketika itu ingin menghilangkan eksistensi hukum Islam di Indonesia, hingga dampaknya masih sangat dirasakan sampai saat ini. Artinya, hukum Islam yang dimaksud di Indonesia adalah hukum-hukum yang hanya mengatur wilayah privat yang sangat terbatas yang berhubungan dengan masalah perkawinan.25 Hampir tidak ada jalan lain untuk mengukur apakah suatu sunnah itu tasyrî‘iyyah atau nontasyrî‘iyyah hanya dengan cara, yaitu; dengan membuat lembaga yang memiliki otoritas.26 Pihak yang dimaksud di sini harus memiliki dua dimensi otoritas, baik sebagai ulama dan umara. Bisa juga dengan mengembalikan pada individu masing-masing dalam mempraktikkan sunnah tersebut. Tentunya, mereka yang meyakini suatu sunnah pantas dan layak untuk diikuti, maka sunnah tersebut menjadi tasyrî‘iyyah baginya. Dapat juga sebaliknya ketika sebagian umat Islam menganggap suatu sunnah tidak memiliki nilai tasyrî‘iyyah, maka mereka tidak bisa dianggap orang-orang yang ingkar sunnah.27 Sunnah yang mengatur masalah-masalah yang dianggap sebagai hal qath‘î tidak ada alasan untuk tidak mengakuinya sebagai sunnah tasyrî‘iyyah, karena bila suatu nilai kepercayaan dipandang tidak memiliki otoritas kepada pengikutnya pastilah kepercayaan tersebut sudah tidak ada lagi. Karena iu, argumen yang menyatakan bahwa Muhammad sebagai nabi adalah manusia biasa yang bisa berbuat salah sehingga dapat meragukan sunnah tidaklah logika. Tugas utama Nabi Muhammad Saw. adalah untuk memperbaiki akhlak manusia dan mengajarkan kalimat tauhid dan masalah-masalah krusial dalam bidang muamalah. Nabi Muhammad Saw. sebagai manusia yang diberikan kelebihan dalam hal pengetahuan yang menembus masanya harus dipahami komentarnya tentang penyerbukan itu. Bahwa Nabi ketika itu menggunakan pengetahuan futuristik seperti metode penyerbukan saat ini, akan tetapi ketika Nabi hendak menjelaskan kepada mereka instrumen ilmu pengetahuan tidak memungkinkan menyampaikannya disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan mereka. Lagi pula, tugas utama Muhammad Saw. sebagai nabi bukanlah mengurusi masalah seperti penyerbukan buah kurma tersebut sehingga alangkah naifnya jika ada hipotesis yang berusaha meragukan sunnah Nabi sebagai sunnah yang non-tasyrî‘iyyah.
19
Peristiwa hujatan Muhammad terhadap Muawiyah,28 yang merupakan isyarat kenabian yang diberi kemampuan futuristik, menggambarkan bagaimana Muawiyah adalah seorang yang tidak pernah kenyang akan kekuasaan. Terbukti di dalam sejarah Islam peran Muawiyah sebagai faktor utama terjadinya dikhotomi antara Sunni dan Syiah hingga saat ini.29 Jadi, semua sunnah itu sebenarnya adalah tasyrî‘iyyah bagi umat Islam, akan tetapi dalam masalah penerapannnya terdapat tingkatannya. Yang dimaksud dengan tingkatan di sini, harus memiliki barometer masalah-masalah yang berhubungan dengan pokok-pokok ajaran Islam tentu lebih tasyrî‘iyyah, seperti masalah rukun iman dan rukun Islam, dibandingkan dengan sunnah yang tidak termasuk kategori pokok ajaran Islam, seperti dalam masalah penyerbukan buah korma tersebut.
B. Sahabat sebagai Media Ekspansi Sunnah Hampir tidak ada generasi Muslim yang mendapatkan perhatian seperti halnya generasi sahabat Nabi Muhammad Saw. Generasi sahabat dipercaya sebagai generasi terbaik yang pernah ada setelah meninggalnya Nabi dalam sejarah Islam. Hal itu membuat betapa istimewanya generasi ini dalam sejarah Islam. Ditambah lagi peran tersendiri generasi sahabat dibandingkan generasi-generasi lainya dalam sejarah Islam. Akan tetapi, keterlibatan generasi sahabat pada peristiwa-peristiwa tertentu yang menentukan arah sejarah Islam berikutnya tergantung dari sudut mana memandangnya.30 Peristiwa besar yang terjadi pada masa sahabat adalah pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Pada masa Abu Bakar, peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah adalah mengumpulkan mushaf al-Qur’an yang terdiri dari berbagai benda yang menjadi tulisan al-Qur’an yang berserakan menjadi satu mushaf.31 Kemudian peristiwa memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat atau lebih dikenal sebagai “perang riddah.”32 Mereka yang dianggap murtad karena tidak mau membayar zakat setelah meninggalnya Nabi. Pada masa Umar, yang berlangsung selama 10 tahun, ada banyak peristiwa yang tercatat dalam sejarah. Masa ini merupakan fase awal dalam sejarah Islam tentang berlangsungnya ekspansi ke luar wilayah Hijaz. Secara otomatis berhadapan dengan dua kekuatan besar, yaitu Imperium Romawi dan Imperium Persia. Di antaranya yang dikenal adalah penaklukkan Mesir dari tangan Romawi, penaklukkan Palestina dari kekuasaan Romawi setelah menaklukkan Irak dari tangan Persia, atau perang Qadisiah yang sangat fenomenal dalam sejarah Islam. Jadi, penyebaran sahabat ke wilayah-wilayah di luar Makah dan Madinah secara signifikan terjadi pada masa Khalifah Umar ini, di samping gebrakan hukum yang dilakukan pada masanya.33 Walaupun peristiwa diutusnya Muaz ibn Jabal ke Yaman dalam rangka menyebarkan Islam pada masa Nabi, juga peristiwa diutusnya juga Sa‘ad ibn Abi Waqash 34 ke China untuk menyebarkan Islam di sana sebagai langkah awal yang dilakukan oleh Nabi agar Islam mendunia. Akan tetapi, pada masa Umar ini terjadi penyebaran sahabat secara signifikan jumlahnya. Pada masa Utsman, dituding oleh beberapa sejarawan, sebagai awal terjadinya distrust di antara kaum Muslim. Banyak argumen yang dikemukan dalam membahas langkah-langkah Khalifah Utsman memerintah. Tudingan terhadapnya sebagai khalifah yang menggunakan asas nepotisme dalam pemerintahan mendapatkan perhatian berbagai pihak dari sejarawan, baik yang pro maupun yang kontra. 35 Akan tetapi, karya monumental yang dilakukan pada masa Khalifah Utsman yang dampaknya sampai sekarang tetap adalah peristiwa kodifikasi Mushaf Utsmani. Langkah berani dan signifikan yang dilakukan oleh Utsman dalam menghadapi perbedaan bacaan al-Qur’an atau qira’ah yang kian meruncing pada masanya membuat Utsman harus mengambil langkah yang tepat untuk menghindari pertentangan di antara umat Islam dalam cara membaca al-Qur’an.36 Hal ini terjadi karena pada masa Nabi membolehkan tujuh qira’ah dalam membaca al-Qur’an. Ketika ekspansi Islam kian meluas ternyata cara membaca alQur’an itu menjadi polemik. Keberanian Utsman dalam mengambil keputusan dengan memerintahkan
20
penulisan lima mushaf al-Qur’an ke lima wilayah utama Islam pada waktu itu.37 Hal itu dianggap sejarawan sebagai langkah yang tepat dalam meredam api perpecahan di dalam Islam. Namun, peristiwa selanjutnya adalah saat Utsman menetapkan mushaf yang kelak dikenal sebagai Mushaf Imam atau Mushaf Utsmani. Dia juga memerintahkan empat mushaf lainnya dibakar. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan akademisi, terutama orientalis. Cara pandang akademisi Muslim dan orientalis dari Barat dalam memandang masalah pembakaran empat mushaf yang lain dan membiarkan hanya satu mushaf yang ada seperti yang dikenal selama ini sangat berbeda. Bagi akademisi Muslim, peristiwa pembakaran empat mushaf yang lain dengan hanya menetapkan satu mushaf induk sesuai dengan lafaz suku Quraisy membuat bacaan al-Qur’an semakin terpelihara dari kemungkinan berubahubah dan ini menjaga kemurnian al-Qur’an itu sendiri. Sebenarnya, keterlibatan sahabat dalam aliansi politik dimulai dengan penempatan banyak posisi gubernur oleh keluarga Utsman. Misalnya, keluarga Muawiyah ibn Abu Sufyan, Amir ibn ‘As, dan lain-lain. Kecenderungan konsolidasi basis politik pada generasi sahabat dapat dilihat dari demografi wilayah di mana mereka tinggal. Arab Utara disinyalir sebagai tempat konsolidasi keluarga Utsman yang dipimpin Muawiyah. Wilayah yang dikenal sebagai kota perdagangan dengan Damaskus sebagai ibu kota, relatif lebih sejahtera dibandingkan wilayah selatan yang lebih gersang dan miskin.38 Peristiwa fitnah merupakan peristiwa yang kelam dalam sejarah awal Islam karena peristiwa ini ditengarai sebagai pemicu munculnya tiga peperangan yang terjadi antara sahabat, yaitu Perang Jamal, perang pemberontakan az-Zubair Ibn al-Awwam,39 dan Perang Shiffin. Banyak interpretasi yang dikemukakan kenapa fitnah ini terjadi, tetapi yang jelas ini terjadi pasca-kematian Utsman. Peristiwa ketidaksenangan pihak yang mengatasnamakan rakyat Mesir terhadap gubernur Mesir Amir ibn ‘Ash ketika itu, yang merupakan sepupu Utsman. Rombongan Muhammad ibn Abu Bakr yang mengadukan perihal tindak tanduk gubernur Mesir kepada Utsman yang pada awalnya telah bertemu dan bersepakat untuk menyelesaikan masalah yang mereka adukan sudah deal. Namun, ketika rombongan Muhammad ibn Abu Bakr diserang dalam perjalanan pulang ke Mesir menimbulkan kecurigaan pihak rombongan tersebut. Asumsi mereka penyerangan tersebut diperintahkan oleh khalifah, karena menurut klaim mereka stempel kerajaan terjatuh ketika penyerangan terjadi.40 Banyak sejarawan yang memaparkan bahwa rombongan tersebut tidak jadi meneruskan perjalanannya ke Mesir, akan tetapi balik ke Madinah. Tidak diketahui dengan jelas apakah rombongan Muhammad ibn Abi Bakr ini yang membunuh Khalifah Utsman atau orang lain. Akan tetapi, yang jelas peristiwa kematian Khalifah Utsman terjadi setelah penyerangan rombongan Muhammad Ibn Abi Bakar. Setelah Ali ibn Abi Talib diangkat sebagai khalifah menggantikan Utsman, langkah politik yang diambilnya adalah menggantikan posisi gubernur. Gubernur pada masa itu banyak berasal dari kerabat khalifah sebelumnya. Langkah ini dinilai kurang tepat oleh sebagian sejarawan karena terlalu cepat mengambil jarak dengan keluarga Muawiyah yang secara de facto menguasai wilayah-wilayah perdagangan.41 Dengan cepat Muawiyah menuntut penyelidikan atas kematian Utsman dengan menggunakan isu ini membuat posisi tawar keluarga Muawiyah meningkat. Zubair Ibn Awwam awalnya ikut serta satu barisan dengan Muawiyah dalam mempertanyakan inisiatif Khalifah Ali untuk menuntaskan penyelidikan pembunuhan Utsman. Sebenarnya, usaha untuk menyelidiki secara tuntas pelaku pembunuhan Utsman tersebut mengarah elemen pada kelompok rombongan pimpinan Muhammad ibn Abi Bakar yang dituduh pihak Muawiyah terlibat dalam pembunuhan Utsman. Pihak Ali dituduh menutup-nutupi keterlibatan kelompok tersebut karena termasuk dalam lingkaran pendukung utama Ali. Perang Jamal meletus salah satunya disebabkan oleh pihak Aisyah, Talhah, dan Zubair yang merasa Ali tidak maksimal dalam menuntaskan penyelidikan pembunuhan Utsman.42
21
Langkah-langkah politik yang diambil oleh Muawiyah dalam mempertahankan jabatannya dinilai cukup berhasil karena sukses membuat sahabat-sahabat yang satu barisan dengan Aisyah mendukungnya. Kekuatan Muawiyah yang cukup signifikan ini membuat Muawiyah berani menantang kekuasaan Khalifah Ali. Perang Shiffin yang terjadi antara kedua kubu ini berakhir dengan cara arbitrasi yang dilakukan dengan metode yang menurut sebagian sejarawan sebagai cara yang licik untuk melengserkan Ali. Kepiawaian Amir Ibn ‘As sebagai delegasi Muawiyah mengalahkan Abu Musa al-Asy‘ari dinilai banyak pihak sebagai cara yang ilegal.43 Atas dasar hal tersebut, timbul polemik dalam pendefinisian sahabat karena menurut kesepakatan yang umum yang berlaku di dalam Islam, terutama dalam ulumul hadits, bahwa setiap sahabat itu adalah adil. Bahkan, menurut Abu Zur’ah ar-Razi (264 H), seorang ulama hadits bahwa seseorang yang meragukan atau tidak mengakui sahabat Nabi itu adil maka orang itu dapat dikategorikan sebagai seorang yang zindiq.44 Menurutnya, kebenaran al-Qur’an dan hadits dimanifestasikan serta dipraktikkan dalam kehidupan sahabat. Abu Zur’ah (125 H/742 M) menggunakan istilah zindiq ketika muncul pemahaman yang menyimpang serta merendahkan sahabat sebagaimana yang dipahami oleh kaum Mu‘tazilah. Menurut ulama-ulama tradisional, orang-orang Mu‘tazilah pengikut Amir ibn Ubayd disebut sebagai orang-orang zindiq. Kaum Mu‘tazilah tidak mau secara mutlak mengakui semua sahabat adalah adil, karena bagi mereka peristiwa fitnah yang terjadi yang berimplikasi terjadinya pertumpahan darah di antara sahabat mengindikasikan bahwa mereka tidak semuanya adil. Bagi kaum Mu‘tazilah, kriteria sahabat harus diluruskan kembali karena definisi yang dibuat selama ini begitu longgar. Dalam definisi itu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sahabat Nabi ialah orang-orang yang beragama Islam, hidup pada masa Nabi dan berjumpa dengannya. Oleh karena itu, mereka mengkritik ulama tradisional seperti Abu Zur’ah ar-Razi yang dianggap sebagai ulama yang paling dekat dengan Ahmad ibn Hanbal terlalu simplikasi. Bagi Mu‘tazilah, hanya hadits-hadits mutawatir yang bisa dijadikan dasar hukum, sedangkan hadits ahad maupun masyhur tidak bisa. Peran akal harus mengambil alih persoalan-persoalan yang tidak dijumpai dalam al-Qur’an dan hadits mutawatir. Dasar hukum harus dilandasi dalil yang mutawatir sehingga hal-hal yang bersifat masih meragukan tidak boleh dijadikan dasar hukum.45 Mengenai definisi sahabat, ada dua pendapat mengenai hal ini. Menurut Anas ibn Malik, sahabat adalah orang-orang yang beragama Islam yang melihat Nabi Muhammad dan selalu menyertainya dalam berbagai kegiatan di masyarakat.46 Di sini tampaknya Anas ibn Malik membedakan antara melihat dan menyertai Nabi. Ibn Hanbal mendefinisikan sahabat sebagai orang-orang yang menyertai Nabi dalam berbagai kegiatan dalam setahun, sebulan, maupun sehari asalkan dalam keadaan Muslim. 47 Definisi itu dikritik karena berarti status Abdullah ibn Maktum sebagi seorang yang buta, tidak bisa dimasukkan sebagai sahabat. Tidak diragukan pentingnya peran sahabat dalam memelihara tradisi yang ditinggalkan oleh Nabi yang kemudian dikenal dengan nama sunnah.48 Dalam masalah memelihara tradisi-tradisi kenabian, informasi yang tersedia cukup banyak. Namun, ketika membahas tentang penyebaran generasi sahabat ke beberapa wilayah harus dipandang juga mereka sebagai makhluk sosial yang memiliki kepentingankepentingan tertentu yang melatarbelakanginya. Istilah nisbah adalah sahabat yang sering dikaitkan dengan daerah asalnya walaupun telah lama menetap pada daerah tertentu. Misalnya, sahabat Nabi yang bernama Salman al-Farisi merupakan sahabat yang terkenal dengan strategi Perang Khandaq (Parit) sehingga idenya untuk membuat parit diterima Nabi dalam menghalau jumlah pasukan kafir Quraisy yang sangat banyak.49 Salman al-Farisi merupakan sahabat Nabi yang berasal dari negeri Persia, di banyak riwayat dipaparkan bahwa dia berasal dari keluarga pembesar Persia. Dia banyak belajar kepada rahib-rahib, berdasarkan informasi dari rahib yang menjadi
22
gurunya tersebut telah datang seorang nabi pada masanya. Informasi tersebut membuat dia mengadakan perjalanan jauh untuk memastikan keberadaan nabi itu yang kemudian berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw. Jadi, penambahan nama al-Farisi merupakan suatu penghormatan kepada Salman yang berasal dari negeri yang jauh untuk berjumpa dan belajar dengan Nabi Muhammad Saw. Kata-kata ahlu sering dikaitkan dengan sahabat-sahabat yang merupakan bagian kelompok masyarakat tertentu walaupun tidak berasal atau menetap di wilayah tertentu. Kata-kata ahlu misalnya dikaitkan dengan ahlu bait, yaitu sahabat-sahabat Nabi yang memiliki kekerabatan langsung dengan Nabi, seperti istri-istrinya, anak-anaknya, menantu, dan cucu-cucunya. Akan tetapi, dalam perjalanannya sering sekali yang dimaksud dengan ahlu bait ialah yang berkaitan dengan Ali ibn Abi THalib, Fatimah binti Muhammad serta anak-anak mereka, Hasan dan Husein. Kata ahlu juga sering dikaitkan dalam konteks tertentu, seperti ahlu Madinah yang artinya bukan hanya orang-orang yang berasal dari Madinah, tetapi juga yang berasal juga dari Makah. Sementara itu, kata-kata najala sering dikaitkan dengan sahabat-sahabat yang mendiami suatu daerah sementara. Banyak sekali sahabat-sahabat yang masuk dalam kategori ini karena setiap sahabat yang berangkat dari negeri Madinah ke luar kota tersebut dapat dikategorikan dengan istilah najala. Jumlah sahabat yang termasuk dalam kategori ini ialah sahabat-sahabat yang ikut berperang ketika ekspansi Islam ke wilayah-wilayah Romawi maupun Persia pada masa Khalifah Umar dan Utsman. Istilah najala ini juga dikaitkan dengan penempatan sahabat-sahabat yang diangkat sebagai gubernur di daerahdaerah tertentu, walaupun najala sering dikaitkan dengan alamat sementara. Tidak ada kriteria khusus mengenai rentang waktu lamanya berdiam pada suatu tempat dikatakan sebagai najala ataupun sakana.50 Banyak motivasi sahabat dalam mendiami suatu daerah, di antaranya panggilan hijrah sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi. Peristiwa hijrah merupakan salah satu momen terpenting dalam sejarah Islam; bukan sekadar beban moral yang ditanggung kaum muhajirin yang terpaksa berpisah dengan keluarga dan meninggalkan harta benda mereka.51 Peristiwa hijrah juga merupakan pangkal menyebarnya Islam di luar Makah sehingga umat Islam dapat berinteraksi dengan wilayah baru.52 Interaksi ini nantinya melahirkan tradisi-tradisi yang disebut dengan sunnah yang merupakan salah satu sumber hukum Islam selain al-Qur’an. Adanya perbedaan perlakuan terhadap sahabat yang ikut berjihad dalam mempertahankan akidah serta menyebarkan Islam membuat semacam motivasi bagi sahabat, terutama untuk terlibat dalam berjihad yang terkadang harus keluar selama berbulan-bulan lamanya dengan risiko yang begitu besar. Sahabat-sahabat yang ikut berperang mendapatkan perlakuan istimewa dari Nabi Muhammad Saw., bahkan tradisi ini dilanjutkan pada masa Khulafaur Rasyidin. Bukan hanya mendapatkan penghormatan, lebih dari itu mereka juga mendapatkan pembagian harta rampasan perang yang cukup banyak. Banyak sejarawan menilai motivasi sahabat memenuhi panggilan jihad untuk berperang juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi seperti mendapatkan bagian ghanimah. Salah satu strategi Umar ketika mengerahkan pasukan dalam perang Qadisiah ketika umat Islam kekurangan personil dengan merekrut orang-orang yang dulunya pernah diperangi Abu Bakar dalam Perang Riddah.53 Umar memberi iming-iming sejumlah uang tergantung seberapa banyak tentara musuh yang dapat mereka bunuh. Metode sugesti dengan membayar sejumlah hadiah dengan menghitung seberapa banyak jumlah tentara musuh yang mereka bunuh membuat sebagian sahabat mau keluar kampung halamannya mengadakan perjalanan, yang terkadang berbulan-bulan lamanya, seperti dalam perang Qadisiah melawan Imperium Persia.54 Ada juga motivasi sahabat untuk mengadakan perjalanan ke wilayah baru terkadang karena mengemban jabatan yang diamanahkan.55 Belum ada kesepakatan mengenai berapa jumlah sahabat, ada yang berpendapat jumlah sahabat Nabi sebenarnya lebih dari 100.000 orang banyaknya dengan merujuk sahabat yang ikut serta dalam peristiwa
23
haji Wada.’ Akan tetapi, hanya sedikit dari sahabat tertentu yang dikenal di dalam sejarah. Memang bila dikaitkan bahwa jumlah sahabat yang ada disamakan dengan mereka yang ikut serta dalam melaksanakan haji Wada’ maka jumlah tersebut terbilang besar untuk ukuran wilayah dan waktu itu.56 Faktanya hanya sedikit, karena tidak semua sahabat memiliki akses publik atau memiliki keinginan untuk dikenal lebih jauh. Pusat-pusat penyebaran sahabat biasanya berada pada wilayah-wilayah yang termasuk pusat-pusat pemerintahan atau peradaban yang dibuat oleh bangsa-bangsa sebelumnya. Pusat penyebaran sahabat dikenal banyak di wilayah Mesir, Baghdad, Kufah, Basrah, Hims, Damaskus, maupun Ramallah. Dengan demikian, banyak informasi yang bisa digali tentang penyebaran sahabat-sahabat Nabi ke wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh dua negara Adidaya saat itu, yaitu Romawi dan Persia. Sahabat-sahabat yang menetap di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan di Madinah nantinya turut serta dalam membentuk masyarakat Muslim pada generasi-generasi selanjutnya. Interaksi mereka dengan masyarakat yang sudah memiliki peradaban yang cukup tinggi membuat kebutuhan akan hadits semakin tinggi, dari sisi inilah sahabat memberikan kontribusi kepada masyarakat. Ketika Umar ibn al-Khattab berkuasa dia sempat melarang sahabat untuk meriwayatkan hadits, terutama sahabat-sahabat yang berada jauh dari Madinah. Larangan Umar tersebut muncul karena adanya indikasi akan bercampurnya al-Qur’an dengan hadits.57 Kebutuhan yang begitu besar terhadap hadits, ekses dari peradaban di wilayah-wilayah, seperti di Baghdad, Kufah, dan Basrah yang membuat peran serta sahabat sedemikian besarnya, bahkan menempati posisi status sosial yang tinggi di masyarakat. Kekhawatiran Umar akan bercampurnya antara al-Qur’an dan hadits sehingga melahirkan perintah untuk melarang sahabat mewartakan hadits pasti tidak muncul secara simultan, akan tetapi karena adanya gejalagejala yang sudah membuat resah masyarakat. Munculnya hadits-hadits qudsi disinyalir banyak yang lahir pada waktu itu di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan di Madinah. Agak mengherankan untuk sebagian peneliti sejarah tentang hadits dengan lafaz “qâla Allah” memunculkan semacam kebingungan di kalangan pemerhati hadits. Keputusan Umar untuk melarang sahabat untuk mewartakan hadits dengan munculnya hadits-hadits qudsi membuat tuduhan adanya kekhawatiran tersebut benar-benar telah terjadi dalam segmen tertentu. Pertanyaan yang sering timbul dalam membahas tentang sahabat Nabi Saw. ialah apakah motivasi sahabat dalam berhijrah semata-mata faktor menyebarkan agama Islam? Hal yang perlu dicermati bahwa sahabat adalah makhluk sosial yang memiliki budaya dan mengakar berabad-abad lamanya sebelum kedatangan Islam. Tidak semua kebudayaan Arab pra-Islam diberangus oleh Nabi Saw., akan tetapi kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam bahkan sangat berguna untuk penyebaran Islam tetap dipelihara. Lihat saja bagaimana ghanimah (harta rampasan perang) tetap dipelihara dalam ajaran Islam yang tujuannya untuk memotivasi sahabat dalam melakukan ekspansi wilayah atas nama Allah. Kepiawaian Nabi dalam membungkus motivasi yang sudah berakar dalam masyarakat Arab dengan legalitas syariat membuat agama baru ini menjadi begitu dinamis.58 Sebenarnya bila dicermati dalam perjalanan sahabat, mereka dalam melaksanakan ekspansi pengembangan wilayah Islam tidak murni hanya untuk berdakwah atau menyebarkan Islam. Hal ini dibuktikan ketika Umar memerintahkan sahabat untuk merebut Mesir dari kekuasaan Romawi dengan memerintahkan Amir ibn ‘As sebagai panglima perang Islam.59 Tercatat pasukan Islam tidak mengalami kekurangan pasukan untuk berangkat ke Mesir. Hal itu disinyalir karena Mesir yang terkenal sebagai wilayah yang makmur sehingga ghanimah yang diperoleh juga sangat besar.60 Hal ini berbeda ketika Umar memerintahkan pengembangan wilayah bekas kekuasaan Sasanid, respons sahabat tidak sebesar ketika ke Mesir.61 Jadi, motivasi duniawi juga menyertai penyebaran sahabat di wilayah-wilayah yang relatif makmur yang berada di kota-kota besar. Walaupun ada tesis yang mengatakan pemusatan sahabat-sahabat di kota-
24
kota besar semata-mata untuk mempermudah konsolidasi dan mobilisasi terhadap mereka dalam berkomunikasi. Ada tiga wilayah penaklukkan yang kemudian bisa menjadi penentu kebijakan sahabat, yaitu penaklukkan Mesir, Syiriah, dan Iraq. Ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tetapi juga memiliki kesamaan, yaitu sama-sama memiliki peradaban yang sudah maju sebelumnya. Jadi, persoalanpersoalan yang timbul agak berbeda dengan wilayah konservatif seperti Makah dan Madinah. Telepas dari motivasi yang mendasari berdiamnya sahabat di wilayah-wilayah itu, mereka memberikan warna tersendiri dengan kehidupan masyarakat. Adapun asal mula terjadinya fitnah berawal dengan penolakan sebagian penduduk Mesir dengan gaya pemerintahan gubernur Mesir ketika itu, yaitu Amir ibn ‘As, sehingga mendorong sebagian penduduk Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Abu Bakr untuk mengadu ke Khalifah Utsman ibn Affan. Jadi, setelah pengaduan tersebut Utsman ibn Affan meninggal karena dibunuh orang. Akan tetapi, sering dengan pergantian khalifah di tangan Ali ibn Abi Talib pergantian jabatan gubernur dari orang-orangnya khalifah sebelumnya menimbulkan masalah karena adanya resistensi dari gubernur yang dilengserkan itu, terutama gubernur Syiriah, Muawiyah ibn Abi Sufyan.62 Kemudian Muawiyah mengangkat isu tentang pembunuhan Utsman dan menuding Ali enggan untuk melakukan penyelidikan karena keterlibatan orang-orang dekatnya, seperti Muhammad ibn Abu Bakr, yang memang termasuk jajaran inti dari pemerintahan Ali.63 Dengan kemampuan diplomasinya beberapa sahabat utama dapat dipengaruhinya walaupun awalnya mendukung Ali, tetapi beralih mendukung Muawiyah. Bahkan, Aisyah ikut termakan isu tentang perlindungan Ali terhadap tersangka pembunuh Utsman. Walaupun berulang kali Ali mengatakan bahwa dia tidak bermaksud untuk menghalangi penyelidikan tentang pembunuhan Utsman apalagi melindungi pelaku pembunuhan tersebut. Ali mengatakan tidak ada bukti yang konkret untuk menjatuhkan tuduhan terhadap orang yang tidak bersalah seperti Muhammad ibn Abu Bakr. Ketidakpercayaan Aisyah, Talhah, dan Zubair terhadap Ali memunculkan perang antara Aisyah dan Ali (Perang Jamal).64 Walaupun perang tersebut dimenangkan oleh Ali, konstalasi politik di Madinah ketika itu berubah dan tidak bisa diprediksi. Hal itu membuat Ali merasa tidak nyaman karena dia tidak tahu siapa sebenarnya yang menjadi pengikut maupun penentang dari pemerintahannya. Akhirnya, Ali memutuskan untuk memindahkan pemerintahan ke kota Kufah setelah mempertimbangkan bahwa dia merasa mendapatkan dukungan yang kuat untuk mengonsolidasi kekuatan. Tidak mengherankan peta politik ketika itu berubah dengan menempatkan kota Kufah sebagai pusat pemerintahan, hal itu membuat mobilisasi massa terus terkonsentrasi di Kufah termasuk golongan sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. Diperkirakan sahabat yang berdiam di kufah mungkin ratusan, bahkan ribuan, bila merujuk dari besarnya pengikut Ali yang ikut pindah dari Madinah ke Kufah. Sahabat yang tinggal di Kufah setelah kepindahan Ali dari Madinah dapat dikategorikan pengikut setia Ali yang kemudian hari disebut dengan golongan Syiah. Hadits-hadits yang berasal dari sahabat yang bermukim di Kufah ini sering dikaitkan dengan hadits-hadits tentang ahlul bait. Kemudian sahabat yang bermukim di Damaskus setelah perang Jamal tersebut sering dipandang sebagai sahabat yang menentang Ali. Sahabat-sahabat yang bermukim di Damaskus dapat dikonsolidasi oleh Muawiyah untuk berada dalam barisannya sehingga akhirnya digunakan oleh Muawiyah sebagai alat untuk menentang Ali dalam perang Shiffin. Sementara itu, sahabat yang tinggal di Mesir pada awalnya relatif netral, tidak mau terlibat dalam politik praktis antara pihak Ali dan Muawiyah, tapi lama kelamaan tidak bisa bersikap netral. Arus kekuatan dari luar memaksa sahabat untuk menentukan posisi mereka masing-masing sehingga sahabatsahabat di Mesir sebagian ada yang berpihak dengan Ali dan ada pula yang berpihak dengan Muawiyah. 65 Dalam situasi yang sedemikian kacaunya maka permainan diplomasi yang menentukan kemenangan
25
antara kedua kubu ini. Sejarah membuktikan bahwa diplomasi yang dijalankan oleh Muawiyah lebih unggul sehingga dapat menggulingkan kekuasaan Ali dari jabatan khalifah.66 Akan tetapi, salah satu kesuraman sejarah awal Islam ketika Muawiyah tidak menerapkan sistem kekhalifahan yang sudah dibangun oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Bahkan, menerapkan sistem Kerajaan ala Romawi, akan tetapi dibungkus dengan gelar khalifah untuk mengelabui umat Islam ketika itu. Ada dua aliran pemikiran dalam menilai sahabat. Pertama, kaum tradisionalis, yang cenderung melihat sosok sahabat sebagai generasi terbaik dari sejarah umat Islam, karena mereka hidup pada masa Nabi. sehingga perilaku mereka sering disandarkan atas diri Nabi sendiri. Kedua, kaum kritis, yang memandang perilaku sahabat tidak semuanya adil. Bahkan, mereka memandang motivasi-motivasi sahabat dalam bertindak tidak terlepas juga dengan unsur-unsur duniawi. Karena itu, kelompok ini tidak menerima hadits-hadits dari golongan sahabat, kecuali hadits-hadits yang mutawatir. Kelompok ini sering diwakili oleh aliran Mu‘tazilah.67 Dilihat dari sisi sejarah, tampaknya sahabat memiliki sejarah yang cukup kelam sehingga berdampak sampai saat ini. Peristiwa fitnah, baik itu terjadinya perang Jamal maupun perang Shiffin, sering dituding membuka perpecahan yang terjadi di dalam Islam. Tampaknya bila dilihat dari sisi ini dapat dipahami bahwa tidak semua sahabat itu bersifat ‘adalah karena ternyata di antara mereka sering terjadi pertumpahan darah.68 Atas dasar ini, bagi kaum Mu‘tazilah perlu adanya perubahan pandangan dalam melihat sahabat dengan konsekuensi adanya penyeleksian hadits-hadits yang disampaikan mereka.69
C. Legalitas al-Kutub as-Sittah sebagai Sumber Hukum Fiqh Proses kodifikasi hadits yang lakukan oleh Muhammad ibn Shihab az-Zuhri atas perintah khalifah Umar ibn Abdul Aziz memiliki momentum yang sangat penting dalam sejarah Hukum Islam pada masa berikutnya.70 Kegalauan seorang khalifah atas masa depan eksistensi hadits dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat ketika itu yang mengharuskan aturan baku yang mengikat semua elemen masyarakat Muslim. Usaha kodifikasi yang dilakukan pada awal abad ke-2 H oleh Ibnu Shihab az-Zuhri melahirkan semacam mushaf hadits yang menjadi patron bagi ulama-ulama hadits setelahnya. Ulama hadits seperti Imam Malik, al-Bukhari dan lainnya mencari hadits dari murid-murid sahabat (tabi‘in) yang masih hidup.71 Ada sembilan kitab hadits standard di dunia Sunni dan empat di dunia Syiah yang bisa dijadikan sumber hukum selain al-Qur’an.72 Namun, dalam perjalanannya, enam kitab hadits standard yang dikenal sebagai al-Kutub as-Sittah disepakati sebagai kitab hadits.73 Fenomena al-Kutub as-Sittah sebagai kitab standard tidak terjadi secara simultan.74 Awalnya, ulama hadits berbeda pendapat dalam penyusunan hierarki kitabhadits, termasuk yang masuk ke dalam kategori al-Kutub at-Tis‘ah. Lalu seiring terjadinya seleksi berdasarkan kriteria yang dibuat ulama hadits hanya sampai pada enam kitab hadits utama yang dikenal sebagai al-Kutub as-Sittah. Selain alasan tingkat kesahihan hadits di dalam al-Kutub as-Sittah, juga karena faktor saling melengkapi masing-masing matan hadits, sehingga al-Kutub as-Sittah bisa dianggap mewakili isi matan hadits-hadits sahih yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits yang lain. Hierarki al-Kutub as-Sittah bukan sesuatu yang bernilai sakral, melainkan sebagai gambaran kondisi riil kecenderungan masyarakat Muslim ketika proses penyeleksian hadits, sehingga melahirkan susunan kitab hadits yang dikenal saat ini.75 Dengan demikian, susunan kitab hadits seperti yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah memiliki orientasi sosial politik yang berkembang pada masa itu yang sangat mengedepankan aspek ibadah mahdhah dibandingkan dengan bidang-bidang lain di luar aspek ibadah tersebut. Tidak mengherankan hampir semua energi ulama fiqh terkuras hanya membahas masalahmasalah yang berkaitan dengan ibadah mahdhah. Karena kitab-kitab hadits utama yang disepakati oleh ulama hadits kebanyakan menyangkut masalah yang berkaitan dengan ibadah mahdhah. Lihat saja
26
pembahasan di dalam bersuci ketika tidak mendapatkan air sangat mendapatkan porsi yang besar di dalam kitab-kitab fiqh klasik, padahal masalah tersebut di tempat seperti Indonesia sangat jarang dijumpai. Ada asumsi bahwa ulama hadits dan fiqh kurang begitu bebas di dalam berijtihad dalam masalahmasalah yang menyangkut mengganggu hegemoni kekuasaan penguasa. Sejarah membuktikan bagaimana penguasa di dalam masyarakat Muslim sangat tidak menolerir karya-karya yang tidak sepaham dengan penguasa.76 Terjadinya dualisme hadits dan fiqh Sunni dan Syiah,77 peristiwa muncul ikhwân ash-shafa,78 maupun hukuman mati terhadap al-Hallaj adalah sedikit contoh dari sejarah kelam tekanan penguasa terhadap kebebasan berkarya. Apalagi dalam masalah hadits, tentu hal ini sangat penting bagi penguasa untuk intervensi dalam upaya mengamankan posisi mereka sebagai penguasa yang tidak demokratis. Hampir tidak ada lagi sistem pemerintahan yang murni berdasarkan azas musyawarah dalam pemilihan kepala negara selain pada masa Khulafaur Rasyidin. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, tidak ada lagi kepala negara dalam sejarah umat Islam sebelum memasuki zaman modern yang memenuhi asas musyawarah atau pemilihan, kecuali secara turun temurun. Kondisi yang demikian memaksa khalifah dan sultan berusaha dengan keras mengintervensi hal-hal yang mengganggu hegemoni kekuasaan mereka, termasuk dalam masalah hadits maupun fiqh. Tidak mengherankan kajian ilmu-ilmu yang berkaitan dengan fiqh siyâsah tidak berkembang, karena bila terlalu berijtihad dengan masalah yang berkaitan dengan politik apalagi suksesi tentunya akan menghadapi tekanan dari penguasa Muslim. Ternyata kebanyakan penguasa Muslim mempraktikkan sistem Kerajaan, seperti Kerajaan Romawi dan Kerajaan Persia. Padahal, sistem syurah yang ditawarkan di dalam Islam adalah upaya melakukan konsolidasi pemikiran dalam menangani suatu masalah. Islam tidak pernah memaksakan untuk mempraktikkan suatu bentuk pemerintahan, akan tetapi harus dilandasi oleh asas musyawarah. Pernyataan Ibn Taymiyah tentang pentingnya eksistensi seorang pemimpin Muslim walaupun berasal dari kalangan yang zalim sering disalahartikan tanpa melihat latar belakang sejarah pada masa itu. 79 Padahal, pendapat Ibn Taymiyah tersebut sebagai bentuk gambaran kondisi masa itu betapa rapuhnya politik dan keamanan sehingga dengan mudah diinvasi dari pihak luar karena sistem politik di dalam masyarakat Islam pada waktu itu hanya terpusat pada penguasa dan keturunannya.80 Al-Mawardi sendiri ketika merumuskan konsep-konsep berpolitik yang benar di dalam Islam masih mengeksplorasi tentang syarat-syarat untuk menjadi penguasa Muslim serta tidak melakukan ijtihad yang berkaitan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan pergantian rezim.81 Miskinnya pembahasan tentang politik di dalam kitab-kitab fiqh dibandingkan dengan pembahasan tentang masalah ibadah sangat tidak seimbang. Dalam masalah pengaturan keuangan negara misalnya, pada masa Umar telah melakukan ijtihad tentang pembagian harta rampasan kepada tentara yang ikut berperang, termasuk di dalamnya tanah-tanah tetap berada dalam kepemilikan pemilik lahan dengan memungut pajak atasnya. Karena dikhawatirkan akan terlantar bila diserahkan kepada prajurit yang ikut berjuang tersebut. Akan tetapi, khalifah setelah Khulafaur Rasyidin kurang melakukan ijtihad terhadap permasalahan-permasalahan baru yang mereka hadapi. Lihat saja hampir tidak ada satu kitab fiqh yang menuliskan masalah yang berkaitan dengan proses penggajian khalifah atau sultan, hak-hak finansial yang boleh mereka gunakan atau tidak. Hal tersebut menjelaskan hampir tidak ada perbedaan antara harta negara dengan harta khalifah atau sultan. Situasi ini berimplikasi pada rendahnya pembahasan-pembahasan di dalam fiqh yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi secara umum dan masalah administrasi keuangan negara.82 Hakikatnya, mempertahankan legalitas hierarki al-Kutub as-Sittah bisa dipandang sebagai usaha untuk mempertahankan status quo yang cenderung tidak menguntungkan bagi umat Islam. Hierarki yang mengutamakan konten hadits-hadits masalah ibadah saja akan mempersulit ulama untuk merespons permasalahan kekinian. Fazlur Rahman ketika merumuskan konsep negara Islam secara ideal, hanya
27
merujuk pada masa Khulafaur Rasyidin karena sumber-sumber klasik yang membahas tentang siyâsah sangat kurang kalau tidak ingin mengatakan diharamkan.83 Dalam sejarah pemerintahan Islam, miskinnya pembahasan tentang kajian siyâsah, membuat ulamaulama Islam klasik dan mungkin hingga saat ini tidak pernah mengalami kebebasan hakiki dalam berkarya.84 Al-Ghazali saja tidak siap mengambil risiko untuk mengganggu hegemoni penguasa dalam arti menyinggung kekuasaan mereka melalui tulisannya yang kurang membahas masalah suksesi dalam Islam. Penggunaan beberapa hadits dha‘îf di dalam buku utamanya Ihya Ulumuddin mengindikasikan bahwa alGhazali sebenarnya tidak memedulikan hierarki kitab-kitab hadits, akan tetapi lebih cenderung pada matan hadits. Penggunaan hadits-hadits dha‘îf oleh al-Ghazali menandakan legitimasi hadits sebenarnya bukan terletak pada kitab hadits, tetapi lebih pada matan hadits.85 Masalahnya, keberanian al-Ghazali menggunakan hadits-hadits dha‘îf hanya berkisar pada hal-hal yang menyangkut etika, tidak merambah permasalahan yang menyangkut siyâsah yang dapat bersentuhan dengan penguasa incumbent. Salah satu kelemahan mendasar tidak berkembangnya kegiatan keilmiahan secara radikal di dunia Muslim bagian Timur dibandingkan dengan dunia Muslim di Barat, karena dunia Muslim di Timur berusaha menggunakan instrumen filsafat sebagai alat untuk mengompromikan dengan kekuasaan.86 Filsafat sangat penting untuk melahirkan ijtihad-ijtihad yang dapat melahirkan pemikiran yang dapat memberikan pencerahan. Sementara itu, dunia Muslim bagian Barat (Andalusia) agak lebih bebas dalam menggunakan filsafat dalam menggerakkan kajian ilmiah yang lebih mendalam.87 Revolusi ilmu pengetahuan yang terjadi setelah lahirnya Aveorisme menandakan betapa dahsyatnya kekuatan kajian ilmiah yang bebas, karena bisa menjalar ke seluruh cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya. Umat Islam sampai saat ini tidak pernah terbebas dari belenggu hegemoni kekuasaan yang berusaha menghalangi potensi umat secara holistik. Belenggu kekuasaan yang dimaksud ialah kekuasaan penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaannya. Demikian juga dogma-dogma yang tetap dipertahankan dengan bungkus agama untuk mendapatkan loyalitas dari masyarakat. Tidak dapat dibayangkan dahsyatnya perkembangan peradaban umat Islam bila benar-benar sudah bebas sehingga ilmuwan akan bebas mengekspresikan hasil temuannya, tanpa adanya tekanan non-akademis. Umat Islam tidak mungkin akan mengalami revolusi sains dan sosial yang sebenarnya bila masih berpikir secara parsial dalam artian tidak menggunakan potensi kekuatan secara penuh.88 Dalam konteks kitab-kitab hadits, mestinya umat Islam bersepakat menghilangkan dikotomi antara sumber Sunni dan Syiah. Kenapa ilmuwan-ilmuwan Muslim yang berdarah Persia atau tinggal di wilayah Persia yang cenderung berpaham Syiah, seperti ibn Sina, ibn Miskawai, Umar Kayan, Khawârijim tetap saja diakui sebagai ilmuwan Muslim tanpa ada dikotomi antara Sunni dan Syiah. Sementara itu, hadits-hadits yang notabene berasal dari sumber yang sama disingkirkan dengan alasan politik kebencian terhadap paham mereka atau sebaliknya. Legalitas hierarki al-Kutub as-Sittah sebagai sumber hukum harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat refleksi keberagamaan masyarakat Muslim pada masa lalu yang sengaja terkondisikan agar selalu lebih mengedepankan aspek ibadah saja. Seperti pada masa pemerintahan Belanda menjajah Indonesia dapat dibuktikan selama ratusan tahun pemerintah kolonial Belanda tidak sekalipun melarang atau menutup praktik-praktik keagamaan yang berorientasi hanya pada aspek ibadah akhirat. Kegiatankegiatan tarekat, berziarah kubur (nyekar bagi masyarakat Jawa), maupun wirid yasin malam Jum’at tetap dibolehkan oleh Belanda, karena tidak mengganggu hegemoni mereka, bahkan cenderung membuat kepatuhan terhadap penguasa makin tinggi. Skala hukum yang diberikan dalam kajian-kajian fiqh terdahulu sangat berorientasi pada permasalahan yang mereka hadapi dengan latar belakang yang berbeda-beda pula.89 Penggunaan skala hukum-hukum ibadah dalam masalah-masalah yang menyangkut di luar ibadah mahdhah. Konfigurasi
28
hukum yang ada sangat sederhana dan terkadang tidak mengena bila diukur dengan kasus-kasus yang bukan hukum-hukum ibadah, disebabkan oleh kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum-hukum humaiora sangat kompleks. Bahkan, terkadang harus tidak bisa selalu menggunakan skala-skala yang berlaku pada hukum-hukum ibadah.90 Hukum fiqh konvensional dalam masalah Jarimah (pidana) misalnya sering sekali mengenyampingkan indikasi-indikasi dari suatu perbuatan pidana. Karena adanya asumsi yang dipahami selama ini bahwa seseorang itu dihitung berdosa bila dia melakukan suatu perbuatan tercela, padahal mencegah perbuatan tercelah, baik itu untuk dirinya mapun orang lain sangat penting.91 Kajian fiqh pidana terdahulu hanya menyoroti dalam masalah-masalah kejahatan yang menyangkut fisik dan ketidakpatuhan kepada Allah Swt., dan tidak menjangkau masalah-masalah yang menyangkut kejahatan psikologi, kejahatan policy, ataupun kejahatan yang menyangkut kebangkrutan moral. Ada asumsi bahwa kajian- kajian fiqh stagnan karena menjadikan manusia (mukallaf) hanya sebagai objek hukum bukan sebagai subjek hukum.92 Padahal, nas mengisyaratkan bahwa manusia tidak selamanya sebagai objek hukum, namun di sisi lain juga harus bisa memainkan peran sebagai khalifah di bumi yang berarti sebagai subjek hukum itu sendiri. Desain hukum yang dimaksud di sini ialah fiqh yang bisa menjawab perkembangan zaman dilihat dari aspek hukum Islam. Selama ini, kajian fiqh sangat dibatasi dengan kajian yang bernuansa represif dan sering sekali mengabaikan aspek preventif hukum bila dilihat dari hukum bagi si pelaku kejahatan. Sering sekali hukum Islam itu dipandang tidak secara komprehensif. Hukum Islam tidak seperti hukum sekuler lainnya yang mengenyampingkan peran kitab suci (al-Qur’an dan hadits) dalam mengatur segala aspek kehidupan. Fiqh juga harus memberi ruang penilaian yang berdimensi adaptif dari permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing individu maupun kelompok karena setiap orang memiliki kekhususan dan ciri khas tersendiri, sementara kesan yang ditampilkan bahwa hukum itu harus bisa dibuktikan secara konkret. Kesulitan itu karena hukum fiqh sangat bias kepada bentuk hukuman yang represif bukan preventif.93 Tentunya dengan membuat barometer yang jelas dari hukuman preventif tersebut akan memudahkan mendeteksi perbuatan yang tidak disyariatkan. Tentunya hak asasi seseorang itu harus tetap dijaga, karena itu menjaga keseimbangan antara mendeteksi seseorang yang akan melakukan suatu kejahatan dengan menggunakan parameter yang jelas dengan mensinergikan hak asasi manusia yang dianggap sudah baku. Walaupun hak asasi itu sering digunakan orang untuk berlindung dari kejahatan-kejahatan terselubung.94 Berapa banyak kasus-kasus yang demikian itu terjadi, karena orang-orang tertentu hanya melihat celah-celah hukum yang bisa dilanggar dan dikelabui oleh mereka. Di sinilah perlunya kecermatan yang matang untuk bisa menggiring orang-orang yang berlindung dari slogan-slogan hak asasi manusia, padahal memiliki maksud terselubung untuk melanggar hukum yang pada akhirnya juga melanggar hak asasi orang lain.95 Fiqh juga harus bisa menjawab persoalan-persoalan yang sekarang ini sudah menjadi suatu keniscayaan dalam beraktifitas di dunia modern,96 seperti hukum membuat patung yang dalam pembahasan fiqh klasik kurang mendapat tempat, bahkan cenderung diabaikan, karena takut terjebak pada kemusyrikan. Lain halnya bila kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan bukan untuk membuat kemusyrikkan, melainkan untuk alasan seni maupun keindahan maka perbuatan tersebut menjadi suatu keniscayan di dunia modern.97 Dari segi hukum Islam, penggunaan perempuan sebagai unsur periklanan masih sangat baru. Menurut kajian fiqh klasik, menyertakan perempuan dalam aktivitas komersial hampir tidak pernah dibahas, padahal hal itu adalah suatu keniscayaan saat ini. Alasan-alasan yang sering dimunculkan karena dapat menimbulkan dampak syahwat kepada laki-laki yang bisa mendorong ke arah perzinahan. Sering sekali perempuan dijadikan objek dan terkesan dikambinghitamkan dalam kejadian-kejadian yang bisa menimbulkan kejahatan seksual. Meskipun hal di
29
atas bisa juga dibebankan kepada laki-laki untuk bisa menahan syahwat karena hal tersebut yang lebih baik. Memang terkadang perempuan terkesan dieksploitasi dalam beberapa kegiatan ekonomi maupun politik, akan tetapi jangan dijadikan sebagai alasan untuk menyingkirkan peran perempuan di panggung peradaban, apalagi dengan alasan nas.98 Respons hukum yang dilakukan pemerhati hukum Islam terhadap sejumlah permasalahan hukum dewasa ini masih sangat kesulitan dalam menjawab tantangannya.99 Artinya, sangat sulit menjawab permasalahan hukum dewasa ini hanya dengan menggunakan parameter atau metod0logi fiqh klasik.100 Jadi, harus dibuat metodologi yang baru untuk bisa mengadopsi permasalahan-permasalahan di atas. Kendala terbesar yang dihadapi oleh ahli hukum Islam dewasa ini ialah adanya perasaan inferior tax, yaitu perasaan rendah diri dalam bertindak seakan legitimasi berijtihad hanya dimiliki oleh orang-orang terdahulu saja. Nilai filosofi fiqh ke depannya yang hendak dibangun berbeda dengan nilai filosofi fiqh klasik yang bertitik pangkal masalah hanya pada masalah ibadah mahdhah. Nilai filosofi fiqh seyogianya memiliki tiga pilar, yaitu pilar tauhid, pilar humanis, dan pilar sains.101 Pilar tauhid memiliki dasar-dasar hukum Islam yang yang mengakui keesaan Allah Swt. dan mengakui kerasulan Muhammad Saw, serta ajaran yang dibawanya. Pilar humanis mengedepankan nilai-nilai humanis yang universal sebagai perwujudan Islam sebagai rahmat lil ‘alamin. Dalam arti Islam harus bisa mengayomi bukan hanya umat Islam, akan tetapi umat lainnya dalam skema prinsip humanisme. Dasar nilai-nilai humanis Islam yang universal adalah nilai keadilan, toleransi, persamaan hak di depan hukum, moderat, maupun nilai-nilai yang memberi kesempatan siapa saja untuk berprestasi ataupun berkarya.102 Pilar sains artinya ijtihad yang dilakukan harus mengikuti perkembangan zaman, yakni hukum itu berbeda sesuai dengan tempat dan masanya. Salah satu kelemahan fiqh selama ini masih terkurung dengan “ego Muslim sentris”, artinya masih kurang membahas terhadap permasalahan yang berkaitan dengan hubungan umat Islam kepada pihak lainnya. Sebagai contoh konsep persaudaraan yang dibangun selama ini masih berada pada level permukaan saja, pada tataran slogan, atau paling tidak masih terlihat sebagian besar umat Islam membayar zakat fitrah kepada fakir miskin. Padahal, instrumen zakat itu diberlakukan untuk memberdayakan umat Islam dengan memberikan akses ekonomi kepada mereka. Akan tetapi, bila dilihat dari sisi perdagangan antarnegara-negara Islam (anggota OKI) mengadakan hubungan dagang dengan negara-negara nonMuslim. Neraca perdagangan lebih dari 90% dibandingkan dengan neraca perdagangan dengan sesama negara muslim yang rata-rata hanya 4%.103 Data di atas memberikan penjelasan dalam banyak hal betapa minimnya implementasi Ukhuwah Islamiyah dalam bidang ekonomi atau betapa dangkalnya pemahaman umat Islam dalam mengelola perdagangan mereka. Memang dalam Islam tidak ada larangan untuk mengadakan hubungan dagang dengan pihak non-Muslim. Akan tetapi, agak lain ceritanya tatkala perdagangan yang dilakukan dengan pihak non-Muslim tersebut bisa mematikan ekonomi negara Muslim juga, yang notabene dikesampingkan dalam arena perdagangan antarnegara. Negara-negara Islam diam saja ketika Palestina dijajah Israel. Faktanya di sana terdapat masjid al-Aqsa (tempat suci ketiga), tempat Nabi Muhammad Saw. naik ke langit dalam peristiwa Isra’ Mi‘raj. Fiqh harus juga meletakkan dasar-dasar hukum bagi pihak untuk berbuat dalam berkompetisi dengan pihak luar, dengan kata lain fiqh harus memberi reward kepada pihak yang berinisiatif untuk memajukan umat Islam. Juga memberi hukuman bagi mereka yang berkesempatan untuk memberi kontribusi pada kemajuan, tetapi tidak melaksanakannya. Hal ini penting karena selama ini kajian fiqh klasik terkesan sangat pasif terhadap permasalahan-permasalahan yang menyangkut dengan aspek-aspek kreativitas, dalam memajukan umat Islam.104 Masalah yang timbul nantinya bagaimana bisa mengukur nilai-nilai inisiatif dalam beraktifitas tersebut dengan memberikan legitimasi fiqh (shar‘iyyah) atasnya.105 Fiqh diharapkan dapat memberikan langkah-langkah konkret dan terukur yang bisa dilakukan di lapangan yang selama ini belum digarap oleh kajian fiqh klasik, seperti memberikan penghargaan legitimasi shar‘iyyah
30
kepada mereka yang memberi kontribusi positif kepada orang banyak dalam segala bidang kehidupan, apalagi sampai mengangkat nama Islam. Kurangnya penghargaan maupun motivasi kepada mereka yang berkarya selama ini dengan sangat bias kepada amal-amal akhirat disinyalir menjadi salah satu sebab kenapa stagnasi umat Islam berkarya dalam hampir semua bidang kehidupan. Legitimasi shar‘iyyah terhadap inisiatif positif yang membawa kemaslahatan umat Islam, ataupun mereka yang sangat berjasa dalam menghasilkan karya-karya yang dinikmati oleh orang banyak bisa menimbulkan semangat untuk berijtihad, baik itu ijtihad dalam tingkat pikir maupun amal. Ijtihad dalam pikir harus seimbang dengan ijtihad dalam bidang amal.106 Nas-nas yang digunakan harus seimbang antara nas-nas yang mendukung dalil ijtihad pikir maupun ijtihad amal. Hal yang penting yang harus dilakukan untuk memetakan kajian fiqh ialah dengan melakukan identifikasi wilayah kajian fiqh untuk mempermudah dalam menetapkan kaedah-kaedah hukum yang berlaku atasnya. Kesulitan yang selama ini dihadapi dalam menetapkan hukum-hukum yang terjadi akibat perkembangan zaman.107 Adanya usaha yang jelas dalam memetakan wilayah hukum yang dihadapi dalam kajian fiqh kontemporer seperti ini, ini juga akan membuka kajian fiqh semakin terbuka untuk dibahas. Sebenarnya banyak konten sunnah yang dapat diimplementasikan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk juga ke dalam hukum positifnya. Kasus pembunuhan disengaja adalah salah satu kasus yang dapat dijadikan item untuk membuktikan bahwa sunnah dapat dijadikan sebagai sumber hukum di Indonesia yang mayoritas muslim. Pasal-pasal hukum yang ada saat ini terkadang kurang mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat, terutama bagi mereka yang selama ini menaruh asa pada lembaga-lembaga penegakan hukum. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya protes yang dilakukan masyarakat terhadap kasus-kasus yang telah diputuskan oleh lembaga peradilan.108 Banyak yang merasa hukum belum mencerminkan rasa keadilan apalagi ketika hukum berkaitan dengan pihak-pihak yang memiliki nilai kapitalisasi kekuasaan maupun uang. Dalam konteks pembunuhan disengaja, tidak jarang pihak keluarga korban merasa kecewa dengan keputusan yang diterapkan oleh lembaga peradilan. Hal tersebut mengindikasikan perlunya perbaikan penerapan hukum pidana, terutama dari segi substansi pasal-pasal hukumnya yang sama sekali tidak melibatkan keluarga korban dalam memutuskan kasus pembunuhan disengaja. Wajar asumsi yang mempertanyakan kewenangan aparatur penegak hukum resmi tanpa menyertakan elemen-elemen yang paling berkepentingan terhadap suatu masalah hukum.109 Padahal, bila ditelisik lebih jauh pihak yang paling merasa dirugikan dari suatu pembunuhan disengaja tentu keluarga korban itu sendiri. Akan tetapi, dalam proses persidangan, pihak keluarga korban sama sekali tidak dilibatkan dalam pertimbangan putusan hakim. Inti pembahasan sunnah tasyrî‘iyyah dan non-tasyrî‘iyyah dalam bagian ini ialah untuk memetakan sunnah dari sisi hukum maupun non-hukum. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Nabi Saw. bisa dilihat dari berbagai segi, baik dari segi sebagai seorang Nabi maupun sebagai manusia biasa, yang kedua segi itu dapat menimbulkan dampak hukum yang berbeda. Sunnah tasyrî‘iyyah yang dimaksud di sini adalah ketika sunnah tersebut mendapat dukungan dari al-Qur’an. Korelasi dengan teks al-Qur’an menjadikan sunnah memiliki dampak hukum bagi umat Islam. Di lain pihak, sunnah non-tasyri‘iyyah sering dikaitkan dengan perbuatan Nabi Saw. sebagai manusia biasa. Karena itu, perbuatan Nabi Saw. dari segi ini tidak memiliki dampak hukum bila dilihat dari aspek fiqh.110 [] Catatan Kaki 1 2 3
John Gage Al l ee, ( ed.), Webste r ’s Di c tiona ry (B rid lingto n: Pete r Haddoc k Lim ited, 19 75), hlm. 31. AP Cowi e, (Chi ef ed itor), Oxfo rd Advan ce d Le arn er ’s Di ctio na ry (O xford Un iv ers it y Pre ss, 1989), hl m. 67. Badudu-Z ain, K amus Umu m Bahas a In donesi a (Jaka rta: Pustaka S ina r Harapa n, 2001), hlm. 969.
31
4
5
6
7
8
9
10
11
12 13
14
15 16 17
18
19
Yang di ma ksud deng an zaman pr i mi ti f ia lah zam an ket ika ma nus ia be lum meng ena l s imbo l -s imbo l tul isan da la m be r komun i kas i de ngan s esa ma komu nitas m er ek a. G. A Ba rton, Have r fo rd L ib ra r y Coll ec tion o f T abl et , Par t I (Phi lad e lphia, 1 950), hlm. 3. M ir cea El iad e (Ch ie f ed ito r), The En cy clo pedi a o f Rel igio n , Vol. 2 ( Ne w Yor k: Ma cm illa n Lib rar y R ef er enc e USA, 1993), hl m. 1 -5. Pema hama n t erhad ap sunn ah t er ka it d en gan sunna h d ikat egor ika n s ebaga i ha l yang d ivine atau p rofa ne. Pada umum nya, umat I sla m dal am m e mandang sunn ah terbag i pada tiga bagian, yait u me m er caya i sel uruh sunnah b era sal da r i Nab i Sa w. adala h divin e; meng anggap seb agia n sunnah sebag i ha l div ine ; sebag ian lag i profan. Ada juga golongan uma t Islam yang me mandang s emu a sunnah adalah profan. Golongan ini b iasan ya dis ebut ink âr as -Sunn ah . Lihat Muha m mad Aniz ‘ Ubadah, Tâ ri kh al- Fiqh al -Is lâm î fî ‘ Ahd an - Nubu w wah w a as - Sahâ bah, juz I (t.tp: Dâr al -T iba’ah, 19 80). Al- Qara fi, N af â’ is al- Usûl fî Sha rh al -Mahsûl, ed. ‘Âdil Ahmad ‘Abdul M aw jûd and ‘Ali Muha mmad ib n Mua w wad (Ri yâdh: Makt abat N izâ r M usthaf â al - Bâz, 19 97), hlm. 9. Al- Qarâd haw î, As- Sunnah Mas da ran li al -Ma ‘r if ah wa al-Ha dhâ rah (Ka iro: Dâr ash -Shu rûq, 1998), hl m. 60. Kha li l Abdu l Ka ri m, Neg ar a M adinah Pol it ik Pen aklu kk a n Masya ra ka t Suku A rab, ( Yogya kar ta: L Ki S, 2 005), hlm. 1 12 -11 5. Lihat juga W. Mongom ery Watt, Muha mma d P rophe t and S tat esm an (London: Oxfo rd Univ er sit y Pr ess, 1969). M enuru t Q ura ish Sh ihab ay at m eng ena i k eboleha n men ikah i pe re mpuan ahli kitab dan m e ma ka n semb e li han he wan ah l i k itab t ida k ber la ku lagi, kar ena sudah d inasa kh kan d e ngan QS 2:21, l iha t M. Qura ish Sh ihab, Ta fsi r a l-Mis bah, vo l. 3, (Jakar ta: Le nte ra Ha ti, 2 001), hlm. 28 -29. Ada juga y ang men afs ir kan ay at 5 su rat a l - Ma idah han ya dip er untu k kan unt uk la k i - lak i Mus lim t er hadap pe re mpua n ahl i k itab y ang m en jaga d ir inya bu kan untu k pe re mpua n Mus lim t er hadap lak i - la k i ah li k itab. Lihat Abdu l Kar i m Khat ib, Taf si r Al- Qu r’ an al -Ka rî m, jilid 3 (B e irut: Dâr al- ‘Arab iyah, t.th), h lm. 103. Dite mu kan in ji l ya ng te lah b erus ia 2 000 tah un leb ih d i Tu r ki y ang is in ya sangat s esu ai d engan is i al Qur ’an, di anta ranya t entang k edata ngan seor ang Na bi yang bern ama Ah mad, juga pen egasa n bahw a Isa ibn Mar yam ada lah s eorang manus ia bu kan an ak tuhan, liha t w ww.da ily mail.co.u k/n ew s/j esu s pred ict ed adv ent proph et Moham m ed (dia ks es tangga l 14 M ei 2 012 ). Al-B uthy, Fi qh Si rah , edis i t er j emah an (Jaka rta: Hik mah /M izan Pub lika, 200 9), hlm. 234 -2 40. Per ist iw a pe rang Bosni a yang b e rla ngsung s e lam a lima tahun (19 90 -19 95), be ra khirnya dita ndai adany a per jan ji an da ma i. Dala m p er ist i wa g enos ida t ers ebut ter catat leb ih da ri 200.00 0 pend uduk Bosn i a Mus l im yang m en jadi ko rban k ek e jam an S erb ia ( kr ist en O rdtodoks). S em enta ra itu, d ala m ba nya k kasu s Mus l im Bosn ia dis e lam atk an oleh K r ist en Kroas ia y ang dalam pep era ngan ter sebut be k er ja sam a me la wan Se rbi a, seh ingg a banya k dar i Mus lim Bo snia yang me nikah d engan K ris ten Kroas ia. Alians i in i berhas i l m engus i r tenta ra Se rb ia yang s ebe lu mnya meng uasa i sebag ian b esar w ila yah Bosn ia da n Kroas ia, Lihat “Europ ean Jou rna l of Popu lat ion,” da la m Sp rin ge r Ne ther land s , ed is i 21, (2 005), h lm. 187 215. Jumla h uma t Is la m pada wa ktu i tu l eb ih bany ak la k i - la ki d ar ipada pe r empua n, hal itu dap at dim enge rt i tek anan dar i pi hak kaf ir Ma kah ket i ka it u sangat heb at . Ditambah lag i yang dapat m elaku ka n hijra h k e Mad inah b iasan ya hanya la ki -l ak i dar i golo ngan um at I sla m. Lihat A l -B huty, Fi qh Si rah , h lm. 2 02. Al- Qarad haw i, As -Sunn ah Masd ar an li a l -Ma ‘ rif ah wa a l-Hadh âr ah , hlm. 78. An-Na wa wi, Sahîh Musl im, Juz XVI, tp, t.th, hlm. hlm. 1 54 -155. M enuru t I ma m Sya fi ‘i, s esu atu itu d i kata kan sunnah t as hrî‘ iyy ah apab ila s er ing d ila kuk an o leh Nab i da n dian jur kan kepada sahab atnya. Dita mbah kan juga yan g dima ksud denga n sunnah sunnah t ashr î‘ iyya h perbuat an Nabi yang m endapat kan i syar at lafaz Al -Q u r’an, lihat Im am Syaf i‘ î, Ar- Ris âlah (tp:t.th), hlm. 91. Al-B ukh ar i juga di k rit i k ka ren a dengan m er iwaya tka n hadits dar i Ais yah ten tang te rsihirnya N abi yan g dil aku kan ol eh Lab id ibn A‘sa m, hal ters ebut m enda pat kritik dar i beber apa ula ma yang me ragu ka n hadits te rseb ut kar ena b i la had its itu b ena r b era rti ak an m emba haya kan oto rit as ken abia n yang se la l u mend apat guid anc e dar i Al lah. Li hat Al -Jassas, Ah kâm al- Qur ’an (B e irut: Dâr a l- Fik r, t.th), hlm. 48 -49 . Juga Muha mmad Ja mal ad -D in a l- Qas im i, Mahâsin a t- T a’ wîl, jilid XV II, (Ka iro: ‘Is a al - Bâb i al-H alab i, t.th), hlm. 1 12-1 13. Lihat juga t ul isan Mu ham mad Abduh, Ta fsi r Juz ‘A mma ( Ka iro: Dâr as h -Sha‘ ab, t.th), hlm . 138. M etode in i banya k di kr it i k ol eh I ma m Syaf i‘ i, teru tam a ket ika dia ber kun ju ng k e M es ir s ebaga i sa la h satu bas is uta ma mazhab Ma l i ki. Bagi I mam S yaf i‘ i, m e tode am ala n ah li M adin ah ini sangat t ida k va l id untuk d ij adi kan s ebaga i dasar hu ku m ka re na tida k m em ilik i fondas i teo ri yang jela s tenta ng kons e p ama l ahl i Mad inah yang m enj adi hu j jah da lam h uku m. Banya k u la ma peng ikut ma zhab Malik i yan g
32
20
21 22
23
24
25 26
27 28 29 30
31 32
33
34
35
36
37 38
bera l ih men jad i mur id Ima m Sy afi ‘i. Ah m ed E l Sha msy, ” The F irst Shaf i‘ î: T he Tr adit iona list Legal Thoug ht of Abû Ya‘qub Al -Bu way tî (23 1/846)”, Da la m Konin kli jk e Br ill (200 7), hlm. 1 -42. Bagi u mat Is la m, Is lam adal ah satu -satun ya aga ma y ang paling b enar bu kan hanya d idasa r kan pad a aspe k teolog i, akan tet api dibu kt i kan se cara k eny ataa n bahwa Islam satu - satunya aga ma di dunia i n i yang bisa d igande ng dengan inst itus i - inst itu si mode rn , sepert i I sla m ic Ba nk, I sla m ic I nsura nc e, Is lam i c Stock E xcha nge, I sla m ic La w, Is la m ic Ma rieg e La w. Lih at ‘Ali Jum ‘ah, A l-I qt isâdu al- Islâ miy y (Ka iro:Dâ r al- Is lâm, 200 9). Lih at juga A la’ Eddi n Kha rofa, T ransa c ti ons in Isla mic La w (Kua la Lu mpu r: A.S Noordee n, 2004). M uha mmad Abdu l Man nan, The Ma king of I slam ic Econom ic So cie ty (Jedda h: Int er nat iona l Associa tion of Is la mi c Ban ks, 1984). Fra nk E. Voge l and Samue l L. Hay es, I II, Isl am ic la w and F inan c e (London: k lu we r la w, t.th). Moha mm ed Ar koun, Sp ritu ali ty an d A rchi te ctu re (An kar a, 1995), hlm. 18. Usuliy yîn me maha m i sunna h c ende rung d ilih at dar i ko nte ks sunn ah itu se ndiri yang me m iliki impl i kas i huku m, m er ek a m emand ang sunnah Nabi s et elah Mu ha mmad d iang kat seb agai rasu l. Syaikh Muha mm ad Ridha a l- Muz affa r, Usûl al -F iqh , Jil id I (Te he ran: Mak ta b al-I ‘lâm a l- Islâm, 13 77 H), hlm. 15 -1 8. Li hat Seung. T. K., Se mio tics and The ma ti cs in He rm eneu tic s (Ne w Yo rk: Columb ia Un iv ers ity Pr ess, 19 82), hlm. 2 4-30. M. Y ahya H arahap, Info r masi M at er i Huku m Is la m, “Mem posi ti fkan Abs t rak s i Huku m I sla m” d ala m Komp ilas i Hukum Isla m dan Pe rad ilan Aga ma d ala m S is tem Hu kum Nasi onal (Jak arta: Logos, 1999), hl m. 23-2. M.B Hoo ke r, Indon esia n Sha ri ah (Singapor e: Inst itu te o f South Asian Stud ies, 2008), h lm. 55 -59. Bagi S yia h, masa lah otor itas da la m m enaf sirk an m ak na nas te rleta k pada w ilayatu l faq ih, y ait u golonga n ula ma Sy iah yang d ianggap te lah m en capa i lev e l mujtah id, liha t Shah rough A khav i, “ Contend in g Discou rs es Wi lâ yat al -Fâq ih,” da la m I ran ian S tud ies, vo lum e 29, No. 3 -4 (199), hlm. 60. Al- Qâd i ‘i yadh, Ash - Shi fa ’ bi Ta ‘r îf Huqû q al -Mus tha fâ ( Be irut: Dâ r al -F ik r, 1988), h lm. 18 0 -195. An- Na wa wi, Sahîh Musli m bi Sha rh an - Na wa wi, Juz XV I (Be ir ut: Dâr al -F ikr, t.th), hlm. 154 - 155. Hasan Mu râd, Kull iya t Usûl a d -D în ad -Dau lat al -U mayy ah bi a sh -Sh âm wa And alus (t.tp:t.th), h lm. 4 -11. Pada dasarnya, w ala upun te rj adi pe rbed aan dalam m azhab, tetap i tetap menga rah pada satu su mbe r yang di warta ka n ole h Nab i. Lihat Muha mm ad Suwa id , Al-Madhâh ib al -Is lâm iyah al -Kha msah w a alMadhhab a l-Muw ahhad (B e irut: Dâr at -T aqr ib, 1318 H/ 1997). Ibn Ta i mi yah, Minhâ j as - Sunnah an -N aba wi, juz I (t.tp:t .th), hlm. 532 -534. Ada asums i perang rid dah in i te rj adi bu kan ka r ena m otivas i untu k m enge m ba likan a k idah uma t saj a yang diangg ap sesa t ka re na ada orang -orang t er tent u yang m eng a ku s ebagai Nab i sep er ti Mus ai la ma. Hal in i did asar i bahw a Musa i la ma sudah m enga ku Nab i seja k zama n Nab i Muha m mad Saw. mas ih h idup. Asums i yang cu kup kua t berh ubungan de ng an mot ivas i e konom i. Abu Bak r tampa knya sang at kha wat i r dengan s ikap p enol aka n me mbay ar za kat yang m e rupa kan su mbe r utam a pem asu kan nega ra pada wa kt u itu m eny eba r k e dae rah -da er ah la inn ya. Philip K. Hitt i, Hist ory o f the Ar abs , th e T enth ed it ion (N e w Yor k: Ma c mi l lan and Co, 1970), h lm. 141. Muha m mad an - Nuha ih î, Nah wa a th - Thaur ah fî a l-F ik r i ad-D îni (B eirut: Dâr a l-Adâb, 1983), hlm. 144 147. Saat ini kubur an Sa‘ad ibn Waqash d i Guang Dong dija dik an obje k w isa ta rohan i bagi um at Is lam ya ng henda k be r kun jung ke Chi na. Ka j ian hub ungan an tara China da n Is la m t ela h lama ada k ar ena bag i I sla m peradaba n ti nggi Ch ina t e lah me mb entu k hubunga n emos iona l. Lih at Is aac Man son, The A rabi a n Pro phet: A Li fe o f Moha med fro m Chines e and Ar abi c Sour ces, Chine se -Mos le m Wor k by Liu Chia - Li en (Shanghai: Com me rc ia l Press, 192 1). Lihat juga Zvi B endor B enite, The D ao of Muhamm ad: Cul tur a l Histo ry o f Chin ese Mus lim i n La te Imp er ial (Ca mbr idge, MA: Harva rd Un iv ers ity P res s, 2005). Te rj adi pe rbeda an pendapat di k ala ngan akad e mis i tentang nepot ism e yang te rjad i pada mas a pem er inta han Uts man, argu me n yang m endu kung n epotis m e ter jad i pada masa Ut sma n biasan ya me ru juk pad a penu nju kan b eb erapa da ri gub e rnur yang m em ilik i hubung an k e ke rabatan. Joe soe p Sou‘yb, Se ja rah Dau la t Khula fa u r Ra syid in (Jaka rta: Bu lan Bin tang, 1976), h lm. 365. David S. Pow er s, S tudi es in Qu ran and H adî th (B er k ele y: Unive rs ity of Ca liforn ia P re ss, 198 6). M. Coo k, The Qo ran: V er y Shor t Int rodu ct ion (O xford: Ox ford un ivers ity Pr ess, 200 0). Band ing kan d engan Burton , “Col le ct ion of the Qu r’an , ” dala m The Ecy clo ped ia of th e Qur ’an , 6 vols., J.D. Mc Auliff e, ed (Le id en: Br i ll , 2001-2 006), I, hl m. 345 -364. D.A. Madigan, The Qur ’an Sel f I ma ge (Pr inc eton: Pr inc e ton Univ er sit y Pr ess, 2001). Arab Utar a se ja k zam an dahu lu m e mang dik ena l sebaga i dae rah pe rdagangan s eh ingga t ida k meng he ran kan s e ja k za man Nabi Muha mmad Saw. mas ih r e ma ja d ibaw a Abi Ta lib pa mannya be rdagan g ke n ege ri Sya m (Damas kus se ka rang in i). Ada perbed aan dalam me lihat suatu fig ur te rgantung lata r
33
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
bela kang int er es t yang m emba wan ya s eh ingga has il s ebuah p en ila ian bis a be rbeda b ila d iliha t da la m fr ame yang b erb eda pu la. Lihat Spr ung. M, Th e Quest io n of b eing: Ea st W est Pe rs pec tiv e (Un iv ers ity Pa r k: Pennsy lvan ia Uni ve rsi ty Pr ess, 1978). Zubai r ibn Aw wa m d ipe rca ya s ebaga i sa lah s atu sah a bat utam a, te rleb ih d ia t er masu k da la m s epul uh sahabat ya ng di ja m in masu k su rga o le h N abi k et ika mas ih h idup. S ebaikny a m e lihat s e jara h sahaba t terut ama yang b er ka itan deng an po lit ik t ida k han y a dar i s is i be nar - salah, t etapi juga me maha m i konsta las i atmosf e r ket i ka itu yang r enta n dengan manuv er pihak yang m er asa dir ugikan de nga n datangnya I sla m. Liha t Ma ula na M uha mmad ‘A li, The Rel igion o f Is lam A Co mp reh ensive D iscuss ion o f the S our ches, P rin cip les, an d P ra ct ice s of Isla m (t.tp.: U.A.R. By Nat iona l Pub licat ion & P rin ting House , t.th). Pada wa ktu itu ste mpe l k ek hal ifa han han ya d ipega ng ole h dua or ang, ya itu Utsm an s endir i da n se kr etar isn ya, Ma r wan. Lihat P et er Mansf ield, The N e w A rab ians (N e w Yor k: J.G. Fe rguson Pub lis hin g Co., 1981), hlm. 21. Manuv e r pol it ik yang d il aku kan pada a wa l pe me r inta hannya d in ila i ku rang b ija ksa na, se car a front a l me la ku kan pe me catan te rhadap gube rnu r -gub ernu r yang diangka t oleh Uts man s ehingga Ali di ni la i me la ku kan bl unde r pol iti k. Li ha t Abdulkade r O wdah, At- T asy rî ‘ al- Jinâ ‘î a l-I slâ mî, 1 s t ed. (Be irut : Mua’ assasah a r-R isâ lah, t.th), h lm. 16 4 . Istr i Nab i Muha mm ad Sa w. yang pa l ing d ik ena l da la m sejarah, ka ren a banya k m er iwayat kan hadits dar i Nabi. P er ist i wa Pe rang Ja mal antar a Ais ya h dan A li ( m er tua dan m enan tu) m en imbu lkan p en ila ian s e car a psi kolog is bahw a ada masa lah d i antara k eduanya s ebe lum per ist iwa te r jadi. Tampa kn ya per ist iwa f itna h yang dituduh kan k epada Ai syah te lah m e la kuk an af fai r dengan seo rang sahabat yang be rna ma Sufya n ket i ka t ert ingga l rombong an m en jadi p em icunya. Ali adalah orang yang p er caya t erhadap isu it u seh ingga Nab i s endi ri mu la i per caya d engan isu itu s eb elum tu run ayat ya ng me nega ska n bahwa A isya h tida k te rl ibat d engan t uduhan itu. N abi Muh am mad t idak m ungk i n p er caya t er hadap isu it u bila t ida k ada bis ik an dar i ah li ba it itu s end ir i, ya itu Ali. Lih at M uham mad Abû Zah ra, Al -Ja rî mah wal þ Uqûb fî l Fiqh al -Is lâm î (Ka iro: Dâr a l- Fi k r al -þArab i). Agaknya a ka n sul it s e ka li m enga kui sif at k ead ilan dari sa habat ya n g m elaku kan ca ra -c ara li c i k me mpe rdaya sahabat yang la in ha nya kar ena k e kuasa an dunia. Aka n t etapi, d ala m p er iwayata n had it s kons ep k ead i lan y ang d ik ait kan te rhadap sahabat han ya te rbatas pada masa lah trans m is i pe r iwa yata n hadits. Banya k ula ma kons er vat if ya ng m e mpe ringat k an siapa sa ja yang me ragu kan k euta maan dar i sahabat, dianggap te lah me la ku kan dosa yang besa r, dengan ka ta la in sega la pe rbuatan sah abat haru s dil iha t dar i asp ek pe ri way atan. Lih at Haf iz ibn H ak îm, ‘ I lâmu a s - Sunnah al Mansyu ra h (R iyâdh: Ma ktaba h ar-Rus hdi, 20 11), hl m. 220. Al- M izz i, Tahdh îb al -Ka mâ ’il fî A smâ ’ a r- Ri jâl, ed. Bashs hâr Ma‘rû f Aw wad (B eirut: Mu’as sasat a r -R isâ lah , 1980), hl m. 19. Ibn Haja r al -A sqal ânî, A l-I sâb ah fî T a myîz al -S ahâb ah , jilid I (Be ir ut: Dâr al - K itâb al ‘Arabi, t.th), h lm. 19. Cara pandang Mu‘t azi lah d ianggap ber l ebih an me nurut ulama di lu ar M u‘taz ilah. Ka langan ulama Sunn i umu mnya be rpend apat bahwa t idak ada pe rte ntangan hadits satu de ngan nas al- Qu r’an m aupun denga n hadits la innya s ep ert i yang d ituduh kan Mu‘ taz ila h. Ibn Qutayba h, Ta ’w îl Mukh tal af a l -H adî ts, (t.tp:t.th). Konse ku ens i dar i def in is i yang dibua t Anas ibn Malik men afika n orang -ora ng yang hanya m e lihat Nab i wa laupun m er e ka Mus l im. Lih at Ibn as -Sa lah, ‘U mûm a l-Had îts, ed. Nû r ad -Dîn ‘ Itr (B eirut: Dâr al- Fi k r, 1986), hl m. 294. Khat ib al- Baghdâd i, Al- Ki fâyah (t.tp:t.th), hlm. 69. Liha t juga al -I raqi, F ath al -Mughni th , Jilid 4. (t.tp:t.th), hlm. 3 35. Per ist iw a yang t e rjad i pada mas a aw al umat Is la m m e m ilik i dim ens i te rs end ir i bag i gen e rasi se te lahn ya. M. Shahru r, Al- Ki tâb wa al -Qu r ‘’ an: Qi râ ’ah Mu’ ats ir ah (Damas kus: Dâr a l-Aha li li at - Tiba ’ah w a an -N ash r wa at- Tauz i,’ 19 90). Per ist iw a k em enang an um a t Is la m dala m Pe rang Khan daq me rupa kan kon tr ibus i besa r dar i Salman a l Far is i yang m enya ran kan p embu atan pa rit seb agai pe rt ahanan. Padaha l s eb elu mn ya N abi te lah m embua t strat egi m il it er konv ens iona l ket i ka itu. Sa lm an m e mpe rtanya ka n apa kah ha l p er intah wa hyu, N ab i men ja wab bu kan. In i jug a yang m emb uat se ma cam d iskur sus bah wa Nab i tid ak s et iap saat dib imbi ng oleh wah yu s ehi ngga pe rl u m eng ide n tifikas i p erbuata n -perb uatan Nab i dala m kont ek s sebag ai rasu l atau man usi a bia sa. Lihat Ma nna A l -K attan, A t- Tash ri ‘ Wal Fi qh fî al- Isl âm (B e irut: Mu’ assasah ar - Ris âla h, 1987), hl m. 88. Muha m mad Sha lthut, Al- Islâ m A qîd a w a Sya ri ‘ah ( Kairo: Dâr as h -Shu rûq, 1992), h lm. 4 92. Al-Dhah abî, Ta jr îd As mâ ’ as - Sah âbah , ed ito r Sâlih ‘Abd u al-H ak im Shara f ad-Dîn, Jilid I (Bomba y: Shara f al-D în a l- kutub i, 1960), h l. 66. W.R. Cle m ent, R efo rm ing the P rophe t (To ronto: Inso mn iac P ress, 2 002), hlm. 73.
34
52
53
54 55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66 67
Mar sha ll Hodgson, “V ent ur e of Isl am: Consc ienc e and Histor y in Wor ld Civ ilizat ion,” Vol.1, da la m Th e Clas sic al A ge o f Is lam (Ch i cago: Un ive rs ity of Ch icag o Univ ers ity P re ss, 1974), h lm. 30 0. Seb enarn y a set iap gen eras i m e mi l ik i ha k dala m m elaku kan int erpr etas i te rhadap per ist iwa yang te r jadi pada m as a la lu, te rka it d engan kep ent ingan sa at in i. Pada masan ya, Abu Ba kar h enda k m eny eba rka n pe ngaruh I sla m ke s e luru h Jazirah Arab d enga n me lan jut kan re ncana p eng ir i man pasu kan yang t ela h diben tuk p ada za man N abi Sa w. s ehingga har us me mbe ntu k pasuka n bers en jata yang tanggu h. Abu Bakar enggan m e mbe rdaya kan orang -orang yan g duluny a t er lib at da la m pe rang Ri ddah . Lihat M uha mma d Abid a l-Jab ir i, Al- ‘A ql a s- Siyâ si (B e irut: M ar ka z Dirâs at al -Wahdat a l- ‘Arab iyah, 19 9), hlm. 1 56. Hasan Ib rah im Ha san, T âr ikh al -Is lâm, J ilid I (t.tp:t.th), hlm. 5 30. Bias anya, k eti ka sahabat t ert entu d iang kat untu k m en jadi gub ern ur d i da e rah -da era h d i luar Madi nah. Suryad i, “R ekons tru ks i M etodo logis P emah ama n Hadit s Nabi, ” dala m Wac ana S tud i Hadi ts Kon te mpo re r (Yogyak arta: Tia ra Wa cana, 200 2). Haj i Wada ’ m er upaka n s a lah sa tu mo m entu m yang pent ing da lam se ja rah Islam, kar ena d ala m pela ksa naanny a, haj i in i me rupa kan e ksp res i keb erha s ilan Nab i Muha mmad Sa w. dala m m eny eba rka n Isl am dan mend i ri kan fonda si y ang kua t bagi t erb entu k nya per adaban Is la m. Jum lah yang d is ebut kan d i atas m engi ndi kas i kan bah wa ha mpi r se lu ruh pend ud uk Mak ah dan Madinah se rta da erah s e kitarn ya tel ah me m el uk Is la m. Said Aqi l Husin a l - Muna wa r dan Abdul Mustaq im, Asbabul Wu rud: Stu di kr it i k Hadi ts N abi Pend ek atan Sosi o -His to ris - Kon teks tua l (Yo gyaka rta: Pusta ka Pe la ja r, 2001). Nabi a Abbot, Stu dies in A rab ic lit e ra ry P apy ri, II: Qur ’an ic Com enta ry and Tr adi tion in Ear ly D evelo pmen t of Wr it ten Tr adi tion (Ch icago: 19 67), hl m. 166. Ghanim ah me rupa kan sal ah satu unsur pen ting da la m mengg e ra k kan bangsa Arab untu k m elaku ka n ek spans i s ehi ngga ku ltur in i t etap d ip eliha ra ke tika Islam da tang. Da mpak nya dapat dilihat da la m sej arah baga im ana dala m wa ktu yang s ing kat dapat me nyeba rka n Is lam k es e luru h wila yah yang dulu ny a dik uasa i ol eh Ro ma w i dan P e rs ia. Kha lil Abdu l K ar im, Qu raysh min a l- Qa bîlah ilâ al- Daulah alMar kazi yyah (B ei rut: Mu’as sasah a l- Int isha r al- ‘Arab i, 1 993). Ami r ibn As m erupa kan sa lah s atu sa habat y ang me mbe rikan wa rna t er send iri dala m p er k emba ngan a wa l Isl am. T ida k di ragu kan kont r ibus inya da la m m emb eba skan M esir dar i tangan Ro ma wi, a kan t etap i di a juga dit uding aga k arogan s ehi ngga te rjad i ko mp lain terhadap pe m er intaha nnya ket ika dia m en jad i gubernu r di s ana. Al- THaba ri, Tâ ri kh al- Um am w a al- Mulûk, ed. Nuk h bah min al- ‘U la mâ’ a l-A jillâ,’ Jilid II I (Be i rut: Muas sasat a l-A‘ la mi l il Mat hbût‘a.t, t.th), hlm. 213. Daerah b ek as k ek uasaan sas anid t ida k beg itu subur d an bukan pusat pe rdagangan s eh ingga sahaba t enggan a wa lnya untu k d isu ruh ke d ae rah in i, lihat al -T h abari, Tâ ri kh al -U ma m w a al -Mulûk, J ilid II I (t.tp: t.th), hlm. 210. Abbas Mahm ud al-Aqqad, Ke taq wa an Khali fah Al i ibn Abi T ali b , ter j. Busta mi A.Gan i dan Zaina l Ahma d (Jakarta: Bu la n Bi ntang, 197 9), hlm. 31 -33. Adalah sepupu Al i dar i piha k ibu, seh ingga tuduhan te r hadap Ali yang tida k tegas m en ja lan kan huk uma n terh adap k el uargan ya yang t er ind i kas i m ela ku kan k esa lahan. Agak mengh e ran kan juga, kar ena sa habat -s ahabat y a ng pern ah dija m in Nabi Mu ham mad Sa w. masu k surga sa li ng berp era ng satu deng an yang lainnya. Unt uk m engh inda ri in i se ja raw an M uslim namp akn y a tida k meng ing in kan sahabat sep er ti Zuba ir ib n Aw wan sebaga i seo rang yang fasik ka ren a tel ah dipe ri ngat i N abi k et ika m asi h h idup bah wa d ia aka n me m erang i A li ibn Talib s e cara za lim. Oleh seba b itu, soso k Z ubai r t ida k d i de sk rips i kan mat i k et ika be rte mpur d enga n Ali. A kan tet api, k etika pep era nga n ber langsung d ia m engundu rka n di ri d an m en ingga l di dae rah Wad i Suba ’ ta k ja uh dar i meda n pert emp uran t ida k di k etahu i s iapa pe mbunu hnya, liha t Kha lil Abdul Ka rim, S ya riah , (t.tp:t.th), hlm. 46 51. Per ist iw a fi tnah in i juga d itud ing s ebaga i mun cu lnya h adits - hadit s pals u yang jum lah nya sanga t banya k dan bertu juan unt uk meng k la im ke lompo k m er e ka s ebaga i yang te rbaik dar i yang lain nya. Che ri f Bass iouni and Ga mal M. Bad r, “ Th e Sha ri ‘ah’: Sourc es, Int erp reta tion, A nd Ru le Ma king,” da la m U C L A Journa l of Isla mi c & N ea r E ast e rn La w, 1 (2002), h lm. 1 35. Al-A midy, Al- Ihkâ m fî Usûl a l -Ah kâ m (Egypt: Tabat Sa b‘ah Pres s, 1980), hlm. 56. Def ini si t enta ng M us li m m enu rut to koh Mu‘t azilah Ab u Qâs im Abdu llah ibn Mah mud a l - Ka‘b î (w. 3 19 H ) me re ka yang sudah m eya k in i shalat waj ib se rta m engh adap kib lat k e ka’ba h, bahkan I mam Abu Han ifa h mend if in is ik an s eorang itu Mus li m ia lah ora ng yang s udah m eya k in i sha lat itu wa jib wala upun da la m prakt i knya mas ih ragu - ragu m el aks ana kanny a. Abdul Qâh ir ibn THâh ir ibn M uham mad, Al -Fa rqu ba in a al-F ir âq (B ei rut: Dâr a l- Kutub a l-‘ I lm iya h), hlm. 9 -10.
35
68 69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
Ibn Ha jar a l-‘Asq alâ nî, A l- Isab ah fî Ta myîz a s - Sahâb ah , Vol. 7 (Kairo: Nahdh ah al - Misr, 1990), h lm. 43 5. Asad Haida r, Al- Im am as -S âdi q wa a l-Ma dhâhib a l-A rb a ‘ah (Be irut: Dâr al -K itâb a l-‘A rab iy, 1979 M), hl m. 590-59 2. Abad ke- 2 H di k ena l sebaga i mo m en pent ing da lam p er ke mbanga n hadit s, kar ena masa t ers ebut d ik ena l kodif i kas i hadit s seca ra res m i yang dilak uka n d ala m kont eks du kungan k halifa h. Perlu dipaha m i kodif i kas i had its bu kan hanya t er jad i pada ma sa in i, ak an tetap i ja uh seb e lumn ya beb erapa s ahabat jug a sudah m en yadar i b etapa p ent ingn ya bu kt i t ertu lis da ri hadit s Nabi. Bah kan, mas ing - mas ing s ahaba t me mbe r i infor mas i k eg iatan r e kam tu li s hadits N abi k epada sahabat yang lain, sep er ti pe r kataan Ab u Hura irah t enta ng puj ian d ia te rhadap Abdu lla h ibn Uma r yang s ela lu men ulis had its Nabi, bah ka n men jad i sa lah s atu su mbe r ru ju kan t ul isan haditsnya. Lihat Sah îh al- Bukhâ rî d ala m bab ‘il m, Jiid I, da la m Sha rah Fa thul B âr i , (t.tp:t.th), hlm. 149. Sebena rnya beb erap a sahab at t el ah me mbuat sahî fa t t ers end ir i s ep ert i as -S ahîf at as- Sa dîq ah yan g ditu li s Abdul lah ib n ‘Ama r (w. 63H). Liha t Abu ‘Um ar Yusuf ibn ‘Abd illah ibn M uha mmad ibn ‘Abd al Barr, Al -Is ti ‘ab f î Ma ‘ rif ât al -Ashâ b, Ji l id I II (Ka iro: Dâr Nahdhat Masr li a lTHab’ wa a l - Nasyr, t.th), h lm . 955-95 7. Sah îfa t A li, da la m Abdu a l- Kar îm ibn M uha mmad al -Sama niy, Ada b al -I mal â’ wa al- Ist im la ’ (Be irut: Dâ r Iqra, ’ 1986), h lm. 7. Sahi fat al- Fa râi dh milik Zaid ibn Tsâb it (w.45 H). Lihat juga Jam i l a Shaukat, ”P eng k las ifi ka sia n Lit eratu r had its ,” da la m Al -Hik mah , No. 13 (1415 H), h lm. 19. Sahî fat Jab i r ibn ‘Abdi l lah, da lam A l - Buk hâr i, Al -T âr ikh al -Kâ bi r Jilid VII (t.tp:t.th), hlm. 186. Urutan se mb il an kit ab had its ada lah Ki tab Muw ath tha ’, Musnad Ahm ad ibn H anba l, S ahîh a l -Bu khâr î, Sahîh Musl im, Sunan Ab i Da wûd, Sunan T ar mi dhî, Sun an an - Nasâ ’i, Sunan I bnu Mâj ah, dan Sunan adDâr imi. Al-Mu wa ththa ’ juga t er masu k da lam kat egor i a l-Kutu b as- Si tt ah. Lihat Abdu l G afur Su la iman a l Bandar i, A l-Mausû ’ah Ri jâ l al -Ku tub a t- Tis ‘ah , II I (B e ir ut: Dâr a l- Kutub al -Is la miyyah, 1 993), h lm. 493 496. Men urut Ad -Dah la wi, ia ada lah k itab ya ng pa ling sahîh , mas yhur, dan pa ling dahu lu diku mpu lka n. Ke mud ian yang tak k ala h penti ngnya ten tang Ahmad ibn Hanbal (lah ir 164 H). Men urut Ibn Q utaybah , ki tab in i adalah kit ab hadits yang pa ling s empu rna s eh ingga banya k hadits yang t erdapat d i dala m musnad ini t ida k te rdapat di da lam k itab - kitab hadit s la innya s epe rt i yang te rdapat dalam kary a Subh i as-Sâl ih, ‘ Ulû m al-H adî ts w a Mustha lahu. Dit erb it kan di Be irut oleh Dâr a l -‘ I lm i w a al- Ma la yin, tah un 1988. Susunan al- Kutub as- Si t tah m engal am i prose s histor is yang cukup panja ng didasa rka n pada peni la ia n ula ma-u la ma hadi ts dan fakto r -fa ktor ya ng me ny erta in ya. Tampa kny a fakto r politik cu kup bes ar dal a m pene mpata n uruta n al- Kutub a s - Sit tah in i. Hal in i dibu ktikan d engan kr it er ia had its m aqbu l yan g berb eda anta ra satu a li ran u la ma dan ulama la innya. Muha m mad M uha mmad Abû Za hw, A l-Ha dî th w a al-Muhad di thûn aw ‘ Inâ ya t al - Um mah al -Is lâm iyy ah b i as - Sunnah an - Nab aw iyy ah (Riyad h: ar-R i’âs ah ats-T saqâfah l i Idâr ât fî a l- Buhût s al‘ I lm iy yah w a al -Ift â ’ wa ad -Da‘ wat wa a l- Irsy âd, 1984). Ula ma han ya m er uj uk pada k itab - k itab had its yang b er ukur an bes ar sa ja, kurang m emp erh atikan h adit s hadits dala m ku mpu lan - ku mpu lan y ang leb ih k ec il s ep ert i su huf -s uhuf sahabat. Lihat Ab u a l Has an ‘A l i al Husn i an -N adw i, Ri jâl a l-F ik r wa ad -Da ‘w at f î al- Is lâm (Damas kus, B eirut: Dâr Ibn Kat hîr, 1420 H/ 1999), hl m. 3055. Hadits me rupa kan sa lah satu su mbe r ni la i dala m k eh id upan umat Is la m. Gamb aran p ene m patan matan matan had its yang b ers ifat ibadah m ahdh ah m endo min asi st ru ktur k itab - kitab hadit s, akan t etap i sayangnya susunan stru ktu r had its ya ng m erupa kan ijt ihad dar i peny usun k itab had its d ianggap s ebaga i susunan yang m em i li k i k esa kra lan yang tinggi se hi ngga jarang se ka l i ada ulama yang m e mpe rtanya kannya. Muha mmad Ar koun juga m eng kr it ik kond isi umat Is la m pada masa sila m yang kura ng kr it is terh adap produ k-p roduk pe m ik ir an ya ng d ihas ilkan oleh u la ma s eb elu mny a. Lih atla h taf sir a l - Qu r’an , kol e ks i hadi ts dia nggap sebag ai su atu ha l yang d ivine. Arkoun, I sla m: To Re fo rm o r to Subv er t (London : Saqi Boo ks, 2006), h lm. 1 15. Band ing kan d engan Hus ein Ham id Has an, N azâ riy ah al-M aslah ah fî al- Fiq h al-I slâ mi (Ka i ro: Dâr an - Nahdhah a l- ‘Arab iyah, 19 71), hlm. 4 - 8. Ahmad Ibn Hanba l pernah d ipen ja ra hanya ka ren a tetap memp ert ahan kan bahw a al - Qur ’an adala h ka la m All ah bukan m akh lu k. Lihat Al i Am ee r, “Is la mism: Em ancip ation, Prot est and Ide ntit y,” dala m Jou rna l Muslim M inor it y A ff ai rs, 20.1 (Apr i l 200 0), hlm. 11 - 28. B anding kan: Nabilah Lub is, Sye kh Yusuf at- Ta j alMakas ar i: Menyin gka p In tis ar i Se gal a R ahasia (Ja kart a: M izan, 199 6), hlm. 5 1 -61. Ser ing ka l i di ju mpai ka rya ul ama -u lama Sun ni ya ng me masu k kan kalangan Sy iah sebag ai bag ian dar i mazhab Isl am. Lih at Abdurr ahm an, Madhhab al- Islâ mîn (Beirut: Dâr a l- Ma lây în,19 96), hlm. 854 - 860. Ke lo mpok in i te rd ir i dari u la ma -u la ma yang ber alir an Mu‘ta zilah yang t erpa ksa m eny e mbuny i ka n iden tit as m er ek a, kar ena a kan mendap a tk an tind aka n repr es if dar i pe nguasa. Sayang s ek ali, pe rist i w a in i tida k dia nggap sebaga i k e mundur an di da lam s e jara h Is lam, padaha l sangat b erp engar uh pada men urun nya keb era nia n i nte l ek tua l ulama da la m meng e kspr es ikan pe ndapat ya ng m enggangg u
36
79
80
81
82
83 84
85
86
87 88
89
90
91
92
93
hegom en i pen guas a. Li hat Abu ‘Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad ibn al ‘Abbas an - Na jash i al-A sadî a lKuf î, Ri jâ l an - Na jashî (t.tp:t.th), hl m. 407. Ibn Tay mi yah, As- Siy âsah asy- Sy ar ‘iy yah fî Isl âh Râ ‘i wa Râ ‘i yyah, ed. Muha m mad al- Muba ra k (Dâr alKutub,19 66), hlm. 12. L ihat juga st at emen t-n ya m eng ena i “pe m imp in yang za lim leb ih baik dar i pada seha ri tida k m em i li k i pe m imp in ” ha rus d ipaha mi da lam kon te ks mudahn ya ag reso r as ing (bangs a Mongo l) yang me nginv asi wi la yah M usl im k et ika itu. Ib n Taym iy ah, As- Siy âsah asy -S ya r‘i yyah , hlm. 188190. Bagi Ibn Tay mi yah, set iap pe mi mp in m em ilik i sif at sep e rti dua mat a uang sis i baik dan buru k, kar ena i tu baginya pe m imp in itu m em ang sua tu ke nis caya an ya ng harus ada d i da la m masya ra kat. Muh am ma d Sira j, Ahk âm a t- Tash ri ‘ f î al- Isl âm (R iyadh: Ma ktabât a l -Bayân, 20 05), hlm. 79. Al- Ma ward i, Isla m an d Sta te (Laho re: Is la mic Boo k Fon dation, 19 83). Abu Has an a l - Ma ward i, Al- Ahkâ m as-Su lthân iyah (B e irut: Dâr a l- K itab a l-‘A la miy ah, t.th), hlm. 6. Khu lafau r Rasy id in ada lah kh al ifah y ang se cara t ega s me misah kan hart a k ek ayaan n ya denga n hart a negar a, ter utam a Um ar. B erb eda de ngan peng uasa Mu slim pas ca K hulafau r Rasy id in, yang kurang t ega s me m isah kan ha rta pr ibadi nya de ngan har ta nega ra. T ida k jelasnya b erapa ga ji m er ek a, tida k pe rna h dik r iti k o leh u la ma -u la ma f iqh s ehi ngga ula ma t ida k bebas be rijt ihad ke tika b er ka itan de ngan har ta penguasa. A l- Qadh i Abu Yus uf, Ki tab a l-Kh ar aj (B e irut: Dâr al- Ma ‘r ifah, 19 79), hlm. 25 -27. Fazl ur Rah man, P rin ci ple o f Shu ra an d Ro le of Um mah i n Isla m (t.tp :t.th. ), hlm. 5 -6. Hamp ir s e mua i lmu an Mus l im te rk e mu ka kes ulita n dala m me mb er ikan contoh idea l te rhada p pem er inta han d i dala m s ej arah Is lam, kar ena hany a me ru ju k pada ma sa pe me r intahan Khu laf au r Rasy idin. Kit ab Ihyâ ‘U lûmud dîn se la in dianggap seb agai k ar ya monum ent al al -Gha zali juga d ik ritik oleh banya k ula ma hadits yang m engangg ap kit ab in i banyak m e mu at hadits -h adits yang gha rîb dan dhaîf. Liha t Ta j ad-Dîn a l-Sub k i, T aba qât asy- Sy af i‘i yyah a l -Ku br a (Be irut: Dâ r al -K utub a l-‘ Ilm iyya h, 449 H), h lm. 3 . Bandi ngka n: Ibn kath îr, Bid âyah w a an -N ihâyah (B eirut : Dâr al-Kutub a l-‘ Ilm iyah, 186 H), hlm. 12. Liha t juga Muha mmad Abu Shahba h, Al-W âsîd fî al -‘ Ulûm wa Musth alah al -Had îts ( Ka iro: Dâr al -F ikr i, t.th), hlm. 2 54. M enuru t al-Jâb ir i sala h satu ke l ema han tid a k m embu m inya ilmu peng etah uan di dala m masy ara kat Is la m diseb abka n ole h fi lsaf at yang m er upak an indu k ilm u penget ahuan d iguna kan s ebagai a lat unt u k meng ko mpro mi kan de ngan l egi ti mas i k ek uasaan, liha t Muha mmad ‘Âb id al -Jâb ir i, Nahnu w a at- Tu râ ts (Be irut: Ma rka z ats- Tsaqâf î a l-‘A râbî, 1993), hlm. 55 - 60. Muha m mad ‘Âbid a l-Jâb ir i, N ahnu wa a t- Tu râ ts, hlm. 1 67 -169. M enuru t Ashgar A li E ngin e er, sa lah satu keg agalan agenda int ele ktua l M u‘taz ilah dan u mat Is la m umu mnya pada masa l alu kura ng berhas il m embua t t erobosan gairah te rhadap ilmu peng etahua n it u men yeba r ke se lu ruh masya ra kat s eh ingga y ang ha rus dimu ncu lkan da la m d ir i u mat Islam suatu t eo log i pemb ebasan. T ida k s epe rt i kaj ian ras iona l Mu ‘taz ilah yang m engu sung eli t cen tr ies , s eh ingga hal i n i dapat di l ihat sangat b erg antungn ya me re ka denga n k ek uasaan sep er ti dala m kas us mihna. Ashg ar A l i Engin ee r, Isla m dan Te olog i Pem beb asan , te rj. Agung Prihantoro (Yogya ka rta: Pusta ka Pelaja r, 2003), hlm. 1-7. Band ing kan denga n Jerma n dan Jepang yang menga l am i k e kalahan pada masa Pera ng Duni a Kedu a, wa laup un n egar anya h amp ir han cur tot al, t et api kar ena sumb er daya man usia yang m em i l ik i ke ce rdasa n seca ra m era ta dala m wa ktu s ingk at bangk it ke mbali m en jad i rak sasa e konom i dan te kno log i dunia s epe rt i yang t er li h at se ka rang ini. M enuru t Ibn Q ayy im, hu ku m itu ha rus s esua i pe rubaha n artin ya pena fsiran hu ku m harus b eruba h sesu a i dengan wa ktu, t empat, ko ndis i, ma ksud ma upun keb iasa an. Muha m mad Yus uf Gura ya, Isla mi c Juris pru den ce in the Mode rn Wo rld ( Lahor e: SH Muha m mad Ashra f Publish er, 19 92), hlm. 25. Penggunaan baro met er hu kum wa d‘ iy da lam fiq h (wa jib, sunnah, ma kru h, hara m) de ngan menga it ka n dengan masa lah - masa lah y ang be rhubungan d engan k asus - kasus sos ia l. Huku m Is lam m en e kan kan aspe k ko mpr ehe nsif seh ing ga diarah kan untu k me ngatur s egala aspe k yang ber ke naan denga n manus ia, te ruta ma dala m hal hubu n gan antarindiv idu. Abdul Qade r ‘O udah Shahe ed, Cr im inal La w o f Isl am, Vo lu me -2 ( Ne w D e lhi: S.M. Sa hid for Int er nat iona l Is la mic Pub lishe r, 19 91), h lm . 17. Pende kat an her m ene uti ka yang pada awa lnya m er upa kan ka jian tent ang Bib le ke mud ian ber k emba ng men jad i ka j ian yang berus aha me ngung kapk an ma kna - mak na yang ters e mbuny i dari t eks atau f enom en a yang ter jad i di masy a ra kat. Joseph B le iche r, Con te m pory H er men euti cs, He rm eneu tic s as Me thod, Philoso phy and Cr it ique ( London; Routl edg e and K egan Paul, 1980). Ada asumsi yang be r ke mbang di dal am ma syara kat Islam bah wa suatu k eja hatan it u dik atego ri ka n sebaga i perbu atan d osa apabi la sudah dik er ja kan. H al in i bisa me mbuat imp likas i n egatif ter hadap
37
kep rib adia n ses eorang y ang bisa me njad i m anus ia hipok r it. Lihat Moosa Ebrah im, “Contrap unta l Read ings in Mus li m Thought: Trans lat ions a nd T rans it ions,” dala m Jou rna l of the A me ri can Ac ade my o f Rel igion (20 07), hl m. 107 - 18. 94 Dale F. E ic k e lman, “ Isl am ic Lib era l ism Str ikes Ba c k,” da lam Mi ddl e Eas t Stu dies Ass oci at ion Bu let in (19 93), hlm. 1 63 -17 0. 95 Ric hard Itha mar Aa ron, A Th eor y of Un ive rsal s, 2 n d edi ti on (Oxford: C lar endon Pr es s, 19 67). 96 Ali H aydar, D Hur âr a l-Hu kkâ m: Sha rh Ma ja lla t al - Ahk â m, 3 Vols.,16 pa rts (B eirut: Dâr a l - Kutub a l‘Il m iyya, 1 991). 97 Abdul K abi r Huss ain So l ihu dan Abdu l R auf A mbali, “D issolv ing th e Eng ine e ring Mo ra l Dilem mas W ith i n the Is la m ic Eth ico -Lega l Pra xes, ” dala m Sp ring er Sc ien c e+Busin ess Me dia B.V (2009), h lm. 1 - 16. 98 Sedi k it se ka l i pe mbahasan y ang m enyang kut p era n per empu an dala m dun ia pe rik lanan, padaha l ha mp i r set iap ha ri di se lu ruh nega ra t er masu k yang mayo r itas Mu slim suda h t erb iasa m enya ks ika n f igu r per empu an ya ng m en jua l su atu produ k. Fiq h k las ik y ang c ende rung m ene mpat kan pe ran p er emp ua n sebaga i mak hl uk yang pa sif m enghad api tantang an z aman, kar ena da lam banya k kasu s t er jad i pe r ubahan pers eps i tenta ng per empu an yang dulun y a subordin asi lak i- la k i se kara ng dianggap set ar a ter masu k da la m ha l men ca ri naf kah. Fa tima M ern iss i, B eyond the Veil, Mal e -F ema le Dyna mi cs in M ode r n Muslim Soc ie ty, R evis ed Ed ition ( Ind iana: Ind iana Un ive rsit y Pr ess, 1987), h lm. 87. 99 Ahmad At if Ah mad, St ruc tu ral Int er -r ela tions of Theo ry and P ra ct ic e in Isl ami c La w: A Stu dy o f Six Wo r ks of Med ieval Isl ami c Ju risp rud enc e (Leid en: B rill, 2006). 100 R icha rd T. Antoun, “Fund am enta l ism, Bur eau cr acy, a nd the S tate ’s Co -optat ion of R elig ion: A Jordan ia n Case Stud y, ” dala m In te rna tion al Jou rnal M idd le Eas t S t udies , 38 (200 6), hlm. 36 9 -39 7. 101 Fr ed Donn er, N ar ra tiv es of Isla mi c O ri gins: Th e Be gi nnings of Isla mi c His to ric al W rit ing (Pr in ceton, N.J.: Darw in Pr ess, 19 98). 102 Hu man is Isl am d idasa r kan ata s tu juan untu k meng a bdi kepada Allah d enga n m e mben tuk pe rsauda raan yang be rpusat pada p ema ham an teosen t ris m emp ra kt ik kan hu ku m-hu ku mnya se car a ad il. Ma rc e l. A. Boisa rd, Human ism e dal am Isla m, te rj. M. Ras jidi (Jak a rta: Bu lan B intang, 19 80), hlm. 163 - 164. 103 Data D epe rt em en Luar n eg er i, Uru san Asia Afr ik a, Jakart a, (2001), hlm. 5. 104 Li hat Sha yk ‘Al i S hib l a l - Gh itâ,’ Naq d a l-Â ra ’a l-Man ti qîya wa Hâl Musk îlâ tihâ , Vo l.1 (B eirut: Mu’ assasa t al- Nu‘ man, t.th). 105 Abd Al -Wahhab Ta judd in ibn a l-Sub ki, Jam iþ a l-J aw âni, 2nd. (Ka iro: Mu cma fa a l-Bâb i a l-s alab i, 19 89), hlm. 1 76. 106 Bet apa be sar p aha la s eorang al -K awa r ijim s eorang penc ipta ilm u a l -Jabar dan a ngka des ima l kar ena kar yanya d iguna kan o rang sa mpai s e kar ang in i. Se an dainya o rang yang me nc ipta kan lamp u, l istr i k, mobi l pesa wat, dan ala t -a lat la inn ya yang se ring d igu nakan saat in i dic ipta kan s eorang Mus lim betap a besar d an m ul ia d ir iny a di depan Al lah, a kan t etap i s e la ma ini kons ep a ma l jar iyah yang s er ing d ia jar ka n hanya ya ng m en yang kut t entang be rin faq. Oleh s eba b itu, p er lu ada nya p erub ahan pa rad igma dala m me maha m i te ntang a ma l ja ri yah d i dal am Is lam yang ha nya dika it kan d engan infaq ha rta, ilmu, dan ana k shal eh. Liha t Abd al-‘A ziz a l- Bu khâr î, Ka shf a l-Is râ r Sh arh Ba zd w (Ka iro: An- Nahdah Pub licat ion, t.th), hlm. 2 37 – 239. 107 Lih at Jean ett e A. Wa kin, The Func tion o f Do cumen t in Isla mi c La w: The Chap te rs on Sal es f rom TH ahâw î’ s Kit ab asy -S yurû th al- Kâb ir (A lbany: Stat e Un iv ers ity of Ne w Yo r k Pre ss, 1972). 108 Dasa r fi losof i pe rundang -undanga n se la ma ini yan g leb ih men e ka n p iha k aparat ur pe nega k hu ku m sebaga i pih ak y ang pal ing oto rit ati f tanpa mau m e lib at kan p iha k k e luarga m erupa kan ga mba ran hu ku m tida k me nc er mi nka n ke adi lan dan tampa k ny a je ja k feod alism e huk um ma sih t erasa. T ida k m engh eran ka n huku m pid ana, te ruta ma da lam kas us pe mbunuh an se ngaja b isa sanga t muda h dip er ma in kan, ka r en a hanya m engand al kan int egr itas p en egak h uku m tan pa adanya kont ro l mas yara kat. Pe libatan p iha k ke lua rga me rupa kan m ani fes tas i dar i ko ntro l ma sya ra kat t erh adap apara tur p eneg ak h uku m . Ke mun cu la n aks i pre man is m e dan geja la pe mbunuh ba yaran di neg e ri ini tid ak t er lepa s dari k e le maha n undang -undang pidan a yang ada. Ka re na s eseo rang su dah te rbuk ti pu n a kan sang at m udah unt uk d apa t ber ke l it dar i j er atan hu ku man yang be rat de ngan be r kolu si da la m pengg un aan pasa l-pasa l di da la m KUHAP. 109 Abr am Chay es,” Th e Rol e of Judge in Public La w Ligit ation,” dalam Ha rva rd La w Rev ie w , Volum e 89 (Ma y 1976). 110 Lihat Al -‘Arus i Abdulq adi r, Af ‘âl a l- Rasûl S all all âhu ‘Al aihi w a Sa lla m (t.tp: Dâr al- Mujtam a‘ li al- Nas r wa a l-T auz i), hl m. 149.
38
BAB III: HUBUNGAN AL-KUTUB AS-SITTAH DENGAN FIQH A. Latar Belakang Penentuan Hierarki al-Kutub as-Sittah Persaingan antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah di Makah sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama dalam usaha merebut pengaruh masyarakat Arab.1 Bani Hasyim dipandang lebih berpengaruh dibandingkan suku lainnya, termasuk Bani Umayyah.2 Hal itu ditandai dengan tetap dipegangnya kunci Ka’bah oleh keturunan Bani Hasyim, yang merupakan simbol kehormatan tertinggi bagi bangsa Arab saat itu. Tampaknya pembangkangan Muawiyah terhadap Khalifah Ali karena keengganannya untuk menyelidiki terbunuhnya Utsman, hanyalah modus untuk melakukan bughat terhadap pemerintahan Ali.3 Hal ini dapat dipandang sebagai persaingan tersembunyi yang telah lama berlangsung antara kedua klan suku tersebut. Secara ekonomi, Bani Umayyah lebih kaya dengan menguasai perdagangan ketimbang Bani Hasyim, tetapi dalam konteks aksepbilitas, Bani Hasyim lebih mendapatkan tempat di kalangan masyarakat Arab.4 Resistensi Muawiyah terhadap Ali didasari oleh tindakan Ali yang dianggap sewenang-wenang memutasi besar-besaran jabatan gubernur yang dipandang strategis. Jabatan-jabatan yang dimutasi kebanyakan terdiri dari keluarga khalifah sebelumnya, yaitu Utsman (Bani Umayyah). Pihak Muawiyah menganggap mutasi itu memiliki vested interest berupa penyingkiran orang-orang Bani Umayyah dari politik, bukan berdasarkan kompetensi, tetapi atas dasar like and dislike. Namun, pihak Muawiyah tidak bersedia mengungkapkan alasan tersebut secara eksplisit, tetapi menggunakan isu terbunuhya Utsman sebagai alasan untuk merebut kekuasaan Ali. Isu itu ternyata ampuh untuk memengaruhi sahabat-sahabat utama, seperti Aisyah dan Talhah, sehingga terjadi Perang Jamal antara pihak Aisyah-Talhah dan pihak Ali.5 Kegagalan untuk merebut kekuasaan Khalifah Ali dalam Perang Jamal memberi pelajaran yang penting bagi Muawiyah dalam menghadapi pihak Ali yang secara militer lebih kuat. Khalifah Ali didukung oleh pasukan yang berasal dari daerah Arab Selatan yang terkenal dengan suku-suku gurun yang terbiasa dengan kehidupan keras dan relatif lebih miskin dibandingkan dengan Arab Utara (Damaskus). Damaskus merupakan daerah perdagangan sejak dahulu karena selalu berhubungan dagang dengan Kerajaan Romawi maupun Persia. Melihat komposisi pasukan Ali, pihak Muawiyah menyadari tidak akan mungkin menang melawan Ali. Muawiyah menggunakan taktik pecah belah semacam devide de it impera di kalangan prajurit Ali,6 karena dia tahu bahwa banyak di antara prajurit Ali merupakan orang-orang yang belum mengerti strategi psywar.7 Untuk itu, pihak Muawiyah menawarkan jalan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa. Cara ini merupakan umpan politik dengan menggunakan lembaran al-Qur’an yang ditancapkan di ujung pedang sebagai petanda damai.8 Hal itu dapat dilihat dari utusan perundingan dari kedua pihak: Amir ibn ‘As (Gubernur Mesir) yang dilengserkan Ali, padahal dia adalah panglima perang yang ditugaskan oleh Khalifah Umar dalam membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi. Dapat dipahami bagaimana perasaan Amir ibn ‘As yang mungkin merasa tidak dihargai oleh Ali sebagai orang yang berandil besar dalam penaklukkan Mesir. Utusan dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy‘ari yang dikenal sebagai sahabat yang sangat zuhud dan tidak memiliki pretensi negatif terhadap pihak Muawiyah. Akhirnya, arbitrase tersebut secara politik merupakan upaya pemakzulan pertama dalam sejarah Islam terhadap kekuasaan seorang khalifah. Besarnya intrik politik yang dilakukan dalam proses arbitrase ini merupakan peristiwa fitnah yang kedua dan terbesar yang membawa arah awal perpecahan dalam Islam, dengan lahirnya aliran-aliran di dalam Islam Sunni, Syiah, dan Khawarij. Efek yang ditimbulkan oleh peristiwa dalam Perang Shiffin (fitnah kedua) merupakan duri yang menyakitkan dalam sejarah Islam. Bahkan, hampir tidak mungkin lagi disatukan karena sejarah kelam tentang keduanya sudah sedemikian parah sehingga sering terjadi tuding menuding di antara keduanya.
39
Memang pada level al-Qur’an keduanya sepakat sebagai firman Allah yang suci. Akan tetapi, pada level hadits saja keduanya sudah tidak sepakat dan masing-masing membuat kriterianya sendiri-sendiri. Kitabkitab hadits di kalangan Sunni kurang mengakomodir hadits-hadits dari kalangan ahli bait, seperti Ali ibn Abi Talib, Fatimah binti Muhammad, Hasan ibn Ali, Husin ibn Ali, maupun Jakfar ibn Abdul Mutalib. Menurut kitab-kitab hadits versi Syiah, banyak hadits yang berasal dari ahli bait dan sedikit sekali haditshadits dari non-ahli bait.9 Tampaknya setelah peristiwa pemakzulan Ali sebagai khalifah membuat Muawiyah percaya diri untuk mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah yang baru.10 Oleh sebagian besar umat Islam hal tersebut tidak menjadi masalah, karena bagaimanapun selama khalifah berasal dari kalangan umat Islam hal tersebut tidak begitu menimbulkan gejolak. Dapat dipahami langkah yang dilakukan oleh Muawiyah pada keadaan seperti ini dengan berusaha mendapatkan legitimasi umat Islam yang saat itu banyak di antaranya berasal dari golongan sahabat. Sebagian sejarawan menuding bahwa Muawiyah adalah orang pertama yang menghapus sistem shurah dalam Islam dan menggantinya dengan sistem kerajaan. Padahal, sistem shurah sebenarnya sudah diamanatkan oleh nas dan dipraktikkan dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw. dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin.11 Tak kalah mengejutkannya lagi ketika Muawiyah meminta umat Islam untuk membaiat Yazid, putranya, sebagai putra mahkota.12 Tampak jelas Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari sistem shurah ke sistem kerajaan model Romawi yang memengaruhinya. Dapat dipahami pula kalau wibawa khalifah ketika masa ini mengalami degradasi dari khulâfa al-kummâl, yaitu khalifah yang dipandang sebagai pemimpin yang dapat menjadi panutan dalam urusan dunia dan akhirat menjadi khulafa al-Nâqisun, yaitu khalifah yang hanya dipandang sebagai seorang umara yang mengurusi masalah keduniawian semata.13 Tentu untuk memperkuat eksistensi Dinasti Umayyah ini langkah yang dilakukan pertama adalah mendapatkan legitimasi dari masyarakat Muslim. Jarak waktu yang relatif dekat dengan masa Khulafaur Rasyidin maka tak mengherankan mereka sering membandingkan dengan masa itu. 14 Hal yang membuat Dinasti Umayyah eksis dalam waktu yang lama adalah karena dinasti ini mampu melakukan pembaruan yang dibutuhkan masyarakat dan kemampuannya mengadakan pendekatan yang persuasif kepada sahabat yang awalnya cenderung tidak memihak Muawiyah maupun Ali. Muawiyah juga mampu mengonsolidasi kekuatan untuk mengadakan futuhat di wilayah-wilayah yang jauh, dengan berusaha menyebarkan Islam dan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Pada masa dinasti ini, bahasa Arab sudah menjadi bahasa utama di wilayah-wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Romawi dan Persia.15 Lembaga bahasa Arab yang didirikan pada masa ini bukan hanya berguna sebagai bahasa administrasi negara, akan tetapi melahirkan ulama-ulama lughat, di antara yang terkenal sampai sekarang ini ialah Sibuwaihi. Mazhab bahasa Arab yang sampai sekarang masih mempengaruhi tata cara membaca kutub turath, seperti mazhab Kufa dan Basrah. Keberhasilan Dinasti Umayyah dalam memajukan bahasa Arab membuat gairah kajian tentang sunnah yang merupakan salah satu sumber penting. Sebenarnya, tidak semua sunnah itu diciptakan pada masa Nabi Muhammad Saw. saja, banyak juga di antara sunnah Nabi yang berasal dari masa sebelum beliau lahir. Sunnah-sunnah pra-Islam tersebut akan terus dipertahankan bila mengandung kemaslahatan dan tidak menyalahi prinsip-prinsip utama ajaran Islam,16 seperti dalam masalah diyât mendapat legitimasi nas dan menjadi salah satu instrumen dalam penyelesaian kasus pembunuhan secara tidak sengaja. Walaupun demikian, tentu saja sunnah yang memiliki nilai tertinggi di dalam syara’ tatkala sunnah itu lahir setelah masa kenabiannya dan dipraktikkan secara terus-menerus oleh sahabat, seperti sunnah untuk melaksanakan musyawarah ketika akan memutuskan sesuatu dalam suatu perkara yang menyangkut urusan umat Islam. Dalam konteks sunnah ini, ada mekanisme yang berlaku di kalangan ahli hadits untuk mengukur apakah sunnah tersebut memiliki dampak secara hukum, yaitu apabila ada dukungan lafaz
40
hadits di dalamnya. Sunnah yang tidak mendapat dukungan hadits biasanya dikategorikan sebagai atsar atau khabar. Jadi, sunnah jauh lebih luas pengertiannya dibandingkan dengan hadits, kecuali dalam konteks.17 Keputusan Muawiyah untuk membaiat Yazid sebagai putra mahkota menimbulkan kontroversi di kalangan ulama tentang aturan suksesi dalam Islam.18 Kenyataannya, Nabi tidak pernah mempermasalahkan kepemimpinan secara turun-menurun tanpa adanya proses pemilihan. Hal tersebut sudah berlaku di kalangan pemimpin suku-suku Arab ketika itu. Bahkan, kunci Ka’bah selalu dipegang oleh keturunan Bani Hasyim. Ada pula legitimasi nas yang memberikan kekhususan suku Quraisy untuk menjadi pemimpin. Hal itu menimbulkan asumsi bahwa Nabi berusaha mempertahankan kebiasaan praIslam yang cenderung tidak mencerminkan prinsip musyawarah dan mengultuskan suku bangsa tertentu. Sekilas hal tersebut melanggar sistem egaliter dalam Islam. Karena itu, sikap Muawiyah mendirikan dinasti berdasar keturunan sebenarnya adalah salah satu dari sunnah yang berlaku sejak pra-Islam. Itu mungkin alasan mengapa sebagian besar sahabat tidak mempermasalahkan perubahan sistem musyawarah yang berlaku pada masa Khulafaur Rasyidin menjadi sistem kerajaan. Dalam kurun waktu satu abad, banyak hal yang dibuat oleh dinasti ini dalam menyebarkan Islam, bahkan memelopori pembangunan peradaban Islam.19 Kisah sukses Dinasti Umayyah membuahkan suatu pertanyaan mendasar apakah di dalam Islam itu lebih menonjolkan aspek tercapainya maslahat umat atau lebih mengedepankan pada cara untuk mencapai maslahat itu sendiri. Hal ini penting untuk dikaji karena cara Muawiyah yang dipandang kurang baik, bughat terhadap pemerintahan Ali, ternyata ketika berkuasa dapat mengejawantahkan kestabilan politik, kemakmuran, dan peradaban yang tinggi.20 Penyebaran Islam di Arab pada masa Nabi tidak murni hanya karena ketertarikan pada Islam yang mengusung nilai-nilai tauhid dengan menafikan kepercayaan orang-orang Arab (politeisme). Ketundukan mereka juga dipicu oleh kemampuan Nabi menerjemahkan bahasa politik penaklukkan terhadap suku bangsa Arab dengan menggunakan politik yang cermat. Langkah-langkah politik Nabi yang paling mudah direkam dalam sejarah adalah bagaimana Nabi mengadakan perjanjian dengan penduduk Madinah (Piagam Madinah). Saat itu penduduk Madinah terdiri dari Yahudi, Nasrani, dan minoritas suku Arab (Ansâr) yang Muslim ditambah dengan kaum muhajirin. Salah satu isi perjanjian itu adalah kewajiban menjaga keamanan negara (Madinah), yaitu apabila pihak luar menyerang orang-orang Yahudi maupun Nasrani maka umat Islam wajib membela mereka dari serangan pihak luar. Sebaliknya, apabila pihak luar menyerang umat Islam maka pihak Yahudi dan Nasrani wajib membela umat Islam. Piagam ini di samping dikenal sebagai piagam internasional pertama yang mengatur hubungan pergaulan antarbangsa, juga menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Yang tak kalah penting adalah bagaimana Nabi mampu membuat pertahanan politik dari penetrasi penduduk Makah yang ingin memberantas Islam dan pengikutpengikutnya. Di sinilah kepiawaian Nabi memanfaatkan perjanjian tersebut untuk meredam pengejaran orang-orang Qurasy Makah. Perjanjian tersebut juga mengindikasikan kemenangan diplomatik Nabi. Dalam konteks pemerintahan Muawiyah, dinasti ini berusaha mengadakan politik penaklukkan sebagaimana dilakukan oleh Nabi sebelumnya. Politik penaklukkan yang dilakukan dinasti ini juga berhadapan dengan resistensi dari kalangan umat Islam.21 Salah satunya adalah sahabat Abdullah ibn Zubair yang secara terang-terangan menentang langkah Muawiyah tersebut.22 Hingga akhirnya Muawiyah meninggal dunia pada 60 H, Abdullah ibn Zubair memproklamirkan diri sebagai khalifah. Langkah Abdullah ibn Zubair ini sebagai isyarat penantangan secara terbuka kepada Dinasti Umayyah yang waktu itu dipimpin oleh Khalifah Yazid ibn Muawiyah. Kemudian Yazid merespons hal tersebut dengan mengirim pasukan ke Makah untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan Abdullah ibn Zubair yang akhirnya terbunuh beserta para pengikutnya.
41
Untuk mempertahankan eksistensinya, Dinasti Umayyah menempuh langkah-langkah dinamis untuk memperoleh pengakuan dari kalangan internal umat Islam, juga pengakuan sebagai imperium baru menggantikan imperium Romawi dan Persia. Untuk lebih bisa memobilisasi kekuatannya, dinasti ini merujuk motivasi nas yang isinya kewajiban untuk menyebarkan Islam yang mengesahkan Allah dan mengikuti sunnah Nabi Saw. Budaya orang-orang yang sering berperang antara satu suku dengan suku lainnya merupakan tradisi yang berlangsung sejak lama. Tatkala bendera Islam dapat menyatukan kekuatan bangsa Arab yang selama ini terpecah-pecah menjadi kekuatan yang besar yang secara otomatis harus berhadapan dengan kekuatan adidaya yang sudah ada, yaitu Romawi dan Persia. Akan tetapi, khusus dengan Persia sebagian besar kekuatan mereka sudah dilumpuhkan pada perang Qadisiah ketika Khalifah Umar berkuasa. 23 Jadi, kekuatan Dinasti Umayyah harus menghadapi kekuatan Romawi Timur dengan ibu kota Konstantinopel, yang merasa sangat terancam dengan kehadiran kekuatan baru Islam.24 Untuk bisa menghadapi kekuatan besar yang sarat pengalaman tersebut, hal yang sangat diperlukan adalah motivasi yang besar untuk melakukannya. Islam menjadi katalisator penaklukan terhadap wilayahwilayah yang lebih luas. Tidak mengherankan hadits tentang jihad berperang di jalan Allah untuk menyebarkan Islam sangat popular pada zaman ini. Hal ini dapat dimaklumi karena Dinasti Umayyah ini sangat membutuhkan legitimasi dalam memerintah, karena itu kemampuan menggunakan hadits-hadits yang menggugah untuk mengadakan ekspansi dalam menyebarkan Islam ke seluruh wilayah. Watak bangsa Arab yang nomaden dapat terpuaskan dengan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah baru. Karena itu, hadits-hadits tentang harta rampasan juga sangat masyhur pada masa Bani Umayyah. Rampasan perang salah satu alasan kenapa ekspansi pada masa Dinasti Umayyah sangat giat karena wilayah Arab, khususnya wilayah Hijaz, adalah wilayah tandus yang berperadaban tinggi peninggalan bangsa terdahulu, sehingga iming-iming harta rampasan yang besar dalam menaklukkan wilayah-wilayah bekas kekuasaan Romawi menjadi sangat menggoda.25 Pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, Dinasti Umayyah diangkat sebagai ruler, tampaknya dia melihat bagaimana pentingnya undang-undang yang mengatur hubungan antara sesama anggota masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah dan juga mengatur hubungan kepada Allah melalui ibadah kepada-Nya.26 Umar ibn Abdul Aziz yang pernah menjadi gubernur Madinah dan murid Imam Malik tentu mengenal kitab al-Muwatta.’27 Kitab ini dipandang sebagai kitab hadits bernuansa fiqh yang pertama dipublikasikan ke masyarakat. Karena masyhurnya, kitab ini menjadi kitab standard yang digunakan oleh fuqaha pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Imam Syafi‘i juga telah menghafal isi kitab al-Muwatta’ ketika menjadi murid Imam Malik. Ketika Imam Syafi‘i pergi ke Baghdad yang dikenal sebagai daerah ahli ra’yu, tapi corak pemikiran Imam Syafi’i cenderung moderat, tidak condong rasional juga tidak terlalu konservatif. Hal ini membuat pemikirannya bisa diterima oleh kalangan umat Islam. Bisa saja asumsi kitab hadits yang berwajah fiqh ini dipandang sebagai kitab pertama yang ada sehingga pihak penguasa tidak mempunyai pilihan lagi untuk menggunakan sumber yang lain. 28 Akan tetapi, yang perlu dipahami di sini, kemampuan Imam Malik menyusun kitab al-Muwatta’, kitab hadits yang bernuansa fiqh, karena dia bebas menggunakan sumber daya yang ada, terutama dalam menyusun sebuah kitab hadits yang dapat diaplikasikan di dalam masyarakat pada masanya.29 Imam Malik yang terkenal mengutamakan ibadah penduduk Madinah didasarkan premis bahwa Madinah adalah kota Nabi sebab amalan-amalan penduduk Madinah tampaknya lebih menjamin orisinalitas, dan amalan tersebut telah dipraktikkan oleh penduduk Madinah.30 Dalam hal ini, Imam Malik terlalu menyederhanakan sunnah, yakni apabila sudah dipraktikkan oleh penduduk Madinah maka sudah bisa dijadikan hujjah. Pada dasarnya, kebiasaan-kebiasaan umum dalam masyarakat Islam relatif sama seperti kebiasaan yang dianjurkan Nabi, seperti untuk melakukan shalat Jum’at di Masjid, Puasa Ramadhan, Zakat, Haji, maupun kebiasaan umat Islam lainnya, seperti mengucapkan salam. Namun, tidak
42
ada jaminan bahwa amalan-amalan yang dipraktikkan oleh penduduk Madinah tersebut adalah sunnah Nabi atau telah ada sebelum Nabi tiba di Madinah. Pilihan terhdap mazhab Maliki sebagai mazhab negara yang cenderung konservatif bertolak belakang dengan karakter penguasa Dinasti Umayyah yang cenderung agresif.31 Padahal, Damaskus, ibu kota Dinasti Umayyah, lebih dekat jaraknya dengan Baghdad dibandingkan dengan Madinah. Namun, pihak penguasa Bani Umayyah lebih nyaman memberlakukan mazhab Maliki sebagai mazhab negara, bukan mazhab Hanafi yang disinyalir dengan pertimbangan politis.32 Pertimbangan politis yang dimaksud di sini bisa saja berupa ingin mengangkat dan menyebarkan Arabisasi di wilayah yang dikuasai oleh Dinasti Umayyah.33 Kekuasaan Dinasti Umayyah yang melampaui wilayah yang mempraktikkan bahasa dan budaya Arab perlu diberi sentuhan Islam dengan Arab sebagai simbol kebudayaan yang terpilih dalam menyampaikan wahyu. Pentingnya menanamkan keistimewaan kebudayaan Arab ke wilayah kekuasaan memerlukan instrumen mazhab Maliki sebagai pemersatu dan pengembang mazhab negara yang mengadopsi budaya Arab yang terlembaga dalam amal penduduk Madinah. Inisiatif Dinasti Umayyah yang menjadikan Mazhab Maliki sebagai mazhab negara dapat diartikan sebagai momentum untuk menunjukkan hegemoni kebudayaan Arab yang menggantikan kebudayaan Romawi dan Persia yang sedang mengalami degradasi. Dinasti Umayyah ini ingin mengangkat bangsa Arab sebagai pemain utama dalam percaturan politik dunia dengan cara membuat sekolah-sekolah lughah (bahasa Arab) yang merupakan bahasa administrasi yang digunakan di seluruh wilayah Dinasti Umayyah.34 Untuk itu, tidak mengherankan, banyak bangsa Arab yang selama ini kurang bersimpati dengan dinasti ini lambat laun mereka ikut serta mendukung eksistensi khalifah baru ini.
B. Politik Identitas dalam Hadits Suksesi Hadits tentang kepemimpinan di tangan Quraisy penyebarannya secara masyhur terjadi tatkala kekuasaan berada di tangan Dinasti Umayyah yang juga dari golongan Bani Quraisy, terutama setelah terjadi suksesi dari tangan Khalifah Ali ke Khalifah Umayyah. Persoalan legitimasi terhadap pendirian Dinasti Umayyah menjadi masalah yang krusial di dalam sejarah pemerintahan Islam, terlebih lagi ketika dibahas tentang pembaiatan Yazid ibn Muawiyah secara sepihak sehingga menandai berakhirnya sistem syurah yang selama ini telah dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin.35 Tuduhan orientalis, terutama Joseph Shacht, yang mengatakan bahwa sunnah yang selama ini dipraktikkan oleh umat Islam berasal dari zaman Dinasti Umayyah bukan berasal dari zaman Nabi Muhammad,36 sebaiknya dilihat kondisi riil pada masa itu yang melatarbelakangi kodifikasi hadits sehingga dapat membantah tuduhan-tuduhan orientalis itu. Memang bila diperhatikan ada yang hal-hal yang dipraktikkan oleh umat Islam selama ini bukan berasal dari Nabi, tetapi umat Islam menganggapnya sebagai bagian dari sunnah Nabi, padahal hal tersebut tercipta pada masa Dinasti Umayyah masih berkuasa. Seperti perkataan (lafaz) yang termaktub di dalam al-Qur’an surah an-Nahl ayat 90. Ungkapan tersebut sebenarnya dipraktikkan sejak zaman Umar ibn Abdul Azis berkuasa. Hal yang melatarbelakangi kenapa dia menambahi lafaz ayat Qur’an tersebut pada khutbah kedua dalam shalat Jum‘at ialah ketika melihat suasana permusuhan di antara umat Islam, yang kian meruncing saling menyebarkan fitnah antara satu dengan yang lainnya. Shalat Jum‘at sering dijadikan oleh khatib untuk menghujat orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka bahkan nama-nama sahabat Nabi sering dihujat seperti golongan Syiah yang menganggap sahabat lainnya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman sebagai perampok kekhalifahan yang seharusnya di tangan Ali. Sebaliknya, pihak yang menentang, golongan Syiah dianggap sebagai golongan yang melakukan bid‘ah yang pertama dalam Islam karena terlalu mengagungkan Ali dan keluarganya sampai pada mengkultuskan Ali.37
43
Lafaz tersebut sering digunakan oleh khatib ketika menyampaikan khutbah shalat Jum‘at sampai sekarang ini. Teks ayat tersebut menyuruh umat Islam untuk dapat berlaku adil antara satu dengan yang lainnya, terutama sesama umat Islam. Juga menyuruh untuk berbuat ihsan yang mengajarkan bagaimana memanusiakan manusia. Karena salah satu esensi dari ajaran Islam itu bagaimana manusia dapat mengenal Allah dengan mengenal diri kita sendiri sebagai makhluk sosial yang tidak mungkin hidup kecuali dalam kelompok masyarakat yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Sampai sekarang ini hampir tidak ada ulama yang membahas dari segi hukum tentang penambahan lafaz ayat tersebut dalam setiap khutbah Jum‘at. Banyak usaha untuk menampik tuduhan bahwa Dinasti Umayyah adalah pihak yang memalsukan hadits pertama kali. Artinya, tuduhan tersebut secara sistematis dengan cara membuat hadits-hadits palsu untuk menyerang Ali.38 Padahal, hadits-hadits itu tidak hanya berasal dari pihak yang menyerang Ali, tetapi juga dari pihak yang menyerang Muawiyah. Namun, hasil penyelidikan ulama hadits ternyata tidak ada satu pun ulama-ulama hadits yang terlibat dalam pembuatan hadits palsu yang jumlahnya sangat banyak. Tetapi, orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut adalah orang-orang yang diragukan ketsiqah-annya. Memang tidak bisa dipungkiri, sejarah membuktikan bahwa banyak kontribusi yang diberikan oleh Dinasti Umayyah dalam kemajuan Islam. Selain berjasa dalam penyebaran Islam ke benua Afrika dan Eropa, juga berjasa dalam masalah kodifikasi hadits. Dalam konteks hukum, dapat dilihat bagaimana Dinasti Umayyah membuat hukum-hukum baru yang tujuannya untuk menciptakan kestabilan dalam masyarakat. Dinasti Umayyah tampaknya berusaha mengadopsi sistem organisasi pemerintahan yang dianggap bisa menciptakan ketertiban masyarakat. Dinasti Umayyah yang pertama sekali menciptakan sistem administrasi kependudukan yang rapi sehingga penguasa dapat mengetahui apakah ada pendatang yang berada di wilayahnya. Pada masa ini, seseorang diberi tugas untuk berkeliling ke setiap desa untuk mengecek apakah ada kedatangan tamu atau kepergian penduduk desa tersebut ke wilayah yang lain. Walaupun awalnya sistem ini diterapkan sebagai bentuk kekhawatiran Dinasti Umayyah akan penetrasi pihak-pihak yang tidak menyukai eksistensinya, akan tetapi memiliki implikasi yang sangat bagus untuk menerapkan tertib administrasi di dalam pemerintahan Islam selanjutnya.39 Dalam perjalanannya, Dinasti Umayyah ini dikenal sebagai dinasti yang memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya dengan membangun sarana-sarana umum yang bagus sehingga dapat digunakan oleh orang banyak. Bahkan, Dinasti ini sangat memperhatikan sahabat yang bersikap netral dan tidak terlibat dengan politik praktis. Bentuk kepedulian dari Dinasti ini ialah dengan memberikan bantuan finansial secara kontinu bagi sahabat-sahabat yang mengalami kesulitan ekonomi.40 Walaupun tindakan ini sering dipandang sebagai bentuk usaha penyuapan untuk membungkam sahabat. Akan tetapi, apapun motivasinya Dinasti Umayyah memang memberikan kepedulian yang tinggi kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan fasilitas umum, seperti mendirikan rumah sakit, serta perluasan masjid-masjid sebagai sarana ibadah yang paling urgen dalam masyarakat Islam.41 Sahabat-sahabat yang tidak tertarik pada politik praktis mendapatkan tempat tersendiri di hati penguasa Dinasti Umayyah, salah seorang sahabat yang sangat dihormati oleh dinasti ini adalah Ibn Umar. Sahabat ini dipandang sebagai tokoh yang dihormati karena kesederhanaannya serta dedikasinya yang sangat tinggi untuk mempraktikkan segala perilaku Nabi secara total. Ulama hadits akan merujuk pada sahabat Ibn Umar sebagai sahabat yang secara total hidup dengan duplikasi kehidupan Nabi. Mereka sepakat bahwa Ibn Umar adalah sosok sahabat yang memiliki penilaian tertinggi dan dianggap sebagai orang yang paling tsiqah pada generasi sahabat.
44
Penghargaan kepada Ibn Umar pada masa Dinasti Umayyah memiliki dimensi yang berbeda. Hadits tentang niat, yang diriwayatkan oleh Ibn Umar adalah hadits yang sangat masyhur. Tampaknya Dinasti Umayyah melakukan politik pencitraan dengan menempatkan sosok sahabat tertentu yang dijadikan suri tauladan bagi masyarakat. Seakan-akan memberikan pesan ke masyarakat bahwa Dinasti ini sangat menghargai orang-orang yang saleh yang menjauhi dunia politik sehingga orang tersebut dianggap sebagai orang yang terbaik. Tampak jelas penempatan sosok Ibn Umar sebagai sahabat yang paling diterima hadits darinya karena adanya intervensi.42 Paling tidak langkah yang dilakukan ulama-ulama hadits tersebut sebagai usaha untuk menyenangkan pihak penguasa, dan bisa juga diartikan sebagai bentuk untuk menghindari konfrontasi dengan pihak penguasa. Hadits yang matannya menggambarkan bahwa kepemimpinan hendaklah dipegang oleh seseorang yang berasal dari suku Quraisy,43 sangat masyhur di kalangan ulama, bahkan di antara mereka mensyaratkan kepemimpinan harus dipegang oleh orang yang berasal dari suku Quraisy. Hadits ini juga yang dipegang oleh pemegang tampuk kekuasaan pada masa Dinasti Umayyah. Hadits ini memiliki implikasi yang luar biasa dalam rangka memberikan legitimasi kekuasaan kepada Dinasti Umayyah yang juga berasal dari suku Quraisy. Secara tidak langsung matannya memperingatkan kepada siapa saja orangorang yang bukan suku Quraisy untuk tunduk dan taat kepada Dinasti ini. Mudah bagi mereka untuk memobilisasi massa untuk bergabung dengan mereka dan kemudian mengadakan ekspansi menyebarkan semangat kebanggaan suku Quraisy yang dibungkus dengan label Islam.44 Hadits tentang kepemimpinan harus dipegang oleh orang-orang suku Quraisy seakan-akan menunjukkan tidak ada keadilan di dalam Islam. Adanya pengkastaan di dalam Islam yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan semangat egaliter di dalam Islam itu sendiri. 45 Oleh karena itu, tampaknya pernyataan Nabi tentang hal tersebut bukan didasarkan diri beliau sebagai Nabi, tetapi dari sisi politik penaklukkan masyarakat Arab yang sudah berlaku sejak lama. Sesungguhnya, ketundukan masyarakat Arab pada masa Nabi bukan semata-mata karena keimanan mereka, tetapi karena tekanan politik penaklukkan yang dilakukan oleh Nabi. Karena status sosial suku Quraisy dianggap paling tinggi di antara suku-suku Arab Hijaz sebagai manifestasi keturunan dari Nabi Ismail yang telah lama dianggap sebagai penjaga kehormatan rumah tua Ka’bah. Lihat saja orang-orang Arab pada masa sebelum kenabian Muhammad juga sangat menghormati ka’bah sebagai rumah Tuhan yang harus dijaga kesuciannya. Tetapi, dalam praktiknya Ka’bah yang seharusnya sebagai tempat suci agama hanif yang hanya menyembah Allah Yang Esa mengalami degradasi menjadi tempat rumah tinggal beraneka ragam patung-patung dewa bangsa Arab. Ketika itu di antaranya terdapat patung dewa yang terkenal ialah Hubbal, Lata, dan Uzzah. 46 Sebenarnya, Nabi memanfaatkan kekuatan politik yang sudah berlaku di masyarakat Arab untuk membentuk komunitas yang jelas dan teratur. Hal ini juga dimanfaatkan oleh Dinasti Umayyah yang dapat memanfaatkan momentum simbol-simbol arabisasi yang dipandang memiliki dimensi kekuatan psikis untuk menaklukkan masyarakat yang jauh dari wilayah Makah dan Madinah. Keberhasilan Dinasti Umayyah dalam mengembangkan wilayah membuat semacam kebanggaan tersendiri bagi bangsa Arab yang telah menjadi salah satu pemain utama dalam peradaban dunia. Salah satu hal yang urgen untuk menyatukan umat Islam di dunia adalah dengan membentuk khilafah Islam. Sekarang, apakah hal tersebut bisa diwujudkan? Jawabannya bisa ya bisa tidak, tergantung usaha dan kondisi sosiologi serta mental umat Islam itu sendiri. Masalahnya sering sekali orang menyamakan kondisi umat terdahulu dengan sekarang. Bila pada masa lampau pembentukan institusi khalifah dapat diwujudkan karena banyak faktor yang mendukungnya. Masalahnya bila keinginan pembentukan kekhalifahan merupakan salah satu target utama umat Islam maka yang paling penting harus dipahami, tidak mungkin perwujudan kekhalifahan adalah seperti masa dulu. Khalifah yang mungkin terbentuk tidak bisa meleburkan kekuasaan masing-masing negara Islam yang memiliki kebanggaan dan sejarah nasionalismenya.47
45
Oleh sebab itu, ada berbagai alternatif yang memungkinkan terbentukknya kekhalifahan masa depan yang penting tidak menyinggung dua poin di atas. Akan tetapi, yang paling penting di sini ialah sistem khilafah masa depan harus sistem khilafah yang bisa mengadopsi nilai-nilai domestik setiap paham internal umat Islam menjadi nilai universal.48 Dikhotomi antara Sunni-Syiah pada masa lampau harus dihilangkan serta berimplikasi hilangnya istilah “mereka” berubah menjadi “kita”. Ini penting, karena umat Islam tidak mungkin berhasil mewujudkan khilfah bila masih ada friksi-friksi di dalam internal umat Islam. Kemudian khilafah masa depan harus mempunyai kekuasaan yang jelas bukan seperti Paus di vatikan hanya dianggap sebagai pemimpin rohani yang tidak memiliki kekuasaan dari segi hukum. Khilafah masa depan Islam harus mempunyai kekuasaan, baik dari segi politik, yuridis, maupun masalah ekonomi. Karena itu, aturan yang jelas akan memberi dampak yang bagus terhadap eksistensi khilafah bagi umat Islam dan dunia. Masalahnya sekarang apakah pemimpin Muslim di dunia ini memiliki kemauan politis untuk mewujudkannya. Karena itu, khilafah ke depan dibentuk bukan untuk mengatur hal-hal yang bersifat detail, akan tetapi beberapa permasalahan yang dianggap stategis bagi dunia Islam. Hal ini bukan bermaksud untuk mengebiri kekuasaan masing-masing negara-negara Islam. Skema baru kekuasaan khilafah harus dirembukkan bersama karena sangat urgen bagi dunia Islam yang saat ini lemah, miskin, dan mudah terpecah belah. Tentu akan lebih mudah mengkonsolidasi segala potensi yang ada selama ini seperti yang diketahui bersama bahwa wilayah yang didiami umat Islam di dunia ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa mulai dari minyak buminya, emas, gas sampai produk-produk hutannya.49 Untuk bisa mengejawantahkan sistem khalifah masa depan maka harus mengacu pada nilai-nilai universal syariat Islam itu sendiri. Syariat Islam mengandung nilai-nilai universal dan nilai domestik. Nilai universal adalah nilai-nilai global yang menandakan Islam sebagai agama rahmat bagi alam, seperti nilai keadilan, toleransi, menghargai kemajemukan, persamaan hak di depan hukum, dll. 50 Nilai domestik adalah nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam, nilai-nilai lokal ini adalah suatu keniscayaan yang harus tetap ada di dalam kehidupan manusia.51 Perlu adanya keterbukaan dalam memahami kondisi sosial kultural umat Islam dunia. Dewasa ini secara faktual umat Islam terdikhotomi pada istilah-istilah Islam Sunni dan Syiah. Agaknya warisan konflik masa lalu harus sudah diakhiri dengan membuka pintu selebar-lebarnya atas warna pemahaman Muslim Syiah. Seperti sedikit sekali hadits yang dipakai oleh kalangan Sunni yang berasal dari golongan ahli bait, khususnya yang bersanadkan kepada Ali atau Fatimah putri Nabi. Padahal, bagi Muslim Syiah, haditshadits dari keduanya jumlahnya sangat banyak. Memang ada sedikit kenaifan bagi Muslim Sunni yang kurang mau menerima hadits dari ahli bait, padahal secara logika tentu banyak perkataan maupun perbuatan Nabi yang diriwayatkanoleh keduanya karena mereka lama satu rumah dengannya.52 Dengan demikian, perlu adanya kelapangan hati dalam memahami dan membuka diri tentang Syiah bagi kalangan Sunni atau sebaliknya. Tujuannya untuk lebih memantapkan bahwa perbedaan di dalam umat Islam menjadi rahmat bukan membawa kemudharatan.
C. Disorientasi Kriteria Ijtihad dalam Fiqh Semua peradaban di dunia ini lahir disebabkan oleh penggunaan akal yang maksimal untuk merespon tantangan yang dihadapi, baik itu tantangan kehidupan fisik maupun kehidupan rohani. Allah tidak pernah membatasi akal manusia untuk menjelajahi wilayah-wilayah pemikiran manusia. Akan tetapi, hanya memberi rambu-rambu agar fokus pada ciptaan Allah. Masalahnya sering sekali yang membatasi akal manusia untuk berimprovisasi dalam kehidupan ini bukan Allah. Manusia itu sendiri dengan menggunakan agama sebagai alat legitimasi, padahal Islam tidak pernah membatasi akal, hanya memberikan gambaran konsekuensi yang akan diterima terhadap pilihan hidup.53
46
Banyak diagnosa dari ilmuan Muslim tentang penyebab kemunduran berijtihad dalam Islam, mulai dari aspek filsafat hingga pada porsi yang besar terhadap tasawuf. Adanya fakta keterbelakangan umat Islam disebabkan karena meninggalkan aspek rasionalitas Islam.54 Sering juga diasumsikan awal mula kemunduran Islam dimulai setelah penaklukkan Arab oleh bangsa Mongol. Asumsi penyerangan ini tampaknya dapat dibantah, karena asumsi ini hanya menitikberatkan penghancuran fisik kota Baghdad sebagai ibukota khilafah Abbasiah dan pusat buku. Naif bila menjadikan invasi Mongol sebagai titik pangkal kemunduran berpikir umat Islam sehingga efeknya sampai berabad-abad lamanya hingga kini. Bandingkan dengan bangsa Jerman dan Jepang yang mengalami kehancuran total, tetapi bangkit kembali dalam waktu tiga puluh tahun, bahkan sekarang menjadi salah satu bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi di dunia. Islam sebagai dîn mengklaim sebagai agama penyempurna agama samawi sebelumnya. Islam tidak pernah memproklamasikan sebagai satu-satunya agama yang membawa ajaran tauhid, tetapi ajaran tauhid ini telah dibawa oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Salah satu faktor keberhasilan Islam menyebar dengan cepat sehingga dapat menumbangkan kerajaan besar Persia dan Romawi terletak pada nilai adaptasi yang dapat melekat pada suatu sistem nilai yang sudah ada. Nabi Muhammad Saw. tidak pernah memberangus tatanan nilai yang tidak bertentangan dengan konsep tauhid, bahkan dalam banyak hal dia sering menggunakan sistem yang sudah ada diberi warna Islam.55 Adanya usaha untuk memurnikan ajaran Islam dari hal-hal yang bukan berasal dari Islam. Pemahaman seperti ini akan melahirkan sikap hipokrit berkedok untuk pemurnian Islam, akan tetapi pada dasarnya adalah pembongsaian Islam dengan merujuk atmosfer awal kehidupan umat Islam. Masa menutup diri umat Islam terjadi pasca Khalifah al-Mutawakkil. Hal itu ditandai dengan mulai terputusnya umat Islam dengan dunia luar (baca filsafat) sehingga yang muncul adalah semangat justifikasi terhadap pemikiran-pemikiran yang sudah dianggap baku.56 Islam berkembang ketika bersentuhan dengan pluralitas peradaban yang melahirkan ilmuwanilmuwan kela s dunia di abad pertengahan disebabkan oleh kemampuan ajaran Islam dalam mensintesa dengan sistem nilai yang lain sehingga melahirkan sintesa baru. Islam tidak akan mungkin bisa menjelma menjadi suatu peradaban bila masih mengisolasi diri, karena hanya dengan menjelajah ke wilayah-wilayah pemikiran di luar Islam akan ditemukan suatu bahan baku pemikiran yang melahirkan peradaban. Islam memang diturunkan bukan dalam bentuk bahan jadi, akan tetapi masih dalam bahan baku tergantung pada umat Islam itu sendiri dalam menggunakan resep kehidupan. Padahal, penggunaan pendekatan hermeneutika dapat dilakukan untuk menjelaskan beberapa konten nas yang bila didekatkan dengan pendekatan klasik kurang mendapatkan hasil yang baik bahkan cenderung monoton. Sikap terbuka pada penggunaan metode dari luar niscaya akan melahirkan ilmu baru, karena sudah menjadi nature law setiap manusia tidak bisa berdiri sendiri harus berhubungan dengan orang lain.57 Pintu ijtihad memang tidak pernah ditutup, lagi pula siapa pula yang memiliki otoritas untuk menutup pintu ijtihad, akan tetapi yang terjadi adalah fuqaha tidak memiliki alat untuk mengangkat intisari nas akibat dari solitire terhadap dunia luar.58 Konsekuensi yang terjadi selama ini hanya fatwafatwa yang berusaha menjelaskan hukum berdasarkan logika hukum yang digunakan oleh imam mazhab. Sering kali al-Qur’an dan hadits dipandang sebagai produk akhir yang tidak perlu diolah lagi karena berasal dari Allah. Pemahaman seperti ini akan menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai kitab yang kaku dan tidak bisa menyelesaikan persoalan manusia. Banyak kasus yang dipaparkan dalam al-Qur’an dan hadits dipahami sebagai doktrin yang sudah final, padahal bila melihat aspek kemaslahatan agaknya kurang diterima. Misalnya, zakat bagi petani bisa sampai sepuluh persen, sementara penghasilan profesi yang berpenghasilan lebih dari seratus kali lipat hanya dibebankan 2,5 persen diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, atau zakat perdagangan dengan alasan zakat bagi petani tersebut sudah mufassal.
47
Sebenarnya, banyak peluang untuk bisa menjawab persoalan-persoalan fiqh yang dewasa ini kurang digarap akibat dogma-dogma fiqh masa lalu. Zakat profesi adalah salah satu satu ijtihad baru yang terlepas dengan pembahasan fiqh klasik. Zakat profesi ini dianggap urgen untuk diterapkan, karena terdapat dimensi keadilan di dalamnya. Seorang petani yang penghasilannya relatif kecil saja harus membayar zakat 5 persen bila dengan biaya pengairan dan 10 persen kalau tadah hujan. Di sisi lain, profesi seperti pengacara, pengusaha, maupun politisi bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar, tentu harus membayar zakat juga. Logika penerapan zakat profesi ini sudah tepat, tetapi bias metodologi hukum fiqh klasik sangat kental terasa maka zakat profesi yang telah disebutkan di atas diterapkan sebesar 2,5 persen.59 Hal tersebut diqiyaskan dengan zakat perdagangan atau bisa zakat emas atau perak yang menuntut adanya haul dan nisab, sementara itu bila digunakan standard zakat pertanian akan berbicara lain. Mengapa zakat profesi tidak diterapkan sampai dengan 10 persen seperti yang terdapat dalam bidang pertanian, tentunya sangat jelas ketidakadilan bila hanya berargumen ketentuan zakat sudah mufassal sehingga sudah dianggap qath‘î. Padahal, ketentuan nas membayar zakat diberlakukan ketika Nabi berada di Madinah, tentunya hal ini harus dipahami dalam konteks realitas sosial masyarakat ketika itu kebanyakan orang kaya berprofesi sebagai petani. Sekarang ini profesi petani identik sebagai marjinal, tetapi masih dibebani juga membayar zakat antara 5-10 persen. Terkadang penggunaan qiyas dalam fiqh sering menghilangkan sisi keadilan dalam kasus ini, jadi perlu ada rumusan baru yang bisa menjawab persoalan umat.60 Hambatan perkembangan hukum Islam terkadang disebabkan oleh masih sangat kuatnya otoritas fiqh klasik mengikat pemikiran umat Islam. Demikian juga sulitnya membedakan antara Islam dengan kultur Arab yang terefleksikan dari kehidupan Nabi Muhammad Saw., sahabat hingga generasi awal umat Islam. Hal yang perlu dilakukan adalah melakukan verifikasi, apakah kultur Arab sama dengan Islam? Karena sering kali terjadi kerancuan dalam memahami tentang hal ini. Perlu adanya ketegasan dalam mengidentifikasi antara hal yang bersifat Islam dan Arab. Ketidakjelasan dalam mengidentifikasi ini membuat kajian fiqh kurang bergerak ke arah yang dinamis karena hanya mengarah pada persoalan-persoalan bersifat Arab centris. Banyak kajian fiqh klasik yang mengambil porsi pembahasan yang sangat melelahkan selama berabad-abad tentang suatu permasalahan, terkadang topik itu hampir tidak dialami di bagian dunia Islam yang lain.61 Pembahasan tentang bersuci dengan sesuatu selain air, air musta‘mal, budak, merupakan kajian lokal Arab, tetapi sering dianggap sebagai kajian umum umat Islam. Ketika persoalan fiqh dianggap mengalami kebuntuan maka yang terjadi adalah produk-produk fiqh yang bersifat pensyarahan terhadap fiqh sebelumnya. Fiqh-fiqh temporer hanya merujuk pada turats yang sudah ada tanpa memiliki kekuatan untuk melahirkan topik pembahasan yang baru dalam fiqh. Ada asumsi yang berkembang bahwa yang memiliki otoritas dalam melahirkan karya-karya fiqh adalah ulama yang berasal dari dunia Arab. Hal ini sebabkan pola pemahaman tentang kajian fiqh sangat kental memfokuskan pada metode penggunaan bahasa Arab. Akibatnya, timbul persepsi yang begitu kuat di kalangan umat Islam yang paling otoritatif dalam berijtihad dalam masalah fiqh adalah ulama yang memiliki latar belakang bahasa Arab yang bagus. Tentu saja kalau hanya berpatokan dengan ini, maka hanya ulama-ulama yang berasal dari Arab saja yang dianggap paling otoritatif dalam berijtihad dalam masalah fiqh. Memang tanpa kemampuan bahasa Arab akan sulit untuk memahami teks-teks nas, akan tetapi kemampuan bahasa Arab yang dimaksud bukan hendak menuntut harus sampai pada tingkat kemampuan yang bersifat total. Sangat sulit dicapai oleh ulama yang tidak tinggal dan memiliki kultur Arab.62 Tentu kemampuan bahasa Arab yang dimaksud memiliki batas standar kemampuan terhadap kaedah-kaedah secara umum. Untuk bisa memahami nas secara proporsional tidak hanya kemampuan bahasa yang dibutuhkan juga kemampuan keilmuan yang lainnya, seperti filsafat, sains, ekonomi, kedokteran, atau ilmu humaniora lainnya.
48
Kajian-kajian seperti hubungan antara umat Islam dan umat Hindu dan Buddha jarang dijumpai dalam karya-karya fiqh. Di Indonesia yang merupakan tuan rumah agama-agama di atas sangat diperlukan. Bahkan, sebelum Islam hadir di Indonesia, Hindu dan Buddha sudah berabad-abad lamanya berkembang, tetapi fiqh yang mengatur hubungan agama sangat sedikit.63 Lain halnya dengan ahli kitab yang sering dipahami sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani banyak sekali pembahasan tentang hal ini. Padahal, umat Islam di Indonesia sangat jarang berhubungan dengan Yahudi tampaknya hal ini menandakan betapa kuatnya pengaruh kultur Arab dalam pembahasan fiqh. Kekeliruan umat Islam mempersepsikan ajaran Islam hanya bersifat parsial bukan kaffah hanya akan menyulitkan umat Islam itu sendiri. Konsep dîn sering diartikan sebagai agama yang terbatas hanya pada tataran teologi. Kalau dîn al-Islâm hanya diartikan agama dalam konteks teologi berarti merendahkan Islam itu sendiri. Padahal Islam adalah satu-satunya yang bisa digandeng dengan institusi modern, seperti Islamic Bank, Islamic Stock Exchange, Islamic Insurance, Islamic Law, Islamic Bond. Keluwesan Islam yang bisa diimplementasikan dengan nilai-nilai institusi modern mengindikasikan bahwa Islam merefleksikan nilai komprehensif dalam ajarannya, tetapi kenyataannya sering dipahami hanya secara parsial.64 Kajian fiqh tidak hanya berkisar dengan masalah-masalah hukum, akan tetapi berkaitan dengan bidang keilmuan lain secara luas. Bahkan, Imam Abu Hanifa menggunakan istilah Fiqh al-Akbar dalam bukunya yang kebanyakan berisikan tauhid. Hal tersebut menandakan terjadinya reduksi makna fiqh yang hanya berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Sayangnya, hal tersebut dibatasi lagi dengan pembahasan yang berkaitan dengan ibadah mahdhah dan sebagian yang berkaitan dengan masalahmasalah humaniora, seperti yang berkaitan dengan perkawinan dan jual beli. 65 Reduksi makna fiqh tersebut sampai sekarang masih dirasakan dampaknya, sehingga pembahasan fiqh menjadi kering disebabkan oleh kurangnya bahan baku dalam berijtihad.66 Karya fiqh tersebut mengisyaratkan pentingnya melakukan inter-dicipliner dalam membahas suatu persoalan agar memberikan solusi yang lebih mendalam. Sebagai contoh bisa dilihat dalam kasus zakat profesi dan petani yang harus membayar zakat hingga 10% setiap panen, kalau hanya melakukan metode qiyas tidak akan mungkin dapat memenuhi prinsip-prinsip keadilan yang diakui secara universal. Metode qiyas hanya didasarkan pada ilmu lughat tentunya akan mendapatkan hasil yang berbeda bila didekatkan dengan pendekatan ilmu sosial, antopologi, atau etnologi. Kajian fiqh memiliki dua nilai yang melekat di dalamnya, yaitu nilai adoptif dan nilai antisipatif. Dua nilai ini terbukti dapat menjawab persoalan-persoalan fiqh ketika dihadapkan pada suatu situasi yang mengharuskan untuk memberikan jawaban secara hukum. Nilai adoptif fiqh dapat dilihat dalam beberapa topik yang sebelumnya tidak dijumpai pada zaman Nabi, akan tetapi karena kebutuhan terhadap hukum maka harus diputuskan.67 Bahkan, ada kecenderungan untuk melakukan adopsi terhadap pemahaman Syiah yang selama ini dianggap sebagai suatu yang sangat jarang terjadi. Seperti kondisi jalanan di Jakarta yang sangat macet, tentunya akan menyulitkan dalam melaksanakan shalat bagi beberapa profesi yang mengharuskan melewati jalanan macet seperti di Jakarta. Kebolehan untuk menggabung antara dua shalat terutama zuhur dan ashar akan menjadi jalan keluar bagi mereka yang membutuhkan solusi hukum. Selama ini dalam pemahaman fiqh secara umum boleh menggabungkan dua shalat atau menjamak dengan alasan musafir.68 Untuk membangun konsep fiqh yang berbasis situasi sekarang, terletak pada kemampuan dalam membuat pemetaan yang benar terhadap kebutuhan fiqh itu sendiri. Masalahnya, kajian fiqh yang diakui secara faktual mengalami stagnasi, tetapi selalu diharapkan kebangkitannya karena umat Islam tidak akan mungkin terlepas dari pengaruh fiqh itu sendiri yang sejak awal berdirinya, founding fathers kajian hukum Islam yang diawali oleh Nabi kemudian dilanjutkan dengan sahabat tidak pernah memisahkan Sunni dan Syiah. []
49
Catatan Kaki 1
2 3
4 5 6
7 8 9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Andre w F. M ar ch, “ Gen ea logi es of Sove re ign ity in Is la m ic Po litica l Theo logy,” dalam So cia l Rese ar ch, Vo l 80: 1 (Spring, 201 3), hlm. 2 93 -31 5. Jurj î Za idân, T âr ikh a t- Ta mad dun al- Isl amî, Juz I ( Ka iro , Munsh î a l -H ilâl, t.th), hlm. 43. Pada umu mny a, ula ma hadi ts e nggan t er libat da la m per masa lahan yang b isa m eng ura ngi k em ul iaa n sahabat, ter utam a hal -ha l yang m enyang kut p ert enta ngan polit ik di anta ra m er e ka seh ingga me re k a dapat terh indar dar i asum si yang m er endah kan sahab at Nabi. Muh am mad ibn Sâm il as -Sulm î, Manha j Kit âba t a t- Tâ rikh al- Islâ mî (R iyadh: Dâ r ar- Ri sâlat a l-‘ I lm iy yah, 1987 M/1 406 H), h lm. 24 6. Band ing kan: R. Stephe n Hump hr eys, Is lam ic H isto ry ( London: I.B Ta uris, 1 995), hlm. 69 -7 0. Ibn Hi shâ m, Sî rah an -N abî Sal lahu ‘ Ala ihi wa Sa lla m (K airo: Dâr a l- Fik r, 1981 M/140 1 H), hlm. 311. Abû al-‘Abbâs Muh am mad ibn Yaz îd, A l-Kâ mi l li al -Mu bar ra d (Ka iro: Dâr a l- Fikr, t.th), h lm. 26 6 -267. Mah mud Muh am mad Z iyâ rah, Al- ‘A ra b q abla al -Is lâm (Ka iro: Dâr at - Ta’ lîf b i a l- Mâ liyyah, 19 68), h lm . 629. Ibn al -Asî r, Al -Kâ mil fî a t- Tâ ri kh, Jil id I I (B eirut: Dâr Sa dir wa Dâr B e irut, 1 965 M/1385 H), hlm. 3 85. Ibn A‘sa m, Al- Futûh , Ji lid I, hl m. 524. Ahmad Kaz e mi Moussav i, The St rugg le fo r Au thor ity in Ninet een th Cen tu ry Shi ‘i te C om munit y: Th e Em er gen ce of Ins ti tut ion of Mar ja ‘i -T aql îd (Mont rea l: Ins tit ut e of Islam ic Stud ie s Mc G ill Un ive rs ity, 1991) , hlm. 7 9-82. Hawt ing. G.R., The Fi rst Dyn ast y of Isla m; the Um ayya d Cal ipha te AD 661 -750, 2 n d ed. (Routledge: Libra r y Congress C lass if i cat ion: DS38). Robert A Ca mpbe l l, Le ade rs ihp Su cess ion in Ea rly Is l am: Explo rin g the Na tu re an d Ro le o f His tor ic a l Pr ece den ts (Sydn ey: Cape B r eton Un iv ers ity, 200 8). Mua w iyah m engang kat put ranya Y azid s ebaga i pengg antin ya me nanda kan be rak hir nya s ist em k hi lafa h di dala m Is la m dan be rubah men jad i si ste m mon ar ki a bsolu t. Lihat Ibn A‘sa m, Al- Futûh (B eirut: Dâr a lKutub a l-‘ Il m iyya h, 1986 M/140 6 H), hl m. 353. Maha fzah H usa in A li, ”Th e D ev elop me nt of t he Job of the S ec ret ar ies of Stat e and Th e ir Role in Ea r l y Per iod of Is lam, ” dal am Euro pean S cien ti fi c Jour nal, 8.8 (April 2 012). Tah ir Mah mood et a l., (ed.), C rim inal La w in Is lam an d the Musl im Wo rld: A Co mp ar ativ e Pe rs pec tiv e (Delh i: Ins tit ute of Ob je cti ve Stud i es, 2005), h lm. 54. Mun cu lnya Is la m di teng ah -t engah w i laya h yang pern ah men jad i pusat perad aban Per sia da n Rom aw i me mbantu p er cepa tan Baha sa Arab s ebagai Bahasa Lin gua Fran ca yang bar u. Lihat Step hen H umph re ys, Isla mi c Histo ry: A Fr am ewo r k for In quir y (London: I.B T auris / Princ eton Unive rs ity Pres s, 1991), hlm. 54. Seti ap budaya atau per adaban te ntu m em ilik i rul e of condu ct yang b isa m eng ik at se mua anggot a komu nit asnya untu k be r lak u hidup t ert ib. Sangat naif bila me nuding agar se mua unsu r -un sur dar i non Isl am ada lah bu ru k. Lihat Noe l J. Coulso n, The H isto ry of Is lam i c La w (Edinbu rgh: Edinburgh Un ive rs it y Press, 19 64), hl m. 64. Ada beber apa ist i lah yang b er ka itan deng an hadit s, seper ti sun nah, ats ar, dan khabar. Sunn ah me rupa kan s egala s esua tu yang di sandar kan at as diri Nabi Muh am mad Saw. da la m sega la p e rbuatan , per kataan, maupun k etet apannya. A kan t etap i, dala m masa lah sunn ah in i ada b ebe rapa pe nde kata n dala m men i la i sunnah itu se ndi ri. B iasan ya, golongan muhaddi tsîn (ah li had its) me ndef in is ikan sunna h sega la s esua tu yang d isand ar kan k epada Nabi M uham mad mulai da r i lahir h ingga waf atnya. M enu ru t usûliyyîn (u lama us ul), yang di ma ksud deng an sunna h adalah k eb iasaan Nabi Muha m mad, bai k it u per kataan nya, pe rbuatan nya, m aupun ket etapa nnya y ang m enyang kut da l a m ma salah - masa lah hu ku m syara‘ d im ula i ket i ka Muha mmad d iang kat s ebaga i Nabi. Da lam masa lah su nnah ini, m asih te rjad i perb edaan di kal angan u lama t entang adan ya sunnah tash ri‘ iyy ah dan sunnah non - tashr î‘ iyy ah . Isti la h in i muncu l dis ebab kan o l eh adan ya s unnah - sunnah te rtent u ya ng d ipandang sebaga i p erbu atan Nab i yang m engandung s is i ke manus iaa n yang bisa sa lah. Lihat Shîruw ayh b. Shahrud âr ad -Da yla m î, Fi rda w s al-A khbâ r, 2 vol s. (Be irut: Dâ r al -F ik r, 1418/1 997), hlm. 244. Agak aneh b ila t ida k ada ria k pol iti k yang t imbu l ak ibat penobatan Yaz id sebaga i putra m ahkot a Dinast i Umay yah, ka laupu n ada sudah dir eda m dengan ke kuata n polit ik ya ng dim ilik iny a. Lihat M uham mad Ab û Zahra, Mal ik; Ha yât wa A râ ’ah al -Fi qhiyy ah (Ka iro: al - Angelo a l- M ic riyyah Boo kstor e,194 6). Lihat j uga Abdulha li m A l-Jondi, Ma lik ibn An as (Ka iro: Dâr a l- Ma þârif, 19 83). Hodgson M, “Th e Ro l e of Is la m in Wor ld H isto ry,” da lam In te rna tion al J ourna l of Mid dle Eas t Stu dies , 1(2)(1970), hl m. 99 -12 3.
50
20
21
22
23 24
25
26 27
28
29
30
31 32
33
34
35
36 37 38
39
40
41
Lang kah po l iti k yang d i lak uk an o leh Mua wiyah t ida k bisa hanya dilihat d ar i sat u asp ek sa ja, t etap i atmosf er k et egangan yang d ic ipta kan ma sih te rasa sampa i saa t ini. K enn edy Hug, Th e Gr eat A ra b Conque sts; How th e Sp rea d Isla m C han ged the Wo rld We Live in (Portland: Da Capo Press, 2007), hlm. 78-89. Ma ka ket i ka Mua w iyah b er usaha me mp ero leh leg itim asi ba iat an akn ya Yaz id, banya k dar i ka langa n sahabat yang tida k s etu ju d engan lang kah in i ka rena me re ka m en ila i me nya lah i apa ya ng dig ar is ka n oleh Nab i Mu ham mad Sa w. Lihat Abdu l ka rim Za idan , Nada m al -Q adhâ fî asy -S ya ri‘ ah al- Isl âmi yya h (Be irut: Mu ’assas ah ar -R isâ lah, 1 997), h lm. 13. Lih at ju ga Salah a l - Lidâ n, Hâl al -Mutah am fî Ma jlis al - Q a â (Riyad h: Mu cam afa Let aba wa an -Na shr, 199 5), hlm. 18. Sali h Said Agh a, The Revo lution whi ch To ppl ed the U mayy ads; ne ithe r Ar ab o r ‘ Abb asid ( Leid en: B ri l l Acade m ic Pub lis he rs, 2003). Hamzah a n - Nashâ rat i, Tâ ri kh as- Sahâ bah w a at -T abi ‘în , Juz 1 (t.tp:t.th). Kuatn ya bent eng pe rtahan an Roma w i di Kon stant inop el me mbuat imp er iu m in i te tap bert ahan sa mpa i bebe rapa abad ke mud ian. A khi rnya, pada masa Su ltan Sula iman a l -F atih 12 Me i 1 453 M dapa t men ak lu k kan Kon stant inope l. Kha li l Abdul Ka r im, Ne ga ra Madin ah Poli ti k Pena kluk kan Masya ra ka t Suku A rab (Jaka rta: LKiS, 2005) , hlm. 4 6-49. Must afa as -S ibâ‘ i, As- Sunnah wa Ma kâna tuhâ fî T ashr î‘ i al - Islâ m (Ka iro: Dâr a l- Is la m, 2010), hlm. 388. Mazh ab res m i nega ra pada masa D inast i U mayya h adalah Mazhab Ma lik i dimulai ket ika Kh alifa h Uma r ibn Abdul Azi s me mb er la kuk an k itab te rseb ut sebaga i kitab undang -unda ng negar a. Banya k fak tor yan g me lata rbe la kang i mengap a ki tab al-Mu wa ththa ’ d ijadikan s ebaga i undang -undang n egar a. Mu ham ma d A. Al-Ra ml i, N ahay t al- Muhta j ‘ alâ Sha rh al-M inhâj ( Ka iro: Mustafa a l- Bâb i al -Ha labi, 1 375 A.H). Abû Bak r Ibn a l-Arab î, Ahkâ m al - Qur ’an, ed. Alî Muha mmad al -B ijâw î, 2 n d ed. (Ka iro: Ma ktabat ‘Î sâ a l Bâbî a l-Sa lab î, 1387/1 967), hl m. 580. Tida k sed i ki t di anta ra ula ma hadi ts juga m ene mpat kan kit ab al-Mu wa ththa ’ in i juga sebaga i k itab hadi ts yang m ene mpat kan pos is i k e -6 da ri Kutub a s- Sit tah bu kan Sunan I bn Mâj ah . Lihat Ma jd ad -D în Abû asSa’âdât a l- Mubâ rak ibn Mu ham mad ibn a l -A l-Ats îr a l-Jaza rî, Jâm i‘ al- Usûl fî Ahâd îth a r- Ra sûl (t.tp: Ma ktabat a l-H al wân î, 196 9), hlm. 4 9 -51. Walaupu n k emud ian ha ri b ebe rapa ula ma m eng kr it ik kitab al-Mu wa ththa ’ I mam Ma lik banya k m e mua t hadits -had its yang dipanda ng dhaî f. Bahka n, banyak ju ga term uat be rita -be rita yang disa mpa ik an buka n hanya hadi ts akan t etap i atsa r ataupu n khaba r. Te r ka dang di dala m k itabnya t ers ebut ada juga ya ng me muat p er kata an sahabat maupun t abi‘ in. Te r lepas da ri tudu han s ebagian dar i u lama set e lah e ra I ma m Ma li k te rhadap k itab al -Muwa t ta,’a kan tet api yang perlu dig ar isba wah i bahwa k eb ebasan dala m mengg una kan su mbe r daya, bai k itu had its, ats ar, khaba r sahaba t maupu n tabi‘ in t ern yata dapa t me mbe r ika n solus i te rhadap per soala n -pe rsoa lan di bidang huku m, bahkan sa mpai de ngan leve l neg ara . Far id Esac k, Qu r ’an, Li be ra tion an d Plu ral ism ( Oxfo rd: On ewo rld, 19 97). Abd ar-Rah man B adaw i, Madh âhib al -Is lâ miyah , Juz. 1 (Be irut: Dâr a l -‘ I lm wa a l- Ma lây in, 1971). Qayy i m al -Jawz iy ya, Al- Manâ r al -Munîf fî as - S âhîh wa ad-Dha ‘î f ed. Abd al- Fattâ h Abû Ghudda, 12 t h ed. (Be irut: Ma ktab a l- Ma mbû’ât a l- Is lâm iy ya, 1425/20 04). As-Suyû mî, T ad rîb a r- Râ wi Sharh Taq rî b an - Na wâ wî, e d. Abd al-Wahhâb Abd al- La mîf ( Kairo: Ma ktaba t at-Tu râth, 142 6/2005). Kâ tib Ch el eb î, The B alan ce o f T ruth , trans. G. L. Le wis ( London: Geo rge A ll en & Unw in, 195 7), hl m. 148 Muha m mad Murt a â a l-Zab îd î, Bulgh at al- Ar îb fî Mu sthalah Ât sa r al -Hab îb, ed. Abd a l- Fattâh Ab û Ghudda, 2 n d ed. (Al eppo: Ma ktabat a l - Ma mbû’ ât al -Is lâ miyya, 1408/ 1988). Ali Muha m mad As -Sa ll abi, A mi r al-Mu ’m inin Mua wiyah ibn Abi Suf yan r a; Sha khsiy yuhu w a ‘ Asruh (Ka i ro: Dar al- Tau zi wa a l- Nasy r al- Is la mi yah, c et I, 142 7 H/20 06 M, h lm. 48 6. Joseph Scha cht, The O rig ins of Muha mm adan Juri sp rud ence ( Oxfo rd: Cla rendon P res s, 1959), hlm. 149. Ahmad Am in, F aj r al -Is lam i ( Ka iro: Ma ktabah an -Nahd hah al- M is riyyah, c et. x, 196 5), hlm. 21 2 -21 3. Mu rtada a l-As ka ri, Di râsah fî a t- Tâ rikh wa al -Had îts, dit er je mah kan oleh Faton i Had i d engan judu l Sebu ah Ka jian ten tang Se ja rah d an Had its , (Band ar La mpung -Ja kart a: YAPI, cet I, 410 H/19 89), hlm. 27. Li hat Hu sai n Al i Mah afzah, ”Th e D eve lop men t of th e J ob of the S ec ret ar ie s of Stat e and Th e ir Ro l e i n Earl y Per iod of Is la m,” h lm. 6 7 -78. Muha m mad ibn Ab i ba kar ib n ‘Abd a l - Qad ir ar -Raz i, M ukhta r a s - Sihhah, tahq iq Ma hmud Kh atir (B e irut : Ma ktabah Lubnan Nash i run, 1415 H/ 1995 M), hlm. 73. O leg G raba r, The Ea rl y Isl am ic Ar t, 650 -100; Cons tru c ting the Stud y of Isla mi c A r t (Portland: Ashgat e Publi shi ng co., Libra ry Conggr ess C lass if ica tion: 62 60, 2005).
51
42
43 44
45
46 47
48
49 50
51 52 53
54
55
56
57
58
59
60
Pene mpata n Ibn Uma r sebaga i i kon sahabat pad a masa Din ast i Umay yah se car a tida k langs ung me m er intah kan k epada masy ara kat M uslim ket ika itu untuk leb ih fo kus pada asp ek ibada h m ahdha h sebaga i bent uk k etaatan t er tingg i. T ida k meng h e ra nkan apab ila dip er hatika n hadit s -had its ya ng dianggap pa li ng tingg i de ra jatny a adalah had its -h adits ya ng m enyang kut ibadah kep ada Al lah . Didu kung sosok Ibn U mar ada lah sa habat yang sa nga t wara ’ yang m en ja lan i hid up sangat s edeha na, kar ena bag inya keh idupan ya ng seb enarn ya adalah de ngan mend uplikas i k eh idupan Nab i yang sanga t sede rhana da n c ende rung m is k in. Musnad Ahm ad, Juz I II, 12 9, dan 183; dan Juz IV, h lm. 422. Kha li l Abdul Kar im, Neg ar a Madinah , Po lit ik P enak luk kan Masy ar aka t Su ku Ar ab (Jakar ta: LK iS, 200 5), hlm. 1 23 -13 3. Abdul K adi r C ivan, Ma lone y. M T, Mar y F ranc es, “ Mod el of R elig ious Sch is m with Aplicat ionto Is la m, ” dala m Publ ic Choi ce 14 2.3-4 ( Mar ch 2010), h lm. 441: 4 60. Al-B uthy, Fi qh S ir ah (Hi kma h: Jakar ta, 2009), h lm. 35. M enge nai lo kas i ibu kota dun ia Is lam ya ng ma suk a ka l ia lah antar a Ma kah atau Mad ina h, kar ena bis a me m ini ma lisi r p erasa an pr i mard iol is me dar i ra sa na siona lism e mas ing - mas ing u mat I sla m. Kar en a me re ka s udah s epa kat Ma kah dan M adin ah ada lah du a te mpat su ci b agi u mat Is la m d i d unia. Apabi l a kh ila fah te rbe ntu k ma ka banya k mas lahat yang dapa t diras aka n oleh uma t Is lam. Lihat John Walb r idge , God and Logi c: Th e C ali ph of R eason (Ca mbr idg e: Cam bridg e Un iv ers ity Pr ess, 20 11). Mah moud Dhaouad i, “Ma croso cio log ies -T he Arab P olit ica l Po lit ical M ind’: Its Det e rm inant s and Man if estat ions ( in A rabi c) by Moh am mad Ab id a l -Jâ bir i,” da la m Wa shing ton A me ri can So ciol ogi ca l Assoc ia tion , 23, 2 (M arc h 1994), h lm. 260. Tar m izi Tah er, I sla m A cro ss Bound ar ies (Jaka rta: R epub lika, 20 03), hlm. 81 -82. W. Brown, Regul at ing Ave rs ion: Tol er anc e in the A g e of Id ent ity an d Empi re (Pr in ceto n: Prin ce ton Univ er sit y Pr ess, 2008). M. Di k eç, Ba dlan ds of the Repub li c: Sp ac e, Poli ti cs, and Urb an Pol ic y (Ox ford: B lac k we ll, 2007). Abu Zahw, Muha m mad, Al- Hadî ts wa al -Muhadd itsûn ( Ka iro: Dâr a l-F ikr a l-‘A rab i,t.th), hlm. 97. Adh-Dhahab î, Siy ar ‘A lâ m an - Nuba lâ’ Bashshâ r, ed. Aw wâd Ma’r ûf dan Muhy î H ilâ l a l -S irân, vo l. 22, 4 t h ed. (Be iru t: Mu ’assasa t al -R isâ la, 1406/1 986), hlm. 389 - 395. Abû al- Kha m mâb U mar ibn Sasan Ibn Di yya, Adâ ’ Mâ Waj ab m in Bay ân Wadh‘ a l -Wa dhdh‘ în fî Ra jab , ed. Muha mm ad Zuhay r al -S hâw îsh an d Muha m mad Nâ c ir a l-D în al -Albâ nî (B e irut: a l- Ma ktab a l- Islâm î, 1419/1 998), hlm. 87. Ibn a l-Ja wzî, At -T ahqîq fî Ahâ dît s al -Khil âf, ed., M as’a d Ab d al-Sa m îd a l-Sa’dan î a nd Muha mmad Fâ ris , 2 vols. (Be ir ut: Dâr a l - Kutub a l-’ Il m iyya, 19 94), hlm. 46 4. Seja rah me mbu kti kan k eti ka u mat Is la m be rusaha me njadikan Is la m sebaga i s ist em ya ng bern ila i tingg i bila meng ala m i asi m ila si de ngan sist e m yang la in m a ka te rjadin ya k ebang kit an perad aban di dala m Isl am. K em undura n berf i ki r te rjad i k et i ka umat Is la m berusa ha untu k me m isah kan diri d engan si ste m ni lai yang lai n dengan be rbaga i alasan. Sangat disaya ngkan adanya p emah ama n Islam seb agai s ist e m ni lai yang be ras a l dari su mbe r yang singula r. Aly Ma ns our, Sudûd Crim es, in: Cherif Bass iouni (ed.), The Isla mi c C ri mina l Just ic e S yst em ( London: Oc ean a Public ations, 199 9). Charl es K urz man,” I sla m ic Stud ies, and the Tra je ctor y of Polit ica l Is la m,” dala m Con te mpo ra ry Soci ology , 36, 6; Pro Ques t S ocio logy ( Nove mb er 200 7), hlm. 519. Penggunaan metod e qi yas ol eh i mam mazhab bu ka n murn i dar i m er ek a (Isla m), akan t etap i jau h sebe lu mnya t e lah digu nak an ol eh Ar istote les. Sikap menut up dir i sep er ti in i bukan nya m emb aw a ke ma juan b ahk an leb ih ban ya k m adhara t. M uham mad b. Muha m mad Ibn a l -Sâ jj, Al- Mad khal, 4 vols . (Be irut: Dâr a l- F ik r, 1990), h lm. 250. Adh -Dhahab î, Ta d hkîr at a l-Hu ff â“, ed. Za ka riyyâ’ Uma yrât, 4 vo ls. in 2 (B ei rut: Dâr a l- Kutub a l- Il m iyya, 14 19/199 8), hlm. 1:15 -16. Fatw a m erup aka n sa lah sa tu produ k ij tih ad yang me n yesua ikan d engan kond is i ma syar aka t s ehi ngga huku m Is lam tet ap bi sa up da te. Kath l ee n M. Moor e, “Is la m ic Lega l I nte rpr etat ion: Muf tis and Th ei r Fatw as,” da lam Con te mpo ra ry S ocio logy , 27, 2, P ro Ques t So ciol ogy ( Mar ch 199 8), hlm. 1 99. Subhi Ma hmas san i, Falsa fa t al- Tash rî ‘ fî al- Islâ m: The Philoso phy of Juris pru den ce in Isla m, Eng. Trans. Farhat I. Z iad eh, E.J. (Liede n: Bri l l, 1961). Band ingk an: ‘Abd ar -Rahma n al-Sabun i, Al -Mad khal al -Fi qh i wa Tâ rikh a l- Tash rî ‘ al- Isl âmi ( Ka iro: M akt abah Wahba h, 1402 H/198 2 M). Pada masa awa l Is la m, zakat digu nak an sebaga i ala t untuk m end ist rib u sikan ke kaya an k epada piha k piha k yang l emah s eca ra e konom i se la in sebaga i in strum en untu k m eng is i pundi -pu ndi k eua nga n negar a. Zaka t dib eban kan kepada u mat Is lam, pa ja k bagi non - Mus lim yang h idup dala m p em er inta ha n Isl am. T etap i, se ka rang i ni ke ran cuan t er jad i dis ebab k an adanya beba n ganda pada uma t Is la m, se lai n harus me mbaya r za kat s ebaga i b entu k kepa tuhan kepad a aga ma juga m e mbaya r pajak sebaga i ke wa j iban kepad a neg ara. Beban ganda u mat Is lam in i diseb abka n oleh b elum jelasnya inst ru men yan g
52
61
62
63
64
65
66
67
68
diguna kan un tu k m emp ra kti k kan ag ar t ida k te r jadi do uble bu rde n . He rbe rt B erg, M ethod and Theo ry i n the S tudy o f Is la mic O rig ins (Le iden: B r ill Acad e mic Pu blis he rs, 2003). Sebast ian Gunt he r, Ide as, Im ages, and Me thods o f Pot r ayal; Ins ights in to C lass ica l A rabi c L i te ra tu re an d Isla m (Le iden: B r il l Acad e mi c Publ ish er s, 2005). Adanya ket ida kp er cayaan di r i di kal angan ula ma non -Arab untuk be r ijt ihad se hingga persoa lan fiq h kura ng be r ke mbang s ebaga i mana me stinya. Lihat sa ja kar ya - kar ya u la ma N usanta ra wa laupun m em i li k i ke ma mpuan ana lis is yang tingg i t e rhadap s uatu masa lah t etap sa ja keba nya kan mas ih b er sif at ki tab ki tab syarah kary a - kary a ula ma T imu r T engah. Ibn Tay miyya, Ahâd its al -Qus sas, ed. Muha m mad Lu mf î al-babbâgh (B e iru t: al- Ma ktab a l- Is lâm î, 140 8/1988), h lm. 91. Seharu snya d i Indon esi a dala m kont e ks m en ja lin hub ungan dengan non -M uslim yang banya k diba ha s ters ebut ada lah hubungan d engan u mat Hind u dan Bu dha. Te r leb ih lagi w ilayah Indon esia be rtet angg a dengan nega ra -n ega ra yang mayor itas be raga ma Hind u dan Buddha. Farid Esac k, Qur ’an; Li be ra tion an d Plur alis m (O xford: One wor ld, 199 7). Azyuma rdi Az ra, Histo rio g raf i Isl am Kon te mpo re r; Wacan a, Ak tuali tas, d an Ak to r Se ja rah (Jaka rta : Gra med ia, 200 2). Dani el W. Bro wn, Re thin king Tr adi tion in Mod ern I sla mic Thought (Camb ridg e: Camb ridg e Un iv ers it y Press, 19 96). Muha m mad Abdu l Azi m az - Zarq ani y, Sha rh a z - Z ar q ani ‘ ala Mu wa ththa ’ a l Mal ik (B e irut: Da r a l F i kr, t.th), cet. ke -1. Ahmad Hasa n, The E ar ly Deve lop men t of Isla mi c Yu risp rud enc e (India: Adam Publish er & Distr ibuto rs, 1994), ed is i 1. Rif’ at Fauz iy ‘Abdu l Mutha l ib, T authîq as - Sunnah f î Q ar n ats - Tsân iy al -Hi jr iy: Usûluhu wa I tt ij âha (Ka iro : Ma ktabah a l K har i ji y, 1981), c et.k e -1, h lm. 13-25. Bagi Sy iah bol ehnya m enggabu ngka n zuhur dan asha r, maghr ib dan isya bisa dilak uka n tanpa haru s adanya ill at s edang musaf ir. B ah kan, tanpa adany a i llat pu n bisa me nggabung kan dua sha lat ya ng sebaga ima na dis ebut di atas. Masa lahn ya se la ma in i adanya k eengg anan untu k m engadops i pem aha ma n fiqh da ri Sy iah b eg itu kuat d engan a lasan yang k urang logis, padah al b isa me mb er ik an solusi t e rhada p persoa la n f iqh ya ng dihad api masya ra kat. Liha t M ullâ Alî a l - Qâ ri’, Al-M asnû‘ fî M a‘ ri fa t al - Ahâd its alMawdû, ‘ ed. Abd a l- Fattâh Abû Ghudda, 6 t h ed. (Be iru t: Dâr a l- Bashâ’ ir a l- Islâm iyy a, 142 6/2005), h l m. 172. Lihat juga Ahmad al -Ghu mâ rî, Al-Mud âw î li ‘ Ila l al Jâ m i‘ as- Sâghî r wa Sha rh al -Munâ wî ( Kairo: Dâ r al- Kutub, 199 6), hl m. 1:214 -2 15.
53
BAB IV QUO VADIS TERMINOLOGI AL-KUTUB AS-SITTAH A. Teks Nas, Refleksi Nilai Profan atau Sakral Memang diakui, Islam berkaitan dengan Arab, baik itu bahasa maupun budayanya. Akan tetapi, mengindentikkan Islam dengan Arab adalah kesalahan karena sama saja meminggirkan Islam sebagai ajaran universal. Pemahaman dan pengamalan Islam hanya diukur dari penampilan seperti layaknya bagian dari komunitas Arab yang mengesankan tingginya dimensi spiritual mereka.1 Simplifikasi Islam terhadap budaya Arab telah membuat Islam terhambat ke seluruh masyarakat global. 2 Hal ini masih ditambah dengan kaburnya benang merah antara ajaran Islam dan budaya atau yang profan dan yang sakral. Pemetaan terhadap kluster-kluster yang terdapat dalam ajaran Islam tersebut akan memudahkan untuk mengembangkan ijtihad yang sesuai dengan kebutuhan umat Islam dan masyarakat secara umum. Konsep maslahat yang dikembangkan sekarang ini masih sangat mentah karena hanya berbicara pada aspek ideal. Hal itu karena konsep maslahat masih berdasarkan spirit yang tidak terencana dalam melihat realitas.3 Parahnya, masih ada kecenderungan kuat soal supremasi Arab sebagai pihak yang otoritatif dalam memahami syariat Islam.4 Bagi umat Islam, orisinalitas teks al-Qur’an maupun hadits secara sains lebih diakui validitasnya dibandingkan dengan teks lain di luar Islam. Akan tetapi, sering kali klaim ini menjadi justifikasi bagi supremasi pemegang otoritas dalam menafsirkan Islam.5 Bagi umat di luar Arab, seperti Indonesia, tentu miris melihat budaya kekerasan yang ditampilkan media-media yang membudaya di Timur Tengah sebagai pusat Islam.6 Hal itu menimbulkan tampilan Islam cenderung keras sehingga resistensi budaya luar terhadap Islam menguat. Tidak dapat dipungkiri bahwa citra Islam yang identik dengan kekerasan digerakkan oleh pihak-pihak tertentu. Namun, terdapat semacam justifikasi ketika realitas kekerasan terjadi di pusat penyebaran awal Islam tersebut.7 Kajian fiqh yang terkadang bersifat lokal tidak akan mungkin bisa berkembang bila masih menganggap supremasi Arab sebagai otoritas tertinggi dalam penafsir ajaran Islam.8 Supremasi Arab sering kali dirasakan dalam tataran justifikasi penafsiran terhadap teks, lihat saja kajian fiqh yang terkadang sangat Arab oriented, seperti yang berkaitan dengan bersuci dianggap sebagai kajian fiqh yang bersifat general.9 Di lain pihak, masalah yang menyangkut tentang suksesi maupun pertanggungjawaban terhadap penggunaan kekayaan negara yang diasumsikan sebagai permasalahan krusial terasa diabaikan. Jumlah umat Islam yang dewasa ini yang menembus angka milyaran mayoritas tinggal di luar daerah Timur Tengah secara faktual harus berhadapan dengan sistem kehidupan yang selalu dikontrol oleh paham sekuler.10 Sikap kompromi yang dilakukan terhadap nilai-nilai sekuler yang berlaku hampir di setiap Negara harusnya dapat dijadikan salah satu sumber fiqh sekarang ini.11 Penerimaan umat Islam terhadap sistem sekuler yang berlaku di banyak negara bisa menjadi korpus fiqh yang berharga bila diejawantahkan dalam bentuk tertulis.12 Penafsiran terhadap teks nas akan lebih adaptif terhadap realita sosial yang terjadi di masyarakat Muslim.13 Kajian fiqh kontemporer sebenarnya tidak harus menunggu terbentuk dewan fatwa di suatu daerah maupun negara, karena setiap Muslim di dunia ini harus bernegosiasi dengan kenyataan yang mereka hadapi setiap hari. Sekarang yang dibutuhkan bagaimana sikap kompromi tersebut mendapat justifikasi dari nas sehingga memberikan jaminan legal dalam mempraktikkannya.14 Realitas sosial yang dihadapi umat Islam di dunia sering sekali berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, streotype yang sering dikaitkan dalam masalah-masalah tertentu di dalam fiqh akan lebih fair dalam menilainya. Adanya marjinalisasi terhadap peran perempuan di dalam fiqh klasik sering sekali dianggap sebagai permasalahan umum di dalam fiqh, padahal lebih cenderung sebagai masalah lokal
54
bangsa Arab.15 Bagi negara-negara di luar Arab, seperti Indonesia, peran untuk mencari nafkah tidak membatasi porsi yang lebih besar antara suami dan istri. Paradigma pemahaman hukum bahwa seorang perempuan harus ditemani oleh muhrimnya bila berpergian jauh tidak berlaku bagi TKW Indonesia di luar negeri yang jutaan jumlahnya. Di sini juga tampak sikap ambivalen pemerintah negara-negara mayoritas Muslim, bahkan yang mengklaim sebagai negara Islam, yang mendorong penerimaan TKW ke negara mereka.16 Di Indonesia sendiri, dalam rentang waktu yang lama sampai saat ini, kecuali di Aceh, sejak ditandatangani perjanjian Helsinski, perempuan yang berada di jajaran kepolisisan maupun TNI dilarang mengenakan jilbab ketika bertugas.17 Belum pernah MUI mengajukan keberatan terhadap peraturan itu, bahkan tidak dilakukan class action di pengadilan terhadap peraturan tersebut. Tampaknya bagi masyarakat Musim Indonesia aparat keamanan perempuan lebih memiliki kewibawaan yang mendekati nilai-nilai maskulin bila tidak mengenakan jilbab. Hal tersebut berbeda dengan negara mayoritas Muslim lainnya di belahan bumi yang lain yang cenderung membolehkan atau mewajibkan pengenaan jilbab bagi perempuan yang bertugas sebagai aparat keamanan.18 Fiqh klasik hampir tidak pernah membicarakan pola hubungan kerja antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan gambaran marjinalisasi perempuan karena dianggap tidak memiliki akses ekonomi dalam masyarakat Arab umumnya.19 Hal tersebut sangat kontras dengan kondisi kekinian yang mustahil bila membatasi hubungan kerja antara laki-laki dan perempuan.20 Tidak dapat dipungkiri banyak laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim bekerja di ruangan tertutup, sementara nas jelas-jelas melarangnya. Di negara-negara Muslim konservatif, negara masih membatasi perempuan pada pekerjaan-pekerjaan tertentu.21 Sementara itu, batasan tersebut tidak mungkin diterapkan di negara-negara lain dengan persamaan hak di depan hukum maupun keadilan bagi semua. Agaknya aneh bila ada negara yang membuat peraturan yang cenderung melakukan opressi terhadap perempuan dengan alasan nas, padahal Khadijah, istri Nabi, adalah seorang pengusaha besar pada masanya yang selalu harus berhubungan kerja dengan banyak laki-laki. Secara tidak langsung sebenarnya Islam tidak membatasi peran sosial perempuan.22 Agaknya kajian fiqh dalam memahami pola hubungan antara laki-laki dan perempuan akan lebih maju jika merujuk pada negara-negara plural seperti Indonesia sehingga akan memperkaya khazanah hukum.23 Kaum Muslim melihat pentingnya legalitas dalam melakukan sesuatu sehingga sikap kompromi umat Islam akan lebih bermakna jika mendapatkan legalitas dari pihak yang diakui otoritasnya.24 Seharusnya sudah saatnya menjadikan daerah-daerah di luar Timur Tengah sebagai bagian penting dalam melahirkan produk-produk fiqh. Permasalahan fiqh yang terjadi lebih kaya karena harus berhadapan dengan lingkungan yang tidak ideal sehingga negosiasi terhadap lingkungan tersebut akan melahirkan produk fiqh yang cocok dengan daerah tersebut.25 Di sini kajian fiqh diharapkan sebagai wasit bagi umat Islam dalam menentukan rule of conduct sehingga permainan tetap menarik, tetapi harus dilakukan sesuai aturan yang berlaku.26 Selama ini, dalam konteks wilayah kajian fiqh klasik, belum selesai dalam memetakan rumusan teritori pemerintahan Islam.27 Konsep fiqh tentang ini hanya memahami pada tataran ideal, yaitu umat Islam diasumsikan sebagai umat yang satu dalam suatu kekhalifahan tunggal. 28 Namun, kenyataannya konsep ideal tersebut hanya bertahan pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.29 Setelah itu, pemerintahan umat Islam terdiri dari beberapa Negara, yang tidak jarang terjadi peperangan antara satu negara dengan negara lainnya dalam rangka perluasan wilayah. Sering sekali suksesi di dalam sejarah pemerintahan Islam berlangsung dengan jalan pertumpahan darah. Hal tersebut mengindikasikan belum mapan konsep fiqh siyâsah dalam perjalanan sejarah.30 Sikap apatis yang terjadi di kalangan ulama fiqh memberikan gambaran bahwa persoalan fiqh siyâsah adalah perkara yang sensitif yang cenderung mendapatkan resistensi dari pihak penguasa. Kajian fiqh tentang siyâsa masih kurang
55
berkembang kalau tidak ingin mengatakan bersifat stagnan. Hal tersebut disebabkan oleh tidak mencerminkan prinsip utama ajaran Islam yang memberi kesempatan bagi siapa pun yang terbaik asalkan dilakukan atas dasar musyawarah. Kajian fiqh tentang ini sudah terpasung selama berabad-abad sehingga dampaknya masih dirasakan hingga saat ini. Konsep yang dibangun masih dalam kerangka normatif secara general belum masuk ke dalam substansi di dalam kajian fiqh. Pengaruh feodalisme keagamaan di dalam masyarakat Muslim hingga kini masih sangat terasa, dalam level global misalnya negara Saudi Arabia merasa yang paling berhak untuk mengatasnamakan umat Islam disebabkan oleh dua tempat suci berada di kota Makah dan Madinah.31 Ketika mereka menghilangkan situssitus bersejarah di dalam sejarah Islam tanpa melakukan kompromi dengan negara-negara Muslim lainnya merasa tidak bersalah.32 Dalam tataran local, seperti di Jakarta misalnya, adanya perlakuan khusus terhadap mereka yang bergelar habib yang mengklaim memiliki nasab sampai kepada Nabi. Gelar habib bisa menjadikan seseorang mendapatkan status sosial yang khusus di hati banyak umat Islam. Padahal, jelas Islam tidak pernah mengajarkan kemuliaan seseorang atas dasar keturunan, tetapi didasarkan atas dasar prestasi dalam berhubungan dengan Allah dan manusia.33 Egaliterianisme adalah salah satu masalah yang belum selesai di dalam masyarakat Muslim termasuk dalam kajian fiqh. Lihat saja konsep sekufu yang terdapat dalam fiqh klasik adalah salah satu syarat di dalam pernikahan didasari oleh pemurnian ras Arab yang dianggap sebagai ras yang paling tinggi agar tidak tercampur dengan ras lainnya.34Alibi untuk alasan mendapatkan sakinah di dalam perkawinan, fiqh klasik terjebak pada semangat nasabiyah (cauvisme) yang tinggi dibungkus dengan justifikasi penafsiran terhadap nas. Sebenarnya, masyarakat Arab memiliki permasalahan tersendiri dalam hal nasab sehingga salah satu misi utama Nabi adalah menegakkan konsep egaliterianisme. Itu merupakan hal yang sangat ditentang oleh orang-orang kafir pada masanya yang sebagian besar pembesar Arab. Mereka tidak mau dianggap selevel dengan orang-orang awam terlebih hamba sahaya. Naif bila ada sebagian umat Islam Indonesia meminta fatwa kepada ulama di Timur Tengah, sikap tersebut dipengaruhi claim perception bahwa Islam di Timur Tengah adalah Islam yang paling otoritatif.35 Masalah dalam egaliterianisme memiliki efek domino yang menyebar hampir ke seluruh kajian keislaman, termasuk kajian hadits. Tidak heran jika hierarki al-Kutub as-Sittah merupakan gambaran psikologi masyarakat feodal dari pihak penguasa yang selalu ingin mempertahankan status quo. egaliterianisme dalam teks hadits akan berpengaruh besar dalam kajian fiqh karena mendapat instrumen justifikasi dalam jumlah yang cukup banyak untuk memutuskan kasus-kasus hukum yang cenderung rumit.36 Inkonsistensi terhadap hadits menjadi refleksi dari memudarnya penghargaan terhadap sunnah Nabi. Hanya ada satu keyakinan ketika disepakati teks tersebut, yaitu hadits harus diperlakukan seperti teks al-Qur’an yang tidak ada perbedaan kualitas teks.37 Seyogianya tidak menggunakan terminologi hadits terhadapnya karena akan membuat rancu umat Islam.38 Pada dasarnya, Islam membawa spirit untuk melakukan asimilasi maupun akulturasi terhadap budaya lokal, sayangnya hal tersebut terhalangi dengan penetrasi budaya Arab yang berusaha melekatkan diri di dalam Islam. Islam yang sangat adaptif terhadap budaya setempat terkadang dianggap momok bagi budaya yang membawa kearifan lokal yang sudah eksis di dalam masyarakat tersebut. Di Iran, sekarang ini ada semangat untuk menggunakan kembali kalender Persia yang dipakai sejak zaman Zoraster ribuan tahun sebelum Islam lahir.39 Semangat untuk menghidupkan simbol kebanggaan nasional tidak untuk menjadi penyembah api, tetapi ada kesadaran untuk membedakan antara budaya dan Islam itu sendiri. Semangat ini melahirkan lompatan yang luar biasa sehingga menempatkan Iran sebagai negara yang paling maju dan mandiri di bidang teknologi di Timur Tengah. Mereka juga menggunakan kearifan lokal untuk menerjemahkan Islam ke dalam masyarakat mereka tanpa harus meniru sepenuhnya sistem pemerintahan di negara-negara lainnya di Timur Tengah.
56
Islam di Indonesia walaupun jauh dari Timur Tengah yang merupakan awal penyebaran Islam tetap bertahan sampai saat ini dipastikan karena mengadakan asimilasi dengan budaya lokal yang selama ribuan tahun telah eksis paham Animisme, Hindu, dan Buddha.40 Islam di Spanyol walaupun telah eksis selama delapan abad, tetapi bisa hilang dari sana karena budaya Kristen yang telah lama eksis tidak diperlakukan sebagai tuan rumah yang harus dihormati.41 Yang terjadi pada masa pemerintahan Islam di Andalusia (Spanyol) adalah pemindahan budaya Arab ke dalam masyarakat Spanyol. 42 Sementara itu, reaksi masyarakat Kristen Spanyol yang dimotori oleh Ratu Isabella dan Raja Ferdinand sangat tegas terhadap umat Islam, keluar dari negeri mereka atau kembali ke ajaran Kristen.43 Islam yang telah berhasil menyebar di wilayah yang sangat luas di muka bumi ini pada awalnya diterima oleh masyarakat lokal karena dianggap sebagai ajaran pembebas dari belenggu penindasan yang merenggut harga diri kemanusiaan. Merebaknya perdagangan budak serta kebanggaan yang berlebih terhadap suatu golongan merupakan hal utama yang dikikis oleh Nabi Muhammad Saw. Penerimaan mereka terhadap nilai-nilai tauhid bukan hal yang berat bagi kafir Quraisy karena nilai-nilai tauhid sudah mereka ketahui dari ajaran Nabi Ibrahim dengan simbol Ka’bah. Namun, hal yang tersulit dalam penerimaan Islam bagi mereka untuk mengakui bahwa seluruh umat manusia sama di mata Allah sehingga paham baru ini akan menghancurkan sendi-sendi struktur masyarakat mereka.44 Bangunan masyarakat kapitalis Arab Quraisy merasa terancam bila prinsip egaliter yang dibawa Islam diterapkan di dalam masyarakat mereka.45 Konsekuensinya sirnanya sikap semena-mena yang disebabkan oleh penguasaan terhadap harta yang berlebih, padahal masyarakat lainnya mengalami kekurangan. Bagi Arab Quraisy, penolakan terhadap nilai-nilai tauhid yang dibawa Nabi adalah suatu keniscayaan. Resistensi terhadap Islam ataupun hukum Islam bukan hanya terjadi di negara-negara di luar Islam bahkan juga terjadi di negara-negara mayoritas Muslim.46 Di Mesir misalnya, penolakan yang berakhir dengan penggulingan terhadap Presiden Morsi yang merupakan presiden pertama terpilih secara demokratis dilakukan karena adanya kekhawatiran terhadap dominasi paham Ikhwanul Muslimin di sana. Adanya ketakutan yang dirasakan masyarakat Mesir umumnya terhadap ajaran Islam yang ketat akan diberlakukan di Mesir. Umat Islam di dunia ini telah menyaksikan bagaimana label Islam digunakan untuk melakukan opressi terhadap orang-orang yang tidak sepaham seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Taliban di Afganistan misalnya yang sangat kaku menerapkan ajaran Islam.47 Dalam konteks Indonesia, tampaknya umat Islam sendiri banyak menentang ketika simbol-simbol hukum Islam mulai masuk ke dalam ranah publik.48 Lihat saja pemberlakuan undang-undang pornografi dan porno aksi ketika masih dalam RUU (Rancangan Undang-Undang) saja menimbulkan polemik dan demontrasi. Ketika disahkan ternyata undang-undang tersebut tidak dipatuhi oleh masyarakat, hal itu muncul karena hukum Islam dikhawatirkan akan dijadikan alat untuk menekan pihak lain atas nama agama.49 Semboyan Islam sebagai rahmat bagi semua menjadi kabur ketika ormas tertentu menggunakan kekerasan dengan dalih memberantas kejahatan. Nilai pembebas yang seyogianya melekat di dalam hukum Islam berubah menjadi hal yang menakutkan bagi banyak orang.50 Hal itu karena Islam yang diterima masyarakat sebagai bentuk operessi terhadap nilai-nilai yang mereka miliki. Sikap resistansi ini muncul adalah hal yang wajar sebagai manusia yang merasa terancam dari penetrasi dari luar. Akan tetapi, hal tersebut akan lain responnya bila menjadi budaya lokal sebagal brand ambassador dari ajaran Islam itu sendiri. Penolakan beberapa negara Eropa terhadap full hijab sehingga semacam aib bagi Barat yang selama ini sangat mengagungkan prinsip kebebasan dengan konsep multi-kulturalnya.51 Apabila dipahami alasan di balik larangan tersebut maka dapat dimengerti karena di Barat sistem masyarakat yang open society. Tampilan perempuan Muslim yang full hijab mengesankan ketertutupan mereka terhadap lingkungan sehingga mengganggu proses interaksi di tengah masyarakat.52
57
Umat Islam sepakat terhadap nilai-nilai tauhid dan kemanusiaan yang terdapat di dalam nas alQur’an dan hadits. Anehnya, ketika nilai-nilai tersebut diimplementasikan ke dalam hukum fiqh terdapat resistensi dalam mempraktikkannya. Seakan adanya kesenjangan yang cukup dalam antara Islam yang diklaim sebagai rahmatan lil alamin ketika diwujudkan dalam bentuk fiqh. Fiqh yang mengatur sampai ke wilayah privat sering sekali mendapat perlawanan dari internal umat Islam terlebih bila terdapat justikasi nas. Sering sekali fiqh klasik tidak memberikan ruang otonom sebagai individu dalam merespon hukum, Kasus-kasus yang di luar mainstream dianggap sebagai penyimpangan terhadap hukum. Supremasi Arab sangat kuat dalam mempengaruhi hukum Islam, sehingga fatwa-fatwa hukum yang lahir di luar kekuasaan bangsa Arab kurang mendapatkan legitimasi hukum yang kuat. 53 Pada abad pertengahan, ada tiga kerajaan besar Islam yang eksis menjadi negara super power, yaitu Turki Utsmani, Safawi, Mughal.54 Besarnya kekuasaan politik yang mereka kuasai tidak sebanding dengan produk hukum yang mereka hasilkan.55 Adanya resistensi orang-orang Arab yang merasa tidak pantas berada dalam kekuasaan Muslim lainnya sehingga menimbulkan stagnasi dalam melahirkan produk hukum fiqh. Hal itu disebabkan oleh masih kuatnya legitimasi bangsa Arab terhadap produk fiqh yang dihasilkan yang tertanam di sanubari umat Islam. Pertarungan entitas Arab dan di luar Arab selalu terjadi dalam masyarakat Muslim hal tersebut melemahkan struktur entitas Muslim secara keseluruhan. Sampai saat ini pertarungan entitas tersebut belum selesai sehingga agak sulit mengharapkan kebangkitan fiqh bila masih tidak mengakui otonomi hukum di dalam masyarakat Muslim secara general. Bahkan, ketika pasca kekuasaan al-Mutawakkil masa Abbasiah seiring dengan munculnya kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam lainnya silih berganti tetap mempertahankan simbol kekhalifahan Abbasiah. Kekhalifahan ini dianggap sebagai simbol legitimasi bagi eksistensi kerajaan lainnya, hal tersebut didasari kekhalifahan Abbasiah perwujudan kekuasaan murni bangsa Arab. Kerajaan besar seperti Turki Utsmani demi memperluas wilayah kekuasaannya mulai dari wilayah tradisional tempat lahirnya Islam di Timur Tengah sampai Eropa menggunakan simbol “Utsman” agar mendapat legitimasi dari orang-orang Arab. Bagi orang-orang Arab, kata-kata Utsmani memberikan dampak psikologi lebih diterima dibandingkan berada dalam kekuasaan Safawi yang identik dengan Persia. Padahal, pusat Turki Utsmani lebih jauh dibandingkan dengan Kerajaan Safawi yang lebih dekat sehingga asumsi di atas dianggap benar. Apalagi Kerajaan Mughal yang kurang merepresentasikan simbol Arab di dalamnya, sementara itu pengalaman bangsa Mughal dalam berinteraksi dengan pusat budaya Hindu sangat berharga dijadikan sebagai bahan kajian fiqh yang cukup berharga. 56 Pada masa Sultan Ali Akbar, merupakan masa yang termasyhur dan paling jaya pada masa pemerintahannya, karena dia mampu meyakinkan orang-orang Hindu diperlakukan sebagai tuan rumah yang dihormati di negerinya sendiri. Langkah sinkretisme antara Islam dan Hindu yang bernama dîn ilâhi merupakan produk fiqh pada masa Ali Akbar zaman Mughal yang patut diberi apresiasi yang tinggi.57 Langkah tersebut bisa memberi spirit positif bagi terciptanya harmonisasi antara Islam sebagai ajaran pendatang dengan kearifan lokal yang sudah eksis. Sangat disayangkan semangat fanatisme semu yang mengatasnamakan kemurnian Islam sering digunakan tameng untuk membungkam langkah-langkah fiqh lokal yang sangat berharga ini. Padahal, sejarah telah membuktikan pada zaman Ali Akbar inilah puncak peradaban dihasilkan pada masa Kerajaan Mughal, ketika seluruh elemen masyarakat tanpa membedakan etnis dan agama berkomitmen dalam memberikan kemajuan kepada negeri tercinta. Pengalaman interaksi Islam dengan budaya lokal yang pernah terjadi di masa lampau hendaknya dapat dijadikan statuta hukum yang dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan hubungan antara Islam dengan masyarakat di luar Islam. Sikap tak ramah banyak negara di luar Islam terhadap umat Islam mengindikasikan adanya kesan yang yang keliru terhadap Islam yang ditampilkan oleh golongan tertentu. Kenyataannya the silent majority di kalangan umat Islam sangat moderat terhadap
58
pihak di luar Islam.58 Gambaran buruk tentang patung Buddha Bamiyan tertua di dunia merupakan cagar alam yang diledakkan dan disiarkan oleh pemerintah Taliban menambah buruknya pemahaman pihak luar terhadap ajaran Islam. Pengalaman buruk di dalam masyarakat Islam terjadi ketika ada sekelompok masyarakat yang membawa label untuk memurnikan ajaran Islam dengan memberangus kearifan lokal. Sikap puritanisme ini sudah sejak lama ada dan sering disamarkan dengan misi nasabiyah arabisasi yang sampai saat ini cukup kuat dirasakan, termasuk di Indonesia. Biasanya jurus bid‘ah adalah senjata mereka yang sangat ampuh untuk menghancurkan buah interaksi Islam dengan kearifan lokal. Kelompok puritanisme ini sering melangkah terlalu jauh sehingga memandulkan kreasi umat Islam dalam melahirkan fiqh-fiqh lokal yang bisa memberikan solusi pada masyarakatnya. Semangat puritanisme ini biasanya miskin terhadap karya-karya hukum yang ada karena mereka kurang mau berkompromi terhadap nilai-nilai lokal yang ada.59 Sangat disayangkan semangat puritanisme tersebut tidak memberi solusi terhadap persoalan hukum yang dibutuhkan masyarakat terlebih lagi ada kesan yang tersirat gerakan itu menginginkan agar kembali pada perilaku pada era Nabi Muhammmad Saw. dan sahabat. Gerakan puritanisme ini tampaknya akan menghadapi resistensi masyarakat lokal yang tidak sepaham dengan mereka.60 Di Inggris, tahun 2012 M, seorang pemimpin agama Kristen terkemuka William Cadburry mengusulkan kepada pemerintah untuk memberi ruang pemberlakuan syariat Islam bagi umat Islam di negaranya. Usulan ini dinilai sebagai solusi untuk meredam munculnya aliran Islam garis keras di negaranya juga sebagai bentuk toleransi yang diberikan kepada umat Islam. Walaupun usulan ini memicu kontroversi karena tidak pernah terjadi sebelumnya, seorang pemimpin agama Kristen meminta pemerintah untuk memberlakukan syariat Islam bagi pemeluk agama Islam. Mulai bertambahnya jumlah umat Islam di Eropa membuat pemerintah di sana mulai memberi perhatian terhadap Islam itu sendiri. Menariknya, di Jerman, mulai tahun 2011, sudah didirikan kampus yang mempelajari Islam secara komprehensif layaknya UIN (Universitas Islam Negeri) di Indonesia.61 Kampus yang terletak di Osnaburck tersebut merupakan bagian dari universitas Katolik Osnaburck dekat perbatasan Belanda. Kampus ini didanai dari pemerintah Jerman untuk menghasilkan akademisi Muslim yang cocok dengan kebutuhan masyarakat Muslim Jerman. Seiring meningkatnya jumlah umat Islam secara signifikan membutuhkan beberapa posisi yang harus melayani kebutuhan umat Islam di Jerman, seperti guru-guru agama Islam di sekolah-sekolah yang terdapat pelajar Muslim, Imam atau Khatib di Masjid, atau pemimpin agama yang menjadi penghubung antara pemerintah Jerman dengan umat Islam. Pemerintah Jerman tidak mau mengambil risiko dengan mendatangkan pengajar agama Islam dari luar Jerman karena dikhawatirkan kurang memahami corak masyarakat Jerman. Di bandara Frankfurt Jerman, seseorang yang hendak sholat akan dengan mudah mendapati musholla (Mose) yang berdampingan dengan tempat peribadatan agama lainnya, seperti sinagoge Yahudi, dan gereja kecil. Agaknya hal tersebut dapat menjadi inspirasi bagi negara Islam lainnya untuk memberikan kesempatan yang sama dalam beribadah, hal tersebut belum pernah terjadi di negara Muslim manapun. Terlebih menyediakan peribadatan bagi orang Yahudi layaknya musholla di bandara-bandara di tanah air. Solusi penyediakan peribadatan yang adil bagi semua pemeluk agama dapat diakui sebagai fiqhnya masyarakat Muslim Jerman. Di sebagian besar umat Islam negara-negara Eropa tampaknya menerapkan hukum fiqh yang berkaitan dengan jilatan anjing hampir mustahil bisa diimplementasikan. Bagi masyarakat Eropa, terutama Jerman yang selalu membawa anjing jika bepergian, terutama dengan bus dan kereta api, tentunya bagi Muslim yang tinggal di sana tidak bisa menghindari kontak dengan jilatan anjing.62 Hukum tentang jilatan anjing yang sudah sangat jelas di dalam fiqh harus disesuaikan dengan umat Islam yang tinggal di sana.63 Sejarah fiqh yang dibangun didasari kebutuhan umat Islam semata terhadap hukum Islam ketika pemerintahan Islam sedang berada di puncak zaman keemasan. Dominasi dan peranan umat Islam sangat
59
kuat sehingga produk hukum yang dihasilkan untuk kondisi sebagai pemerintahan sebagai pihak mayoritas. Akan tetapi, dengan kondisi sekarang ini produk-produk fiqh yang ada terkadang tidak bisa menjawab kebutuhan umat Islam dalam hukum fiqh. Fiqh klasik yang dibangun dalam suasana kegemilangan umat Islam kurang mengantisipasi kebutuhan hukum, ketika umat Islam dalam posisi marginal, baik secara politik maupun ekonomi. Pemaksaan untuk tetap melaksanakan produk-produk hukum tersebut kepada umat Islam yang sedang mengalami posisi marginal akan menjadi bumerang tersendiri bagi mereka. Kewajiban mengenakan jilbab bagi perempuan Muslimah akan mengalami kendala bagi perempuan Muslim yang ingin berkarier di Perancis karena pemerintahan di sana melarang perempuan Muslim mengenakan jilbab di lembaga-lembaga pemerintah.64 Bila ukuran kesalehan diukur dari segi kepatuhan mengenakan jilbab bagi perempuan Muslim, maka perempuan Muslim yang bekerja di instansi pemerintahan Perancis tidak ada yang memenuhi kriteria itu. Sering sekali wilayah profan di dalam Islam dipersepsikan sebagai wilayah sakral untuk alasan-alasan tertentu, padahal Islam sangat mengajarkan kondisi umat Islam itu harus disesuaikan dengan beban hukum yang diembannya. Akan tetapi, sikap pemerintah Perancis ini sangat bertentangan dengan semangat kebebasan yang menjadi jargon mereka. Dewasa ini kajian fiqh kurang membumi karena sering sekali mengulang-ulang pembahasan tematema fiqh klasik, padahal problem hukum umat Islam zaman sekarang ini lebih kompleks.65 Agak aneh bila semangat pembahasan tentang hukum Islam masih menghabiskan energi terhadap persoalan-persoalan khilafiyah yang cenderung sekterian yang telah berlangsung lama yang tidak akan mungkin terselesaikan. Padahal, di depan mata banyak persoalan-persoalan hukum yang harus diselesaikan secara cepat. Sudah menjadi pengetahuan umum, banyak umat Islam terutama pihak perempuan yang bekerja menjadi pembantu rumah tangga keluarga non-Muslim, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Fiqh klasik mengklasifikasi orang-orang yang bekerja di wilayah domestik seperti menjadi pembantu rumah tangga adalah budak, terlebih lagi biasanya yang menjadi majikannya adalah Muslim juga. Dewasa ini banyak perempuan Muslim yang bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga yang tentunya mengurusi berbagai hal termasuk soal makanan ataupun hewan peliharaan. Bagi orang non-Muslim tidak memiliki pantangan dalam soal makanan dan hewan peliharaan, di sisi lain perempuan Muslim yang berkerja sebagai pembantu rumah tangga berkewajiban mengurusi hal-hal tersebut. Hampir mustahil perempuan Muslim yang berkerja di tempat-tempat non-Muslim menghindar dari hal-hal tersebut, apalagi kesulitan dalam melaksanakan sholat, mengenakan jilbab, atau menjaga kehormatan diri. 66 Sampai saat ini belum ada keputusan fiqh yang keluar mengenai hal ini, tampaknya di kalangan ulama kontemporer masih kurang memiliki keberanian intelektual dalam memutuskan perkara-perkara yang tidak ada di dalam kitab fiqh imam-imam mazhab. Kelihatannya ulama nusantara masih menunggu fatwa dari ulama lainnya dalam memutuskan perkara di atas, sementara itu umat Islam di belahan dunia lainnya tidak mengalami persoalan seperti yang dialami di Indonesia TKW bekerja di rumah tangga non-Muslim. Tidak percaya diri dalam memutuskan hukum yang terjadi di daerah sendiri disebabkan oleh adanya persepsi produk hukum Islam Nusantara harus diimpor dari wilayah lain. Sikap inferior dalam memutuskan persoalan-persoalan fiqh yang ada di dalam masyarakat Indonesia khususnya muncul disebabkan oleh belum hilangnya persepsi otoritas dalam Islam.67 Bahasa Arab sering dianggap sakral sehingga persoalan-persoalan hukum yang muncul sering kali harus dirujuk dengan teks-teks Arab yang sering tidak memenuhi kebutuhan solusi hukum. Nabi sendiri sering menyelesaikan persoalan-persoalan yang dibawa kepadanya dengan memanfaatkan pengetahuan lokal sebelum Islam.68 Sementara itu, umat Islam di Indonesia seakan mengabaikan pengetahuan lokal yang membentuk kearifan masyarakat, baik yang tertulis maupun tak tertulis digunakan sebagai sumber fiqh lokal. Seakan ajaran-ajaran kebaikan yang tertulis di beberapa serat Nusantara berbahasa Sansekerta peninggalan
60
masyarakat sebelum Islam sesuatu yang haram. Nilai-nilai yang terkandung di dalam kisah-kisah pewayangan sangat baik digunakan sebagai bahan dalam menyelesaikan persoalan hukum. Masalah birokrasi memiliki ciri khas tersendiri yang tidak bisa diberlakukan secara hitam-putih karena harus melihat berbagai elemen. Banyak ajaran nenek moyang bangsa yang bisa digunakan sebagai fiqh siyâsah Indonesia. Semua nilai normatif yang dihasilkan di dalam karya nenek moyang bangsa dapat dijadikan sebagai produk fiqh.69 Tidak mungkin dapat menyelesaikan kasus-kasus fiqh yang berkembang di masyarakat di suatu wilayah tanpa memberdayakan kearifan lokal yang eksis sejak sebelum kedatangan Islam. Penggunaan serat-serat kuno, baik Sangsekerta, Jawi, kulon, lontar maupun kebiasaan yang baik diambil dari kearifan lokal. Bagi masyarakat Batak Angkola di Sumatera Utara, menikahi sepupu yang semarga dari garis keturunan ayah adalah aib bagi keluarga, sikap tersebut akan mengganggu tatanan masyarakat. Sangat wajar kalau pun pemahaman dalam kitab-kitab fiqh selama ini hal tersebut dihalalkan, akan tetapi bagi masyarakat Batak Angkola yang tinggal di Bonapasogit (Kampung halaman) diharamkan. Fiqh yang dibentuk untuk menciptakan keteraturan di masyarakat tentu akan menjadikan kekacauan bila hal tersebut diterapkan di masyarakat.70 Pemaksaan terhadap nilai-nilai fiqh klasik yang diambil dari budaya masyarakat Arab ke dalam masyarakat lokal tanpa memperhatikan kearifan lokal akan membuat kajian fiqh menjadi tidak efektif, bahkan mandul. Inggris adalah negara yang tidak memiliki undang-undang dasar negara, tetapi dapat merumuskan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat.71 Pemberdayaan terhadap teks-teks tertulis masa lalu berupa traktat, perjanjian dengan negara lain, piagam sehingga tidak memerlukan undang-undang dasar seperti UUD 45 di Indonesia. Langkah Inggris tersebut berhasil menghasilkan produk hukum yang penting di dalam kehidupan masyarakat dengan spirit pemberdayaan nilai-nilai kearifan lokal mereka. Semangat ini hendaknya juga dimiliki oleh bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim untuk menjadikan kekayaan intelektual yang telah membentuk kearifan lokal bangsa Indonesia untuk menghasilkan produk hukum fiqh.72 Sebenarnya produk KHI merupakan langkah maju dalam menyikapi kebutuhan akan produk fiqh. Setelah terbentuknya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan seakan tidak ada lagi produk hukum di Indonesia yang mengatur tentang hukum keluarga di Indonesia. Terbentuknya UU no.1 tahun 1974 terkesan bukan untuk mengakomodir aspirasi umat Islam dalam perkawinan, tetapi untuk kepentingan politik terselubung untuk menghambat penyelenggara negara untuk memiliki istri lebih dari satu.73 Namun, momentum ini bisa digunakan untuk melahirkan produk fiqh yang sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan Indonesia. Lahirnya KHI tampaknya hanya untuk memenuhi kebutuhan persyaratan administrasi tentang hukum acara dalam berperkara di pengadilan agama, bukan untuk langkah besar yang lebih maju dalam melahirkan produk hukum Islam di Indonesia. Kompilasi hukum Islam di Indonesia hanya memberikan justifikasi legal formal dari salah satu pendapat di dalam kitab-kitab fiqh klasik. Hasil hukum kompilasi ini masih miskin inovasi hukum yang dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut karena bahan ijtihad hukumnya hanya didasarkan pada kitab-kitab fiqh mazhab. Masa iddah masih juga hanya diberlakukan kepada perempuan tidak untuk laki-laki, padahal di masyarakat Indonesia telah ada konsep masa berkabung selama 40 hari bagi keluarga yang kehilangan pasangannya. 74 Alangkah tidak etis bila seorang istri yang baru seminggu meninggal, suaminya lalu kawin lagi. Walaupun menurut fiqh yang dipahami selama ini dibolehkan, menurut kebiasaan masyarakat Indonesia hal tersebut tidak etis dan menyalahi konsep masa berkabung 40 hari. Konsep hukum Islam membawa misi tahuid dan kemanusiaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah produk jadi yang bisa langsung diterapkan begitu saja. Keistimewaan hukum Islam didisain sebagai produk hukum yang progressif yang aplikatif. Nilai-nilai progressif di dalam hukum Islam yang
61
seyogianya menjadi katalisator perkembangan hukum Islam menjadi stagnan disebabkan oleh adanya salah persepsi terhadap hukum Islam itu sendiri. Sering sekali kekhawatiran originalitas muncul dalam mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal. Originalitas hukum Islam yang terdapat di dalam nas ditandai dengan adanya pemahaman makna teks nas yang qath‘î dan zanni yang membuat hukum Islam ini dapat berkembang, tetapi tetap tidak kehilangan arahnya.75 Pemahaman teks yang qath‘î merupakan keniscayaan yang harus ada untuk menjaga originalitas pemahaman teks untuk menjaga penyimpangan dalam berijtihad. Teks al-Qur’an bagi umat Islam adalah suatu yang qath‘î. Sementara itu, dari segi makna walaupun terdapat perbedaan dalam memahaminya tetap saja diyakini ada makna tertentu yang bersifat qath‘î. Begitu juga dalam memahami teks hadits dalam wilayah tertentu diyakini bersifat qath‘î. Masalahnya ketidaksepakatan di kalangan aliran dalam Islam ialah dalam menentukan teks dan maknanya yang bersifat qath‘î. Tampaknya semua makna teks di dalam nas bersifat qath‘î selama mengandung unsurunsur utama dalam ajaran Islam, yaitu nilai-nilai ketauhidan, penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai untuk menjaga ketertiban sosial. Nilai tauhid dan kemanusiaan manifestasi ajaran pokok dalam Islam, sementara itu masalah menjaga ketertiban sosial adalah masalah yang bersifat dinamis sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Wilayah fiqh biasanya masuk dalam pembahasan menjaga ketertiban sosial yang di dalamnya banyak terlibat masalah hukum. Sepintas kajian fiqh hanya berkisar pada masalah wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram yang merupakan produk akhir dari pergumulan ijtihad. Selama ini, belum dibedakan produk akhir ijtihad dalam fiqh, baik itu wilayah tauhid, kemanusiaan maupun masalah ketertiban sosial. Ada kerancuan dalam menetapkan hukum karena menyamaratakan wilayah fiqh tanpa mempertimbangkan cluster di dalam fiqh itu sendiri.76 Hukum wad‘î yang selama ini dikenal kurang mengakomodir secara komprehensif dimensi hukum yang berkembang. Kajian fiqh selama ini terasa kering disebabkan oleh unsur etika kurang dilibatkan di dalam pembahasan fiqh, padahal etika adalah nilai moral yang diakui secara universal. 77 Etika sering sekali membentuk norma yang diyakini berada di atas hukum karena menyangkut kepatutan yang dipatuhi oleh masyarakat. Sudah menjadi kelaziman masyarakat yang menjunjung etika, seperti di Jepang, bagi pejabat pimpinan publik langsung mengundurkan diri bila target yang dijanjikan sebelum berkuasa tidak tercapai, atau ada kesalahan yang terjadi di bawah wewenangnya walaupun bukan dia pelakunya. 78 Sikap ksatria di atas dilakukan walaupun secara hukum tidak bersalah merupakan indikasi kesadaran masyarakat yang tinggi. Implementasi hukum dalam porsi yang besar secara tidak langsung kesadaran masyarakatnya masih kurang sehingga law enforcement harus ditegakkan. Bukankah ada paradigma yang berkembang di dalam masyarakat Muslim umumnya yang meyakini bahwa “adab lebih tinggi dari ilmu” dengan kata lain adab yang identik dengan etika adalah nilai utama dalam hubungan kepada Allah maupun masyarakat. Umar ibn al-Khattab melarang Ibn Umar memiliki jabatan publik termasuk desakan masyarakat yang menginginkan agar anaknya dimasukkan salah satu anggota tim Sembilan. Tim Sembilan ini yang akan menggantikan Umar setelah mangkat dari kursi khalifah. Sikap ini merupakan gambaran etika hukum yang diajarkan Umar kepada umat Islam untuk menjunjung tinggi norma yang sebenarnya sudah ada dalam masyarakat Islam. Sering kali norma digantikan dengan dengan legalitas kepastian hukum hanya untuk menghilangkan nilai-nilai etika yang mengawasi masyarakat. Hukum yang didasari legalitas semata menyandarkan hukum dari pihak yang berkuasa sehingga tidak mengherankan hal ini melahirkan kompetisi untuk berkuasa agar dapat mengontrol masyarakat.79 Bahkan Nabi sendiri lebih mendahulukan etika dengan tidak melakukan penunjukan pengganti dirinya sebagai pemimpin umat Islam pasca wafatnya. Bila hal tersebut dilakukan maka keputusannya akan bias kepada salah satu pihak, sementara Nabi dalam posisi berdiri di atas semua golongan.
62
Islam sebenarnya telah mengajarkan etika harus melekat dalam penegakan hukum seperti hukum diyat adalah etika hukum yang didasari dari kearifan lokal masyarakat pra Islam.80 Diyat adalah wujud dari penghargaan yang tinggi akan nilai-nilai kemanusiaan sehingga nas mengabadikannya supaya pesan moral yang terkandung di dalamnya dapat diimplementasikan di dalam masyarakat. Seorang laki-laki yang melakukan shalat tanpa memakai baju walaupun auratnya tertutup sangat tidak memiliki etika ketika menghadap manusia saja memakai pakaian yang lengkap apalagi menghadap Allah. Melakukan poligami walaupun diperbolehkan dalam Islam, tetapi bisa menimbulkan mudharat dan bila ditujukan sebagai tameng agama untuk mengumbar syahwat maka juga tidak beretika. Etika sangat berkaitan dengan norma yang dihormati di dalam masyarakat. Seyogyanya fiqh harus digandeng dengan etika untuk lebih menghidupkan dimensi kemaslahatan hukum bagi masyarakat.81 Bukankah Nabi mengecam perilaku orang yang memakai kain di bawah mata kaki walaupun ditujukan untuk menunaikan shalat? Bahkan Allah melaknat orang yang melakukan isbâl ketika akan shalat, indikasi betapa Islam mengajarkan etika sebagai bagaian utama dari ajaran Islam. 82 Larangan itu muncul tatkala umat Islam mengalami kesulitan ekonomi akibat embargo yang dilakukan pelaku usaha yang waktu itu dikuasai oleh kaum kafir yang membenci Islam. Embargo tersebut sangat menyulitkan orang-orang yang berada dalam level ekonomi bawah yang merupakan mayoritas pada waktu itu. Akan tetapi, pesan moral dalam larangan isbâl kurang diindahkan oleh banyak kalangan sehingga masih saja terjadi perilaku yang tidak memiliki rasa kesetiakawanan sosial. Unsur etika yang kurang diperhatikan di dalam kajian hukum selama ini membuat khithâb yang terdapat di dalam nas kurang diperhatikan. Banyak di kalangan umat Islam mengartikan konsep Isbâl sebagai bentuk dari ketaatan dalam menjalankan sunnah superfisial tanpa mau memahami adanya stressing point pentingnya mempelajari sosiologi hukum. Sosiologi hukum penting untuk terciptanya ketertiban di dalam masyarakat yang mematuhi aturan-aturan hukum yang telah disepakati bersama. Di sebagian besar negara-negara Barat mengumandangkan azan memakai mikrofon yang dapat didengar lingkungan di luar masjid dianggap tidak memiliki etika walaupun suara lonceng gereja terkadang sangat keras terdengar.83 Sebagai agama yang dianggap dibawa pendatang seharusnya menghormati norma yang sudah disepakati oleh masyarakat setempat, karena hal tersebut bila dilanggar akan mendapat resistensi dari masyarakat lokal. Sikap tersebut akan berubah seiring bila terjadi kontak sosial yang intens seperti yang terjadi di Inggris ketika salah satu tv swasta menayangkan azan Maghrib secara langsung. 84 Normanorma terbentuk dari kearifan lokal yang membentuk karakter suatu masyarakat harus dipahami norma sosial di dalam masyarakat jauh lebih banyak daripada teks undang-undang. Di masyarakat, seiring dengan waktu terkadang gestalt yang terbentuk dapat menutupi pesan utama yang terdapat di dalam norma hukum, bahkan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. 85 Gestalt secara sosial terbentuk biasanya dilakukan untuk memudahkan identifikasi di dalam masyarakat, dalam membentuk stratifikasi sosial terkadang menjadi tidak fair ketika memberi kemudharatan bagi pihak tertentu bila gestalt tersebut berdampak negatif baginya. Masih tetap adanya image yang rendah terhadap kulit berwarna, khususnya kulit hitam, di masyarakat Barat masih belum dapat dihilangkan sampai sekarang. Kasus-kasus rasisme sering menjadi isu sensitif dalam masyarakat Barat akibat gestalt yang melekat selama ini, bahwa kulit hitam identik dengan budak yang harus melayani tuannya orang kulit putih. Sayang sekali sekarang ini adanya gestalt yang terbentuk di dalam masyarakat dunia yang mengindentikkan Islam dengan terorisme, hal tersebut dapat dilihat dari keterlibatan dunia Barat dalam beberapa konflik di banyak negara Islam. Bahkan penjara Guantanamo tawanan perang yang semua tahanannya beragama Islam simbol terorisme yang melekat dalam konsep jihad di dalam Islam. Gestalt yang dibentuk dengan sakralisasi yang mengatasnamakan agama akan berimplikasi pada pelaksanaan yang cenderung untuk melakukan tekanan psikologi, bagi golongan yang mempertanyakan dasar hukumnya. Seperti perilaku masyarakat yang menganggap kegiatan ritual tertentu yang dilakukan
63
secara turun-menurun tanpa ada dasar hukum yang jelas di dalam nas. Biasanya, ini terjadi akibat terlalu besarnya pengaruh kepercayaan pra-Islam. Terkadang nas mengadopsi gestalt yang sudah terbentuk untuk kepentingan penyebaran Islam lebih luas seperti justifikasi nas terhadap suku Quraisy dalam kepemimpinan umat Islam. Agak lebih mudah dalam mengakselerasikan konsolidasi masyarakat Arab di masa Nabi menyebarkan Islam ke seluruh penjuru wilayah. Justifikasi kepemimpinan di tangan Suku Quraisy akan meredam gejolak suksesi di kalangan umat Islam ketika itu untuk tetap dalam satu komando.86 Suku Quraisy ketika itu adalah kelompok masyarakat yang sangat dihormati karena memiliki posisi terhormat bukan saja sebagai pemegang kunci Ka’bah selama berabad-abad lamanya juga memegang posisi penting dalam ekonomi dan politik, khususnya di kota Makkah.87 Terlebih lagi Nabi Muhammad Saw. juga berasal dari Suku Quraisy sehingga justifikasi nas terhadap gestalt yang selama ini terbentuk tidak mendapat resistensi dari umat Islam umumnya. Pada dasarnya, gestalt bersifat profan sehingga tidak ada alasan untuk melakukan sakralisasi terhadapnya, termasuk juga dalam hal menggunakan simbol-simbol keislaman. Dewasa ini bentuk bangunan kubah selalu identik dengan Islam, karena hampir semua masjid di dunia selalu menggunakan simbol kubah. Akan tetapi, bangunan kubah berasal dari bangunan zaman Zoraster sebelum Islam datang.88 Artinya, kekuatan adaptasi nilai-nilai yang dibawa Islam dapat memberi tempat terhadap peradaban yang lahir sebelum kedatangan Islam. Seiring dengan terbentuknya image tentang kubah yang identik dengan Islam tersebut maka umat Islam menganggap kubah adalah bagian dari tak terpisahkan dari masjid. Dewasa ini apabila masjid dibangun berbentuk layaknya bangunan gereja yang memiliki salib maka akan mendapatkan resistensi dari sebagian besar umat Islam. Padahal, hal tersebut adalah bagian dari budaya yang membentuk gestalt masyarakat Muslim pada umumnya.89 Begitu juga dengan corak pakaian sering sekali dianggap sebagai bentuk dari kesalehan seseorang. Memang dalam tataran tertentu dapat dengan mudah menganggap seseorang dianggap sebagai seorang yang taat atau tidak bila dalam berpakaian terlalu ekstrim. Tentu dengan mudah menganggap seseorang bukan muslimah yang taat bila dia memakai rok mini di depan umum, akan tetapi tentunya tidak bijak bila menganggap seperti pakaian gamis adalah bentuk pakaian yang paling islami. Sakralisasi gestalt yang terbentuk dari budaya sangat mengganggu perkembangan budaya Islam itu sendiri karena terhambat pemahaman yang sempit dalam memahami simbol ajaran Islam. Islam identik dengan lambang bulan sabit harus dipahami dalam konteks sejarah terbentuknya lambang tersebut. Lambang tersebut dipopulerkan oleh Kerajaan Turki Utsmani yang menggambarkan betapa luasnya kekuasaan yang pernah mereka raih disimbolkan dengan bulan sabit adalah wilayah kekuasaan mereka. Sebenarnya, gestalt bulan sabit yang sekarang identik dengan Islam bahkan palang merah di dunia saat ini juga menggunakan simbol ini untuk misi kemanusiaan. Pada masa Turki Utsmani, lambang ini menjadi lambang penyemangat pertempuran bagi prajurit-prajurit untuk memenangkan peperangan. Dengan kata lain, simbol ini awal digunakan untuk hal yang berbau peperangan, akan tetapi seiring zaman berubah menjadi simbol dari identitas Muslim. Tak mengherankan bila banyak negara yang mayoritas beragama Islam menggunakan simbol ini dalam bendera kenegaraan mereka. Gestalt yang terbentuk dalam hierarki al-Kutub as-Sittah sangat berpengaruh dalam perkembangan kajian Islam secara umum, khususnya yang berkaitan dengan fiqh. Susunan hierarki al-Kutub as-Sittah dianggap sakral sehingga seluruh ijtihad di dalam Islam harus merujuk terhadap gestalt yang terbentuk tersebut.90 Pekerjaan kajian fiqh ke depannya harus mampu mengubah persepsi kesakralan yang terdapat di dalam hierarki al-Kutub as-Sittah tersebut menjadi hal yang profan. Begitu juga gestalt yang terbentuk dalam penetapan kesahihan suatu hadits seakan tidak ada lagi ruang untuk melakukan evaluasi terhadap penilaian ulama-ulama hadits yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah. Seakan ulama kontemporer dipaksa hanya mengikut segala pendapat ulama klasik karena adanya persepsi bahwa mereka saja yang
64
paling otoritatif dalam menentukan bentuk dan kualitas hadits. Seyogyanya semua kitab hadits harus dipetakan layaknya seperti kitab fiqh dalam dua dimensi sakral dan profan.91 Belenggu sakralisasi hadits terbentuk disebabkan oleh semangat ulama hadits berkompetisi untuk menyusun kitab-kitab hadits yang diharapkan menjadi rujukan utama umat Islam. Segala hal menyangkut tentang kitab hadits yang mereka susun terkesan menjadi sakral. Bila diperhatikan sesama ulama hadits terkadang saling melemahkan argumen masing-masing terhadap penilaian suatu hadits. Dengan demikian, sebenarnya kegiatan periwayatan hadits harus juga disamakan dengan kegiatan berijtihad di dalam fiqh yang bersifat dinamis. Kajian fiqh yang sangat terkait dengan hadits tentunya akan berkembang pesat bila fuqaha diberi kebebasan dalam menentukan hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits yang ada tak terkecuali di luar al-Kutub as-Sittah. Berbeda dengan di Syiah, ulama mereka diberi peluang yang lebih besar dalam menentukan hadits-hadits yang telah dikumpulkan dalam suatu kompilasi besar. Masyarakat Muslim Syiah hampir tidak kehilangan semangat ijtihad disebabkan oleh ulama dari masa ke masa diberi hak yang besar untuk menentukan kualitas hadits yang dipakai dalam berijtihad. Struktur kitab-kitab hadits di dalam Muslim Sunni seakan tidak ada ruang bagi umat Islam belakangan untuk melakukan ijtihad terhadap hadits-hadits tersebut.92 Kitab-kitab hadits Muslim Sunni walaupun terkesan agak praktis dan sistematis, tetapi cenderung membuat taqlid bagi umat Islam yang hidup setelah masa kodifikasi hadits. 93 Lazimnya pembahasan fiqh yang menitikberatkan aspek perbuatan mukallaf sebagai objek kajiannya masih kurang mengakomodir kebutuhan fiqh saat ini. Di dalam sejarah, Islam yang tidak pernah membebani umat Islam dengan pajak setelah membayar zakat harus mendapat perhatian serius. Efektivitas zakat sebagai instrumen keuangan di dalam Islam yang bukan saja dapat dimanfaatkan dalam konteks sosial maupun profit.94 Saat ini, hampir setiap kegiatan ekonomi selalu dikenakan pajak di sisi lain Islam tidak mengenal istilah pajak bagi umat Islam kecuali zakat.95 Dari mulai masa Nabi Muhammad Saw. dilanjutkan pada masa sahabat sampai masa pemerintahan Turki Utsmani yang berakhir pada tahun 1926 M hanya membebankan pajak kepada orang-orang non-Muslim. Umat Islam yang sudah dikenakan zakat mulai dari zakat fitrah, emas (perak) ataupun perdagangan tidak dikenakan pajak lagi karena akan memberatkan umat Islam dengan beban ganda.96 Kejadian ini sudah berlangsung sejak lama, hal ini tentunya akan menyulitkan umat Islam dalam berkompetisi di sektor ekonomi karena dana yang bisa digunakan sebagai modal usaha tergerus disebabkan oleh beban ganda membayar pajak sekaligus harus membayar zakat. Pentingnya zakat atau pajak bagi negara merupakan hal yang tak terbantahkan sehingga seorang Abu Bakr khalifah pertama pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. langsung memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Alasan untuk memerangi orang-orang yang mengakui sebagai Nabi bukan alasan utama karena sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hal tersebut sudah terjadi. Penolakan orang untuk membayar zakat secara massal tentunya akan mengganggu roda pemerintahan secara langsung maka langkah memerangi kelompok pembangkang ini dilakukan untuk menghindari runtuhnya perekonomian negara. Urgensi pajak dan zakat terhadap penerimaan di banyak negara khususnya Indonesia tidak dapat diragukan lagi. Namun, dalam pelaksanaannya bagi umat Islam terkesan tidak adil. Walaupun di Indonesia sudah diundangkan UU tentang zakat pada 2000, tetapi sampai saat ini tidak diwujudkan karena peraturan pemerintah tentang pelaksanaannya tidak kunjung turun sampai tahun 2013 ini. 97 Seharusnya pajak yang dibayarkan kepada negara dihitung sebagai zakat sehingga apabila ada selisihnya, maka akan menjadi sisa untuk membayar zakat harta. Dengan demikian, beban ganda yang selama ini dirasakan akan dapat diminimalisir secara signifikan.
B. Fiqh, Refleksi Nilai Transendental Aplikatif Hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya Islam merupakan himpunan dari akidah, akhlak, dan hukum muamalah. Karena fiqh terus berkembang menurut
65
perkembangan zaman maka konsekuensinya penetapan hukum sesuatu tidaklah sama antara masa yang satu dengan yang lainnya.98 Sebenarnya, fiqh adalah hasil ijtihad ulama yang mereka merujuk pada dua sumber nas di atas, akan tetapi dalam praktiknya kalangan umat Islam sering sekali menganggap bahwa fiqh itu identik dengan syariat. Dampaknya menutup pintu ijtihad terhadap masalah-masalah yang berkembang.99 Ushul fiqh menjelaskan secara mendetail indikasi-indikasi dan metode-metode yang diimplimentasikan dalam ilmu fiqh secara deduksi yang berasal dari sumber hukum al-Qur’an dan hadits.100 Di dalam nas, sedikit sekali metodologi dalam menetapkan sesuatu hukum secara aplikatif. Akan tetapi, indikasi yang terkandung dalam nas tersebut cukup banyak yang menimbulkan konsekuensi dalam penetapan hukum yang berbeda. Walaupun tidak sedikit yang menghasilkan produk hukum yang sama Karena mujtahid menggunakan metode penetapan hukum yang berbeda pula. Ulama ushul telah menetapkan metodologi yang mereka pakai dalam menganalisis suatu hukum, seperti metode al-qiyâs, istihsân, istishâb, dan maslaha al-mursalah. Dalam pengembangan ilmu ushul fiqh ini sangat diperlukan penafsiran-penafsiran terhadap nas, sehingga pada tahap berikutnya mengeksplorasikan terhadap kandungan nas, baik itu yang bersifat umum maupun khusus, haqîqî ataupun majâzi. Semua itu merupakan pembahasan ilmu ushul fiqh, ketika ilmu ushul fiqh memasuki wilayah aplikasi hukum bagi mukallaf maka akan berubah menjadi fiqh. Di masa pemerintahan Umar, wilayah Islam telah bertambah luas yang menyebabkan tersebarnya sahabat dan tabi‘in ke berbagai kota untuk menjadi hakim maupun mufti. Masyarakat setempat belajar kepada sahabat tentang agama dan cara memahami al-Qur’an dan hadits. Ketika permasalahan yang timbul makin kompleks dan tidak ada penjelasan secara eksplisit dalam nas mau tak mau menimbulkan berbagai pemahaman terhadap nas itu sendiri. Begitu juga hal yang terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dipaparkan tentang dinamika transmisi ilmu dari satu ulama ke ulama lainnya.101 Secara umum, mazhab-mazhab dalam Islam terbagi kepada dua bagian, yaitu; ahli ra‘yun dan ahli hadits.102 Perbedaan itu bermula dari segi kasuistik. Akibat sangat kuatnya karakter ini, maka sudah tidak aneh lagi kalau mendengar pernyataan bahwa fiqh cenderung juz‘iyyah. Pergumulan fiqh selalu berawal dari kasus untuk kemudian mencari status hukumnya dengan jalan qiyas pada kasus lain yang telah ditentukan dalam nas. Inilah proses pelacakan hukum yang diterima oleh semua mazhab. Kemudian karena sulitnya melaksanakan prosedur baku ini maka ditawarkan modus penyangga, seperti istihsân Imam Abu Hanifa, istishâb Imam Syafi‘i, atau Maslaha al-Mursalah dari Imam Malik. Seperti dalam hierarki hukum Islam yang ditawarkan Imam Syafi‘i mewakili logika pemikiran fiqh yang disebutkan di atas. Baginya, setelah al-Qur’an dan hadits tidak ada otoritas lain kecuali ijtihad, yang tak lain adalah qiyas.103 Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal, secara teoretik qiyas memang prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan, akan tetapi secara historik tidak benar-benar diperlukan. Seperti diketahui, berbeda dengan ketiga imam mazhab lainnya, dia hidup pada zaman hampir semua kebutuhan akan nas hadits yang diperlukan oleh fuqaha pada zaman itu telah tersedia. Di samping itu, tokoh yang terakhir ini cenderung menjadi pemerhati hadits ketimbang hukum. Pendekatan hukum Islam sering kali berawal dari pendekatan kasus per kasus sehingga hanya menangani kasus secara mikro saja dan mengabaikan penanganan masalah-masalah yang strategis yang lebih komprehensif.104 Tidak salah kalau hukum Islam memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan mikro, akan tetapi menjadi salah besar bila melupakan persoalan yang makro.105 Dalam acuan norma hukum menurut kaca mata Islam ialah kemaslahatan atau keadilan sebagai tujuan syariat.106 Aspek hukum muncul dalam Islam dari kedudukannya sebagai sistem nilai. Hukum pada dasarnya adalah formalisasi dari nilai-nilai yang terkandung yang bersumber dalam ajaran Islam, yaitu al-
66
Qur’an dan hadits. Kategori formal nilai-nilai itu melalui upaya mujtahid dibakukan menjadi diktum hukum dalam Islam.107 Dengan demikian, kiranya jelas bahwa fundamental dari norma hukum Islam adalah kemaslahatan yang secara universal, atau dalam ungkapan yang lebih operasional sebagai keadilan sosial. Tawaran ijtihad apa pun dan bagaimanapun, baik itu didukung nas secara eksplisit ataupun tidak yang bisa menjamin terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan, dalam kaca mata Islam adalah sah. Dengan paradigma di atas, maka kaidah yang selama ini dipegang dalam fiqh yang berbunyi:”Apabila suatu hadits teks ajarannya telah dibuktikan keaslihannya, maka itu mazhabku.”108 Perlu ditinjau kembali kaedah ini, karena kaedah inilah yang secara sistematis yang menggerakkan pergolakan pemikiran di bidang fiqh sehingga dalam praktiknya di kalangan umat Islam lebih mengutamakan budaya harfiyah nas ketimbang kandungan substansinya.109 Juga lebih mengutamakan hukum legal formalnya dibandingkan kemaslahatan hukum itu sendiri. Dengan tawaran penekanan aspek substansi hukum, kemaslahatan dan keadilan akan lebih bisa diimplementasikan dan bukan berarti aspek formal ataupun tekstualnya harus diabaikan. Ketentuan legal formal-tekstual yang sah, bagaimana pun harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau tidak ingin anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama harus disadari sedalam-dalamnya bahwa standard legal-formal dan tekstual hanya cita-cita kemaslahatan, keadilan itu diaktualisasikan di dalam kehidupan ini.110 Ini berarti bahwa ketentuan formal-tekstual dalam norma hukum, walaupun datang dari sumber manapun harus terbuka atau kalau perlu diubah dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan kemaslahatan cita-cita keadilan di dalam hukum itu sendiri. Apabila jalan pikiran tadi disepakati, maka secara mendasar pun perlu meninjau kembali pemahaman terhadap konsep ushul fiqh tentang qath‘î atau zanni ijtihad dalam hukum Islam. Pengertian qath‘î di dalam hukum Islam sesuatu makna harfiahnya “sebagai sesuatu yang bersifat pasti adalah prinsip fundamentalnya,” yaitu nilai kemaslahatan atau keadilan itu sendiri. Sementara itu, yang masuk kategori zanni atau yang tidak pasti dan bisa diubah-ubah adalah keseluruhan batang tubuh atau teks. Ketentuan normatif yang dimaksud dalam hal ini ialah sebagai upaya untuk menerjemahkan yang qath‘î (nilai kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Kalau dikatakan ijtihad hanya bisa dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat zanni dan tidak pernah terhadap hal-hal yang bersifat qath‘î.111 Ada banyak macam sinonim dari etika itu sendiri dalam kajian bahasa seperti akhlak, sopan santun, adab, dan lain-lain. Walaupun dalam praktiknya ada sebagian dari sinonim tadi bersifat lokal, tetapi bukan itu yang dimaksud di sini. Akan tetapi, nilai-nilai universal yang sudah dianggap baku oleh manusia. Karena itu, standard di atas harus menjadi pedoman dalam mempraktikkan ajaran-ajaran nas. Akan tetapi, yang paling terpenting dari etika adalah yang terkandung di dalam hukum itu sendiri, karena Islam mengandung sinkronisasi antara hubungan manusia dengan Allah atau manusia dengan manusia bahkan dengan lingkungan sekitarnya.112 Bahasa al-Qur’an mengenai hukum sering mengandung pesan etika atau akhlak di dalamnya, tetapi dalam kenyataannya konsep akhlak menurut al-Qur’an lebih luas dari konsep etika yang selama ini dipahami. Konsep etika secara umum hanya mengatur pada tingkat hubungan kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Akhlak menurut konsep al-Qur’an juga mengatur transendental. Menurut aliran intuition, pemikiran tentang etika itu hanya terletak pada tataran konsep saja bukan pada tingkat aplikatif.113 Menurut pemahaman hedonism, akhlak mempunyai pengaruh yang besar dalam praktik hidup, karena itu teori ini mengatasi tujuan hidup dua macam, yaitu kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat. Menurut paham evolution, ilmu etika tidak mempunyai nilai praktik yang besar, tetapi karena aktivitas manusia makin lama makin berkembang maka tidak dapat dihindari adanya aturan-aturan yang berlaku di samping hukum legal.
67
Secara normatif, tidak ada sedikitpun perbedaan di kalangan ulama bahwa nas yang diturunkan kepada manusia memiliki kemaslahatan.114 Akan tetapi, kemaslahatan itu juga mengandung nilai temporal dan permanen, yang menjadi masalah bagaimana menentukan suatu kemaslahatan tersebut memiliki nilai temporal ataupun permanen. Hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an yang merupakan rujukan utama umat Islam dalam berhukum mengandung nilai kemaslahatan temporal dan permanen. Hal tersebut dapat dibuktikan hukum-hukum yang tertera di dalam al-Qur’an sangat efektif dalam memberikan solusi hukum pada masa Nabi Muhammad Saw. Setelah itu, bahkan seorang Umar ibn al-Khattab sendiri melakukan ijtihad kembali terhadap beberapa hukum yang tertera di dalam nas. Artinya, memang ada hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an yang mengandung kemaslahatan temporal. Alangkah naifnya bila sebagian orang yang memiliki semangat fanatik semu terhadap nas menganggap seakan seperti makanan siap saji. Sulitnya keluar dari jebakan fanatisme buta terhadap nas dengan kenyataan banyak dari lafaz-lafaz yang terdapat di dalam nas diperlukan reinterpretasi indikasi kandungan kemaslahatan temporal dan permanen. Dapat dipahami langkah Mu‘tazilah yang memposisikan al-Qur’an sebagai makhluk adalah untuk lebih memudahkan memahami kemaslahatan yang terkandung di dalamnya. Kebebasan untuk menafsirkan makna di dalamnya dapat menggali pesan-pesan moral yang tersembunyi di dalamnya.115 Ketika al-Qur’an diposisikan sebagai makhluk maka akan memiliki efek domino yang luar biasa dalam memahami konsep maslahat yang terkandung di dalamnya. Bukankah sejarah membuktikan penghormatan semu yang menganggap al-Qur’an sebagai kalamullah tidak membuat makin bergairah. Ijtihad di dunia Islam dari tahun ke tahun bersifat stagnan, bila tidak ingin mengatakan mundur. 116 Dengan menganggap al-Qur’an sebagai kalamullah akan membuat jarak antara manusia dengan al-Qur’an itu sendiri sehingga membuat kajian terhadapnya makin melangit tidak membumi Permasalahannya yang timbul bila al-Qur’an diasumsikan sebagai makhluk maka akan menimbulkan dampak relativitas di dalam nas dalam arti tidak ada lagi lafaz dan makna yang qath‘î. Hal tersebut dikhawatirkan bisa menafsirkan makna nas sesuka hati, padahal nas juga sudah menjamin bahwa tidak mungkin umat Islam bersepakat dalam hal kesesatan. Harus diakui tataran nilai kebajikan dapat dilihat dari sisi lokal maupun universal. Terkadang permasalahan yang timbul memaksakan nilai lokal menjadi nilai universal atau sebaliknya menghambat penerapan nilai universal. Hukum potong tangan bagi pencuri yang terdapat di dalam nas menunjukkan penerapan nilai lokal yang cocok pada konteks masa itu. Dalam arti penerapan hukum potong tangan bukan gambaran dari bentuk hukum universal bagi seorang pencuri, kalau ada negara yang tetap konsisten dalam penerapan hukum tersebut bukan berarti harus diejewantahkan di tempat lain.117 Agak miris melihat kenyataan melihat umat Islam mengalami kesulitan dalam merumuskan hukum yang mengatur perilaku masyarakat Muslim. Klaim kesempurnaan nas al-Qur’an dan hadits membuat umat Islam yakin bahwa segala persoalan hidup akan bisa dijawab di dalam nas. Sementara masyarakat di luar Islam yang mengakui kitab suci mereka hanya memuat hal yang berkaitan dengan teologi lebih kreatif dalam merumuskan hukum yang lebih sophisticated. Kesempurnaan nas sebenarnya berada dalam tataran general yang dapat memberikan inspirasi terciptanya pemahaman-pemahaman baru dampak dari perkembangan zaman. Di sisi lain, umat Islam sepertinya mengharapkan nas sebagai suatu sumber hukum layaknya undang-undang yang dibuat oleh parlemen yang dapat menjelaskan secara spesifik terhadap persoalan yang ada. Pola hukum Islam yang termuat di dalam teks nas memiliki variasi hukum, baik itu bersifat permanen yang menyangkut rukun iman dan rukun Islam, sementara mekanisne hukum itu bersifat fluktuatif. Islam sebagai ajaran sangat berbeda dengan agama-agama samawi lainnya apalagi dengan agama non-samawi karena sejak awalnya berusaha mengatur aktivitas kemanusiaan dan harus memiliki nilai transendental.118 Konsep syariat tidak hanya mengatur masalah yang berkaitan dengan teologi juga aspek-
68
aspek yang berhubungan dengan inter-relasi sesama manusia.119 Konsep idealis syariat Islam yang mengatur segala aspek inter-relasi sesama manusia idealnya hanya terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw. dan Khulafaur Rasyidin saja, setelah itu kerancuan konsep syariat mulai terjadi. Syariat yang idealnya mengatur perilaku masyarakat secara keseluruhan, tetapi digunakan tidak balance karena hanya ditujukan kepada masyarakat demi terciptanya kepatuhan sosial. Aturan hanya dibuat untuk masyarakat bukan untuk penguasa sehingga tidak ada aturan yang jelas mengawasi segala tindak tanduk dalam memerintah. Syariat yang dipahami selama berabad-abad mengembangkan konsep teokrasi yang di dalamnya mengandung hidden agenda menjadikan simbol penguasa adalah penghubung antara nilai-nilai profan dan transendental yang terkandung di dalam syariat. Wilayah internal kekuasaan yang dipegang oleh khalifah atau sultan tidak bisa disamakan dengan rakyat secara umum karena memiliki privilege. Nilai transendental yang terdapat di dalam suatu keyakinan di dalam masyarakat dimanifestasikan dalam bentuk anthropomorphism yang berkembang di dalam masyarakat.120 Sejarah agama Kristen yang secara jelas mempersonalisasikan konsep Tuhan dengan wujud sosok manusia merupakan refleksi dari anthropomorphism yang terjadi di dalam sejarahnya. Lebih jauh lagi agama Kristen mengadopsi kerangka birokrasi Romawi sebagai institusi yang akan menerjemahkan nilai-nilai transendental kepada masyarakat. Berbeda dengan umat Kristen, umat Islam berusaha untuk menjauhkan diri dari personalisasi Tuhan dengan menganggap anthropomorphism adalah perbuatan yang sangat dibenci di dalam Islam. Walaupun secara formal anthropomorphism tidak diakui di dalam ajaran Islam, akan tetapi tetap dipelihara di dalam dunia sufi yang berusaha menjauhkan diri dengan pemerintah. Sementara itu, bentuk lain dari anthropomorphism di dunia Islam umumnya ialah menjadikan syariat sebagai manifestasi dari aturan Tuhan yang sakral berlaku sepanjang zaman. Terminologi syariat sengaja diciptakan merupakan refleksi dari anthropormorphism itu sendiri tidak dalam bentuk personalisasi Tuhan dalam gambar ataupun patung, tetapi lebih jauh lagi menganggap syariat itu sebagai refleksi Tuhan dalam bentuk hukum. Realitas hukum itu berada di luar zona divine yang sangat terkait dengan kontestasi kekuatan politik yang ada di dalamnya. Hal itu sangat rancu bila menganggap syariat itu bagian dari divine yang sering dikaitkan dengan hukum.121 Anthropomorphism di atas tanpa disadari terjadi selama berabad-abad di dalam dunia Islam dengan bentuk lain yang lebih memberikan efek negatif di dunia Islam. Bukan hanya melanda fiqh yang selama ini sering berganti tempat sebagai syariat sehingga mendapatkan pengkultusan dari umat Islam. Bila kedatangan Islam digambarkan untuk membawa nilai-nilai tauhid yang membebaskan dari pemahaman politeisme yang berkembang di dalam masyarakat jahiliyah ketika itu. Semangat fanatisme aliran yang dimiliki oleh sebagian umat Islam akibat dari pengultusan fiqh maupun teologi buah dari stagnasi berijtihad hampir bisa disamakan dengan semangat politeisme yang terjadi sebelum kedatangan Islam.122 Tidak mengherankan sistem pemerintahan di dalam sejarah Islam sangat terkait dengan brand aliran yang melekat dari penguasanya.123 Teologi Asy‘ariyyah yang diklaim sebagai teologi ahlu sunnah wal jamaah dengan konsep sifat wajib, jâiz, dan mustahil bagi Allah dianggap sebagai ajaran tauhid yang harus diajarkan kepada setiap umat Islam sejak abad pertengahan sampai saat ini.124 Padahal, bila mau menelisik sejarah lahir aliran ini sangat terkait dengan motivasi politik yang sangat memanas untuk membasmi teologi Mu‘tazilah yang dianggap liberal.125 Secara tidak langsung Asy‘ariyah melakukan kudeta teologi terhadap aliran Mu‘tazilah, sebelumnya dianggap sebagai teologi yang dianut oleh Khalifah al-Mutawakkil dengan program mihna yang kontroversi.126 Teologi Asy‘ariyah yang mulai lahir pasca wafatnya al-Mutawakkil sangat memengaruhi pola pikir umat Islam secara umum sehingga buku-buku teologi yang diajarkan selama berabad-abad lamanya selalu mengajarkan konsep teologi Asy‘ariyyah.127 Bila diteliti lebih lanjut konsep teologi Asy‘ariyyah layak seperti abang kandung aliran teologi Jabariyah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan memeras sifat-sifat
69
yang 99 dengan 13 sifat yang wajib bagi Allah dengan maksud membesarkan Allah, akan tetapi secara implisit menghambat gairah intelektual manusia. Teologi Asy‘ariyah yang sangat dominan mulai menampilkan sosok ancaman bagi yang menentangnya sehingga perburuan ulama-ulama Mu‘tazilah secara gencar dilakukan bahkan karya-karya mereka diberangus. Kisah Bruno dan Copernicus yang dihukum oleh pihak gereja karena menentang doktin gereja tetap bersikukuh dengan bukti science yang mereka pegang diabadikan sebagai momentum untuk memasuki fase renaiscience. Hal itu sangat terbalik dengan dunia Islam, peristiwa pembakaran karyakarya ilmiah ulama Mu‘tazilah serta pengejaran terhadap ulama Mu‘tazilah tidak dianggap sebagai peristiwa noda di dalam sejarah Islam. Dapat dibayangkan bagaimana tekanan yang dirasakan oleh ulamaulama Mu‘tazilah dalam berkarya terpaksa tidak mencantumkan nama mereka dan karya mereka tidak dipublikasikan secara terang-terangan. Peristiwa ini mengingatkan bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto terhadap stigma negatif yang melekat terhadap mereka yang tertuduh berasal dari golongan PKI (Partai Komunis Indonesia) mendapat perlakuan tidak adil.128 Dapat dimengerti pasca pemerintahan Mutawakkil ulama berusaha menjauhkan diri dari pemikiran yang berbau Mu‘tazilah. Aliran teologi Asy‘ariyyah yang sangat dominan di awal berdirinya merambah ke bidang ilmu lainnya, termasuk ulama fiqh dan hadits. Ulama fiqh misalnya mulai meninggalkan budaya pendekatan rasional terhadap nas, metode takwil tidak dikembangkan bahkan cenderung ditinggalkan.129
C. Rekayasa Ideologi Hukum dalam Hierarki al-Kutub as-Sittah Rekayasa ideologi hukum merupakan hal lumrah dilakukan dalam suatu pemerintahan. Selain bertujuan untuk memobilisasi dan mengarahkan kekuatan masyarakat agar fokus pada tujuan yang hendak dicapai, rekayasa ideologi hukum juga terkandung di dalamnya unsur mengamankan posisi penguasa dalam waktu yang lama, sehingga posisi sebagai in cumbent mendapatkan legitimasi yang kuat dari ideologi hukum yang ada.130 Mustahil suatu pemerintahan akan bertahan dalam waktu yang lama, apabila tidak memiliki fondasi ideologi. Setiap fase pemerintahan tentunya telah mempertimbangkan faktor-faktor keunggulan dan kelemahan yang dimilikinya. Masyarakat Muslim sejak awal pembentukannya selalu menjadikan patron Nabi sebagai sumber referensi hukum dan berperilaku. Apresiasi masyarakat Muslim terhadap wahyu yang dibawa olehnya dalam wujud al-Qur’an hampir sama tingginya terhadap hadits Nabi. Keadaan ini dimanfaatkan oleh penguasa-penguasa di dalam sejarah Islam, terutama menyangkut dengan hadits, sehingga tidak mengherankan peran hadits sangat urgen dalam melegitimasi sesuatu. Sejarah umat manusia yang selalu mencari bentuk kesakralan sebagai media untuk tunduk kepada kekuatan yang Omni Power yang berasal dari luar diri manusia secara otomatis memberikan otoritas yang tinggi kepada pihak-pihak yang memiliki kemampuan dalam mengadakan penyembahan kepada Tuhan. Dalam konteks Islam, otoritas yang dimiliki Nabi menempatkan dirinya sebagai individu yang tertinggi dalam stratifikasi sosial melahirkan bentuk kepatuhan dari masyarakat yang menganggapnya sebagai manusia yang mendapatkan legalitas langsung dari Allah. Pada awalnya, bentuk kepatuhan yang muncul pada masyarakat Muslim terhadap ajaran yang dibawa olehnya sebagai bentuk kewajiban.131 Kepatuhan di dalam diri manusia biasanya muncul ketika berhubungan dengan nilai-nilai yang dianggap sakral, nilai kesakralan biasanya muncul ketika berhubungan dengan kekuatan yang di luar diri manusia yang berkuasa atas diriya. Masalahnya sikap kepatuhan terhadap nilai-nilai sakral tersebut harus dipahami dalam tataran refleksi sebagai kewajiban (obligation), atau kesukarelaan (Volunteer). Pada umumnya, masyarakat yang menggunakan konsep kepatuhan dalam konteks obligation kepada pemilik otoritas.132 Sikap untuk mendapatkan legitimasi sebagai pemilik otoritas muncul ketika berhubungan dengan hal sakral. Terlepas adanya faktor kebutuhan terhadap hadits yang semakin tinggi, kodifikasi hadits yang dimulai awal abad ke-2 H, diwarnai adanya motivasi untuk mendapatkan otoritas sebagai pihak yang paling kompeten di dalam masyarakat Islam. Usaha kodifikasi hadits agak tercoreng dengan motivasi yang
70
berlebihan dalam memperoleh legitimasi pemilik otoritas. Hal tersebut digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan pihak lawan yang juga menggunakan hadits sebagai alat untuk memperoleh legitimasi sebagai pihak yang paling memiliki otoritas di dalam masyarakat Islam.133 Skema anatomi hierarki kitab-kitab hadits standard di dalam masyarakat Muslim merupakan refleksi pertaruhan entitas politik, budaya, maupun agenda oleh elit Muslim pasca era Khulafaur Rasyidin. Sangat disayangkan, rivalitas politik yang terjadi menghilangkan nilai objektivitas yang ada sehingga mengorbankan nilai yang lebih besar dalam persatuan masyarakat Muslim. Hal tersebut berimplikasi dalam stagnasi karya-karya fiqh karena adanya pembatasan dalam menggunakan sumber hadits itu sendiri. Secara kasat mata, ulama hadits yang terlibat dalam pembentukan format hierarki kitab-kitab hadits yang dikenal sampai saat ini. Mereka selalu mengarahkan umat Islam agar memiliki semangat obligation terhadap struktur kitab-kitab hadits yang ada. Tidak mengherankan adanya claim perception antara beberapa ulama hadits yang menyatakan suatu hadits tertentu, baik itu untuk meninggikan derajat hadits tertentu maupun merendahkannya. Lahirnya hadits versi Sunni dan Syiah merupakan gambaran dari setting agenda yang dilakukan oleh aktor-aktor sejarah dalam masalah hadits yang ingin mendapatkan legitimasi dari umat Islam.134 Kurangnya usaha untuk mengarahkan umat Islam agar lebih menghargai hadits secara tulus tanpa membedakan simbol-simbol aliran teologi tertentu yang cenderung bersifat politis mengindikasikan kegagalan dalam memperkenalkan hadits secara holistik seperti halnya alQur’an.135 Dapat dipastikan apabila kodifikasi al-Qur’an dilakukan pasca era Khulafaur Rasyidin maka AlQur’an yang diterima umat Islam mungkin tidak seperti sekarang ini yang bersifat satu bentuk, akan tetapi al-Qur’an dengan berbagai versi bentuk bacaan maupun derajat kesahihannya. Setiap orang tidak terlepas dari ideologi hukum yang diyakininya, termasuk juga imam-imam hadits yang menuliskan lafaz-lafaz hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits. Sebab yang membuat juduljudul pembahasan di dalam kitab-kitab hadits itu tanpa adanya intervensi Allah, sehingga atmosfir sosial yang ada pada waktu itu sangat berpengaruh.136 Hampir di setiap kitab-kitab hadits umumnya menjadikan bab thahârah (bersuci) sebagai judul pembahasan yang utama. Sangat berbeda sekali dengan al-Qur’an yang menempatkan Surah al-Fatihah sebagai surah pembuka yang diakui bukan menitikberatkan aspek fiqh ibadah di sana. Pembahasan tentang masalah thahârah terkadang mendapatkan porsi pembahasan yang sangat berlebihan dibandingkan tema-tema lainnya, terkadang pembahasan tersebut kontra produktif disebabkan oleh tidak cocok diterapkan di daerah tertentu. Pasca Khulafaur Rasyidin dalam politik umat Islam mengalami kemunduran yang sangat berat, karena sistem pemerintahan yang dibangun atas dasar monarki.137 Sistem ini banyak menghabiskan energi penguasa untuk mendapatkan legitimasi dengan berbagai cara, termasuk berusaha mengintervensi wilayah keagamaan publik. Tidak mengherankan, walaupun penguasa-penguasa Muslim seperti Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiah, serta beberapa Dinasti di dalam Kerajaan Islam masih menggunakan label khalifah sebagai penguasa umat Islam. Kebebasan berpikir tidak pernah terjadi di wilayah-wilayah yang berhubungan dengan khalifah, hal ini dapat dibuktikan tidak adanya kontrol publik terhadap perilaku sosial dan politik mereka. Transparansi tidak pernah terjadi sebagaimana yang dipahami dalam konteks pemerintahan demokrasi modern, seakan mereka berada di luar hukum.138 Peristiwa berdirinya dinasti-dinasti (pasca Khulafaur Rasyidin) di dalam Islam, pada umumnya terjadi dengan jalan pertumpahan darah. Pengalaman buruk tersebut sangat membekas pada umat Islam, khususnya ilmuwan. Ilmuwan-ilmuwan di awal-awal berdirinya dinasti-dinasti Islam bersikap tidak mau mengambil resiko yang bisa menurunkan citra khalifah, karena sikap tersebut berarti konfrontasi yang dapat me-delegetimasi eksistensi khalifah itu sendiri. Jalan yang ditempuh ulama ketika itu dengan jalan menghindari kemarahan penguasa dengan menitikberatkan aspek-aspek pembahasan yang bersifat hukum domestik di masyarakat.
71
Rekayasa ideologi hukum yang paling efektif dengan mengontrol kodifikasi hadits, hal ini sangat penting dilakukan sebagai bentuk untuk mengontrol masyarakat juga menampilkan sosok khalifah sebagai pihak yang sangat peduli dengan hadits itu sendiri. Imam al-Bukhari yang telah menghafal lebih dari dua juta matan hadits serta jalur periwayatannya mustahil tidak mengatahui konstalasi politik di masa dia hidup. Hadits yang ditulisnya di dalam kitab sahîh itu harus dipahami manifestasi dari proses seleksi hadits-hadits yang dianggap aman untuk dipublikasikan dari ketersinggungan khalifah. Jangan dipahami bahwa dari dua juta hadits yang dihafalnya hanya 6000 hadits tersebutlah yang paling sahîh,139 karena bila demikian alangkah naifnya menganggap Imam al-Bukhari sebagai punggawa hadits yang dhabit dan tsiqah bila dia tidak menghadirkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ali ibn Abi Thalib, Fatimah binti Muhammad, atau hadits-hadits yang berhubungan dengan politik musyawarah.140 Hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab haditsnya dapat dipahami sebagai hasil dari sinergi yang paling aman antara kebutuhan umat terhadap hadits dan untuk menjaga kepentingan penguasa ketika itu. Arah pemikiran dilakukan untuk tetap mendapatkan legitimasi dari umat Islam melalui politik ideologi menginfiltrasi ulama-ulama hadits agar membuat skema hadits yang membuat posisi nyaman bagi penguasa. Mengangkat ulama-ulama tertentu untuk menempati posisi sebagai qadi selain bertujuan untuk kepentingan birokarasi juga untuk mengakomodir kepentingan masyarakat terhadap hukum. Perbedaan hadits antara hadits versi Sunni dan Syiah bukan terletak pada tataran teologinya, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi ideologi politik yang menggerakkan sejarah kodifikasi kedua mazhab terbesar di dalam Islam. Sebenarnya, salah satu cara untuk menguji kehujjahan suatu hadits dapat dilakukan dengan membuat verifikasi atau cross check di kitab-kitab hadits yang diakui di kalangan Sunni maupun Syiah. Makin tinggi aseptabilitas matan dari keduanya semakin tinggi nilai keautentikan suatu hadits, cara ini walaupun masih belum diaplikasikan di dunia Islam tidak ada salahnya kalangan akademik memulainya. Pada mulanya, kebutuhan umat Islam terhadap hadits dipicu akan justifikasi yang diperlukan dalam masalah-masalah hukum, sehingga kitab-kitab hadits yang memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hadits-hadits hukum sangat diperlukan. Tidak mengherankan kitab hadits yang kurang memenuhi selera masyarakat awam tersebut kurang mendapat perhatian, termasuk beberapa kitab hadits yang telah eksis sebelum kitab hadits Sahîh al-Bukhâri; seperti musnad Ibn Sa‘ad.141 Kitab ini kurang populer dibandingkan kitab hadits standard yang telah dikenal di masyarakat, walaupun hadits maupun periwayatan di dalam kitab ini autentisitasnya dapat memenuhi kriteria yang telah disebutkan ulama hadits. Akan tetapi, kitab ini berbentuk musnad yang kurang memenuhi kebutuhan masyarakat awam terhadap matan hadits. Peristiwa mihna adalah salah satu peristiwa yang kelam di dalam sejarah Islam, akan tetapi peristiwa counter attack setelah peristiwa mihna itu merupakan tragedi keilmuan yang terbesar dalam sejarah disebabkan oleh pemasungan ide-ide kebebasan ilmiah bukan hanya mengancam ilmuwannya juga karyakarya mereka. Peristiwa tersebut memaksa ilmuwan yang dicap sebagai golongan Mu‘tazilah terpaksa menggunakan nama samaran di setiap karya mereka. Pemasungan ide-ide Mu‘tazilah tersebut bukan karena peristiwa mihna saja, juga yang tak kalah pentingnya menghilangkan semangat rasional Mu‘tazilah, yang merasa tidak terakomodir di dalam konstalasi kitab-kitab hadits yang sudah ada. Karya-karya kitabkitab hadits standard jarang sekali menjadi objek justifikasi dalam paham rasional. Itu sebabnya mereka dianggap sangat selektif dalam menerima hadits kalau ditelusuri lebih jauh bukan disebabkan oleh keraguan mereka terhadap hadits, akan tetapi disebabkan oleh resourses hadits yang ada banyak membahas yang jauh dari pembahasan rasional mereka.142 Dalam kurun waktu sampai abad ke-5 H dinasti-dinasti yang muncul pasca Khulafaur Rasyidin sangat berkepentingan sekali menggunakan ideologi hukum sebagai sesuatu yang urgen dilakukan. Permasalahannya penggunaan aliran mazhab tertentu sebagai simbol ideologi hukum yang dianut oleh negara dilakukan dengan dua cara, yaitu mengadopsi kecenderungan pemahaman ideologi hukum yang
72
telah berkembang di masyarakat atau pihak penguasa membawa sendiri ideologi hukumnya melakukan penetrasi pemikiran ke masyarakat.143 Terkadang penguasa sangat lihai memanfaatkan posisi ulama dalam memperkuat posisi kekuasaannya dengan memberikan kekuasan kepada ulama/qadi dalam masalah-masalah yang bisa menaikkan citra mereka. Otoritas yang diberikan kepada ulama dalam menghukum peminum khamar merupakan politik pencitraan yang dilakukan. Betapa tidak, hal tersebut memberikan sinyal betapa khalifah adalah sosok yang religi di dalam kehidupannya sehingga yang diharapkan dukungan kesetiaan rakyatnya. Hasan asy-Syaibani adalah sosok ulama yang memenuhi syarat di mata Harun ar-Rasyid sehingga diangkat sebagai qadi utama yang membawahi seluruh pengadilan di wilayah Abbasiah.144 Pengangkatan Hasan asy-Syaibani adalah langkah maju yang dilakukan khalifah untuk memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ulama sekaligus diberikan kekuasaan sebagai umara. Hasan asy-Syaibani sebagai ulama fiqh memiliki pola pikir tentang penerapan hukum yang seragam di wilayah Abbasiah.145 Upaya penyeragamannya adalah untuk menjamin ketertiban masyarakat, tetapi langkah ini menimbulkan efek yang tidak dibayangkan sebelumnya. Tentu saja penyeragaman dengan menjadikan enam kitab utama dalam mazhab Hanafi sebagai sumber rujukan hukum yang berlaku dimulai pada masa Harun ar-Rasyid. Istilah al-Kutub as-Sittah pertama sekali muncul pada era ini ketika Hasan asy-Syaibani sebagai qadi utama, ketika mengeluarkan maklumat kepada seluruh hakim di wilayah Abbasiah untuk menjadikan alKutub as-Sittah mazhab Hanafi sebagai sumber rujukan hukum dalam memutuskan perkara.146 Di sini awalnya mulai memudarnya pengaruh filsafat yang mengajarkan kebebasan berpikir yang rasional dan menghasilkan pola inklusif dalam menerima suatu kebenaran menjadi satu warna cenderung kaku. Walaupun canonical enam kitab-kitab utama dalam mazhab Hanafi tersebut pada saat itu dinilai sebagai langkah yang maju karena mampu merealisasikan penyeragaman hukum tidak akan mungkin bisa terwujud tanpa izin atau perintah dari Khalifah Harun ar-Rasyid itu sendiri.147 Khalifah sangat berkepentingan dalam kegiatan canonical tersebut untuk lebih memantapkan kedudukan Dinasti Abbasiah. Dinasti Abbasiah pada satu abad pertama sedang giat-giatnya membangun citra Dinasti yang lebih baik dari Dinasti Umayyah sebelumnya. Mereka memposisikan diri sebagai penguasa yang sangat mengakomodir semua golongan tidak seperti Dinasti Umayyah yang hanya memberikan privilege kepada bangsa Arab.148 Akan tetapi, pada masa Harun ar-Rasyid sudah mulai dirasakan kekuatan masyarakat nonArab yang harus dijinakkan dalam bingkai legalisasi al-Kutub as-Sittah mazhab Hanafi sebagai undangundang negara. Walaupun resistensi terhadap mazhab Hanafi ini masih ada di dalam masyarakat, akan tetapi dinilai tidak cukup kuat untuk menandingi dominasi mazhab ini yang didukung oleh negara. Resistensi dari mazhab ini biasanya datang dari kelompok konservatif yang disebut sebagai ahli hadits yang merasa sebagai pembela hadits yang diklaim kurang mendapat tempat dalam Mazhab Hanafi.149 Mazhab Hanafi dalam hal penerimaan terhadap hadits ada miripnya dengan Mu‘tazilah yang hanya mau menerima hadits mutawatir dan tidak mau menerima hadits ahad. Walaupun Mazhab Hanafi tidak sampai seekstrim Mu‘tazilah dalam menerima hadits, bagi mereka hanya hadits yang dikategorikan mutawatir dan sahîh saja yang dapat dijadikan hujjah. Memang agak dilema dalam masalah penerimaan terhadap hadits ahad. Pada awal abad pertama Dinasti Abbasiah, pengaruh filsafat helenisme cukup dominan dalam mempengaruhi pemikir-pemikir Muslim sehingga alasan Mu‘tazilah hanya mau menerima hadits mutawatir dapat dipahami.150 Hadits ahad yang dipahami tidak mencapai derajat mutawatir berarti terdapat keraguan terhadap autentisitas hadits tersebut sehingga tidak layak untuk menerimanya sebagai dalil untuk berhujjah.151 Apalagi bila digunakan dalam hukum tentunya akan menimbulkan keraguan umat Islam untuk menerima hukum tersebut.152 Kritikan orientalis terdapat inkonsistensi ulama karena masih tetap mengakui hadits ahad dijadikan dalil dalam hukum.153 Logika yang dibangun dengan menggunakan sillologis antara konsep kebenaran yang terwujud dalam ‘ilm, yakin, qath‘î tidak terdapat di dalam hadits
73
ahad apalagi hadits dha‘îf. Sebagian ulama yang mendhaifkan antara satu hadits dengan hadits lainnya mengindikasikan terdapat masalah autentisitas hadits tersebut dan hampir semua hadits mengalami masalah kecuali hadits mutawatir yang jumlah hanya sedikit. Kritikan orientalis ini bila diambil dari sisi positifnya diharapkan untuk lebih memantapkan bangunan hadits yang selama ini ada lebih kokoh dan bisa dipertanggungjawabkan. Argumen yang dibuat oleh beberapa ilmuwan Barat tersebut didasari keraguan refleksi logika yang berasal dari sumber filsafat. Masalahnya konstruksi bangunan hadits yang dibuat oleh ulama tidak dalam tahap keraguan terhadap hadits karena hal tersebut telah selesai ketika sahabat-sahabat sebagai agen pertama pewarta hadits telah menerima Islam. Usaha yang dilakukan adalah dengan menyortir sebanyak mungkin hal-hal yang bisa mengotori kemurnian hadits. Sebagai manusia generasi ulama mulai dari zaman Dinasti Umayyah sampai Dinasti Abbasiah tentunya memiliki kapasitas yang berbeda, terutama dalam menyortir hadits-hadits yang berkembang ketika itu. Akan tetapi, dengan menyatakan hadits ahad tidak bila dijadikan dasar hukum tentunya sangat gegabah karena bukan berarti suatu hadits yang tidak menempati posisi muatwatir diragukan originalitasnya. Karena walaupun satu orang bila dianggap tsiqah maka hadits tersebut dapat dijadikan hujjah. Hadits yang berkaitan tentang kehidupan rumah tangga Nabi Muhamamad tentunya hanya sedikit sahabat yang mengetahui atau menyaksikan, seperti halnya dalam masalah mandi wajib. Simbol Khalifah Abbasiah di dalam sejarah Islam mendapat tempat tersendiri karena dianggap sebagai dinasti yang membangun peradaban di dalam dunia Islam.154 Dinasti ini dianggap sebagai simbol pemersatu yang memiliki otoritas tertinggi yang dipatuhi masyarakat Muslim. Dinasti Abbasiah dianggap bersikap netral dalam konflik Sunni dan Syiah sehingga dipatuhi oleh berbagai pihak. Sebenarnya, Dinasti Abbasiah secara defacto memerintah hanya satu abad saja. Ketika kerajaan-kerajaan lainnya yang menguasai daerah Dinasti Abbasiah selama empat abad berikutnya masih membiarkan Dinasti Ababsiah ini berdiri, agar mendapat legitimasi dari umat Islam secara general.155 Walaupun realitasnya Khalifah Dinasti Abbasiah hanya menguasai kota Baghdad saja praktis seperti negara kota. Akan tetapi, persepsi kesakralan Dinasti ini sudah menjelma menjadi alat legitimasi kesinambungan suatu kerajaan. Tak mengherankan mulai Dinasti Buhaiwi, Saljuk, Fatimiyyah yang Syiah tetap tidak menghancurkan struktur utama kekhalifahan Abbasiah karena simbol legitimasi yang diberikan oleh khalifah sangat berguna untuk memerintah wilayah Islam yang luas.156 Sangat disayangkan ketika muncul persaingan tiga Kerajaan besar di abad pertengahan Turki Utsmani, Safawi, dan Mughal di India mereka tidak mengenyampingkan perlunya legitimasi simbol Khalifah Abbasiah di Baghdad. Peristiwa ini sangat disayangkan karena menghilangkan kesempatan besar untuk menyatukan umat Islam dalam satu simbol pemersatu. DinastiDinasti yang mengusai wilayah kekhalifahan Abbsiah rentang abad ke-4 sampai abad ke-7 H tetap mempertahankan simbol Khalifah Abbasiah sebagai legitimasi eksistensi mereka.157 Walaupun dalam rentang waktu yang telah disebutkan di atas kekuasaan politik Dinasti Abbasiah hampir tidak ada, akan tetapi Dinasti ini masih memiliki kekuasaan dari sisi spiritual. Sebenarnya simbol kekuasaan spiritual tetap dipertahankan oleh dinasti-dinasti di atas sangat berguna untuk memobilisasi massa ketika memerlukan dukungan masyarakat secara instan. Simbol kekuasaan spiritual sebenarnya sudah mulai mendapat tempat di hati umat Islam ketika dinasti-dinasti yang menguasai wilayah kekuasan kekhalifahan Abbasiah tetap mempertahankannya. Tidak mengherankan ketika Dinasti Fatimiyyah yang berkuasa ketika itu demi mendapat dukungan publik secara luas membangun pusat pendidikan ternama Universitas al-Azhar di Mesir sampai sekarang tetap eksis yang mayoritas Sunni. Manuver yang dilakukan oleh Dinasti Fatimiyyah tersebut dengan tidak membangun pusat pendidikan bergengsi di wilayah mayoritas Syiah, indikasi mulai mencairnya hubungan antara Sunni dan Syiah. Legitimasi yang diberikan oleh Khalifah Abbasiah di Baghdad terhadap Dinasti ini menambah kuat posisi di mata umat Islam yang mayoritas Sunni.158 Bahkan, pada masa Dinasti ini, memberikan akses dukungan ekonomi dan politik terhadap kegiatan yang diadakan di kampus ini. Mesir yang merupakan basis kuat kekuatan Sunni tergolong wilayah yang kurang begitu kuat infrastruktur pendidikan
74
seperti halnya di wilayah Islam lainnya yang sudah mapan melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim seperti Baghdad, Kurasan, Bukhara, maupun Samarkan. Tampaknya pilihan untuk mendirikan Universitas alAzhar di Mesir bukan tanpa pertimbangan yang matang, akan tetapi didasari oleh pertimbangan politik untuk mendapat simpati Sunni terhadap Dinasti ini Simbol Dinasti Abbasiah yang dianggap memiliki otoritas politik dan spiritual menjadikan al-Kutub as-Sittah zaman Harun ar-Rasyid seperti nomor dua setelah nas. Istilah al-Kutub as-Sittah sudah melekat memiliki nilai kesakralan yang sangat tinggi di dalam Dinasti Abbasiah. Akan tetapi, seiring dengan mulai meredupnya kekuasaan Dinasti Abbasiah yang pada awalnya identik dengan pionir dalam masalah rasionalitas di dalam Islam, tetap saja masih meninggalkan legacy yang masih tetap ada di masyarakat.159 Istilah al-Kutub as-Sittah dianggap istilah yang sangat familiar dengan kitab undang-undang negara menjadi kata sakti yang dapat membuat justifikasi terhadapnya. Tidak mengherankan ketika ulama hadits mengisi kekosongan tempat yang ditinggalkan oleh Mu‘tazilah di panggung politik Dinasti Abbasiah, masih menggunakan terminologi al-Kutub as-Sittah terhadap kitab-kitab hadits yang mereka urutkan secara hierarki. Istilah al-Kutub as-Sittah yang identik dengan kitab-kitab fiqh yang digunakan pada masa Dinasti Abbasiah ketika Hasan asy-Syaibani sebagai qadi menjadi locust ulama-ulama hadits dalam menyusun hierarki kitab-kitab hadits. Pencaplokan istilah al-Kutub as-Sittah yang berasal dari kitab-kitab fiqh menjadi istilah kitab-kitab hadits secara tidak langsung merupakan plagiasi dalam menggunakan istilah. Plagiasi istilah ini tentunya memiliki maksud tertentu agar umat Islam yang sudah menganggap istilah alKutub as-Sittah sebagai kitab undang-undang hukum yang diakui negara selama lima abad lamanya juga mendapat legitimasi kuat dari umat Islam.160 Plagiasi ini tampaknya jalan pintas yang dilakukan oleh ulama hadits agar usaha mereka lebih bisa diakui oleh segenap lapisan masyarakat. Akan tetapi, langkah ini terasa kurang elegan karena terkesan manipulatif walaupun kurang pantas disebutkan kepada mereka yang sangat dekat dengan simbol-simbol kesalehan. Menggunakan istilah yang sudah sangat lazim dan mendapatkan tempat di hati masyarakat yang sudah dirintis dalam waktu yang lama kemudian mengisinya dengan konten yang berbeda dengan usaha mendapat legitimasi absolut terhadapnya. Berbeda al-Kutub as-Sittah versi fiqh Hasan asy-Syaibani tidak menjadikan kitab-kitab tersebut dalam konteks hierarki. Akan tetapi, dalam bentuk horizontal yang saling mengisi antara satu kitab dengan dengan kitab lainnya. 161 Al-Kutub as-Sittah versi fiqh sangat setara saling melengkapi sehingga hakim di pengadilan tidak harus merujuk pada satu kitab utama karena semuanya equal. Al-Kutub as-Sittah versi ulama hadits melangkah lebih jauh dengan menjadikan istilah tersebut secara hierarki artinya urutan penggunaan lebih diprioritaskan dari kitab hadits yang paling atas, yaitu alBukhari dan Muslim.162 Dengan dukungan jaringan dari ulama hadits ini maka istilah al-Kutub as-Sittah yang identik dengan kitab undang-undang negara menjadi lebih kuat lagi upaya ulama hadits dalam mengggunakan istilah ini.
D. Fiqh: Otoritas Teks, Refleksi Nilai Profan atau Sakral Di awal perjalanan sejarah Islam, tradisi oral sangat memengaruhi karakter hukum yang dibentuk untuk diterapkan. Tradisi oral ini juga yang menjadi landasan utama berkembangnya tradisi tulis di kalangan umat Islam. Kuatnya pengaruh tradisi oral ini dapat dirasakan sampai sekarang menandakan tradisi oral merupakan bagian yang tak terpisahkan dari struktur hukum Islam. Al-Qur’an saja mengadopsi tradisi oral ini menjadi salah satu instrumen dalam banyak kasus hukum, selain testimoni dari saksi yang terlibat sampai urusan sumpah dan lafaz yang berhubungan dengan perkawinan. 163 Reservasi tradisi oral ini yang tampak jelas ialah qira’at membaca al-Qur’an yang sampai sekarang masih dipertahankan, dan tampaknya tradisi qira’at ini hanya bisa dipertahankan dalam konteks oral bukan tulisan. Tradisi oral dalam pelaksanaan sunnah memiliki legitimasi yang kuat di awal penyebaran
75
Islam, karena sahabat bisa mendapatkan pengarahan langsung dari Nabi. Dalam pelaksanaan praktik sunnah tidak pernah terjadi silang pendapat di antara mereka, karena tradisi oral memiliki keunggulan dalam memberi pemahaman secara langsung.164 Stressing point antara satu teks nas dengan yang lain walaupun seakan membahas masalah yang sama, tetapi sering dalam konteks yang berbeda. Masalah salah penafsiran terhadap suatu tujuan nas hampir tidak terjadi di awal perkembangan Islam, karena budaya oral yang begitu kuat sehingga bisa langsung memberikan pemahaman kepada umat Islam. Ketika pihak yang memiliki otoritas dalam menyampaikan secara oral sudah berganti dengan otoritas teks yang nas maka perlu adanya media perantara yang harus ada dalam menerjemahkan bahasa teks nas tersebut.165 Sering dipahami pesan hukum yang terdapat di dalam teks nas merupakan suatu refleksi yang koheren dari interpretasi teks nas terutama hadits. Lihat saja bagaimana teks-teks di dalam al-Qur’an yang secara berulang-ulang menggunakan teks-teks yang sama, akan tetapi memiliki esensi pesan yang berbeda.Teks-teks hadits yang merupakan refleksi sociolungistic yang terjadi pada masanya akan tetap memiliki kekuatan yang mengikat secara emosional kepada umat Islam bila mana mempunyai nilai sakralitas yang bersifat permanen dan elastisitas.166 Nilai sakralitas yang permanen hanya ada bila teks-teks nas tersebut tetap dipahami sebagai teks yang berasal dari Nabi Muhammad sebagai pemilik otoritas tertinggi. Di sisi lain, harus juga dipahami bahwa dalam proses penulisan teks nas hadits tersebut sangat terpengaruh dengan kondisi sociolungistic yang ada pada waktu itu. Harus juga ditanamkan di dalam benak umat Islam bahwa intervensi sociolungistic itu suatu yang tak mungkin terelakkan, tetapi juga figur Nabi bagi umat Islam merupakan sosok yang memiliki kekuatan transendental yang kuat yang selalu mendapat proteksi dari Allah. 167 Artinya, dalam memahami teks nas itu harus dilihat dari sisi tertentu yang tidak membuat jatuh dalam kategori ekstrem, baik itu terlalu liberal yang menganggap suatu teks nas bersifat profan ataupun terlalu tekstual hanya menyandarkan pada sisi teks hadits tanpa menghiraukan sisi sociolungistic. Kemampuan dalam menelusuri nilai profan dan sakral yang terdapat di dalam teks nas merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Tidak seperti kajian kritik hadits yang dilakukan oleh ulama hadits klasik yang hanya menitikberatkan aspek testimoni dalam menentukan tingkat kesahihan suatu hadits. Lebih lanjut, hal yang terlupakan dilakukan oleh ulama hadits terdahulu kurang menelusuri nilai sakralitas pesan hadits tersebut. Tidak mengherankan ketika diwujudkan dalam bentuk teks alat verifikasi yang dilakukan dalam bentuk testimoni, padahal nilai sakralitas yang merupakan manifestasi dari esensi pesan moral yang terdapat di dalam teks nas dapat ditelusuri dengan membandingkannya nilai-nilai yang terdapat di dalam al-Qur’an. Kegagalan disebabkan oleh lebih mengutamakan mengimplementasikan nilai sakralitas yang terdapat di dalam teks hadits memunculkan semangat sekterian dalam memahami nas hadits.168 Lihat saja pesan moral yang terdapat hadits-hadits fadâil ‘amal dianggap sebagai level hadits yang rendah, karena nilai testimoni jalur yang meriwayatkan hadits tersebut dianggap tidak kredibel. Secara logika sederhana saja digambarkan bahwa Nabi tidak selalu bergaul dengan sahabat-sahabat utama yang dianggap kredibel dan memiliki reputasi yang baik. Akan tetapi, dengan alasan dakwah Islam pasti Nabi Muhammad Saw. juga bergaul dengan orang-orang awam yang kategori orang-orang yang tidak memiliki reputasi sebagai perawi hadits menurut standard ulama hadits.169 Tentunya social contact yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. dengan orang-orang awam seperti ini mengandung misi dakwah juga dikategorikan sebagai hadits. Akan tetapi, sangat disayangkan kriteria testimoni dari jalur riwayat yang memiliki reputasi yang baik saja dapat dikategorikan sebagai hadits sahih.170 Sunnah yang mengandung nilai-nilai komprehensif akan tereduksi ketika diterjemahkan dalam bentuk teks hadits. Begitu juga teks-teks hadits yang ada juga mengalami seleksi alam tersendiri ketika membahas masalah-masalah hukum yang bersifat ibadah. Dalam perjalanan waktu, tampaknya ulama
76
hadits mengambil peranan yang sangat penting untuk mengarahkan serta menganggap penting haditshadits yang bersifat ibadah mahdhah. Langkah yang dilakukan oleh ulama hadits, baik itu di awal kodifikasi hadits maupun fase setelah kodifikasi sampai abad ke-4 H, lebih untuk memenuhi selera masyarakat ketika itu, memprioritaskan hadits-hadits yang berkaitan dengan ibadah mahdhah. Hal yang perlu dilakukan dalam pengembangan kajian hukum Islam dengan memberikan ruang terhadap nilai-nilai hukum lokal yang ada di dalam suatu komunitas. Persepsi hukum Islam adalah tatanan nilai yang tertutup dalam artian soliter tidak menerima pengaruh dari luar harusnya sudah mulai ditinggalkan. Karena postulat hukum Islam yang berasal dari nas cenderung menerima pengaruh dari luar selama mendukung pesan moral yang terdapat di dalam syariat.171 Tetapi klaim Joseph Schacht yang mengatakan tidak ada hukum Islam yang original karena mendapatkan pengaruh dari peradaban sebelumnya yang sudah eksis seperti Talmudic, Persia, Romawi Kristen tentunya terlalu gegabah. Betapa tidak dengan berargumen hukum Islam terbentuk di awal abad ke-2 H ditandai dengan kodifikasi hadits dengan merujuk justifikasi ke era Nabi Muhammad Saw. Pendapat yang didasari asumsi minor dengan premis adanya 79 hadits yang bermasalah lalu dengan serta merta menuduh semua hadits adalah palsu yang disamarkan dengan menyandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Bagi Harald Motzki seluruh postulat hukum Islam sampai periode terbentuknya mazhabmazhab hukum murni berasal dari Islam tanpa ada pengaruh dari luar.172 Tetapi, kenyataannya hukum Islam setelah periode terbentuknya mazhab tidak mampu lagi mengakomodir kebutuhan masyarakat yang sangat dinamis. Hukum Islam yang bisa bertahan tanpa pengaruh dari pihak luar hanya hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah. Di luar hukum, masalah ibadah tampaknya tidak mampu lagi bertahan kecuali mengadopsi hukum-hukum dari luar. Tampaknya setelah Eropa mengalami renaisance perkembangan pemikiran sangat maju pesat, termasuk yang berkaitan masalah hukum, bahkan Turki Utsmani sendiri banyak mengadopsi ketentuan hukum yang berasal dari Barat.173 Konsep hukum pidana di dalam Islam mengalami situasi yang sulit dalam menghadapi modernitas, di satu sisi hudûd adalah hukum yang secara jelas termaktub di dalam teks al-Qur’an sehingga untuk beberapa negara Islam masih dipakai hingga kini. Sementara itu, kebanyakan negara Islam di dunia tidak memakai hukum pidana Islam seperti yang dipraktikkan generasi awal umat Islam. Bahkan, PBB sendiri mengecam hukuman tentang rajam dan khitan bagi perempuan.174 Adanya beberapa hukuman pidana Islam yang dipraktikkan di abad-abad sebelumnya yang dikecam oleh lembaga hukum internasional menimbulkan friksi tersendiri di kalangan negara-negara Islam. Saudi Arabia, Iran, Sudan, adalah beberapa negara yang tetap mempertahankan hukum hudûd di dalam sistem hukum mereka. Akan tetapi, penerapan hukum pidana Islam tampaknya sudah tidak bisa digunakan secara komprehensif. Hal itu disebabkan oleh adanya asumsi di dalam fiqh klasik yang menyangkut tentang pidana Islam berbarengan dengan konsep dâr harb dan dâr aman. Beberapa elemen hukum pidana Islam muncul berkaitan dengan peperangan yang berkepanjangan antara Muslim dengan non-Muslim hal itu diperparah lagi dengan terjadinya perang salib selama 200 tahun antara Muslim dan Kristen. Pasca berakhirnya perang salib tampaknya kedua belah pihak menyadari bahwa peperangan akan menghancurkan kedua belah pihak tanpa ada pihak yang diuntungkan dengan peperangan tersebut. Munculnya konsep darul aman, walaupun terminologi itu awalnya ditujukan bagi wilayah yang dikuasai oleh kekuasaan pemerintahan Islam. Seiring waktu konsep darul aman bukan hanya yang berada di wilayah pemerintahan Islam, akan tetapi setiap wilayah di dunia yang umat Islam bebas melakukan ibadah, harta dan jiwanya dilindungi oleh pemerintahan setempat walaupun berasal dari non-Muslim.175 Bahkan, dewasa ini banyak tokoh-tokoh Muslim yang merasa aman berada di negara-negara Barat yang mayoritas nonMuslim dibandingkan tetap tinggal di negaranya sendiri yang tidak demokratis.
77
Adanya kontradiksi antara hukum pidana Islam dengan hukum internasional bagi sebagian orang di kalangan umat Islam menghilangkan makna Islam sebagai rahmatan lil alamin. Langkah yang dilakukan dengan memberlakukan hukum pidana yang lazim digunakan di dunia, khususnya yang berasal dari Barat.176 Hukuman gantung yang masih lazim digunakan beberapa negara Islam dianggap sebagai hukum barbar yang tidak cocok lagi dengan masyarakat modern yang dianggap lebih beradab. Banyak faktor yang menyebabkan tidak menyatunya hukum pidana di dunia Islam, baik itu dari geografis yang berbeda, sosial budaya, juga dominasi peradaban Barat yang saat ini sangat kuat.177 Secara akademisi khitâb tentang pelaku perzinahan sangat membingungkan karena tidak pernah terjadi hukuman yang diberikan kepada pelaku perzinahan mulai pada zaman Nabi Muhammad Saw. sampai masa klasik, dengan asas terbukti secara hukum. Padahal yang terjadi adalah pengakuan dari pelaku perzinahan tersebut, bahkan pada masa Nabi Muhammad Saw. sendiri seorang meminta untuk dihukum karena melakukan perzinahan bukan karena dibuktikan secara legal tapi atas dasar pengakuan. Nabi Muhammad Saw. tidak melakukan rajam atas pelaku perzinahan tersebut. Larangan khitan bagi perempuan yang dilakukan oleh PBB secara tidak langsung tertuju kepada umat Islam yang sampai saat ini masih mempraktikkan tradisi tersebut atas nama sunnah. Alasan medis yang dikemukakan untuk melarang khitan bagi perempuan tersebut tampaknya cukup berpengaruh ke sebagian komunitas Muslim dunia karena terjadi pro dan kontra di dalamnya. Kalangan konservatif mempertanyakan motivasi di balik larangan ini karena terlalu dalam memasuki wilayah privat agama, sementara masih banyak masalah-masalah penting kemanusiaan yang harus diselesaikan. Walaupun kelihatan sepele tampaknya hukum pidana Islam menghadapi tantangan cukup serius seiring dengan perkembangan masyarakat atas nama modernitas yang mengagungkan hak azasi manusia. Kajian hak azasi manusia sering sekali bersinggungan dengan masyarakat Islam karena sering diasumsikan tidak sesuai dengan standard umum tentang hak azasi manusia.178 Agaknya hal itu untuk beberapa kasus dapat dibenarkan karena sering sekali ijtihad masalah hukum pidana ini dapat dipelintirkan ke arah yang salah. Lihat saja ketika Osama bin Laden mengutip hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî yang bunyi” perangilah orang kafir di mana aja berada sampai mereka mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. 179 Fatwa transnasional yang menggunakan media internet ini ternyata sangat ampuh membangkitkan semangat terorisme di kalangan orang-orang picik terhadap agamanya.180 Testemoni perempuan di pengadilan di negara yang berasaskan Islam sampai saat ini masih menjadi dilema di negara-negara Islam karena teks nas yang membandingkan kualitas kesaksian satu orang lakilaki sama dengan dua orang perempuan.181 Hal ini menimbulkan kontradiksi bila dibandingkan dengan hukum konvensional yang mengusung asas persamaan hak di depan hukum. Masalah ini juga yang membuat perbedaan mendalam beberapa negara Islam tentang prosedur testimoni perempuan di depan pengadilan. Perbedaan yang tajam dalam menyikapi testimoni perempuan di pengadilan masih belum selesai sampai kini sehingga semacam menjadi duri dalam perkembangan fiqh. Semangat untuk mempertahankan perintah yang terdapat di dalam nas bertolak belakang dengan realitas kekinian yang menuntut persamaan di depan hukum.182 Bahkan, hukum tentang waris yang selama ini dianggap sudah final dan bersifat qath‘î dipertanyakan kembali dari sisi keadilan dan persamaan hak. Sampai saat ini, hanya hukum Islam saja yang secara formal masih memberlakukan perbedaan pembagian warisan antara perempuan dan pria di dalam waris.183 Klaim klasik bahwa laki-laki yang mencari nafkah serta memberi kontribusi terbesar dalam rumah tangga terbantahkan bila merujuk situasi sekarang ini banyak perempuan yang bekerja dan berpenghasilan lebih besar dibandingkan laki-laki.184 Banyaknya kasus sengketa warisan terjadi yang disebabkan oleh disparitas pembagian antara laki-laki dan perempuan di pengadilan umum sebelum turun Surat Edaran MA (Mahkamah Agung) yang merujuk ke PA (Pengadilan Agama) tahun 1994. Surat Edaran tersebut menunjukkan bahwa masalah waris adalah wewenang Pengadilan Agama di kalangan umat Islam yang
78
menggunakan rujukan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang menguatkan bagian laki-laki adalah 2:1 dibandingkan perempuan. Pertarungan ideologis antara kelompok literalis yang mencoba mempertahankan kemurnian nas dengan pihak kontektualis yang lebih melihat maslahat dibandingkan teks nas sudah lama berlangsung di dalam sejarah Islam. Selama ini, pihak literalis banyak diuntungkan karena menampilkan sosok yang mempertahankan perintah Allah daripada kelompok kontekstualis yang biasanya dikategorikan sebagai orang-orang liberal. Bila tidak ada islah di antara kedua kelompok ini untuk saling memahami pemikiran masing-masing agaknya sulit mengharapkan perkembangan kajian fiqh yang lebih maju di masa akan datang.185 Tentu saja bila pihak literalis akan diuntungkan karena bertameng dengan teks nas yang di dalamnya terdapat legitimasi Allah. Padahal, merujuk hanya kepada teks nas adalah langkah yang paling mudah untuk beralibi dalam mempertahankan kemurnian ajaran Islam yang di dalamnya terkandung kemalasan menggunakan nalar. Pengalaman pahit umat Islam pertarungan ideologis antara Mu‘tazilah dengan kelompok konservatif menimbulkan kerugian yang sangat besar di dalam dunia Islam. Keduanya selayaknya dipelihara untuk menjadi harmonisasi dan saling mengawasi antara keduanya. Sejarah membuktikan pembungkaman terhadap aliran rasional seperti Mu‘tazilah membuat dunia intelektual di kalangan umat Islam makin mundur.186 Hal tersebut kurangnya gairah intelektual yang biasanya digerakkan oleh paham rasional. Kritik Mu‘tazilah terhadap hadits yang berada di luar level mutawatir hendaknya dipahami untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, agar tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang bersifat profan. Begitu juga spirit yang ditunjukkan oleh sebagian orang di kalangan akdemisi terhadap beberapa konten hadits yang mengundang kegelisahan intelektual harus disikapi dengan bijaksana. Bukan langsung menuduhnya sebagai seorang yang ingkar sunnah atau bahkan seorang yang kafir. Stigma negatif tentang hukum pidana Islam yang dimunculkan oleh orang-orang yang tidak sepaham biasanya mendapat amunisi untuk menyerang ketika membahas hal-hal yang berkaitan tentang hudud dan qisas. Hukuman qisas merupakan hukuman yang paling banyak dikecam bukan saja menimbulkan dilema yang besar dalam menerapkannya juga banyak dikecam oleh pemerhati hak azasi manusia. 187 Pemberian wewenang yang sangat besar dalam memutuskan nasib si tertuduh menimbulkan dua mata sisi yang berbeda, yakni satu sisi membawa pesan keadilan bagi keluarga korban juga sebaliknya. Perintah qisas sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan pembunuhan sengaja juga hal-hal yang menyangkut dengan penghilangan anggota tubuh. Mengenai poin yang kedua sangat sedikit informasi tentang implementasi hukum qisas tersebut karena bisa menimbulkan kesulitan dalam proses penerapan hukumnya. Sebaiknya pesan moral keadilan yang terkandung di dalamnya yang lebih diberdayakan dibandingkan dengan teks tertulis. Perbedaan persepsi dalam penerapaan hukum pidana Islam di kalangan umat Islam jangan disikapi negatif karena hal tersebut refleksi dinamika yang terjadi di dalam masyarakat Islam itu sendiri. 188 Pastinya nas tidak menginginkan kasus pidana banyak terjadi di dalam masyarakat Islam, akan tetapi lafaz nas tentang hudûd dimaksudkan untuk membuat efek jera terhadap pelaku kejahatan tersebut. Ternyata di beberapa negara yang mengklaim mengadopsi hukum Islam kasus-kasus yang menyangkut dengan pidana masih tetap tinggi, terutama yang berkaitan dengan pembunuhan.189 Lafaz nas harus dipahami secara komprehensif dalam memandang hukum tersebut dan harus dilihat dari berbagai aspek kehidupan. Sering sekali penerapan hukum Islam yang fanatik tanpa mempertimbangkan socio kultural masyarakat membuat hukum Islam itu tidak efektif. Banyak konteks hukum Islam klasik sangat miskin kajian mengenai hukuman ta’zir, yang biasanya diimplementaiskan dalam bentuk hukuman cambuk atau denda bagi pelanggarnya. Hukuman penjara yang merupakan bagian dari hukuman ta’zir sebenarnya sudah ada pada masa Nabi Muhammad Saw., ketika umat Islam menawan beberapa tokoh Quraisy untuk membayar tebusan bagi kebebasannya. Bagi yang
79
tidak mampu membayar tebusan diwajibkan untuk mengajarkan baca tulis kepada umat Islam sehingga hukuman ta’zir ini memberi manfaat bagi lingkungannya. Sebenarnya pembebasan yang dilakukan oleh Nabi dengan jalan ta’zir tersebut mengandung makna implisit bahwa pentingnya memperhatikan kebutuhan tahanan. Makna filosofis rumah tahanan di dalam Islam bukan sekadar untuk menghukum, akan tetapi menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan membuat orang lebih baik. Sangat disayangkan kajian tentang hukuman penjara ini kurang mendapat perhatian yang serius dari umat Islam dalam rentang yang cukup lama. Padahal, secara garis besar Nabi sudah memberikan isyarat dalam menangani hal tersebut. Makna filosofi hukuman ta’zir bukan untuk membalas kelakuan jahat seseorang sehingga dia dijebloskan ke dalam penjara, akan tetapi untuk menyadarkan betapa kelirunya dia selama ini. 190 Kasuskasus orang-orang yang makin jahat ketika di dalam penjara harus dievaluasi apakah penjara yang selama ini diperuntukkan untuk rehabilitasi manusia sudah berjalan cukup baik. Bagaimana mungkin hukuman yang ditanggung narapida dapat memberi efek jera bila tidak menghargai mereka sebagai manusia. 191 Kasus terkuaknya transaksi seks yang terjadi di beberapa LP (Lembaga Pemasyarakatan) dengan melibatkan oknum-oknum petugas LP adalah puncak gunung es dari kasus-kasus serupa yang belum terungkap. Hal tersebut karena penjara dipersepsikan sebagai institusi balas dendam bukan lembaga yang memanusiakan manusia. Secara natural orang yang dipidana sampai puluhan tahun pasti mengalami psikologi yang berat, terutama bila dia sudah berkeluarga, sehingga sangat tidak manusiawi bila tidak menyediakan tempat reuni keluarga bagi orang tersebut. Secara tidak langsung lembaga penjara seperti ini membuat orang-orang seperti ini makin jahat bahkan menjerumuskan orang untuk melakukan penyimpangan hukum. Hukuman fisik hendaknya dijatuhkan oleh orang yang melakukan kejahatan fisik bukan menyertakan psikisnya sebagai manusia. Semangat untuk menjadikan hukum pidana Islam secara institutional bisa dianggap baik dalam memberikan kepastian, akan tetapi hal tersebut tidak bisa diterapkan di setiap negara Islam. Karena masalah pidana merupakan masalah yang sensitif menyangkut nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat setempat. Hukuman rajam dengan melemparkan batu sampai mati bagi pelaku zina sangat ditentang karena bertentangan dengan prinsip-prinsip hak azasi manusia yang berlaku di dunia internasional.192 Hukuman yang diterapkan kepada pelaku harus dijelaskan apakah untuk membalas perbuatan pelaku atau merehabilitasi agar kembali ke dalam kehidupan normal.193 Seseorang yang terbukti mencuri dalam hukum Islam dijatuhi hukum potong tangan, akan tetapi ada perdebatan mengenai apakah korban pencurian masih boleh mendapatkan kompensasi harta yang telah dicuri. Bagi Mazhab Hanafi, tidak membolehkan korban pencurian meminta kompensasi kepada pelaku pencurian tersebut atas barang yang telah dicurinya bila hukuman potong tangan telah diterimanya. Sementara itu, Mazhab Syafi‘i dan Hanbali lebih memfokuskan hak si korban belum terpenuhi walaupun pelaku sudah dihukum yang disebabkan oleh perbuatan pelaku yang melanggar hukum. Kerugian korban harus diganti dengan mengembalikan harta yang dicuri atau membebaninya sebagai hutang bila si pelaku dalam keadaan miskin. Dalam kasus korupsi, sebenarnya harus ditentukan apakah pelaku tergolong sebagai pencuri atau perampok, karena keduanya memiliki konsekuensi hukum yang dihadapi oleh pelaku. Seorang perampok bisa dihukum dengan hukuman mati karena mengambil harta orang lain secara paksa cenderung bisa membahayakan nyawa orang lain. Keyakinan terhadap nilai-nilai tertentu yang dianggap sakral mengundang pihak-pihak tertentu untuk menguasainya sehingga hal ini sangat rawan bila tidak ada kontrol dari kalangan akademisi, termasuk yang menyangkut tentang nas. Keniscayaan pertumbuhan hadits di awal abad ke-2 H hingga abad ke-5 H masih meninggalkan perdebatan akademis yang tetap menarik dikaji hingga kini.194 Harus diakui eksistensi hadits yang terdapat di dalam compendium hadits yang diakui di dalam dunia Islam sampai terdapat hadits (marfu’), juga tidak sedikit hadits mawquf yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits rujukan yang diakui legalitasnya.
80
Perdebatan muncul ketika Joseph Schacht menyajikan data awal kodifikasi hadits yang terdapat di dalam kitab al-Muwaththa’ banyak mengandung hadits-hadits yang sanadnya tidak sampai ke Nabi Muhammad Saw. Kemudian dia menambahkan langkah yang dilakukan oleh ulama pemerhati hadits di abad ke-5 H melakukan sistematisasi penulisan hadits didasarkan oleh tulisan data-data yang berasal dari abad ke-2 H. Langkah ini menurut Joseph Schacht membenarkan thesisnya telah terjadi pabrikasi terhadap hadits Nabi di abad ke-5 H dengan menyandarkan sanad ke belakang pada abad ke-2 H.195 Dengan demikian, menurutnya pembentukan hukum Islam pada dasarnya tidak dilakukan pada zaman Nabi Muhammad Saw., tetapi dimulai pada abad ke-2 H sehingga abad ke-5 H, ketika formulasi hukum Islam menemukan formatnya. Harald Motzki mengatakan thesis Joseph Schacht tersebut keliru ketika menvonis bahwa tidak semua struktur hadits yang terbentuk menjadi tidak valid. Karena rujukan hadits tidak sampai kepada Nabi Muhammad atau paling tidak hanya pada level sahabat saja.196 Justifikasi Joseph Schacht ini banyak merujuk pada kitab al-Muwaththa.’ Baginya, merupakan kitab hadits pertama yang menjadi pionir munculnya kitab-kitab hadits lainnya.197 Asumsi ini didasarkan bahwa Imam Malik yang hidup relatif dekat dengan masa Nabi Muhammad Saw. dan tinggal di Madinah tetapi tidak mendapatkan sumber hadits valid yang bisa disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.198 Asumsi pabrikasi hadits itu mencuat ketika hadits yang sama sebagian muncul di kitab Sahîh alBukhârî yang rentang waktunya beberapa abad ke belakang. Jarak waktu yang panjang ini bagi Schacht indikasi terjadinya pabrikasi hadits tersebut karena Imam Malik saja tidak mendapatkan sanad yang sampai kepada Nabi Muhammad. Ketika Imam al-Bukhari menemukan sanad yang terputus tersebut tetap saja dianggap tidak valid. Beberapa ilmuwan Barat yang kontra terhadap argumen ini seperti Harald Motzki mengatakan sebaiknya tesis Schacht itu dibalik selama tidak ada ‘illat yang membuktikan hadits tersebut sampai kepada Nabi Muhamamd maka sahih hadits tersebut e-silent. Klaim Schacht tersebut muncul atas penelitiannya terhadap 77 hadits yang dianggapnya bermasalah karena tidak sampai pada Nabi Muhammad membuatnya berani mengatakan bahwsanya semua hadits adalah palsu dan tidak mendasar. Tuduhan format hukum Islam tidak didasarkan atas legitimasi sampai pada Nabi Muhammad Saw. karena formasi hukum Islam sebenarnya dibentuk oleh ulama fiqh pada abad ke-2 H sangat lemah, khususnya Imam Syafi‘i yang kemudian dilanjutkan oleh ulama lainnya. Padahal, pabrikasi hadits secara massal yang dituduhkan dilakukan pada masa Abbasiah tentunya akan mendapat resistensi dari ulama hadits di abad ke-2 H dan 3 H, hal tersebut sungguh sangat tidak mungkin terjadi. Ulama hadits umumnya mengakui adanya hadits-hadits mawquf yang terdapat di Canonical Book of Hadith (al-Kutub as-Sittah) yang menjadi rujukan bagi umat Islam. Akan tetapi, yang membedakan ulama hadits dengan kritikus hadits dari Barat adalah dalam konteks otoritas pewarta hadits. 199 Kritikus hadits dari Barat tampaknya mempermasalahkan hadits-hadits mawquf yang masih tetap banyak terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah dianggap sebagai hadits original berasal dari Nabi. Bagi dunia Kristen yang secara tegas membedakan antara perkataan yang berasal dari Jesus maupun dari pengarang kitab suci tersebut mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama terhadap hadits. Dunia Kristen mengenal revisi terhadap kitab sucinya sendiri karena bagi mereka kitab suci yang diwartakan oleh manusia terkadang bercampur dengan perkataan dari si pengarang kitab. Langkah tersebut tidak mengurangi kehormatan kitab suci itu bagi mereka sehingga bagi mereka sangat mengherankan kenapa label sakralitas hadits masih tetap diberikan terhadap hadits-hadits yang mawquf yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits rujukan. Hadits mawquf tidak selayaknya diperlakukan seperti halnya hadits yang original dari Nabi Muhammad Saw. Matan ziyâda di kalangan ulama masih dalam kategori yang diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan matan-matan hadits yang dianggap lebih kuat. Matan ziyâda dianggap sebagai pelengkap yang penting dalam periwayatan hadits. Otoritas sahabat yang begitu tinggi di mata ulama hadits sehingga hadits mawquf masih bisa ditoleransi atau bisa digunakan dalam argumen hukum.200 Terkadang penerimaan hadits mawquf menimbulkan problem tersendiri di kalangan ulama hadits karena
81
menimbulkan polemik. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Amar ibn Yasir tentang larangan Nabi Muhammad dalam memakan daging kurban lebih dari tiga hari. Riwayat hadits tersebut berasal dari Ali ibn al-Madina yang merupakan salah satu guru Imam al-Bukhari yang termashur.201 Akan tetapi, penilaian dari Imam Zuhri yang mengatakan hadits tersebut mawquf tampaknya lebih reliable. Abad ke-3 H sampai abad ke-4 H adalah era krusial di dalam sejarah Islam tidak saja mulainya zaman peradaban keemasan Islam juga kebutuhan akan hadits sangat besar, sehingga perhatian terhadap hal ini sangat penting. Munculnya ulama kritikus hadits patut diberi apresiasi yang besar dalam penilaian hadits, ulama seperti Abu Abdullah ar-Razi dan Abu Hatim ar-Razi merupakan dua ulama kritikus hadits yang banyak memberi kontribusi dalam perkembangan hadits. Kritikannya terhadap banyaknya hadits-hadits mawquf yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah khususnya yang terdapat di dalam kitab Sunan Ibn Mâjah, Musnad Ibn Hanbal, dan Sunan an-Nasâ‘i. Hal tersebut menimbulkan konsep sahih yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits rujukan. Cukup menarik pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Haytam tentang konsep kesahihan suatu hadits, baginya terminologi sahih itu bukan menunjukkan otentitas suatu hadits lebih cocok sebagai representasi materi hadits yang bersifat ad-hoc. Menarik juga kritikan ulama hadits Daraqutni terhadap syaikhâni yang meragukan beberapa hadits yang terdapat di dalam hadits syaikhâni tersebut. Ada sekitar 15 hadits yang bermasalah yang tidak sampai kepada Nabi Muhammad Saw., bahkan Daraqutni menyebutkan hadits yang terdapat di dalam kitab Sahîh Muslim yang menyatakan bahwa Allah akan menyingkap tabir sehingga orang-orang beriman dapat melihat Allah secara langsung adalah perkataan Abdurrahman ibn Abi layth (wafat 82 H) bukan perkataan Nabi Muhammad.202 Deskripsi di atas menggambarkan bahwa seyogianya tidak ada privilege diberikan kepada al-Kutub as-Sittah karena pada dasarnya kitab-kitab hadits yang ada harusnya saling menyempurnakan antara satu dengan lainnya. Al-Kutub as-Sittah sering dipersepsikan sebagai representasi dari kitab-kitab hadits yang paling valid sebaiknya dipertimbangkan lagi dengan menghilangkan paradigma yang sudah berkembang di dunia Sunni selama berabad-abad. Agak sulit memang untuk menghilangkan sakralisasi atas al-Kutub as-Sittah yang sudah terbangun selama ini, kecuali ada kemauan dari ulama untuk bersemangat dalam melakukan kritik sejarah terhadap hierarki kitab-kitab hadits rujukan. Walaupun pada awal abad ke-5 H kurang menyadari betapa adanya kompetisi yang terjadi dalam periwayatan hadits.203 Kuatnya otoritas yang melekat dari narasi hadits ini membuat perkataan sahabat juga mendapatkan tempat yang terhormat dalam bangunan hukum Islam. Sayangnya, perkataanperkataan sahabat tanpa disadari bisa membuat legitimasi hukum yang cukup tinggi dalam sistem perpolitikan pada masa itu.204 Bahkan, aliran teologi dan mazhab ramai-ramai menggunakan hadits-hadits yang mendukung argumentasi aliran mereka dengan menafsirkan sesuai dengan genre mereka. Kuatnya legitimasi hadits dalam benak masyarakat Muslim membuat pentingnya memberdayakan hadits untuk kepentingan mereka. Menyebarnya sahabat di beberapa wilayah yang dikuasai Islam membuat menyebarnya klaim otoritas di dalam masyarakat Islam. Tidak mengherankan hal ini menimbulkan benturan dengan pihak-pihak tertentu yang merasa otoritas keagamaannya terganggu. Benturan otoritas makin kuat bila bersentuhan dengan otoritas pihak penguasa yang merasa tersaingi yang bisa mengganggu hegemoni kekuasaan mereka.205 Dapat dipahami kumpulan hadits yang sangat besar dan belum tersusun teratur di abad ke-3 H pada masa Abbasiah membuat seluruh elemen masyarakat Muslim, terutama ulama memberikan perhatian yang serius. Tentunya spirit perhatian hadits berbeda dengan zaman Muawiyah yang lebih memiliki kesempatan yang besar dalam pengumpulan hadits karena masih banyaknya Tabi‘in yang hidup. Membengkaknya periwayatan hadits pada masa Abbasiah dibandingkan fase awal kodifikasi hadits di awal abad ke -2 H pada masa Dinasti Umayyah membuat tanda tanya besar adanya indikasi banyak keraguan terhadap autentisitas hadits. Realitas banyaknya periwayatan hadits pada masa Abbasiah
82
tersebut menjadi sasaran empuk tuduhan terjadinya pemalsuan hadits secara massif dari kritikus hadits, terutama dari Barat. Walaupun klaim banyaknya periwayatan hadits yang tidak bisa dibuktikan autentisitasnya mendapat argumen dari ulama hadits sesudah Joseph Schacht, seperti Mustafa Azami. Baginya tuduhan Joseph Schacht hukum Islam lahir di mulai pada abad ke-2 H serta bangunan otensitas periwayatan hadits tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dengan merujuk periwayatan massif pada masa Abbasiah adalah sangat lemah. Data-data yang ditampilkan oleh Mustafa Azami bahwa kegiatan menulis periwayatan hadits sudah terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw sehingga baginya argumen Joseph Schacht dapat dibantah. Tentang tuduhan adanya periwayatan hadits sangat banyak pada masa Dinasti Abbasiah yang memiliki jarak cukup jauh dengan masa Nabi Muhammad saw.206 Hal tersebut membuat Jyumbol agar bisa mendukung teori Joseph Schacht tersebut menggunakan teori common link yang intinya menggambarkan membesarnya periwayatan hadits yang terjadi di generasi abad ke-3 H setelah masa Imam al-Zuhri. Tampaknya Mustafa al-Azami banyak berhutang budi kepada Nabia Abbot yang telah meneliti tentang makin besarnya periwayatan hadits pada abad ke-3 H disebabkan oleh bukan karena penambahan matan hadits, akan tetapi yang bertambah adalah perawinya. [] Catatan Kaki 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12
Sami r Kitt ani y, “Som e Asp ect s of Hu man is m in Cla ssic Re lig ious Co lle ct ion on Polit ica l Just ic e in Isl am, ” dala m In te rna tiona l Journ al o f A rt an d S ci ence s, 1,14 (2 011), hlm.187 - 196. Ali Hasan ‘Abd a l- Qad ir, Naz ra t al -‘ Am ma t fî Ta ri kh al -Fiqh a l- Islâ miy, ( Kairo: U lum P res s, 1942), h lm . 100-11 2. Muha m mad Has hi m Kama l i, “P rin c ipl e of Islam ic Ju ris pruden ce. ” ch.3 r ev.ed., da lam Isl ami c Tex t Soc y (1991). Lihat j uga M.W Wa tt, For ma tive Pr iod of Isl am ic Thou ght, (O xford, one wor ld, 2002), h lm. 1 -4 . Watt m el ihat g eja la t erb entu kny a formu las i jur ispr ude nsi dalam I sla m m e milik i ket er ka itan, mulai dar i era Nab i k em udia n terb entu k pada abad pertenga han. Tida k hanya sa mpa i di situ hu kum Is la m berg era k me mbe ntu k for mas i huk um y ang ses uai d engan kond is i mas yara kat nya t er uta ma pas ca - kolo nia l. John L. Esp ito, The Isl ami c Th rea t: My th o r Re ali ty ? 3 r d edn (N ew Yo rk: O xford Un ive rs ity P re ss,1999) . Espito men coba me maha m i r ea li tas sos ia l u mat Is lam yang s edang me ngala m i kr is is iden tit as anta r a ing in ke mba li pada masa la lu d an r ea l itas t e kanan Ba ra t. Lihat juga M.J Han if i, Is lam and T rans fo rm ati on of Cul tur e, (Ne w Yo rk: As ia Publ ish ing Hous e,1974) ; P. Mandaville, T ransn ati onal Musl im Po lit ic : Rei ma gining the U m ma, (London: Rout l edge, 200 2), hlm. 21. Konsep oto rita s m ema ng lah ir da ri ban ya k e le m en yan g me mben tuk nya, te ruta ma te r kait dengan i kata n ket e rgantunga n te rhadap s esuatu, b iasany a per an piha k yang men jad i pe ranta ra te rhadap s esuat u yan g me lah ir kan oto r itas. C.J Fr i edr ich, “Author it y, Rea son,an d Disc re tion ”, dalam C.J F riedr ich (ed), Au tho rit y, (Harvard Uni ve rsi ty, 1958), h lm. 28 -48. Budaya k ek era san ya ng m engata sna mak an aga ma hamp ir t ida k pe rnah d iju mpai d ala m s e jara h masya ra kat Indon es ia ka rena n i lai -n ila i k eb ersa maan d ala m perb edaan sangat be ra kar da lam ps iko log i masya ra kat. Jan Mi ch el Otto, “‘Sha ria h and Natio nal La w in Mus lim Count ries’: T ens ion an d Opportu m iti es fo r Dutch and E U for eig n Policy, ” dala m Leid en Univ ers it y P ress (200 8). F. Hal lid ay, Isl am and the Myth o f Con fr onta tion: Rel igio n and Poli ti cs in Midd le Eas t, (London: I.B.T aur ist , 1996). Be lnap K. Ha er i N, S tru ctu ra lis t S tudie st in A ra bic L inguist ic: Char les F er guson’s Pap er, 195 4 -19 94 (Le id en: B ri l l,1997). Naloof ar H ae ri, “For m a nd Id eology: Arabic Soc iolungistics and B eyond,” da la m Annual Revi ew o f An thro polog y, 29 P ro Ques t So ciolo gy (2000), hlm. 19. Banya k ka j ian fiqh ya ng me mbahas t ema kasu ist ik ya ng hanya diju mpai di da erah Timu r Te ngah, padaha l jara ng kas us te rs ebut di ju mpa i di t e mpat lain s ep er ti m isa lny a di Indone sia. Moha mm ed I. Jubair , “Cr im ina l La w in Is lam: Bas ic Sou rc es and G en era l P rin cip les”, d ala m Tah ir M ahmood, et a l. ( eds.), Cr im inal La w in I sla m an d th e Musl im Wor ld: A Comp a ra tive Pe rsp ec tive, ” (De lh i: Inst itut e of Ob je ct iv e Studi es, 1996), hl m. 42. Mah mood Mon shipou r i, Isl amis m, Secu la ris m, and Hu m an Ri ghts in the M iddl e Eas t, (Bould er, C O: Lynn e Ri enn er, 199 8), hlm. 2 34. Muha m mad Si raj, Ahkâ m a t- Tash rî‘ ah fî a l - Islâ m (R iyad h: Ma ktabât a l-B ayân, 200 5), hlm. 79. Caves. M, “S ecu la riz ation in D e cl in ing R e lig ious Au th ority ”, da lam So cia l Fo r ce (199 4), hlm. 74 - 79. Chris tia no.K.J, “R e lig ious D iv ers ity and Soc ia l Chang e”, dala m C am br idg e Un iver sit y P re ss (1987). W i ll ia m H. Swatos. Jr and Christ iano. K.J, “Secu la rizatio n Th e ory: The Cour se of a Concept ”, dala m Soc iolo gy
83
13
14
15
16
17
18 19
20
Rel igion (1 999), h lm. 1 6 -20. J ean -Pau l W illaim e, “ The Cultu ra l Tu rn in th e Soc io logy of R e lig ion i n Fran ce, ” dala m Soci ology o f Rel igion (20 04). Abdull ahi an -Na ‘i m, Isl am and the S ecul ar St at e: Ne got iatin g the Fu tur e of Sh ar i‘a, (Ca mbr idge: Har var d Univ er sit y Pr ess, 2010). Kondi si kau m Mu sl i m berh adapan deng an per ubahan s osia l tida k ja rang ha rus m e la kuk an ses uatu yan g tida k j ela s dite ntu kan di dal am Is la m, kar ena kajian f iqh selam a in i dianggap sebag ai nor ma hu ku m yang baku. U mat t er kada ng m ela ku kan s el f ijt ihad bag i pe rsoalan yang d ihadap inya s epe rt i banya kny a pek er ja dom ist i k di ru mah - ru mah orang non - Mus lim t entun ya me r eka juga haru s me la ku kan pe k er jaa n yang te rkad ang be rada pada ar ea shubha t. Opr ess i ter hadap per empu an yang ser ing ditudu h ka n terhad ap Isla m tampa kny a sangat ter ka it denga n kondi si sosio ku ltu ra l bangsa Arab yang sa ngat su lit m ene rap kan pr ins ip ega lite r d i da lam gend e r. Peratu ran t entang lar angan m eng em udi bag i pe re mp uan saja d i Saud i m enimbu lkan k e cama n buka n saja ka langan di da la m n ege r i j uga d i luar n eg er i. K ar ena lara ng t ers ebut t er kadang m enya lah i logi k a umu m yang b er la ku bag i masya rak at inte rnas iona l, Sookhdeo. Ros e mary, Se c re t beh ind the Bu rq a (Withsh ir e: B idd les Lim itt ed, 200 4), Fran k E. Voge l, I sla mic La w and Le gal Sys te m: S tudi es in Saud i A rab i a (Boston: Br i ll, 2 000). Voge l Fran k E, “T he Pub lic and Pr ivate in Saud i A rabia: Re str ict ions on the Pow er s of Com mit T he es of Ord er ing th e Good and Forb idd ing the Ev il”, da la m So cia l Rese ar ch (F all 2003; 7 0,3), hlm. 7 49. Denn is Spe lb erg, Po li tics, Gend er, an d the I slam ic P ast: The L ega cy o f A ‘isha bint i Ab i Ba k r (Ne w Yor k: Colo mbia U niv e rsit y Pre ss, 1994). M ervat F. Hatem, “A‘ isha h Bint Abi Ba kar: An Un li k e l y Hero in e A Post Co lon ia l R ead ing of He r lif e a nd Som e of He r B iogra p hies of Wom en a nd th e Proph et i c Househo ld.” Jou rna l of Mi ddl e E ast Wo men ’s S tudi es , v ol.7, no.2 (Spring 20 11). Tamp ak a neh b i la m er uju k p emb er la kuan huk um Is lam di beb erapa nega ra d i T im ur Te ngah, te ruta m a tentang pe re mpuan yang be k er ja di lua r ruma h. Denga n alasan untu k me la ksana ka n syar iat Is lam k e rap ter jad i p em er intah m e lara ng a ktiv ita s pe re mpua n di luar r umah k e cua li untu k b ebe rapa b idang sa ja . Fati ma M ern iss i, Women Re bel lion an d Isl am ic Hi sto ry ( London: Zed, 19 96), hlm. 13 -1 6. Sei ri ng dengan re for mas i yang m e landa Indone sia yan g ditanda i run tuhnya k ek uasaan Ord e Ba ru yan g tel ah ber kuas a leb ih dar i tiga de kad e me ma ksa stru kt ur brio kras i m eny esua ikan diri deng an euphor i a refo rma si t er sebut. Inst itus i apa ratu r pe rtahana n T NI d an Po lr i (k epo lisiaa n N egar a R epublik Indon es ia ) meng k la im s ebaga i inst itus i ya ng te lah b anya k m e la k ukan re form asi int e rna l, te ruta ma ket ika t er jad i pem isah an antar a Polr i dar i T N I. Akan t etap i, dala m masa lah m en yang kut ten tang la ranga n m ema ka i ji lbab tampa kn ya atu ran itu be lu m juga d icabut k ecua li d i Prop ins i A ceh yang dib er i k ek hususa n untu k me la ksana nka n j i lbab. Bag i mas yara kat Tu rk i, tahun 2013 m er upak an tahun yang be rse ja rah ket i k a dicabu tnya unda ng -undang y ang m e larang me ma ka i jilbab di lembag a - le mbaga pe m er intah. Joppke C, Vei l: Mir ro r of iden ti ty, (Camb ridg e: Polity Pr ess, 2009). Banya k p iha k, te ruta ma kau m f em in is d i Arab s end ir i me nuding bah wa budaya op re sif te rhadap f iq h per empu an ya ng be rl aku di ma syar aka t Arab m engguna kan n as s ebaga i a lat just if ikas inya. Pad aha l, Nab i sangat mode rat da lam me mb er ik an per an sosia l k epad a pere mpuan d i dala m Is la m, hal t ers ebut dapa t dil iha t dar i r eka m je ja k Nab i da lam k eh idupan s ehar i -har i denga n ist r i- istr iny a. Bah kan, had its yan g dir i wayat kan o leh Fat im a b int i Q uai sy r i wayatn ya dirag ukan kev alid itasan nya oleh s esa ma sahabat bu ka n kar ena masa lah int egr itasn ya, tet api leb ih pada masa lah gend er. Dalam riway at te rs ebut, diga mbar ka n bahwa Fa ti ma b int i Qua si y m em inta pu tusan hu ku m k epada Nab i Muh a m mad ten tang ha k talak bag i istr i se rta bol ehnya pi ndah dar i ruma h suam i k e ru mah k eraba tnya dala m mas a iddah. Per iwayat an ters ebut d itol ak o leh ba nya k sahabat uta ma, t er masu k U mar ibn al -K hattab, se mata -m ata dis ebab ka n oleh pe raw in ya ada lah s eora ng pe re mpuan. Lihat M u ham mad ibn Ah mad as -Sa ra khs î (d. 483/1 090), Kit âb al-M absûm, 30 vols. Ji lid ke -15, (Egypt: Mamba ’a t al-Sa’âdah, 190 6 -191 3),142-4 4. Juga ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn Q udâm a al - Maqd is î (d. 620/1223), Al-M ughnî, 9 vols. Jilid k e-9 (B ei rut: Dâr al- Kutub al ’Il m iyya, 199 4), hlm. 106 - 157. Dala m kont e ks di pesan t ren Indon es ia, se k ila s tida k begitu tampa k per an per empu an, a kan t etap i bi la m el iha t k e da la m s esunggu hnya pe r empua n di ling kungan pes antr en sa nga t besar pe ngaruh nya bagi k eb er langs ung an k egiat an pe ndid ika n maupun sos ial di ling ku ngan pesant re n. Li hat Bi anca J. Smith and Ma r k Woodward (eds.), Gende r and Po we r in Indones ian Isl am (London : Routl edge, 20 13). Bandi ngka n: Yoss i Rapoport’s M ar ri a ge, Money and D ivor ce in M edi eval Is la mic So c ie ty, (Cambr idge: Ca mbr idge Un ive rs ity Pr ess, 200 5). Be lu m je lasn ya w il ayah pr ivat dan publik da lam ka itann ya dengan hubunga n ke rja la ki -la k i dan per empu an me rupa kan s ala h satu i su ya ng ha rus d ip ecah kan k ar ena m enyang kut r elita s sos ia l yan g tida k ter hind ar kan. Ma nsour Fa k ih, Anal isis G ende r dan Tr ansf or masi Sosi al (Yogya kar ta: Pustaka P ela ja r, 1996), hl m. 81.
84
21
22
23 24
25
26
27
28 29
30
Radhâ al -Kh âbi r adala h bentu k sol usi y ang ber sifat te mpor er te rhadap dua ora ng yang buka n muh ri m harus s e ring be rju mpa d ala m ruangan, d enga n ca ra m emb er ikan p eras an a ir susu bag i si la k i - la k i seh ingga men jad i kan pos isi nya s ebaga i ana k disusu i b agi pe re mpua n te rseb ut. La ngka h in i t entu aka n men i mbu lka n dampa k huku m bukan sa ja k epada si pemb er i air susu, juga kep ada saudar a per empu annya. Dala m ka s us in i, Aisyah b int i Abi Bak r tida k harus r epot meng ena kan pa ka ian m enutu p sel uruh t ubuh kar ena s i U ma ir suda h dib er ikan a ir su su ole h sauda ra pe r e mpuann ya s ehingga U ma i r men jad i muh r imn ya. Hal di ata s me rupa kan contoh s olus i huku m yang te rjadi pada mas a awa l Is la m, yang t entu t ida k s ert a m er ta b isa d it erap kan s aat in i. S mit h J.I, “ Wom en, R e lig ion, and So cial Chang e in Earl y I sla m ” in Y.Y. Haddad and E.B. F ind ly (eds.), Women, Re ligi on, S oci al Chan ge (A lbany: S tat e Univ er sit y of N ew Yor k Pr ess, 198 5), hl m . 20-33. Al- Qur 'an me mbe r ika n pe rhat ian b esar bagi p era n sosia l dan po lit ik pe r empua n, sep ert i y ang digamb ar kan da la m surat as -Saba. Se k ilas, Ratu Sab a’ lebih hum anis diband ing kan Nab i Sula i man , kar ena d ia m eng enya mp ingk an opsi unt uk me la ku kan konfront a si, s ebaga ima na yang dianjur kan ol e h je nde ral -j end era ln ya set e lah m en er ima su rat dar i S ula ima n yang m enyu ruh untu k m eny er ah pada Sula ima n. Hunte r, Pol iti cs o f Isl am ic Reviva lis m, (Bloo ming: India na Univ. Press, 1 988). Z. Fare en Parv ez,” ‘D ebat ing th e B urqa in Fran ce:’ A nti Polit ics of Is la mic Rev iva l,” da la m Sp ring e r, Pro Ques t publ ish ed in 31 Mar ch (2011). Lega lit as sang at penting, terut ama yang men yang kut mas ala h ke yak in an. Lih at Dav id S Po we r, Stud ies in Qur ’an a nd Had îth: The Fo rm ati on o f th e I sl a mi c L aw o f Inher it anc e (Be rk e le y: Un ive rs ity of Ca li forn ia Pr ess, 19 86). Banya k kas us huku m yang seh arusn ya tida k m en jadi polem ik bila me maha m i Is lam s ebaga i aja ra n univ ersa l yang me ngadopsi ni la i -n i la i loka l masy ara kat. Jhon R Bo w en, “Do es Fr ench Is l a m hav e Bord ers ? Dil e mma s of Dom ist ic ation in Globa l Re ligious F ie ld,” d ala m P ro Ques t Soci ology, ( Ma rch 2004), h lm. 42 43. Fiqh bag i u mat Is lam m em i l ik i n i lai k esa kra lan te rs en dir i, k ar ena f iqh d iident ik kan d engan just if i kas i huku m yang b erd asar kan n as s ehi ngga ada s em aca m ik atan emos iona l da lam m eng iku tin ya. Me ru ju k pada Ma x Web er d ala m ka itan pe r ila ku k eaga maan y ang mun cu l dala m masya ra kat t ing kat keta ata n ses eorang b ias anya aka n m e lah ir kan volunt ee r ob lig ation . Ma x W ebe r, The Na tur e o f Ch a ris ma tic Domin atio n, in E cono my an d So ci ety , 4 t h ed, (1956), h lm. 662 -6 79. W.G. Run c ima n, ed., Web er Se lec tio n in Tra nsla tion (Camb rigd e Un ive rs ity Pre ss, 1995), hlm. 220 -23. Artinya, tinda kan spir itua l yang dik er ja kan leb ih banya k ka re na k esada ran dala m be rtu han. Bila m eru ju k pendapat a l - Ghaza li, kes adara n in i di sebut denga n h idayah yang data ng k epada ses eor ang yang b erus aha s ek uat t enaga untu k m en car i keb ena ran hak i k i dari Al lah. Abû Hâm id al - Ghazâ lî, Ihyâ ‘Ulû m ad - Dîn, 4 vols. (Kairo: al - Mamba a alUthm âni yya a l- M ic riy ya, 1352/1 933), hl m. 1:47. Ke ma l H. Ka rpat, The Poli ti ciz at ion o f Isla m, Re const ru c ting Id ent ity, S ta te, Fai th, an d Com muni ty in the Lat e O t toma n S ta te (O xford Univ e rsi ty Pr ess, 2001), h lm. 223 -2 30. Roy O li ve r, Glob aliz ed Isla m, The Se ar ch fo r Ne w Um m ah, (Ne w Yor k: Columb ia Un iv ers it y Pre ss, 2004). Salah sat u k e kura ngan k aj ian f iqh k las ik m enyang kut masa lah p em er inta han da lam Is lam. Ka jian i jt iha d henda knya m enu ntas kan masa lah pe m er intah an yan g dian ggap tabu ini. T inda kan K em al Attatu r k me mbuba rka n sist e m kh i lafa h bukan t anpa pe r timban gan, kar ena da la m se jar ah Din asti Tu rk i Ut sman i , terut ama d i a kh ir masa k e jayaan nya, banya k k eka lah a n di d inast i ini, t e ruta ma da lam PD I. Ak ibatn ya, ke ra jaan ku rang ma mpu m e la ksana kan pe me r in tahan y ang dila ku kan o le h Su ltan Abdu l H am id II. Hamp i r sel uruh w i layah Tu rk i h i lang da ri p eta a k ibat t e kanan piha k s eku tu yang se mpat me ndudu ki Istanb ul . Ke ma l dianggap sebaga i tokoh uta ma yang men ye la mat kan Tu rk i dar i ke ka lahan t ers ebut. Banya k ke ca man yang di tuj uk an k epada K e mal Atta tur k, di samp ing k ar ena la ngk ah ber aninya untu k men e rapka n prin sip s eku l er da lam s ist em k en egar aann ya. Bahkan pr ins ip se ku ler in i dibon ce ng denga n sem angat na siona l isas i Tur k i, s eh ingga ha mp ir s e lur u h unsur A rab d ihilang kan, te rma suk m engguna ka n lafaz a zan d engan bahas a Tu r ki, bu kan bah asa Arab. Ke benc ian K ema l t erhad ap Arab ya ng m eng kh ianat i Tur k i k ar ena Arab m em iha k I nggr is dan P eran c is dalam PD I. Rob ins Ph ilip, Tur key and Mi ddl e - Eas t (London: the Roy al Inst itut e of Int e rnat iona l Affa irs, Pinter Pub lish ers, 199 1), hlm. 20 -23. Konsep f iqh s iyâs ah adalah s ala h satu ha l yang sa ngat ter tingg al da la m pe mbahasan f iqh k las ik , terut ama d is ebab kan ol eh s angat b er ka itan lang sung dengan ke kua tan pe nguasa monar k i yang s uda h mend arah dag ing da lam k ebudayaan masy ara kat I s lam T imu r T engah. Kajian f iqh ya ng ras iona l ter ka lah kan de ngan kond is i ma sya ra kat f eoda l yang s eben arny a diba wa m is i oleh Nab i dan Kh ula fau r Rasy idin. Kons ep f iqh siy âsah y ang d ita war kan oleh b e berapa ulama te r kesa n sang at nor mat if seh ingg a sangat su lit u ntu k ber k emba ng dala m tata ran ap likat if.
85
31
32
33
34
35
36
37
38
Banya knya s itus b ers e jara h yang di hancu r kan d engan alasan peng e mbangan w ilayah dan me mb erant as bid‘ah ka ren a k e kha w at iran te mpat t er sebu t ak an d ijad i kan s e maca m p emu jaa n. Padaha l, ha mpir s elu ru h dunia m eny epak ati agar s e mua n ega ra m e me lihar a s it us ber se ja rah bag i kep ent ingan r iset. S eha rusny a situs yang men yang kut d engan s e jara h Is la m t ida k bo le h dih ilang kan b eg itu sa ja kar ena hal te rs ebut bukan mi l ik i bangsa Sa udi sa ja, a kan t etapi u mat Is lam seca ra k es e luruh an. Sebai kn ya ja ngan te r lal u ka ku da la m m em andang s itu s bers e jarah t er sebut s ebaga i be nda yang dapa t me mbuat umat Is la m m en jad i s esat kar ena m elaku ka n bid‘ah. S er ing s e ka li p er ila ku meng hancu r ka n benda-b enda yang di kat egor i kan bisa me mbuat orang sesat did asar kan pe r intah Nab i M uha mmad Sa w. ke mud ian m endapat just if ik asi ket i ka m eru ju k pada kenya taan se ja rah dia pe rnah m eng ha ncu rk an patung -patung b erh ala y ang be rada di da la m K a’bah. Harus d ipaha mi kont e ksnya t entu s angat be rbed a dengan sit uas i saat in i, bagaim ana mung k in gen eras i m asa depan akan bisa me mp elaja ri t entang se ja ra h Isl am bi la s itus se ja rah ny a dihan cur kan ha l in i sangat men ya lah i aturan inte rnas iona l ten tang per l indu ngan benda -benda b er se ja rah. K hal ed M. Abou El Fa dl, A tas Na ma Tuhan da ri Fi qh O to rit e r ke Fiq h Oto ri ta ti f, ed is i te rj e mahan judu l as lin ya S pea kin g in God’ s Na me: Isla mi c La w, Au thor ity, a nd Wom en (Jakarta: Se ra mbi, 20 04), hl m. 137 - 140. Pers eps i k emu l ian s eseo rang da lam masya ra kat yang b er ka itan de ngan k etu runan sang at tida k r el eva n dengan s em angat egal it er y ang diba wa o le h Is la m ya ng didasa rka n oleh ketaq waa n di had apan Al la h serta kont estas i sos ial. B andi ngka n Le Vin e, M., & Salvato re A, Socio -Re lig ious Mov e men ts and th e Tran sfor mat ion of “Co m mon Sen se ” i nto a Polit ic s of “C ommon Good. In A. Sa lvator e & M. LeV ine (Eds.), Rel igion, Soc ial Pr ac ti ce, and Con tes ted H eg emoni es, (N ew Yor k: Palg rav e M ac millan, 200 5), hlm. 28 -55. Konsep s eku fu in i a wa lnya d ibaha s ol eh ka lang an M azhab Han afi yang m enganggap kons ep s e kuf u bukan hanya t er ka it dengan ma sal ah ak idah juga m eny angkut ma salah ras. Kondisi m asya rak at Baghda d sebaga i kota met ropol itan pa li ng ma ju di dun ia k et ika it u te ntu sa ja m en jadi magn et bagi s etiap oran g dengan lat ar be la kang yang berb eda -b eda. Kons ep se k ufu in i tampa knya s ebagai so lus i yang dilaku ka n oleh banya kn ya persoa lan sosi al yang te rjad i denga n adanya perk aw inan yang beda ras w ala upu n ak idahnya s ama. Sete lah co lla ps sist e m kha li fah di Tu r ki, kons ep otorit as di dalam I sla m m en jadi m asa lah pe lik ka re na umat Isl am t ida k me m il i ki p atron y ang j e las da la m ha l ruju kan te rhadap otor ita s polit ik d an k eaga maa n dala m mas yara kat Is la m. Abû Ba kr Ah mad a l -B ayhaq î, Dalâ ’il an - Nubu wwa, ed. Abd al - Mu’ mî Qa l’a j î, 7 vols., (Be iru t: Dâr al -Ku tub al -I l miy ya, 1405/ 1985), hlm. 1:36 -37. Seja rah m embu kt i kan k eti ka umat Is la m leb ih ako mod atif te rhadap su mb er t e ks had its, te ruta ma ya ng men yang kut ke seta raan d ala m mengg una kan t ek s nas sebaga i dasa r hu kum, t e lah me mbuat ka jian f iq h sem ak in b er ke mbang p esat da n bisa m enjawab p er s oalan. Bah ka n, ada k ec end eru ngan da erah y ang re lat if jauh da ri s umb er ut ama p eny eba ran had its s em a ngat ijt ihadnya sangat t ingg i sep er ti d i Bag h dad sebe lu m abad k e-4 H. Kod if ika si had its untu k jangk a panjang d ipandang seb agai p engha mbat dala m per ke mbanga n fiqh kar ena je ratan kodifikas i had its ters ebut m e mbuat f iqh sulit b erg era k bebas . Moha mmad Fade l, “ Two Wo me n, On e Ma n: Kno wledg e, Powe r, and Ge n de r in Med ieva l Sunni Lega l Thought,” da la m In te rna tiona l Jou rnal o f Mid dle Eas t St udies 29, no. 2 (1997), h lm. 185 -204. Te rm ino logi had its sudah m en jad i kata sa kt i yang bisa men just if ik asi sua tu masa lah hu ku m. Namu n i a men jad i m asa lah ket i k a konsi ste nsi da la m pe nggunaan nya tida k d ipe rtahan ka n. Dala m ma salah ega l it e r per iw ayatan s end ir i sudah me njad i pol e mik s eja k masa sahabat. Hadit s riya wat Fat ima bint i Qua isy da n Busra b int i Safwa n tida k m endapat p engha rgaan yang se mes tin ya k a re na mas ala h gend ern ya. Muha m mad ibn I smâ î l a l- Buk hâr î ( wafat 256 H /870 M), bas is, 9 vo ls. J ild k e-4 ( Be ir ut: Dâr al -Q ala m , 1987), h lm. 193. Fath î U thmâ n, Sh ahâda t al-M ar ’ah ( Ka iro: Ma ktabat an - Nahdha al - Mis r iyyah, 2000) . Dapat juga d it em uka n da lam s umb e r k las ik yang me mbahas itu, s epe rt i Muha mm ad ibn A hmad a s Sarak hsî (wa fat 48 3 H/1 090 M). Ima m Abu Han ifah, Al -Mabsû th, Vol. 15 ( M esir: Mathba ‘at as -Sa‘adah , 1906-1 913), hl m. 142 -144. ‘Abdu ll ah ibn Qud âma a l - Maqd is î (wafat 620 H/12 23 M), Al-Mu ghnî, Vol. 9 (Be irut Da r al -Ku tub al -‘I l mi yyah, 19 94), hlm. 106 -1 57. Banya k k rit i k yang dia la mat kan k epada u la ma hadits, t e rutam a yang ber ka itan d engan kons ep k esah iha n hadits, k ar ena u lama had its mengg una kan beb erapa ist ilah, ter masu k ist ila h tenta ng kr it er ia had its yan g tida k m encap ai d era jat m uta wat ir yang mendo m inas i ha dits. K enapa ada had its yang t er masu k unr eli abl e masu k j uga dal am kat egor i had its yang dap at dijad ik an hujjah. Kar ena da ri s is i aut ent is itas t erd apat ke raguan t e rhadapnya t ent u sangat su l it m en er ima sua tu dalil u ntu k dijad ikan hu jjah bila aut ent ita sny a mas ih d iragu kan atau b el um m encap ai t ing kat ya kin. Kar ena itu, harus dila ku kan red ef in isi k e mbal i terh adap kons ep had its s ahîh yang b isa dijad ikan hu jja h. Al - Kham îb a l- Baghdâd î (waf at 463 /1 070), Al Kif âya fî I lm a r- Ri wâya, (B ei rut: Dâr al- Kutub a l- Ilm iyya, 1988), hlm. 94. Muha mmad ibn Alî ash -Sha wkâ n î (d. 1250/1834), Nayl al -A wm âr: Sha rh Munta qa ’ al -A kh bâr m in Ahâdî th Sa yyid a l -A khyâ r, 10 vols. (Kai ro:
86
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
Ma ktabat a l- Qâ hi rah, 19 78), hl m. 8:122. A l - Kha m îb, A l-Ki fây a f î U cûl ‘I lm ar -R iwâ yah , ed. Abû Ishâ q Ibrâh î m Mu c mafâ a l-D im yâm î, 2 vols. ( Kairo: Dâr a l -Hu dâ, 1423/2003), h lm. 1:39 9. Pariva sh Jamzad eh, Ale xand er H isto ri es and I ran Ref le ct ions, The R emnan ts of Pro pag anda and Res ist ant , (Le id en -Bos ton: Br i ll, 201 2). Isl am d i Indone sia m em i l ik i ci ri kh as t ers end ir i kar ena terdapa t k ea rif an loka l y ang m asih dip ra kti k kan , tetap i deng an m enggun aka n argu m en bid ‘ah sang at mengg anggu e ks ist ens i kea r ifan lok al. G eog e Jel l ine k, The D ec la ra tion o f the Righ t o f Man and o f Ci tizen: A Con tr ibut ion t o Mod ern Cons ti tut iona l Histo ry, (W estport: Hyp er ion, 190 1), hlm. 9 3 -97. Hamp ir t idak ada infor mas i yang m en ce rit aka n tenta n g asim ilas i budaya Spanyol ya ng Kr ist en deng an agama pend atang Is la m, ter k esan Spanyo l pra - Is lam t idak m em ilik i budaya yang c uk up tingg i seh ingg a dit iadak an dala m panggung se jar ah. Padahal, pe ris t iw a pem indah an tahta suc i Roma ke Spanyo l me rupa kan p er ist iw a bes ar ya ng m engubah se ja rah u mat Kr ist en. Pola te kana n te rhadap buda ya loka l hanya aka n meng ha s il kan t eka nan re ak si te rhadapn ya seh ingga yang ter jad i adalah peno lak an ter hada p Isl am itu s end ir i yang pu nca knya t e rjad i da la m pe rist iwa Requ ist a. Re quis ta ada lah ist ilah yan g diguna kan ol eh Raj a Ferd ina nd dan Ratu Isabe lla untuk m emob ilisa si k e kuata n umat Kr ist en untu k me rebu t k emba l i dae rah -d ae rah m er e ka yang t e lah dik uasa i oleh k e kuata n Is lam. Br ems. E, Hum an Righ ts: Univ ers ali ty an d Dive rs ity ( The Hague: Ma rtinus Nijhoff, 20 05). Hamp ir s emua imp er iu m yang be rtaha n la ma dis ebab kan oleh s ikap me re ka da lam me ngharga i n ila i ni lai lo ka l masya ra kat s et e mpat s eba li kny a tu mbang nya ke kuas aannya k et ika masya ra kat lo kal yan g me m il i ki ci r i kh as te rs endi r i. Wendy, Re gula ting Ave rs ion: Tol er anc e in th e Ag e of Iden ti ty an d E mpi r e (Prin ceton e, NJ: Pr inc eton U niv er sit y Pr ess, 2006). Ale x K ingbur y, “ Lega cy Is la m and Chr ist ian ity, ” dala m US N ew s Re po rt Wo rld Rep or t, Vol. 143 (200 7), hlm. 5 0-53. Ke yak ina n bahwa s em u a manu sia sa ma di mata Allah merup aka n hal yang pa ling sulit dit e rima ol e h masya ra kat Qu ra isy yang meng andal ka n sist e m sosio e konom i nya da ri s ist em pe rbuda kan. Nab i Muha m mad Saw. send ir i pun tida k ser ta me rta m engha pus siste m pe rbudak an, me la in kan se cara g ra dua l kar ena a kan m embua t col lap s mas yara kat A rab ket ika itu. Par rinde r G, Wo rld Re ligi on: F rom Anci en t Histo ry to the Pr esen t (N ew Yor k: Fa ct on F ile, 1983). Penun ju kk an Abu Ba kr t er hadap U mar s ebaga i p e ngganti d ir iny a sebaga i kha lifah s ek i las men ya lah i pr ins ip mus ya warah yang me re fle ksikan egalit er d i da la m Is la m. Wa laupun d em i ki a n tampa knya si kap Abu Ba kr ha nya unt uk m eya k ink an Uma r da lam m em iku l tanggung ja wab t er sebu t set ela h dia m e li hat bagai mana u mat Is la m k et ika itu meng ing in kan U mar s ebaga i kha lifah ke -2. Liha t Ali Sh alaq, ‘A ql as -S iyâs i fî al- Isl âm, Ce t. I (B eirut: Dâr al- Mâda li ath - TH ibâ‘a h wa a n - Nashr, 1 985), hl m . 34-36. Ada k ec ende rungan mas yara kat Is la m s eca ra t eolog i tetap b erp egang t eguh bah kan se car a tega s meng aku i s ebagai Mus l im, te tapi t ida k para le l denga n pene r i maa n me r eka t erhad ap pen er ima an huk u m Isl am s eca ra for ma l. Hamp i r se mua n egara Is lam t etap mengg una kan hu ku m se ku le r Ba rat. Penghan cura n ter en cana t erhad ap patung Buddha d i Bam iyan o le h pem e rin tahan T aliban ya ng te la h berus ia 2 000 ta hun atas d asar a rgu men untu k mengh a ncur kan b erh ala. P er ist iwa pe nghan curan be rha la yang terdap at di dal am K a’bah yang d ila ku kan o le h Nabi Muha mm ad Saw. m erupa kan insp iras i pem er inta h T al iban dala m m enghan cur kan patung Buddha. H arus dipah am i bah wa k et ik a N ab i Muha m mad Sa w. m enghan cur kan b er hala di da la m Ka’bah s eba iknya d ipaha m i bah wa Ka ’bah ya ng didi ri ka n ol eh Nabi Ibr ahi m d idasa rka n pr ins ip T auh id. Ket ika Ka’bah t er sebut dip enuh i o leh b er ha la yang dianggap Tuha n ten tunya sa ngat be rte ntangan dengan pr ins ip tauh id da la m m endir ika n te mpa t suci i tu. A kan t etap i, Nabi Muha mmad Saw. tid ak pe rn ah m em e rin tah kan me nghan cur kan satu b er hal a pun sela in itu, seh ingga t ida k me nya lah i prin sip I sla m yang m enga kui keb ebasa n beraga ma. Fa re e d Zaka ri a, The Ris e of I lli be ral Demo c ra cy (For e ign Affa ir s, Nove mbe r/De ce mbe r, 1997). Ada yang an eh da la m masya ra kat I sla m u mu mnya, khu susnya d i Indo ne sia. Wala upun me re ka m enga k u sebaga i s eorang M usl i m, da lam ha l pe mb er la kuan h uku m I sla m mas ih m endapat kan res ist ens i y an g sangat ku at, te rmas uk da ri p iha k u mat Is la m se ndir i. Kasu s k egaga lan men jad ikan Piagam Ja kart a sebaga i unda ng -undang dasar n egara sebaga i ind ik asi b e lum te rpanc arny a konsep Is la m s ebaga i rahm at an lil ala min . Proses is la mi sas i pe rundang -undanga n Indo n es ia p ern ah gagal dua ka li: kas us P iagam Jaka rta da n m as a pem er inta han Nats ir s ebaga i perdana ment e ri tahun 1957. R.E. Elson, “Two Failed Is lam iz e the Indone sia n Consti tut ion,” da lam So journ: Jou rna l of So cial Issue in Sou th East Asia , Vo. 28 No.3 (20 13 ), hlm. 3 79 -43 7.
87
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
Sayyid Qutb, Miles tone s on the Ro ad (Bloo mington, I N: Ame rican T rust Pub licat ions, 1991). Ahmad S. Mousa l li, Rad ic al Is lam ic Funda men tal ism: The I deol ogic al and Poli ti cal Dis cours e of Sa yyid Qu t b (Syracus e: Syra cus e Un iv ers ity P res s, 1993). Aneh m el ihat s i kap bebe rapa pe mi mp in Eropa saat ini yang ce nde rung m enya lah kan ko nsep mul ti cultu ra l yang di anggap gagal. P ern yataan Ang e la M er ke l (P M Jer man) t entang gaga lny a sist e m mul ti ku ltu ral d i Eropa tampa k nya dit uju ka n pada mas yara kat I s la m di Eropa sebaga i anca man ka re na dapat me ngubah Eropa ya ng Kr ist en d engan p ertu m buhan mas yara kat Islam s eca ra s ign ifika n. Riv a Kastor yano, “R el ig ion and Inco rporat ion’: Is la m in F ranc e and Ge rm any,” da la m The In te rna tion a l Migr at ion R evie w P ro Ques t So cio logy (Fa ll 2004), h lm. 1234. Ke ci a Ali, S exua l Eth ics and Is la m: Fem inis t Re fle ct ion on Qur’an, Ha dîth, and Ju risp rud enc e (Oxfo rd: On ewo rld Pub l icat ions, 20 06), hl m. 134 -1 37. Moor e Kath l een, “ Is lam i c Leg al i nte rpr etat ion’: M uft is and The ir Fat was, ” dala m Con te mpo ra ry So ciolo gy : Pro Ques t Soc iolog y (1998), hl m. 199. Ke yde r, Çaglar, ed. Is tanbu l: Bet we en the G lobal an d the Loc al (La nham: Ro wma n and Little f ie l d Publi she rs, In c., 1999). Sel i m Der ing i l, The Wel l-P ro te ct ed Do mains: I deol ogy and th e Le gi tim at ion of Po we r in th e O tto ma n Em pi re, 1876– 1 909 ( London: I. B. Tau r is, 1998). Sangat disay angk an ka j ian f iqh yang m engadops i pe m ikiran int egras i Is la m deng an budaya non - Mu sl i m yang ber la ku pada masa K era jaan Mugh al dapat m em ber ik an nuans a ako m odat if t erhadap k eya k ina n mino ri tas. Hef ne r RW, “Mu lt ifu l Mod er nit ies’: Chr ist ia nity, Is la m, Hidu is m in G lobaliz ing Age,” da la m Anu. Rev. An thro pol 27 (1 983), hl m. 83 -1 04. Keb erh asi lan A kbar da lam me mp er luas w ilaya hnya k aren a ke c er matan A kbar dalam m e lihat kond is i masya ra kat, yai tu dengan me mdayagu na kan k ek uata n -k e kuatan pe ndudu k asli Ind ia yang m ayor ita s beraga ma H indu. Metod e m ena ri k s impat i p endudu k a sli dengan me mb er i te mpat tu mbuh s egala j en is ke yak in an yang te lah ada s e jak dahu lu. Pe nghor matan Akbar te rhadap t rad is i -tr adis i p eny e mbahan d i Indi a m endapat kan si mpat i da ri mas yara kat as li Ind ia, bahkan agama Sikh d ianggap sebaga i s in kr et is m e antara Is lam d an H indu. Orang -orang p enganu t aga ma ini d imanfa atk an Su ltan A li A kba r seb aga i kompon en p ent ing da lam m en jaga ked aulatan Nega r a, bahkan d ia m enghad iah kan s ebuah ku il e ma s kepad a ka um S ik h in i. Sa mpai se kar ang dianggap seb a gai t empat pa ling su ci d i dun ia bag i kaum S i kh. Syed Mahm udunnas i r, Isla m I ts Conc ep ts and H isto ry, ( Ne w De lh i: K itab B ahavan,19 81), hlm. 282. Em manua l S ivan, Why Ra dic al ’s Musli m a ren ’ t T akin g Ove r Gov ern men t in Revo lution ar ies and Re for me rs: Cont em por ar y Isl am ic Move men t in th e Mid dle Eas t 1 ( Bary R ubin, ed.,St. U.of N.Y. Pr ess, 200 3), hl m. 8. Di nega ra -n ega ra Ba rat, sep e rti d i Canada, s e kola h Is la m buka n hanya t e rdiri mur id - mu rid Mus lim jug a dari aga ma la in se hingg a ni lai -n ila i lo ka l mas yara kat Canada yang m engan ut prinsip plura l ita s digand eng da lam pr ins ip Is la m. Lih at N ade em Me mon , “Social Con c ious in Canad ian Is la mic Sc hools, ” dala m In t. Im ig rat ion and Int eg ra tion Sp ring er Sc ien ce Media B.V (2010), h lm. 8 - 15. Ger ak an purit an ism e se ring s ek al i tida k m emp er hat ika n kea rif an lo kal, bah kan tida k ja r ang ge rak an in i sangat t er ka it d engan paha m wahab ism e yang d ike m bang kan di Saudi Arab ia. Te r kadang g er aka n in i diseb ar kan s et ela h m e lak uk an kon tak denga n ka lan gan wahab i, t erut ama m ela lu i p end idikan yan g dil aku kan d i sana. Liha t Mas soud E. Tar ek, “ Th e Ara bs and Isla m: Th e T rouble Sea rch fo r Legitima cy, ” dala m Dae dalus: Pro Que st A gr icul tu re Jou rna l (Spring 1999). G. Ma kd is i, The Ri se o f th e Co lle ges: Inst itu tions o f L ea r ning in Isla m an d the Wes t (Edinbu rgh: Ed inburg h Univ er sit y Pr ess, 1981). Rea li tas um at Is la m te rs ebar sudah mu la i te rseba r d i nega ra -n ega ra Ba rat yang s elama in i id ent i k dengan “ Kr ist en ” tent unya ha rus ada pend e katan hu ku m yang m enga ku i ha k kau m m inor ita s yang dia ku i seca ra un iv ersa l. M artt i Kos k enn ie m i, Fr om A polog y t o Utop ia: the S tru ctu re o f In te rna tiona l Le gal Ar gumen t, (Camb ridg e: Camb ridg e Un iv ers it y Pre ss, 20 05). Gamba ran h uku m t enta ng j i latan an ji ng m e milik i p er seps i yang be rbeda d i ka langan u lama k ar en a men yam aka nnya d engan keh ara man bab i tent unya be rbeda da la m kon t e ks se ja rah. K ebiasaan ora ng orang Arab ke ti ka pada masa N abi Muha mmad Sa w . yang sering be rpe rg ian dengan an jing untu k men jaga ba rang daga ngan me re ka t ida k jarang ma kan mengg una kan t empa t yang sa ma d enga n anj ingnya. Bow en J, Why the F ran ce don’ t L ik e H ea dsc arv e (Princ et on: Princ eton Unive rs ity, 2006). B urgat F, Fa ce t o fac e w ith po lit ic al Is la m (London: I B. Tau ris). Di negar a -n egara Mus li m yang mas ih trad is iona l, pem ahaman f iqh k las ik yang c end eru ng sangat rig i d men i mbu lka n masa lah t er send i ri da la m tatar an sosia l k ema syar aka tan ka r ena be rtolak b ela ka ng kond is i ki ni yang jau h be rbeda di sebab kan o l eh l ead ing p era daban dip egang o leh B arat. M e lih at r ea litas in i
88
66 67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80 81
82
banyak da ri mas yara kat Mus l im y ang m e lak uka n r ea ks i yang kurang b ija k dengan ja lan ke k eras an, sepe rt i yang te rj adi feno m ena mun cul nya k elo mpok Boko Ha ra m d i N eg er ia, ash -Shabab d i Som al ia , ataupun Ta liba n di Afgan istan. T entun ya yang m en jadi korban bias anya o rangtua, ana k -ana k da n per empu an. J. Bowen, Why th e F ren ch don’ t L ike H ead sca rves (Pr in c eton: Pr inc eton Un iv ers it y Pre ss, 2006). Te rm asu k dala m me mpos isi kan p er e mpuan da la m stru ktur masy ara kat Mus lim s aat ini t erd apat ambiv al ens i bi la m e lih at sumb er f iqh klasik de ngan re alitas sosial yang ada. Liha t Jer i Altn eu Se chz er , “Is la m and Wom en: Wh er e T rad it ion M e ets Mode rnity , History a nd Int erp re tatio n of Is la mic Wom en’ s Status,” da lam Sex Rol e, P ro Ques t , vol. 51 (Sept emb er, 2004). Nabi M uham mad s e ring m emb er i p engobatan k epada orang yang sak it d idasa r kan ilmu p engobata n yang dia jar kan beb erap a suku ped ala man bangsa Ara b ket ik a itu, te rnyata bany ak dar i m er e ka yan g semb uh. Al- Qa râdhâ w î, As- Sunnah w al Mas da ran, h lm. 63-67. Mahs un Fuad, Huku m Is lam Indon esia: D ar i N ala r P ars ipat or is hingg a Emans ipa to ris (Yogy aka rta: L Ki S , 2005), hl m. 63 -6 5. R. Kipp, Disso cia te d Id ent it ies: Ethn ici ty, Rel igion, and Clas s in Indones ia So cie ty, (Ann Arbo r: Un iv ers it y of Mi ch igan Pr ess, 1993). Kus ni ck, G, P ar ent -O f fsp ring Confl ic t amon g the K aro o f No rth Suma t ra, Ph D Disse rt at ion, An thro polog y, (Seatt l e: Un ive rs ity of Was hington, 20 06). M. S ingar imbun, Kinshi p De cen t and All ian ce a mong th e Ka ro Ba ta k, (Bar ke ley: Un ive rs it y of Californ ia, 1975). Susan Rog er, P rin t, Poe ti c, and Pol iti cs: a Suma t ran E pi c in Co lonia l Ind ies and Ne w O rd er Indone sia (Le ide n, 2005). M. Bo rge rhof f Mu lde r, Ha m il ton’s Rul e and Ki n Comp et it ion: Kipsig i s’C ase, Evolu tion and Hum an Behavio r (Boston: Bla ck w e ll, 200 7), hl m. 297 -3 10. Gra em e J. Whi te. Res to rat ion and R efo rm 1153 – 11 65: Re cove ry f ro m Civil W ar in En glan d, (Cambr idg e: Cambr idge Un iv ers ity Pr ess, 2 000). W i ll ia m B la ck stone, Com men ta rie s on the La ws o f Eng land, Edit ed fo r Ame ri can La wy ers by W i ll ia m Ha mmond (San F ran cis co : Bancroft – Whit ne y Company, 19 90). Sebena rnya fiqh Indon es ia te lah t erb ent uk s ec ara infor mal yang m e rupak an s inte sa anta ra Is la m de nga n ni lai -n ila i lo ka l. Acara ha la l bi l hal al di bu lan Sya wa l, me mbac a mar haban k et ik a me nikah, adany a mas a ber kabung se la ma 40 hari yang dapat dia rtikan s ebaga i masa iddah bu kan hanya bagi pe re mpuan jug a bagi pri a. Hal- hal t ers ebut sudah d ipra kt ikka n di dala m masy ara kat Indon es ia yang t ida k dit emu kan d i negar a-n egara la in, te ruta ma di T imu r T engah. Nouruz zama n Sidd iq i, Fiqh Isl am Indon esia: Peng gag a s dan G agas annya ( Yogya ka rta: Pusta ka P ela ja r, 1997), hl m. 213- 216. Konsep p ema ham an fiqh s ela in ha rus m enga cu pada teks nas juga m e lihat r ea lit as nila i -n ilai no rm a yang be rla ku p ada suatu mas yara kat seh ingga aka n me mbe r ika n e fe k ke adilan bag i s e mua. Y udia n Wahyud i, Ushul Fiqh V er sus He rmen eu t ika, Me liha t Isl am da ri Ka nada ( Yogya karta: P esant ren Naw es e a Press, 20 07). Form ula si kons ep q ath ‘î dan z anni s e lam a ini mas ih m en imbu lkan masa lah da la m men entu kan batasa n ked uanya. Kar ena itu, ha rus ad a al asan logis yang dap at dit er ima s eca ra pr ins ip uta ma y ang disepa kat i di ka langan a kade m ik. R ela tiv ita s suatu paradig ma k e ilmuan ha rus disad ar i ole h sem ua sta ke holde r s akad em i k seh ingga m engh indar i k la i m yang m e rusa k s ema ngat a kade m ik. Ka jia n f iqh s e lama i ni hanya m emb agi p ada wilay ah iba dah dan mua malah. Se m enta ra ist ila h m uama la h mas ih te rla lu l uas pe mbahasan nya se hingga p er lu ad anya clus te r k eilmuan yang leb ih khu sus untu k me mudah kan p eng embang an k e il muan. Po la k e ilmuan dala m Is la m mas ih t erp enga ruh pr ins ip gen er al is , sebaga ima na dita mp il kan ol eh soso k ula ma k las ik yan g menguas ai beb er apa bidang k e ilmua n. S. Nasr, Isla mi c Lev iath an: Isl am an d the M akin g of S t at e Po we r (Oxford: Oxfo rd Un iv ers ity Pr ess, 20 01). Mah mood. S, “Eth ica l Fo rma tion a nd Polit ics of Ind iv idual Autono my in Cont empo rary Egypt,” da la m Soc ial Res ea rch , 70,3 (200 3), hl m. 837 – 866. Br ian M cv eig h, “Lin k ing State and S el f : How the Jap ane s e State Bur eau crat iz es Subjec tiv ity Throug h Mora l Edu cat ion,” dal am Ant ropo logi cal Qua r te rly (Ju ly 1998), hlm. 125 -1 37. Stig S. Gez e l ius, Con ce ptua l F ra me wor k fo r a S tudy o f Au thori ty, vo. 44, (Palg rav e Mac m ila n: Acta Pol it ic a, 2009), hl m. 241 - 258. Ali Ja wâd, Al -Muf assal fî Tâ rikh Qa bla a l - Islâ m, Vol. 10 (Beirut: Dâr a l -‘ I lm Lil Ma lây în, 197 0). R.N. B el lah, et a l, H abi ts o f th e He ar t, (B er k eley: Un ive r sity of Califo rn ia Pr ess, 1 985). Lih at juga Coh en, J. (ed.), For Love of Count ry. De ba ting th e Li m its o f Pa tr iotis m, (Boston: Bea con Pres s, 1996). Juga Adel a Cortina, Civi l E thi cs and the Va lid ity o f L aw (N eth er lan d: Klu we r Acad e mic Publish er, 2 000), hlm. 39 -5 5. Isbâ l ada lah me ma ka i ka in ata u c e lana d i ata s m ata ka ki, h al te rseb ut man ife stas i s imbo l da ri ras a senas ib di ka langan u mat Is lam ket i ka m enga lam i k es ulitan e konom i ak ibat e mbargo dar i piha k kaf i r Qur ais y. Akan tetap i, Is bâl se kar ang i ni d ijadikan salah satu s imbo l dar i ket aatan s es eorang da la m
89
83
84
85
86
87
88 89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
meng i kut i sunnah Nab i Mu ham mad Sa w ., alang kah ba ik nya juga me maha m i ma kna dar i is bâl it u send ir i . Dewa sa in i me re ka yang se car a je las m e mpra kt ik kan sunnah dari seg i pena mpilan ada lah “ jam aa h tabl igh” ya ng beru saha m en jauh kan d ir i dar i dun ia polit ik. Mu mtaz Ahm ad: “Is la mic Fun d am enta l ism i n South Asia: The Ja maat Is lâ mi and the Tab lîghi Ja ma‘a t of South Asia, ” dala m Ma rty, Mart in E. and S cot t R. Appleby ( eds.), Fundam ent alis m Obse rve d , Vol. 1 (Chicago, London, 1991), h lm. 457 – 530. C. Hir sch k ind, The Eth ica l Sounds cap e: Casse t the Se rmons and Is lam ic Coun te r Publi cs ( Ne w Yor k : Columb ia U niv e rsit y Pr ess, 2006). Ada sebuah stas iun te le vis e swa sta Chann el 4 di Ingg ris 23 Juli tahun 201 3 yang me nguma ndang ka n azan magh rib s ec ara l ive ha l te rs ebut m en imbu lkan r es pon dari masya ra k at di sa na. Ges tal t s eca ra s ed erhan a dapat d ia rti kan pe rsep si yan g mun cul a kibat en tit as sos ia l yang tu mbuh da r i suatu ke lo mpok mas yara kat. El isab eth Hub er ly, “Th e R ole of Te mporo Par iet al Junct ion (TPJ) in Globa l Gesta lt P er cept ion,” da la m B rain s t ruc tur e and Fun ct io n: Pro Ques t (July 2 012), hlm. 735 - 746. Royal Mottah ed eh, Loy alt y and Lea de rship in Ea rly Isl a mic So cie ty (I.B Tau ris a nd Co, Lib rar y Conggre ss Class if ica tion DS35, 20 01). Kha li l Abdul Kar im, Qur aisy m in al - Qab îla il â ad- Daula h al-Mar kaz iyyah, (B eirut: Mu ’assas ah al - Int isya r al-‘A rab i, 1993). Lihat juga Kons ep k ep em impin an di tangan su ku Qu raisy han ya s imbo lik, Abd. A r Rahma n ibn Kha ldun, Muqa ddi mah ibn Khaldun ( Kairo: Dâr al- F ik ri,t.th), h lm. 19 0 -19 5. Salah satu k es impu lan d a la m se m inar P e kan Buda ya I r an di U IN Ja kart a 2012. Jan E. Stets and Al ic ia D, “Cast, R ecou rs es and Id ent it y Ver if ica tion f rom Iden tit y Th eory P ersp e ctiv e. ” Soc iolog ic al P ers pe ctiv e Univ ers it y of Cal ifo rni a P ress , vol.50 (2007). Seja rah ko mpi las i had its, b ai k itu m enur ut kor idor S unni maupu n Sy iah, meng ind ikas ik an p er ebuta n monopol i ke kua saan da la m s ubj e k yang dianggap sa ng at pent ing, sep ert i hadit s maupun sunnah, ka re na itu s e lal u sa ja m enggun aka n j alu r khi la fah maupun i mam ah dalam me ndapat kan leg it im asi dar i u ma t Isl am, l iha t Moh am mad Ar koun, A l-F ik ri al -Is lâ mi (t.tp:t.th), hlm. 102 -03. Fox J, “ The Inf lu enc e of Re l igiou s Leg it ima cy on Gr ie vanc e For mat ion by Et no -R elig ious M inor it ies. ” Journa l of Pe ace Res ea rc h (1999): 290 -3 06. Lihat Pippa Norr is and Rona ld Ingleha rt, Sa c red and Se cula r, (Cambr idge: Ca mbr idge Un ive rs ity Pr ess, 200 4), hlm. 17 -39. Yang me mb ingung kan da la m me mbangu n kon sep fiqh berba sis situas i s ek arang in i t er leta k pad a ke ma mpuan m e mbuat pe m e taan yang b enar t er hadap kebu tuhan f iqh it u send ir i. Masa lahny a me ngap a ka jia n fiqh yang dia ku i seca ra fak tua l stagnan tetap i sela lu diharap kan k ebang k itanny a ke mba li kar en a umat Is la m tida k aka n mung ki n ter l epas dar i pengar uh fiqh itu send iri. Se ja k awa l berd irin ya, foundin g fath ers ka j ian huk um Is la m yang d ia wa li oleh Nab i k e mudian d ila nju tka n de ngan sah abat t ida k pe rna h me m isah kan adan ya di khoto m i antar a Sunn i dan Sy ia h. W. al-Zu hay li, Al- Fiqh a l-I slâ mi wa- Adi lla tuh (Damas kus: Dâr a l-F i kr al - Mu’ass i r, 1997). C hr istoph er M elch ert, The Fo rm ation of th e Sunni S chools o f Law, 9 t h -10 t h C entu rie s C. E. (Leid en and Ne w Yor k: E. J. Br ill, 1997). Grego r Sc hoe le r, The O ral and the W ri tt en in Ear ly Isla m , ed it ed by Ja mes E. Montgo m er y and t rans lat e d by Uw e Vag elpoh l (N e w Yor k: Rout l edge, 200 6), hlm. 33 -36. R. I Be ek un, Isl ami c Busin ess Ethi cs (He rndon VA: Int ern ationa l Ins tit ute of Is la m ic T hought, 1997). Bo wi e N, Business Ethi cs, (Engl e wood Cli ffs, NJ: Prent ice Ha ll, 1982). Al-Rays uni A, Im am a l- Shat ibi ’s The or y o f the Hi ghe r Ob je ctiv es an d In ten ts o f Isla mi c L aw (H e r ndon: Int ernat iona l Inst itut e of Is lam ic T hought, 2006). Ebrahi m Moosa, “ Th e Debt s and B urd ens of C rit ical Is la m”, da la m P rog ress ive Musl ims : On Jus ti ce, Gend e r and Plu ral ism, ed. O mid Saf i ( Oxfo rd: On ewo r ld, 2003), hlm. 11 8. Seja rah Is la m t idak m eng ena l adan ya b eban gan da bagi s uatu k elo mpok mas yara kat. D ala m pem er inta han Is la m, piha k int erna l uma t Is lam dik en akan m e mbayar za kat, se m entar a itu bagi non Mus l im d ibeban kan me mbay ar paj ak. T ida k boleh m e mbeban kan k eduanya, a kan te tapi u mat I sla m d i Indone sia s e ja k m erd ek a hingg a k in i se la lu m enga la mi double bu rd en . Undang -und ang zaka t in i sebe narn ya sudah disa hka n DPR (Dewan Per wa k ila n Rak ya t) pada mas a pem er inta han B.J Hab ib i pada ta hun 20 00. Aka n te tapi, dala m tata ran p ela ksa naan p erat uran p e me ri nta h tak ku nju ng ada, banyak ha l yang mung k in mun cu l dalam pe lak sanaan nya. Sulitnya da la m penga wasa n zakat yang di konv er si k e dal am b entu k pa ja k, t en t unya m e mbutuh kan s kil l bu kan han ya ma sal ah akunta nsi p erpa ja kan juga masa lah yang me nyang kut dengan hu ku m Is la m. F. Vogel,” Clos ing of the Door of Ijtihâd and the Applicat ion of the La w.” A me ri can Jou rnal of Is lam i c Soc ial Sc ienc es , Vol.10 (199 3), hlm. 399. Ba nding kan dengan J.N.D. Anderson , La w R efor m in Egypt : 1850– 195 0, in P. M. Ho lt (Ed.), Poli tic al an d Soc ial Ch ange in Mode rn Egy pt, ( Oxfo rd Un iv ers ity P re ss, 1968), hl m. 209.
90
Ali Khan, “ ‘ Th e Op en ing of the I sla m ic Code:’ th e Se c ond Era of Ijt ihâd.” Univ ers ity o f S T. Tho mas L a w Journa l (2004). 100 Moham mad Hash i m Ka ma l, Pr inci ple s of Isl am ic Ju r ispru den ce , se cond rev is ed (Kua la Lumpu r: Il m iah Publi she rs,199 8), hl m. 3. 101 H. Dabash i, Autho ri ty in Is lam: fro m the Ris e of Muha mma d to th e Es tab lishm ent o f the Uma yyad s, (Ne w Bruns w ic k: T ransa ct ion Publ ish ers, 1 989). 102 Munc uln ya kla sif i kas i u la ma dida sar kan p end ek atan m er e ka da lam m ema ham i t e ks nas da n per masa lahan yang t i mbul d ala m p er ke mba nga n za man, s epe rti dala m kasu s pe rc era ian ataupu n huku man bag i si pez ina. G. Ha wt ing, “Th e Ro le of Q ur’a n and Hadîth in the Lega l Controv ers y About th e Rights of a D ivor ced Wo man Du ring He r ‘Wa it ing Pe riod’/ iddah.” BS O AS 52(1989), h lm. 429 – 444. J. Burto n, “ Law and E xeg es is: Th e P ena lty for Adult ery in I sla m,” in: App roa ches to the Qur ’an , G.R. Ha wt ing , Abdul- Kade r A. Shar eef, eds (London: Rout ledge, 19 93 ), hlm. 269 – 28 4. 103 Muha mmad Abû Z ahra h, Ucûl al- Fiqh, (Ka iro: Dâr al- Gafah a l-þAr abiy yah, 1377 A.H. ), hlm. 254. 104 Peno la kan s ebagi an ahl i had its te rhadap pe r iwa yat an hadits yang d ilaku kan o leh or ang -ora ng yang dik atego ri kan s ebaga i pe la ku bid‘a h hanya a kan m em buat sem ak in ke ciln ya sumb er daya had its. Li ha t Ibn Haj ar al -‘Asqa lân î, Nuza t an - Naz ar fî T aw dhîh Nuk hbat al -Fi k r fî Musth alah Ahl a l -A tsa r, (Dimasyq : Mathba ’at as -Sabâ h, 2000), C. II I, tahq iq: Nûr ad -Dîn ‘I tr, hlm. 99 -10 5. 105 B edn er, A.W, To wa rds Mean ing ful Rule o f L aw R esea rch: An Ele men ta ry App roa ch, (Leid en: Va n Voll enhov en Inst itut e, 2004). 106 Bag i Shahr ur ca ra m emba ca t eks hu ku m haru s m elaku kan ko mb inas i antar a tetap m e mpe rtahan ka n ori entas i nuans a l it era l is dengan s i kap progr ess if t er hadap nas. M. Shahr ur, Al -Ki tâ b wa a l- Qur ‘an : Qi râ ’ah Mu‘ ats tsi rah, c et. 2 (Damas kus: Dâr a l-Aha li li at-T iba’a h wa an - Nash r wa at -T auz i,‘ 1990), hl m. 823. 107 Mah mud Sya ltut, Al -Is lâm: a l- Aqid ah wa asy - Sy ar i‘a t (Kaio: Daru l Ma‘â rif, 1996), hlm. 23. 108 Muha mmad ibn Idr îs asy -Sy afi ‘î, A r- Ris âlah , tahqîq: Ahmad Mu ham mad Syâ kir, (Beirut: Dâr al -Kut ub al‘Il m iyya h, t.th.). Ada bantahan dari Nor man Cald er yan g mengata kan bah wa k itab al -‘ Um m Im am Syaf i‘ î bukan ka ryany a, a kan t etap i kar ya dar i mu rid -mu r idny a. Dala m r enta ng wak tu ya ng cu kup la ma h ingg a dua ratus tahun baru sep ert i yang di k ena l sek arang, hal itu m en imbulkan r ea ks i dengan bantaha n di ka langan a kad em is i. Ahm ed El Sha msy, “A T extu al H istory of a l -Sh afi‘i’s K itab a l-‘ Um m an d Risa lah. ”pape r pre sen ted at th e 217 t h M eet ing of th e Ame ri can Or ien tal Soc ie ty, San Anton io (Ma rc h 2007), hl m. 16 -19. Tamp akn ya Me lc he rt se tuju deng an Nor man Ca lde r bah wa k itab a r- Ri sâlah Ima m Syafi‘ i t erb entu k bu kan pada er anya, t etap i set e lah sek ian la ma da ri masan ya. Liha t C. M e lch ert , For ma tion o f th e Sunni School s of La w, (Le ide n: E.J. Br ill, 1997), h lm. 6 8. Me ma ng ada k esu litan da la m men e li ti tu lis an d i a wal te rbe ntu knya maz hab di da lam Is lam anta ra p engara ng kitab deng an kary anya . Te rk adang ada pe ngarang y ang m engguna kan ka rya utama ya ng sudah t er ke nal aga r m endapat ka n perhat ian da r i ko mun itas a kade m i k k et ika it u. 109 Ha er i Ni loofar, “For m and Id eology: Ar abic Soc iolu n gist ic and B eyond.” Annual Revi ew of Anth ropo logy, Pro Ques t (200 0), hlm. 69. 110 Ka te ri na Dala coura, Isla m, Li be ral ism an d Human Ri ghts: I mpli ca tions fo r Int e rnat ional Re lat ions , r ev. ed. (London & Ne w Yor k: I. B. Tau r is, 2003), hlm. 190 -1 93. 111 Wa el B. Ha l laq, A His tor y of Is lam ic L ega l Theo ri es: An Int rodu ct ion to Sunni Usul a l-F iqh, (Cambr idg e, UK: Ca mbr idge Univ e rsi ty Pr ess, 1997), h lm. 22 9 -40. 112 Suha il H. Hashm i, “ Is lam ic Et hi cs in Int erna tiona l Society”, in Is lam ic Poli ti cal Eth ics: Civil So cie ty, Plur alis m, and Con fli ct , ed. Soha i l H. Hash mi (Pr in ce ton Univ er sit y Pr ess, 2002), h lm. 16 3. 113 Ahm ad Am in, E ti ka / I lmu Akhla k, ( Bu lan B intang: Ja kart a , 1997), hlm. 147. 114 Ebrah i m Moosa, “T he Po eti cs and Po litics of Law after E mp ir e’: R eading Wom en’s Righ ts in t h e Contestat ion of La w. UC LA Journ al of Isl ami c and Ne ar Eas te rn L aw 1 ( Fa ll/Winte r 200 1 -200 2). 115 Muha mmad Kha l id Ma s’ud, “P lura l ism a nd Int erna tio nal Soc ie ty”, in Isl ami c Po li tic al Ethi cs: C ivil Soci et y, Plur alis m, and Con fli ct , ed. Soha i l H. Hash mi (Pr in ce ton Univ er sit y Pr ess, 2002), h lm. 13 6 -141. 116 Bu kan ma ksud m engh idup kan k emb al i a lira n Mu‘ta z ila h, a kan t etap i h al in i dima ksud kan u ntu k leb ih meng int ens if kan m en er ima sumb e r -su mbe r ijt ihad di ka langan umat Is la m s end ir i de m i t er cipt any a ke mba li ga irah i jt ihad d i du nia Is la m. S eyy ed Hoss e in Nas er, Id eals and R eal it ies o f Isl am, ( Boston: Georg e Al l en & Unw in, 19 75), hl m. 100. 117 Asad Tal al, “Bounda r ies a nd R ight in I sla m ic La w’: I ntroduct ion Soc ia l Res ea rch, P ro Ques t (Fa ll 200 3), hlm. 68 3. 118 Abu Abdullah Muh am mad bi n Is ma il, al -Ja mi ‘ as- Sah îh (Be irut: Dâr a s -Sadr, t.th), hlm. 3. 119 Mar ce l A. Bo isard, Hum anis m in I sla m, Indon es ian Ed it ion (Jakar ta: Bu lan B inta ng, 1980), hlm. 110 -120. 99
91
Is la m la hi r di te ngah -t engah masya ra kat yang m en gagungkan su atu benda ya ng dianggap su ci da n dapat m emb er i en erg i be sar da la m ke hidup an m e re ka . Isla m me mb er ikan a lasan yang ras iona l dal a m kons ep tauh id yang d ita war kan k epada mas yara kat lint as mas a. Liha t G.R. Ha wting, Th e I dea of Id ola ta r y and the Em e rgen ce o f Isl am: F ro m Pol em ic to His tor y, (Cambr idge Un ive rs ity Pr ess, 199 9). 121 Dav id Ren é and John E.C. Brie r ly, Majo r L ega l Sys tem s in the Wor ld T oday : An Int rodu ct ion to th e Com pa ra tive Stud y of La w , 3rd ed n. (London: Stev en s and Sons, 1985), hlm. 429. Liha t juga Igna z Goldz ih er, Int rodu ct ion to Is lam ic Theo logy and La w, (N ew J ers ey: P rinc eton U niv er sit y Pr ess, 1 981), h lm . 4-6. 122 Bat ia Su ni l, “S trat eg ic Subv er sions of th e Sac r ed: Th e Cu ltur al P syco logy of Re ligiou s Id ent it ies. ” D at a Base: Bus iness Sour ce El it e , Vol. 12 ( Mar ch 2012), h lm. 60 -75. 123 N ega ra-n egara Arab ha mpi r tida k mung k in ti da k m e ngait kan denga n simbol Is la m sebaga i bagian dar i pri de nas iona l is me y ang m er e ka mi l ik i. A kan t etap i, dalam m asa lah keb ebasan d i da la m be rpolit ik sanga t tert ingga l jauh de ngan bag ian be lahan dun ia la inny a . Ak ibat da ri k ult ur qu asi -teo kr asi yang se r in g dipro mosi kan ol eh pengua sa dengan m engata ska n nama kan simbol -s imbo l ke agama an yang suc i. Bahk an, f re edo m house me mbuat rang k ing da ri ena m negar a Arab ( Iraq, Suda n, Libya, Saud i A rabi a, Somal ia, Syr ia) yang di jad i kan sa mpe l se muan ya t er masu k yang t erbu ruk da la m hal keb ebasa n meng e luar ka n e kspr es i atau p endapat. Far e ed Za kar ia, “Th e R is e of I llib er al D emo cra cy.” Fo rei gn A ff ai rs , (Nove mbe r/ De ce mb er 199 7). 124 Abu al -Hasa n al -Ash‘a ri, A l- Ibân ah ‘an Usûl ad -Di yâ nah , (Beirut: Dâr a l- Kutub a l-‘ I lm iya h, t. th). 125 Mars hal l G. S. Hodgson, The Venture o f Isla m: Cons cien ce and His to ry in Worl d Civi liza tion , (Chi cago and London: Th e U niv er sit y of Chi cago Pr ess, 1974). 126 Car l Sch m itt, Pol it ic al Th eolog y , trans lat ed by G. Sch wab, (Cambr idg e: M IT P re ss, 2005). 127 Al -Bag hdad, K it âb Usû l ad- Dîn, (B ei rut: Dâr a l-Âfaq al-Jaddah, 19 81), 300. 128 R en wi ck. A, ” Antipo l it ica l or just A nti Co m mun ist? V ariet ie s of Dis sid en ce in Ea st -C entra l Eu rope,’ and The i r I mpl i cat ions for the D ev elop me nt of Polit ic al So ciety.” East Eu rop ean P oli ti cs and So cie ti es , 20, 2 (2006), hl m. 28 6 – 318. Li hat juga Ro y. O, Glo bali zed Is lam: The Se ar ch for a Ne w Um mah, (N e w Yo rk : Columb ia U niv e rsit y Pr ess, 2004). 129 Al -Suyû mî, “I nbâh a l-Adh k iyâ’ f î Hayât a l-A nbiy â’ ‘A layhim as -Salâ m,” in Ra sâ’ il l i al -I mâ m al -Ha fiz Jal âl ad-D în as- Suyûm î, ed. Râsh id a l- Kha lî l î (Be irut: al - Mak taba al- ’Acr iy ya, 1431/ 20 09), 137. 130 Set iap peng uasa sangat m e mbutuh kan leg it ima si unt uk m endapat kan peng aku an dar i masya ra kat de m i keb er lang sungan pe me r intahan nya. Hal t er s ebut juga dila ku kan di dala m pe me rintahan Is la m dala m kuru n w akt u yang la ma, l eg iti mas i b iasan ya m enggu n akan mom entu m y ang tep at untu k me mb er ik an efe k yang kuat di da lam sanub ar i rak yatny a. Akan tet api, se jarah me mbu kt ika n betapa be rbahaya ny a suatu l egit i mas i poli ti k, tetap i m engguna kan s imbo l s akra l yang be rlaku d i dala m masy ara kat. Ka re na penguasa yang de mi k ian se ri ng mengg una kan atas nama Tuhan untu k tujuan politik pra ktis. Hancur ny a domina si k e kuasaan ge re ja d i abad p ert engah an d i Ero pa ak ibat da ri p e n ce mar an polit ik yang m engata s nama kan Tuh an. Li hat Fran c is Fuk uya ma, The End o f His tor y and the Las t Man, (Ne w Yor k: the N ew Pr ess, 1992), hl m. 15. 131 Alb rig ht. M, The Migh ty & the A lm ight y: Re fl ec ti ons on Pow er, God, and Wo rl d A ffa ir s, (London: Ma cm i lla n , 2006). 132 Max W eb er, The Natu r e of Char is mat ic Do m inat ion , in Econom y and So cie ty , 4 t h ed, 19 56), 662 - 679. Dic eta k u lang da la m W.G. Ru nc im an, ed., We be r Sel ec t ion in Tr ansla tion, (Ca mbr igd e Un iv ers ity P re ss, 1995), hl m. 225 - 226. 133 F rit hjof S chuon,” Re ma r k on th e Sunnah. ” S tudi es in Com pa ra tive Rel igion , vo l.6.4 (Autum 1 972). 134 Ha k im Kâb ir Abu Ah mad Muha m mad ib n M uha mma d ibn Ah mad ibn Ishaq Nay shabur i Kar abis i, Shi‘ a r Ashâb a l-Ha dî ts, ed. ‘Abd al -‘Az iz ib n Mu ham mad S arhan (K uwa it: Dar a l - Khu laf a & B eirut: Dar a lBasha’ ir a l- Is la mi yyah, 140 5 AH), 108. Liha t juga, Abu ‘Uma r Y usuf ibn ‘Abd Allah ibn ‘Abd a l - Bi rr, A tTa mhîd XV I, ed. Mu stafa ibn Ahmad a l - ‘Ala w i & Muha mmad ‘Abd a l - Kab ir a l-B ak ri (a l- Magh r ib: Wiza ra t ‘Umû m a l-A wqaf wa a l-Sh u’un a l- Is lam iy yah, 138 7 AH), 195. Band ing kan d engan Abu Ja‘ far Muh am ma d ibn Hasan Tus i, Al -Khi lâf 1 ( Qu m: an -Na shr a l- Is lam i I nstitu te, 140 7 AH), hlm. 373. 135 Sya ms ad -D in adh-Dhah abi, Al- Kashi f fî Ma ‘ ri fat man l ahu a r - Ri wây ah fî al -Kutu b as -S it tah I, ed. Muha m ma d ‘A wa mah & Ah mad Muha m mad N am ir al -Khat ib (Jedd a: Dar a l- Q ib lah lith - Thaqafa t a lIsl am iyy ah & ‘Ul um al - Qur’ an Inst itut e, 1413 AH), 288. Banding kan denga n Muha m mad Husayn adh Dhahabi, A t- Ta fsi r w a al- Mufas si run II (B e irut, Dâr Ihy a’ at -T urath a l- ‘Arab i, 2 n d ed., 1396 AH), h lm. 38. 136 Aspe k sos ia l sangat b erp enga ruh t erhadap p e maha man t eks k itab su ci ka ren a sa kra lisas i te rhadapn ya sei r ing deng an kont e kstua l isas i de ngan r ea litas di da lam ma syar aka t. Lihat Yve s La mb ert, “ Re ligion i n 120
92
Mode rn ity as Ne w Ax ia l A ge: Se cu lar izat ion or Ne w R elig ious For ms? ” S ocio logy o f Reli gion, P ro Ques t Soc iolog y, (fal l 199 9), hl m. 303. 137 Ahm ad Al-Ans har i, As- Sû râh wa Ta thhir âtuhâ fî ad -D umgr adi a (Ka iro: al - Mamba ’ah as -Sa laf iy yah, 1980), hlm. 6 3. 138 Abul azi z Sach ed ina, Th e Isl am ic Roo ts of Dem oc ra ti c Plur alis m, (O xford & N ew Yor k: Oxfo rd Un ive rs ity Press, 20 01), hl m. 13. 139 In spi ras i dar i hadit s yang r i wayat kann ya sangat b erp engar uh te rhadap dun ia Is la m se car a umu m. Bahk an, pe rk ataan Nab i Muha mmad Saw. t enta ng seba ik -ba ik ma nus ia yang m emp e lajar i Al - Qur' an da n meng aja r kannya. M e mbuat ka j ian Taf si r sem ak in ma ra k di dala m se jarah Is la m. Lihat I mâm Muha mma d Ibn Is ma i l al -Bu khâ rî, Hadî ts al- Bukhâ rî, (K airo: Dâr Ihay ’a al -Kut ub al -‘Ar abiy yah, t.th), had its no. (463 9). 140 Supaya l eb ih fa i r seba ik nya juga m e lih at hadits d an periwa yatan dar i ja lur ah li bait, lih at Hosse in Modar re ssi, Tr adi tion an d Su rvival: A Bib liog ra phic al Su rvey o f Ea rl y Shi ‘i te L it er atu re, (O xford: One wor ld , 2003), hl m. 94 -9 7. 141 Muha mmad ibn Sa‘d, At- TH abaq at V I, (Beirut: Dar al-Sad ir, t.th). Abu Ishaq Ibrah im ibn Ya‘q ub al Jawza jan i, Ahwal a r- Ri jal, ed. Sayy id Subhi Bad ri S amar ra’ i (Be iru t: ar -R isa lah Inst itu te, 1405 H). Bandi ngka n denga n Abu ‘Ub ayd a l -A jur i, Su ’al at Ab i ‘ U bayd al - Aju ri Aba Da wud Sulay man ibn a l -Ash ‘a th as-S ij ist ani fî Ma ‘ rif at ar -R ij âl wa J arh ihim wa Ta ‘d îli him I, ed. ‘Abd a l-‘A lim ‘Abd a l- ‘Azim B asta wi , (Ma kah: Dâr a l- Ist iqama h, n.d.; Bei rut: ar -Ray yan In stit ute, 1418 H), hlm. 18 9. 142 Ban ya k persya ratan sahîh yang dibua t ula ma hadits u ntuk m enyo rtir per iwayata n yang diasu msikan a kan berg era k t er la lu bebas. Muha m mad ib n ‘Abd ar - Razzâq As wad, Shurû th a r- Râ wî wa r- Riw âyah , (Damas kus: Dâr Tayba, 2007), h lm. 32 -35. 143 K itab al-Mu wa ththa ’ ya ng digu nak an s ebaga i undan g -undang n egara m erupa kan la ngka h r evolusion e r yang di la kuk an ol eh U mar ibn Abdu l Azis unt uk me njawab k ebutu han t erhadap k itab undang - undan g negar a yang l eb ih ap pli ca ble. Jonathan Bro ckopp, Ea r ly Mâli kî La w: Ibn Abd al -H aka m an d His Ma jo r Com pend ium of Ju risp rud enc e, (Le ide n, Boston: Brill, 2000). Yasin Dutton, The Or igin s of Isla mi c la w: Th e Qur ’an, the Muw am man an d Madin an ‘ Am al (Surr ey: C urzon, 1999). Andr eas Gö rk e, e t al, Di e äl tes te n Ber ich te übe r das Le ben Muham mads: da s Ko rpus ‘ Ur wa i bn az -Zuba ir (Pr inc eton, NJ: Darw in Pres s, 2008). Wae l Ha l laq, “ On Da ting Mâl i k’s Mu wa m man.” U CL A J ournal of Isl ami c a nd Nea r Ea st ern La w 1, ( Fal l 2001-W int er 2 002), hl m. 47 - 65. 144 K itab  tsâ r adala h salah satu k itab uta ma yang m enjabark an tentang m ate r i penga jaran yang dib er i ka n oleh Ha san Syaib ani s eorang mur id utam a Im am A bu Hanifah. Car l B roc ke lmann, Ge schi cht e de r Ar abis chen Lit te ra tu r, 1937, h lm. 1: 288 -2 91; id em, 19 43, hlm. 1: 178 -8 0. Sezg in, G eschi cht e d es A rab isch en Sch ri ft tums , h l m. 1:421 -4 33. Abû al -Wafa a l-A fghâ nî ada men jelask an te ntang Has an Sya iban i. Muha m mad ibn a l-Has an as-S haybân î, Ki tâ b al - tsâ r, ed. Abû a l-Waf â al -Afghân î, Jilid 1, (K ara ch i: al Ma jl is a l- I lm î, 1385 H/ 1965 M),hl m. 10- 11. 145 Ada ke san masya ra kat M es ir yang d idom ina si maz ha b Ma lik i (t er utam a s ebe lu m Ima m Sy afi‘î m en etap di sana) m eras a di marg ina lk an ka re na set e lah g rand M ufti Abu Yu suf (wa fat 182 H/79 8 M) tid ak p erna h lag i ada h ak i m yang dia ngka t dar i u la ma M es ir. T ampa knya p e me rintah pus at d i Bag hdad ingi n me la ku kan pe mbar uan hu kum d engan m enga ngka t hak im ya ng bera sal da ri luar M es ir yang be r mazha b Hanaf i agar plu ra li sm e int erna l u mat Is la m m ak in b aik. K et ik a I ma m Syaf i‘ i dat ang ke M es ir t ida k meng ala m i res ist ens i dar i ula ma mazhab di sana, bahk an tidak s edik it me re ka yang du lunya be rma zha b Ma li k i m en jadi mazhab Syaf i‘ i. Hugh K enn edy, “Ce ntr al Gove rn men t and Provin cial E lit es in the Ear l y Abbasid Ca lipha te. ” Bull etin o f th e S chool o f O ri ent al a nd Af ri can Stu dies, 44, (198 1), hlm. 26 -38. 146 Na ma- nam a Kutub as- Si ttah v ers i f iqh pada ma sa Harun a l -R asy id te rdiri da r i; al- Asl, al- Mabsû th, alJâmi ‘ al -Kub râ, J âmi ‘ as -S aghî r, az -Z iyâ dât, as - Siyâ r. Lihat Ban jam in Jok is ch, Isl ami c I mp er ial L aw: Ha ru n al- Rasy id ’s Co dif ic at ion P roj ec t, (Be r lin:W alt er D e G ruy ter, 200 7). 147 Ch er if B ass ioun i and Gama l M. Badr, “T he Sh ar i‘ah: Sourc es, I nte rpr etat ion, and Rule Ma k ing.” U CL A Journa l of Isla mi c & N ea r E ast e rn La w, 1, (2002), hlm. 1 35. 148 Dav id L. John ston, “ Th e Hu man Kh i lafa: A G ro wing Ov er lap of Refo rm is m and Is la mis m on Hum an R ight s Discou rs e?” I sla moch ris tian a 28 (2002), h lm. 35 -53. 149 Muha mmad Mubâra k a s -Sayy id, M anâhi j al -Muhad dit sîn, (Al-Azh ar: Dâ r ath - T ibâ‘ah w a an - Nash r, 198 4), hlm. 1 45 -15 5. 150 R icha rd C . M art in and Ma rk R. Wood ward, D ef ende rs of Re ason in Isla m: Mu‘ taz ilis m f ro m Medi eva l Schoo l to Mod er n Sy mbo l, (Oxfo rd: On e wor ld, 1997). 151 Soua lhi Youne s, “Is la mi c Lega l He rm eut ics: The Co ntext and Adeq uacy of In te rpr etat ion in Mode rn Isl am ic D iscou rs e.” I sla mic S tudie s 41, 4 (2002), hlm. 5 85 -615.
93
Mal co lm H. Ke rr, Isl am ic R efo r m: The Poli ti cal an d Le gal Theo ri es of Muham mad A bduh and Rashi d Ri dha (Univ ers it y of Califor nia Pr ess, 1966). Band ingk an Carl Leon Brow n, The Sur es t Path: The Po lit ic al T rea ti s e of a Nine te enth - Cen tu ry Muslim St at esman, (Harv ard M iddle East ern Monographs 16: Har vard Un iv ers it y Press, 19 67), hl m. 61, 72. 153 Jonathan Bro wn, “ ‘Cr it ica l Rigor Vs. Jur id ica l P rag mat ism:’ How Lega l Th eor ists and Had îth S chola rs Approach ed th e B ac kgro w th of Isn âds in the G enr e o f ‘ Ilâl al -Ha dîth.” Is la mic L aw and So cie ty, Br i ll , Le id en (2004), h lm. 1 - 4 2. 154 As‘ad Abu kha l il, “Agai nst th e Taboos of Is la m: Anti -Con form ist T end enc ies in Conte mpora ry Arab/Is la mi c Thought ”, in Be t ween the S ta te and Isl am , ed s. Char les E. B utte r worth and I. Wi l li a m Zart man (Ca mbr idge, U K: Ca mbr idge Un ive rs ity Pr ess, a nd Washington, DC: Th e Woodro w Wilson C ent er , t.th), hlm. 110 -133. 155 Nag ib Ghadb ian, D emo cr at iza tion a nd the Isla mis t C halleng e in the A rab Wor ld, (Bou ld er, C O: W estv ie w Press, 19 97), 74. 156 Em manu e l Siva n, “T he C lash wi thi n Is la m.” Su rviva l 4 5, 1 (Spring 200 3), hlm. 25 -44. 157 Sal ah seo rang ar sit e k uta ma dal am b idang hu ku m Ebu’ Su’ud pada masa Su ltan Su la iman yang me rupa kan s ala h satu penguasa Tu rk i yang te rmas yhu r kar ena bisa m ena k luk ka n konstant inop el yan g diubah n aman ya men jad i Ista mbu l (kota Is la m). U lam a besar te rs ebut kura ng m endapa t pe rhat ian da r i dunia Isl am u mu mnya, te ruta ma u la ma yang be rasa l dar i Arab. Liha t Colin I mbe r, Ebu’s- Su ‘ud: Th e Isl ami c Leg al T ra di tion, (Stanford: Stan ford Un iv ers ity P res s, 1997). 158 Y i lm az. I, ‘Inte r - Madhab Surf ing, N eo -I jt ihad, and Faith -Bas ed Mov em ent Lead ers ’. In: P. Bearman e t al. (eds.), The Isla mi c Schoo l of La w. Evolut ion, Devolu tio n, and P rog ress, (Camb ridg e, MA: Is lam ic Lega l Studi es Progra m, Har vard U niv er sit y Pre ss, 2005), h lm. 191 -20 6. 159 Hunt Janin, a nd Andr e Kha lm ey er, Isla mi c L aw; The Sha ria f rom Muha mm ad ’s Tim e to th e P res ent (t.th : Mc Far land a nd co, Libra ry Congr ess C lass if ic ation KBP 50, 2007). 160 M. Bader in, “H isto ri ca l and Evolution al Pe rc ept ions of Islam ic Law in a Continua lly Changing Wor ld 6.”The M idd le E ast, London (2009), hl m. 7. Anna C. K orte weg and J enn ife r A.Se lby, Deb at ing Sh ar iah: Isla m, Gen de r, Pol iti cs, and Fa mily Ar bi tr ati on, (Toront o: Univ ers ity of Toronto Pr ess, 201 2). 161 B en jam in Jok is ch, Isla mi c Im pe ria l La w: Ha run al - Rasy id’s Codi fi ca tion P ro je ct, (Be r lin, Wa lt er De G ruyt er , 2007), hl m. 529 - 531. 162 Jonathan B row n, The Canon iza tion o f al - Bukhâ rî an d Muslim (Le ide n: Br ill, 200 7). 163 B i la te rj adi p enola kan t er hadap buk ti y ang te lah d itunju k kan I sla m m ena wa rk an m e kan ism e su mpah dala m bentu k apl ika sin ya. Lihat Ahmad Ibn Ha jar, Fath al-B ar i: Sharh S ahîh al -Bu khâ rî, ver if ied by Abde l Baqi M. Foud, (Ka iro: Sa laf i yyah P ub l ish ing Hous e, 19 92), hlm. 2:32 5. 164 Mas ih kabu r w i layah p emba hasan had its m aupu n sunnah, bahka n tida k ja rang masih te rdapat pema hama n me nya mak an antar a hadits maupun sun nah. Pada period e awa l um at Is lam, ta mpa kny a hadits sang at te rgantung d engan sun nah yang t erb e ntuk dar i komun ita s mas yara kat Mus lim, a kiba t peny ebaran sahab at Nabi Muha mm ad di berbaga i w ilayah. Akan tetap i, belaka ngan pasca pe riod esas i ki tab had its s e lesa i d i a kh ir ab ad k e -4 H ta mpa knya paradig man ya be rba lik, ya itu s unnah dep enden t terh adap hadits. Lihat Ad is Duder i ja, “Evolu tion in the Canonica l Sunni Had ith Body of Lit eratu re an d the Con cept an Auth ent i c Had ith Du ri ng th e Fo rmat iv e Pe r iod of Is la m ic Thought as B ased on R ec en t West ern Scho lar sh ip.” Qua rt er ly A rab L aw, Br ill, Le ide n (2009), hlm. 3. Ada juga tambahan penge rt ia n sunnah deng an m eny esua i kan k em i ripa n dengan f is ik Nabi Muha m mad. Lihat M.M. A l -Aza mi, Stud ies i n Hadi th Metho dolog y and Lit er atu re ( Kua la Lumpu r: Is la mic Boo k Tr ust, 2002), h lm. 6. 165 De wasa in i ada ge ra kan s ek e lompo k M uslim yang ing in m engh idup kan sunn ah buka n hanya da la m bentu k te ks, tetap i dalam pra kt i k sehar i - har i me r eka ini banya k disebu t sebaga i ke lo mpok Jem aa h tabl igh. K elo mpok in i se ri ng m el aku kan p er ja lan an dak wah ha mpir k e se lu ruh dun ia untu k meng hidup kan s unnah y ang di la ku kan o leh Nab i M uh amm ad dan sahabat nya. Liha t M uha mmad Kha l id Masud ( ed.): Tr avel le rs in F aith. Stu dies o f th e T abl îgh Jam ‘a t as a T ransna tion al I sla mi c Movem ent fo r Fai th R ene wal (Le iden: Br i ll 2000). Barba ra D. M etca lf, “ Living Had îth in Tab lig hi Jama‘ at.” JA S 5 2 (199 3), hlm. 5 84 -60 8. 166 Sal vator e. A, “Author ity in qu est ion: Secu la rity, Repu blican is m, and ‘Com muna ut ar is me’ in th e Em erg in g Euro -Is la m ic Pub li c Sphe r e.” Th eor y, Cul tur e & Soci et y, 24, 2 (2007), hlm. 135 -16 0. 167 Gu i ll aum e, A lfr ed, tra ns. Th e Li fe of Muha mm ad: A T r ansla tion o f I bn I shaq ’s Si rat R asul Allah, ( Kara ch i: Oxfo rd Un iv ers ity Pr ess, 20 01). 168 Muha mmad Ibn Sa’d, K it âb a t- lab aqâ t a l-Ku br â, ed. Alî Muha mmad U mar, 11 vo ls. (K airo: Mak tabat a l Khân j î, 2001), h l m. 8:306. Band ing kan: Abû Yûsu f Ya’q ûb b. Sufyân a l - Fasa w î, al -Ma ’r if a w at -T âr ikh , ed. Akra m i yâ al -U mar î, 2 n d ed., 3 vol s. (Be iru t: Mua ssasat ar-R isâ la, 1401/ 1981), h lm. 2:564. 152
94
Pe ri sti wa s ala h seo rang Ar ab Badu w i yang m engu njung i Nabi Mu ham mad y ang w akt u it u dit e man i sahabat-sa habat ut ama nya me la ku kan p e rbuatan yang ku rang pan tas d i mas jid ka r ena ke nc ing d enga n senga ja di d ala m mas jid. Pe rbuata n te rs ebut m e mbuat ma rah U mar ibn a l - Khatt ab yang ha mpi r me m enggal k epal a seor ang Arab Badu w i it u. Per ist iwa t ers ebut m engga mba rka n bahwa ada juga sah abat Nabi ya ng ku rang te rs entuh d engan pe radaban za man, seh in gga Nab i Muha mmad Sa w. juga me mb er ik an penga jaran t entang Isl am yang s esua i deng an k eh idu pan me re ka. Lihat Abu Abdu lla h Mu ham mad ib n Isma i l, Al -Jâ mi ‘ as- Sahîh, (B ei rut: Dâr as -Sadr, t.th). 170 Pe ra wi had its da r i ja lu r per e mpuan mas ih dia ngga p tabu, padaha l bany ak s e ka li p er emp uan Mus li m pada era Nab i Muha m mad yang ter libat dala m pe rbagai pe rsoa lan dengan hu ku m meng aju ka n per masa lahan m er e ka k epadanya. A kan te tapi, atmos fir ma rg ina lis asi te rhadap pe re mpuan pada mas a itu me mbuat p intu mas uk ja lu r had its t eru ta ma h any a ter leta k pada istr i - ist r i, khu susnya Ais yah da n Hafsah. Lihat Ju li e Scott M e isa mi, “W r iting M edieva l W omen: R epr ese ntat ions and M isr epr es entat ions, ” in Wr it ing and Re pr esen ta tion in M edi eval I sla m , ed. Julia Bra y, (Ne w Yor k: Routledg e, 2006), hl m. 74. 171 Muha mmad Abû Za hra, Al -Ja rî mah w al- þUqu b fî a l-F i qh al-Is lâ mî, (Ka iro: Dâr a l-F ikr a l-þArab i) at 1/212. Abdulk ade r O wdah, A t- Tash rî þ al- Jinâ ‘î a l- Islâ mî, 1st e dn. (Beirut: Mu’ass asah ar -R isâ lah), hlm. 1:164. 172 K ri ti kny a yang sa ngat ta ja m te rhad ap Jos eph Sch ach t dengan m enamp ilkan bu kti yang sa ngat konk re t bahwa p er k embang an hu ku m Is la m i tu t idak la hir pad a masa a wa l abad k e -2 H, me la in kan pada mas a Nabi de ngan dit emu kan nya sah ifah Ibn Razzaq. Hara ld Motzk i, The O rig ins of Isl ami c Ju r isp ruden ce : Mec can F iqh be fo re th e Cl assi cal S chools , tra ns. Ma rio n H. Katz (Le iden: B r ill, 2002), h lm. 1 - 49. 173 Avi Rub in, “Lega l Borro w ing and i ts Impa ct on Ot toman Legal Cu ltur e in th e Lat e N in et ee nth C entu ry. ” Com muni ty and Chan ge, C amb ri dge Unive rsi ty , (200 7), hlm. 2 79. 174 Amn est y Int erna tiona l 200 8, Campa igning to End Stoning in Iran. ht.tp://w w w.amn est y.org/en/n e ws and-up-dat es/r eport/ ca mpaign ing -end -ston ing - Iran -2 0080115 (a cc ess ed 11Jun e 2008). 175 W.C. Smit h: Mode rn Isl am in Ind ia. A Soc ial Ana lysis , (Lahore: Muh.As hraf 1969). K em udia n repr int; A. Syed: Pak ist an, Isla m, Poli ti cs and N at ional Se curi ty, (Lahore, 198 4). Banding kan de ngan Char le s H. Ken ned y, “To wards th e Def in it ion of a Mus lim in an Is lamic Sta t e: Th e Case of Ahmad iy ya in Pa k istan, ” in: Dhi re ndra Va jpe yi a nd Yoge ndra Ma lik (ed s.): Reli gious and Ethn ic Mino ri ty Poli ti cs in South As ia , (Mar yla nd: Riv erda l e and London: Jaya Publish ers, 19 8 9), hlm. 71 – 10 8. 176 June Sta rr and Jane F. Col l ie r, eds., Histo ry an d Pow er in the Stu dy of L aw, (Itha ca: Corn ell Un iv ers it y Press, 198 9), hlm. 30 2 – 19. Lihat juga H enry Toledano, J udici al P ra ct ic e and Fa mil y La w in Mo roc co, (Ne w Yor k: Col umb ia Uni ve rsi ty Pr ess, 1981). Lihat Dav id P owe rs, L aw, So cie ty, and Cul tur e i n the Magh rib , 1300– 1500 (Ca mbr idg e: Cambr idg e Un iv ers ity P ress, 2002). Band ing kan de ngan Law re nc e Rose n, Th e Justi ce o f Isl am, (N e w Yo rk: Oxfo rd Un iv ers ity Pr ess, 20 00). 177 Bus k ens, L.,”Sh ar ia and Nat iona l La w i n Moro cco,” P ape r pr esen ted to the Annu al C on fe ren ce o f the L aw and So cie ty Ass oci at ion in Mont rea l (28 May -1 June 20 0 8). Forthcom ing in: Otto, J.M. et a l. (eds.), Shari a and Na tion al La w (Amst e rdam: Ams te rdam Univ e rsity Press). Br e ms. E, Human Ri ghts: Un ive rsal ity a n d Dive rsi ty, (Th e Hagu e: Ma rt inus Ni jhoff, 2 005). 178 Al -Q arâdha w î, Ap pro achin g the Sunna . Tr ans lat ed by Jamil Q ur esh i (Wash ington, D.C.: The Int e rnat iona l Inst itut ion of Is la mi c T hought, 2005). 179 An- Na waw i, An -N aw aw i’s Fo rty Had ith . T rans lat ed by Ezzed in Ib rah im and Den ys Johnson-Da vi es, (Damascu s: Th e Hol y Kor an Publ ish ing Hous e, 197 6). 180 Pet er s. Rudolph, C rim e and Punishm ent in Isl am ic La w, (Cambr idg e: Camb ridg e Un iv ers ity P res s, 2005). Bandi ngka n Euben, R., & Zama n. M, Int roduct ion. In R. Euben & M. Zaman (Eds.), Prin ce ton Read ings in Isla mis t though t: T ext s and Con tex ts f ro m al - Bann a to Bin L aden, (Pr in ceton: Pr in ce ton Un iv ers ity Pr ess , 2009), hl m. 1 -4. 181 N i kk i Kedd ie, “P robl e ms in th e Study of M idd le Eas tern Wo me n.” In te rna tiona l Journ al of Mi ddl e E as t Stu dies 1 0, no. 2 (May 197 9), hl m. 225 -4 0. 182 T er jad i parad ig ma hu kum ya ng se la ma in i sudah d ianggap mapan di da la m suatu komun ita s se ir ing dengan pe r ke mbangan d ina mi ka d i dal am masya ra kat. Lihat Sally Eng le M e rry, “An thropolog y, La w an d Tran snat iona l Proc ess es.” A nnual Revi ew o f An thro polo gy 2 (1992), hlm. 364. 183 Ebrah i m Moosa,” ‘ Th e Poe ti cs and Po litics of La w afte r Emp ir e:’ Read ing Wo m en’s Righ ts i n th e Contestat ion of Law. ” U CL A Journ al of Isl ami c and Nea r East ern La w 1 (Fall/W int er 20 01 -2 002), hl m. 1 46. 184 Liha t Jo an V in cent, “Contou rs of Chang e: Agra rian Law in Co lon ial Ugand a, 189 5 – 1962,” in Jun e Sta rr and Jane F. Col l ie r, eds., “ His tor y and Po we r in the S tud y of La w ”, (It haca: Co rne ll U niv er sit y Pr ess, 19 89), 164. Lihat juga Le wis, R. A., & Spani er, G. B, T heor iz in g about the Qua lity and St ability of Ma rr iag e: I n 169
95
W. R. Burr, R. Hi l l, F. I. Ny e, & I. L. R ei ss (Eds.), Conte mpo ra ry Th eor ies a bout th e Fa mily , Vo l.2 (Ne w Yor k: Fr ee, 1 976), hl m. 264 - 295. 185 I. Bant e kas, “R el ig ion as a Source of Inte rnat iona l La w” , in J. Rehman et a l. (Eds.), Religion and Hum an Righ ts: A Cr it ica l E xam ina tion o f Isl ami c P ra ct ic es, (Leiden: Br ill, 20 07), hlm. 143. 186 Muha mmad Abdu h sangat m enyada ri k erug ian y an g men impa u mat Is la m b ila t e rus m en ingga l kan pem i ki ran r asion al y ang te lah d i ke mbang kan o le h M u‘tazila h di da la m se jar ah Is la m. Lihat M. Ke rr , Isla mi c R efo r m: Th e Po lit ic al an d L ega l Th eor ies o f Muhamma d A bduh an d R ashid Ri da, (B er k el e y Univ er sit y Pr ess, 1966). Lih at juga F. Voge l, “Clo sing o f the Door of I jt ihâd and th e Applicat ion of th e La w.” A me ri can Jou rna l of I sla mi c So cia l S cie nce s , 10 (1993), hlm. 399. 187 May er, A.E, Isla m and Human Righ ts: T ra di tion an d P olit ics, (Bou lde r: We stvie w Pr ess, 1995). 188 M. Fade l, “ Th e Soci al Logi c of Taq l îd and th e Rise of the M uk hatasa r.” Is la mic La w & S oci et y , 3 (1996), hlm. 1 93. 189 R. P ete rs, Cr im e an d Puni shmen t in Is la mic La w: The ory and Pr ac ti ce f rom the Si xt een th to the T wen ty Fir st Cen tur y, (Cambr idg e Un ive rs ity Pr ess, 200 6). 190 B. Johanse n, ”Apostasy as Ob j ect iv e and Depe rsona lised Fac t:’ Two Egypt ian Court Judg ment s.” So cia l Res ea rch , 70, 687 (2003), h lm. 694. A.A. An -Na’ im,“ ‘The Is lam ic La w of Apostasy and it s Mod er n Appli cab il ity:’ A Cas e fro m th e Sudan.” Rel igion , 16 (19 86), hlm. 19 7. 191 I. M.N. Al -Jubour i, “Histo ry of Isla m ic Philo sophy w it h a View of Gr ee k Philo sophy and Early Histo ry of Isl am.” Autho rs on L ine (2004). 192 Be in in, J., & Stork, J. (Eds.), Politica l Isl am, Ess ays from Mi ddl e Eas t R epo rt, (B er ke ley: Un ive rs ity of Cal iforn ia Pr ess, 19 97). 193 Mars hal l, P. (ed.), Rad ic al Isla m’s Ru les: The Wo rl d - Wide Sp re ad o f Ex tr em e Sh ar i‘ a L aw, ( Lanha m, MD: Row man & Li ttl ef i eld, 20 05). 194 Muha mmad Ib n Sa’d, Kitâb al -la baq ât al -Kub râ, ed. Alî Muha mm ad Uma r, 11 vols, (Kairo: Mak tabat al Khân j î, 2001), hlm. 8:306. Lihat j uga Abû Yûsuf Ya ’qûb b. Sufyân al-Fasa w î, Al-M a‘ ri fa w a at- Tâ ri kh , ed. Akra m iyâ a l-U ma rî, 2 n d ed., 3 vols (Beiru t: Mu’ass asa t ar -Risâla, 140 1/1981), hlm. 2:564. Banding ka n dengan Abû Ah mad Abda llâ h Ibn Ad î, Al -Kâ mil fî DHu‘a fa ar -R ijâ l, 7 vols, (Be iru t: Dâr a l-F i kr , 1405/198 5), hlm. 1:69. Al-Sâ k im an - Nay sâbûr î, Ma’ ri fa t ‘Ulû m al -H adî th, ed. Mu’a im Susayn (Hyd erabad : Dâirat a l- M a’âr if a l- Uts mân iyya, 138 5/1966), h lm. 78. 195 Ha rald Motz k i, Th e Or igins of Isla mi c Ju ris pru denc e : Mec can F iqh b efo re the Cl assi cal S chools, t rans. Mar ion H. Katz (Le ide n: Br il l, 200 2), hl m. 1 -49. 196 Ha rald Motz k i sa lah s eora ng pe me rhat i had its y ang se karang m ene tap di Fra nkf urt me rupa kan soso k il muan yang se car a kaed ah ke i lm iah an me mbanta h ar gume n koleganya dar i Bara t. Ha l ya ng be r kai ta n lah irn ya hu kum Is lam pada a wa l abad k e - 2 H den gan mun culnya kod if ikas i hadits. Bu kti ad any a manus kr ip t enta ng hu ku m Is la m s em asa Nabi Muha m mad Sa w. m e mbantah argu me n yang d ibangu n oleh Jos eph Scha cht dan p endu kungny a. Hara ld Motz ki, “Author and His Wo r k in Islam ic Lit eratu re o f the F i rst C entu ri es: th e Cas e of Abd ar - Razzâq’s Muca nnaf.” J e rusale m Stu dies in Ar abi c an d Is la m, 2 8 (2003), hl m. 171 -2 01. 197 Ban ya k di ka langan k r iti kus Ba rat yang m erag uka n orig ina litas huk um Is la m yang dibangun dar i had its Nabi Muha m mad Saw. ka re na I mam Ma lik se ndiri d en gan kit ab al-Mu wa ththa ’ ka rya ma ste r pi ec e-ny a banyak t erdap at sumb er had its ya ng l ema h. Ima m Ma lik se ring dijadikan f igu r ru ju kan dalam me ragu ka n ek sist ens i had its d engan a lasan u la ma had its yang r ela tif de kat de ngan ma sa Nab i juga tingg al d i Mad inah. Padaha l, sahabat sebaga i pe warta had its se ja k masa Nab i M uha mmad sa ja sudah m eny ebar k e sel uruh p enj uruh n ege ri, t eruta ma untu k k eg iatan da kw ah. Argum en k ritikus Ba rat te rs ebut te rk esa n le mah b i la ha n ya m e ruj uk pad a k itab al-Mu wa ththa ’ I mam M alik. Lihat Jona than Broc kopp, Ear ly Mâ li k î law: Ibn Abd al -S aka m an d Hi s Ma jo r C omp endiu m o f J urisp rud enc e, (Leid en, Boston: B rill, 200 0). Yas i n Dutton, O rig ins of Isl am ic La w: the Qu r¾ân, the Mu wat htha’ and Ma din an ‘A ma l, (Surr ey: Cur zon, 1999) . Ke mud ian band ing kan denga n Wae l B. Hallaq, “ On Da ting Mâlik’s Muw am ma.’ UC LA Journ al of Is la mi c and N ea r E ast ern La w 1, (Fal l 20 01 -W int er 2 002), hlm. 47 -65. 198 I ma m Ma l ik r e lat if l ebi h mudah da lam p ene r imaa n suatu hadits ya ng ke mud ian dikat egor ikan seb aga i hadits dha’ îf o l eh u lam a se te lahn ya. As -Sa khâ w î, M uha mmad ibn ‘Abd ar - Rah mân, F ath a l-Mughî th Sha rh Alf iya t al -Had îth , ta khr î j wa ta ’l îq: M uha mmad Muh am mad ‘U waydh ah, (Be ir ut: Dâr al -K utub al -‘ Ilm iyyah , 1993) C. I, hl m. 360. 199 G eorg e M akd is i, R elig ion, La w an d Le arn ing in Clas si cal Isla m, (Hamps hire, U K: Var ior um, 199 1). 200 Ibn Ha jar a l-’A sqal ânî, Tah dhîb a t- Tahdh îb. Ed. Mus thafâ ‘Abd a l- Qâd ir ‘A tâ. B eirut: Dâr al -Ku tub a lIl m iyya, 19 94). Lihat juga Ibn Sa’d . Muha m mad, A t- Ta baqâ t al -Kub râ, Ed. I hsân ‘Abbâs 9 (B eirut: Dâ r Sâdir., 1960 -196 8).
96
B rown. Jonathan, The Canoniz at ion of a l -Bu khâ rî an d Muslim: The Fo rm at ion and Fun ct ion of the Sunn î Hadî ts C anon, (Leid en: E.J. Br il l, 200 7) 202 Ses eor ang yang me ndapat kan sebua h hadits, a kan tetap i tida k pern ah terd et ek si di kitab - kit ab hadit s yang uta ma m aka dap at dipa sti kan hadits itu pa lsu. K ecu rig aan Joseph S cha cht da lam r entang wa kt u yang pan jang abad k e -2 H sa mpa i abad k e-5 H baru d ila ku kan k eg iatan yang int ens if un tu k me mbe rs ih kan had its -h adit s ma wdu ‘ seh ingga usa ha in i mas ih d iragu kan h asilny a. M ena rikny a as -Si raz i tida k me ne kan kan asp ek r asion al da lam men er ima h adits diba nding kan me mpe r m asa lah kan apak ah hadits t ers ebut ma r fu‘ ataupun m aw quf. Ka ren a pada dasarnya pr ins ip ras iona l in i bisa digu na kan untu k mend et e ksi keb ena ran suatu had its jangan ha nya be rd asar kan k la im ma rfu ‘ maupu n ma wquf. Ah mad al Ghum âr î, Al -Ma thnûnî w al B at thâ r f î N ahr al - ‘An îd a l Mi‘ thâr at -T â‘ in f î m â S ahha m in as - Sunan wa l Âtsa r ( Kai ro: al- Ma mba’ a al -Is lâ mi yya, 135 2/1933), h lm . 34. 203 Bag i u lam a had its, pena mbaha n pe raw i had its t ida k la h me lema hka n aut ent isitas suat u hadits, seba l ik nya mak in m enguat kan de ra jat su atu had its. Lihat H erb ert Be rg, Th e Dev elop men t o f Ex eges i s in Ear ly Isl am : The Deb at e Ove r the Authen ti ci ty o f Mus lim L ite ra tu re f rom the Fo rm at ive Pe riod, ( Rich mond: Curzo n, 2000). 204 Ass mann, Re ligio n and Cultu ra l Me mo ry, Ten Stud ie s. Tra ns. Rodn ey Liv ingston e, (Stanfo rd: Stanfor d Univ er sit y Pr ess, 2006). 205 B ir k ela nd. Har ris, Old Mus lim Op posi tion Again st Int er pre ta tion o f the Kor an, (Os lo: Jacob Dybwad, 19 55). 206 Wa laupun p iha k Mu sl i m me ngk la i m piha k Ba rat te la h gagal m eny erang au tent is itas had its bag i m er e ka per iw ayatan yang di la ku kan pada masa Abbas iah t etap men unjuk kan k ele mahan da ri au ten tis ita s hadit s. Sete lah itu, piha k u lam a tampa knya ing in m emba ntah thesis Joseph Sacht t ers ebut. Lihat Ah mad Ib n Haja r, Fath al- Ba ri: Sha rh Sah îh al -Bu khâr î, ver if ied by Abdel Baq i M. Foud, (Ka iro: Salaf iyy a h Publ ish in g House, 199 2), hl m. 2:325. 201
97
BAB V REVITALISASI HADITS SEBAGAI STATUTA HUKUM ISLAM TANPA KASTA A. Korelasi Fiqh dan Hadits dalam Membentuk Hukum Hadits adalah sumber kedua setelah al-Qur’an yang diakui memiliki otoritas yang mengikat bagi setiap muslim. Akan tetapi, dalam tataran pelaksanaan terdapat perbedaan perlakuan yang mencolok antara satu hadits dan lainnya disebabkan perbedaan persepsi dalam menggunakannya sebagai sumber hukum. 1 Hadits merupakan tafsiran semantik terhadap sunnah, juga sebagai instrumen penafsir al-Qur’an. Perawi awal (sahabat) merupakan orang-orang yang diakui sebagai pihak yang tidak memiliki pretensi dalam menafsirkan sunnah. Sunnah dalam perspektif sosial merupakan manifestasi dari dua pendekatan, yaitu supra dan infra. Pendekatan supra ialah Nabi Muhammad Saw. melakukan intervensi kenabiannya kepada masyarakat, baik yang bersifat ibadah maupun budaya. Intervensi dalam masalah ibadah berkaitan dengan ketegasan Islam dalam masalah tauhid dan klaim syariat samawi yang menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya.2 Intervensi dari segi budaya ialah ketika Nabi melakukan politik infiltrasi terhadap kode moral yang sudah disepakati untuk menjadi hukum. Ketegasan Islam dalam masalah tidak boleh mengangkat nasab yang berasal dari anak angkat, menikahi bekas istri bapak, dan juga memberi legitimasi dalam halhal yang berkaitan hukum yang baru pada masa itu, seperti adanya bagian waris bagi perempuan, penghapusan budak dalam bingkai humanis.3 Pendekatan infiltrasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. dengan melakukan adopsi terhadap nilai-nilai yang sudah ada apabila dipandang masih memiliki nilai moral yang tinggi,4 seperti melegalkan sistem diyat yang telah berlaku berabad-abad lamanya dalam sistem masyarakat Arab, dipandang memiliki implikasi positif dalam menghantarkan pesan moral kepada masyarakat.5 Sebenarnya Nabi Muhammad Saw. tidak pernah berniat membeda-bedakan antara satu hadits dengan hadits yang lain, akan tetapi dalam perjalanan sejarah hadits yang berasal dari satu sumber yang sama mengalami klasifikasi. Hal itu menimbulkan hierarki hadits maupun kitab-kitabnya yang terjadi akibat persepsi yang berbeda dari ulama hadits. Klasifikasi itu muncul disebabkan adanya tafsiran perawi terhadap sanad maupun matannya. Hadits yang merupakan representasi dari kuatnya jejak rekam terhadap segala hal yang menyangkut sosok Nabi Muhammad Saw. sebagai penyampai risalah tentunya memiliki kekuatan untuk menjadi rule of conduct yang bersifat eternal.6 Ada paradigma yang umum yang berlaku di dalam kehidupan ini bahwa sejarah selalu berulang. Karena itu, tidak mungkin al-Qur’an dan hadits dijadikan pegangan hidup umat Islam di dalamnya yang banyak memuat pesan-pesan moral berasal dari umat terdahulu bila tidak memiliki esensi kesamaan peristiwa dengan masa yang berikutnya. Hanya saja dalam peristiwa dan cara merespon suatu peristiwa tersebut berbeda antara satu zaman dengan zaman yang lainnya. Manusia tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tatanan nilai yang ada di tempat dia hidup, tatanan nilai bisa meliputi dari nilai-nilai moral yang sudah dianggap umum maupun nilai-nilai lokal yang menjadi patron berprilaku di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua nilai-nilai tersebut sangat penting dalam menjaga keseimbangan di dalam masyarakat sehingga dapat dilihat divine message (al-Qur’an dan hadits). Sering sekali teks nas memperkuat nilai moral yang umum serta menjustifikasi nilai-nilai lokal yang dianggap dapat memberikan kontribusi yang besar dalam menjaga ketentraman di masyarakat.7 Hal tersebut dapat dibuktikan banyak dari perilaku-perilaku dari masyarakat Arab pra-Islam tetap dipelihara, bahkan diberi legalitas untuk mempraktikkannya.
98
Pada dasarnya, Hukum Islam menganut dua azas sekaligus seperti yang dikenal di dalam istilah hukum dewasa ini, yaitu azas legalitas formal dan azas non-legalitas.8 Bila dalam hukum konvensional dikenal istilah constitutum dan constuentitum, sebelum azas itu dirumuskan Muhammad Saw. sebagai seorang Nabi telah memberikan kontribusi di dalam merumuskan azas-azas hukum tersebut. Prinsip legalitas dari pendekatan supra dengan menetapkan hukum yang baru, baik itu melakukan pembatalan terhadap nilai-nilai hukum yang selama ini dipraktikkan, juga dengan melakukan penetapan hukum baru di dalam masyarakat.9 Islam juga mengakomodir praktik-praktik hukum yang sudah ada di dalam masyarakat hal tersebut Islam sangat mengapresiasi nilai-nilai lokal yang mengandung kebajikan. Secara tidak langsung mengakui kebenaran juga bukan dimonopoli oleh wahyu semata bisa juga diperoleh dari diri manusia.10 Sunnah yang menggambarkan tafsiran wahyu yang diterjemahkan di dalam prilaku Nabi Muhammad Saw. sering tidak direspon secara seimbang dalam periwayatan hadits. Penyebutan hadits mutawatir dan ahad merupakan gambaran ketidakseimbangan orientasi periwayatan hadits, yang menggambarkan segmen dari sunnah tertentu lebih dihargai dibandingkan segmen lain di dalam sunnah. Hadits mutawatir yang lebih menekankan aspek kuantitas walaupun aspek kualitas juga diperhatikan sering dianggap yang paling kuat sehingga hadits-hadits yang bersifat ibadah komunal yang sering berstatus sebagai mutawatir. Sementara itu, sunnah yang berisikan di luar ibadah komunal sulit untuk mencapai derajat mutawatir meskipun sanadnya sahih paling hanya menempati status hadits ahad.11 Hierarki dan dikhotomi hadits yang bermatankan tentang ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah yang terdapat dalam al-Kutub as-Sittah menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam menilai komposisi hadits. Penilaian tersebut gambaran dari kondisi masyarakat ketika hadits dibukukan. Ulamaulama yang dikategorikan sebagai mujtahid mutlak, seperti Imam Syafi‘i, Imam Abu Hanifa, Imam Malik, ataupun Imam Hanabilah, tidak akan mungkin bisa menjadi mujtahid mutlak bila mereka dilahirkan pasca kodifikasi kitab-kitab hadits telah mapan setelah abad ke-5 H.12 Kemampuan berijtihad yang mereka miliki tidak akan berpengaruh apabila terjadi pemasungan dalam menggunakan sumber-sumber hadits yang hanya berpatokan dengan kriteria yang disusun di dalam al-Kutub as-Sittah. Kebebasan menggunakan sumber hadits akan melahirkan kreativitas berijtihad yang tinggi dari ulama fiqh, karena lebih berani berijtihad dalam hal-hal yang selama ini di luar tema-tema dalam kitab-kitab hadits.13 Banyak hadits-hadits yang dikategorikan dha‘îf disebabkan pendekatan yang terlalu menekankan aspek eksotoris semata, padahal mengandung pesan moral yang tinggi.14 Karena pendekatan penilaian kelayakan diterima atau tidak suatu hadits sangat tergantung dari kondisi zaman awal kodifikasi hadits. Kitab-kitab hadits selalu mengikuti wacana di dalam fiqh sehingga meski tidak dikatakan secara eksplisit, akan tetapi pendekatan penilaian secara fiqh sangat jelas terasa. Kisah tentang bertemunya Khaidir dan Nabi Ilyas setiap tahun dalam pelaksanaan ibadah haji setiap tahun sampai hari kiamat, sering dianggap sebagai matan dha‘îf bahkan mawdu.‘ Kisah tersebut bila dipahami secara aspek esotoris memberi pesan moral bahwa manusia biasa bisa mencapai pengetahuan, bahkan lebih sebagai seorang Nabi bila terus-menerus berusaha untuk mengembangkan potensinya.15 Revitalisasi hadits sebagai sumber hukum Islam artinya melakukan pemberdayaan kembali haditshadits secara adil yang terdapat di dalam teks-teks yang dianggap sebagai korpus hadits yang sudah diakui. Terlalu fanatik dalam menggunakan kitab hadits tertentu sehingga dapat menyulitkan umat Islam sendiri dalam merespons hal-hal yang dihadapi di dalam keseharian hidup. Realitas sosial umat Islam sangat berbeda-beda antara satu generasi dengan generasi yang lain. Demikian juga antara satu wilayah dengan wilayah lainnya sehingga penggunaan perspektif satu sumber hadits yang dianggap sudah mapan akan mempersulit dalam merespons masalah.16 Ulama fiqh selama ini kurang memperhatikan umat Islam ketika berada dalam posisi minoritas di dalam suatu negara. Masalah-masalah seperti mengenakan jilbab/hijab, memilih pemimpin dari golongan non-Muslim adalah segelintir permasalahan yang dihadapi umat Islam ketika berada dalam posisi minoritas. Selama ini, kitab-kitab fiqh ditulis oleh ulama yang tidak merasakan
99
kondisi marginal yang dirasakan oleh sebagian umat Islam. Seorang Ibn Taymiyyah dianggap sebagai seorang yang kontroversial ketika dia mengatakan lebih baik memiliki seorang sultan/penguasa yang Muslim walaupun zalim daripada umat Islam tidak memiliki penguasa. Pernyataan ini disebabkan ia merasakan sendiri hidup di masa terjadinya invasi Mongol atas wilayah Islam sehingga mengerti situasi ketika itu.17 Selama ini, kajian fiqh kontemporer sangat pasif, karena produk-produk hukum yang dikeluarkan biasanya setelah praktiknya sudah berlangsung lama di dalam masyarakat sehingga diperlukan justifikasi fiqh terhadap masalah tersebut. Kasus dalam perbankan konvensional sudah bertahun-tahun dipraktikkan oleh umat Islam, baru kemudian pada tahun 1970-an berdiri Bank Islam pertama dan untuk kasus Indonesia Bank Muamalat berdiri pada tahun 1996 menandakan bank berbasis syariah pertama yang ada di Indonesia.18 Walaupun bank-bank berbasis Islam sudah bermunculan tidak membuat berhenti sebagian umat Islam untuk tetap melakukan transaksi dengan perbankan konvensional hal ini disebabkan adanya pemahaman yang menganggap sama esensi pelayanan keduanya hanya bedanya terletak dalam bentuk formalitas semata.19 Terkadang produk hukum fiqh, baik berupa fatwa kelembagaan maupun individual, tidak begitu dihiraukan oleh umat Islam, karena urgensinya dianggap kurang.20 Untuk mencari justifikasi hukum terhadap masalah-masalah sosial hanya merujuk pada kitab Sahîh al-Bukhârî tentu akan mengalami kesulitan sebagai hierarki pertama dalam al-Kutub as-Sittah. Karena itu, perlu adanya perubahan paradigma terhadap penggunakan kitab-kitab hadits yang ada. Paradigma yang dimaksud di sini dengan menganggap kitab-kitab hadits yang ada sebagai statuta hukum Islam tanpa kasta. Artinya, hadits-hadits yag terdapat di dalam kitab hadits standard dipandang sebagai statuta hukum rujukan terhadap permasalahan hukum yang ada. Kitab-kitab hadits yang bisa dijadikan sumber hukum rujukan adalah kitab-kitab hadits yang lahir sebelum abad ke-5 H. Kitab-kitab hadits yang masuk dalam kategori al-Kutub at-Tis‘ah juga bisa dijadikan sumber hukum, termasuk juga kitab-kitab hadits yang berasal dari golongan Syiah. Ketidakadilan dalam penggunaan sumber hukum di dalam Islam ditengarai sebagai salah satu penyebab kemunduran di dalam berijtihad. Tidak saja adanya dikhotomi hadits dari sumber Sunni dan Syiah juga bias terlalu fanatik terhadap mazhab tertentu membuat stagnasi dalam berkarya. Hal itu juga disebabkan oleh pembatasan terhadap penggunaan sumber hadits yang menjadi sumber hukum yang ada. Akibatnya, dalam beberapa kasus akan sulit membedakan antara tuntutan norma dengan realitas yang ada.21 Di Indonesia, walaupun mayoritas masyarakatnya Muslim, akan tetapi negaranya bukan negara Islam sehingga dalam beberapa masalah akan mengalami kesulitan bila tidak melakukan ijtihad hukum yang benar. Dalam masalah PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) misalnya, sering sekali nilai normatif yang selama ini diyakini berbenturan dengan kenyataan yang ada, karena tidak jarang calon pemimpin kepala daerah berasal dari golongan non-Muslim.22 Selama ini, informasi tentang keharaman untuk memilih pemimpin yang berasal dari non-Muslim sudah dianggap final di samping disebabkan nas alQur’an yang sudah jelas juga pendapat beberapa fuqaha yang mengharamkan memilih pemimpin yang berasal dari golongan non-Muslim. Kenyataannya, tidak jarang umat Islam harus memilih pemimpin atau kepala daerah yang terdapat unsur non-Muslim, karena itu perlu adanya penafsiran ulang terhadap permasalahan tersebut dengan mengambil rujukan hadits maupun ulama yang cocok dengan kondisi seperti itu.23 Walaupun pendapat tersebut dianggap minor, paling tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Tidak jarang persoalan-persoalan hukum yang selama ini sulit didekati dengan pendekatan fiqh, karena hanya terpaku pada sumber-sumber nas atau pendapat ulama yang sudah umum sehingga ketika menghadapi persoalan harus ada keberanian intelektual untuk menggunakan sumber hukum minor yang bisa memberikan solusi.24 Al-Muwatta’ salah satu kitab fiqh yang dipercaya memiliki semangat untuk memberikan alternatf hukum pada zamannya. Solusi hukum amal ahli Madina tampaknya dilakukan
100
sebagai langkah praktis untuk menerjemahkan nas dalam kehidupan sehari-hari.25 Bagi Imam Malik, Nabi Muhammad Saw. dan sahabat telah melakukan filter terhadap budaya-budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga amal Madinah sudah menjadi sunnah hidup. Walaupun belakangan ada beberapa amalan ahli Madinah yang dikutip terdapat di dalam kitab al-Muwatta’ tidak sedikit yang kontra dengan hadits.26 Sahîh al-Bukhârî yang dikenal sebagai kitab standard hadits diakui memiliki tingkat validitas yang tertinggi di kalangan Sunni dibanding dengan kitab-kitab hadits lainnya di dalam tingkatan al-Kutub asSittah. Kitab ini dikenal sebagai kitab hadits karena banyak memuat hadits-hadits yang diklaim sebagai kumpulan hadits-hadits sahîh. Kitab ini memuat 7300 hadits, setelah ditahqiq di dalam kitab ini banyak melakukan pengulangan terhadap hadits-hadits yang ada sehingga jumlah hadits yang sebenarnya hanya berjumlah 2762 hadits.27 Komposisi kitab Sahîh al-Bukhârî yang banyak menyerupai bab-bab di dalam kitab fiqh menimbulkan asumsi lain bahwa kitab ini juga bisa dikategorikan sebagai kitab fiqh. 28 Urgensi untuk bisa mengidentifikasi kitab sahîh ini sebagai kitab hadits atau fiqh ini penting, karena berdampak terhadap konstalasi di dalam hukum Islam. Sangat naif apabila Imam al-Bukhari mengklaim hadits-hadits yang di dalamnya sebagai hadits-hadits yang bersifat sahîh disebabkan dia juga ingin mengarahkan suatu pendapat hukum atas hadits tersebut. Alangkah naifnya bila ruler pembuat kriteria tentang kesahihan suatu hadits kemudian juga bertindak sebagai player berijtihad dalam masalah-masalah fiqh.29 Hal ini yang membuat kerancuan dalam berijtihad di kalangan ulama fiqh, terutama setelah kodifikasi kitab-kitab hadits standard yang dikenal sekarang ini. Disebabkan oleh terjebak dengan kriteria kesahihan hadits-hadits yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah, terutama dengan Sahîh al-Bukhârî. Sementara itu, mereka imam-imam hadits juga berusaha memposisikan diri mereka sebagai mujtahid dalam merumuskan hukum tentang sesuatu. Sebenarnya, ada hadits-hadits di dalam kitab Sahîh al-Bukhârî yang bersifat ta‘ârud dengan nas yang lain serta dengan ilmu sains. Akan tetapi, kalangan ulama sudah terjebak dengan dogma kesahihan haditshadits yang terdapat di dalam kitabnya maka hanya berusaha untuk sekuat tenaga melakukan justifikasi terhadap kitab sahîh tersebut. Justifikasi yang dimaksud ialah dengan melakukan penafsiran ulang terhadap teks hadits, pentakwilan, bahkan cenderung mempercayai begitu saja dengan alasan kapasitas nalar saat ini belum mampu menjangkau maksud dari hadits tersebut. Kitab Jami‘ al-Kubrâ yang dipandang kitab yang ditulis oleh al-Bukhari sebelum wafatnya menimbulkan asumsi lain terhadap tingkat kesahihan yang terdapat di dalam kitab Sahîh al-Bukhârî tersebut, karena dia sendiri merevisi sejumlah hadits yang terdapat di dalam kitab sahîh tersebut. Terjadinya reduksi dari jumlah hadits yang dikategorikan sahîh oleh al-Bukhari mengindikasikan perlunya melakukan analisis ulang terhadap konten-konten hadits yang terdapat di dalam kitabnya. Core keilmuan Bukhari adalah di bidang hadits, akan tetapi sering sekali dia bertindak sebagai ulama fiqh yang mencoba memberi penjelasan hukum tentang suatu hal.30 Kerancuan yang terjadi ketika ulama fiqh merujuk pendapat hukum dari al-Bukhari dengan memberikan legalitas sebagai perawi yang dianggap paling tinggi kualitasnya.31 Hadits tentang matahari yang mengelilingi bumi adalah salah satu contoh yang harusnya dipertanyakan tentang kesahihannya.32 Kasus hadits tentang klaim matahari yang mengelilingi bumi merupakan kasus besar yang terjadi di Eropa abad pertengahan ketika pihak gereja menolak kebenaran sains tentang itu, karena menyalahi dogma yang terdapat di dalam agama Kristen. Berbeda dengan Islam yang menganggap yang demikian adalah hal yang biasa, walaupun menyalahi ilmu pengetahuan. Faktanya kekuatan dogma tentang kekultusan Sahîh al-Bukhârî ini hampir sama kalau tidak ingin mengatakan lebih.33 Tidak dapat dibayangkan reaksi orang bila konten tentang matahari mengitari bumi terdapat di dalam al-Qur’an pasti akan meragukan keautentikan isi kandungan al-Qur’an yang diklaim sebagai wahyu Allah yang tidak mungkin salah.34
101
Matan hadits yang meriwayatkan meminum kencing unta merupakan cara untuk mengobati penyakit demam, terlepas dari kriteria sahîh yang dilekatkan terhadap hadits ini terdapat ta‘ârud dengan nas dan sains. Al-Qur’an berulang kali menitikberatkan betapa pentingnya kebersihan dalam kehidupan manusia, meminum air kencing yang merupakan najis nyatanya menyalahi prinsip-prinsip al-Qur’an yang menjunjung tinggi hidup bersih. Secara kesehatan air kencing unta hampir tidak berbeda dengan air kencing hewan lain yang mengadung zat yang berbahaya bila dikonsumsi ke dalam tubuh manusia. Kitab Sahîh al-Bukhârî hendaknya dipahami bukan hanya sebagai kitab hadits, akan tetapi sebagai kitab fiqh sehingga ulama bisa memposisikan kitab ini secara proporsional.35 Selama ini, kalangan ulama dan umat Islam umumnya sering menganggap kitab Sahîh al-Bukhârî hanya sebagai kitab hadits sehingga berimplikasi terhadap persepsi terhadap kitab ini memiliki justifikasi dimensi divine sangat kuat menjadi resisten terhadap kritikan.36 Berbeda bila memposisikan kitab Sahîh al-Bukhârî sebagi kitab fiqh akan mengubah persepsi yang menimbulkan sikap kritis terhadapnya. Dapat dibayangkan selama berabad-abad lamanya persepsi umat Islam tentang kitab ini hampir tidak berubah yang menganggap kitab ini sebagai kitab hadits, padahal kitab ini lebih cocok dikatakan sebagai kitab fiqh. Sama seperti kitab al-Muwatta’ sebagian ulama menganggapnya sebagai kitab hadits dan banyak juga ulama yaang menganggapnya sebagai kitab fiqh. Apabila al-Muwatta’ dianggap sebagai kitab fiqh maka dapat dilihat komentar dan kritikan terhadap kitab ini bermunculan sehingga memperkaya khazanah berijtihad di kalangan ulama. Bingkai nilai-nilai transendental yang terus dipersepsikan di dalam al-Kutub as-Sittah agaknya hanya untuk tujuan mengarahkan persepsi umat Islam dan memfokuskan pada hal-hal yang menyangkut tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai ibadah mahdhah. Dapat dilihat hadits-hadits yang menyangkut tentang hal-hal yang bisa mengganggu hegemoni kekuasaan yang bersifat dinasti sangat dihindari. Kitab hadits Sahîh al-Bukhârî yang dianggap sakral membuat para penguasa Muslim yang selama berabad-abad memerintah secara monarki absolut merasa diuntungkan dengan keberadaan kitab ini.37 Konten hadits yang terdapat di dalam sahîh ini sangat berguna untuk mengontrol psikologi masyarakat yang diarahkan pada orientasi akhirat.38 Penempatan kitab Sahîh al-Bukhârî sebagai kitab fiqh selain akan berimplikasi pada adanya semangat untuk lebih mendalami serta mengkritisi konten hadits yang terdapat di dalam kitab tersebut,39 tentu juga memetakan originalitas pendapat al-Bukhari tentang suatu Hukum sehingga bisa memposisikannya level kepakarannya dalam tingkatan mujtahid. Sering dikatakan keistimewaan dari Sahîh al-Bukhârî selain dari kriteria persyaratan suatu hadits itu dikatakan makbul juga dalam hal susunan dari kitab ini yang lebih memudahkan orang untuk merujuk tentang suatu dalil hukum. Hal tersebut disebabkan susunannya seperti susunan kitab fiqh sehingga dapat memberikan akses hadits ke semua komunitas masyarakat Muslim.40 Karena itu, klaim orisinilitas susunan kitabnya sepertinya meniru kitabkitab hadits yang sudah ada sebelum kodifikasi Sahîh al-Bukhârî ini. Tingkatan mujtahid yang sudah dianggap baku terdiri dari mujtahid mutlak, mujtahid bil mazhab, ataupun mufti. Agaknya dalam hal ijtihad, al-Bukhâri belum termasuk dalam level mujtahid mutlak karena tidak memberikan kontribusi terhadap metode fiqh yang baru. Keunggulan utama dari kitab Sâhîh alBukhârî terletak pada sisi justifikasi hadits yang menyertai karyanya yang dianggap paling otoritatif disebabkan membuat standard kriteria yang lebih ketat dalam menerima hadits. Justifikasi sebagai kitab hadits yang paling otoritatif yang sudah melekat selama ini menjadi batu sandungan bagi perkembangan fiqh.41 Kitab Sahîh al-Bukhâri sudah terlanjur dianggap sebagai barometer justifikasi terhadap tingkat kesahihan suatu hadits sehingga kajian fiqh terbelenggu dengan patron tema-tema hadits yang terdapat di dalam kitab sahihnya. Seseorang yang membahas di luar patron hadits yang dibuat oleh al-Bukhari dan imam-imam lainnya di luar al-Kutub as-Sittah tentu saja kurang mendapat legitimasi di kalangan umat Islam. Dampaknya dapat dibuktikan terhadap kajian fiqh yang memiliki tema-tema yang terdapat di dalam kitab al-Kutub as-
102
Sittah banyak sekali dibahas di dalam kitab-kitab fiqh sampai mendetail. Di lain pihak, jarang sekali ada kitab fiqh yang membahas tema-tema yang di luar pembahasan di dalam al-Kutub as-Sittah, seperti pembahasan mengenai sistem suksesi kepemimpinan di dalam Islam, pengaturan harta pribadi khalifah dengan harta umat, persamaan hak di depan hukum. Tema-tema tersebut sebenarnya sudah memiliki dasar yang kuat dalam sejarah Islam, namun bila dibahas kurang didukung oleh legitimasi hadits yang dianggap kuat. 42 Sangat aneh bila sejarah pemerintahan di dalam Islam sudah begitu lama, akan tetapi kajian fiqh siyâsah yang membahas tentang hal tersebut sangat sedikit. Tidak jelasnya pembahasan mengenai hak dan kewajiban penguasa di dalam kitab-kitab fiqh, terutama yang menyangkut dengan sistem penggajian penguasa di dalam sejarah hukum Islam mengindikasikan bahwa masih adanya asumsi harta negara sama dengan harta khalifah atau sultan. Warisan pemahaman seperti ini masih dijumpai di negara-negara di Timur Tengah yang menganut sistem kekuasaan absolut ditengarai akibat miskinnya pembahasan fiqh yang membahas masalah ini.43 Tampaknya kemunduran berijtihad di dalam Islam, muncul karena ulamaulama pasca abad ke-5 H setelah kodifikasi kitab-kitab hadits, menjadikan kitab-kitab hadits sebagai subjek di dalam berijtihad, terutama sekali tema-tema yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah hal ini terbukti dengan tema-tema kitab-kitab fiqh banyak yang mencontoh tema yang terdapat dalam kitab – kitab hadits tersebut. Hal ini sangat naif, karena tema-tema fiqh seharusnya berubah dan berkembang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain atau antara satu zaman dengan zaman yang lain.44 Tidak mengherankan banyak permasalahan-permasalahan yang sampai sekarang tidak urgen untuk dibahas, akan tetapi tetap dibahas seperti permasalahan dalam masalah batas dua qullah dalam volume air yang dibolehkan untuk berwudlu atau masalah membebaskan budak. Kesalahan fuqaha menjadikan tema-tema yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah sebagai subjek hukum membuat kajian fiqh menjadi terpasung, seharusnya tema-tema yang terdapat di kitab-kitab tersebut dijadikan gambaran realita dari persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam pada masa itu. Hal urgen adalah hadits yang digunakan dalam kitab tersebut bukan tema-tema yang terdapat di dalamnya.45 Sementara itu, yang menjadi subjek hukum adalah persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat Islam, baik itu dari sisi tempat dan masanya. Peran perempuan karir yang bekerja di luar rumah hampir tidak pernah dibahas di dalam fiqh klasik karena hal tersebut merupakan gambaran sosio kultural mereka terhadap peran domestik yang diberikan kepada kaum perempuan.46 Berbeda dengan kondisi sekarang ini, di Indonesia, hampir tidak ada perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam beraktivitas di luar rumah. Ini sebenarnya bisa didekatkan dengan peran Khadijah istri Nabi Muhammad Saw. ketika dia berperan sebagai perempuan karir yang memilih profesi sebagai pebisnis yang tidak mungkin hanya berdiam diri di rumah, karena harus check barang dagangannya. Cukup mengherankan juga kajian fiqh klasik yang alergi membahas tentang perempuan bekerja di luar rumah, padahal istri Nabi Muhammad Saw. sendiri adalah seorang pebisnis yang berhasil membangun jaringan bisnisnya dari Makkah sampai ke Syam. Metodologi kitab Sahîh al-Bukhârî yang dianggap paling valid oleh ulama hadits karena didasarkan pada alasan sudah diverifikasi dengan pertemuan antara guru dan murid dalam periwayatan hadits, namun kritikan terhadap hadits-hadits yang disampaikan oleh al-Bukhari kurang dilakukan.47 Padahal ada beberapa matan hadits yang terdapat di dalam kitabnya yang mengandung kejanggalan secara sains, seperti hadits nabi yang menggambarkan bahwa bumi yang menjadi pusat peredaran galaksi. Cukup mengherankan memang matan hadits yang kontradiksi tersebut masih dipertahankan, bahkan cenderung ditakwilkan yang sudah jelas-jelas bertentangan dengan sains. Ini menunjukkan klaim sakralisasi sesuatu yang dikaitkan dengan perkataan Nabi Muhammad Saw. dijadikan alibi untuk membungkam kebenaran hakiki ilmu pengetahuan.48 Sudah selayaknya untuk mengkritik kitab Sahîh al-Bukhârî secara proporsional
103
dengan tidak terjebak menganggap sebagai suatu hal dosa dalam mengkritik, bahkan bila perlu mengeluarkan hadits-hadits yang diklaim sahîh bila bertentangan dengan pengetahuan umum yang telah dibuktikan oleh sains.
B. Socioliungistic dalam Hukum Islam Socioliungistic sangat berperan penting dalam mengarahkan opini masyarakat, terutama bagi umat Islam yang selama ini sangat terpengaruh dengan justifikasi kebenaran teks al-Qur’an yang berasal dari Allah.49 Tidak hanya manusia yang menggunakan pendekatan sociolungistic, bahkan teks nas yang di dalamnya memuat serangkaian nilai-nilai normatif juga menggunakan sociolungistic agar mendapat perhatian dari masyarakat.50 Hal tersebut juga digunakan oleh generasi setelah Nabi Muhammad Saw. mulai dari sahabat yang menggunakan nama khalifah, amirul mukminîn dalam politik, juga penggunaan istilah di dalam fiqh, seperti wajib, sunnat, makruh, maupun haram.51 Peran socioliungistic sangat ampuh dalam mendapatkan respon umat Islam terhadap penggunaan istilah-istilah tersebut sebagai konsekuensi dari masyarakat yang sedang membangun identitas. Di awal perkembangan Islam, politik identitas yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. dipandang mampu memberikan spirit yang luar biasa bagi masyarakat Muslim untuk lebih mengembangkan diri sebagai pemilik peradaban.52 Politik identitas sangat penting di tengah-tengah kekuatan yang dominan untuk mewujudkannya, hanya bisa dilakukan bila unsurunsur masyarakat yang ada di dalamnya dapat digerakkan secara massive. Politik identitas yang dilakukan oleh ulama hadits dalam membuat terminologi al-Kutub as-Sittah sebagai rujukan baru dalam berijtihad memberikan nuansa yang berbeda.53 Tampilnya Islam dengan membawa hukum baru dapat dipahami sebagai langkah tepat demi terwujudnya peradaban yang besar, karena suatu peradaban tidak akan mungkin bisa diwujudkan bila tidak ada hukum yang menjadi penyokongnya. Hukum sangat terkait dengan struktur peradaban yang akan terbentuk sesuai dengan semangat masyarakat untuk melakukan perubahan dinamis ke arah yang lebih baik. Banyak sekali teks nas dapat digunakan sebagai instrumen untuk melakukan pembaharuan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman bila cermat melihat sisi-sisi tertentu di dalamnya.54 Teks jangan dipahami sebagai benda mati yang dapat menghambat perkembangan zaman bila tidak dilihat dari semangat dinamis yang terdapat di dalam teks tersebut. Sejarah telah membuktikan bahwa pemahaman terhadap teks nas telah dapat memberikan energi yang sangat besar sehingga melahirkan peradaban besar. Peradaban besar yang lahir di dalam Islam selalu identik dengan pemahaman mereka terhadap nas yang meliputi berbagai bidang keilmuan. Kesan teks nas yang cenderung berpihak kepada laki-laki memang sepintas dapat dibenarkan dengan adanya perbedaan perlakuan di dalam hukum tertentu, seperti saksi, waris, hak talak. Akan tetapi, jangan dipahami secara sempit karena hal di atas pada masa awal lahirnya Islam malah dipandang sebagai sesuatu yang terlalu maju dan berpihak kepada perempuan.55 Artinya, harus dilihat dalam skala yang lebih luas, yaitu untuk menggerakkan energi besar demi mewujudkan peradaban Islam. Karena itu, peradaban tidak akan mungkin terwujud bila sumber kekuatan sosial yang ada di masyarakat tidak diberi stimulus. Kekuatan sosial pada masa itu lebih banyak dipegang oleh dominasi laki-laki sehingga wajar sekali bila nas lebih memberikan support yang condong terhadap laki-laki demi lebih mewujudkan peradaban. Nabi Muhammad Saw. adalah seorang visioner sejati karena sangat memperhatikan hal-hal yang detail demi terwujudnya peradaban Islam yang lebih baik dibandingkan dengan peradaban Romawi maupun Persia. Banyaknya ayat al-Qur’an yang turun berkenaan dengan peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. serta sahabat lainnya menjadi indikasi bahwa teks nas sangat bersifat dinamis terkait dengan peristiwa yang dialami umat Islam. Karena nas menjadi pegangan umat Islam bukan hanya yang semasa dengan Nabi Muhammad Saw. juga mereka yang hidup setelahnya sampai hari kiamat. Dengan demikian, dapat dipahami semua ayat yang terkait dengan asbâbun nuzûl bersifat dinamis disesuaikan
104
dengan perkembangan masyarakat.56 Selama ini, kajian tentang qath‘î dan zanni masih belum memenuhi kesepakatan di kalangan ulama karena tidak adanya ukuran yang jelas dalam menentukan kriteria tersebut. Bila merujuk pada banyaknya teks nas yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw. sehingga dapat dibuat pemetaan bahwa teks nas yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw. atau dengan istilah asbâbun nuzûl,57 sehingga berdasarkan barometer tersebut akan memudahkan dalam melakukan ekstraksi terhadap teks nas yang berkaitan dengan suatu nas. Hampir semua teks nas yang turun berkaitan dengan peristiwa yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw. dapat dikategorikan sebagai zanni. Dengan demikian, akan memudahkan dalam menentukan arah ijtihad yang sesuai dengan dinamika masyarakat. Dengan demikian, asbâbun nuzûl maupun asbâbul wurûd dapat dijadikan semacam barometer dalam melakukan ijtihad hukum. Artinya, asbâbun nuzûl tersebut dianggap dapat membuat pemetaan yang jelas dalam melakukan ijtihad.58 Teks nas yang tidak terdapat asbâbun nuzûl maupun asbâbul wurûd dapat dikategorikan sebagai teks nas yang bersifat qath‘î. Rasa khawatir terhadap autentisitas nas masih bisa terjaga. Dengan pendekatan ini akan memudahkan kajian fiqh yang lebih komprehensif melegakan kalangan tradisional yang tidak mau beranjak dari kajian teks.59 Bila demikian, akan memberi kekuatan legitimasi kepada kalangan akademisi untuk terus melakukan ekstraksi terhadap teks nas yang turun berdasarkan suatu peristiwa. Teks yang turun berdasarkan suatu peristiwa memberikan makna lain yang bersifat relative, akan tetapi memiliki legitimasi yang kuat. Dilema yang dirasakan di dalam hukum Islam yang berkaitan dengan hukum international, terutama yang berkaitan dengan gender, hukum pidana, equality akan bisa teratasi bila melakukan ekstraksi terhadap teks nas yang bersifat zanni tersebut.60 Ekstraksi terhadap teks nas dapat memberikan stimulus yang sangat kuat bagi partisipasi berbagai kalangan untuk melakukan penafsiran ulang tentang beberapa tema hukum. Belum ada kesepakatan dari ulama fiqh kontemporer untuk menerapkan equality dalam hal saksi maupun waris disebabkan terkendala pemahaman teks nas. Teks nas yang dianggap qath‘î selama ini bila menyangkut tentang suatu hukum yang dijelaskan secara zahir terutama yang menyangkut angka. Metode maslahat maupun maqasid terbukti tidak bisa secara optimal untuk menyelesaikan persoalan hukum yang muncul akibat perubahan sosial yang terjadi.61 Konfigurasi metode maqâsid ala asy-Syatibi masih sangat normatif dan kurang memiliki legitimasi yang kuat dari syariat, terutama yang menyangkut dengan persoalan kebutuhan hajjiyat tahsîniyât. Konsep masalah yang sering digunakan ulama fiqh dewasa ini masih terjebak dengan masalahmasalah dalam menerpakan otentisitas masalah yang sudah digunakan oleh Imam Malik dalam merumuskan metodologi hukumnya. Konsep masalahat tersebut kemudian dikembangkan oleh ulama generasi berikutnya termasuk oleh asy-Syatibi yang menggunakan istilah maqâsid asy-Syar‘iyyah dalam menafsirkan maslahat yang terdapat di dalam teks nas. Banyak dari kalangan akademisi Muslim yang terjebak dengan romantisme masa lalu dalam menggunakan istilah maslahat ataupun maqâsid asysyar‘iyyah. Kasus dibolehkan seorang perempuan yang mengadu kepada Nabi Muhammad tentang perihal keinginannya untuk bercerai dari suaminya, sementara suaminya tidak ingin bercerai. Lalu, Nabi Muhammad Saw. memberikan hak bercerai kepada perempuan tersebut (khuluk) merupakan solusi hukum yang bagi perempuan tersebut. Secara implisit perempuan di dalam Islam juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam masalah ini.62 Penafsiran hukum yang menyangkut dengan kasus yang senada dapat dilakukan. Artinya hak talak yang selama ini identik dengan suami merupakan hanya dalam tataran normatif selama suami dapat menempatkan posisinya sebagai pihak yang sesuai dengan konsep ideal dalam perkawinan.63 Masalah hubungan dengan ahli kitab di dalam teks al-Qur’an jelas terdapat variasi pendekatan yang dilakukan sehingga hal tersebut dapat memberikan ruang bagi umat Islam menerapkannya.64 Nuansa konfrontatif dalam menafsirkan teks yang sering dilakukan di kalangan ulama ketika berhubungan dengan ahli kitab sering sekali terpengaruh oleh bias sejarah. 65 Walaupun penafsiran teks tersebut mendapat dukungan dari teks nas, akan tetapi harus dilihat dari aspek yang lain tentang
105
hubungan dengan antara Muslim dengan ahli kitab. Penafsiran hukum yang konfrontatif seharusnya bisa dihindari dengan menampilkan teks nas yang cenderung bersahabat dengan ahli kitab.66 Sering sekali pemahaman teks nas yang disebarkan ke kalangan umat Islam dengan gesture permusuhan dengan pihak lain, terutama ahli kitab merujuk pada teks nas. Padahal, teks nas yang berhubungan ahli kitab sering sekali berkaitan dengan kondisi sosial yang relative fluktuasi ketika itu.67 Artinya, harus ada pemahaman yang dibangun bahwa pesan moral yang dikonstruksi dalam beberapa teks nas yang menyangkut dengan dinamika sosial bukan label namanya,68 karena sangat banyak kalangan Kristen maupun Yahudi yang sangat peduli dengan kemanusiaan dan alam. Bahkan, dalam beberapa kasus mereka lebih humanis dibandingkan dengan kebanyakan umat Islam dewasa ini. Lihat saja perbandingan lembaga philantropist yang ada di dunia ini kebanyakan berasal dari negara-negara non-Muslim. Sudah saatnya meninggalkan metode penafsiran konfrontatif dalam menafsirkan teks nas yang berkaitan dengan hubungan dengan ahli kitab, karena di Barat sendiri kegiatan yang berkaitan dengan keislaman sangat marak dan bergairah. Teks nas yang berkaitan dengan larangan seorang Muslim untuk memilih pemimpin yang berasal dari non-Muslim selalu dijadikan sebagai teks nas yang bersifat qath‘î, padahal teks tersebut mengisyaratkan peristiwa yang terjadi pada masa itu. Akan tetapi, masalahnya menjadi lain bila mengartikan terminologi Yahudi dan Nasrani menjadi simbol dari kejahatan bagi kemanusiaan.69 Tanpa disadari sikap konfrontatif yang termaktub dalam compendium penafsiran ulama dalam beberapa generasi melanggengkan permusuhan dengan pihak Yahudi dan Nasrani.70 Tidak bisa disalahkan bila reaksi konfrontatif yang dilakukan mereka juga muncul karena banyaknya pencitraan negatif tentang ahli kitab. 71 Sering sekali umat Islam merasa gerah dengan kegiatan orientalis yang sering mendiskreditkan Islam. Akan tetapi, sedikit sekali di antara umat Islam menyadari pencitraan negatif yang dilakukan kepada Yahudi dan Nasrani jauh lebih parah. Sudah tidak masanya lagi penafsiran teks nas yang bernuansa konfrontatif tetap dipertahankan karena hal tersebut akan menjadi kontra produktif dalam perkembangan kajian keislaman. Karena dunia saat ini saling membutuhkan antara satu dengan yang lain bila sikap ini tetap dipertahankan akan menyulitkan kajian Islam itu sendiri. Usaha strategis untuk mengembangkan kajian fiqh dewasa ini bisa dilakukan dengan mengaktualisasi nilai universal dari hukum Islam itu sendiri. Banyak pihak akademisi luar menilai nilai universal hukum Islam hanya dalam tataran normatif saja.72 Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya produk-produk fiqh yang sangat bias tidak mencerminkan nilai universalitas dari ajaran Islam yang sering diklaim umat Islam. Fiqh klasik sangat kurang mempertimbangkan hubungan dengan pihak non-Muslim karena posisi umat Islam ketika itu dalam keadaan leading. Hal itu tentunya berbeda dengan kondisi saat ini yang dalam banyak hal sangat tergantung dengan dunia Barat. Konsep universalitas kajian fiqh hendaknya membawa Spirit kebersamaan bukan hanya antara umat Islam, tapi juga dengan pihak di luar Islam.73 Pemahaman beberapa ulama klasik yang cenderung merendahkan pihak non-Muslim sudah saatnya dihilangkan demi terbangunnya hubungan yang harmonis antara manusia secara umum. Misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin harus benar-benar ditegakkan bukan hanya dalam tataran normatif apalagi slogan.74 Nilai universal kemanusiaan adalah suatu yang diterima oleh setiap manusia walaupun dalam beberapa hal terdapat perbedaan dalam memahami konsep yang tepat tentang nilai-nilai universal itu.75 Akan tetapi, equality and justice merupakan suatu keniscayaan yang harus diadopsi dalam tatanan hukum di setiap lini. Masalahnya perbedaan yang muncul disebabkan cara pandang dalam menerapkan justice and equality itu karena terkait dengan nilai kehidupan yang dipegang berbeda. Hal itu bukan menjadi halangan bagi hukum Islam untuk bisa cocok dengan nilai-nilai hukum universal yang mengemban misi equality and justice. Masalah gender yang sering disorot sebagai salah satu batu sandungan di dalam hukum Islam agar bisa diterima di panggung hukum internasional terkendala karena masih banyak di antara pihak Muslim yang tetap mempertahankan pemahaman teks yang sempit dengan alasan teologis. Apabila merujuk pada latar belakang sosial gender dalam masyarakat Arab ketika itu, maka dapat dipahami bahwa ukuran
106
tentang nilai-nilai gender yang ditawarkan di dalam teks nas adalah bersifat alternative. Kalau meminjam pendapat Imam Sya‘rani yang menggunakan konsep ‘azimat dan rukhsah tidak hanya dalam masalah menyangkut dengan safar (perjalanan).76 Baginya, rukhsah dan ‘azimat diterapkan dalam memberikan solusi dari perkembangan sosial. Akan tetapi, masalah yang timbul seberapa valid ukuran rukhsah yang masih bisa ditolerir di dalam syariat. Karena bila tidak dibuat ukuran yang jelas maka akan menimbulkan masalah tersendiri dalam fiqh yang cenderung untuk bersikap hedonis dalam hukum. Gender adalah salah satu masalah sensitif yang belum bisa diselesaikan dalam kajian fiqh, terutama bila dikaitkan dengan konteks kekinian. Bila merujuk pada latar belakang sosial terbentuknya pemahaman tentang gender yang terlalu rigid di dalam dunia Islam disebabkan oleh pengaruh kultur Arab yang sangat kaku tentang ini.77 Hal itu dapat dibuktikan sampai saat ini di beberapa negara Arab masih melarang perempuan untuk memegang posisi tertentu, padahal di negara lain tidak ada masalah. Bahkan, ada negara Arab yang melarang perempuannya menyetir mobil. Hal tersebut menimbulkan kecaman pemerhati hak azasi manusia.78 Akibatnya, aturan yang sangat rigid tersebut merusak reputasi hukum Islam itu sendiri, padahal aturan itu hanya bersifat kasuistik. Tetapi, karena klaim sebagai negara Islam memberikan penafsiran lain bagi orang di luar Islam. Nilai persaksian perempuan yang hanya separo dari laki-laki dalam masalah hukum merupakan masalah yang harus segera diselesaikan jika hukum Islam masih akan disebut sebagi hukum yang cocok dengan nilai-nilai equality.79 Terkadang semangat keislaman yang dimiliki umat Islam tidak diimbangi dengan kemampuan untuk mengemban misi Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Opressi terhadap perempuan atas nama teks nas sudah saatnya mulai ditinggalkan karena itu bukan pesan utama yang ingin disampaikan dalam teks nas. Sikap ambivalence yang ditunjukkan banyak pihak dalam masalah equality yang menyangkut kesaksian perempuan, hal ini ditunjukkan dalam periwayatan Aisyah binti Abi Bakar. Sebagai istri Nabi Muhammad Saw. tentunya dia banyak mendapat akses dalam periwayatan hadits, kenyataannya dalam proses periwayatan hadits, ulama hadits sepakat menempatkan Aisyah salah satu sanad yang menempat posisi tertinggi. Hal tersebut bertentangan dengn prinsip yang diterapkan kalangan mayoritas ulama fiqh yang menganggap persaksian perempuan adalah setengah dari persaksian laki-laki.80 Kenyataannya ulama hadits tidak memberlakukan hal tersebut kepada Aisyah yang diasumsikan sebagai sumber terpercaya. Bila konsep kesaksian perempuan dalam fiqh klasik diterapkan secara general, termasuk diterapkan kepada Aisyah, maka ribuan hadits yang diriwayatkan olehnya akan mendapat masalah. Ketidakadilan muncul tatkala hadits yang diriwayatkan selain Aisyah cenderung ditolak karena alasan kesaksian perempuan tidak bisa dijadikan hujjah begitu saja tanpa ada saksi yang lain yang menyertainya.81 Hampir setiap peristiwa hukum teks hukum di dalam nas selalu berkaitan dengan peristiwa yang menyertainya. Pertanyaan sekelompok masyarakat kafir Quraisy yang mempertanyakan kenapa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur tidak sekaligus. Seakan menegaskan bahwa esensi teks nas itu bukan terletak pada sakralitas huruf yang mewujudkan rangkaian wahyu ilahi. Akan tetapi, terletak bagaimana nas dipahami dalam konteks dinamika yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sakralitas teks nas bukan terletak pada hurufnya, tapi lebih pada bagaimana nas dapat dipahami serta dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat.82 Hubungan teks nas dengan peristiwa yang terkait dengan suatu peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad sehingga makna yang terkait di dalam nas sangat relatif pada konteks peristiwa yang dihadapi suatu masyarakat. Dengan kata lain, teks yang berkaitan dengan suatu peristiwa tidak ada yang bermakna absolut hanya makna relatif. Relativitas makna yang terkandung di dalam teks nas yang berkaitan dengan suatu peristiwa akan memudahkan dalam menafsirkan teks tersebut dalam konteks kekinian. Dengan metode ini maka dua pertiga teks nas yang memiliki latar belakang peristiwa yang menyertainya akan lebih membuat kajian fiqh yang lebih atraktif.83 Alangkah indahnya kajian fiqh bila penjara pemikiran yang selama ini dapat dirobohkan karena selama ini wilayah qath‘î dan zanni tidak jelas batasannya. Relativitas makna yang terdapat di dalam teks
107
yang berhubungan dengan suatu peristiwa dapat mengungkap hal-hal yang selama ini tersamarkan oleh dogma absolutism makna yang terkandung di dalam beberapa teks nas. Sebaiknya dipahami bahwa teks nas yang terkait dalam suatu peristiwa merupakan respons nas terhadap peristiwa tersebut dalam konteks nas sebagai aturan. Tidak semua teks nas yang berhubungan dengan suatu peristiwa selalu terkait dengan hukum, banyak juga yang terkait dengan bidang keilmuan lainnya. Dengan demikian, teks nas tidak hanya harus dilihat dari segi semantik saja, akan tetapi harus dilihat dari segi latar belakang sosial yang menyertainya. Cara menangkap pesan moral yang terdapat di dalam latar belakang sosial yang terjadi pada kurun waktu yang cukup lama tentunya harus mampu menangkap pesan moral yang utama dalam suatu peristiwa. 84 Bila mencari latar belakang sosial yang dimaksud dengan mencari kesamaan peristiwa secara identik tentunya tidak mungkin didapatkan. Akan tetapi, stressing point dalam masalah ini ialah kemampuannya dalam menangkap sinyal hukum yang cocok diterapkan dalam kondisi masyarakat setempat.85 Menariknya teks nas yang turun ke Madinah biasanya berhubungan dengan kondisi masyarakat Islam yang sudah memiliki struktur yang jelas sehingga teks nas yang turun lebih banyak berhubungan dengan masalah yang berhubungan dengan hukum.86 Hukum yang terkait dengan kondisi masyarakat Madinah harus dipahami bahwa kondisi umat Islam ketika itu masih dalam taraf sedang berkembang menuju masyarakat yang dikenal seperti sekarang ini. Karena itu, teks hukum yang turun di Madinah memiliki makna lain untuk disempurnakan oleh generasi selanjutnya. Artinya, teks nas yang berkaitan dengan hukum yang turun di Madinah harus dipahami sebagai hukum yang diterapkan dalam kondisi masyarakat yang sudah dibentuk secara established. Dengan demikian, teks nas yang berhubungan dengan hukum harus dipahami sebagai bukan bahan jadi tetapi setengah jadi sehingga harus diolah lagi menurut kondisi masyarakat setempat.87 Alangkah naifnya bila kondisi masyarakat Madinah ketika Nabi turun dengan segala kekurangan yang ada dianggap sebagai masa yang paling ideal dalam pembentukan hukum. Hadits yang mengatakan bahwa masa yang terbaik ialah masa pada Nabi kemudian sahabat, lalu tabi‘în tidak berhubungan dengan infrastruktur sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Karena infrastruktur pada masa Nabi sangat sederhana sehingga hukum yang diturunkan, terutama yang menyangkut masalah sosial, harus dilihat dari aspek ini. Maksudnya, hukum Islam yang yang terbentuk pada masa Nabi yang terkait dalam masalah sosial belum bahan jadi sehingga perlu adanya penyempurnaan dalam tingkat aplikasi di dalam masyarakat.88 Itu sebabnya kenapa Umar banyak melakukan ijtihad baru tidak mengikuti apa yang tertera di dalam teks nas disebabkan turunnya teks nas yang berkaitan hukum dalam masyarakat ketika infrastruktur sosialnya masih kurang. Teks nas yang berkaitan dengan hukum di masyarakat yang sedang berproses dari masyarakat tribal menuju masyarakat heterogen tentunya mengalami transformasi identitas yang cukup berat. 89 Ketika selama ini pola struktur masyarakat tribal yang hanya memikirkan kelompoknya cenderung menganggap musuh bagi kelompok lain, terutama yang tidak mengadakan perjanjian aliansi dengan mereka sehingga kondisi masyarakat seperti ini masih kurang terbuka.90 Tidak mungkin teks yang diturunkan bersifat bahan jadi karena akan cepat usang dan tidak bisa dipergunakan lagi oleh generasi selanjutnya. Itu sebabnya dalam masalah yang berkaitan dengan sosiologi hukum banyak sekali teks nas yang memilki lafaz mushtarak. Berbeda dengan teks nas yang berkaitan dengan nilai-nilai ketauhidan secara tegas dan jelas termaktub di dalamnya hal tersebut untuk menghindari terjadi multi pemahamaan di dalam Islam.91 Bila melihat argumen di atas, berarti hampir semua teks nas yang berkaitan dengan dinamika sosial harus diolah terlebih dahulu dalam konteks kondisi terkini di dalam masyarakat. Tentunya permasalahan yang berkaitan dengan gender, suksesi, mawaris, saksi, saksi pernikahan, talak, hukum pidana, pemilihan pemimpin ataupun yang lainnya dapat dilakukan interpretasi lebih lanjut. Dengan melihat kondisi masyarakat Madinah ketika turunnya teks nas tersebut memberikan otoritas kepada umat Islam untuk melanjutkan usaha dan mengelola hukum tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang.
108
Masa iddah yang terdapat di dalam fiqh klasik selalu terkait dengan kaum perempuan harus dievaluasi karena bisa juga diterapkan kepada laki-laki, alasan untuk menjaga keturunan bila si istri tersebut hamil bisa dilihat dari sudut pandang lain. Argumen tersebut dapat dibantah dengan perkembangan teknologi saat ini dengan waktu singkat dapat memprediksi kehamilan seseorang. Tekanan sosial yang lebih kepada kaum perempuan selama ini bukan berasal dari nas, akan tetapi lebih banyak terjadi akibat pemahaman teks nas yang dipengaruhi oleh kultur patriarki masyarakat Arab. Pemahaman patriarki yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama dalam masyarakat Islam terkadang kontra produktif bila dilihat dalam konteks saat ini.92 Banyak hal yang diperhatikan dalam menentukan hukum tentang sesuaatu bukan hanya terkait dengan nilai-nilai universal yang telah disepakati masyarakat internasional, juga pengaruh kekuatan modal yang menjadi ciri khas masyarakat modern. Sebut saja larangan merokok yang tertera di bungkus rokok semacam kemunafikan yang dilakukan oleh pemerintah yang di satu sisi melarang orang untuk merokok, akan tetapi pemerintah makin meningkatkan pendapatannya dari cukai rokok.93 Kekuatan modal sangat berpengaruh besar dalam keputusan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga hal ini juga berimbas pada keputusan hukum yang diambil oleh akademisi dalam memutuskan tentang sesuatu. Kekuatan modal juga harus diperhatikan dalam membuat suatu keputusan hukum. Kasus fatwa haram yang ditetapkan oleh salah satu ormas besar di Indonesia ternyata tidak efektif menghentikan orang untuk berhenti dari merokok. Industri rokok saat ini memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat karena banyak pihak yang tergantung kehidupan mereka dengan industri ini. Hal tersebut dapat dimengerti bila fatwa haram yang ditetapkan hanya sedikit dari masyarakat Islam yang mematuhinya. Konsep maslahat dewasa ini tidak hanya bersifat pribadi, akan tetapi dilihat dari aspek sosial yang dapat ditimbulkannya, seperti kasus isu lemak babi yang melanda beberapa produk yang sering dikonsumsi oleh umat Islam sehari-hari.94 Tentu saja harus disikapi dengan bijak tidak langsung memfatwakan haram menggunakan produk itu lagi. Hal itu disebabkan oleh kegiatan idustri di belakangnya tergantung nasib ribuan atau mungkin jutaan pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap industri ini. Gelombang tuntutan untuk embargo beberapa produk yang identik dengan Amerika yang dilontarkan sejumlah ormas dengan alasan untuk memberi tekanan kepada Amerika, yang dituding sering tidak adil terhadap umat Islam. Andai seruan embargo terhadap semua barang yang diproduksi Amerika tentunya akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap pihak yang terkait dengan Amerika. Sejumlah bisnis waralaba yang telah mendunia beberapa produknya sangat familiar dengan masyarakat Indonesia tentunya mayoritas karyawan Muslim yang bekerja di perusahaan tersebut akan mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja). Fatwa hukum tidak bisa dilakukan hanya dengan pertimbangan hukum dari sisi maslahat atau mafsadât dalam skala individu, tetapi harus melihat dari aspek yang lebih besar. Hampir tidak pernah dialami oleh sejarah fiqh sebelumnya tatkala harus selalu melihat aspek lain di luar fiqh itu sendiri ketika memutuskan tentang suatu. Kekuatan modal merupakan elemen penting dalam masyarakat modern yang harus dipertimbangkan oleh kajian fiqh kontemporer, karena di belakangnya banyak pihak yang tergantung hidupnya dengan industri ini.95 Seperti fatwa haram dalam kegiatan jualbeli valuta asing yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) sangat bias dengan kondisi saat ini. Sementara itu, industri keuangan yang menangani kegiatan jual-beli valuta asing dengan alasan investasi banyak melibatkan berbagai pihak, selain institusi pada lembaga pemerintah maupun swasta juga kalangan masyarakat umumnya.96 Jika fatwa tersebut diterapkan akan menimbulkan masalah besar dalam kegiatan ekonomi karena kegiatan ini juga banyak melibatkan umat Islam sebagai regulator dan investor. Terkadang fatwa yang diberikan tanpa melihat aspek yang lebih besar akan membuat lembaga fatwa tersebut kredibelitasnya menjadi berkurang akibat terlalu premature dalam memutuskan tentang sesuatu.97 Putusan fiqh sekarang ini cenderung bersifat institusional dibanding dengan pada masa lalu yang bersifat individual, hal tersebut disebabkan perkembangan zaman yang sangat cepat membutuhkan beberapa disiplin ilmu di dalamnya. Belum berpengalamannya kajian fiqh ketika berhadapan dengan dunia
109
industri harus disikapi dengan perubahan paradigma yang berlaku di dalam fiqh, terutama yang berkaitan dengan sosiologi hukum. Tidak pernah terjadi sebelumnya kajian fiqh harus berhubungan dengan industri pemilik modal besar yang dapat mempengaruhi policy pemerintah terhadap masyarakat. Fatwa haram bunga bank yang dikeluarkan MUI sampai saat ini tidak efektif berlaku di masyarakat karena masyarakat tidak peduli. Ketidakpatuhan publik terhadap fatwa terkadang disebabkan tidak ada alasan logis, selain alternatif yang ditawarkan tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat. Bayangkan bila seluruh masyarakat Muslim mematuhi fatwa tersebut, tentu industri keuangan konvensional yang menguasai lebih dari 95 persen industri perbankan akan mengalami rush.98 Hal tersebut akan menimbulkan kegoncangan ekonomi yang merugikan semua pihak, sementara industri perbankan syariah masih tidak seimbang jumlahnya dengan kebutuhan masyarakat umum. Hal ini membuat putusan fatwa haram bunga bank menjadi tidak rasional sehingga tidak diikuti oleh sebagian besar masyarakat. Banyaknya fatwa yang diabaikan oleh mayoritas masyarakat jangan diartikan sebagai bentuk dekadensi moral yang terjadi di dalam masyarakat, akan tetapi institusi ulama harus juga melakukan instrospeksi. Sebaiknya fatwa yang dikeluarkan harus benar-benar kredibel dengan melakukan survey pasar layaknya suatu industri sehingga trust dari masyarakat akan didapatkan. Bayangkan saja seorang Benjamin Bernanke seorang Amerika keturunan Yahudi segala ucapannya akan direspon oleh pasar keuangan di Amerika maupun dunia.99 Karena kuatnya trust kepada dirinya, terutama yang berkaitan dengan kebijakan pasar keuangan di sana. Segala ucapannya yang dilontarkan ke publik tidak sembarang ucapan, akan tetapi dicetuskan setelah melakukan observasi pasar yang dilakukan oleh tim yang kuat. 100 Alangkah naifnya bila ucapan yang dikeluarkan melalui fatwa terhadap suatu keputusan diabaikan oleh umat Islam tentunya ada masalah dalam fatwa tersebut. Di dalam masyarakat modern saat ini, tampilan luar bukan suatu hal yang dianggap paling penting, akan tetapi harus juga memiliki integritas keilmuan yang kuat. Sebenarnya, fatwa dapat saja mendapatkan respons masyarakat bila dilakukan dengan mengadopsi layaknya kerja perusahaan yang berkinerja baik. Otoritas akan dengan sendirinya lahir bila bisa menjaga trust dari masyarakat, tetapi untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, tentunya harus dilakukan dengan menjaga integritas kepribadian maupun keilmuan.101 Kesempatan institusi ulama saat ini masih memiliki masa depan yang cukup cerah asalkan dilakukan dengan benar layaknya institusi modern. Lembaga fatwa saat ini tidak bisa hanya menjual ikatan emosional, akan tetapi harus bisa menempatkan diri seperti profesional yang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Ketimpangan juga bisa terjadi bila lembaga institusi ulama dituntut agar menjadi lembaga yang professional, tetapi tidak diimbangi dengan imbalan keprofesionalan mereka. Sering sekali nilai kesalehan dinilai karena tidak menerima imbalan dalam kegiatan yang berkaitan praktik keagamaan sehingga ketidak adilan terjadi kepada mereka. Tidak jarang terjadi ketika berbicara tentang kesalehan yang menjadi rujukan sahabat-sahabat Nabi yang zuhud, di sisi lain tuntutan dunia saat ini mengharuskan urusan materi menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Otoritas yang terbangun karena integritas kepribadian dan keilmuan jauh lebih kuat dibandingkan dengan otoritas yang didukung oleh legitimasi formal.102 Otoritas legitimasi formal diperoleh dengan forced obedience bukan karena panggilan hati, akan tetapi lebih kepada hukum. Otoritas yang dimiliki oleh seorang ulama secara individu ataupun secara institusi akan memperoleh volounteer obedience dari umat Islam bila mereka menjaga integritas pribadi dan keilmuan. Kekacauan politik di Mesir pasca penggulingan Presiden Morsi oleh kudeta militer pimpinan Jenderal Abdullah al-Sisi sangat disayangkan didukung oleh Syeikh al-Azhar.103 Kecaman dilontarkan oleh Perdana Menteri Tayyib Erdogan kepada Syeikh al-Azhar yang seharusnya bersikap netral. Bukan malah memberikan justifikasi kepada pihak militer yang telah melakukan kudeta kepada pemimpin demokratis pertama yang dipilih secara langsung di Mesir.104 Integritas institusi ulama yang dipegang oleh Syeikh al-Azhar sangat tercoreng karena ketidakmampuannya menempatkan posisinya sebagai pihak yang berdiri di semua pihak.
110
Majelis Ulama Indonesia juga dinilai kurang bijak dalam peristiwa pembantaian warga Syiah di Madura, mereka terkesan kurang respek terhadap hilangnya nyawa manusia hanya dengan bentuk ucapan keprihatinan saja.105 Fatwa sesat yang dibuat oleh Majelis Ulama Jawa Timur terhadap golongan Syiah menimbulkan kebingungan tersendiri karena tidak jelasnya ukuran yang digunakan untuk menyesatkan pihak lain.106 Di tingkat internasional, dapat dilihat negara Iran yang mayoritas Syiah masih tetap diakui sebagai bagian dari komunitas masyarakat muslim dunia.107 Ukuran kesesatan dibuat MUI tersebut sangat kabur hanya karena mainstream masyarakat Indonesia berpaham muslim sunni. Kisah tentang sekelompok masyarakat Yahudi yang menghadap kepada Nabi perihal agar diputuskan suatu perkara yang sedang diperselisihkan, kemudian atas petunjuk dari Allah maka Nabi memutuskan sesuai dengan hukum Taurat. Secara implisit hal di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai sumber hukum pihak luar. Dengan situasi masyarakat yang cenderung Kosmopolitan, sepertinya sangat sulit hanya berdasarkan satu sumber hukum saja.108 Dengan kata lain, Islam juga menghargai pihak lain di luarnya untuk tetap menggunakan pola hukum yang cocok dengan situasi kondisi mereka. Munculnya Muslim radikal disebabkan masih rigid cara pandang mereka dalam menerapkan pesanpesan yang termuat di dalam teks nas.109 Wilayah qath‘î biasanya teks nas yang turun tidak terkait dengan peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. atau sahabat semasanya, hal tersebut dapat terjadi karena teks nas tersebut didesain ever lasting sampai hari kiamat. Dengan demikian, akan memudahkan generasi setelah Nabi Muhammad Saw. untuk tetap menjaga nilai-nilai normatif yang tidak boleh diganggu gugat dengan alasan apa pun.110 Nilai tauhid yang terkandung di dalam teks nas merupakan hal yang bersifat eternal sehingga akan tetap tidak berubah. Sangat disayangkan cita-cita identitas Muslim satu dalam pluralitas yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. seakan buyar ketika unsur eksklusivitas digunakan dengan nama lain yang dapat mengaburkan pandangan masyarakat Muslim secara umum.111
C. Otoritas Teks dalam Konsep Fiqh Hampir seluruh syariat yang dibangun di dalam nas mengandung misi politik hukum identitas sehingga mengarah pada suatu tujuan membentuk bangunan hukum yang terpadu, juga memiliki identitas yang kuat. Lihat saja konsep halal yang memiliki nilai sakral yang tinggi dalam membentuk etika hukum dalam mengkonsumsi makanan bukan hanya sekadar mengisi perut demi kelangsungan hidup, tetapi lebih jauh Islam menanamkan nilai-nilai filosofi yang sangat tinggi tercermin dari konsep halal. Bahkan, halal telah menjelma menjadi identitas bagi setiap Muslim di dunia tanpa disadari menjadi bargaining position umat Islam dalam hubungan dengan pihak non-Muslim.112 Pihak non-Muslim yang ingin mendapat market dari kalangan umat Islam harus tunduk pada aturan yang ada tentang konsep halal yang berlaku secara universal di dalam dunia Islam. Tidak jarang negara yang mayoritas non-Muslim meminta persetujuan dari pakar makanan halal yang terdapat di dalam komunitas resmi masyarakat Muslim agar produk-produk makanan dan turunannya mendapat sertifikat halal sehingga bisa dikonsumsi bagi umat Islam di negara tersebut atau diekspor ke negara-negara Muslim lainnya.113 Tampaknya konsep hukum yang tidak pernah berbeda tentang produk hukum Islam hingga kini adalah menyangkut masalah halal. Akan tetapi, masalah-masalah hukum lainnya agaknya kurang mendapat perhatian yang bulat dalam melahirkan kesepakatan bertindak demi kemaslahatan bersama.114 Konsep halal yang dibangun di dalam Islam sebenarnya secara implisit memberikan kuasa yang besar kepada ulama untuk membangun otoritas yang independen dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat.115 Lihat saja MUI atau lembaga sejenis di banyak negara non-Muslim sekali pun memiliki otoritas yang tinggi dalam menentukan suatu produk adalah halal. Meskipun lembaga tersebut tidak
111
memiliki jenjang otoritas resmi yang diakui secara Undang-Undang.116 Secara de facto, lembaga semacam MUI yang memiliki otoritas yang lebih tinggi dalam menentukan suatu produk halal dibandingkan dengan lembaga resmi yang diakui negara, seperti Departemen Kesehatan. Gejala ini didasari oleh pengalaman sejarah pemerintahan Islam tidak pernah melakukan intervensi terhadap masalah ini. Masalah halal relatif masih murni dari intrik kekuasaan konsekuensinya persatuan umat Islam hingga kini masih ada dalam konteks ini.117 Sekian banyak perintah nas kepada umat Islam bisa ditafsirkan sebagai politik hukum identitas, karena selain mengandung kemaslahatan secara moral juga ingin menegaskan identitas yang tegas sebagai seorang Muslim. Produk halal bukan hanya satu-satunya politik hukum identitas yang dilakukan di dalam Islam, bahkan perintah mengenakan hijab bagi perempuan ataupun memelihara jenggot adalah sekian banyak dari penegasan identitas yang terdapat di dalam nas. Islam adalah ajaran global tentunya tidak menampik identitas lokal yang dibawa oleh masing-masing kelompok dalam masyarakat Islam. Walaupun demikian Islam ingin membangun identitas yang khas dari umat Islam menjadi semacam brand yang memiliki ikatan emosional kuat, dalam mempengaruhi opini masyarakat agar terpengaruh terhadapnya. Landasan hukum yang sudah eksis dalam beberapa generasi awal penyebarannya tampaknya mulai agak terganggu ketika terjadinya stagnasi dalam melakukan reinterpratasi terhadap nilai-nilai normatif di dalam nas. Ada dua kutub yang saling bertolak belakang dalam menyikapi stagnasi di dunia Islam dalam melakukan interpretasi di dalam nas ini. Mereka yang merasa berhak dalam memahami makna yang terkandung di dalam teks nas artinya bagi mereka setiap Muslim berhak melakukan interpretasi terhadap nas selama dia memiliki kemampuan dalam hal itu.118 Kemudian kelompok kedua mereka yang memandang interpretasi terhadap teks nas demi ketertiban di dalam menjalankan ajaran Islam cukup dilakukan oleh lembaga tertentu yang diakui kompetensinya, semacam MUI.119 Akan tetapi, dalam praktiknya, realita yang terjadi tidak sesederhana itu bahkan terkesan telah menimbulkan chaotic, dalam konteks kebuntuan melahirkan gagasan ijtihad yang produktif seiring dengan perkembangan zaman.120 Setiap Muslim berhak dalam melakukan ijtihad terhadap nas, akan tetapi harus disadari opini tersebut belum memiliki makna yang berarti sampai ada pengakuan terhadap pemikirannya terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Bisa menjadi berbahaya ialah ketika opini tersebut dipaksakan menjadi ijtihad yang memiliki otoritas yang tinggi dan harus diikuti oleh masyarakat, manuver ini tidak jarang bisa menimbulkan goncangan di dalam masyarakat. Sebenarnya, bagaimana membedakan suatu opini adalah ijtihad atau tidak harus dilihat reaksi dari masyarakat itu sendiri, dengan kata lain bila resistensi dalam menolak pendapat sangat besar dapat dipahami opininya masih belum naik kelas menjadi ijtihad.121 Golongan Ahmadiyah yang merasa berhak sebagai bagian dari umat Islam ketika melakukan interpretasi terhadap beberapa makna yang terkandung di dalam nas tentang konsep Nabi terakhir mendapatkan resistensi yang sangat keras dari mayoritas umat Islam di dunia.122 Interpretasi yang dilakukan mereka terhadp nas masih berada dalam tataran opini karena mendapatkan resistensi yang sangat besar dari mayoritas umat Islam.123 Berbeda dengan perbedaan yang terjadi dalam memahami beberapa pemahaman teks yang dilakukan oleh ulama mazhab, walaupun masing-masing golongan memiliki argumen tetapi tidak sampai pada penolakan terhadap interpretasi yang dilakukan masingmasing mazhab.124 Selama argumen hukum yang ada tidak menjurus kepada perbedaan teologi maka suatu opini bisa dikategorikan sebagai ijtihad yang patut dihargai. Perhargaan suatu ijtihad tentunya dilihat seberapa besar kontribusinya dalam berperan di dalam masyarakat bukan hanya sekadar mengeluarkan opini yang tampil beda. Seseorang yang memberikan statement “misalnya jilbab itu adalah budaya Arab atau makna shalat adalah ingat sehingga tidak ada kewajiban untuk shalat cukup hanya mengingat Allah” apakah hal tersebut bisa dikategorikan sebagai ijtihad. Ukuran suatu pendapat dikatakan sebagai ijtihad ialah harus memberikan kontribusi positif dalam perkembangan dan kemajuan umat Islam. Dengan kata lain, apakah opini di atas memiliki korelasi bila perempuan Muslim tidak mengenakan jilbab berdampak terhadap
112
kemajuan, atau seseorang yang meninggalkan shalat hanya ingat kepada Allah akan dapat mempengaruhi kemajuan suatu masyarakat. Tentunya menurut akal sehat hal tersebut di atas tidak memiliki pengaruh terhadap kemajuan sehingga dapat ditolak sebagai ijtihad. Selama ini kajian terhadap ijtihad sangat rigid karena lebih cenderung sangat bias kepada mereka yang ahli di bidang bahasa Arab saja. 125 Karena persyaratannya diperuntukkan mereka yang mahir bahasa Arab, balaghah, tafsir, ushul, fiqh. 126 Hal tersebut tameng untuk menutup pintu ijtihad karena hampir tidak mungkin ada manusia yang bisa sangat mahir di beberapa bidang ilmu sebagaimana disebut di atas. Persyaratan tersebut sangat jelas membatasi mereka yang berada di luar kultur Arab. Secara tidak langsung memberi sinyal yang paling berhak dalam memberi penafsiran tentang Islam adalah mereka yang berada di dalam lingkup internal kultur Arab.127 Harus diakui pada awal penyebaran Islam Nabi Muhammad Saw. melakukan politik identitas seakan ajaran Islam sinonim dengan misi nasabiyah yang cukup kuat di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Bangsa Arab merasa terpanggil untuk merapatkan barisan mendukung kedatangan agama baru ini demi terwujud supremasi Arab yang selama ini berada dalam bayang-bayang peradaban Romawi dan Persia. Keberhasilan pan-Arabia sangat berhasil pada masa Umar ketika hampir seluruh elemen bangsa Arab bersatu dalam satu bendera Islam demi menghadapi kolaborasi antara kerajaan Romawi dan Persia. Hampir tidak pernah terjadi kedua kerajaan ini saling membantu bahu membahu, bahkan menjadi sekutu, kecuali ketika berhadapan dengan kekuatan Islam yang dimotori semangat pan-Arabia. Politik identitas yang dilakukan oleh Umar ternyata sangat jitu dalam menggerakkan mesin semangat nasabiyah dalam skala yang lebih luas yang selama ini sering terjadi pertentangan antara satu kabilah dengan kabilah lainnya. Dampak dari politik identitas yang mengangkat semangat nasabiyah Arab sebagai motor dalam menyebarkan Islam ternyata memiliki dampak yang kurang bagus pada dimensi yang lain. Walaupun secara normative Islam mengajarkan equality di semua aspek kehidupan, akan tetapi kenyataanya mereka yang berada dalam kultur Arab ingin diperlakukan spesial. Dalam wilayah kajian hukum, tampak dengan jelas walaupun Islam mulai abad ke-3 H sudah menyebar bukan hanya di wilayah Asia Barat, Afrika Utara, bahkan sampai ke Andalusia (Spanyol), akan tetapi kajian yang tertulis di dalam kitab-kitab fiqh cenderung berkenaan dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat Arab.128 Permasalahan hukum tentang budak walaupun secara terang-terang Islam melarang praktik tentang budak, akan tetapi kajian fiqh tentang budak ini masih terus dibahas beberapa abad kemudian. 129 Hal tersebut sangat jelas pengaruh budaya Arab yang sangat kuat di dalam Islam sehingga sangat berpengaruh terhadap fiqh itu sendiri. Tidak bisa dibayangkan ekspansi yang dilakukan pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. tentunya menghasilkan wilayah yang sangat luas. Sudah menjadi hukum yang berlaku di dalam bangsa Arab menganggap mereka yang ditaklukkan secara otomatis akan menjadi budak.130 Sampai saat ini, sangat sulit menemukan di dalam literatur kapan berakhirnya masalah budak di dunia Islam. Hal yang dikhawatirkan bila konsep tentang perbudakan itu masih ada. Belum tegasnya permasalahan tentang budak ini disebabkan kuatnya budaya Arab yang mempengaruhi konsep fiqh itu sendiri. Sebenarnya, bagi negara yang mengklaim sebagai negara Islam tentunya agak bingung bila memperhatikan aturan yang terkadang mengandung kecurigaan di dalamnya. Ketika suatu pemerintahan yang mengklaim sebagai negara Islam melarang perempuan warganya untuk melakukan suatu perkara, terutama berpergian kecuali ditemani dengan muhrimnya. Di sisi lain, menerima perempuan Muslim lainnya yang dipekerjakan tanpa muhrim sebagai pembantu rumah tangga. Gambaran tersebut menimbulkan kecurigaan mereka yang diterima sebagai pembantu rumah tangga diasumsikan sebagai budak. Karena bila mereka diasumsikan sebagai budak tentu tidak membutuhkan muhrim ketika seorang pekerja domestik bepergian jauh keluar negeri.131 Hampir semua dari ajaran syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. mengandung politik identitas syariat Islam yang tegas menunjukkan Islam sebagai ajaran berbeda dengan syariat sebelumnya.132 Teks nas yang memerintahkan umat Islam untuk menghadap ke arah Masjidil Haram setelah enam bulan menghadap ke Baitul Muqaddas Jerussalem adalah gambaran yang jelas bagaimana
113
syariat Islam ingin menegaskan bahwa Islam memiliki tampilan yang berbeda. Perintah untuk menumbuhkan jenggot selain dipahami sebagai sunnah juga disebabkan politik identitas yang ingin ditampilkan di dalam Islam.133 Seiring dengan tekanan yang semakin kuat terhadap kaum Muslimin tak jarang kekerasan yang dialami berujung pada kematian. Hal tersebut sering terjadi di awal tahun Hijriah ketika kondisi umat Islam yang lemah juga relatif sedikit dibandingkan dengan penduduk Yahudi di Madinah ketika itu. Perintah Nabi kepada kaum Muslimin untuk memanjangkan jenggot merupakan semacam kode morse untuk kalangan internal agar tampilan tersebut dipahami sebagai pertanda sebagai umat Islam. Artinya, ketika ada seseorang yang mengalami tekanan sosial yang berujung kepada kekerasan fisik yang dialami oleh orang memiliki jenggot panjang berarti dia adalah seorang Muslim. Umat Islam lainnya harus menolong orang tersebut karena lazimnya orang Yahudi memelihara jambang atau kumis sehingga membuat tampilan yang berbeda yang menegaskan dirinya sebagai seorang Muslim.134 Politik identitas ini sangat berguna ketika umat Islam dalam kondisi lemah ataupun minoritas, hal tersebut masih bisa juga dipergunakan hingga kini.135 Ketika seseorang yang sering bepergian akan sangat terbantu ketika berada di tempat mayoritas non-Muslim dengan memperhatikan identitas sebagai mana yang diperintahkan oleh Nabi baik itu berupa memanjang jenggot untuk laki-laki atau pun memakai hijab bagi perempuan. Khusus hijab bagi perempuan ada sebagian dari kelompok Muslim yang mengenakan hijab keseluruh tubuh kecuali mata, menunjukkan bentuk ketaatan kepada agamanya. 136 Politik identitas yang berlaku dalam masyarakat Islam sejak zaman Nabi Muhamamd Saw. untuk membentuk struktur syariat Islam, isi piagam Madinah secara implisit kemenangan politik negosiasi yang dilakukan oleh umat Islam. Karena esensi piagam tersebut adalah traktat kesepahaman antara umat Islam dengan penduduk Madinah yang didominasi Yahudi, untuk saling melindungi apabila terjadi serangan dari pihak luar kepada penduduk Madinah. Sementara itu, pihak yang memiliki musuh pada waktu itu adalah umat Islam dengan kaum Quraisy di Makkah. Seiring dengan piagam Madinah tersebut pihak kafir Quraisy terhalang untuk melakukan serangan kepada pihak Muslim di Madinah yang terikat dengan perjanjian dengan bangsa Yahudi. Walaupun akhirnya pihak Yahudi mengingkari perjanjian tersebut, akan tetapi dalam rentang waktu yang cukup lama pihak kaum Muslimin mendapatkan kesempatan untuk melakukan konsolidasi kekuatan untuk mempertahankan diri dari serangan pihak luar. Kewajiban shalat Jum‘at bagi kaum Muslim menjadi show force yang ditunjukkan sebagai refleksi identitas agar Islam dapat dipandang sebagai kekuatan politik yang harus diperhitungkan. 137 Ketika setiap laki-laki Muslim berkumpul di suatu tempat untuk melakukan shalat Jum‘at secara tidak langsung memberi pesan kepada pihak lain betapa solidnya mereka.138 Hal tersebut juga bisa diartikan sebagai bentuk komunikasi sosial yang terbangun secara natural di dalam Islam. Sesuatu yang tidak mengherankan kegiatan shalat Jum‘at dapat diartikan sebagai sebagai bentuk penyaluran ekspressi sosial yang diatur di dalam nas. Lihat saja kasus politik di Timur Tengah yang dikenal sebagai Arab springs dimulai pada tahun 2012 menjadikan perayaan shalat Jum‘at sebagai momentum untuk menyampaikan aspirasi mereka terhadap kondisi yang sedang mereka alami kepada penguasa. Politik identitas juga dilakukan oleh generasi setelah Nabi tentu dengan patron yang telah digariskan olehnya.139 Politik identitas yang dilakukan pada masa Khulafaur Rasyidin lebih banyak menekankan aspek konsolidasi kekuatan bangsa Arab untuk menghadapi kekuatan imperium Persia dan Romawi. Hasilnya Islam dapat mengambil alih posisi yang ditinggalkan kedua adikuasa tersebut sehingga menjadi penguasa baru.140 Dalam konteks politik identitas, yang dilakukan kelompok tradisional yang identik dengan kelompok ulama hadits sering memposisikan diri sebagai pihak yang berusaha untuk melestarikan hadits. Mereka banyak menyerang pihak ahli ra’yun (rasionalist) yang dituduh mengabaikan hadits ketika memutuskan sesuatu. Kritikan Ibn Shaibah terhadap Imam Abu Hanifa termuat dengan sekian banyak pendapat Imam Abu Hanifa yang berseberangan dengan teks nas sehingga harus ditolak.141
114
Islam diasumsikan satu-satunya tatanan nilai yang bisa menantang, bahkan menggantikan peradaban Barat saat ini karena sarat dengn sejarah panjang sebagai ajaran yang telah menciptakan peradaban maju pada abad pertengahan. Perbedaan yang mencolok perkembangan hukum di Barat dengan di dunia Islam terletak pada visi hukum Islam yang berorientasi pada nilai-nilai spiritual sehingga dalam perkembanganya selalu dekat dengan teks nas. Sementara itu, Barat tidak mau terikat dengan teks kitab suci mereka, bahkan berusaha untuk melepaskan diri. Perkembangan hukum di Barat mengalir seiring dengan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat mereka. Teks kitab suci bagi mereka bukan sumber hukum yang mengikat, melainkan aturan etika berhubungan dengan individu yang tidak terikat, kecuali bagi mereka yang mau mengikuti nilai-nilai yang terdapat di dalam teks kitab suci. Di lain pihak, di dalam Islam hukum harus terkait dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam teks nas sehingga setiap orang yang mengaku sebagai seorang Muslim harus tunduk dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam nas.142 Masalahnya nilai-nilai teks nas tersebut dipahami berlaku bagi setiap zaman, di samping itu ada nilai-nilai nas yang bersifat sementara sesuai kondisi masyarakat setempat. Prinsip ketauhidan merupakan nilai mutlak yang harus diimplementasikan di dalam hukum Islam sehingga prinsip ini yang menyatukan semua elemen dalam komunitas Muslim.143 Nilai tauhid yang terwujud di dalam Islam merupakan refleksi dari pengakuan setiap Muslim bahwa semua produk hukum yang dihasilkan harus bermuara pada nilai-nilai tauhid itu sendiri. Sekilas ada persamaan prinsip hukum yang dibangun di dalam Islam dengan aliran kedaulatan Tuhan di dalam hukum. Bila aliran kedaulatan ketuhanan menitikberatkan bahwa sang pemilik otoritas utama di dalam Islam adalah Allah, sementara manusia yang memerintah harus mengatasnamakan Tuhan. Stressing point dalam aspek kekuasaan dalam aliran ketuhanan berbeda dengan nilai tauhid di dalam hukum Islam. Penanaman nilai tauhid di dalam hukum Islam lebih menekankan rambu-rambu yang harus dijaga bagi setiap orang yang ingin berijtihad.144 Seseorang bisa saja berijtihad untuk melegalkan judi dengan membuat area khusus seperti halnya yang terjadi di Malaysia, walaupun mengklaim sebagai negara berdasarkan syariat Islam tetapi judi dilegalkan di sana. Legalisasi judi di Malaysia bukan tanpa aturan yang jelas karena lokasi tertentu yang hanya boleh dimasuki oleh orang non-Muslim sehingga penghasilan pajak yang dihasilkan dari kegiatan legalisasi judi ini menjadi income negara.145 Hukum Islam tidak pernah menolerir penistaan terhadap Allah untuk alasan apapun, bahkan penafsiran yang menyalahi pemahaman mainstream umat Islam mendapat kecaman hampir di semua negara Islam.146 Itu sebabnya tidak satupun negara Muslim di dunia ini yang melegalkan keberadaan aliran Ahmadiyah karena pemahaman mereka yang berbeda tentang konsep Nabi terakhir Mirza Ghulam Ahmad bukan Nabi Muhammad Saw.147 Masih belum jelasnya wilayah profan dan sakral di dalam hukum Islam menjadi batu sandungan dalam perkembangannya. Perbedaan kerap terjadi di kalangan umat Islam yang menyangkut dengan kajian wilayah profan maupun sakral. Disebabkan oleh sebagian menganggap bagian tertentu di dalam nas lebih dominan dari yang lainnya. Sebenarnya, bila merujuk pada masalah hukum di dalam teks nas terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam menyikapi tentang beberapa masalah yang terdapat di dalam nas. Sebagian besar ulama fiqh memahami bahwa hukuman hudûd merupakan bagian dari hak Allah yang harus diimplementasikan dibandingkan dengan hukum lainnya di dalam Islam. Kebanyakan pembahasan kitab-kitab fiqh tentang hukum relatif tidak ada perbedaan dalam implementasinya didorong oleh argumen lebih mendahulukan hak Allah. Tentunya ketetapan hudûd sebagai wilayah sakral yang tidak boleh diganggu gugat menimbulkan pertanyaan lainnya yang mengikut. Apa sebenarnya ukuran sesuatu hukum tersebut dapat dikategorikan sebagai wilayah sakral maupun profan, sehingga bila ukuran ini jelas akan memudahkan dalam membuat ijtihad yang sesuai dengan zaman. Pemahaman konsep hukum hudûd yang diasumsikan sebagai hak Allah yang harus ditunaikan menimbulkan masalah tersendiri di dalam perkembangan hukum Islam. Hampir tidak ada di dunia ini
115
yang melaksanakan potong tangan bagi pencuri, kecuali beberapa negara Islam yang masih sangat strict dalam menerapkan aturan hukum Islam. Perbedaan pendapat sering terjadi antara pihak Muslim dengan komunitas internasional terutama yang berkaitan dengan penerapan hukuman hudûd dan qisas di dalam nas.148 Pemahaman konsep hukuman hudûd yang berada di wilayah sakral tentunya masih boleh dipertanyakan argumen hukum yang dibangun. Dalam konsep hukum jinayah, disebutkan bahwa hukum Islam terdiri dari hukuman hudûd, qisas, maupun ta’zir. Pemetaan ketiga cluster hukum jinayah tersebut tetap saja masih menimbulkan masalah sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Merupakan sesuatu keharusan yang berlaku di panggung internasional untuk menyesuaikan beberapa prinsip yang dianggap universal. Bentuk hukuman yang berlaku di dalam Islam terkadang menimbulkan gesekan dengan komunitas dunia internasional, terutama yang menyangkut human hudûd dan qisas. Lihat saja betapa banyak kecaman pada pemerintah Iran ketika menerapkan hukuman rajam kepada Aminah Odeh tahun 2012 yang dituduh berbuat zina. Hukuman rajam dianggap sangat tidak manusiawi sehingga sebaiknya segera dihilangkan dari muka bumi bagi banyak orang, akan tetapi bagi sebagian masyarakat Muslim hal ini harus dipertahankan untuk menjaga orisinilitas teks nas.149 Gesekan beberapa bentuk hukuman Islam yang dianggap berada di dalam wilayah sakral dengan komunitas hukum internasional membuat gerah beberapa pihak yang berusaha membela hukum Islam. Merujuk pada situasi kini, apa benar hukuman rajam, potong tangan, qisas merupakan bentuk hukuman yang bersifat qath‘î yang sudah tidak ada ruang ijtihad di sana.150 Tentu saja masing-masing pihak bisa mengemukakan argumennya, tetapi alangkah baiknya juga mempertimbangkan situasi yang berlaku di dalam lingkup hukum internasional. Prinsip keadilan adalah nilai normatif yang harus dihormati semua pihak yang menjadi titik perbedaannya ketika diimplemetasikan dalam tataran praktik. Tentunya konsep normatif tersebut harus berpijak pada kondisi masyarakat sehingga nilai normatif itu memberi efek kepatuhan terhadapnya.151 Hukum dianggap sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan imperatif ketika hukum tersebut masih dipatuhi oleh sebagian besar komunitas yang mengakuinya. Lihat saja dalam tataran praktik dapat dilihat betapa banyak masyarakat Muslim yang tidak lagi mempraktikkan bentuk hukuman hudûd, maupun qisas di dalam kegiatan hukum mereka. Tentu saja mereka akan marah bila dikatakan sebagai orang yang tidak mematuhi perintah Allah karena bentuk hukuman tersebut termaktub di dalam teks nas. Realitas sosial masyarakat Islam di banyak negara tidak mempraktikkan hukuman hudûd di dalam perundang-undangan yang berlaku di negara mereka.152 Kenyataannya mereka lebih memakai bentuk hukuman yang berasal dari Barat seperti halnya di Indonesia yang secara nyata banyak mengimpor hukum dari Barat, terutama Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Gejala masyarakat Islam yang tidak mempraktikkan beberapa bentuk hukum yang secara tegas termaktub di dalam nas menimbulkan persepsi yang bisa diartikan lain. Kenyataan masyarakat Islam lebih mengamalkan bentuk hukum yang berasal dari Barat dari pada teks yang termaktub di dalam nas. Kepercayaan terhadap hukum Barat apakah disebabkan mulai lunturnya kepercayaan terhadap nas atau ulama fiqh yang tidak mampu menyahuti kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Penolakan terhadap Piagam Jakarta menjadi tamparan keras bagi masyarakat Islam yang konservatif. Betapa tidak umat Islam sendiri banyak yang menolak bila syariat Islam diberlakukan secara formal akan menimbulkan masalah yang lebih besar.153 Lihat saja pihak tertentu yang mengatasnamakan kelompok yang menegakkan amar ma‘rûf dan nahî munkar sering melakukan sweeping tempat-tempat yang dituding lokasi maksiat, baik itu perjudian ataupun pelacuran. Ketakutan mayoritas umat Islam dalam pemberlakuan syariat Islam bukan karena keraguan terhadap ajaran Islam, akan tetapi lebih pada kekhawatiran nama syariat akan dibajak oleh kelompok garis keras yang sering memaksakan pemahaman keislaman mereka.154 Merupakan hal yang aneh terjadi di dunia Islam beberapa dekade terakhir karena mereka lebih nyaman berada dalam barisan hukum dari Barat dibandingkan dengan syariat Islam. Kasus larangan perempuan mengangkang ketika dibonceng dengan sepeda motor merupakan pressure yang tidak perlu kepada perempuan sehingga makin memperburuk
116
citra Islam dalam qanûn yang baru dikeluarkan oleh pemerintah provinsi Aceh. Alangkah naifnya terminologi syariat Islam dibawa hanya mengurus persoalan yang sangat sepele seperti itu. Kalau begitu penolakan pemberlakuan hukuman hudûd maupun qisas di kebanyakan negara Islam dapat dibenarkan bila melihat gejala umum yang terjadi. Sering kali syariat Islam dijadikan sebagai tameng untuk memaksakan kehendak di dalam masyarakat Islam yang menimbulkan trauma yang mendalam. Mayoritas umat Islam di dunia mengkhawatirkan nama syariat Islam hanya digunakan kelompok tertentu untuk memuluskan agenda mereka sendiri. Banyak masyarakat Islam yang lebih nyaman mempraktikkan hukum Barat karena tidak ada pressure kepada pihak mana pun, bahkan lebih menekankan aspek egaliter. Itu sebabnya lebih banyak umat Islam yang mau pindah ke Barat daripada orang Barat ke dunia Islam saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya tingkat imigrasi ke negara Barat.155 Pembajakan otoritas pihak Islam garis keras di dalam dunia Islam memperburuk citra Islam itu sendiri, lihat saja opressi yang masih sering terjadi kepada perempuan di Saudi Arabia.156 Tingginya tingkat kekerasan yang terjadi di Pakistan sebagai negara yang mengaku berdasarkan syariat Islam. Pembajakan nama Islam yang dilakukan sekelompok garis keras di dalam Islam membuat reputasi Islam menjadi buruk di mata dunia internasional.157 Terlebih setelah banyaknya kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam melakukan tindakan yang melanggar hukum. Walaupun dalam term tertentu alasan mereka untuk melakukan tindakan itu dapat dipahami, akan tetapi hal tersebut jangan dikaitkan dengan nama jihad yang akhir-akhir ini menjadi terminologi yang negatif bagi dunia Barat. Istilah jihad yang sangat sakral bagi umat Islam menjadi rusak akibat perbuatan sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dalam melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan. Ada kesan kekuatan dunia Barat bersatu untuk menghadapi gelombang kekerasan yang berasal dari komponen umat Islam. Hal itu menjadikan Islam sebagai musuh bersama bagi mereka, konsep jihad yang disalahartikan hanya berkaitan dengan kekerasan fisik. Bahkan, kecenderungan membunuh orang kafir dengan alasan klaim teologis menjadi hal harusnya dihindari karena Islam sebenarnya ajaran yang sangat humanis.158 Pembajakan nama Islam oleh sekelompok orang yang mengaku Islam sangat mengganggu golongan Islam yang moderat merupakan kelompok mayoritas. Akan tetapi, akibat dari perbuatan mereka stigma jihad yang sangat sakral di dalam Islam menjadi terminologi kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan.159 Sering sekali akibat pressure yang dirasakan kepada umat Islam sangat kuat karena perbuatan segelintir orang yang mengatasnamakan Islam.160 Islam harus diperkenalkan dengan melakukan interaksi dengan peradaban yang sedang leading saat ini. Umat Islam tidak boleh menutup diri dan hanya lari dari kenyataan betapa tertinggalnya mereka, seharusnya dengan melakukan interaksi tersebut sehingga muncul evaluasi terhadap diri serta introspeksi ke dalam. Dalam konteks hukum Islam misalnya, bangunan hukum yang dibangun di dunia Barat biasanya merujuk pada legislasi di DPR atau legitimasi peradilan.161 Legislasi yang dilakukan di DPR biasanya akan memunculkan peran yang kuat kepada akademisi di luar struktur untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada DPR yang merupakan manifestasi dari perwakilan masyarakat.162 Sementara, konsep legitimasi lebih memberikan wewenang kepada hakim untuk melakukan ijtihad sendiri terhadap masalah yang sedang ditanganinya tentunya dengan kitab perundang-undangan sebagai dasar hukum. Di dalam Islam, tampaknya peran ulama yang berada di luar struktur pemerintahan masih kurang diakomodir karena belum ada perangkat yang membuat hal tersebut menjadi terwujud.163 Karena peran parlemen hampir tidak dikenal di dalam masyarakat Islam sebelum negara-negara modern terbentuk. Hal tersebut menunjukkan keputusan pengadilan yang dibuat oleh hakim sering sekali dalam kontrol penguasa karena tidak adanya pengawasan terhadap mekanisme peradilan di dalam dunia Islam.164 Prinsip legislasi yang terjadi di dunia Barat merupakan sarana bagi akademisi di luar struktur pemerintahan untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap perundang-undangan yang akan dibuat. Berbeda dengan yang berlaku di masyarakat Islam yang cenderung menggunakan sumber hukum dari kitab-kitab yang berasal dari mazhabnya. Secara formal, sejarah peradilan di dalam Islam sangat terkait dengan paham mazhab yang
117
dianut oleh penguasa serta qadi. Artinya, kesinambungan atmosfir fiqh yang berkembang sangat tergantung pada setting agenda dari kalangan elit ke masyarakat bawah.165 Hal tersebut dianggap tidak sehat dalam perkembangan hukum Islam itu sendiri karena lebih banyak berpihak pada kalangan elit saja kurang mengadopsi kepentingan masyarakat bawah. Dapat dibayangkan produk hukum yang dihasilkan dari kondisi masyarakat bawah tidak memiliki media perantara aspirasi mereka kepada pihak penguasa. Walaupun kekuasaan hakim yang digambarkan dalam fiqh klasik sebagai pihak yang cukup berperan aktif dalam mencari bukti tambahan untuk memutuskan suatu perkara. Tidak seperti hakim pada masa sekarang yang hanya bergantung pada proses penyidikan kepada polisi dan penyelidikan jaksa. Akan tetapi, hakim pada masa kejayaan fiqh bisa membentuk penyidikan independen untuk memutuskan suatu kasus. Bila merujuk pada wewenang yang dimiliki oleh Komisi Pemberantas Korupsi yang memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam hal memberantas korupsi karena memegang hak penyidikan dan penyelidikan.166 Sementara, hakim dalam fiqh bisa memiliki empat kewenangan sekaligus penyidikan, penyelidikan, penuntutan, serta pemutusan hukum.167 Kekuasaan hakim yang begitu tinggi di tangan hakim karena peradilan di dalam sejarah Islam memiliki dasar filosofi yang berbeda. Peradilan konvensional, terutama dalam kasus pidana, pihak penegak hukum dikategorikan sebagai penegak hukum yang mewakili negara untuk melawan pelaku tindak pidana. Ketika seorang melakukan tindakan pidana maka dirinya disamakan sebagai pihak yang melawan negara sehingga secara otomatis dia dianggap sebagai musuh negara. Negara berkewajiban melengkapi diri dengan segala aparatur penegak hukum yang dimiliki layaknya ingin melakukan serangan kepada pihak musuh. Sementara itu, prinsip peradilan di dalam Islam tidak menganggap sebagai pelaku tindakan kejahatan sebagai musuh negara, tetapi dianggap sebagai hamba Allah yang keluar dari jalur yang ditetapkan syariat sehingga perlu diluruskan dengan benar.168 Seorang hakim yang dianggap sebagai wakil Allah bukan wakil negara dalam memutuskan suatu kasus hukum. Karena itu, yang diperlukan dari proses pembuktian terhadap pelaku kriminal dengan insting hukum yang tinggi yang dimiliki seorang hakim. Di dalam fiqh, hakim boleh membentuk tim independen untuk menguatkan argumennya bila ada pihak yang diragukan kesaksian dari pihak yang berperkara. Kasus perkara yang melibatkan Umar dengan seorang Yahudi merupakan ilustrasi yang sering digambarkan di dalam kitab-kitab fiqh yang terkait equality before the law di dalam Islam. Seorang khalifah dikalahkan oleh seorang Yahudi dalam perkara yang menyangkut tentang kepemilikan kuda.169 Figur tidak begitu dianggap penting di dalam peradilan Islam karena lebih mementingkan bukti di depan hakim. Bila hal tersebut dijadikan ukuran tentunya sangat berbeda dengan kriteria yang dikemukakan oleh ahli hadits yang lebih mementingkan sosok figur yang lebih utama. Tidak mengherankan ada beberapa hadits yang dianggap sahîh kemudian dianggap bermasalah karena matannya bertentangan dengan kaedah umum yang dianggap benar. Tentu bila merujuk pada kriteria ahli hadits maka hakim yang memutuskan perkara dalam masalah kuda tersebut meragukan ketsiqahan Umar karena memenangkan perkara tersebut kepada pihak Yahudi.170 Putusan hakim dalam sejarah fiqh tidak bisa dibatalkan sehingga tidak ada skema banding, hal tersebut didasarkan pada kaedah yang berlaku dalam fiqh bahwa ijtihad tidak bisa di batalkan dengan ijtihad lainnya.171 Karena itu, putusan hakim harus dipahami sebagai bagian dari ijtihad yang tidak boleh dibatalkan dengan ijtihad yang lain. Proses pembuktian merupakan salah satu elemen yang penting di dalam pengadilan sehingga harus dilihat dari sisi ini. Masalah fiqh yang paling pelik saat ini berkaitan dengan tidak adanya otoritas yang diakui pasca kejatuhan kekuasaan khilafah di dalam Islam. Hal tersebut disebabkan kajian fiqh selama ini sangat terkait dengan intervensi politik. Secara psikologi, posisi MUI yang sangat kuat dalam masalah label halal menunjukkan otoritas di dalam Islam tidak harus dengan bentuk kekuasaan formal.172 Mengherankan bila diperhatikan kepatuhan umat Islam terhadap lembaga semacam MUI kepatuhan yang ditunjukkan sangat
118
kuat bila menyangkut hal yang berkaitan dengan masalah halal. Tidak demikian bila menyangkut masalah lainnya dalam tataran ijtihad yang menyangkut dengan kehidupan umat Islam. Dewasa ini, polarisasi tidak berlaku lagi seperti dulu antara dunia Muslim dan Barat. Hal itu karena definisi Barat yang cenderung Kristen tidak bisa digunakan serta merta karena tidak sedikit di antara mereka sekaligus menjadi seorang Muslim sehingga dikotomi Barat yang identik sebagai Kristen tidak bisa lagi dijadikan argumen. Bahkan, diakibatkan pertumbuhan umat Islam yang cukup tinggi di negara-negara Barat menimbulkan dilema tersendiri bagi mereka, hal tersebut menyangkut tentang klaim mereka sebagai pembawa peradaban yang membawa jargon multikulturalisme, demokrasi, equality.173 Hal tersebut memaksa mereka harus mengadopsi beberapa hak dasar komunitas Muslim untuk diberi ruang mengamalkan ajaran keyakinan, termasuk dalam mengimplementasikan syariat Islam. Terminologi syariat sering dipelintir sebagai sesuatu yang menyangkut tentang hal barbar dan opresi terhadap perempuan membuat pihak otoritas mempelajari tentang syariat sebenarnya serta menganalisis dimensi tertentu yang cocok diimplementasikan di dalam masyarakat Barat.174 Pidato Rowan William seorang Arbichop dari Cadburry di hadapan anggota perlemen sebagai sesuatu yang cukup menyentak hadirin karena menganjurkan dengan bahasa sedikit mendesak kepada pemerintah Inggris untuk memberikan hak bagi warga Muslim, untuk mempraktikkan syariat Islam bagi komunitas mereka. Hal tersebut menimbulkan protes yang sangat keras dari masyarakat Inggris yang menganggap usulan Rowan William itu akan menjadi ancaman yang serius bagi identitas masyarakat Inggris serta akan meningkatkan disintegrasi yang terjadi di masyarakat Inggris yang di dominasi masyarakat Kristen Protestan. Sementara itu, di Amerika, tampaknya sentimen terhadap syariat Islam tidak sebesar di negaranegara Eropa. Hal tersebut terjadi disebabkan komposisi Muslim relatif lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah di Eropa. Di samping itu, populasi Muslim belum dianggap ancaman bagi masyarakat Amerika secara umum juga pengaruh pengalaman sejarah perang salib tidak sebesar dengan masyarakat Eropa. Konsep fiqh yang selama ini sangat terpengaruh dengan kondisi masyarakat Arab sepertinya harus mulai memahami kondisi masyarakat Muslim yang berasal dari belahan dunia lain yang relatif sangat berbeda dengan masyarakat Arab umumnya.175 Kondisi masyarakat Eropa yang hampir tidak membedakan gender dalam berkontribusi di dalam masyarakat harus dilihat sebagai input yang cukup positif dalam membangun konsep fiqh yang lebih komprehensif. Dapat dipahami beberapa teks nas yang menyangkut masalah hukum harus dilihat sebagai solusi instrumen hukum yang bersifat mendesak dalam konteks situasi pada masa itu. Adanya perbedaan dalam menempatkan perempuan dan pria dalam beberapa hal di bidang hukum, seperti waris, saksi maupun dalam masalah suksesi kepemimpinan harus dilihat sebagai instrumen hukum di dalam nas yang bersifat ad-hoc. Karena bila hal tersebut dipahami sebagai khitâb yang bersifat permanen tentunya sangat bertentangan dengan prinsip dasar di dalam syariat, yang melihat setiap orang di dalam Islam adalah setara yang membedakan mereka adalah tingkat ketaqwaan di depan Allah.176 Bila umat Islam tidak bisa keluar dari kemelut hukum dalam masalah gender ini akan menyulitkan berkembangnya hukum Islam, bahkan dikhawatirkan akan tetap stagnan.177 Situasi dunia saat ini yang cenderung saling tergantung antara satu dengan lainnya memiliki ekses saling mempengaruhi, baik itu di bidang ekonomi, politik, dan tentu saja produk hukum yang dihasilkan di dalam suatu negara.178 Sudah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan sebagian besar negara-negara mayoritas Muslim banyak mengimpor produk hukum dari Barat yang mengatur hampir setiap sisi hukum. Dalam banyak hal akan membuat hukum fiqh mulai tidak dipandang penting lagi karena kurang memberikan kontribusi yang signifikan dalam masyarakat Muslim. Reduksi makna hukum Islam hanya mencakup bagian sangat kecil dalam kehidupan meliputi masalah perkawinan dan ibadah ritual semata. Bila dibiarkan seperti ini maka sekulerisasi yang terjadi di negara-negara Muslim adalah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Dalam bidang ekonomi misalnya, tampaknya keterlibatan masyarakat dalam produk
119
yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan yang memakai nama syari‘ah lebih pada keterlibatan emosional, bukan untuk motivasi untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi. Islam bukan agama tetapi agama itu adalah Islam. Ketika seseorang mengartikan Islam sebagai agama maka sama saja menganggap sama dengan agama Kristen, Budha, Hindu, maupun agama lainnya. Akan tetapi, kenyataannya pengalaman sejarah membuktikan bahwa Islam tidak mau hanya diperlakukan sebagai ajaran teologi saja. Lebih dari itu, kenyataannya peradaban Islam yang terbentuk pada abad pertengahaan ketika Islam diperlakukan tidak hanya sebagai ajaran yang hanya mengandung teologi. 179 Maraknya kajian berbagai disiplin ilmu yang menafsirkan teks nas menunjukkan bahwa Islam bukan hanya mengandung ajaran teologi semata. Ketika Baghdad menjadi pusat peradaban dunia, kajian Islam tidak hanya dimonopoli oleh satu aliran saja, bahkan hampir semua aliran dibolehkan untuk mengembangkan eksistensi mereka,180 baik itu aliran yang terdapat di dalam fiqh, teologi, filsafat. Meredupnya peradaban Islam terjadi ketika persaingan tidak sehat dengan melakukan konsolidasi kekuatan untuk memberangus aliran yang tidak sepaham dengan mereka. Kajin fiqh tampaknya terhambat perkembangannya seiring dengan makin kuatnya pengaruh kelompok hadits yang berwajah fiqh sehingga membuat gerak laju perkembangan fiqh menjadi sangat berjalan ditempat. Kelompok hadits yang merasa di atas angin karena klaim memperjuangkan masa depan warisan utama di dalam Islam. Terkesan terlalu jauh dalam melangkah sehingga tidak memberikan ruang cukup bagi fiqh untuk berkembang.181 Bagaimana mungkin fiqh bisa berkembang bila ukuran kesahihan hadits yang dijadikan standard dalam berijtihad masih merujuk pada pola hadits yang terdapat di dalam kitab hadits standard al-Kutub as-Sittah. Munculnya kitab hadits standard bukan tanpa alasan yang kuat, melainkan sebagai respon terhadap kebutuhan umat Islam terhadap hadits yang sangat tinggi, di sisi lain marak terjadi pembuatan hadits-hadits palsu.182 Hal tersebut membuat kalangan ulama hadits berusaha sekuat tenaga untuk melakukan usaha penyaringan terhadap hadits-hadits yang ada dari upaya pemalsuan hadits. Hasilnya munculnya kitab-kitab hadits yang dikenal selama ini yang masing-masing ulama hadits penulis kitab hadits tersebut menganggap sebagai kitab hadits sahih.183 Merupakan suatu kewajaran bila kitab hadits yang mereka tulis sebagai kitab hadits yang sahîh atau pun paling sahîh, akan tetapi menjadi tidak kurang bijak bila pola konten pembahasan utama di dalam kitab hadits mereka dianggap sebagai sesuatu yang bersifat final. Sebenarnya, konten pola pembahasan hadits yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah tidaklah bersifat permanen, termasuk pilihan terhadap judul yang terdapat di dalam kitab standard di atas. Hal itu dikarenakan pilihan tema pembahasan yang terdapat di dalam kitab hadits standard di atas sangat terpengaruh dengan kondisi sosial yang ada pada masyarakat ketika itu, khususnya dominasi fiqh. Rentang akhir abad ke-1 H hingga abad ke-4 H, dominasi pembahasan fiqh di dunia Islam sangat kuat kemudian diikuti pembahasan tentang hadits.184 Tidak mengherankan bila tema-tema yang terdapat di dalam kitab hadits hampir menyamai pembahasan dengan tema yang terdapat di dalam kitab fiqh. Kajian fiqh sangat terkait dengan pembahasan tentang hadits, hampir mustahil bila mengharapkan berkembangnya kajian fiqh bila pembahasan ilmu hadits sudah dianggap final, terutama setelah eksisnya al-Kutub as-Sittah sebagai kitab hadits standard yang menjadi rujukan dalam hukum selain al-Qur’an. Masalahnya harus ada suatu keputusan bahwa susunan tema-tema hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits yang ada bukan bersifat qath‘î, bahkan bisa dimodifikasi dengan tema-tema yang sesuai dengan kebutuhan zaman.185 Akan tetapi, sampai saat ini, hampir tidak ada suatu kitab hadits yang ditulis kembali dengan tema-tema atas dasar kebutuhan sesuai dengan kondisi saat ini secara komprehensif. Bila merujuk pada paradigma teks nas, baik itu al-Qur’an maupun hadits yang berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi dengan Nabi Muhammad Saw. atau sahabat, maka teks hadits tersebut bersifat zanni sehingga masih terbuka ruang untuk melakukan interpretasi di dalamnya. Masalah radha‘ah al-kâbir misalnya adalah solusi yang diberikan oleh Nabi Muhammad agar Sahlah binti Suhail merasa tenang disebabkan
120
Salim sudah dianggap sebagai muhrimnya.186 Kuatnya larangan bagi perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim berada dalam suatu tempat yang bukan di ruang publik dapat dipahami langkah pencegahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. terhadap kemungkinan munculnya kejahatan yang berkaitan dengan seksual. Akan tetapi, solusi rada‘ah al-kâbir yang dilakukan pada masa Nabi tampaknya tidak bisa lagi dilakukan pada saat ini. Saat ini, tuntutan pekerjaan memaksa perempuan Muslim terkadang harus berada dalam suatu ruangan yang relatif tertutup dengan lelaki yang bukan muhrim.187 Bila merujuk pada situasi sosio kultural pada masa Nabi Muhammad Saw. dan beberapa generasi setelahnya tampaknya solusi radha‘ah al-kâbir tersebut masih kurang bisa digunakan sebagai solusi terhadap permasalahan kasus yang menimpa Sahlah binti Suhail. Perempuan pada masa itu relatif hanya berperan dalam lingkup domestik yang berkaitan dengan urusan rumah tangga semata. Tampaknya penegakan law in forcement merupakan solusi terhadap permasalahan di atas, lazimnya di kantor-kantor, baik itu negeri dan swasta, biasanya sudah dipasang CCTV di ruang tertentu untuk urusan internal maupun yang berkaitan dengan masalah hukum.188 Radha‘ah al-kâbir bisa ditafsirkan sebagai langkah hukum temporal karena solusi yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad ketika itu bersifat ad-hoc bukan permanen. Masalah sosial yang sangat berbeda dengan ulama klasik yang telah merumuskan dasar-dasar dalam fiqh tidak serta merta bisa digunakan sebagai solusi saat ini. Sedikitnya ijtihad yang berkaitan dengan hubungan sosial seperti yang dihadapi dewasa ini harus disikapi dengan cepat agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar bagi perkembangan hukum itu sendiri.189 Intensitas hubungan antara anggota masyarakat memaksa perubahan cara pandang fiqh terhadap masalah tertentu. Tidak seperti zaman abad pertengahan ketika terjadi perang salib, secara geografis dapat dipastikan demografi penduduk sebagai penganut agama tertentu. Bila Eropa identik dengan Kristennya maka Timur Tengah identik dengan Islam sehingga sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek kemasyarakatan lainnya.190 Sekarang ini, tampaknya stigma tentang hal tersebut tidak bisa lagi digunakan karena pertumbuhan umat Islam yang relatif cepat, bahkan pusat-pusat kajian Islam banyak bermunculan di sana. Kontribusi Barat terhadap kajian-kajina keislaman modern tidak sedikit, bahkan banyak dari sarjanasarjana Islam yang belajar Islam di Barat sehingga menimbulkan warna yang relatif berbeda dengan kajian Islam di Timur. Krisis terhadap konsep otoritas yang melanda fiqh sebenarnya akan lebih fleksibel bila merujuk beberapa karya ulama-ulama klasik yang sudah berani keluar menjadikan pendapat sahabat atau tabi‘in sebagai dasar sandaran hukum. Sepertinya kesulitan yang dihadapi oleh kalangan pemerhati hukum Islam akan lebih mudah bila konsep otoritas dan autentisitas yang dibangun tidak dengan mencontoh seperti pada masa lalu.191 Kesulitan konsep otoritas yang menjadi kendala di dalam dunia Islam didasarkan pemahaman filosofi bahwa otoritas absolut hanya dimiliki oleh Allah yang didistribusikan kepada Nabi. Sementara itu, selain yang disebutkan di atas tidak ada pihak yang bisa mengklaim memiliki otoritas, artinya konsep legitimasi sangat kuat dianut oleh masyarakat Islam sejak awal terbentuknya. Legitimasi terkait dengan dominasi dalam mengimplementasikan suatu aturan.192 Ketika dominasi peradaban tidak berada di tangan umat Islam, tentu legimasi keilmuan yang hendak dijadikan dasar akan mengalami kesulitan. Krisis legitimasi yang terjadi saat ini disebabkan secara kapasitas keilmuan di kalangan akademisi Muslim kurang memiliki integritas keilmuan untuk dapat merumuskan konsep kajian hukum yang hendak dibangun.193 Mustahil rasanya bila kajian tentang hukum Islam tidak bisa jalan bila semangat legitimasi yang diharapkan harus merujuk otensitas keilmuan yang dihasilkan oleh produk abad pertengahan. Belum ada kesadaran dari umat Islam untuk melepaskan mimpi untuk dapat terus berijtihad dengan autentisitas pada masa lalu. Bisa saja semangat kajian fiqh kembali marak dengan metodologi yang ada sekarang ini, tetapi menghadapi kendala legitimasi. Hampir semua teori pendekatan keilmuan saat ini dihasilkan oleh peradaban Barat, sementara itu tuntutan untuk menghasilkan karya fiqh yang original lahir dari akademisi
121
Muslim mustahil terjadi saat ini. Artinya, harus ada ketegasan yang akan dicapai bahwa kajian fiqh yang hendak dikembangkan, apakah harus menggunakan metodologi masa lalu atas nama autentisitas atau menggunakan metodologi Barat. Autentisitas merupakan masalah tersendiri yang terjadi di dunia Islam, sering kali masa keemasan Islam dijadikan alasan semu bagi umat Islam untuk membuat kajian Islam yang orisinil. Padahal, infrastruktur keilmuan yang ada saat ini tidak memungkinkan bagi umat Islam untuk melakukannya. Lihat saja betapa metode hermeneutika yang sangat berjasa dalam pengembangan pemahaman terhadap teks-teks normatif di Barat. Akan tetapi, ketika metode tersebut hendak dikembangkan di dunia Islam tidak sedikit resistensi yang bermunculan dengan berbagai alasan yang ada. Autentisitas yang hendak dibangun dalam kondisi umat Islam tertinggal dari segi peradaban agaknya mustahil bisa diwujudkan bila tidak ingin mengadopsi metodologi Barat yang saat ini leading. Hal itu juga mereka lakukan untuk membangkitkan peradaban mereka dengan mengadopsi metodologi yang dihasilkan ilmuwan Muslim. Otoritas yang dikembangkan dalam kajian keislaman, khususnya fiqh, lebih termotivasi oleh political theology.194 Political theology ini dimaksudkan untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat Islam. Bahkan, dalam tulisan pertama al-Bukhari tentang hadits, hanya memuat kebanyakan pendapat dari sahabat saja. Sering kali dijumpai ulama fiqh mengutamakan hadits mursal bila dianggap lebih cocok dan masuk akal.195 Artinya, ulama dari generasi pertama juga sudah tidak hanya tergantung dengan teks yang disandarkan langsung kepada Nabi. Keberanian ulama hadits abad ke-3 H atau abad ke-4 H menunjukkan langkah berani karena mereka merasa memiliki otoritas dalam memilih rujukan hukum yang cocok dengan kebutuhan mereka.196 Langkah mereka untuk merujuk pendapat sahabat didasarkan kebutuhan untuk mendapat legitimasi dari masyarakat Muslim umumnya. Legitimasi sering sekali dikaitkan dengan political theology sehingga menciptakan nuansa yang kurang bersahabat dalam perkembangan kajian fiqh. Banyaknya kajian Islam yang berpusat di negara-negara Barat tentunya akan memberikan warna tersendiri pemahaman tentang Islam itu sendiri.197 Kajian Islam di Barat di dasarkan atas pendekatan akademisi akan lebih banyak melakukan koreksi dalam segi metodologinya. Dewasa ini, tidak sedikit dari karya kitab klasik yang dilakukan penelitian mendalam dilakukan oleh akademisi Barat yang bukan beragama Islam. Masalahnya ketika karya tersebut dijadikan sebagai referensi yang berkaitan dengan fiqh tentunya menghadapi krisis legitimasi. Artinya, dari segi metodologi ilmiah karya tersebut sangat layak untuk dijadikan sebagai referensi dalam menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan hukum Islam. Di sisi lain, legitimasi suatu karya ijtihad akan mengalami degredasi keilmiahan karena pendapat yang dirujuk bukan berasal dari ulama. Tidak mengherankan banyak karya akademisi Muslim yang terkait dengan hukum Islam masih juga merujuk pendapat ulama klasik walaupun dalam banyak hal terlalu dipaksakan.198 Hal itu terjadi karena masalah legitimasi yang dipahami akan menjadi masalah yang serius bila dalam masalah yang berkaitan dengan urusan internal umat Islam saja harus merujuk kepada pendapat akademisi Barat. Dengan alasan legitimasi itu pula akademisi Muslim sampai saat ini masih bersemangat merujuk pendapat ulama fiqh klasik yang terkadang sudah usang. Lihat saja pembahasan tema-tema fiqh kontemporer masih dipaksakan merujuk pendapat ulama klasik yang mereka sendiri tidak memiliki gambaran tentang masalah yang dihadapi oleh masyarakat dewasa ini. Wilayah fiqh yang dianggap sebagai area yang terlarang dimasuki oleh mereka yang berada di luar Islam, bahkan untuk internal sesama Muslim saja terkesan terdapat pembatasan. 199 Pembatasan yang dimaksud di sini hanya untuk mereka yang memilki latar belakang kultur Arab. Kenyataanya kajian fiqh begitu sulitnya untuk berkembang disebabkan banyaknya pembatasan yang tidak perlu dilakukan. Sementara itu, pihak di luar Islam tidak mengenal pembatasan sehingga laju perkembangannya sangat kuat. Fiqh sangat terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dibayangkan betapa sulitnya ulama Islam untuk merumuskan produk hukum sesuatu karena pastinya akan bersentuhan dengan science dan teknologi.200 Produk hukum fiqh kontemporer saat ini masih stagnan kurang berkembang karena
122
dalam prosesnya harus merujuk kepada pendapat ilmuwan Barat yang bukan Muslim. Produk fiqh diasumsikan sebagai manifestasi hukum syariat yang berasal dari Allah, tetapi mengutip pendapat mereka yang kafir tentunya menjadi sangat naif. Kasus bank sperma misalnya menimbulkan masalah tersendiri dalam penerapan hukumnya dalam banyak aspek. Secara science sperma bisa bertahan sampai sepuluh tahun bila disimpan dalam kondisi yang sesuai dengan temperatur tertentu. Misalnya bagaimana hukum seorang perempuan yang hamil dari sperma suaminya yang sudah wafat karena sebelumnya telah disimpan di dalam bank sperma.201 Tentu menimbulkan dilema tersendiri karena harus merekonstruksi pemahaman tentang konsep dasar fiqh yang berkaitan dengan hal itu. Sangat naif bila ijtihad yang dilakukan harus juga dipaksakan dengan merujuk pendapat ulama klasik (imam mazhab) karena mereka sendiri tidak memilki gambaran yang jelas tentang hal itu. Tidak ada gunanya untuk bersikap gengsi dalam masalah ilmu pengatahuan ini hal tersebut akan menjadikan umat Islam teralienasi sendiri dengan perkembangan zaman.202 Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat dewasa ini tentunya memiliki ekses bagi perkembangan hukum Islam tentunya. Sekarang ini seseorang bisa saja meminta fatwa kepada ulama yang berada di luar negeri terhadap permasalahan yang dihadapinya. Hal tersebut bisa membuat konsep fatwa yang biasanya bersifat lokal menjadi global.203 Dengan konektivitas internet seseorang dengan mudah meminta fatwa dari ulama yang dinginkan dari tempat yang jauh. Fakta mengatakan bahwa kelompok aliran keras yang sering melakukan kekerasan atas nama agama mendapatkan fatwa dari ulama garis keras lainnya melalui fatwa di internet. Konsep otoritas keagamaan saat ini agak lebih kompleks dari sebelumnya karena seseorang merasa membutuhkan legitimasi hukum akan dengan mudah mendapatkan fatwa online tersebut. Kerancuan dalam masalah legitimasi di dalam umat Islam kini disebabkan belum adanya institusi global yang bisa menyatukan persepsi yang berbeda di dalam masyarakat Islam. Perpecahan di dalam Islam hampir tidak bisa diperbaiki lagi kalau tidak ingin mengatakan sebagai kutukan yang masing-masing mengklaim sebagai pemilik otoritas. Lembaga keislaman yang bersifat internasional tampaknya belum mampu mendorong umat Islam untuk satu barisan mewujudkan kemandirian hukum, ekonomi, kultur, dan politik. Hanya dengan institusi saja komunikasi yang produktif akan menghasilkan persamaan dalam cara pandang pemikiran konstruktif.204 Otoritas terkadang diartikan berkaitan ikatan emosional yang dimiliki oleh pemahaman teologi seseorang, bisa saja seseorang yang tinggal di Indonesia akan tetapi lebih memilih ikatan emosional dengan ulama di belahan dunia lain.205 Otoritas yang demikian didasarkan oleh kefanatikan terhadap sosok ulama tertentu yang dianggap memilki kekuatan spiritual yang tinggi. Tidak mengherankan kelompok garis keras yang berada di Indonesia bisa melakukan kekerasan dengan bom bunuh diri dengan berpatokan fatwa dari Osama bin Laden. Otoritas yang dimiliki oleh sosok seperti ini lebih banyak mendapatkan simpati dari kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil oleh yang mereka sebut sebagai konspirasi kejahatan. Dengan demikian, otoritas selalu terkait dengan legal formal, tetapi bagaimana menanamkan kepercayaan sehingga menimbulkan kepatuhan bagi orang yang mengikutinya.206 Di Eropa lembaga keislaman yang ada rata-rata tidak diakui secara resmi oleh pemerintah di sana, tetapi institusi keislaman marak tumbuh. Seperti lembaga halal di Belanda, ada beberapa lembaga halal yang ada di Belanda, di antaranya satu di Leiden, dua di Denhaq, satu lagi di Rotterdam yang merupakan lembaga halal Eropa yang berkedudukan di Belanda.207 Lembaga halal tersebut walaupun tidak diakui secara resmi oleh kebanyakan negara di Eropa, akan tetapi secara de facto lembaga sejenis seperti ini memiliki otoritas yang sangat tinggi bagi masyarakat Muslim di sana.208 Pemahaman otoritas yang selama ini sering dikaitkan dengan kekuasaan politik hendaknya mulai ditinggalkan karena ternyata kurang efektif untuk perkembangan kajian Islam, karena akan selalu diikuti oleh resistensi dari pihak yang merasa tidak terwakili oleh institusi itu. Rivalitas antara Sunni dan Syiah lebih banyak dibakar oleh keterlibatan otoritas politik di dalamnya sebab konsep otoritas yang dibangun atas disain otoritas legal formal. Tidak seperti
123
munculnya mazhab fiqh di dalam Islam yang lahirnya bersifat natural sehingga tidak ada pihak yang merasa dizalimi keberadaan mazhab yang lain.209 Otoritas al-Kutub as-Sittah muncul disebabkan oleh intervensi kekuasaan politik yang tidak lahir secara natural, akan tetapi ada semacam privilege yang diberikan oleh penguasa. Lebih menguatkan posisi otoritas al-Kutub as-Sittah ialah political theology yang dilakukan kolaborasi antara ulama hadits dan penguasa. Secara jelas tidak ada statement dari ulama hadits yang mengatakan bahwa selain al-Kutub asSittah kitab hadits yang lain tidak boleh dipakai sebagai landasan hukum. Ternyata ulama hadits maupun fiqh masih mengakui kitab hadits yang ada mulai dari abad ke-2 H sampai abad ke-5 H sebagai kitab yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Terminologi al-Kutub as-Sittah sangat berkaitan dengan digunakan pada masa Harun al-Rasyid sebagai khalifah dengan Hasan al-Syaibani sebagai qadi. Meminjam teori Weber yang mendiskripsikan tentang suatu otoritas baik itu yang menyangkut di dalam sturuktur sosial dan keagamaan selalu diikuti oleh orang-orang yang menggunakan momentum tersebut untuk mendapatkan otoritas yang dikuti setelahnya.210 Banyak dari kalangan ulama hadits yang menggunakan istilah al-Kutub as-Sittah untuk mendapatkan legitimasi otoritas yang dimiliki oleh Dinasti Abbasiah tersebut. Terminologi al-Kutub as-Sittah telah mendapat legitimasi yang sangat luas yang meliputi wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiah dari seluruh penduduknya. Tidak mengherankan dari segi pemasaran tampaknya ulama hadits sangat berhasrat menggunakan al-Kutub as-Sittah sebagai terminologi kitabkitab hadits yang menjadi sandaran hukum. Bagi orang awam tentunya hanya dengan nama al-Kutub asSittah maka akan mematuhinya karena dianggap sebagai undang-undang negara yang harus diikuti. Legitimasi yang sangat kuat di benak umat Islam tentang terminologi al-Kutub as-Sittah didasarkan kuatnya pengaruh politik, peradaban, maupun ikatan sosial yang dimiliki Dinasti Abbasiah. Kuatnya pengaruh Dinasti Abbasiah dengan al-Kutub as-Sittah sebagai kitab undang-undang negara membuat legimasi yang begitu mengakar di dalam sejarah Islam. Hampir tidak ada tantangan dari pihak internal umat Islam dengan terminologi tersebut karena pengaruh yang besar memberikan kontribusi besar bagi peradaban Islam. Uniknya walaupun kitab undang-undang negara “al-Kutub as-Sittah” terdiri dari kitab tokoh-tokoh mazhab Hanafi, akan tetapi tetap diterima oleh mazhab-mazhab lainnya.211 Di sampingi itu, hal itu juga memiliki kekuatan political theology dalam memberikan legitimasi kekuasaan Dinasti Abbasiah yang mem-back up penyebaran al-Kutub as-Sittah ini. Runtuhnya Dinasti Abbasiah tidak menghapuskan pengaruh al-Kutub as-Sittah masih tetap berada di hati umat Islam karena Dinasti Abbasiah dianggap sebagai dinasti terbaik yang pernah dimiliki oleh Islam pasca Khulafaur Rasyidin. 212 Dinasti ini mendapat dukungan hampir semua elemen umat Islam, baik dengan latar belakang teologi maupun mazhab, karena sejarah lahirnya Dinasti ini melibatkan banyak pihak dari latar belakang yang berbeda-beda dalam rangka melawan Dinasti Umayyah. Terminologi al-Kutub as-Sittah masih menyimpan legitimasi yang kuat bagi sebagian besar umat Islam sehingga ketika ulama hadits berusaha membonceng istilah al-Kutub as-Sittah dan menggantikannya dengan kitab-kitab hadits tidak mendapat reaksi dari sebagian besar umat Islam. Di benak umat Islam, terminologi al-Kutub as-Sittah sudah menjadi compendium yang harus diikuti, selain sebagai undang-undang juga keyakian salvation teologi yang identik dengannya. Ulama hadits melihat momentum ini untuk menaikkan status mereka yang selama ini selalu berada dalam bayang-bayang ulama hadits. Rivalitas ulama fiqh dan ulama hadits sebenarnya telah lama muncul, terutama diwakili oleh Imam Hanabila dengan ulama fiqh lainnya, yakni mazhab Hanafi. Kekuatan logika dalam memahami teks nas serta solusi hukum yang ditawarkan oleh ulama mazhab Hanafi mendapat simpati dari masyarakat.213 Sementara itu, kesan tradisional yang ditunjukkan oleh ulama hadits karena lebih mementingkan teks nas daripada solusi realitas sosial. Terminologi al-Kutub as-Sittah merupakan pembajakan istilah yang dilakukan oleh ulama hadits untuk mendapatkan legitimasi dari umat Islam. Sedikit sekali kalangan umat Islam, termasuk para akademisi yang mengetahui asal usul terminologi al-Kutub as-Sittah ini sehingga mengaburkan sejarah itu sendiri.214
124
Pembajakan istilah al-Kutub as-Sittah oleh ulama hadits dapat dibuktikan dengan beberapa terminologi yang mereka gunakan dalam hierarki kitab-kitab hadits. Sebelumnya, dikenal istilah al-Kutub as-Sab‘ah yang terdiri dari hierarki sembilan kitab hadits, al-Kutub ats-Tsamaniyah terdiri dari delapan kitab hadits, al-Kutub as-Sab‘ah yang terdiri dari tujuh kitab hadits, kemudian berhenti dengan nama alKutub as-Sittah. Terminologi ini lebih dikenal di dalam masyarakat karena sebelumnya sudah membumi sebagai kitab undang-undang negara pada masa Dinasti Abbasiah.215 Perbedaan yang mencolok antara alKutub as-Sittah Dinasti Abbasiah dengan al-Kutub as-Sittah ulama hadits terletak pada bentuk hierarki yang terdapat di dalamnya. Al-Kutub as-Sittah pada masa Hasan asy-Syaibani terdiri dari kitab undangundang yang tidak dalam bentuk hierarki. Disebabkan oleh semua kitab-kitab itu dipandang sebagai kitab rujukan hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan. Al-Kutub as-Sittah pada masa ini bersifat horizontal, artinya tidak ada yang lebih tinggi antara satu kitab dengan kitab lainnya. Hakim dapat menggunakan kitab mana saja yang dianggap sesuai dengan kondisi masalah yang sedang dihadapinya. Seorang hakim yang lebih cocok menggunakan kitab al-mabsûth Imam Abu Hanifa tentunya didasarkan atas pertimbangannya sendiri ketika tidak memilih kitab lainnya yang terdapat di dalam al-Kutub asSittah.216 Komposisi al-Kutub as-Sittah terdiri dari beberapa kitab utama yang dikarang oleh tokoh-tokoh besar mazhab Hanafi. Meskipun kitab tersebut menggunakan metode yang sama, untuk beberapa kasus terjadi perbedaan di antara mereka dalam memutuskan suatu kasus. Hal tersebut dapat dilihat dari komposisi kitab dalam al-Kutub as-Sittah. Tidak ada perbedaan kedudukan kitab-kitab yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah, baik itu kitab al-Mabsûth yang memuat buah pikiran dari Imam Abu Hanifa sebagai founding father mazhab Hanafi dengan kitab Jami‘ as-Saghîr karya muridnya Hasan asy-Syaibani. Persamaan perlakuan terhadap pemikiran antara guru dengan murid yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah memberikan gambaran betapa prinsip egaliter dalam sumber hukum dapat memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk karakter yang sesuai terhadap perkembangan hukum itu sendiri.217 Artinya, egaliter yang dipraktikkan di dalam penggunaan sumber hukum dalam kitab undang-undang al-Kutub as-Sittah ternyata memberikan kestabilan yang tinggi dalam perkembangan hukum Islam. Dapat dibayangkan bila dalam tataran praktik implementasi al-Kutub as-Sittah lebih mengutamakan pendapat Imam Abu Hanifa sebagai founding father, sehingga memberikan kesan mengenyampingkan peran dari pemikiran lainnya. Tentu gairah kajian fiqh yang ditunjukkan di dalam sejarah akan berbicara lain. Legalitas formal itu penting akan tetapi dengan memberikan kebebasan bagi hakim untuk menggunakan alternatif sumber hukum secara equal memberi kebebasan intelektual yang tinggi.218 Dinasti Abbasiah yang telah mengalami kemajuan peradaban menyadari pentingnya untuk memberikan pilihan kebebasan dari beberapa kitab undang-undang yang ditawarkan. Untuk tahap ini, bahkan institusi hukum modern tidak seliberal Dinasti Abbasiah yang memberikan kebebasan bagi hakim untuk memilih dan merujuk beberapa kitab undang-undang yang ada secara equal.219 Hampir tidak ada di dunia ini terdapat kitab undang-undang yang memberikan kebebasan bagi penegak hukum untuk menggunakannya. Artinya, hakim diberi tanggung jawab hukum yang tinggi untuk memutuskan suatu perkara yang ditanganinya. Konsep jurisprudensi pada masa Harun ar-Rasyid ini tidak didasarkan pada kesamaan kasus yang dihadapi, akan tetapi pada kitab yang digunakan dalam memutuskan sesuatu. Dunia hukum saat ini yang telah mengklaim sebagai zaman modern sampai saat ini masih menggunakan satu kitab undang-undang yang berlaku sehingga peran hakim sangat minimal dalam memutuskan suatu perkara.220 Ketika kitab hukum rujukan terdiri dari beberapa kitab tentunya memaksa hakim untuk lebih memahami rasionalitas yang terkandung di dalam kitab-kitab hukum tersebut. Sementara itu, konsep kitab undang-undang saat ini yang dikenal di dunia sangat otoriter karena terdiri dari satu bentuk kitab undang-undang yang berlaku secara legal. Hakim hampir tidak memiliki hak yang cukup untuk memahami rasionalitas kitab undang-undang tersebut. Di lain pihak, dengan memberlakukan enam kitab undang-undang yang setara membuat hakim bisa berbeda antara satu dan lainnya dalam
125
memutuskan suatu hukum. Tentunya kasus pemenjaraan seorang nenek yang dituduh mencuri kayu karena mengambil ranting-ranting untuk kayu bakar tidak terjadi. Begitu juga kasus pidana seorang anak yang dituduh mencuri sepasang sandal jepit tentunya tidak harus dipenjara bila hakim memiliki beberapa kitab undang-undang yang dapat dijadikan sebagai referensi hukum. Penggunaan istilah al-Kutub as-Sittah sebenarnya menyalahi etika akademisi yang dipahami banyak pihak, penggunaan istilah tersebut sangat mempengaruhi pikiran banyak orang dari generasi ke generasi. Identikasi al-Kutub as-Sittah yang dikenal sebagai kitab undang-undang yang berasal dari Dinasti Abbasiah telah membuat umat Islam mematuhinya layaknya undang-undang negara.221 Seharusnya ulama hadits tidak layak menggunakan istilah yang sama digunakan oleh Dinasti Abbasiah. Hal ini tidak sepantasnya dilakukan oleh orang-orang yang mengaku menjunjung tinggi etika kejujuran dalam berkarya. Naifnya lagi al-Kutub as-Sittah ala ulama hadits di-setting dalam bentuk hierarki seperti yang dikenal saat ini. Bentuk hierarki al-Kutub as-Sittah ala ulama hadits membuat perubahan besar dalam pola pikir di dalam masyarakat karena mulai menganggap kitab satu lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kitab hadits lainnya. Perubahan setting tersebut membuat pemasungan terhadap pemikiran dalam Islam yang tanpa disadari sangat otoriter karena membatasi hampir semua potensi pemikiran yang ada.222 Betapa tidak terminologi al-Kutub as-Sittah yang awalnya sangat akomodir terhadap pemikiran yang berkembang dipasung dalam bentuk political theology. Pemasungan ide yang dilakukan oleh ulama hadits ini sangat egois orientic karena menggunakan teks hadits sebagai alat pressure kepada akademisi untuk harus mengikuti patron mereka. Perubahan setting al-Kutub as-Sittah yang dilakukan oleh ulama hadits dapat dikategorikan sebagai bentuk pemenjaraan intelektual yang di terjadi di dalam dunia Islam.223 Anehnya, kebanyakan umat Islam tidak merasa terpenjara dengan setting al-Kutub as-Sittah ala ulama hadits ini. Bahkan, semangat untuk mempertahankan al-Kutub as-Sittah seperti saat ini tampaknya lebih menonjol karena sudah dianggap seperti sakral. Sakralitas hierarki al-Kutub as-Sittah sampai saat ini dianggap sama statusnya dengan mushaf Utsmani. Kenyataannya setelah kodifikasi kitab hadits menjadi mapan terutama setelah ulama hadits dapat membajak istilah al-Kutub as-Sittah tidak ada lagi ulama fiqh yang muncul sekelas ulama besar lainnya sebelum kodifikasi hadits. Pengaburan istilah al-Kutub as-Sittah ala ulama hadits sampai saat ini malah dianggap sebagai kontribusi besar di dalam dunia Islam. Hal tersebut dapat dilihat hampir semua pendapat hukum selalu ingin merujuk pendapat Imam Bukhari sebagai pemilik hierarki pertama. Langkah ini sama saja menjadi blunder yang tidak perlu terjadi, tulisan ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan Imam al-Bukhari, akan tetapi lebih pada melihat dari aspek yang lain,224 terutama dari aspek dampak yang ditimbulkan ketika al-Kutub as-Sittah ala ulama hadits mengggantikan peran al-Kutub as-Sittah undang-undang negara Dinasti Abbasiah. Cara ulama hadits membajak istilah al-Kutub as-Sittah telah menutup ruang kritik terhadap compendium yang mereka susun. Susunan hierarki yang ditetapkan oleh ulama hadits di dalam al-Kutub as-Sittah dikunci dengan terminologi kekultusan dari teks nas sehingga menutup ruang evaluasi terhadap ketetapan mereka.225 Perkembangan zaman modern membuka celah kepada kalangan akademisi untuk mengkritik produk pemikiran yang dianggap sudah mapan.226 Merupakan suatu keniscayaan yang lazim terjadi untuk melakukan evaluasi terhadap compendium yang dibuat oleh generasi sebelumnya. Di dalam hukum, dikenal istilah “amendment.” Amendment merupakan cara evaluasi hukum yang dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas hukum, baik secara formal maupun informal, terhadap suatu produk hukum yang perlu dilakukan revisi atasnya. Masalahnya al-Kutub as-Sittah ala ulama hadits ini sangat resisten terhadap kritikan ataupun evaluasi sehingga akan membuat situasi yang kurang kondusif bagi perkembangan dunia akademik. Kritikan dan evaluasi merupakan hal yang lazim terjadi dalam dunia akademik, sangat wajar bila ada pihak yang mempertanyakan legitmasi yang begitu kuatnya dalam penyusunan al-Kutub as-Sittah.
126
Pembajakan istilah oleh ulama hadits dalam istilah al-Kutub as-Sittah sangat berpengaruh terhadap perkembangan fiqh yang terbelenggu aturan dari ulama hadits tersebut. Anehnya, tidak ada satupun statement yang keluar dari ulama hadits yang mengakui perbuatan pembajakan istilah al-Kutub as-Sittah tersebut. Seakan istilah al-Kutub as-Sittah murni berasal dari kelompok ulama hadits, sepertinya sangat bertentangan dengan kajian hadits yang sangat bersentuhan dengan sejarah dan etika keilmiahan. Sejarah al-Kutub as-Sittah yang identik dengan kitab-kitab perundang-undangan yang berlaku pada masa qadi Hasan asy-Syaibani pada masa Dinasti Abbasiah. Bukan bermaksud menuduh kelompok hadits sebagai pihak yang melakukan kedustaan dalam menggunaan istilah al-Kutub as-Sittah. Bagi mereka dengan membonceng istilah al-Kutub as-Sittah yang sudah menyebarkan kitab-kitab hadits yang memuat hadits dari Nabi Muhammad. Bagi ulama hadits, penggunaan istilah al-Kutub as-Sittah tidak menyalahi etika yang berlaku pada abad ke-2 H sampai abad ke-5 H, hal ini terbukti tidak ada satupun dari mereka yang melakukan dissenting opinion terhadap penggunaan istilah al-Kutub as-Sittah.227 Etika kejujuran yang dijunjung tinggi ulama hadits lebih memfokuskan pada proses periwayatan hadits serta konten lafaz hadits tidak sampai menjangkau terhadap pemboncengan istilah dari kajian ilmu lain.228 Pembajakan istilah al-Kutub as-Sittah dapat dibenarkan pada masa itu karena terpengaruh atmosfir yang cenderung memiliki semangat conquer.229 Walaupun istilah tersebut lebih cocok pada wilayah politik yang memperluas wilayah kekuasaannya, dalam hal tertentu dapat dipahami nuansa kompetisi yang terjadi, terutama pertarungan pengaruh antara ulama fiqh dan hadits. Sebagai pihak yang dimenangkan dalam peristiwa mihna, secara psikologis pihak ulama hadits merasa berhak mengambil istilah al-Kutub as-Sittah sebagai kompensasi mereka. Seiring dengan perkembangan zaman tampaknya pembajakan istilah al-Kutub as-Sittah oleh ulama hadits menjadi blunder kepada perkembangan kajian Islam secara umum. Mana mungkin kajian akademisi di lingkungan Islam bila masih memakai struktur hierarki yang diberlakukan dalam al-Kutub as-Sittah. Dengan menetapkan kitab hadits utama yang harus dirujuk berasal dari al-Bukhari, Muslim, dan seterusnya, tentunya akan membuat kajian Islam di-setting untuk mengikuti pola yang dibuat oleh mereka.230 Ketika seseorang sedang berijtihad terhadap suatu masalah hukum ternyata dalil hukum yang cocok digunakan bukan berasal dari kedua kitab utama hadits di atas. Bahkan, di luar al-Kutub as-Sittah tentunya akan mengalami masalah legitimasi yang dianggap kurang valid dijadikan sebagai argumen. Salah satu masalah utama dalam kajian fiqh selama beberapa abad setelah mapannya al-Kutub as-Sittah adalah legitimasi. Sayangnya, legitimasi hanya dapat diperoleh ketika suatu ijtihad cocok dengan pola yang terdapat dalam al-Kutub as-Sittah. Tentu saja untuk mendapatkan legitimasi tertinggi dalam hadits bila merujuk pada kitab Sahîh al-Bukhârî, kitab urutan pertama dalam al-Kutub as-Sittah. Persepsi konsep legitimasi dalam fiqh selama berabad-abad, terutama setelah abad ke-4 H, hanya dapat diperoleh bila merujuk pada pola hierarki yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah. Sudah sewajarnya kalangan akademisi terlibat melakukan kritikan terhadap otoritas hierarki al-Kutub as-Sittah yang begitu kuat mencengkeram di dalam masyarakat Islam.231 Rekonstruksi yang paling rasional dilakukan saat ini yang berkaitan dengan al-Kutub as-Sittah ialah dengan mengembalikan konsep dasar masa Dinasti Abbasiah, khususnya ketika Hasan asy-Syaibani menjadi qâdi al-kubra.232 Konsep dasar alKutub as-Sittah pada masa Hasan asy-Syaibani merupakan kitab-kitab perundang-undangan yang selevel tanpa hierarki. Dapat dibayangkan gairah ilmiah yang akan lahir di kalangan akademisi Muslim ketika legitimasi kitab-kitab hadits yang telah eksis dianggap setara tanpa hierarki tidak hanya terbatas pada kitab hadits yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah. Demikian juga kitab-kitab hadits lainnya yang telah mendapat pengakuan ulama hadits, terutama yang telah eksis dari abad ke 2- H sampai abad ke-5 H. Rentang waktu abad ke-2 H sampai abad ke-5 H, dianggap sebagai munculnya compendium kitab-kitab hadits yang diakui oleh ulama hadits, karena selama tiga abad ulama hadits dengan semangat yang tinggi
127
melakukan seleksi terhadap banyaknya periwayatan hadits sehingga verifikasi yang sangat ketat menghasilkan beberapa kitab hadits yang dianggap represenatasi dari kitab hadits yang bisa dijadikan rujukan. Sumber hadits yang besar yang terdapat di berbagai kitab-kitab hadits akan menggerakkan kajian fiqh lebih cepat serta berkembang terlebih ketika legitimasi kitab-kitab hadits tersebut bukan dari segi hierarki sebagaimana yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah saat ini. Sumber daya hadits yang banyak sangat membantu ulama dalam berijtihad karena mendapat suntikan legitimasi yang kuat dengan adanya pengakuan legitimasi kitab-kitab hadits yang dianggap setara di dalam Islam. Kajian Islam tidak bisa terlepas dengan nas, salah satu masalah utama stagnasi kajian fiqh disebabkan konsep legitimasi terhalang oleh pola hierarki yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah. Otoritas yang dimiliki oleh ulama atau kalangan akademisi dalam menggunakan compendium hadits tanpa hierarki yang tidak terbatas dalam alKutub as-Sittah akan membuat terobosan baru dalam berijtihad.233 Bagi akademisi Muslim, referensi hadits yang berasal dari kitab-kitab hadits merupakan hal mutlak yang harus dilakukan dalam berijtihad. Sebenarnya, bisa saja kalangan akademisi menyelesaikan masalah-masalah hukum dengan mengambil sebagian dari sumber-sumber Barat yang sudah mapan, akan tetapi hasil formulasi ijtihad tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hukum fiqh.234 Karena kajian fiqh sangat terkait dengan originalitas pengambilan sumber rujukan di dalam Islam, terutama al-Qur’an dan hadits. Tidak dapat dipungkiri metode qiyas memberikan kotribusi yang sangat besar dalam perkembangan fiqh di dalam dunia Islam.235 Metode qiyas ini juga dipandang salah salah satu metode ijtihad yang tertua di dalam sejarah perkembangaan hukum Islam.236 Premis dasar yang terdapat di dalam metode qiyas yang berusaha menelusuri ‘illat yang sama terhadap suatu kasus yang tidak disebutkan di dalam nas dengan kasus yang disebutkan secara tegas di dalam nas. Pengaruh sociolungistic yang sangat kuat pada masa awal perkembangan hukum Islam di mulai pada abad ke-3 H ketika maraknya penerjemahan buku-buku yang berasal dari pemikiran Helenisme atau Persia yang dulunya memiliki peradaban yang tinggi. Sudah menjadi suatu keniscayaan bagi masyarakat transisi, dari tipologi masyarakat tradisional menuju masyarakat yang metropolitan, masih menjadikan teks yang dipandang sakral harus melebur dalam kehidupan masyarakat.237 Ketika permasalahan-permasalahan yang muncul akibat perkembangan zaman, teks kitab suci harus bisa menjawab persoalan dengan memberikan solusi. Di sini peran ulama dalam melakukan dialektika antara nas dengan kasus yang muncul belakangan yang tidak ditemukan pada masa Nabi Muhammad saw maupun sahabat.238 Dialektika antara nas dengan kasus hukum yang muncul melahirkan metode qiyas merupakan terobosan maju yang dilakukan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangan fiqh selanjutnya, dikenal beberapa istilah ekstraksi dari metode qiyas yang identik dengan nama ulama fiqh tertentu. Metode istihsân yang identik dengan mazhab Hanafi melangkah lebih jauh dengan prinsip memberikan maslaha yang lebih besar terhadap suatu hukum dapat diterapkan walaupun secara teks nas tidak ditemukan. Metode maqâsid yang berkembang belakangan dari al-Shatibi sebenarnya pengembangan dari metode istihsân mazhab Hanafi yang berusaha untuk tidak terjebak dengan justifikasi teks nas yang terdapat di dalam metode kiyas. Sumber daya hadits yang sedikit karena jauh dari pusat kelahiraran Islam di Makah dan Madinah membuat penduduk Irak pada masa Imam Abu Hanifa harus lebih berani melakaukaan terobosan sehingga dapat memberikan solusi dalam perkembangan hukum Islam. Akan tetapi, metode istihsân yang dikembangkan di dalam mazhab Hanafi mendapat tentangan yang sangat keras dari banyak kalangan ulama fiqh lainnya termasuk Imam Syafi‘i.239 Mereka menilai metode istihsân sangat berbahaya karena selain tidak memiliki pondasi rujukan teks sebagai mana metode ini dikhawatirkan bergerak terlalu liar sehingga tidak bisa dikontrol. Tekanan yang sangat besar terhadap metode istihsân ini sehingga timbul keengganan dalam mengembangkannya. Akibatnya, dapat dilihat walaupun sampai saat ini banyak di kalangan umat Islam yang masih berpegang pada mazhab Hanafi tetapi tetap saja tidak mengembangkan metode istihsân ini. Label negatif yang dikatakan oleh Imam Syafi‘i memberikan implikasi negatif yang
128
sangat besar terhadap perkembangan istihsân. Helah yang merupakan salah satu solusi hukum yang diberikan ketika perkembangan ekonomi yang sedang booming sementara kegiatan kredit terhambat.240 Banyak pemilik modal yang tidak mau memberikan bantuan modal usaha karena merasa tidak memiliki keuntungan sama sekali. Hal tersebut dipengaruhi doktrin riba yang sangat diharamkan di dalam Islam mempengaruhi kegiatan dunia usaha.241 Dengan demikian, dari konsep hela yang merupakan buah dari metode istihsân sangat bermanfaat dalam kegiatan ekonomi ketika perbankan atau lembaga keuangan yang belum ada pada masa itu. Kajian tentang maqâsid yang menitikberatkan pada aspek maslahat bagi manusia pada umumya selama ini terasa kurang mendapat tempat yang seharusnya dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Hal tersebut dirasakan karena masih sangat kuatnya pengaruh rujukan teks terhadap justifikasi hukum merupakan manifestasi dari refleksi klaim pemahaman sempurnanya teks nas. Harus ada langkah mediasi yang terintegrasi dalam menyelesaikan ukuran kemaslahatan antara pemahaman teks dengan konteks. Konsep kemaslahatan yang diekstrak dari teks nas akan memberikan legitimasi yang lebih bagi implementasi hukum di dalam masyarakat.242 Sering kali ukuran kemaslahatan yang tidak jelas membuat banyak kalangan di masyarakat Islam menjadi ragu, terutama dalam menerima konsep kemaslahatan yang diklaim solusi stagnasi pemahaman fiqh belakangan ini. Perasaan inferior ulama khalaf (belakangan) dalam merumuskan konsep maslahat disebabkan perasaan tidak memiliki otoritas yang memadai dalam memutuskan suatu hukum.243 Hal tersebut diperparah dengan pemahaman tekstual yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya yang terwujud dari konsep qiyas. Sebenarnya, ada ulama di awal perkembangan hukum Islam pada awal abad ke-3 H telah memberikan alternatif penyelesaian dalam suatu kasus dengan metode ta’wil yang dikembangkan oleh Ibn Qutayba. Metode ini sebenarnya memberikan solusi bila terjadi kesulitan dalam memahami suatu teks nas yang kelihatannya bertentangan.244 Akan tetapi, metode ta’wil ini kemudian berkembang bukan hanya melakukan ta’wil terhadap teks nas yang ta‘ârud juga menelusuri makna yang terdapat di balik teks nas yang musykil. Sangat disayangkan perkembangan metode ta’wil ini tidak berkembang karena identik dengan kaum mu‘tazila yang sering menggunakan metode ini. Anti pati terhadap aliran mu‘tazila berimplikasi juga terhadap metode yang sering digambarkan betapa buruknya penghargaan terhadap heteroginitas dalam berpikir dan bersikap. Sebenarnya secara kasuistik masyarakat Muslim telah mengembangkan konsep maslahat yang diasumsikan cocok dengan perkembangan masyarakat.245 Metode ikhtisâb merupakan suatu konsep pengembangan peran hakim dalam memutuskan suatu kasus di dalam pengadilan.246 Pengadilan yang telah ada mulai zaman khalifah Umar ibn Khattab sering dipandang tidak memberikan peran hakim dalam hal penyelidikan, kecuali menghadirkan saksi dan mendengar testimoni dari pihak yang berperkara. Akan tetapi, efek dari perkembangan masyarakat yang dinamis tampaknya hakim tidak bisa bersikap pasif begitu saja hanya berdasarkan perkembangan dan alat bukti di dalam persidangan.247 Harus ada langkah yang lebih progresif dari hakim untuk melakukan penyelidikan independen di luar institusi yang ada. Langkah investigasi dengan cara memberdayakan pihak lain dalam melakukan penyelidikan atau dengan diri sendiri, menunjukkan peran hakim lebih luas untuk meredam manipulasi persaksian atau alat bukti. Kajian terhadap hukum Islam selama ini sering terjebak dengan konsep normatif hukum yang terdapat dalam nas sehingga bila hanya berpegang pada hal di atas akan menyulitkan dalam merumuskan hukum yang cenderung dimanipulasi dalam praktiknya. Metode ikhtisâb ini juga berkontribusi signifikan bagi perkembangan hukum konvensional yang cenderung menempatkan posisi hakim dalam kondisi pasif, hanya menerima limpahan alat bukti pihak polisi maupun kejaksaan.
D. Konsep Maslahat dalam Perspektif Fiqh Konsep maslahat sangat sulit bisa diwujudkan bila tidak ada instrumen mediasi yang bisa memberikan pemahaman kepada berbagai pihak di dalam tataran internal maupun eksternal di luar Islam. Selama ini spirit masalahat yang sudah ditangkap masyarakat secara umum masih sering tidak bisa dipilah
129
antara dimensi lokal dan universal. Terlebih yang dikhawatirkan penggunaan istilah masalahat digunakan sebagai instrumen justifikasi terhadap suatu pemahaman yang pada dasarnya hanya memberikan masalahat secara sepihak terhadap golongan elit tertentu di dalam masyarakat.248 Ini sangat berbahaya karena akan memenjara konsep maslahat yang berdimensi general hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang di dalam masyarakat. Sekarang harus disepakati apakah konsep masalahat yang terdapat di dalam teks nas bersifat permanen lintas masa dan tempat sehingga tidak bisa lagi dilakukan reinterpretasi terhadapnya. Kelihatannya bila umat Islam masih juga menganggap kemasalahatan yang terdapat dalam teks nas bersifat permanen seperti gambaran di atas akan menyulitkan posisi dalam panggung hukum internasional.249 Isu-isu klasik terhadap diskriminasi terhadap perempuan yang terdapat di dalam fiqh klasik sampai saat ini tetap menjadi stigma yang menyakitkan di dalam tubuh hukum Islam itu sendiri. Bagaimana tidak di satu sisi umat Islam mengakui ada sesuatau yang menjadi duri dalam masalah-maslah tertentu di dalam fiqh yang merujuk terdapat di dalam teks nas secara kaku, di sisi lain merasa tidak berani untuk berpaling dari teks nas yang jelas. Pembagian waris terhadap bagian anak prempuan yang cenderung diskriminasi bila dilihat dari kaca kondisi sekarang ini. Harus diakui ketika teks ayat tentang waris terssebut diturunkan kepada Nabi sangat memberikan efek pembaharuan serta langkah maju terhadp pengakuan eksistensi peran perempuan dalam struktur keluarga Muslim. Bila digunakan dengan ukuran kesetaraan sebagai mana yang dibawa oleh nilai-nilai universal malah tidak memberikan maslahat.250 Sekarang maslahat suatu ketetapan hukum dipertanyakan ketika dihadapkan dengan realitas sosial yang relatif sangat berbeda dibandingkan ketika turun ayat mengenai waris tersebut. Pergolakan batin antara mengikuti aturan teks nas yang diklaim sebagai kebenaran dengan logika realitas kekinian terus menyertai pemiikiran segolongan umat Islam.251 Akan tetapi, sikap ambivalensi ini harus dihentikan karena harus ada jalur yang jelas yang harus diikuti bila tidak ingin situasi ini terus berlarut-larut. Kalangan akademisi yang merupakan golongan minoritas harus tampil lebih tegas dalam memposisikan diri antara sebagai social driver atau hanya sebagai passanger. Trauma terhadap perjalanan sejarah kalangan ilmuan yang mendapatkan isolasi sosial maupun ancaman fisik ketika mencoba untuk bertindak mandiri tidak mengikuti selerah masyarakat. Karena saat ini sangat berbeda situasi nuansa akademisi terasa lebih terbuka dalam melaukakan dissenting opinion terhadap suatu pemahaman yang dirasa tidak sesuai prinsip masalahat di dalam syariat. Akan tetapi, sebaiknya hal tersebut dilakukan dalam kerangka untuk memajukan pola fikir masyarakat bukan hanya sekedar menyeleneh dengan bertameng jargon kebebasan. Alangkah sangat naifnya bila ijtihad yang dihasilkan hanya suatu pendapat yang menyuruh orang untuk melakukan eling (ingat) tanpa praktik shalat secara fisik disebabkan pemahaman makna shalat adalah zikir. Hal ini sama sekali tidak memberikan kontribusi dalam perkembangan pemikiran di dalam Islam sehingga yang diharapkan ijtihad tidak menggganggu sesuatu yang bila dilakukan revisi tidak memberikan manfaat.252 Langkah besar yang harus dilakukan di dalam kegiatan untuk mencari format maslahat dengan mengekstrak nilai-nilai berguna yang aplikatif dari teks nas.253 Ini penting untuk memberikan justifikasi bagi masyarakat Muslim umumnya yang diharapkan menjadi user bagi ijtihad tersebut. Karena bila mereka yakin bahwa nilai-nilai maslahat secara general diambil dari teks nas akan memberikan perasaan tenang dalam menjalankan putusan ijtihad tersebut. Kelemahan pola ijtihad untuk mengembangkan konsep masalahat selama ini kurang memiliki akselerasi yang cukup bagus untuk berkembang.254 Hal tersebut disebabkan kegagalan dalam melakukan ekstraksi nilai-nilai yang terkandung di dalam teks nas sebagai basis poin pengembangan konsep maslahat. Ekstraksi terhadap nilai teks nas tentunya tidak dengan mengenyampingkan peran teks nas itu sendiri sebagai pijakan utama dalam melakukan pengembangan konsep maslahat. Legitimasi terhadap kegiatan ekstraksi nilai yang terkandung di dalam teks nas. Tentunya akan mendapatkan dukungan masyarakat
130
Muslim termasuk kaum tradisional karena mereka tidak akan mungkin akan berpaling dari justifikasi kesempurnaan nas yang terdapat di dalam al-Qur’an. Kemudian yang juga termasuk masalah krusial selama ini bagaimana mendamaikan kegiatan ekstraksi nilai teks dengan pemahaman teks yang dianggap sudah baku. Mungkinkah melakukan ekstraksi nilai teks bila teks nas sudah dianggap cukup untuk dijadikan sebagai pedoman hukum. Hukuman hudûd, waris, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan yang disebut secara jelas di dalam teks nas tampaknya masalah yang harus diselesaikan dengan cermat. Karena tidak sedikit di kalangan ulama merasa tidak perlu melakukan ekstraksi teks nas bila secara lafaz sudah dianggap jelas dikhawatirkan akan makin menjauhkan dari pesan hakiki dari nas. Metode hermeneutika yang mulai masuk kembali setelah kontak penjajahan Barat terhadap negerinegeri Muslim memiliki dampak yang cukup membuat kalangan tradional shock.255 Ketidak siapan kalangan tradisional menerima perubahan dengan menjual gesture kesalehan yang sangat mudah mendapat simpati dari kebanyakan masyarakat Muslim.256 Membuat beberapa ulama seperti Abu Zayd, Abu Ruyyah, Fazlurrahman, Hasan Hanafi tidak diperkenankan untuk menyebarkan paham pemikiran mereka yang merupakan manifestasi dari kritik terhadap pemahaman yang dianggap terlalu jumud. Masih kuatnya pengaruh kalangan konservatif yang tetap mempertahankan pola-pola pemahamaan fiqh klasik sampai dewasa ini. Hal itu disebabkan pola pemikiran hermeneutika yang dibawa ke dalam masyarakat Muslim masih berwujud tataran kritik tetapi tidak memberikan solusi hukum. Salah satu sisi negatif dari metode hermenutika ialah sangat perkasa dalam melakaukan kritikan terhaddap suatu pemahaman refleksi dari status quo.257 Akan tetapi, kurang produktif menghasilkan suatu karya yang dapat diimplementasikan bila masyarakat tidak lagi mengamalkan pemahaman klasik tersebut. Metode hermenetika tampaknya sangat baik dalam menghasilkan manusia-manusia yang kritis terhadap suatu pemahaman yang dipercaya oleh masyarakat sehingga dapat menganalisa secara detail dalam beberapa sisi pendekatan. Dasar kritik terhadap metode kiyas bila menggunakan pola hermeneutika semata hanya akan menghasilkan kritikus yang pandainya hanya mengkritik akan tetapi bila disuruh untuk berbuat hal yang sama ternyata tidak mampu.258 Masa keemasan metode Kiyas tampaknya sudah habis sehingga metode ini mulai ditinggalkan dengan metode masalahat yang dalam praktiknya belum menemukan bentuknya. Bahkan al-Shatibi sendiri belum mampu mendudukkan konsep maslahat yang aplikatif hanya me-refresh pemahaman konsep maslaha mursalah Imam Malik yang berujung pada konsep amalan ahli Madina. Metode maslahat yang hendak dikembangkan tidak akan mungkin berhasil dalam arti mendapat penerimaan masyarakat Muslim secara umum bila tidak dilakukan legitimasi terhadapnya. Legitimasi yang diamaksud dalam hal ini ialah harus mampu melakukan langkah yang koheren dengan prinsip-prisnsip syariat yang terdapat di dalam teks nas.259 Sejarah membuktikan studi keislaman sangat terkait antara satu bidang ilmu dengan ilmu lainnya, hampir tidak mungkin bisa mengembangkan kajian fiqh bila metode keilmuan yang lain dalam lingkup kajian keislaman tidak jalan. Kajian tafsir dewasa ini adalah salah satu kajian yang stagnan hal tersebut disebabkan kajian keilmuan lainnya juga mengalami hal yang sama.260 Saling membutuhkan dan mempengaruhi antara satu disiplin keilmuan dengan keilmuan lainnya sangat kuat sehingga harus ada langkah yang benar dalam melakukan integrasi keilmuan. Konsep kemaslahatan tidak akan mungkin didekati hanya dengan satu disiplin ilmu semata karena harus melihat dan mengakomodir disiplin keilmuan lainnya agar bisa diwujudkan. Setiap orang dalam bertindak pastinya selalu mempertimbangkan kemasalahatan bagi dirinya, begitu juga untuk level yang lebih tinggi baik itu keluarga maupun negara. Untuk kasus di Indonesia misalnya desakan elemen masyarakat bahkan MUI terus menekan pemerintah untuk membubarkan aliran Ahmadiyah. Akan tetapi, Presiden Susilo Bambang Yudoyono tetap bersikukuh bahwa tidak ada alasan bagi
131
pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah karena bertentangan dengan prinsip dasar undang-undang dasar 45 yang memberikan jamainan kebebasan dalam memeluk suatu keyakinan. Tentu saja Presiden Susilo Bambang Yudoyono memutuskan tentang hal di atas didasari oleh maslahat dalam skala yang lebih besar untuk menjamin kebebasan berkeyakinan yang tidak bisa ditawar-tawar dalam masyarakat multi kultural seperti di Indonesia. Sebenarnya seluruh produk hukum Islam yang dihasilkan selalu merujuk dalam kerangka kemaslahatan sehingga bila menganggap konsep maslahat adalah hal yang baru tentu saja merupakan kenaifan yang sangat besar.261 Kemaslahatan yang hendak dikembangkan tampaknya ingin lebih mandiri dalam memutuskan hukum dibandingkan selama ini lebih menekankan aspeks teks nas. Keterbatasan teks nas dalam menjawab kebutuhan hukum yang berkembang sangat cepat di dalam masyarakat seakan sangat jauh meninggalkan antara kebutuhan terhadap teks dengan kebutuhan hukum.262 Selama ini banyak di antara umat Islam terpenjara dengan konsep keilmuan yang dipahaminya selama ini sehingga menyulitkan diri sendiri dalam menghadapi problematika hukum. Dapat dipahami muncul penerimaan terhadap konsep sekuler yang dibawa oleh Barat oleh sebagian besar masyarat Muslim di dunia, karena melihat kenyataan pemahaman sekuler ternyata bisa membebaskan dari belenggu yang menghambat kreasi umat Islam dalam rentang waktu yang cukup lama.263 Seberapa besar energi yang dikeluarkan untuk melakukan pembaharuan di dalam hukum Islam suatu keniscayaan mendapatkan legitimasi dari teks nas sangat penting.264 Agak naif memang melihat kenyataan sosial masyarakat Muslim di awal Islam datang Islam dianggap sebagai jalan pembebas bagi cengkraman pemahaman takhayul dan syirik yang melanda masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam. Energi kebebasan yang dibawa Islam yang diwujudkan dalam proses penyembahan kepada Tuhan yang satu merupakan energi kebebasan yang sangat besar, sehingga Islam tampil menjadi kekuatan yang besar menggantikan kekuatan Romawi dan Persia. Konsep maqâsid hanya bisa dikembangkan hanya bila rantai belunggu pemahaman kaku terhadap hukum Islam itu diputus termasuk penjara pemikiran dalam penggunakan sumber hukum yang lebih besar dan egaliter. Konsep maslahat terbentuk setelah interaksi sosial terjadi ketika menghadapi sesuatu yang dirasa tidak dijelaskaan secara tegas dalam teks nas, di sisi lain kebutuhan yang mendesak memaksa masyarakat Muslim melakukan interpretasi sendiri terhadap persoalan. Karena umat Islam hampir setiap hari melakukan pendekatan kemasalahatan terhadap realita sosial yang ada.265 Semua orang tahu aturan normatif melarang seseorang untuk melakukan suap terhadap pengurusan suatu kepentingan, akan tetapi kenyataannya terkadang pemberian sesuatu kepada petugas harus dilakukan karena memiliki efek positip terhadap pihak yang berkepentingan. Tidak jarang ketika seseorang melakukan tindakan yang melangggar prinsip normatif menjadikan alasan darurat, padahal paradigma darurat itu sendiri sudah memiliki pengertian secara khusus. Tidak jarang darurat dijadikan alat justifikasi untuk melakukan pembenaran terhadap suatu perbuatan yang melanggar aturan normatif bahkan hukum.266 Karena perlu ada konsep maslahat yang jelas bila tidak akan menimbulkan kerancuan di dalam hukum itu sendiri, ini pula yang dikhawatirkan oleh Imam Syafi‘i terhadap konsep istihsân Imam Abu Hanifa yang tidak memiliki kriteria yang jelas. Kriteria kemaslahatan umat sering dijadikan tameng bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan istilah maslahat ini. Idealnya teks mengandung kemaslahatan bukan hanya bagi manusia bahkan alam secara keseluruhannya, akan tetapi dalam kenyataannya terkadang sangat sulit menentukan konsep maslahat yang tepat bagi semua pihak. Sering sekali wujud kemaslahatan harus diiringi dengan perbuatan melanggar aturan normatif. Dengan demikian, harus ada langkah jitu menjembatani konsep ideal nas yang membawa kemaslahatan dengan kenyatan di dalam kehidupan. Tidak jarang ide kemaslahatan memicu orang melanggar aturan normatif karena maslahat yang lebih besar. Tidak menutup kemungkinan budaya gratifikasi yang dilakukan banyak orang diterangai oleh pandangan tentang kemaslahatan yang lebih
132
besar.267 Istilah tertentu yang identik dengan perbuatan melanggar hukum diganti dengan terminologi legal yang mengarah pada nama yang lazim digunakan dalam hukum Islam. Dalam realitas sosial secara gamblang dapat dijumpai istilah darurat untuk menjustifikasi suatu perbuatan yang dianggap mengandung kemaslahatan tetapi melanggar atauran normatif. 268 Betapa banyak orang yang mengambil uang negara secara tidak sah dengan alasan untuk menghidupi keluarga yang membutuhkan biaya yang sangat tinggi baik biaya sehar-hari maupun biaya pendidikan dan kesehatan. Betapa banyak di kalangan umat Islam masih menganggap mengambil uang negara dengan alasan di atas sebagai sesuatu yang sah karena alasan darurat. Konsep darurat yang dikembang oleh al-Shatibi dirasa masih mencerminkan refleksi dari masyarakat feodalis yang dibungkus dengan baju agama. 269 Kenapa alShatibi tidak memasukkan negara sebagai salah satu item darurat melihat kenyataannya di dalam sejarah tidak jarang terjadi pertempuran antara sesama Muslim dengan alasan perluasan kekuasaan atau sengketa dalam masalah-masalah tertentu. Labelisasi agama sebagai unsur darurat membuat sebagian umat Islam sanggup memerangi saudaranya yang dianggap tidak sealiran. Legitimasi agama sangat kuat untuk menggerak orang melakukan suatu perbuatan yang dilandasi oleh keyakinan teologis. Walaupun kiyas sudah kehilangan pamor dalam melakukan ijtihad hukum, akan tetapi dengan mengenyampingkan landasan teks merupakan kemustahilan. Sejarah pemberlakukan hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali bagi orang yang terbukti meminum khamar pada masa pemerintahan Umar juga mendapatkan resistensi dari kalangan sahabat juga. Di dalam nas hanya terterah larangan untuk untuk meminum khamar tanpa disertai hukuman layaknya pelaku zina. Hal tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan sahabat tentang pemberlakuan hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali. Ketika Ali berhasil meyakinkan keputusan Umar tersebut dengan melakukan ekstraksi larangan tuduhan menuduh dengan sumpah palsu (khazaf) yang terterah di dalam nas dihukum dengan delapan puluh kali cambuk.270 Argumen tersebut membuat sahabat yang awalnya menentang turut mendukung keputusan Umar tersebut diterangai kemampuan Ali dalam memformulasi maslahat dengan mengekstraksi teks nas yang terkait. Menurut Ali seseorang yang meminum khamar akan kehilangan kontrol terhadap dirinya sehingga akan memengaruhi akal sehatnya, dan sering menyebabkan sembarangan dalam berbicara. 271 Hal tersebut sama dengan orang yang melakukan tuduhan palsu disebabkan ucapan pelaku dianggap tidak bisa dipertanggung jawabkan sehingga orang yang meminum khamar juga dapat dikategorikan seperti itu. Melakukan sinergitas antara ekstraksi teks nas merupakan langkah yang tepat di samping itu juga membuat formulasi yang bijak dengan sikap akomodatif umat Islam yang selalu berhadapan dengan nilainilai sekuler yang mendominasi peradaban dewasa ini.272 Perkembangan jumlah umat Islam yang terus bertambah secara signifikan bukan hanya di negara-negara mayoritas Muslim juga di negara-negara Barat menunujukkan bahwa telah terjadi deal dengan paham sekuler.273 Artinya umat Islam sebenarnya sudah melakukan ijtihad sosial demi mempertahankan identitas sebagai seorang Muslim. Interaksi antara umat Islam dengan sistem sekuler yang telah berlangsung dalam waktu yang lama dalam hal-hak tertentu memberikan pemahaman yang baru tentang konsep Islam baik itu dari aspek teologi, politik, hukum, dan lainnya. Sekarang ini banyak di antara umat Islam yang mempelajari Islam di Barat diajarkan oleh profesor-profesor yang belum tentu beragama Islam. Hampir tidak pernah dibayangkan sebelumnya banyak dari akademisi Muslim yang mempelajari kajian al-Qur’an, hadits, fiqh, tasawuf yang merupakan bidang-bidang yang secara tradisional identik milik Islam diajarkan oleh pengajar non-Muslim. Keadaan ini bisa terjadi karena adanya pengakuan bahwa langkah itu dilakukan untuk melakukan penyegaran dalam mempelajari Islam yang selama ini cenderung kaku.274 Pemahaman tentang fiqh sedikit berbeda dengan hukum Islam, fiqh lebih menekankan aspek originalitas sumber bahan baku ijtihad karena fiqh identik dengan originalitas yang dihasilkan oleh ulama. Hukum Islam agak lebih bebas dalam menggunakan bahan baku dalam berijtihad sehingga adanya resistensi sebagian umat Islam dalam menerima beberapa pendapat fiqh kontemporer. Hal tersebut karena
133
ijtihadnya di masukkan dalam lingkup fiqh tatkala dalam sumber bahan baku berijtihad tidak original berasal dari Islam. Bagaimana mungkin seseorang bisa berijtihad tentang vasektomi atau tubektomi dalam kesehatan bila tidak merujuk ilmu kesehatan yang saat ini sebagian besar didominasi dari Barat. Walaupun kajian fiqh komtemporer sudah diperkenalkan ke kalangan umat Islam tetapi sambutan yang diterima hampir tidak ada. Hal tersebut dapat dilihat hampir tidak ada pesantren memakai buku rujukan fiqh kontemporer yang dihasilkan kalangan akademisi.275 Otentisitas di dalam Islam itu sangat penting karena syariat Islam sering mengklaim sebagai ajaran yang berbeda dari yang lainnya disebabkan kemampuan Islam untuk beradabtasi dengan perubahan zaman.276 Istilah fiqh yang identik dengan kajian keislaman mengharuskan fiqh harus selalu terkait dengan teks nas, sehingga ketika solusi hukum yang ditawarkan dalam persoalan di dalam fiqh kontemporer. Akan tetapi, menggunakan non-teks sebagai barometer utama dalam menganalisa suatu persoalan hukum tentunya merendahkan fiqh itu sendiri. Itulah yang sering terjadi dalam pembahasan fiqh kontemporer yang ada selama ini sehingga otentisitas dari fiqh itu mulai hilang. Tidak mengherankan karya fiqh kontemporer tidak begitu dianggap sebagai kitab fiqh selayaknya. Perjalanaan sejarah selama lebih dari seribu tahun perjalanan fiqh memberikan warna sendiri yang melekat dengannya termasuk konsep otentisitas yang telah dibangun oleh ulama fiqh selama ini. Otentisitas dari kajian fiqh selalu identik dengan kajian teks, walaupun perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh terletak pada objek kajiannya. Akan tetapi, bangunan struktur hukum yang terbentuk dalam perkembangan fiqh selalu terkait dengan kajian teks nas di dalamnya. Fiqh tidak bisa terlepas dari kajian teks nas sehingga hanya dengan melakukan ekstraksi terhadap makna teks kajian fiqh akan lebih berkembang.277 Ekstraksi teks sangat penting untuk memberikan legitimasi dalam output yang dihasilkannya terutama yang menyangkut dengan pola penyandaran teks nas terhadap hukum yang ditetapkan. Otentisitas yang diharapkan dalam kajian fiqh selalu terkait dengan nilai-nilai normatif yang terdapat di dalam nas, akan tetapi hal tersebut tidak bisa langsung diteapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fiqh berfungsi untuk menjabarkan nilai normatif nas dalam bentuk aplikatif yang sesuai dengan perkembangan zaman tentunya. Merujuk pada nilai teks nas yang normatif seperti yang ditampilkan di dalam al-Qur’an al-Baqarah 62. Teks nas ini sering menjadi perdebatan di kalangan internal umat Islam terutama yang berkaitan dengan konsep pluralism. Majelis ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang sangat tegas yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, multikulturalisme di dalam Islam.278 Terlepas pro kontra yang menyertai fatwa ini tampaknya pihak yang menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme di dalam Islam tidak berpangku tangan tanpa ada dalil hukum yang menjadi penguat argumen mereka. Bagi kalangan yang pro pluralisme ayat di atas secara tegas mendukung konsep plularisme karena secara tegas lafaz yang menyebutkan orang beriman itu bukan hanya terdiri dari umat Islam saja juga terdiri dari orang-orang Yahudi, Nasrani, maupun Sâbi‘în.279 Perubahan haluan pembahasan hukum Islam yang diwacanakan oleh kalangan akademisi Muslim dewasa ini lebih banyak berfokus dalam tataran yang menyangkut dengan tema-tema demokrasi, perempuan, HAM merupakan buah dari interaksi yang dilakukan dengan Barat.280 Padahal masalah fiqh yang utama ialah bagaimana menciptakan mind engine yang kuat sehingga dapat melaju seiring dengan perkembangan zaman tanpa melanggar rambu-rambu syariat. Masalahnya kajian fiqh mengalami dilema antara harus bersikap pragmatis dalam menghadapi persoalan sosial di masyarakat juga tidak boleh meninggalkan teks nas yang menjadi sumber legitimasi dalam menetapkan hukum. Dilema pragmatis yang dilakukan di dalam fiqh juga pernah terjadi pada masa klasik terutama yang terkenal dengan hela. Walaupun banyak kecaman dalam penerapan konsep hela yang dituding memanipulasi teks nas agar terhindar dari tuduhan melakukan praktik riba.
134
Masalahnya ketika itu umat Islam sedang leading dalam peradaban sehingga sikap pragmatis dalam hukum tersebut tidak menimbulkan kegoncangan di dalam masyarakat. Ketika dibandingkan dalam konteks kini sikap pragmatisme di dalam fiqh tidak bisa serta merta dapat diterima karena hal tersebut makin menjauhkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada fiqh itu sendiri. Ketika perkembangan Islam makin pesat terjadi di Eropa khususnya di Perancis, pemerintah di sana melakukan larangan mengenakan jilbab bagi perempuan di lingkungan gedung-gedung pemerintahan.281 Mereka yang ngotot mengenakan jilbab tentu harus keluar dari sistem, dengan kata lain mereka tidak mendapatkan fasilitas pemerintah. Tarik Ramadan salah seorang ulama berpengaruh di Eropa mengeluarkan statement yang isinya perempuan Muslim tidak wajib mengenakan jilbab di Perancis karena masalah situasional yang berlaku di negara tersebut.282 Solusi hukum yang dilontarkan oleh Tarik Ramadhan di Perancis tersebut harus diukur apakah berada pada level opini atau ijtihad. Ketika opini banyak diikuti oleh masyarakat Islam maka opini tersebut berubah menajdi ijtihad. Akan tetapi, ijtihad untuk bisa menjadi bagian dari fiqh harus ada logika hukum yang dibangun dengan bahan yang berasal dari teks nas.283 Untuk meramu bahan teks nas yang dipadukan dengan logika hukum yang dapat diterima oleh masyarakat tentunya harus dilakukan oleh pihak yang kompeten yang memiliki capability tentunya. Logika hukum yang dibangun oleh fukaha selama berabad-abad selalu berinteraksi dengan persoalan yang muncul di dalam masyarakat pada masa mereka. Setiap ulama selalu melakukan ijtihad terhadap persoalan hukum yang dihadapi pada masa mereka hal itu dilakukan untuk mengimbangi perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Ulama fiqh dapat dianggap sebagai penafsir dari teks nas di bidang hukum terutama masalah-masalah baru yang bisa menimbulkan konflik di dalamnya.284 Merujuk karya ulama klasik terdahulu tampaknya masalah fiqh yang menjadi sumber perbedaan di di kalangan mereka terkait dari sudut mana memandang masalah tersebut. Bisa juga sesuatu menjadi masalah pada suatu masa, akan tetapi pada masa yang lain tidak menjadi masalah. Dari masa ke masa persoalan fiqh sangat terkait dengan situasi alam maupun perubahan sosial dari masyarakatnya.[]
135
Footnotes: 1
Masud ul Ala m Choudhu ry, “Syl aglogy sm Soc ialis m, and Islam.” In te rna tion al Jou rnal of Soci al Econo mic s, vol.17, is sue 1 4 (1990), hl m. 4 -7.
2
Albar M, ” ‘O rg an Tr ansp lant at ion’ : A Sunni Isl ami c Pe rspe c tive.” Saudi Jou rnal o f Kidne y Disea ses an d Tr ansp lant at ion. ” Vo l. 23, (July 201 3), hlm. 817 -82 2.
3
Von Benda - Be ck man n. Franz and Von Benda - Be c kma nn. Keeb et, “ I sla mic L aw in Plu ra l Cont ex t: Th e St rug gle Over in He ri tan ce L aw in Co lonia l West Suma t r a .” Joura nl of Econo mic s and So cia l Histo ry of the O rien t, vol. 55 (Sept e mbe r 2012), h lm. 77 1 -79 3
4
Padel a Al, “ Is lam ic Bio eth ic s: Bet w een Sa ce r ed La w, Liv ed Expe r ien ce s, and State Aut hor ity.” Theo ri tic a l Medi cine an d Bio eth ics, vo l.34 (Apri l 20 13), hlm. 65 -8 0.
5
Fran k Voge l, “ Th e Pub li c and Pr iva te in Saud i Arab ia: R e strict ion on th e Pow er of Co mm itt e e for Ord e rin g Good and Forbidd ing th e Ev il. ” So cia l R esea r ch, vol. 70 , issue 3 (Su mm e r 2003), h lm. 749 -768.
6
Ahmad Ibn Ha jar, Fa th al- Ba ri: Sha rh S ahîh al -Bu khâr î, ver if ied b y Abde l Baqi M. Foud, (Ka iro: Sa laf iyy ah Publi shi ng Hous e, 1992): 2, hl m. 325.
7
Imâ m Muha mm ad Asy -Syâ fi‘ îy, Ar -R isâl ah fî Ucûl al - Fiq h, (Riyadh: Dâr Tyabah Pr ess, 19 98), hlm. 253.
8
Li hat Kat he ryn Rus se l, “Cr i min al La w -A Cr itica l Vie w fro m the Ins ide: An Applica tion of Cr it ica l Lega l Studi es to Cr im ina l Law. ” Journ al o f C ri mina l La w and Cr im inolog y, 88.1 (Sum me r 1994), h lm. 22 2.
9
Rob I mr ie, Hu w Thoma s, “ ‘Law, Lega l Str uggle and U rban Re lat ionsh ips.” U rb an S tudi es, 34.9 (August 19 97).
10
Li hat W iqar A l i Shah, E thni ci ty; Is lam and Na tiona lism. Muslim Poli ti cs in the N or th Wes t F ront ie r P rovin c e 1937– 194 7, ( Kara ch i: OUP 1 999), hl m. 247.
11
Robert Brun schv ig, “ Log ic and La w in Class ica l I sla m,” in Logi c in Cl assi cal Isl ami c Cultu re, (W ie sbaden : Otto Ha rraso w itz, 1970), h lm. 30.
12
Banya k u la ma f iqh s et el ah kodif i kas i kit ab - kitab had its me la ku kan s e maca m rotas i otor itas d enga n men jad i kan d ir inya bag ian da ri u la ma yang d ianggap sebaga i pe milik oto rit as, seh ing ga mun cu lny a mazhab d i da la m f iqh a k ibat da r i u lam a be la kanga n me m injam ist ilah da r i W ebe r Khar is ma otor ita s (Charis mat i c Authorit y) yang dim i li k i ula ma terd ahu lu. Menu rut Jonathan E. Brockopp, pent ing n ya me maha m i s ke ma W ebe r untu k me mah am i evolu si da ri mazhab f iqh d i a wa l pe mbe ntu kan hu ku m I sla m . Li hat Jonathan E. Broc kopp has argu ed for th e use fulness of Web er ’s sch em a for unde rstand ing th e evolu tion o f th e l ega l s chools in “T heo riz ing C har is ma tic A uthor ity in Ea r ly I sla m ic La w,” Co mpa ra tiv e Isla mi c S tudi es 1 (2005), h lm. 129 -58
13
Yvone Yazbe c k Hadad and Barbara F ey er Stowa sse r, Islami c La w and the Chall enge s of Mode rni ty, (Portland: Al tam i ra Pr ess, 2004).
14
Broc kopp. Jonathan E, Earl y Mali ki La w, Ibn ‘ Abd a l -Ha kam and Hi s Majo r Co mpe dium o f Juri sp r uden ce , (Le id en: Br i ll Pub l ish ing, 2000).
15
Fazl urr ahma n, “‘ Is lam i c Mod er nis m’: Its Scop e, Metho d and Alt erna tiv es.” In te rna tiona l Jou rnal M idd l e Eas t S tudy 1 (1 970), hl m. 317 - 333.
136
Reg en erat ion:
R eth in k ing of
th e
16
Rec ep Sen tur k, Na ra tiv e So cia l S tru ctu re; An ato my of the Ha dî th T rans mission Ne t wor k (Portl and: Stanford Un iv ers ity P res s, 2005).
17
Sona Grigor yan, “Ant i-Chr ist ian Pol e mics of Ibn Tay miyyah: Corrupt ion of the Scr iptu res. ” Thesis i n Cen tr al Euro pean Unive rsi ty ( May 20 11).
18
Eri e Feb ria n, Myd in M eea, and Ah mad Ka me e l, “P er for manc e of Mar k et D isc ip line in F inan cial Cr is is: Th e Case of Is la mi c and Loca l B ank s in I ndones ia. ” Jou rna l of Int ern at ional Fin anc e an d Econo mi cs, vo l.12, issu e 1 (2011), h lm. 30 -44.
19
Hans D iet er Se ib el, “Is la m ic M ic ro f inan ce in Indon esia: Th e C hal leng e of Inst itut iona l D ive rs ity , Regu lat ion, and S upe rvi sion. ” Sojou rn Journ al o f So ci al I ssue in Southe ast As ia , Vo l.23, issu e 1 (Apr i l 2008), hl m. 86 -9 3.
20
Li hat Sad ik a K ebbi, “T he Imp act of P rophet Mu ham m ad’s M is conc ieved Su nnah on Trad it ion Mus l i m Li fes ty le in Tr ipol i, Leba non.” A me ri can Ac ade mi c and S chola rly Re sea r ch Journ al, 4.5 (S epte mbe r 201 2), hlm. 1 -7.
21
Umat Is la m s ela lu be rhadapan d engan tuntut an nor m atif yang t erdapa t di dalam n as d engan rea l ita s yang ada sebaga i mana yang t er jad i d i P era nc is. Liha t Wiles E llen, “H eads carv es, H uman R ights, a nd Harmo nious Mu lti cu ltur al Soc iet y: Imp li cat ion of the Fr ench Ba n for Inte rpr etat ion of Equality.” L aw an d Soc ie ty R evie w, 41.3 (Sept e mbe r 2007), h lm. 69 9-735.
22
Courten ay Daum and Er ic k Ish i wata, “ From th e M yth of Forma l Equality to th e Polit ic of Justic e: Rac e and the Lega l Atta c k on Nat iv e Etit l em ent.” La w and S ocie ty Revi ew, 43 (S ep -De c 201 0), hlm. 8 43 -87 5.
23
Azis a l-‘Az m eh, Muslim K inship, Po we r and Sa cr ed in Muslim, Ch ris ti an and Pa gan Pol it ies, (London and Ne w Yo r k: I.B T aur is, 199 7).
24
Wae l B. Ha ll aq, “Was as h -Shaf i‘ î th e Mast er Ar ch ite ct o f Islam ic Ju risprud enc e?” Int e rnat ional Journ al o f Middl e E ast Stu dies, Vo l. 25, 4 (Nov emb er 1 994), hlm. 5 87 -605.
25
Konsep am al ah li Madi nah sa tu s is i dapat m em udah ka n uma t Is la m da la m me nguk ur s tandard sunn ah, akan t etap i ha l in i juga yang ba nya k dikr it ik oleh u la ma f iqh, te ruta ma I ma m Syaf i‘ i yang t ida k set uj u deng an kons ep in i kar ena tida k m em i li k i je ngka ng h ie r ark i h uku m yang jela s s erta tida k d ibang un ata s dasar teo ri y ang kua t, seh ingga s er ing se ka li kons ep ama l ahli Mad ina be rs ifat rando m t idak me m il i k i aturan y ang bak u di da la mnya. Lihat U ma r Fa ruq Abd - Allah, “ Ma lik’s Co nc ept of ‘ Am al in th e Light o f Ma li k’ s Lega l Th eor y” (Ph.D. diss., Un iv ers ity of Ch ic ag o, 1978), hlm. 10 8.
26
Al- Kha mîb a l-Bag hdâdî, T âr ikh Mad îna t as - Sal âm, ed. Bashshâ r ‘Aw wâd Ma’rû f, 17 vols. (Be irut: Dâr a l Gharb a l- Isl âm î, 20 01).
27
Ibn Abi Hayt i m, Bayan Kh atha ’ Muham mad i bn Is ma‘ il a l -Bukh âr î fî T âr ikhi, (Hyd erab at: Matba ‘at Dâ’ ira t al- Ma‘ âr if a l-Ut hma niy ah, 1961), h lm. 2 - 15.
28
Abû Ba kar M uha mmad ibn Mûsâ a l - Haz îm i, Shurû th A‘ im ma t a l -Kha msah , (B e iru t: Dâr al -Ku tub a l ‘Il m iyya h, 1984), hl m. 67 - 68.
29
Jamal Su lthân, ‘ Azm at a l-Hi wâ r ad -Dîn î: Na qad K itâ b a s -Sunnah an - Na ba wiyy ah bain a Ahli a l -F iqh w a al-Ha dî ts, (Ka iro, 1990).
30
Moha mmad Fad el, “Ibn Haj ar’s Hady as -Sâr î: A Med ie v al I nte rpr etat ion of th e Str uctu re o f al -Jâm i‘ as Sahîh; In trodu ction and Tr ans lat ion.” Jou rnal o f N ea r Easte rn Stud ies, vo l. 54 (July 19 95), hlm. 161 - 197.
137
31
John Burton, The Sou rc e o f I sla mi c la w: Isla mi c Theo ri es of Ab rog at ion, (Edinburg: Ed inburg Un iv ers it y Press, 19 90).
32
Li hat Muha mm ad Is mai l a l- Buk hâr î, S âhîh al- Bukhâ rî, H adits no mor 480 2, 3199, 742 4, dan 7433.
33
Sahîh a l-B uk hâr î, M. Muhs in Khan’ s T rans lat ion Volu m e IV, Had its Ke -421, (tp:t.th), hlm. 283.
34
James Robson,” M usl i m Tr adit ion: The Qu est ion of Authenc ity. ” Memo ir es and P roc eed ing of Man ches te r Lit er ar y and Philoso phic al S oci et y, XCII I (195 1-195 2), hlm. 82 -10 2.
35
Ibn as-Sa lâh dan a l- Bulq în î, Muq addi mah Ibn as - Sal âh wa M ahâsin al - Ist ilâh, ed. Aishah ‘Abdu rra hma n bint i al -Shât i’, (Ka iro: Dâr a l- Ma ‘âr if, 198 9).
36
Ibn Abi H âti m Ar -Râz î, Ki tâ b al- Ja rh w a at - Ta‘ dîl , (Hyderaba t: Jam‘ iyya h Dâirat a l - Ma‘ âr if a l ‘Uth man iyyah, 19 52).
37
Abu Dawud, Ri sâla t Abi Dâ wûd as - Si jis tân î Sulai man ib n Ash‘ ath fî Was - Sunan ih , Ed ‘Abd a l- Fat tah Ab u Ghuddah (Al eppo: Ma ktab a l - Mat hbû‘a t a l- Is lam iya h, 1417/1997), h lm. 27 -54.
38
Chris tophe r Me l che rt, “ Re l igious Pol ic i es of th e Ca liph al - Mut awa k k il to al - Muqtad ir.” Isl ami c La w an d Soc ie ty 3 (1996), h lm. 31 6 -34 2.
39
Harus ada ke ya kin an di da la m hat i umat Is lam bah wa kit ab Sahîh al- Bukhâ rî s ebaga i hadits atau f iq h kar ena in i s angat p ent ing un tuk m en entu kan sikap yan g lebih tega s. Liha t Muha mm ad Is ma il a l -Bu kh âr i, Al- Tâ ri kh al -Kâ bi r, ed. Mus tafa ‘Abd ul al -Qâd ir ‘At â, 9 Vols. ( Be iru t: Dâr a l - Kut ub al -‘ Ilm iyyah , 1422/200 1), hl m. 132.
40
Ibn Abi al -Dunya, Ki tâ b al- Ya qîn, ed. M uham mad S a‘îd Zagh lû l, (Be iru t:Dâr al -Ku tub al- ‘ I lm iyy ah, 1407/198 7), hl m. 52 -54.
41
Ibn Jawz î, Al- ‘I lal a l-Mu tanâ thiyah fî al - Ahâd its a l -Wâhiyy ah (Be irut: Dâr a l- Kutub a l-‘ I lm iyy ah, 1403/198 3).
42
Abû Ja‘far Ahmad at - THahâ w î, Sha rh Mushkil a l -A thâ r, ed.Shu‘ayb Arnâut, 16 vols. (Be irut: Muassas ah ar-R isâ lah 14 15/199 4), hl m. 375.
43
Mansoo r Moadd e l, “ Th e Study of Isl am ic C ult ur e and P olit ics: Ov e r Vie w and Ass ess me nt.” Annu So ciol . 28 (2002), hl m. 356 - 362.
44
M. F ethu ll a Gu le n, Pea rl o f Wisdo m, (t.tp: Fe edbook, 20 05), hlm. 15 -30.
45
Ibn Daqîq a l-‘ Id, Al -I qti rah fî B ayân a l -I sti lâh (Baghdad : Matbû‘at a l- Ir shâd, 1982).
46
Funk M e ena Sha ri fy, “En count er ing th e Tran snat iona l: Wome n, Is lam and Polit ic Int rep ret ation. ” As ia n Stu dies Revi ew (Jun e, 2010), h lm. 32.
47
Franz Ros ent hal, The Class ic al He ri tag e in I sla m, trans. E.and J. Mamorst e in (London: Rou tledge, 1 965).
48
Gauth ie r H. A Juynbo ll, The Authen ti ci ty of the T rad it io n Lit er atu re: D iscus sion in Mo de rn Egy pt ( Le id en: E.J.Bri ll, 19 69).
49
Fazl urr ahma n, Isl am, s econd edit ion, (Chicago: Un iv ers ity of Ch icago Pr ess, 19 79).
138
50
Issa m S Mousa, “ Th e Arabs in the F irst Co m mun icat io n Revo lut ion: T he D ev elop me nt of Arab S cr ipt. ” Cana dian Journ al of Co mmuni ca tion 26.4 (2 0010), hlm. 465-488.
51
Bash ear, S. Ar abs an d O the rs in Ea rly Isla m (Pr inc eton: Darw in Pr ess, 19 97).
52
Fer a Si mone ( ed), On Shif ting Gr ound: Musli m Wome n i n Globa l Era, (N e w Yo rk: F e minis t Pre ss, 2005).
53
Ibn Fa rhûn, Ad -Di bâ j al- Mudhahhab fî Ma ‘ rif at ‘A yân Ûla mâ ’ al-M adhhab ( Ka iro: ‘Abbas Ibn ‘Abd al Salâ m Ibn Shaq rûn, 1351 H), h lm. 23 -25.
54
M ei r M. B ar-As he r, S cr ip ture and Exe gesis in Ear ly Sh i‘i sm, (Leid en: Br ill Publish ing, 199 9).
55
Fran ces a nd Joseph G ie s, Women in M idd le A ges, (N e w Yor k: Tho mas Y. Crow e ll, 19 78).
56
Dim it ri Gutas, G re ek Thought in A rab ic Cul tur e: The Gr a eco - Ar abi c Tr ansla tion Mov em ent in Baghd ad an d Ea rly ‘A bbas id Soci et y (2 n d -4 t h /8 t h -1 0 t h Cen tu ries, ( Londo n: Collin Font ana, 1952).
57
David S. Pow e r, S tudi es in Qu r’ an an d Ha dî th -Fo rm at io n of Isla mi c L aw of Inhe ri tan ce, (B er k eley and Los Angel es: Un iv er sit y of Cal ifor nia P res s, 1986).
58
David S. Morgo l iouth, “ On Mus l im Trad it ion,” da la m Muslim Wo rld, II/2 (19 12), hlm. 113 -1 21.
59
Scott Lucas, “Pr in cip l e of Tra d it iona l ist Jur isp rude nc e Recon sid er ed,” d ala m The Musli m Wo rld Ha rfo r d Se mina ry (201 0), hl m. 145 -1 55.
60
Der ek Ba ke r (ed.), Medi eval Wom en, (O xford: Bas il B lac kw e ll, 1 978).
61
Wi layah mas lahat te rkad ang be lu m beg itu jela s batasa nnya se hingga m en imbu lkan k e ran cuan t ers end ir i dala m masa lah t ert ent u. Lihat F ranzo i Lilia n F igg, “M a slahat th e Stat e and th e people’: Opiu m Us e in the Is la m ic R epub li c of I ran.” Cr im e La w and So cia l Ch ange 54.6 ( Nove mbe r 2011), h lm. 42 1 -43 8.
62
Asma Saye ed, “G ende r and Leg al Author it y: An Examinat ion of Early Jur ist ic Oposit ion to Women ’ s Tran sm iss ion.” Isla mi c La w and So cie ty 16 (2 009), hlm. 115 -15 0.
63
Dorothy van Ess, Fa ti ma an d He r S ist ers, ( Ne w Yo r k, 19 61).
64
Mosh e Ha lbe rta l, Peop le of the Boo k: Canon, Me aning , and Autho rit y , (Cambr idg e: Harva rd Un ive rs it y Press,1 997).
65
Jalâl ad -D în as-S uyût î, Bughya t al-Wu ‘ah fî THa bâq ât al -Lu ghaw iyy în wa an - Nuhâh , ed. M. Abû l- Fad l Ibrâh î m, 2 vols (B ei rut: Dâr Mu’ assasah, t.th), 170.
66
M icha e l A. Cook, E ar ly Musl im Do gm a-A Sou rc e C ri t ical S tudy, (Ca mbr idge Un ive rs ity Pr ess, 19 81). Bandi ngka n dengan John Burton, “ Ling ust ic Erro rs in t he Qu r’an.” Jou rna l of Se mi tic Stud ies , 33 (1988), hlm. 2 46 -26 5.
67
Le c ke r. M ic he l, Musli m, Je ws and Pag ans: S tudi es on Ea rly Isla mi c Ma d ina, (Le iden: B r ill, 1995).
68
Charl es H i rsch k ind, “H er esy or He rm en eut ics: The Ca s e of Nas r Ha mid az -Zayd. ” Am er ic an Jou rnal o f Isla mi c So cia l S ci ence s (AJISS), vol. 12, no.4 (1995).
69
Chris ti e, A rba ’a t Ku tub fî al - Jihâd min ‘As r al -Hurû b as -Sa lîb iyya , ed. S. Za k kâr, (Dama sku s, 2007).
139
70
Dani el W. Bro wn, Re thin king Tr adi tion in Mod ern I sla mic Thought, (Camb ridg e: Camb ridg e Un ive rs it y Press, 19 96).
71
As-Suyut î, Al- I tqân fî ‘ Ulû m al - Qu r’ an, ed. Mustha fah Dîb al -Bu lghâ (B e irut: Dâr Ibn K ath ir, 1996).
72
Alfr ed Gu ilaum e, The T ra di tion of Is la m: An Int rodu cti on to the Stu dy of the Ha dî th Lit er atu re, (O xford : Clar endon Pr ess, 19 24; c eta k ula ng Be i rut: Kha yats, 19 66).
73
THa rif Kha l idî, A ra b His to ric al Thought in the Class ic al Pe riod, (Ca mbr idge: CUP, 19 95) .
74
Robert G l eav e and E. Ke rm e ly, Isl am ic L aw, Theo ry, a nd Pr ac ti ce, (London and Ne w Yo rk: I.B. Tau ri s, 2001).
75
John Goldi ngay, Mode ls fo r I nte rp r eta tion o f S c rip tur e, (Carlist le: Pat er noste r Pr ess, 1995).
76
Mahy uddin Abu Ba k r dan Az man Mhd. Za in,” Kons ep B erta k lid dalam Is lam. ” M AL IM, Jou rnal Pen ga jia n Asia Ten gga ra 6 ( May 20 11), hl m. 71 -9 4.
77
Babe r Johansen, Con ting ency in S ac red L aw: Le gal Ethi c al Nor ms in the Musli m Fiqh, (Le id en: Brill, 1999).
78
Muha m mad Kh al id Mas‘ud, Mu fti s and Thei r Fa t was, (C ambr idge: H UP, 1996).
79
John Hic k, An Inte rp r eta tion o f R eli gion: Hum an R espon ses to Tr ansc ende nt, (London: Ma cm ilan, 1989).
80
Nasr in Abo lhass an, “ Th e R ight of Wom en in Is lam: A n Authen tic Approa ch.” Journ al o f Gend er S tudi es 9.1 (Mar ch 200 0), hl m. 101-1 04.
81
Ren ee G S che r len, “I sla m a nd Equa l ity: D ebating th e F u ture of Wo men and M inor ity R ight in M iddl e Ea st and North Af ri ca/and Oth ers ” N SW A Jou rnal 1 3.3 (Fall 2001), hlm. 232 - 237.
82
Charlot te W eb er, “ Th e M usl i m Fa mi ly: A Study of Wo men ’s R ight in Is la m.” Jou rna l of Wo men His to r y 11.4 (Wint er 2 000), hl m. 200.
83
Nanc y Davis and Rob ert Rob inson, “ Th e Egalita rian Fa ce of Is la m ic Orthodox y: Support for Is la mi c La w and Economy Just i ce in Sev en Mus l im -M ajo rit y Nat ions .” Ame ri can So ciolo gic al Revie w 71.2 (Apr il 2006) , hlm. 1 67 -19 0
84
Andre w F, “G en ealog i es of Sov er eign it y in Is la m Politica l Th eology. ” S oci al Res ea rch, sup pl. Sep ec ai l Issue, Po lit ic al Th eolog y, 80.1 (Spr ing 2013), h lm. 29 3 - 320.
85
Arthur W B l ess er, “Is la mi c Po lt ica l Eth i cs, C ivil So ciety, Plura lis m and Con flict.” Volunt as 1 6.4 (De ce mbe r 2005), hl m. 417 - 428.
86
Ian St raughn, “ Muha mm ad’s Grav e: D eath Rites a nd the Mak ing of Islam ic Soc iet y.” Am er ica n Anth ropolo gis t 110.3 (Sep te mbe r 200 8), hlm. 3 88 -38 9.
87
Amy Si nge r, “G iv ing Pra ct ic es in Is la mi c Soc ie ties.” So cial R esea r ch, suppl. Spe cia l Is sue, Giv ing Ca rin g for the Nee ds of St ran ge rs 80.2 (Su mm er 20 13), hlm. 34 1 -353.
88
Julia n M i ll i e, “I sla m ic Sp ect rum in Java.” As ian Stud ies Rev ie w 36.1 ( Mar ch 20 01), hlm. 145 - 147.
89
Aharon Lay ish, Be douin of Jude an Dese r t: Isla miza ti on of Tri bal So ci et y, A Study B ased on Le ga l Docum ents o f A rb it ra to rs and Sha riah Cour t (t.tp; t.th).
140
90
Webb K ean e, “R e lig ious Languag e.” Annu Rev. Anth rop ol, 26.4 (1997), hlm. 1 -25.
91
Ghass em i Gha sse m, “C ri m ina l Puni shm ent in Is la m ic S ociet ies: E mpirica l Study of Attitudes to C ri m ina l Sent enc ing in Ir an.” Euro pean Journ al on C ri min a Pol ic y and R ese ar ch 15.1-2 (2 009), hlm. 159 - 180.
92
Val ent ine M Moghadam, “Patr ia rch y in T rans it ion: Wo me n and th e Cha lle nging Fa mily in M idd le East. ” Journa l of Com pa ra tive F am ily 35.2 (Spr ing 20 04), hlm. 137 -162.
93
Ric hard Se mba, D e Pe e and Oth ers, “Pat ern al Smo king and I nc reas ed Risk of Infant and Und er - 5 Ch i ld Morta l ity in I ndones ia.” Am er ica n Journ al o f Publ ic H e alth 98.1 0 (Oc tober 2008), hlm. 182 4 -18 26.
94
He len Lew e is, “ Th e Magni fi c ent Sev en Tr end Food Tr en ds to 2013 - Manag e men t Br ief ing: M ega t rend 5: Hala l Food.” Jus t- Food ( May 20 07).
95
O M Kha n, “A Study Mush ara kah (Joint Eq uility Par ticipation) as One of t he Mod es of F inan cing w ith i n the Purv i ew of Is lam i c Ban k ing.” In te rna tion al Jou rnal of A rt an d S ci enc e 4.26 (2011), h lm. 185 -189.
96
Elha m Ka ma l M et wa ll y, “An Asses m ent of Us er’s A cc eptanc e of Int e rnet Ban king: E mpirica l Case o f Egypt.” Am e ric an A cad emi c and S chola rly Res ea rch Jou rnal 5.5 (Ju ly 201 3), hlm. 132 -15 4.
97
Ka lman App lbaum, “P ious Prope rty: Is la mic Mo rtgag es in the Un ited Stat es.” A me ri can An thr opolo gis t 109.2 (June 200 7) , hl m. 399 -4 00.
98
Grego ry Star ret, “ Mutua l Lif e: Is lam i c Bank ing, Alt e rnat ive Cur re nc ie s, Late ra l Reason. ” Am eri ca n Anth ropolo gis t 108.4 (D ec emb er 2 006), hlm. 910 - 911.
99
John M. Mason, “Why B en B er nan ke Shou ld not be R e -A ppointed. ” Bas il and Spi ce (B asi l and S pi ce- Blog) , Jebs en Be ach (Jul y, 2009). Abdul lah A wadh Bu kai r, “ Inf lue nc ing of Spe c if ic - Firm Cha ract e ris tic on Is la mic Ba nk ’s Prof itab il it y: Evide nc e fro m Gu lf Coope rat ion Counc il Countr ies.” A me ric an A cad em ic an d S chola r Res ea rch Jou rna l 5.4 (May 20 13), hl m. 110 - 124.
100
Jacqu e le ne Br inton, “Pr eac ing and Ep istomo log ica l Enforc e men t of Ula ma Au thor ity: Th e Se rmo n of Muha m mad M it wa ll î Sha‘r âw î.” In te lec tua l Discou rs e II UM Pr ess (2011), hlm. 98 -105. Lazaru s - Yaf eh. H, Muha m mad M uta wal l i Al -Sha‘ raw î-Po rtra it of a Cont empo rary a lim in Egypt. In R. Wa rburg & U. M. Kupf ers chm idt (Eds.), Isl am, Nat ional ism, an d R adi c alis m in Egyp t and Sud an, (Ne w Yor k: Praeg e r Publi she rs. B er k ey, J.P, 2001), h l m. 281 -302. Popul ar P rea ching and R elig ious Autho rit y in th e Med ieva l Isla mi c N ea r E ast (Se att le: Un iv ers it y of Wash ington Pr ess. Corn ell, 199 8).
101
O labod e Ibi ron ke, “ Is lam, R itua l, and the Po lit ics of Trut h in Mays e Conde ’s Sequ.” Jou rna l of Cultu ra l Stu dies 2.1 (20 00), hl m. 384 -3 98.
102
Amb iva le nsi s i kap po l it i k mas yara kat Mus lim mas ih berada da la m ar ea abu -abu. Espos ito, J. (ed.) Poli ti cal Isl am: Revo luti on, R adi ca lism, or R efo r m? (Bo ulde r: Lynn e Rienn er,1 997). Eub en, R., & Za man , M. (2009). “I ntrodu ction, ” in R. Eub en & M. Zaman (Eds.), Reading s in Isl ami s t Thought: Tex ts an d Cont ex ts f rom al - Banna to Bin Lad en (Pr inc eton: Pr inc e ton Univ er sit y Pr ess, 2009), h lm. 1 - 39.
103
Haz em Kand i l, “Is la m izi ng Egypt? T est ing th e Lim its of Gra msc ian Count er H eg emon ic Strat egi es. ” Theo ry an d So cie ty 4 0.1 (January 20 01), hlm. 37-6 2.
104
P ema ham an rad ika l is me di sua tu agama m uncu l te r k adang ket ika suatu ke lompo k te ram ca m e ksisit ens i me re ka. Roxan ne Eube n, Ene my in the Mi rro r: Isl a mic Fun dam ent alis m and the L im its of Mod er n
105
141
Ra tiona lis m, A Wo rk o f Co mp ar at ive Po lit ic al Theo ry , (Prin ce ton, N.J: Prin c eton Un iv ers ity P re ss, 1999) , hlm. 2 39. S erda r De mi re l, “ Th e I mpact H adit h Per c eption on D ispute B et we en Ahl Sunn ah and Sh i‘ ah al - Ima mi yyah Itsn â ‘ Asha riyy ah. ” In tel ec tual Dis cours e 19 (2011), h lm . 245 -262.
106
Jul ian C H Le e, “ Mobi l iz ing Soc ial C hange in Mus lim Soc iet ies A m idst Polit ic al Tur mo il a nd Conserv ati sm.” D evelop men t, suppl. Sp ec ial Issu e fo r t he 11 t h AWID Int ern at ional Fo rum on 52.2 (June 2009), hl m. 239 - 245.
107
Ivan Dav idson Ka l mar, “Ant i Se mit is m and Is la mophobia: Th e For mat ion of a Secr et.” Hum an Ar chit ec tu re 7.2 (Spr ing 2009), h lm. 13 5 -14 3.
108
G iora El i raz, I ndones ia Mo de rnis m, Rad ica lis m, a nd Th e Mi ddl e Eas t D imen sion (Eng land: Sus se x Acade m ic P res s, 2004) . Abdu l Kha li k, ‘ Indon es ia: W es tern Pr ess C reat es Is la m’s St ig ma,” The Ja ka rt a Post, issu e dat e 24 F ebru ary 2 004. John T. S ide l, Riot s , Pogro m, Jih ad: R eli gious V iolen ce in In donesi a (Corne ll: Cor ne l l Un ive rs ity Pr ess, 20 06).
109
M uha mmad B urdha r Kha n, “Hu man R esour ces D eve lop ment, Mot ivat ion and Is la m.” Jou rnal o f Manage men t Dev elop men t, vol. 31, (201 2), hlm. 1 021 -1 034.
110
John Bro wn, “I s the d evi l in Deta i ls? T ens ion B et we en M inima lism and Co mpr eh ens iven ess in th e Shari ah.” Jou rnal o f Reli gious Eth ics , 39.3 (20 11), hlm. 458 -46 3.
111
Abdul Jabba r Q ur esh i, “R ight of Non - Mus lims in I slamic Stat e Ac cord ing to the Han if i Jur isprud enc e. ” Res ea rch Jou rna l of In te rna tion al Stud ies , Is sue 1 8 (January 201 1), hlm. 114 -1 18.
112
Na ky ins ig e K and Man Y B -Saz i li A Q, “Ha la l Auth ent ic ity Issu e in M eat and M eat Produ cts.” M ea t S cien ce, vol. 91 (2012), h lm. 207 -214.
113
I Lapidu s, “Is la mi c Re viv al and Mode rn ity: Th e Conte mporar y Mov e ment s and the H istor ic al Pa radig ms. ” Journa l of the E cono mi c and Soc ial H isto ry o f the O rien t 40 (1997), h lm. 10 8 -150.
114
115
E mma Fi e ld, “Ha la l Food Set to Boo m.” Th e Wee kly T imes M elbou rne (August 2 013), hlm. 102.
Rob ert P ri ngl e, “Stat e Aut hor ity’: The S tate in So ciety in I ndones ia. ” Asi an Stud ies Revi ew 35.2 (Jun e 2011), hl m. 276 - 277.
116
117
Donna B e rry, “ What is Ha lal. ” Dai ry Foods 1 01.4 (Apr il 2 006), hlm. 36.
118
(Ed) Andr ew R ipp in, The Qu r’ ani c Fo rma tiv e In te rp re tat ion, (Portland: Ashgate Pub lish ing Co, 1999).
119
Sa id Ra madhan a l- Buw ayth î, DHa wâ bith a l-Ma slaha h (Muassasa h ar- Ris âla h, 1974).
120
Sard ar Za inudd in, “ Be yond the Troub l e Re lat ionsh ip. ” Na tur e. 7150 (Ju ly 200 7), hlm. 131 -1 33.
A Schi m me l, And Muham mad is His Massen ge r, (Chapel H ill: Th e Univ e rsity of North Carolina Pr ess, 1985).
121
Y F ri ed man, P rophe cy Cont inuous: Aspe c ts of Ah ma di Re lig ious Though t and I ts Me diev al Ba ck groun d (Ber k el ey Un ive rs ity, 1 988). Band ing kan: Th e Cas e of A hmad iyya in P ak ista n,” da la m Dh ir endra Vajp ey i and Yogend ra Mal i k (eds.), Re ligi ous and Ethni c Mino ri t y Poli ti cs in Sou th Asi a (Ma ry land: Riv erd al e, and London: Jaya Publ ish er s 1989), h lm. 71 -108.
122
142
J Espos ito and D. Mogahed, Who S pea ks fo r Isla m ? What a Bil lion Mus li ms Rea lly Thi nk ( Ne w Yor k: Gal lup Pr ess, 200 8).
123
Cha rl es H. Ke nned y: “To wards th e Def in ition of a Mu slim in an Isla m ic St at e: The Cas e of Ahmadi yya i n Pak istan ”, in: Dh i rend ra Va jp ey i and Yoge ndra Ma lik (ed s.): Reli gious and Ethn ic M ino rit y Po li tics in Sout h Asia ( Mar yla nd: Riv erd al e, and London: Jaya Pub lish ers 1989), hlm. 71 -10 8.
124
Ha er i N iloofa r, “ For m and Ideo logy: Ara b ic Soc iolungist ic s and Beyond. ” Annu. Rev. Anth tro pol, 2 9 (2000), hl m. 61 -87.
125
126
Abd a l-Ha m id Hasan, Naza ri yah al- Masl ahah fî al- Fi qh al-I slâ miy ah, (Kairo: Dâr a l-N ahdhah, 197 7).
Y ed ida Ka lfon St il l man Yed ida Ka lfon, Ar ab D r ess; a Sho rt His tor y f ro m th e Da wn o f Isla m to Mo de rn Ti mes, (ed) No rma n Sti l lma n, (Le id en: Br ill A cad em ic P ublishe rs, 200 5).
127
Ra ndal Col l ins, “Soc iolog y of Cultur e - Th e R ise of Early Mode rn Sc ien c e: Isla m, China, T he We st by Thoby E. Huff. ” Con te mpo ry Soc iolog y 23.5 (Sept emb er 1994), hlm. 733.
128
El C he i k- Nadia Mar ia, “ Ma rr iag e and S lav ery in Ear ly Is lam. ” Jou rnal of M idd le Eas t Wo men ’s Stud ies 8.2 (Spring 201 2), hl m. 102 -1 04.
129
D ean Mi l l er, “T he Curs e of Ham, Rac e, Slav er y in Ear ly Judaism, Chr ist ian ity, and Is la m.” Journ al of So ci al Histo ry 38.3 (Spr ing 2 005), hl m. 831 - 833.
130
Ku ran T im ur, “Th e Ge nes is of I sla m ic Econo mics: A Chapter in th e Po litics of M uslim Iden tit y.” So cia l Res ea rch, vol.6 4, no.2 (1997), hl m. 301.
131
Abu M ansur ‘Abd al - Qah ir Ibn Ta hi r a l-Bag hdadi, Us ul ad-D în (Ist ambu l: Gov ern m ent Pr ess, 1 928), hl m. 281-28 2.
132
133
Alb ert Hou ran i, A rab ic Thought in Li be ral Age, (Lo ndon: Oxford Unive rs ity Pr ess, 196 2), hlm. 1 90.
134
Say yid Qutb, C ont empo ra ry Isl am an d the Chal leng e of His tor y, (Albany: Sun y, 1982), hlm. 22 5.
Abu al -‘A la al - Mawd udi, A l-Hukû ma a l-I slâ miyy ah, tr .Ahmad Idr is, (K airo: Mu khta r al -Is lâ m î, 1980), hl m. 100-10 2.
135
V icto ri a Cle m ent, “Wom en i n Isl am and M idd le East: A Reade r.” Journ al of Wom en’s His to ry 13.1 (Sprin g 2007), hl m. 227.
136
137
Ah mad Bad r, A l-I t tisâ l bi l J amâh îr wa ad -Di ‘ây ah ad - Dauliy ah, Cet. 1, (Ku wa it: Dâr Q ala m Ku wa it, 1974).
138
‘Abd Lath if Ha mzah, A l- I‘l âm fî Sd r al - Isl âm, (Dâr a l- Fikr i a l-‘A rabî, 19 71).
139
Muha m mad Am în Asta râbâd i, Al- Fa wâ ’id a l-Ma daniy yah, (t.tp: Dâr an -Nas r li Ah li Bayt, 198 4).
M Foucau lt, Gove rn men tal it y, in G. Burch ell, C. Gordon, & P. Miller (Eds.), The Foucaul t ef fec t: S tudie s in Gove rnm enta li ty, (Chi cago: Un ive rs ity of Ch icago Pr ess. r epr int ed fro m Aut Aut, 1991),h lm. 16 7 -16 8.
140
Mu ham mad Zâh id al- Ka wtha r î, An-Nu ka t at- TH ar îfa fî at -T ahaddu th ‘an Ru dûd Ibn A bî Shay ba ‘ alâ Ab î Hanîf a, ne w edi tion, ( Kai ro: al - Mak tabat a l-Azh ar iyya li-’ l- Tur âth, 199 9). Band ing kan: Al -Muc anna f Ib n Abî Shayba, Abû Ba kr ‘Abd Al lâh Ibn Muha mmad (15 9 - 235/776- 849) (R iyadh, Sa ud i Arab ia: Ma ktabat a lRushd, 1409 AH).
141
143
Ahmad Da l la l, “ The O rig ins a nd Ob j ect iv es of Is la mic R evivalist Thought, 1 750 - 1850.” Journ al o f th e Ame ri can O rien tal So cie ty, 13, 3 (199 3), hlm. 314 -3 59.
142
Ja mâ l ad -D în ibn a l-Hâ j ib‘U ma r, Jam i‘ a l-U mm ahât, ed. Abû ‘Abd ar-Rahm ân al -Akhd har î (Damas ku s and Be iru t: Al- Ya mâm a Lith - TH ibâ‘ a wa l- Nasr, 14 21/2 000).
143
‘Abd a r-Ra hma n Ibn Muh am mad B âla w î, Bughy at al- Musta rshîd în fî T alkhî s Fa tâ wâ ba‘ d al -A ’I mm a mi n al-‘ Ul ama al-Mu ta ’akh ir în, (Ka iro: M usthaf â Bâb i al -Ha labî, 1952).
144
Ann e Mar i e H il sdon, “ Trans nat ional is m and Ag enc y in East M ala ys ia’: F ilip ina M igra nts in th e N ight l if e Indust ri es.” The Aust ra lian Jou rna l of Anth ropol ogy 18.2 (2007), hlm. 17 2 -19 3.
145
Ahm ad ibn Muha m mad ibn ‘Abd Rabb ih, A l-‘ Iq d a l-Fa rî d, ed. M uha mmad a l-‘A ryân, 8 vo ls. (Ka iro: Mathba ‘at a l-I stiq âmah, 1 953).
146
147
L Ta k im, The He ir s of th e P rophe t, (Alban y: State U nivers ity of Ne w Yor k Pr ess, 2006).
Dav id S Pow er, S tudy in Qu r’an and Ha dith: The Fo r mat ion o f the Isla mi c La w o f Inh er it an c e, (B er ke l ey: Univ er sit y of Cal ifo rni a Pre ss, 1986).
148
149
Art s, 239 -2 56 of I ran ian Cr im ina l Cod e of 1991; art s, 81 -90 of th e Y em en i Cr imin al Cod e of 1994.
M enu rut Ib n Rushd ha l yang te rpe nti ng dala m mas alah peneg aka n huku m jina yah di da la m Is la m adala h rasa k eadi lan yang ada d i da la mnya, bu kan be ntu k hu ku man. Lihat Ibn R usyd, Bidâ ya t a l-Muj tahi d w a al- Nihây at a l-Muq tas id, 2 vols. ( Kai ro: Mu sthafâ a l - Bâb i al -Ha lib i, 196 0), vol. 2, hlm. 425 -4 27.
150
Ah mad Ibn Ya hya a l-Wan shî r îsî, Al-M i‘y âr al-Mu ‘r ib wa al -Jâ mi ‘ al -Mughr ib ‘an Fa tâ wâ ‘U lam â ‘ If ri qiyy a wa al -Magh ri b, ed. Muha mmad H aj j i et a l. (Be irut: Dâr a l -G harb a l- Islâm i, 1981).
151
Pat ri c ia Crone, “Jah î li and Je w ish Law: Th e Q asâ ma.” Jerus sal em S tudi es in A rab ic and Isla m, 4 (1984), hlm. 1 53 -20 1.
152
Al - Mas‘ûd î, Ki tab Murû j adh - Dhahab, ed.and tr. A.C. Barb ie r de M eyna rd and A. J. B. Pavet d e Court e ll e (Paris, t.th), hl m. 186 1 -187 7.
153
Rudo lph Pet ers, “ Mu rde r in Kh aybar ’: Some Thoug hts on the Or igin s of the Qas âma Pro cedu r e in Is la mi c La w.” Is la mic La w and Soc ie ty, 9, 2 (2002), hlm. 132 -16 7.
154
I Si r ke ci, “E mba rc ing In fid e l: Stori es of M uslim M ig rants on the Jour ney W est. ” Mig ra tion L et te r, 3.1 (Apri l 2006), h lm. 87 - 89.
155
Val Moghada m, “Wo men in Saudi Today / Re constr u cted Liv es: Wom en and I ran’s Is lam ic R evo lut ion.” Cont em por ar y So cio logy 27.4 (Ju ly 199 8), hlm. 358 -3 60 .
156
Rob ert W H efn er, “Pub l ic Is lam and t he Prob le m of D emo crat izat ion.” S ocio logy of R eli gion 62.4 (W int e r 2001), hl m. 491 - 514.
157
Robe rt W Hefn er, “G loba l Viol en ce and Indon es ian Muslim Polit ics.” Am er ic an Anth ropolo gis t 104.3 (Septe mbe r 2002), h lm. 75 4 -75 7.
158
Ni lu fe r Go le, “ T he Volun tary Adopt ion of St ig ma Sy mbols. ” So ci al Res ea rch 7 0.3 (Fa ll 2003), h lm. 809 823.
159
144
F e li x H eid uk, “B etw e en a Ro ck a nd a Hard P la ce ’: Ra dica l Isla m Post - S uharto Indon esia.” In te rna tion al Journa l of Conf li ct an d Vio len ce 6.1 (2012), h lm. 26 -40.
160
B il l Maur e r, “Is la m, La w and Equa l ity in Indon es ia: An Anthropology of Pub lic R eason ing.” A me ri ca n Anth ropolo gis t 106.4 (D ec emb er 2 004), hlm. 750 - 751.
161
Ly nda N e wla nd, “Und er Bann er of Isl am: Mobilis ing Re lig ious Iden tit ies in Java.” Th e Aus tr ali an Jou rna l of An thro polog y 11.2 (2000), h lm. 19 9 -222.
162
S eth Asumah, “ Is lam, Re nti e r States and the Qu est f or Democ rac y in Afr ica.” Wes te rn Jou rnal of Bl ac k Stu dies 3 4.4 (Wint er 2010), hl m. 399 -411.
163
Ed. Eugen e Cotran and Ma i Ya man i, The Ru le of L a w in the Mid dle Eas t and the Isla mi c Worl d; Human Righ ts and the Jud ic ial Pro ces s, (Portland: I.B. Tau r is an d co., 2001).
164
Er in E St il es, “ Whe n is a Divo rc e a Divo rc e? Det e rm in ing In tent ion in Za nziba r’s Is lam ic Court 1. ” Ethno logy 4 2.4 (Fal l 20 03), hl m. 273 - 288.
165
Rob ert son and F iona Snap e, “Co rrupt ion, Collus ion and N epotis m in Indon es ia.” Thi rd Wo rl d Quar te rl y 20.3 (June 1999), h lm. 58 9 -62 2.
166
Sa mi r K itt ani y, “So me of Aspe cts of Hum anism in th e C lass ic Re ligiou s Collect ions on Po lit ica l Just ic e in Is la m. ” Inte rna tion al Jou rna l of A r ts and S cien ce 4.14 (2011), hlm. 18 7 -19 5.
167
Ham id R Kusha, The S ac re d La w of Isla m; a Case S tu dy of Women ’s tr ea tmen t in the Isla mi c Re publi c of Ir an’s C rim inal Justi ce Sys te m, (Portla nd: Ashgate Pub lishing Co., 2002).
168
Ed. Khal id M esud. M uham mad, Disp ensin g Justi ce i n Islam: Q adis and Th ei r Judge men ts, (Le id en: Br il l Acade m ic Pub lis he rs).
169
Ibn Muqaf fa,‘ Ris âla t as - Sahâ ba, ed. Yu suf Abû Halqa, 2 n d printing (B e irut: Mak tabat al -Bay ân, 1960), hlm. 1 67 -16 8.
170
Pau l R Pow er s, Int ent in Is lam ic La w; Motiv e and M ea ning in Me dieva l Sunn i Fi qh, (Leid en: B rill Acad em i c Publi she rs, 2006).
171
John Bow en, “ La w and Soc ial Nor ms i n the Co mpara t ive Stud y of Is la m.” A me ri can An th ropolo gis t 100.4 (Dec emb er 19 98), hl m. 1034 -1038.
172
Lev in e and Cyntia Ras ky, “D is conti nui ti es of Mu lt ic ultura lis m.” Cana dian Ethni c S tudi es 38.3 (2006), hl m. 87-104.
173
S er ing s e ka li opr ess i t erh adap pe re mpuan o le h ko m unitas Mu slim dilonta rk an oleh pa ra pe me rhat i ha k azasi man usi a. Wa laupun banya k a rgu men yang d ib e rikan untu k men amp ik tuduh an t ers ebut, aka n tetap i banya k a rgu men yang d ibe ri ka n hanya be rsifat apologi. J. M N asir, ‘Sh ar ia I mp le m entat ion an d Fe ma le Mus l ims in N ig er ia’s Sh ar ia Stat es’ . In: P. O stien (ed.) , Shari a I mpl emen t a tion in No rth ern Nig e ri a 1999– 200 6 (A Sourc ebook, Ibadan: Sp ect rum Books Lt d, 2007), hlm. 76 -188.
174
N ie ls Spi er ing and Sm ith -ot he rs, “O n the Compa tibility of Is la m and Gend er Equa lity: Effe cts of Mode rn izat ion, State Is la mi zat ion, and Dem oc racy on Wome n’s Labo r Mar k et Part ic ipat ion in 45 Mus li m Countr ies. ” So cia l Ind ic ato r Rese ar ch 90.3 (F ebrua ry 20 09), hlm. 50 3 -52 2.
175
Moa zzam i Am ir and Sch ir in -ot he rs, “Is la m and Gend e r in Europe: Subjec tiv it ies, Polit ics, Piet y.” Fe minis t Revi ew 9 8 (July 20 11), hl m. 1 -8.
176
145
A cev edo Gab ri e l A, ”Is la mi c Fa tal is m and th e Clash of Civilizat ions: An Appra isa l of Cont entio us and Dubious T heo ry.” Soc ial F or ces , 4 (June 2008), hlm. 86.
177
Vin c ent J Co rne l l, “ Fru it of th e Tr e e of Kno wledg e : Th e R e lat ionsh ip B et we en Fa ith a nd Pra ct ic e in Isl am.” Ox fo rd Un ive rsi ty P ress (1 999).
178
E eqbal Hass i m, Ele men ta ry E duca tion and Mot iva tion in Islam; Pe rspe c tives of Med ieval Musli m S chola rs, 750-14 00 C E, (Port land: Camb r ia Pr ess, 2010).
179
Hay re tti n Yu ceso y, Messian ic B elie fs an d Im pe rial P olit ics in Me dieva l Isl am; the Abb asid Cal ipha te in the E ar ly Ninth Cen tur y, (Portla nd: Un ive rs ity of South Carolina Pr ess, 20 09).
180
Ibn as-Sa lah a l-Shah razu ri, An In tro duc tion to th e Sc ienc e of the Had ith; Kit ab Ma ‘ri fa t ‘ Ilmu al - Hadi th, trans. by Er ic k D ic ki nson, (Porland: Ge rne t Publish ing, 2005).
181
Had its “ Lihat apa yang di kata kan jangan lih at siapa yang me ngata kan” me rupa kan had its ma wdu ‘ yang ser ing d igun a kan o l eh bany ak o rang da la m ha l subst ansi s uatu p er kar a. Lihat A hmad b. a l -b idd îq a lGhum âr î, Al -Mughî r ‘alâ al- Ahâd îth al-M aw du‘a fî al -Jâm i‘ as- Sa ghîr (Be irut: Dâr al -Râ id a l-’A rabî , 1402/198 2), hl m. 139. Lebih lan jut nya, banya k h adit s yang dika it kan d e ngan Nab i, lihat Mu llâ ‘A l î al Qâr i’, Al-M acnû ’ f î Ma ‘r if at a l -H adî th al -Ma wdhû,‘ ed. ‘Abd al- Fattâh Abû Ghudda, 6t h ed, (B e irut: Dâ r al- Bashâ’ i r al- Is lâ mi yya, 1426/ 2005), h lm. 206.
182
Ram S wa rup, Und ers tan ding the H adi th; the Sa c red Tr adi tion o f Isla m (Port land: Pro mothe us Boo ks, 2002).
183
A.N. M. Ra isudd in, “Ya hyâ Ibn Y ahyâ a l - Mas mûd î (15 2 -234 H/ 769-8 51 M): His Contr ibut ion to Study o f Hadith Lite ratu re in Spa in.” I sla mi c S tudi es, vol. 31, no. 2 (Summ er 19 92), hlm. 231 -2 37.
184
Muha m mad Zâh id a l- Kaw thar î, Fi qh Ahl al -I râ q wa H a dîtsuhum, ed., ‘Abd al- Fattâh Abû G huddah (B ei rut: Ma ktab a l- Mathbû ‘at a l-I slâ m iyya h, 1970), hlm. 18 - 20.
185
186
Ib n Ma jah, Sunan Ibn Ma jah (B ei rut: Dâr a l- Fikr, t.th) , 1, hlm. 625.
Abdu rrah mân al -Jazî rî, Al -Fi qh ‘ Alâ al- Madhâhi b a l -‘A rb a‘ ah (Ka iro: Dâ r a l- Bayân al -‘Arab i, 20 05), IV, hlm. 1 92 -19 3.
187
F ranc essa M en ich e ll i, “S ett ing the Wa tch: Pr iva cy and Ethics of CCTV Surv e ilanc e (Studies in Pena l Theo ry and P ena l Ethi cs.” Surv eil anc e and Soc ie ty 11.1/ 2 (2013), hlm. 213 -2 14.
188
Br inton Jacqu el en e, “Pr each ing and th e Epist emo logical Enfo rc em ent of ‘U la mâ Author ity: Th e Ser mon s of Muha m mad M it wa ll î Sha‘ râ wî. ” In tel ec tual Cou rse, 1 9 (2011), hlm. 97 -12 1.
189
M icha e l Hump hr ey, “Cu ltura l is ing the Ab je ct: Is lam, Law and th e Mora l Pan ic in the We st.” Aus tr ali an Journa l of Soc ial Issues 4 2.1 (Autumn, 20 07), hlm. 25 -2 9.
190
Pau l Bra madat, “To ward a Ne w Po lit i cs of Aut hent icit y: Ethno -Cu ltu ra l R epr es enta t ion in Th eory a nd Pract ic e.” Cand ian Ethn ic Stud ies 37.1 (2 005), hlm. 1 -2 0.
191
Oto rita s abso lut yang d i mi l ik i A l lah s e ring s eka li d ilaku kan d isto rsi atas nya y ang d ilak uka n oleh piha k yang m enafs ir kan t e ks nas yang b ers ifat com pulso ry t er hadap masya ra kat Mus lim yang la in. Lihat Rog e r Gr iff in: “ Th e Ho ly St o rm ’: Cl e ri ca l Fa sc ism ’ th rough th e Le ns of Mod ern is m.” To tal it ari an Mov emen ts an d Poli ti cal Rel igion s , vol. 8, no. 2 (2007).
192
146
Ch r is Tho rnh il l, “ To ward a H istor i cal So cio logy of C onstitut iona l Leg it im acy. ” Theo ry and Soci et y 37.2 (Apri l 2008), h lm. 161 -197.
193
Abdu l lah i Al i Ibra hi m, “A Th eo logy of Mod ern ity: Ha san al - Tu rabi and Isla m ic R en ew al in Sudan.” A f ri” a Toda y 46.3/4 (Su mm er 19 99), hl m. 195 - 222.
194
Sah iron Sy ams uddin, “Abu Ha ni fah’s Us e of th e So litary Had ith as a Sour ce o f Is la m ic La w.” Isla mi c Stu dies, vo l. 40, no. 2 (Summ er 20 01), hlm. 252 - 257.
195
Naf i Bash e er M, “A T eac he r of Ibn ‘Abd Wahhâb: M uham mad Hayât a l -S ind i and the R ev iva l of Ahâd Hadith M ethodolog y.” Is lam ic La w and Soc ie ty , vol. 13, no 2 (2006), hlm. 20 8 -21 4.
196
197
Tal al Asad, “ B ounda ri es and R ight in I sla m ic La w: Int roduct ion.” Soc ial Res ea rch 3 (Fa ll 2003), h lm. 70.
A myn B Sajoo, “ Th e Cont empo rar y Arab R ead er on P olit ical Is la m.” Cana dian Ethnic S tudi es 43. (20 11), hlm. 2 87 -28 9.
198
Wae l B. Hal laq, “Can the Sh ar i’a B e Resto red? ” in Isla mi c La w and the Cha llen ges of Mode rni ty , ed. Yvonn e Haddad and Ba rbar a Stowass e r (Lanh am, MD: Row man and Litt lef ie ld, 200 4), hlm. 2 1 -53.
199
Al i K han, “T he R eopen ing of the I sla m ic Code: Th e S econd Era of I jt ihad.” Un iver sit y of S T. Tho mas La w Journa l, vol. 1, 1 (2003), hl m. 341 -365.
200
Inho rn MC and Pat r izio P -Se rour GI, “Th ird -Part y R eprodu ctiv e As ista nc e Around the M ed ite rra nea n’: Compar ing Sunn i Egypt, Cathol ic I tal y and Mu lt is ecta r ian in Lebanon.” Els evie r, vol. 21 (Dec e mbe r 2010), hlm. 8 48 -85 3.
201
Schott mann -Sve n Al exand e r, “T he P il la rs of Mahath ir ’s Is lam: Maha thir Muha mm ad on Be ing Mus l im in the Mode rn Wor ld.” As ian Stud ies Revi ew 3 5.3 (Sept em ber 201 1), hlm. 355.
202
Ga ry R. Bunt, I sla m in the D igi tal Age: E-J ihad, Onlin e Fat was and C ybe r Is la mic Envi ronm ent s, (London: Pluto Pr ess, 2003), h lm. 12 4 -80.
203
Cl if ford Ge ertz, Isl am O bse rved; R eli gious Devel opm entin Ma roc co and Indon esia, (t.tp: Ya le Un iv ers it y Press, 19 68).
204
Jacqu es Be rtr and, Na tiona lism an d Ethni c Con fli c t in Indonesi a, (Cambridg e: Cambr idg e Unive rsity Pres s, 2004).
205
206
R iaz Hasan, Fai thlin es: Musl im Con ce pti ons o f Isla m a nd So ci et y, (O xford: O xford Un ive rs ity P re ss, 200 2).
207
Scott Cas ey, “ Ha lal ’: Gro wi ng Ma r ket w ith Cav eat.” P oult ry Wor ld 16 6.4 (April 201 3), hlm. 11.
208
Is abe l Dav i es, “ Ne w Hal al F igur es P rompt Lab e l Ca ll. ” Fa rm ers Wee kly 153.12 (Sept emb er 2010), h l m. 14.
Mes si ck. B , ‘ M adhabs and Mode rni ti es’. In: P. Bea rm an et al. (eds.), The Isl ami c Scho ol o f Law. Evo l ution , Devolut ion, and P rog ress (Ca mbr idg e, MA: Is lam ic Le gal Stud ie s Progra m, Ha rvard Un ive rs ity Pr ess , 2005), hl m. 175 - 190.
209
Sy monds. M ich ae l and Pudse y. Jason, “Th e For ms of Brother ly Love in Max W ebe r’s Soc iology of Re lig ion.” So ciolo gic al Theo ry 24. 6 (Jun e 2006), h lm. 13 3 -149.
210
Pen yeba ran mazhab Hanaf i bu kan d idasa r kan o leh p ende kat an polit ik dar i p engikut Ab u Han ifa, a ka n tetap i ka rena s ituas i n egara k et i ka itu mengh adapi tek anan dar i golongan u lam a trad ision al yan g
211
147
dimoto ri ol eh Ima m Hanab il a. M azhab Sy afi‘i dan Ma lik i d ianggap p ro kepada k e lompo k t radis iona l (ulam a hadit s) seh ingga kh al ifa h me l ir i k mazh ab Hana fi sebag ai mazhab r es mi n egara y ang diangga p leb ih mod erat. Nu ri t Safir, Th e Histo ry of an Is lam ic School of La w: The Ea rly S pr ead of Han af ism , (Cambr idge, Mass.: Isl am ic Lega l Stud ies Prog ram at H arvard Law Schoo l and Harva rd Unive rsity Pre ss, 2004), hl m. 99 -1 00. Gut as D, G ree k Thought, Ar abi c Cultu re. The Gr ae co - Ar abi c T r ansla tion Mov em ent i n Ba gh dad and Ea rl y Abba sid Soc ie ty 2nd -4th/ 8th -1 0th Cen tur ies, (London: Routledge, 19 98).
212
Swa rup. Ra m, Unde rs tand ing the H adi th; The Sa cr ed o f Tr adi tions of Isl am, (Port land: P romoth eus Book s, 2002).
213
Motzk i. Hara ld and Ni col et Boe khof f -Van de r Voort. Sean W. Anthony, Analysing Musli m Tr adi tions : Stu dies in Leg al, ex ege ti cl e and Ma ghazi H adi th (leid en : Brill Publish er, 20 13).
214
El -H ibr i. Ta yeb, Re int er pr eti ng Isla mi c His to riog ra p hy; Harun al - Rash id an d Na rat ive o f th e A bbas id Cal ipha te, (Port land: Camb ridg e U niv er sit y Pre ss, 2000 ).
215
Chr istoph er Me lc he rt, “ How Hanaf is m Ca m e to Or ig inate in Ku fa and T raditiona lis m in M edina.” Isla mi c Law and Soci et y , 6, no. 3 (1999), hlm. 31 8 -47.
216
Ibn a l-Fa ra î, Tâ rîkh al - ‘Ul am a wa- a r- Ruw ât li- ’l - ‘I l m bi-’ l- Andalus, ed. ‘Iz zat al-Su sayn î, 2 vols. (Kairo: Ma ktabat a l- Khân j î, 1954), 1, hl m. 265 -6.
217
Al i Am ee r, “Is la mi sm: Eman c ipation, Prot est and Ide n tity.” Jou rna l of Muslim Mino ri ty A ffa ir s 20.1 (2000), hlm. 1 1-28.
218
Maa ik e van Be rk e l and Nadia M ar ia El Che ikh -oth ers, Crisi s and Cont inui ty at Ab basi d Cour t; For mal an d Info rm al Po li tic s in the Ca liph o f Muqt adi r (Le iden: Br ill, 2013).
219
Judit h E Tuc ke r, In the House of the L aw: G ende r and Isla mi c La w in Ot to man Sy ri a and Pa les tin e (Ber k el ey: U niv er sit y of Cal ifor nia P res s, 1998).
220
Johnston Dav id L, “ Maqâs id ash -Sh ar i‘ah: Episte mo logy and He rm en eut ics of Mus lim T heo logi es of Human R ight s.” Konin kl ij ke B ri ll N V (2007), h lm. 14 9 -1 61.
221
222
G eorg e K l ein, “Dog ma or D ebate? ” N atu re 3 90.6658 (Nove mbe r 1997), h lm. 35 4-355.
Dan ie l Sar e witz, “ Nor ma l Sc ien ce and Lim its on Kno wledg e: What We Se e k to Kno w, What We Choos e not to Know, What We Don’t Bothe r Kno w ing.” Soc ial R esea rch 7 7.3 (Fall 20 10), hlm. 997 - 1003.
223
Scott Lu cas, “T he l ega l Pr inc ip le s of Muh am mad Ibn a l- Buk hâr î and Th e ir Re lat ionsh ip to Cla ssica l Sa laf i Isl am.” Isl ami c L aw Soc ie ty, vol. 13, no. 3 (2006), h lm. 2 89 -324.
224
225
G.H.A Juynbo ll, Enc ycl ope dia o f C anoni cal H adi th (Le iden: Br ill, 200 7).
Scout Lucas t, Const ru ctiv e C rit ics, Ha dith L it er atu r e, and Ar ticu la tion of Sunn i Isla m; Leg ac y of the Gene ra tion o f Ibn Sa ‘d, Ibn Ma ‘in, and Ibn H anbl, (Le ide n: Brill Publish er, 20 04).
226
Sen tur k R ec ep, N ar ativ e So ci al S t ruc tur e; Ana tom y of Hadi th T rans miss ion N et wo rk, 61 0 -15 05, (Portl and: Stanford Un iv ers ity P res s, 2005).
227
228
Go lden sohn. El l en, “A Dis sent ing Op inion. ” N atu ral Histo ry 10 9.6 (July/Augu stus 200 0), hlm. 6.
148
Scott C Luc as, Cons t ruc tive C rit ics, H adi th Li te ra tur e, and A rt icul at ion of Sunni Isla m; the Le gac y o f Gene ra tion o f Ib n Sa ‘d, Ibn Ma ‘in, and Ibn H anbal, ( Le iden: Br ill A cade m ic Pub lishe rs, 200 4).
229
Vard it To kat ly, “Th e ‘Alâ m a l - Hadi th of al- Kha ththâb î: A Co mm enta ry on Bu khâ rî’s S]ah ih or Pole mi ca l Tr eat is e?” Stud ia Is la mic a 92 (2001), h lm. 53 -91.
230
231
Ha rald Motz k i, Hadi th, O ri gin and Deve lopm ent s, (Portla nd: Ashgate Pub lish ing, 2004).
Pe rl u di la ku kan r efo rmas i p em i ki ran t erh adap se suat u yang seb ena rnya t ida k m e miliki k esa kra lan y ang harus d ip er la ku kan s ec ara ka ku di dala m Is la m. Liha t N oor. Far ish, “ Towa rd an Is la m ic Refo rm ation: Civ i l Lib e rti es, Hu man R ights, and Int ern ation al La w.” Journ al of Musli m Mino ri ty Af fa irs 20.2 ( Octob er 2002) , hlm. 3 76 -37 8.
232
T am ir Moustaf a, “Libe ra l Righ ts Ve rsus Is la mic La w? Construct ion of Bin ary in Ma lay sia n Polit ics, La w and So ci ety Revi ew 47.4 (2013), h lm. 771 -802.
233
Andr eas K r ebs, “Is la mi c La w and th e Challenge s of M odern ity.” Soc iolog y of R eli gion 66.4 (Winte r 2005), hlm. 4 37 -39.
234
Ban ya k pi hak yang m el ihat m etode qiy as ada lah e le men as ing yang mas uk k e da la m kultur p em i k ira n Isl am. J. Scha cht, “ For eig n El e ment s i n Anc ie nt Is la mic Law. ” Jou rnal of Co mpa ra tive Le gisl atio n & Int ern atio nal La w, 32, (1950), hlm. 9. Harald Mot zk i m elihat bah wa banya knya ilmu wan hidup di be ka s wi la yah yang sudah ma ju p eradaban nya seb e lum Islam m ena mbah ka ya khaz anah pe m ik ir an yan g ber ke mbang d i era awa l p emb ent uka n aliran f iqh. Ha ra ld Motz ki “ The Role of Non -A rab Conv erts in th e Deve lopm ent of Ea rl y Is la mi c Law. ” Isl am ic L aw & So ci ety , 6 (1999), h lm. 29 3.
235
Sadi k J al-‘Az m, “I sla m and the Sc ie nc e -R e lig ion Deb ates in Mode rn T im es. ” Euro pea n Revi ew 15.2 (Jul y 2007), hl m. 283 - 295.
236
Lo ri Pe e k, “B eco ming Mus li m: Th e Deve lopm ent of R elig iuous Id ent ity.” So cio logy of R eli gion 66.3 (Fal l 2005), hl m. 215 - 245.
237
M Alpe r Ya lc in kaya, “Sc i enc e an as Ally of Re lig ion : A Muslim Appropria tion of the Conflict The sis. ” Bri tish J ourna l fo r th e His tor y of Sc ien ce 44.2 (Jun e 201 1), hlm. 161 -181.
238
Na azn een D i wan, “Ca rving Out a Pub l ic Spac e for M ult ifu l Int erp re tat ions of Is la mic Law: A Loo k at th e Confer en ce on Wom en’s R ights: B eyond Ret hor ic.” Jou rnal of M idd le Eas t Wo men ’s Stud ies 6.2 (Spri ng 2010), hl m. 115 - 122.
239
Sis te m hel ah wa laupu n dit uduh s ebagai b entu k la in dari riba yang d ipra kt ik kan o leh pe la ku b isn is pada masa D inas ti Abba sia h yang dit awa r kan o le h m azhab H anafi, aka n t etapi m en jad i so lus i pada z ama nnya . Li hat Ma rt ensson U lr i ka, “ ‘It’s th e Economy, Stup id’: A l-Abar î’ s Analys is of the Fr e e Rid er Prob le m i n Abbâsid Cal iphat e.” Jou rna l of E conom ic an d So cial H i stor y of the Or ien t, vol. 54, issu e 2 (June 2011), hlm. 2 03 -23 8.
240
Gh is la ine Lydon, ”A Pap er E conom y of Fa ith Wit hout Fait h in Pape r: R ef le ctio n on Is la m i c Inst itut iona l Histo ry.” Journ al o f Econo mi c B ehavio r and O rg aniz ati on, vol. 71, issu e 3 (S epte mbe r 20 09), hlm. 64 7 659.
241
Wae l B. Hal laq, “Can the Shar i’a be Res tor ed?” in Isla mi c Law an d the Chal leng es of Mode rni ty , ed. Yvonn e Haddad an d Ba rbar a Stowass e r (Lanh am, MD: Row man and Litt lef ie ld, 200 4), hlm. 2 1 -53.
242
Johans en Babe r, “Apostasy as Obj ect iv e and Depe rsona lized Judgem ents. ” So cia l R esea r ch 70.3 (Fa ll 2 003), hlm. 687 -710.
243
149
Fa ct:
T wo
Rec ent
Egyt ian
Cour t
Seb ena rnya, m etod e ta’ w il ya ng di k embang kan o leh Ibn Qu tayba dapat me mb er ik an kont r ibus i dala m penge mbanga n metod e he rm en eut i ka di aw al pe r ke mbangan hu ku m Is lam s ejala n dengan apa yan g dil aku kan ol eh Im am S yaf i‘ i. Aka n t etapi, tampa kn ya go longan kons erva tif lit era lis, t erut ama ah li hadi ts, tida k mau m ene r ima i ni se hingg a hanya dike mbang kan oleh golongan teo logi Mu’taz ila. Lihat E. Dic k inson, Th e Deve lopm ent o f Ea rly Sunni te Ha dith C ri tic ism, ( Le id en: E.J. Brill, 2001), hlm. 6.
244
Pe mb er la kuan hu ku m k e luarg a di da era h Gaza yang dik u asa i Ha mas Pa lest ina yang m asih die mbargo oleh Isra e l dar i lau t, udara, maup un darat. K asus hu ku m yang be rk aita n dengan masa lah ke lua rga tid a k serta m erta ha rus d iaj uka n k e pengad i lan laya knya d i negara -neg ara lain. Kar ena inf rast ruk tur s ist e m pengad ila n, baik dar i seg i bangunan ma upun sumb er d aya manus iany a, me mbuat bent uk hu ku m di sana banyak d il ak uka n m ela lu i pros es k ead ilan di luar p e ngadilan. Sheh adeh, N, Jus ti ce withou t D ram a; Ena ct ing Fam ily La w in Ga za Ci ty Sha ria C our t , (Ph.D. Th es is, Th e Hague: I nst itu te of Soc ial Stud ies , 2005).
245
Ron Shah am, “ I kht ishâb in I sla m ic Ju risp rud enc e an d Mode rn La w.” Jou rnal of the A me ri can O rien ta l Soc ie ty 131.4 (20 11), hl m. 605 - 627.
246
Nu ‘ma n Ibn Mu ham mad , The Pill ar s of Isl am; Da wâ ’i m al - Islâ m of al- Q âdi an - Nu ‘man, tr ans. Asaf A.A. Fyze e, ed. Isma i l Ku rban Hu se in Poona wala (Portla nd: Oxfo rd Un iv ers ity Pr ess, 20 02).
247
R ene e G Sch er l en, “ Is lam and Equa l ity: Deba ting th e Fut ur e of Wo men and Minor ity’s R ights in th e M iddl e East and North Af ri ca/ and Oth ers. ” NW SA Jour nal 13.3 (Fa ll 2001), hlm. 231 -237.
248
Musab Hayat l i, “Is la m, Int ernat iona l Law and th e Protect ion of Refug e es and IDPs.” Fo rc ed Mig ra tio n Revi ew, Suppl. Isla m, Hum an Ri ghts a nd Dis pla ce men t, (June 2012), h lm. 2 -3
249
Ahm ed Ru m ee Ti k kun, “ Is lam ic La w and th e Bound aries of Soc ial Respos ib lility. ” Li te ra ry R ef er enc e Cen te r, vol. 28, issu e 1 (Wint e r 2013), h lm. 23 -69.
250
Abdul mu m ini A, “Jud ic ia l Pract i ce i n Is lam ic Fam ily La w and It’s R e lat ion to ‘Urf (Custo m) in Nor the rn Nig er ia.” Isl ami c L aw a n d So ci ety, vo l. 20, is sue 3 (20 1 3), hlm. 272 -318.
251
You nes Soua lhi, “ Th e Qu est ion M ethodolog y in th e Scienc e of Maqâs id ash -Sha r i‘ah (Ob je ct iv es of Isl am ic La w).” In te rna tion al Jou rnal o f Hum ani ties, vo l 5, issu e 11 (F ebrua ry 200 8), hlm. 91 -97.
252
Lo uay Saf i, “ Th e Maqâs id Approa ch and R eth ink in g Polit ical R ights in Mod ern So ciety. ” In tel ec tua l Discou rse s, vol 18, i ssu e 2 (2010), hl m. 211 -233.
253
M uha mmad R am iza Wan, “Shar i‘ah Cou rt Judges and Judic ia l Cr eativit y ( I jtihad) in Ma lays ia an d Tha il and: A Comparativ e Study.” Jour anl of Musli m Minori ty Af fa irs, vol. 29, issu e 1 (Marc h 2009), hlm . 127-13 9.
254
Mes ut Ok umu s, “ The In flu en ce o f Ibn Sina on a l -G ha zzali in Qur ’an ic He rm en eut ics. ” Musli m Wo rl d, vol. 102, issu e 2 (Apr il 2012), hl m. 39 0 -411.
255
Mona At ia, “A Way to Pa rad ise ’: Pious N eolib era lis m, Is la m, and F ait h Bas ed D eve lop men t.” An nals o f the Asso ci ati on of A me ri can Geog ra phe rs, vol. 102, issu e 4 (July 20 12), hlm. 808 - 827.
256
Mustaf a Nu m en Shah, “C lass ica l Is lam i c Dis cour se on the Or ig ins of La ngagu e: Cult ura l M emo ry and t h e Defe nc e of Orthodox y.” In te rna tion al Revi ew for the H isto ry o f R eli gion, vol. 5 8, iss ue 2/3 (2 011), hl m . 314-34 3.
257
Jan Loop, “D iv in e Poetr y? Ear ly Mod ern Eu ropean O r ie ntalist s on the Bea uty of Koran.” Chu rch H is to ry and r elig ious Cu ltu re, vo l. 89, issu e 4 (De ce mb er 200 9), hlm. 45 5 -48 8.
258
150
Gab eba Bade ron, “ M ethodo logi es: S i lent, Se cr ets, F ragm ents. ” Cr iti ca l Ar t: A South - No rth Jou rnal of Cul tura l and M edia S tudie s, vol. 21, is sue 2 (2 007), hlm . 276 -290.
259
Ahm ad Younus Mo hd Noor, “Th e Int ele ct of Trad it ional Mus lim Th eo logian s in Dea ling wit h the Sci ent if ic Ex eg esi s.” In te rna tion al Jou rnal o f Hum ani tie s, vol. 9, issu e 11 (2011), h lm. 10 1 -11 0.
260
Fat hul lah Na ja rzag edan, “An Ex am inat ion of Lit er ary M ira cle of th e Qur ’an a s Ev iden c e that th e Sc i enc e of Qur ’an ic Ex eg esi s is Poss ib le.” Journ al of Shi ‘ah Is la mic S tudies, vo l. 4, issu e 2 (201 1), hlm. 199 -2 17.
261
Moham m ed El- Tah ir E l- M esa wi, “F rom ash -Shâth ib î’ s Lega l Legal H er m eneu tics to Th emat ic Exeg es is the Qur’ ân.” In te lle ctu al Dis cou rse, vo l. 20, issu e 2 (201 2), hlm. 189 -214.
262
Sabr i Cift c i, “Se cul ar - Is lam ist C le avage, Va lu es, and Support for Demo cra cy and Shar i ‘ah in th e Arab World.” Poli ti cal Re sea r ch Qua r te rly, Vo l. 66, issu e 4 (D ec emb er 2 013), hlm. 781 -793.
263
Luca M ave l li, “B et w een No rma l isat ion a nd Ex cept ion : Th e Se cu rit isat ion of I sla m and th e Cons tru ctio n of the Se cu lar Obj e ct.” Mil leniu m (0305 829 8), vo l. 41, 2 (January 201 3), hlm. 159 -1 81.
264
Laur i e Patton and Robin. Ve rmon K -N e wby Gordo n D, “Comparat ive Sac r ed Te xts and Int er act iv e Inte rpr etat ion: Anoth er Alt e rnat ive to th e Wor ld Re ligions Clas s.” Te achin g Theolo gy an d Rel igion, vol . 12, issu e 1 (Januar y 2009), h lm. 37 -49.
265
G lor ia Sch aab, “Sac red S ymbo l as T heo logica l T ext. ” Heyth rop Journ al, vol. 50, issu e 1 (Januar y 2009), hlm. 5 8-73.
266
B ert ra m I Spe ctor, De te ct ing C or rup tion in D evelo pin g Count ri es: Id ent ify ing Causes /S t rat egi es fo r A ct ion (Delh i: Ku ma ria n Pre ss, 2012).
267
Bu l ent Sena y, “Change and Chang eab il ity: Eth ics of Disagr e em ent and Public Spac e in Islam ic Thought. ” Journa l fo r th e S tudy o f R elig ion and Ide olog ies, vol. 9, issu e 26 (August 20 10), hlm. 128 - 162.
268
Jass er Auda, “A Ma qâ sid î Approa ch to Cont empor ary Aplicat ion of Shar i‘a h.” Int ell ec tual Dis cour se, vo l. 19, issu e 2 (2011), h lm. 19 3 -21 7.
269
In tis ar Rabb, “Is la mi c Lega l Ma xi ms as Substant iv e Canons of Construct ion: Hudûd.” Is lam ic L aw an d Soc ie ty vol. 17, issu e 1 (Januar y 2010), h lm. 63 -125.
270
F el i cit as Op wi s, “Shift ing Lega l Author ity f rom the R uler to the ‘U la mâ: Rationa liz ing the Pun ism ent fo r Drin k ing W ine Du ri ng the S el jûq P er iod.” Wal te r d e G r uyte r, vol. 86 (201 1), hlm. 65 -87.
271
Fa ri sh Noor, “N egot iat ing Is lam i c L a w.” Fa r East ern Econo mic Revi ew, vol. 165, iss ue 37 (Sept emb e r 2002), hl m. 23 -3 3.
272
Hu ri I sla mog lu, “B eyond Hi stor ies of Stagnat ion t o Liv ing Histor ies of Possib i lities.” I nte rna tion al Journa l of Mi ddl e E ast S tudies , vo l. 44, iss ue 3 (August 2012), hlm . 536- 538.
273
Mal i k Muh am mad Tar iq, “Al i’s Shar i‘a ti Vie w of Is la mic Mode rn ity.” Di alogu e (P aki stan), vol. 8, is sue 3 (Septe mbe r 2013), h lm l. 334 -335.
274
T ause ef A hmad Pa rra y, “ Th e Lega l M ethodology o f Fiqh al -‘Aqa lliyat and I ts Cr it ics ’: An Ana lyt ica l Study.” Jou rnal o f Musli m Mino ri ty A ff ai rs. Vol. 32, issu e 1 (Ma rch 2 012), hlm. 88 - 107.
275
Joseph E Lo wr y, “Some Pr e l im ina ry Obs er vatio ns on al -Shaf î‘ î and Lat er U sul a l- Fiqh ’: Th e Case of th e ter m Bay ân.” A ra bi ca, vol. 55, issu e 5/6 (O ctobe r 200 8), hlm. 505 -527.
276
151
Dav id Johnston, “A Tu rn Ep ist emo logy and H er me n eut ics of Tw ent ieth C entur y Usu l a l -F iqh. ” Isl ami c Law and Soci et y, vol. 11, i ssu e 2 (Apri l 200 4), hlm. 233 - 282.
277
‘Abd Car ne y, “ Tw i ligh t of Ido l? P lura lism and My stic al P rax is in Islam.” In te rna tiona l Jou rnal fo r Philoso phy of Rel igion, vo l. 64, iss ue 1 (August 2 008), hlm. 1 -20.
278
Muh ibbuddi n, “Pr in cip l es of Is lam i c Pol ity To ward ahl K itâb and Re ligiou s Mino rities.” Jou rnal o f Mus li m Minori ty Af fai rs , vol. 2 4, issu e 1 (Apr il 2 004), hlm. 163 - 174.
279
Muha mmad Tar iq Gaur i, “Scop e of Human Right s in Isla m: An Analytica l Study of Isla mic Concept of Human R ight s.” Di alogu e (Pa kis tan), Vol. 5, issue 4 (Oc tober 201 0), hlm. 17 -31.
280
Dav id Hol l enbach, “Compa rat ive Eth i cs, Is la m, and Human R ights: Inte rna l Plura lism and Poss ib l e Deve lopm ent Trad it ion.” J ourna l of Re ligi ous Ethic s, vol. 38, iss ue 3 (Sep te mbe r 2010), h lm. 58 0 -58 7.
281
Robe rt C ar le, “ Tar iq Ramad han and th e Qu est for a Mode rat e Islam. ” Soc iet y, vol. 48, issue 1 (Februa ry 2011), hl m. 58 -6 9.
282
B i lly Lu cas, “Th e R ight to Be l ie ve Tru th Parado xes o f Mora l R egr et fo r No Be lie f and th e Ro le (s) of Log ic in Phi losophy of Re lig ion.” In te rna tiona l Journ al fo r Philoso phy of Re ligio n, vol. 72, issue 2 (Octob e r 2012), hl m. 115 - 138.
283
Anna Mun ste r, “ Le t Th er e No Compu ls ion in R eligion: Ta fsir Compa r ison on th e Ve rs e 2: 256. ” Evang eli cal Qua r te rly, vo l. 80, iss u e 3 (July 2008), h lm. 255 -25 6.
284
152
BAB VI PENUTUP Istilah al-Kutub as-Sittah identik dengan kitab-kitab fiqh yang digunakan pada masa Dinasti Abbasiah ketika Hasan asy-Syaibani diangkat sebagai qadli dan menjadi locus ulama-ulama hadits dalam menyusun hierarki kitab-kitab hadits. Seiring dengan perkembangan zaman, istilah al-Kutub as-Sittah kemudian populer digunakan pada kitab-kitab hadits dalam bentuk hierarki. Kajian ini menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu pertama, sejarah membuktikan bahwa kajian fiqh mengalami stagnasi pasca-mapannya kodifikasi hadits yang berakhir abad ke-3 H. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya ulama fiqh yang terlahir kemudian pasca founding-fathers mazhab, seperti Imam Abu Hanifa, Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Hanabila. Kodifikasi hadits diasumsikan menghambat kreativitas dalam berijtihad karena adanya hierarki kitab-kitab hadits sebagai rujukan hukum yang membuat kajian fiqh tidak bisa bergerak bebas. Kedua, teks nas tidak bisa dipahami sebagai benda mati yang dapat menghambat perkembangan kajian fiqh bila tidak dilihat dari semangat dinamis yang terdapat di dalam teks tersebut. Sejarah telah membuktikan bahwa pemahaman terhadap teks nas telah memberikan energi yang besar sehingga melahirkan peradaban besar. Peradaban besar yang lahir dalam Islam selalu identik dengan pemahaman terhadap nas yang meliputi berbagai bidang keilmuan. Ketiga, sosio-linguistik yang berperan penting dalam mengarahkan opini masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi umat Islam yang selama ini sangat terpengaruh oleh justifikasi kebenaran teks al-Qur'an. Tidak hanya manusia yang menggunakan pendekatan sosio-linguistik, bahkan teks nas yang di dalamnya memuat nilai-nilai normatif juga menggunakan sosio-linguistik agar mendapat perhatian dari masyarakat. Hal tersebut juga digunakan oleh generasi setelah Nabi, mulai dari sahabat yang menggunakan nama khalifah, sultan, dalam politik. Penggunaan istilah dalam fiqh, seperti wajib, sunnat, makruh, dan haram, merupakan bagian dari pemetaan hukum yang digunakan. Peran sosio-linguistik sangat ampuh dalam mendapatkan respons umat Islam terhadap penggunaan istilah-istilah tersebut sebagai konsekuensi dari masyarakat yang sedang membangun identitas. Di awal perkembangan Islam, politik identitas yang dilakukan oleh Nabi dipandang mampu memberikan spirit yang luar biasa bagi masyarakat muslim untuk lebih mengembangkan diri sebagai pemilik peradaban. Salah satu isu utama dalam kehidupan manusia ialah kesetaraan. Kenyataannya, kesetaraan sulit sekali diwujudkan karena adanya kekuatan yang ingin membuat kondisi menjadi tidak equal. Terkait dengan masalah kitab-kitab hadits, hendaknya diperlakukan setara selama ia diakui berasal dari Nabi. Bila demikian, tentu hal ini menjadi energi baru bagi akademisi muslim untuk lebih berkarya karena tidak dibatasi oleh hierarki kitab yang membelenggu. Akhirnya, karya ini diharapkan bisa disikapi dengan bijaksana sebagai pemikiran dari seorang yang mencintai hadits Nabi. Penulis sangat tidak mengharapkan vonis yang bernada apriori terhadap pemikiran yang berusaha untuk melihat produk ijtihad ulama klasik sebagai sesuatu yang bersifat bukan sakral. Penulis berharap ke depannya ada pihak yang mampu untuk merumuskan kembali pola kesahihan suatu hadits yang bisa dijadikan sandaran hukum dalam berijtihad. Hal ini penting untuk bisa melepaskan penjara pemikiran ijtihad dari sumber yang profan, tetapi dianggap sebagai sesuatu yang sudah baku. []
153